makalah filsafat Dan hakikat kurikulum.doc
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pendidikan di bumi nusantara pada pra-kemerdekaan benar-benar berada
dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Dimana pemerintah Belanda tidak
membiarkan sedikitpun anak-anak bangsa mendapat pendidikan yang layak dan
seharusnya. Kalaupun toh ada proses pendidikan yang terjadi, bisa dipastikan
bahwa hal tersebut berada di bawah diktean serta pengaruh tangan besi yang
membabi buta dari penjajah kolonial. Hasilnya, bangsa ini dididik untuk
mengabdi sekaligus menjadi budak mereka. Karena yang terpenting bagi mereka
adalah; meraup keuntungan dan kekayaan sebanyak yang mereka bisa dari tanah
air kita tercinta.
Setelah kemerdekaan, masalah pendidikan menjadi semakin kompleks.
Dan tidak hanya bagi Negara Indonesia, bagi Negara diseluruh duniapun—untuk
menjadi Negara yang maju, harus ditopang dengan pendidikan yang maju pula.
Nah, pendidikan yang maju ini baru bisa dicapai jika system (kurikulum)
pendidikannya baik. Jika boleh meminjam perkataan dari salah satu dosen di
INSTIKA, “tanpa kurikulum, pendidikan akan mandek (Syafikurrahman, M. Pd)”.
Disitulah letak mengapa kurikulum begitu urgen dalam proses pendidikan.
Sebagaimana dalam Islam kita diajarkan bahwa iman merupakan dasar.
Begitupun dalam kurikulum dimana ada beberapa hal yang cukup mendasar, dan
beberapa hal tersebut akan kami bahas beserta kurikulum pendidikan Islam,
khususnya di Indonesia pada makalah kami kali ini.
2. Rumusan Pembahasan
A. Apa Pengertian Kurikulum?
B. Bagaimana Prinsip-Prinsip Kurikulum?
C. Apa Saja Ciri-Ciri Khusus Kurikulum Pendidikan Islam?
D. Seperti Apakah Kurikulum Pendidikan Islam di Indonesia?
3. Tujuan Penulisan
A. Supaya Mengetahui Pengertian Kurikulum
B. Supaya Mengetahui Prinsip-Prinsip Kurikulum
C. Supaya Mengetahui Ciri-Ciri Khusus Kurikulum Pendidikan Islam
D. Supaya Mengetahui Kurikulum Pendidikan Islam di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kurikulum
Secara etimologis kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yaitu curir yang
berarti pelari, atau curere yang berarti tempat berpacu atau jarak yang harus
ditempuh oleh pelari. Istilah ini pada mulanya digunakan dalam dunia olahraga
yang disebut juga “a little race course” (suatu jarak yang harus ditempuh dalam
pertandingan olahraga, biasanya berbentuk melingkar). jika pengertian ini kita
kaitkan dengan dunia pendidikan, maka dinamakan “circle of instruction”, yaitu
lingkaran pengajaran dimana guru dan murid terlibat didalamnya.1
Dalam bahasa Arab, kurikulum dikenal dengan kata “manhaj” yang berarti
jalan yang terang, atau jalan terang yang dilalui manusia dalam berbagai bidang
kehidupannya. Sedangkan dalam pendidikan, manhaj atau kurikulum adalah jalan
terang yang dilalui pendidik (guru) dan orang yang di didik (murid), demi
berkembangnya pengetahuan, keterampilan, serta sikap murid tersebut. Jadi,
manhaj dalam pendidikan Islam bisa dikatakan sebagai seperangkat media dan
perencanaan yang dijadikan acuan oleh lembaga pendidikan, dalam mewujudkan
tujuan-tujuan pendidikan.
Sedangkan makna kurikulum secara luas dapat dikelompokkan menjadi
tiga, yaitu; tradisional, modern, dan masa kini.2
1. Pengertian Kurikulum Secara Tradisional
Traditionally, the curriculum has mean the subject taught in school, or the
course of study (kurikulum adalah mata pelajaran yang diajarkan di sekolah
atau bidang studi. Jadi, berdasarkan pada pengertian ini, yang dimaksud
dengan kurikulum adalah semua bidang studi yang diberikan dalam lembaga
pendidikan).
2. Pengertian Kurikulum Secara Modern
1
Arifuddin Arif, S. Ag., M. Pd. I, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam. (Jakarta: Kultura, 2008). 79
Novan Ardy Wiyana & Barnawi, Ilmu Pendidikan Islam: Rancang Bangun Konsep Pendidikan
Monokomotik-Holistik (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012). 167-168
2
The curriculum is looked as being composed of all the actual experience
pupils have under school direction, writing a course of study become but small
part of curriculum (kurikulum adalah semua pengalaman actual yang dimiliki
peserta didik di bawah pengaruh sekolah, sementara bidang studi adalah bagisn
kecil dari program kurikulum secara keseluruhan). Dalam hal ini kurikulum
diartikan sebagai semua pengalaman peserta didik di bawah tanggung jawab
sekolah.
3. Pengertian Kurikulum di Masa Kini
Curriculum is the strategy with we us in adapting this cultural geritage to
purpose of the school (kurikulum adalah strategi yang digunakan untuk
mengadaptasikan kultur dalam mencapai tujuan sekolah).
Para pakar pendidikan mendefinisikan kurikulum sebagai berikut:
Saylor dan Alexander merumuskan kurikulum sebagai the total effort of the
school situations, artinya bahwa kurikulum merupakan keseluruhan usaha yang
dilakukan oleh lembaga untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan
sebelumnya.
Smith mengartikan kurikulum sebagai a sequence of potential experiences of
disciplining children and youth in group ways of thinking and acting. Dengan
definisi ini, kurikulum dipakai sebagai seperangkat usaha atau upaya
pendidikan yang bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan hidup
bermasyarakat.
Harold Rugg mengartikan kuriklum sebagai the entire program of the shool, it
is the essential means of education. It is everything the students and their
teacher do. Artinya kurikulum adalah program sekolah yang di dalamnya
terdapat semua anak didik dan pekerjaan guru-guru mereka.3
B. Prinsip-Prinsip Kurikulum
Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Bapak Syafikurrahman (dosen
pengantar kurikulum di INSTIKA), tentang prinsip dan landasan kurikulum
beberapa pekan yang lalu. Disebutkan bahwa dalam kurikulum terdapat dua
3
Drs. Hasan Basri, M. Ag. Drs. Beni Ahmad Saebani, M. Si., ilmu Pendidikan Islam (Jilid II),
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2010). 176-177
prinsip yakni prinsip umum dan prinsip khusus. Namun, pada kali ini kami hanya
akan memfokuskan pada prinsip umum kurikulum.
Prinsip umum kurikulum itu ada lima yakni:
1. Prinsip Relevansi (kesesuaian)
Kurikulum harus relevan, dalam hal ini terdapat dua relevansi. Relevansi
keluar (eksternal) dan relevansi di dalam kurikulum itu sendiri (internal).
Relevansi keluar artinya tujuan, isi, dan proses belajar yang tercakup dalam
kurikulum hendaknya relevan atau sesuai dengan tuntutan, kebutuhan, dan
perkembangan masyarakat. Relevansi ke dalam artinya ada kesesuaian atau
konsistensi antara komponen-komponen kurikulum (yakni antara tujuan, isi,
proses dan evaluasi). Relevansi ke dalam ini menunjukkan suatu keterpaduan
kurikulum.
2. Prinsip Fleksibelitas (lentur)
Kurikulum hendaknya memiliki sifat lentur atau fleksibel. Artinya dalam
hal ini kurikulum hendaknya berisi hal-hal yang solid, tapi dalam
pelaksanaanya
memungkinkan
terjadinya
penyesuaian-penyesuaian
berdasarkan kondisi daerah, waktu maupun kemampuan dan latar belakang
anak.
3. Prinsip Kontinuitas (berkesinambungan)
Perkembangan
dan
proses
belajar
anak
berlangsung
scara
berkesinambungan. Oleh karena itu, pengalaman-pengalaman yang disediakan
kurikulum juga hendaknya berkesinambungan antara satu tingkat kelas dan
kelas lainnya, antara satu jenjang pendidikan dengan jenjang pendidikan
lainnya. Juga antara jenjang pendidikan dan pekerjaan
4. Prinsip Praktis atau Efisien
Kurikulum hendaknya mudah dilakasanakan menggunakan alat yang
sederhana, dan biayanya juga murah. Betapapun bagus dan idealnya suatu
kurikulum kalau menuntut keahlian-keahlian dan peralatan yang sangat khusus
dan mahal harganya, kurikulum tersebut tidak praktis dan sukar dilaksanakan.
Kurikulum
dan
pendidikan
selalu
dilaksanakan
dalam
keterbatasan-
keterbatasan, baik keterbatasan waktu, biaya, alat maupun personalia.
Kurikulum bukan hanya harus ideal, tetapi juga praktis.
5. Prinsip Efektifitas (pencapaian tujuan)
Walaupun
kurikulum
tersebut
harus
murah
dan
sederhana,
keberhasilannya tetap harus diperhatikan. Artinya, kurikulum harus mencapai
tujuan yang diinginkan. Baik seara kuantitas maupun kualitas. Tidak cuma itu,
kurikulum harus bisa efektif tidak hanya pada peserta didik, tetapi juga hrus
bisa efektif terhadap pendidik.
Jika pada penjelasan di atas merupakan prinsip kurikulum secara umum,
maka dalam kurikulum pendidikan Islam setidaknya ada tujuh prinsip yang harus
dianut:
a. Pertautan yang sempurna dengan agama, termasuk ajaran dan nilainya.
Artinya; segala yang berkaitan dengan kurikulum termasuk falsafah, tujuan,
kandungan metode mengajar dan cara-cara perlakuan serta hubungan yang
berlaku dalam lembaga pendidikan harus berdasarkan agama Islam.
b. Prinsip menyeluruh (universal) pada tujuan dan kandungan kurikulum.
Misalkan dalam kurikulum tujuannya harus meliputi semua aspek pribadi
pelajar, maka kandungannya pun haurs meliputi semua yang berguna untuk
membina pribadi anak didik yang berpadu dengan pembinaan akidah, akal,
dan jasmaninya.4
c. Keseimbangan yang relatif antara tujuan dan kandungan kurikulum. Misal,
kalau perhatian pada aspek spiritual dan ilmu syariat lebih besar, maka
aspek spiritual tidak boleh melebihi aspek penting yang lain dalam
kehidupan, dan juga tidak boleh melampaui ilmu, seni, dan kegiatan yang
harus diadakan untuk individu masyarakat.
d. Berkaitan dengan bakat dan minat, kemampuan, kebutuhan pelajar, begitu
pula dengan alam sekitar fisik dan sosial tempat pelajar itu hidup dan
berinteraksi untuk memperoleh pengetahuan, kemahiran, pengalaman yang
merubah sikapnya. Mengingat, dengan memelihara prinsip ini, kurikulum
4
Drs. Hasan Basri, M. Ag. Drs. Beni Ahmad Saebani, M. Si., ilmu Pendidikan Islam (Jilid II),
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2010). 178-179
akan lebih sesuai dengan semua anak didik. Juga lebih memenuhi
kebutuhannya serta lebih sejalan dengan suasana alam sekitar dan
kebutuhan masyarakat.
e. Prinsip perkembangan dan perubahan Islam yang menjadi sumber
pengambilan falsafah, prinsip, dan dasar kurikulum. Dimana metode
mengejar pendidkan islam mencela sifat membeo (taqlid) secara membabi
buta ataupun bertahan serta mengikuti ajaran yang diwariskan tampa
melakukan reserve. Islam mengalahkan perkembangan dan perubahan yang
berlaku dalam kehidupan.
f. Pertautan antara mata pelajaran dan aktiva (pengalaman aktivitas) yang
terkandung dalam kurikulum. Begitu juga dengan pertautan antara
kandungan kurikulum dan kebutuhan
murid, kebutuhan masyarakat,
tuntutan zaman tempat pelajar berada, serta perkembangan yang logis yang
sesuai dengan kebutuhan, bakat, dan minat murid.
Pada dasarnya prinsip-prinsip kurikulum pendidikan islam diarahkan
sepenuhnya terhadap tujuan ajaran islam. Oleh karena itu, semua komponen
kurikulum harus berbasis kepada sumber ajaran islam, yakni al-Quran dan asSunnah, baik secara lansung maupun tidak langsung.
C. Ciri-Ciri Khusus Kurikulum Pendidikan Islam
Dari refrensi yang kami dapat, setidaknya ada enam ciri-ciri khusus dalam
kurikulum pendidikan Islam:
1. Dalam kurikulum pendidikan Islam, tujuan utamanya adalah pembinaan anak
didik untuk bertauhid. Oleh karena itu, semua sumber yang dirunut berasal dari
ajaran Islam;
2. Kurikulum harus disesuaikan dengan fitrah manusia, yakni sebagai makhluk
yang memiliki keyakinan pada Tuhan (makhluk yang beriman);
3. Kurikulum
yang
disajikan
merupakan
hasil
pengujian
materi
yang
berlandaskan kepada al-Quran dan as-Sunnah.
4. Mengarahkan minat dan bakat serta meningkatkan kemampuan ‘aqliyah anak
didik serta keterampilan yang akan diterapkan dalam kehidupan konkrit.
5. Pembinaan akhlak anak didik, sehingga pergaulannya tidak keluar dari
tuntunan islam.
6. Tidak ada kedaluarsa dalam kurikulum karena ciri has kurikulum pendidikan
islam senantiasa relevan dengan pengembangan zaman bahkan menjadi filter
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam penerapannya didalam
kehidupan masyarakat.5
Menurut al-Syaibaniy, diantara ciri-ciri kurikulum pendidikan islam itu
adalah:
1. Mementingkan tujuan agama dan akhlak dalam berbagai hal seperti tujuan dan
kandungan, kaedah, alat dan tekniknya.
2. Meluaskan
perhatian
dan
kandungan
hingga
mencakup
perhatian,
pengembangan serta bimbingan terhadap segala aspek peribadi pelajar dari segi
intelektual, psikologi, social, dan spiritual. Begitu juga cakupan kandungannya
termasuk bidang ilmu, tugas dan kegiatan yang bermacam-macam.
3. Menekankan konsep menyeluruh dan keseimbangan pada teoritis, baik yang
bersifat aqli maupun naqli, tetapi juga meliputi seni, aktifitas pendidkan
jasmani, teknik, keterampilan, kemampuan, keperluan dan perbedaan individu
antara siswa. Disamping itu, juga keterkaitannya dengan alam sekitar budaya
dan social dimana kurikulum itu dilaksanakan.
D. Kurikulum Pendidikan Islam di Indonesia
Jika kita membahas tentang kurikulum pendidikan Islam di Indonesia,
maka hal pertama yang harus kita tahu bahwa ada bebarapa macam pendidikan
Islam di Indonesia, salah satunya yang akan kami bahas berikut ini:
Pondok Pesantren
pondok pesantren merupakan ‘bapak’ pendidikan Islam yang ada di
Indonesia. Hal ini dapat terlihat dari perjalanan sejarah, dimana sejak kurun
waktu kerajaan Islam pertama di Aceh pada abad-abad awal Hijriyah,
kemudian di zaman Wali Songo sampai permulaan abad 20. Banyak para wali
5
Drs. Hasan Basri, M. Ag. Drs. Beni Ahmad Saebani, M. Si., ilmu Pendidikan Islam (Jilid II),
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2010). 182
dan ulama yang menjadi cikal-bakal munculnya desa baru, termasuk
pesantren.6
Pesantren menurut pengertian dasarnya adalah “tempat belajar para
santri”, sedangkan pondok berarti “rumah atau tempat tinggal sederhana yang
terbuat dari bambu”. Di samping itu, “pondok” bisa juga dikatakan berasal dari
bahasa Arab “fanduk” yang berarti “hotel atau asrama”.7
Lembaga pendidikan pesantren telah berkembang khususnya di tanah Jawa
selama berabad-abad. Dimana Syekh Maulana Malik Ibrahim (meninggal 1419
M/ 882 H di Gresik, Jawa Timur) biasa dikenal juga sebagai Sunan Gresik
yang merupakan spiritual father Walisongo. Dalam masyarakat santri Jawa
beliau dipandang sebagai gurunya guru tradisi pesantren di tanah Jawa. 8 Dan
hal ini sesuai dengan pernyataan Alwi Syihab yang menegaskan bahwa Syaikh
Maulana Malik Ibrahim merupakan orang pertama yang membangun pesantren
sebagai tempat mendidik dan menggembleng santri. Tujuannya agar para santri
menjadi juru dakwah yang mahir, sebelum mereka diterjunkan langsung di
masyarakat luas.9
a. Komponen-Komponen Pesantren
Secara umum pesantren memiliki komponen-komponen, diantaranya;
kiai, santri, masjid atau surau, pondok dan kitab kuning. Berikut adalah
pengertian dari masing-masing komponen tersebut:
1. Kiai
Adanya kiai dalam pesantren merupakan hal yang mutlak bagi
sebuah pesantren, sebab dia adalah tokoh sentral yang memberikan
pengajaran, karena kiai menjadi salah satu unsur yang paling dominan
dalam kehidupan suatu pesantren. Kemasyhuran, perkembangan dan
kelangsungan kehidupan suatu pesantren banyak bergantung pada
6
Marwan Saridjo, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia (Jakarta: Dharma Bhakti, 1982). 7
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Lembaga Studi Islam dan
Kemasyarakatan LKIS, 1999). 138
8
K.H. Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia (Bandung:
al-Ma’arif Bandung, 1979). 263.
9
Amin Haedari, dkk. Masa Depan Pesantren : Dalam Tantangan Modernitas Dan Tantangan
Kompleksitas Global. (Jakarta: IRD Press, 2004). 6-7
7
keahlian dan kedalaman ilmu, kharismatik, wibawa dan ketrampilan
kiai yang bersangkutan dalam mengelola pesantrennya. Gelar kiai
biasanya diberikan oleh masyarakat kepada orang yang mempunyai
ilmu pengetahuan mendalam tentang agama Islam dan memiliki serta
memimpin pondok pesantren, serta mengajarkan kitab-kitab klasik
kepada para santri.
2. Santri
Santri merupakan unsur pokok dari suatu pesantren, tentang
santri ini biasanya terdiri dari dua kelompok :
a)
Santri mukim; ialah santri yang berasal dari daerah jauh atau
daerah yang dekat dan menetap dalam pondok pesantren.
b)
Santri kalong; ialah santri-santri yang berasal dari daerah-daerah
sekitar pesantren dan biasanya mereka tidak menetap dalam
pesantren. Mereka pulang ke rumah masing-masing setiap selesai
mengikuti suatu pelajaran di pesantren.
3. Masjid atau surau
Dalam konteks ini, masjid atau surau adalah sebagai pusat
kegiatan ibadah dan belajar mengajar. Masjid atau surau yang
merupakan unsur pokok kedua dari pesantren, disamping berfungsi
sebagai tempat melakukan shalat berjamaah setiap waktu shalat, juga
berfungsi sebagai tempat belajar mengajar. Biasanya waktu belajar
mengajar berkaitan dengan waktu shalat berjamaah, baik sebelum
maupun sesudahnya.
Dalam perkembangannya, sesuai dengan perkembangan jumlah
santri dan tingkatan pelajaran, dibangun tempat atau ruangan-ruangan
khusus untuk halaqah-halaqah. Perkembangan terakhir menunjukkan
adanya ruangan-ruangan yang berupa kelas-kelas sebagaimana yang
terdapat pada madrasah-madrasah. Namun demikian, masjid atau surau
masih tetap digunakan sebagai tempat belajar mengajar. Pada sebagian
pesantren masjid atau surau juga berfungsi sebagai tempat i’tikaf dan
melaksanakan latihan-latihan serta dzikir, maupun amalan-amalan
lainnya dalam kehidupan tarekat dan sufi.10
4. Pondok
Merupakan tempat tinggal kiai bersama para santrinya. Adanya
pondok sebagai tempat tinggal bersama antara kiai dengan para
santrinya dan bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan hidup seharihari, merupakan pembeda dengan lembaga pendidikan lainnya.
Pesantren juga menampung santri-santri yang berasal dari daerah yang
jauh untuk bermukim. Pada awalnya pondok tersebut bukan sematamata dimaksudkan sebagai tempat tinggal atau asrama para santri, atau
untuk mengikuti dengan baik pelajaran yang diberikan oleh kiai, tetapi
juga sebagai tempat latihan bagi santri yang bersangkutan agar mampu
hidup mandiri dalam masyarakat.
Para santri dibawah bimbingan kiai bekerja untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari dalam situasi kekeluargaan dan bergotong
royong sesama warga pesantren. Perkembangan selanjutnya, pada masa
sekarang pondok tampaknya lebih menonjol fungsinya sebagai tempat
pemondokan atau asrama, dimana tempat tinggal kiai tidak satu atap
lagi dengan santri. Rumah kiai sudah dikelilingi oleh tembok-tembok
tinggi. Dan setiap santri wajib membayar sewa atau iuran untuk
pemeliharaan pondok tersebut dan lain-lain.
5. Kitab-kitab Islam klasik
Unsur pokok lain yang cukup membedakan pesantren dengan
lembaga lainnya adalah bahwa pada pesantren diajarkan kitab-kitab
Islam klasik atau yang dikenal dengan sebutan kitab kuning, yang
dikarang oleh para ulama terdahulu, mengenai berbagai macam ilmu
pengetahuan agama Islam dan bahasa Arab. Pelajaran dimulai dengan
kitab-kitab yang sederhana, kemudian dilanjutkan dengan kitab-kitab
tentang berbagai ilmu yang mendalam. Tingkatan suatu pesantren dan
10
Zamkhasyari Dhofier, Tradisi Pesantren (Cet. II; Jakarta Mizan, 2002). 136
pengajarannya, biasanya diketahui dari jenis-jenis kitab-kitab yang
diajarkan.11
b. Tipologi Pondok Pesantren
Seiring dengan laju perkembangan masyarakat, maka pendidikan
pesantren baik tempat, bentuk hingga substansi telah jauh mengalami
perubahan. Pesantren tidak lagi sesederhana seperti apa yang digambarkan
seseorang. Akan tetapi pesantren dapat mengalami perubahan sesuai dengan
pertumbuhan dan perkembangan zaman.
menurut Mas’ud dkk,12
ada beberapa tipologi atau model pondok
pesantren yaitu:
1. Pesantren yang mempertahankan kemurnian identitas asli sebagai tempat
mendalami ilmu-ilmu agama (tafaqquh fi-al-din) bagi para santrinya.
Semua materi yang diajarkan di pesantren ini sepenuhnya bersifat
keagamaan yang bersumber dari kitab-kitab berbahasa arab (kitab
kuning) yang ditulis oleh para ulama abad pertengahan. Pesantren model
ini masih banyak dijumpai hingga sekarang seperti pesantren khusus
yang masih dalam tahap penyempurnaan yan didirikan oleh almarhum K.
Basyir AS (semoga Allah merahmati beliau) di sebelah timur gedung
SMA. Atau seperti di pondok pesantren al-Muqri (dhelem tengnga), atau
pondok pesantren bata-bata dan lain-lain.
2. Pesantren yang memasukkan materi-materi umum dalam pengajaran,
namun dengan kurikulum yang disusun sendiri menurut kebutuhan dan
tidak mengikuti kurikulum yang ditetapkan pemerintah secara nasional,
sehingga ijazah yang dikeluarkan tidak mendapatkan pengakuan dari
pemerintah sebagai ijazah formal.
3. Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan umum di dalam baik
berbentuk madrasah (sekolah umum berciri khas Islam di dalam naungan
DEPAG) maupun sekolah (sekolah umum di bawah DEPDIKNAS)
dalam berbagai jenjang bahkan ada yang sampai Perguruan Tinggi yang
11
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Lembaga Studi Islam dan
Kemasyarakatan LKIS, 1999). 142-145.
12
Rahmat, Pondok Pesantren Sebagai lembaga Pendidikan Islam, (online: blog.re.or.id). 27
tidak hanya meliputi fakultas-fakultas keagamaan melainkan juga
fakultas-fakultas umum. Contohnya seperti Pesantren Tebu Ireng di
Jombang Jawa Timur.
4. Pesantren yang merupakan asrama pelajar Islam dimana para santri
belajar di sekolah-sekolah atau perguruan-perguruan tinggi di luarnya.
Pendidikan agama di pesantren model ini diberikan diluar jam-jam
sekolah, sehingga bisa diikuti oleh semua santrinya. Diperkirakan
pesantren model inilah yang terbanyak jumlahnya.13
c. Sistem Pendidikan dan Pengajaran (Kurikulum) Pesantren
Berikut merupakan beberapa metode pembelajaran yang bersifat
tradisional:
1) Sorogan, berasal dari kata sorog (bahasa Jawa), yang berarti
menyodorkan, sebab setiap santri menyodorkan kitabnya di
hadapan Kiai atau pembantunya asisten Kiai. Sistem sorogan ini
termasuk belajar secara individual, dimana seorang santri
berhadapan dengan seorang guru, dan terjadi interaksi saling
mengenal di antara keduanya. Sistem sorogan ini terbukti sangat
efektif sebagai taraf pertama bagi seorang murid yang bercita-cita
menjadi seorang alim. Sistem ini memungkinkan seorang guru
mengawasi,
menilai
dan
membimbing
secara
maksimal
kemampuan seorang murid dalam menguasai bahasa Arab.
2) Weton/bandongan, istilah weton ini berasal dari kata wektu (bhs.
Jawa) yang berarti waktu, sebab pengajian tersebut diberikan pada
waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum dan atau sesudah melakukan
shalat fardlu. Metode weton ini merupakan metode kuliah, dimana
para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kyai
yang menerangkan pelajaran secara kuliah, santri menyimak kitab
masing-masing dan membuat catatan padanya. Istilah weton ini, di
Jawa Barat disebut dengan bandungan, merupakan adalah cara
penyampaian kitab kuning di mana seorang guru, kiai, atau ustadz
13
Rahmat, Pondok Pesantren Sebagai lembaga Pendidikan Islam, (online: blog.re.or.id). 121
membacakan dan menjelaskan isi kitab kuning, sementara santri,
murid, atau siswa mendengarkan, memberi makna, dan menerima.
Dalam metode ini, guru berperan aktif sementara murid bersifat
pasif. Metode bandongan atau wetonan dapat bermanfaat ketika
jumlah murid cukup besar dan waktu yang tersedia relatif sedikit,
sementara materi yang harus disampaikan cukup banyak.
3) Halaqah, sistem ini merupakan kelompok kelas dari sistem
bandongan. Halaqah yang arti bahasanya lingkaran murid, atau
sekelompok siswa yang belajar di bawah bimbingan seorang guru
atau belajar bersama dalam satu tempat. Halaqah ini juga
merupakan diskusi untuk memahami isi kitab, bukan untuk
mempertanyakan kemungkinan benar salahnya apa-apa yang
diajarkan oleh kitab, tetapi untuk memahami apa maksud yang
diajarkan oleh kitab. Bila dipandang dari sudut pengembangan
intelektual, menurut Mahmud Yunus sistem ini hanya bermanfaat
bagi santri yang cerdas, rajin dan mampu serta bersedia
mengorbankan waktu yang besar untuk studi ini, sistem ini juga
hanya dapat menghasilkan 1 persen murid yang pandai dan yang
lainnya hanya sebatas partisipan.
4) Metode Hafalan (Tahfidz). Sebagai sebuah metodologi pengajaran,
maka hafalan pada umumnya diterapkan pada mata pelajaran yang
bersifat nadham (syair), dan itupun pada umumnya terbatas pada
ilmu kaidah bahasa arab, seperti Nadhmal Al-Imrithi, Afiyyah Ibn
Malik, Nadhm Al-Maqsud, Nadhm Jawahir Al-Maknun, dan lain
sebagainya. Dalam metodologi ini, biasanya santri diberi tugas
untuk menghafal beberapa bait atau baris kalimat dari sebuah kitab,
untuk kemudian membacakannya di depan sang Kiai/ Ustadz.
BAB III
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
1. Pengertian Kurikulum
a. Secara etimologis kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yaitu curir yang
berarti pelari, atau curere yang berarti tempat berpacu atau jarak yang harus
ditempuh oleh pelari. Sedangkan dalam bahasa Arab, kurikulum dikenal
dengan kata “manhaj” yang berarti jalan yang terang.
b. Secara istilah pengertian kurikulum sebagaimana pendapat para ahli ialah:
2. Prinsip-prinsip kurikulum. Di dalam kurikulum dikenal yang namanya prinsip
kurikulum secara umum, diantaranya: (1) Prinsip Relevansi atau kesesuaian.
(2) Prinsip Fleksibelitas (lentur). (3) Prinsip Kontinuitas (berkesinambungan).
(4) Prinsip Praktis atau Efisien. (5) Prinsip Efektifitas (pencapaian tujuan).
3. Ciri-ciri khusus kurikulum pendidikan islam kurang lebih ada enam: (1) tujuan
utamanya adalah pembinaan anak didik untuk bertauhid. (2) Kurikulum harus
disesuaikan dengan fitrah manusia, beriman. (3) Kurikulum yang disajikan
merupakan hasil pengujian materi yang berlandaskan kepada al-Quran dan asSunnah. (4) Mengarahkan minat dan bakat peserta didik. (5) Pembinaan akhlak
secara intensif kepada anak didik. (6) Tidak ada kedaluarsa dalam kurikulum
karena ciri has kurikulum pendidikan islam senantiasa relevan
4. System pendidikan (kurikulum) pesantren diantaranya; sorogan, watonan,
halaqah dan metode hafalan.
Sekian
Mohon maaf atas segala kesalahan
Tsumma al-Salamu’alaikum Wr. Wb
DAFTAR PUSTAKA
Arifuddin Arif, S. Ag., M. Pd. I, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam, 2008 (Jakarta:
Kultura)
Drs. Hasan Basri, M. Ag. Drs. Beni Ahmad Saebani, M. Si, ilmu Pendidikan
Islam., (Jilid II), 2010 (Bandung: CV Pustaka Setia)
Novan Ardy Wiyana & Barnawi, Ilmu Pendidikan Islam: Rancang Bangun
Konsep Pendidikan Monokomotik-Holistik, 2012 (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media)
Rahmat, Pondok Pesantren Sebagai lembaga Pendidikan Islam, (online:
blog.re.or.id)
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, 1999 (Jakarta: Lembaga Studi
Islam dan Kemasyarakatan LKIS)
Marwan Saridjo, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, 1982 (Jakarta: Dharma
Bhakti)
Zamkhasyari Dhofier, Tradisi Pesantren, 2002 (Cet. II; Jakarta Mizan)
K.H. Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di
Indonesia, 1979 (Bandung: al-Ma’arif Bandung)
Amin Haedari, dkk. Masa Depan Pesantren : Dalam Tantangan Modernitas Dan
Tantangan Kompleksitas Global. 2004 (Jakarta: IRD Press)
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pendidikan di bumi nusantara pada pra-kemerdekaan benar-benar berada
dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Dimana pemerintah Belanda tidak
membiarkan sedikitpun anak-anak bangsa mendapat pendidikan yang layak dan
seharusnya. Kalaupun toh ada proses pendidikan yang terjadi, bisa dipastikan
bahwa hal tersebut berada di bawah diktean serta pengaruh tangan besi yang
membabi buta dari penjajah kolonial. Hasilnya, bangsa ini dididik untuk
mengabdi sekaligus menjadi budak mereka. Karena yang terpenting bagi mereka
adalah; meraup keuntungan dan kekayaan sebanyak yang mereka bisa dari tanah
air kita tercinta.
Setelah kemerdekaan, masalah pendidikan menjadi semakin kompleks.
Dan tidak hanya bagi Negara Indonesia, bagi Negara diseluruh duniapun—untuk
menjadi Negara yang maju, harus ditopang dengan pendidikan yang maju pula.
Nah, pendidikan yang maju ini baru bisa dicapai jika system (kurikulum)
pendidikannya baik. Jika boleh meminjam perkataan dari salah satu dosen di
INSTIKA, “tanpa kurikulum, pendidikan akan mandek (Syafikurrahman, M. Pd)”.
Disitulah letak mengapa kurikulum begitu urgen dalam proses pendidikan.
Sebagaimana dalam Islam kita diajarkan bahwa iman merupakan dasar.
Begitupun dalam kurikulum dimana ada beberapa hal yang cukup mendasar, dan
beberapa hal tersebut akan kami bahas beserta kurikulum pendidikan Islam,
khususnya di Indonesia pada makalah kami kali ini.
2. Rumusan Pembahasan
A. Apa Pengertian Kurikulum?
B. Bagaimana Prinsip-Prinsip Kurikulum?
C. Apa Saja Ciri-Ciri Khusus Kurikulum Pendidikan Islam?
D. Seperti Apakah Kurikulum Pendidikan Islam di Indonesia?
3. Tujuan Penulisan
A. Supaya Mengetahui Pengertian Kurikulum
B. Supaya Mengetahui Prinsip-Prinsip Kurikulum
C. Supaya Mengetahui Ciri-Ciri Khusus Kurikulum Pendidikan Islam
D. Supaya Mengetahui Kurikulum Pendidikan Islam di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kurikulum
Secara etimologis kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yaitu curir yang
berarti pelari, atau curere yang berarti tempat berpacu atau jarak yang harus
ditempuh oleh pelari. Istilah ini pada mulanya digunakan dalam dunia olahraga
yang disebut juga “a little race course” (suatu jarak yang harus ditempuh dalam
pertandingan olahraga, biasanya berbentuk melingkar). jika pengertian ini kita
kaitkan dengan dunia pendidikan, maka dinamakan “circle of instruction”, yaitu
lingkaran pengajaran dimana guru dan murid terlibat didalamnya.1
Dalam bahasa Arab, kurikulum dikenal dengan kata “manhaj” yang berarti
jalan yang terang, atau jalan terang yang dilalui manusia dalam berbagai bidang
kehidupannya. Sedangkan dalam pendidikan, manhaj atau kurikulum adalah jalan
terang yang dilalui pendidik (guru) dan orang yang di didik (murid), demi
berkembangnya pengetahuan, keterampilan, serta sikap murid tersebut. Jadi,
manhaj dalam pendidikan Islam bisa dikatakan sebagai seperangkat media dan
perencanaan yang dijadikan acuan oleh lembaga pendidikan, dalam mewujudkan
tujuan-tujuan pendidikan.
Sedangkan makna kurikulum secara luas dapat dikelompokkan menjadi
tiga, yaitu; tradisional, modern, dan masa kini.2
1. Pengertian Kurikulum Secara Tradisional
Traditionally, the curriculum has mean the subject taught in school, or the
course of study (kurikulum adalah mata pelajaran yang diajarkan di sekolah
atau bidang studi. Jadi, berdasarkan pada pengertian ini, yang dimaksud
dengan kurikulum adalah semua bidang studi yang diberikan dalam lembaga
pendidikan).
2. Pengertian Kurikulum Secara Modern
1
Arifuddin Arif, S. Ag., M. Pd. I, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam. (Jakarta: Kultura, 2008). 79
Novan Ardy Wiyana & Barnawi, Ilmu Pendidikan Islam: Rancang Bangun Konsep Pendidikan
Monokomotik-Holistik (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012). 167-168
2
The curriculum is looked as being composed of all the actual experience
pupils have under school direction, writing a course of study become but small
part of curriculum (kurikulum adalah semua pengalaman actual yang dimiliki
peserta didik di bawah pengaruh sekolah, sementara bidang studi adalah bagisn
kecil dari program kurikulum secara keseluruhan). Dalam hal ini kurikulum
diartikan sebagai semua pengalaman peserta didik di bawah tanggung jawab
sekolah.
3. Pengertian Kurikulum di Masa Kini
Curriculum is the strategy with we us in adapting this cultural geritage to
purpose of the school (kurikulum adalah strategi yang digunakan untuk
mengadaptasikan kultur dalam mencapai tujuan sekolah).
Para pakar pendidikan mendefinisikan kurikulum sebagai berikut:
Saylor dan Alexander merumuskan kurikulum sebagai the total effort of the
school situations, artinya bahwa kurikulum merupakan keseluruhan usaha yang
dilakukan oleh lembaga untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan
sebelumnya.
Smith mengartikan kurikulum sebagai a sequence of potential experiences of
disciplining children and youth in group ways of thinking and acting. Dengan
definisi ini, kurikulum dipakai sebagai seperangkat usaha atau upaya
pendidikan yang bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan hidup
bermasyarakat.
Harold Rugg mengartikan kuriklum sebagai the entire program of the shool, it
is the essential means of education. It is everything the students and their
teacher do. Artinya kurikulum adalah program sekolah yang di dalamnya
terdapat semua anak didik dan pekerjaan guru-guru mereka.3
B. Prinsip-Prinsip Kurikulum
Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Bapak Syafikurrahman (dosen
pengantar kurikulum di INSTIKA), tentang prinsip dan landasan kurikulum
beberapa pekan yang lalu. Disebutkan bahwa dalam kurikulum terdapat dua
3
Drs. Hasan Basri, M. Ag. Drs. Beni Ahmad Saebani, M. Si., ilmu Pendidikan Islam (Jilid II),
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2010). 176-177
prinsip yakni prinsip umum dan prinsip khusus. Namun, pada kali ini kami hanya
akan memfokuskan pada prinsip umum kurikulum.
Prinsip umum kurikulum itu ada lima yakni:
1. Prinsip Relevansi (kesesuaian)
Kurikulum harus relevan, dalam hal ini terdapat dua relevansi. Relevansi
keluar (eksternal) dan relevansi di dalam kurikulum itu sendiri (internal).
Relevansi keluar artinya tujuan, isi, dan proses belajar yang tercakup dalam
kurikulum hendaknya relevan atau sesuai dengan tuntutan, kebutuhan, dan
perkembangan masyarakat. Relevansi ke dalam artinya ada kesesuaian atau
konsistensi antara komponen-komponen kurikulum (yakni antara tujuan, isi,
proses dan evaluasi). Relevansi ke dalam ini menunjukkan suatu keterpaduan
kurikulum.
2. Prinsip Fleksibelitas (lentur)
Kurikulum hendaknya memiliki sifat lentur atau fleksibel. Artinya dalam
hal ini kurikulum hendaknya berisi hal-hal yang solid, tapi dalam
pelaksanaanya
memungkinkan
terjadinya
penyesuaian-penyesuaian
berdasarkan kondisi daerah, waktu maupun kemampuan dan latar belakang
anak.
3. Prinsip Kontinuitas (berkesinambungan)
Perkembangan
dan
proses
belajar
anak
berlangsung
scara
berkesinambungan. Oleh karena itu, pengalaman-pengalaman yang disediakan
kurikulum juga hendaknya berkesinambungan antara satu tingkat kelas dan
kelas lainnya, antara satu jenjang pendidikan dengan jenjang pendidikan
lainnya. Juga antara jenjang pendidikan dan pekerjaan
4. Prinsip Praktis atau Efisien
Kurikulum hendaknya mudah dilakasanakan menggunakan alat yang
sederhana, dan biayanya juga murah. Betapapun bagus dan idealnya suatu
kurikulum kalau menuntut keahlian-keahlian dan peralatan yang sangat khusus
dan mahal harganya, kurikulum tersebut tidak praktis dan sukar dilaksanakan.
Kurikulum
dan
pendidikan
selalu
dilaksanakan
dalam
keterbatasan-
keterbatasan, baik keterbatasan waktu, biaya, alat maupun personalia.
Kurikulum bukan hanya harus ideal, tetapi juga praktis.
5. Prinsip Efektifitas (pencapaian tujuan)
Walaupun
kurikulum
tersebut
harus
murah
dan
sederhana,
keberhasilannya tetap harus diperhatikan. Artinya, kurikulum harus mencapai
tujuan yang diinginkan. Baik seara kuantitas maupun kualitas. Tidak cuma itu,
kurikulum harus bisa efektif tidak hanya pada peserta didik, tetapi juga hrus
bisa efektif terhadap pendidik.
Jika pada penjelasan di atas merupakan prinsip kurikulum secara umum,
maka dalam kurikulum pendidikan Islam setidaknya ada tujuh prinsip yang harus
dianut:
a. Pertautan yang sempurna dengan agama, termasuk ajaran dan nilainya.
Artinya; segala yang berkaitan dengan kurikulum termasuk falsafah, tujuan,
kandungan metode mengajar dan cara-cara perlakuan serta hubungan yang
berlaku dalam lembaga pendidikan harus berdasarkan agama Islam.
b. Prinsip menyeluruh (universal) pada tujuan dan kandungan kurikulum.
Misalkan dalam kurikulum tujuannya harus meliputi semua aspek pribadi
pelajar, maka kandungannya pun haurs meliputi semua yang berguna untuk
membina pribadi anak didik yang berpadu dengan pembinaan akidah, akal,
dan jasmaninya.4
c. Keseimbangan yang relatif antara tujuan dan kandungan kurikulum. Misal,
kalau perhatian pada aspek spiritual dan ilmu syariat lebih besar, maka
aspek spiritual tidak boleh melebihi aspek penting yang lain dalam
kehidupan, dan juga tidak boleh melampaui ilmu, seni, dan kegiatan yang
harus diadakan untuk individu masyarakat.
d. Berkaitan dengan bakat dan minat, kemampuan, kebutuhan pelajar, begitu
pula dengan alam sekitar fisik dan sosial tempat pelajar itu hidup dan
berinteraksi untuk memperoleh pengetahuan, kemahiran, pengalaman yang
merubah sikapnya. Mengingat, dengan memelihara prinsip ini, kurikulum
4
Drs. Hasan Basri, M. Ag. Drs. Beni Ahmad Saebani, M. Si., ilmu Pendidikan Islam (Jilid II),
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2010). 178-179
akan lebih sesuai dengan semua anak didik. Juga lebih memenuhi
kebutuhannya serta lebih sejalan dengan suasana alam sekitar dan
kebutuhan masyarakat.
e. Prinsip perkembangan dan perubahan Islam yang menjadi sumber
pengambilan falsafah, prinsip, dan dasar kurikulum. Dimana metode
mengejar pendidkan islam mencela sifat membeo (taqlid) secara membabi
buta ataupun bertahan serta mengikuti ajaran yang diwariskan tampa
melakukan reserve. Islam mengalahkan perkembangan dan perubahan yang
berlaku dalam kehidupan.
f. Pertautan antara mata pelajaran dan aktiva (pengalaman aktivitas) yang
terkandung dalam kurikulum. Begitu juga dengan pertautan antara
kandungan kurikulum dan kebutuhan
murid, kebutuhan masyarakat,
tuntutan zaman tempat pelajar berada, serta perkembangan yang logis yang
sesuai dengan kebutuhan, bakat, dan minat murid.
Pada dasarnya prinsip-prinsip kurikulum pendidikan islam diarahkan
sepenuhnya terhadap tujuan ajaran islam. Oleh karena itu, semua komponen
kurikulum harus berbasis kepada sumber ajaran islam, yakni al-Quran dan asSunnah, baik secara lansung maupun tidak langsung.
C. Ciri-Ciri Khusus Kurikulum Pendidikan Islam
Dari refrensi yang kami dapat, setidaknya ada enam ciri-ciri khusus dalam
kurikulum pendidikan Islam:
1. Dalam kurikulum pendidikan Islam, tujuan utamanya adalah pembinaan anak
didik untuk bertauhid. Oleh karena itu, semua sumber yang dirunut berasal dari
ajaran Islam;
2. Kurikulum harus disesuaikan dengan fitrah manusia, yakni sebagai makhluk
yang memiliki keyakinan pada Tuhan (makhluk yang beriman);
3. Kurikulum
yang
disajikan
merupakan
hasil
pengujian
materi
yang
berlandaskan kepada al-Quran dan as-Sunnah.
4. Mengarahkan minat dan bakat serta meningkatkan kemampuan ‘aqliyah anak
didik serta keterampilan yang akan diterapkan dalam kehidupan konkrit.
5. Pembinaan akhlak anak didik, sehingga pergaulannya tidak keluar dari
tuntunan islam.
6. Tidak ada kedaluarsa dalam kurikulum karena ciri has kurikulum pendidikan
islam senantiasa relevan dengan pengembangan zaman bahkan menjadi filter
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam penerapannya didalam
kehidupan masyarakat.5
Menurut al-Syaibaniy, diantara ciri-ciri kurikulum pendidikan islam itu
adalah:
1. Mementingkan tujuan agama dan akhlak dalam berbagai hal seperti tujuan dan
kandungan, kaedah, alat dan tekniknya.
2. Meluaskan
perhatian
dan
kandungan
hingga
mencakup
perhatian,
pengembangan serta bimbingan terhadap segala aspek peribadi pelajar dari segi
intelektual, psikologi, social, dan spiritual. Begitu juga cakupan kandungannya
termasuk bidang ilmu, tugas dan kegiatan yang bermacam-macam.
3. Menekankan konsep menyeluruh dan keseimbangan pada teoritis, baik yang
bersifat aqli maupun naqli, tetapi juga meliputi seni, aktifitas pendidkan
jasmani, teknik, keterampilan, kemampuan, keperluan dan perbedaan individu
antara siswa. Disamping itu, juga keterkaitannya dengan alam sekitar budaya
dan social dimana kurikulum itu dilaksanakan.
D. Kurikulum Pendidikan Islam di Indonesia
Jika kita membahas tentang kurikulum pendidikan Islam di Indonesia,
maka hal pertama yang harus kita tahu bahwa ada bebarapa macam pendidikan
Islam di Indonesia, salah satunya yang akan kami bahas berikut ini:
Pondok Pesantren
pondok pesantren merupakan ‘bapak’ pendidikan Islam yang ada di
Indonesia. Hal ini dapat terlihat dari perjalanan sejarah, dimana sejak kurun
waktu kerajaan Islam pertama di Aceh pada abad-abad awal Hijriyah,
kemudian di zaman Wali Songo sampai permulaan abad 20. Banyak para wali
5
Drs. Hasan Basri, M. Ag. Drs. Beni Ahmad Saebani, M. Si., ilmu Pendidikan Islam (Jilid II),
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2010). 182
dan ulama yang menjadi cikal-bakal munculnya desa baru, termasuk
pesantren.6
Pesantren menurut pengertian dasarnya adalah “tempat belajar para
santri”, sedangkan pondok berarti “rumah atau tempat tinggal sederhana yang
terbuat dari bambu”. Di samping itu, “pondok” bisa juga dikatakan berasal dari
bahasa Arab “fanduk” yang berarti “hotel atau asrama”.7
Lembaga pendidikan pesantren telah berkembang khususnya di tanah Jawa
selama berabad-abad. Dimana Syekh Maulana Malik Ibrahim (meninggal 1419
M/ 882 H di Gresik, Jawa Timur) biasa dikenal juga sebagai Sunan Gresik
yang merupakan spiritual father Walisongo. Dalam masyarakat santri Jawa
beliau dipandang sebagai gurunya guru tradisi pesantren di tanah Jawa. 8 Dan
hal ini sesuai dengan pernyataan Alwi Syihab yang menegaskan bahwa Syaikh
Maulana Malik Ibrahim merupakan orang pertama yang membangun pesantren
sebagai tempat mendidik dan menggembleng santri. Tujuannya agar para santri
menjadi juru dakwah yang mahir, sebelum mereka diterjunkan langsung di
masyarakat luas.9
a. Komponen-Komponen Pesantren
Secara umum pesantren memiliki komponen-komponen, diantaranya;
kiai, santri, masjid atau surau, pondok dan kitab kuning. Berikut adalah
pengertian dari masing-masing komponen tersebut:
1. Kiai
Adanya kiai dalam pesantren merupakan hal yang mutlak bagi
sebuah pesantren, sebab dia adalah tokoh sentral yang memberikan
pengajaran, karena kiai menjadi salah satu unsur yang paling dominan
dalam kehidupan suatu pesantren. Kemasyhuran, perkembangan dan
kelangsungan kehidupan suatu pesantren banyak bergantung pada
6
Marwan Saridjo, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia (Jakarta: Dharma Bhakti, 1982). 7
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Lembaga Studi Islam dan
Kemasyarakatan LKIS, 1999). 138
8
K.H. Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia (Bandung:
al-Ma’arif Bandung, 1979). 263.
9
Amin Haedari, dkk. Masa Depan Pesantren : Dalam Tantangan Modernitas Dan Tantangan
Kompleksitas Global. (Jakarta: IRD Press, 2004). 6-7
7
keahlian dan kedalaman ilmu, kharismatik, wibawa dan ketrampilan
kiai yang bersangkutan dalam mengelola pesantrennya. Gelar kiai
biasanya diberikan oleh masyarakat kepada orang yang mempunyai
ilmu pengetahuan mendalam tentang agama Islam dan memiliki serta
memimpin pondok pesantren, serta mengajarkan kitab-kitab klasik
kepada para santri.
2. Santri
Santri merupakan unsur pokok dari suatu pesantren, tentang
santri ini biasanya terdiri dari dua kelompok :
a)
Santri mukim; ialah santri yang berasal dari daerah jauh atau
daerah yang dekat dan menetap dalam pondok pesantren.
b)
Santri kalong; ialah santri-santri yang berasal dari daerah-daerah
sekitar pesantren dan biasanya mereka tidak menetap dalam
pesantren. Mereka pulang ke rumah masing-masing setiap selesai
mengikuti suatu pelajaran di pesantren.
3. Masjid atau surau
Dalam konteks ini, masjid atau surau adalah sebagai pusat
kegiatan ibadah dan belajar mengajar. Masjid atau surau yang
merupakan unsur pokok kedua dari pesantren, disamping berfungsi
sebagai tempat melakukan shalat berjamaah setiap waktu shalat, juga
berfungsi sebagai tempat belajar mengajar. Biasanya waktu belajar
mengajar berkaitan dengan waktu shalat berjamaah, baik sebelum
maupun sesudahnya.
Dalam perkembangannya, sesuai dengan perkembangan jumlah
santri dan tingkatan pelajaran, dibangun tempat atau ruangan-ruangan
khusus untuk halaqah-halaqah. Perkembangan terakhir menunjukkan
adanya ruangan-ruangan yang berupa kelas-kelas sebagaimana yang
terdapat pada madrasah-madrasah. Namun demikian, masjid atau surau
masih tetap digunakan sebagai tempat belajar mengajar. Pada sebagian
pesantren masjid atau surau juga berfungsi sebagai tempat i’tikaf dan
melaksanakan latihan-latihan serta dzikir, maupun amalan-amalan
lainnya dalam kehidupan tarekat dan sufi.10
4. Pondok
Merupakan tempat tinggal kiai bersama para santrinya. Adanya
pondok sebagai tempat tinggal bersama antara kiai dengan para
santrinya dan bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan hidup seharihari, merupakan pembeda dengan lembaga pendidikan lainnya.
Pesantren juga menampung santri-santri yang berasal dari daerah yang
jauh untuk bermukim. Pada awalnya pondok tersebut bukan sematamata dimaksudkan sebagai tempat tinggal atau asrama para santri, atau
untuk mengikuti dengan baik pelajaran yang diberikan oleh kiai, tetapi
juga sebagai tempat latihan bagi santri yang bersangkutan agar mampu
hidup mandiri dalam masyarakat.
Para santri dibawah bimbingan kiai bekerja untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari dalam situasi kekeluargaan dan bergotong
royong sesama warga pesantren. Perkembangan selanjutnya, pada masa
sekarang pondok tampaknya lebih menonjol fungsinya sebagai tempat
pemondokan atau asrama, dimana tempat tinggal kiai tidak satu atap
lagi dengan santri. Rumah kiai sudah dikelilingi oleh tembok-tembok
tinggi. Dan setiap santri wajib membayar sewa atau iuran untuk
pemeliharaan pondok tersebut dan lain-lain.
5. Kitab-kitab Islam klasik
Unsur pokok lain yang cukup membedakan pesantren dengan
lembaga lainnya adalah bahwa pada pesantren diajarkan kitab-kitab
Islam klasik atau yang dikenal dengan sebutan kitab kuning, yang
dikarang oleh para ulama terdahulu, mengenai berbagai macam ilmu
pengetahuan agama Islam dan bahasa Arab. Pelajaran dimulai dengan
kitab-kitab yang sederhana, kemudian dilanjutkan dengan kitab-kitab
tentang berbagai ilmu yang mendalam. Tingkatan suatu pesantren dan
10
Zamkhasyari Dhofier, Tradisi Pesantren (Cet. II; Jakarta Mizan, 2002). 136
pengajarannya, biasanya diketahui dari jenis-jenis kitab-kitab yang
diajarkan.11
b. Tipologi Pondok Pesantren
Seiring dengan laju perkembangan masyarakat, maka pendidikan
pesantren baik tempat, bentuk hingga substansi telah jauh mengalami
perubahan. Pesantren tidak lagi sesederhana seperti apa yang digambarkan
seseorang. Akan tetapi pesantren dapat mengalami perubahan sesuai dengan
pertumbuhan dan perkembangan zaman.
menurut Mas’ud dkk,12
ada beberapa tipologi atau model pondok
pesantren yaitu:
1. Pesantren yang mempertahankan kemurnian identitas asli sebagai tempat
mendalami ilmu-ilmu agama (tafaqquh fi-al-din) bagi para santrinya.
Semua materi yang diajarkan di pesantren ini sepenuhnya bersifat
keagamaan yang bersumber dari kitab-kitab berbahasa arab (kitab
kuning) yang ditulis oleh para ulama abad pertengahan. Pesantren model
ini masih banyak dijumpai hingga sekarang seperti pesantren khusus
yang masih dalam tahap penyempurnaan yan didirikan oleh almarhum K.
Basyir AS (semoga Allah merahmati beliau) di sebelah timur gedung
SMA. Atau seperti di pondok pesantren al-Muqri (dhelem tengnga), atau
pondok pesantren bata-bata dan lain-lain.
2. Pesantren yang memasukkan materi-materi umum dalam pengajaran,
namun dengan kurikulum yang disusun sendiri menurut kebutuhan dan
tidak mengikuti kurikulum yang ditetapkan pemerintah secara nasional,
sehingga ijazah yang dikeluarkan tidak mendapatkan pengakuan dari
pemerintah sebagai ijazah formal.
3. Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan umum di dalam baik
berbentuk madrasah (sekolah umum berciri khas Islam di dalam naungan
DEPAG) maupun sekolah (sekolah umum di bawah DEPDIKNAS)
dalam berbagai jenjang bahkan ada yang sampai Perguruan Tinggi yang
11
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Lembaga Studi Islam dan
Kemasyarakatan LKIS, 1999). 142-145.
12
Rahmat, Pondok Pesantren Sebagai lembaga Pendidikan Islam, (online: blog.re.or.id). 27
tidak hanya meliputi fakultas-fakultas keagamaan melainkan juga
fakultas-fakultas umum. Contohnya seperti Pesantren Tebu Ireng di
Jombang Jawa Timur.
4. Pesantren yang merupakan asrama pelajar Islam dimana para santri
belajar di sekolah-sekolah atau perguruan-perguruan tinggi di luarnya.
Pendidikan agama di pesantren model ini diberikan diluar jam-jam
sekolah, sehingga bisa diikuti oleh semua santrinya. Diperkirakan
pesantren model inilah yang terbanyak jumlahnya.13
c. Sistem Pendidikan dan Pengajaran (Kurikulum) Pesantren
Berikut merupakan beberapa metode pembelajaran yang bersifat
tradisional:
1) Sorogan, berasal dari kata sorog (bahasa Jawa), yang berarti
menyodorkan, sebab setiap santri menyodorkan kitabnya di
hadapan Kiai atau pembantunya asisten Kiai. Sistem sorogan ini
termasuk belajar secara individual, dimana seorang santri
berhadapan dengan seorang guru, dan terjadi interaksi saling
mengenal di antara keduanya. Sistem sorogan ini terbukti sangat
efektif sebagai taraf pertama bagi seorang murid yang bercita-cita
menjadi seorang alim. Sistem ini memungkinkan seorang guru
mengawasi,
menilai
dan
membimbing
secara
maksimal
kemampuan seorang murid dalam menguasai bahasa Arab.
2) Weton/bandongan, istilah weton ini berasal dari kata wektu (bhs.
Jawa) yang berarti waktu, sebab pengajian tersebut diberikan pada
waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum dan atau sesudah melakukan
shalat fardlu. Metode weton ini merupakan metode kuliah, dimana
para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kyai
yang menerangkan pelajaran secara kuliah, santri menyimak kitab
masing-masing dan membuat catatan padanya. Istilah weton ini, di
Jawa Barat disebut dengan bandungan, merupakan adalah cara
penyampaian kitab kuning di mana seorang guru, kiai, atau ustadz
13
Rahmat, Pondok Pesantren Sebagai lembaga Pendidikan Islam, (online: blog.re.or.id). 121
membacakan dan menjelaskan isi kitab kuning, sementara santri,
murid, atau siswa mendengarkan, memberi makna, dan menerima.
Dalam metode ini, guru berperan aktif sementara murid bersifat
pasif. Metode bandongan atau wetonan dapat bermanfaat ketika
jumlah murid cukup besar dan waktu yang tersedia relatif sedikit,
sementara materi yang harus disampaikan cukup banyak.
3) Halaqah, sistem ini merupakan kelompok kelas dari sistem
bandongan. Halaqah yang arti bahasanya lingkaran murid, atau
sekelompok siswa yang belajar di bawah bimbingan seorang guru
atau belajar bersama dalam satu tempat. Halaqah ini juga
merupakan diskusi untuk memahami isi kitab, bukan untuk
mempertanyakan kemungkinan benar salahnya apa-apa yang
diajarkan oleh kitab, tetapi untuk memahami apa maksud yang
diajarkan oleh kitab. Bila dipandang dari sudut pengembangan
intelektual, menurut Mahmud Yunus sistem ini hanya bermanfaat
bagi santri yang cerdas, rajin dan mampu serta bersedia
mengorbankan waktu yang besar untuk studi ini, sistem ini juga
hanya dapat menghasilkan 1 persen murid yang pandai dan yang
lainnya hanya sebatas partisipan.
4) Metode Hafalan (Tahfidz). Sebagai sebuah metodologi pengajaran,
maka hafalan pada umumnya diterapkan pada mata pelajaran yang
bersifat nadham (syair), dan itupun pada umumnya terbatas pada
ilmu kaidah bahasa arab, seperti Nadhmal Al-Imrithi, Afiyyah Ibn
Malik, Nadhm Al-Maqsud, Nadhm Jawahir Al-Maknun, dan lain
sebagainya. Dalam metodologi ini, biasanya santri diberi tugas
untuk menghafal beberapa bait atau baris kalimat dari sebuah kitab,
untuk kemudian membacakannya di depan sang Kiai/ Ustadz.
BAB III
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
1. Pengertian Kurikulum
a. Secara etimologis kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yaitu curir yang
berarti pelari, atau curere yang berarti tempat berpacu atau jarak yang harus
ditempuh oleh pelari. Sedangkan dalam bahasa Arab, kurikulum dikenal
dengan kata “manhaj” yang berarti jalan yang terang.
b. Secara istilah pengertian kurikulum sebagaimana pendapat para ahli ialah:
2. Prinsip-prinsip kurikulum. Di dalam kurikulum dikenal yang namanya prinsip
kurikulum secara umum, diantaranya: (1) Prinsip Relevansi atau kesesuaian.
(2) Prinsip Fleksibelitas (lentur). (3) Prinsip Kontinuitas (berkesinambungan).
(4) Prinsip Praktis atau Efisien. (5) Prinsip Efektifitas (pencapaian tujuan).
3. Ciri-ciri khusus kurikulum pendidikan islam kurang lebih ada enam: (1) tujuan
utamanya adalah pembinaan anak didik untuk bertauhid. (2) Kurikulum harus
disesuaikan dengan fitrah manusia, beriman. (3) Kurikulum yang disajikan
merupakan hasil pengujian materi yang berlandaskan kepada al-Quran dan asSunnah. (4) Mengarahkan minat dan bakat peserta didik. (5) Pembinaan akhlak
secara intensif kepada anak didik. (6) Tidak ada kedaluarsa dalam kurikulum
karena ciri has kurikulum pendidikan islam senantiasa relevan
4. System pendidikan (kurikulum) pesantren diantaranya; sorogan, watonan,
halaqah dan metode hafalan.
Sekian
Mohon maaf atas segala kesalahan
Tsumma al-Salamu’alaikum Wr. Wb
DAFTAR PUSTAKA
Arifuddin Arif, S. Ag., M. Pd. I, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam, 2008 (Jakarta:
Kultura)
Drs. Hasan Basri, M. Ag. Drs. Beni Ahmad Saebani, M. Si, ilmu Pendidikan
Islam., (Jilid II), 2010 (Bandung: CV Pustaka Setia)
Novan Ardy Wiyana & Barnawi, Ilmu Pendidikan Islam: Rancang Bangun
Konsep Pendidikan Monokomotik-Holistik, 2012 (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media)
Rahmat, Pondok Pesantren Sebagai lembaga Pendidikan Islam, (online:
blog.re.or.id)
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, 1999 (Jakarta: Lembaga Studi
Islam dan Kemasyarakatan LKIS)
Marwan Saridjo, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, 1982 (Jakarta: Dharma
Bhakti)
Zamkhasyari Dhofier, Tradisi Pesantren, 2002 (Cet. II; Jakarta Mizan)
K.H. Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di
Indonesia, 1979 (Bandung: al-Ma’arif Bandung)
Amin Haedari, dkk. Masa Depan Pesantren : Dalam Tantangan Modernitas Dan
Tantangan Kompleksitas Global. 2004 (Jakarta: IRD Press)