Jalan Panjang Perwujudan Ketahanan Nasio

Jalan Panjang Perwujudan Ketahanan Nasional dalam Persfektif
Penguasaan Ruang1
Siapa menguasai tanah maka ia menguasai makanan (Ahmad Tauchid, 1952)

Situasi Politik Ruang di Indonesia -- Kekuasaan Corporasi atas
Negara;
Era Globalisasi dan Industrialisasi di Indonesia dalam sedikitnya 3 dekade
menjadi hal yang patut untuk kita telaah sebagai bagian dari unsur penentu
dan mempengaruhi kebijakan hukum nasional juga di daerah-daerah sebagai
implikasi keputusan pemerintahan Indonesia sejak era Orde Baru dibawah
Presiden Soeharto hingga sekarang. Industrialisasi ditempatkan sebagai
prioritas pembangunan nasional, sebagaimana dalam GBHN, TAP MPR No.
II/MPR/1998, angka IV. A. 4.a merumuskan :
“kondisi pembangunan industry dianggap telah dapat memperkukuh struktur
perekonomian nasional dengan berkembangnya keterkaitan antar sector,
meningkatnya daya tahan perekonomian nasional, serta mendorong kegiatan
berbagai sector industry nasional lainnya….”
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dalam dokumen Masterplan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011 – 2025 menyebutkan:
“Sebagai negara yang berada di tengah-tengah persaingan global yang
semakin ketat, kedudukan Indonesia yang semakin diperhitungkan belum

mendudukkan Indonesia sebagaimana seharusnya. Di sisi lain, tantangan kita
ke depan juga semakin berat. Keberadaan Indonesia di pusat baru gravitasi
ekonomi global, yaitu kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara, mengharuskan
Indonesia mempersiapkan diri lebih baik lagi untuk mempercepat terwujudnya
suatu negara maju dengan hasil pembangunan dan kesejahteraan yang dapat
dinikmati secara merata oleh seluruh masyarakat… Indonesia mampu
mempercepat pengembangan berbagai program pembangunan yang ada,
terutama dalam mendorong peningkatan nilai tambah sektor-sektor unggulan
ekonomi, pembangunan infrastruktur dan energi, serta pembangunan SDM dan
Iptek. Percepatan pembangunan ini diharapkan akan mendongkrak
pertumbuhan ekonomi Indonesia kedepannya”.

Chalid Muhammad mengungkapkan;2









1

40 Orang Indonesia terkaya menurut versi majalah Forbes memiliki asset
sebesar 71 miliyar US$ atau setara dengan Rp. 639.000.000.000.000. Sebagian
besar dari merea adalah pengusaha yang berhubungan dengan sumber daya
alam seperti pengusaha Perkebunan Kelapa Sawit, Pertambangan, HPH dan HTI
serta pelaku Industri yang berhubungan dengan pengelolaan sumber daya
alam
Joyo Winoto (Kepala Badan Pertanahan Nasional) menyatakan, 56% asset yang
ada di tanah air baik berupa properti, tanah, dan perkebunan dikuasai hanya
oleh 0,2 % penduduk Indonesia.
Pengusaan segelintir orang atas sumber-sumber agraria makin nyata jika
dilihat berdasarkan sektor pembangunan. Pemerintah telah memberikan 42
juta hektar hutan pada 301 perusahaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan 262
unit perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) (Kemnhut 06/09)
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyebutkan 35% daratan Indonesia
diizinkan untuk dibongkar oleh industri pertambangan.
Sawit Wacth menyatakan hingga Juni 2010 pemerintah telah memberikan 9,4
juta hektar tanah dan akan mencapai 26,7 juta hektar tahun 2020 kepada 30

group yang mengontrol 600 perusahaan. Luasan itu setara dengan tanah yang
dikuasai oleh 26,7 Juta petani miskin, jika setiap petani memiliki tanah seluas 1

Oleh Rustandi Adriansyah, disampaikan pada Seminar “Ketahanan Nasional Dalam
Perspektif Pertanahan”, Lembar 2012
2
Chalid Muhammad “Korporasi dan Penguasaan Ruang di Indonesia”, 2011

hektar. Padahal masih banyak petani kita yang tidak memiliki tanah atau
menguasai tanah dibawah 0,5 hektar

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia mencatat baru separuh atau sekitar 4302
kasus agrarian yang di selesaikan dari total 8307 kasus konfik agrarian terjadi
sepanjang tahun 2011.3
Tabel 1. Negara Tujuan Investasi Teratas, Investor dan Nilai Investasi
(Kajian Bank Dunia tahun 2010)4

Tabel 2. Lansekap Politik Institusi Pemerintah dalam Penataan Ruang
di Indonesia5
Kepentingan


Institusi

UU/PP

K KehuTanan

UU 41/1999 Pelestarian Hutan
PP 10/2010

Kemen PU

UU 26/2007 Koordinasi PenataanKemudahan
pengembangan
PP 26/2008 Ruang
infrastrukutur jalan (tol)
PP 15/2010

BPN


UU 5/1960
PP 11/2010

Bappenas

UU 25/2004 Koordinasi
SistSuperioritas
kebijakan
sistem
Perenc Nasional
perencanaan nasional, termasuk yg
berdimensi spasial

Objektif/Umum

Reforma Agraria

Subjektif
Kewenangan
Kaw Hutan


eksklusif

pengelolaan

Mempertahankan
Kewenangan
terpusat hak guna tanah

3

Walhi Public Hearing “Memperkuat Aspirasi Masyarakat Melalui Dengar Pendapat dengan DPR
(22/06/2012)”, http://news.detik.com/read/2012/06/22/140345/1948256/10/,
4

Dikutip dari artikel makalah “Gelombang Akuisisi Tanah Untuk Pangan: Wajah
Imperialisme Baru“ Laksmi Andriani Savitri, Sayogyo Institute, 2011
5
Lansekap Politik Ruang di Indonesia, Center for regional Systems Analysis, Planning
and Development (CRESTPENT), Bogor Agricultural University (IPB), 2011


PEMDA

UU 32/2004 Pembangunan
Daerah

- Otonomi lebih luas tata kelola SDA
daerah –
- Meningkatkan PAD

KLH

UU 32/2009 Pembangunan
Berwawasan
Lingkungan

Kewenangan
perencanaan
&
pengendalian yang lebih luas dalam

pengel SDA, Lingkungan & wilayah

K PertaNian

UU 41/2009 Ketahanan Pangan - Mencegah alih fungsi lahan sawah
perlindungan usaha agribisnis
(perkebunan)

K ESDM

UU 22/2001 Pembangunan
- Akses penambangan di kaw lindung
UU 4/2009
Energi & SD devisa- Hak eksklusif kaw tambang
Nasional

Disinkronisasi Kebijakan SDA, disebabkan a.l :
1. Ketidak sesuaian antara landasan hukum dan konsideran; yaitu
landasan yang menjadi pokok pikiran ditetapkannya sebuah produk
kebijakan/peraturan perundang – undangan yang memuat unsur

filosofis, yuridis dan sosiologis dengan isi pasal – pasal dalam produk
kebijakan tersebut.
Mengenai disinkronisasi konsideran “menimbang” dalam peraturan
perundang-undangan dengan pasal – pasal yang dimuat dalam undang
undang tersebut dapat ditemukan misalnya pada UU No 22 Tahun 2011
tentang Minyak dan Gas Bumi, UU No 7 Tahun 2004 tentang Sumber
Daya Air, UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No 4 Tahun
2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, UU No 18 Tahun
2004 tentang Perkebunan, UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang, UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya, UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal, UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk
Pembangunan Bagi Kepentingan Umum.
Kesemua Undang Undang Sektoral tersebut secara tekstual dengan
jelas atau dengan kata lain secara eksplisit menyatakan pada point
Mengingat berlandaskan pada Pancasila dan Undang Undang Dasar
1945, secara khusus yaitu Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UndangUndang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan
Kedua Undang-Undang Dasar 1945. Guru besar Hukum Universitas
Gadjah Mada (UGM) Maria SW Sumardjono mengemukakan :
”Hampir semua UU mengacu pada Pasal 33 UUD, tetapi orientasinya

saling berbeda. Kesimpulan di atas diambil setelah dilakukan kajian
dengan melihat tujuh aspek tolok ukur (indikator) yang digunakan tim
pengkaji, yakni orientasi, akses memanfaatkan, hubungan negara
dengan obyek, pelaksana kewenangan negara, hubungan orang
dengan obyek, hak asasi manusia, dan tata pemerintahan yang baik
(good governance).6
2.

6

Tumpang tindih antar Undang Undang. Ketidak sinkronan antar undang
– undang disebabkan antara lain oleh :

Kompas, 24 Maret 2009, di kutip dari laman
http://rencanatataruangriau.blogspot.com/2009/03/pengelolaan-sumber-dayaalam.html, pada tanggal 12 November jam 03.00 WIB

a) egoisme sektoral. Masing masing sector (di lembaga pemerintahan -pen) merasa paling yang berkompeten mengatur tentang sumber
daya alam.7 Akibat lebih jauh dari egoism sektoral tersebut maka
terjadilah tumpang tindih antara penguasaan dan pemanfaatan
sumber daya alam dan koordinasi yang timpang antar pusat dan

daerah serta antar sektor8
b) Kontradiksi undang undang sektoral akibat tidak diakuinya dan
diselewengkannya Undang Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok
Agraria (UUPA) sebagai payung atau dasar bagi hukum yang
mengatur tentang penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan
sumber sumber agrarian atau sumber daya alam.
“Tergesernya status UU PA yang bukan lagi sebagai peraturan dasar
juga berpengaruh positif terhadap melemahnya fungsi UU PA. Sebab, sejak
kelahirannya,
UU
PA
merupakan
an
umbrella
act,
bertugas
mengoordinasikan UU sektoral lainnya. Tergusurnya MHA dan hak-hak
ulayat petani yang semestinya memperoleh perlindungan, justru telah
terabaikan. Melemahnya fungsi UU PA juga berkaitan dengan reformasi
hukum di bidang legislasi. UU Nomor 12 Tahun 2011 (perubahan dari UU No
10 Tahun 2004) tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
tidak lagi mengakui status UU PA sebagai peraturan dasar. Semua
peraturan perundang-undangan pada hakikatnya sama.”9

3. Disinkronisasi akibat adanya factor politik; paradigma industrialisasi dan
modernisasi sebagai model penerapan pembangunan menempatkan
peran otoritas Negara sebagai “jalan” bagi legitimasi penguasaan pihak
swasta (private) atas kekayaan sumber daya alam.
“Tantangan Globalisasi; arus besar globalisasi ekonomi menyebabkan
kekuasaan pemerintah nasional hingga seolah menjadi “takluk” pada
kekuatan mengatur dari lembaga lembaga internasional seperti WTO, IMF
dan Bank Dunia. Tekanan tersebut secara serentak berupa tuntutan
desentralisasi, gerakan privatisasi, yang sumbernya sama; kekuatan
internasional yang menghendaki pasar bebas”10

Disinkronisasi dari ketiga hal pokok diatas telah menyebabkan munculnya
rangkaian problem dalam pengelolaan sumber sumber agrarian atau sumber
daya alam di Indonesia. Gunawan Wiradi 11 mengidentifikasi fakta empat
bentuk ketidakserasian atau ketimpangan agrarian , yaitu :
1. Ketimpangan dalam hal penguasaan sumber – sumber agraria.
2. Ketidakserasian dalam hal “peruntukan” sumber-sumber agraria, khususnya
tanah
3. Ketidakserasian antara persepsi dan konsepsi mengenai agraria;
4. Ketidakserasian antara berbagai produk hukum, sebagai akibat dari
pragmatism dan kebijakan sektoral.

Tabel 3 : Kilas Fakta Konfik SDA Sumsel12
No

Bentuk Kelola (Investasi)
geofisik
(T)

7

(PK)

Konfik
Social
(TK

(KH)

politi
k
(Kr)

Prof. Dr. Maria SW Sumardjono, SH.MCL.MPA “Tanah dalam Persfektif Ekonomi Sosial
dan Budaya”, Kompas Media Nusantara, 2009, hal. 90
8
ibid
9
Prof. Jawahir Thontowi “Urgensi Perubahan UU Pokok Pokok Agraria”, Koran Tempo,
12 Februari 2012
10
Gunawan Wiradi, “Seluk Beluk Masalah Agraria – Reforma Agraria & Penelitian
Agraria”, STPN Press&Sains, 2009, hal. 89
11
Ibid, Hal. 3
12
Data Lembar 2011, diolah dari berbagai sumber

)
1.
2.
3.

4.

5.
6.

7.

8.

Ket
T
PK
Tk
KH
Kr

:
:
:
:
:

tambang emas PT. Barisan Tropikal Mining
1997 – 2002 Kec. Muara Rupit, Kab. Musi
Rawas
pulp & paper PT. Tanjung Enim Lestari di Kec.
Muara Niru, Kab. Muara Enim, 1997 –
sekarang.
HTI (Hutan Tanaman Industri) PT. Musi Hutan
Persada dengan hak konsesi + 264.000 Ha
yang dimiliki menyebar di 5 kabupaten di
Sumatera Selatan, yaitu : MUBA, MURA, OKU,
Lahat, Muara Enim
perkebunan
kelapa
sawit
di
seluruh
kabupaten dalam wilayah Provinsi Sumatera
Selatan, dengan luas konsesi total sedikitnya
800.000 Ha, 1997 – sekarang
Pengelolaan industry Pupuk oleh BUMN
PT. PUSRI (Pupuk Sriwijaya) sejak tahun
1980-an
Minyak Bumi dan Gas oleh Negara
(Pertamina) sector privat (a.l ; Expan Oil,
Conoco Philips) hampir di sebagian besar
kabupaten di Sumatera Selatan. Khususnya
di Kab. MUBA, Muara Enim, Kota Administratif
Prabumulih, sejak tahun 1980-an hingga
sekarang
tambang batubara yang menghampar di
Kabupaten Muara Enim, Lahat sejak tahun
1970-an hingga sekarang dengan areal yang
mencapai ratusan ribu Hektar
tambak udang di semenanjung pantai timur
Kab. OKI berbatasan dengan provinsi
Lampung, a.l : oleh PT. Wahyuni Madira, PT.
Dipasena

Tanah
pencemaran, polusi, kebakaran hutan,
Tenaga Kerja
Konfik Horizontal
Kriminalisasi

Menurut Hilma Savitri dkk, pengelolaan sector sector agrarian di Indonesia
sebagai efek dari kebijakan Negara dan penerapannya menyebabkan
konfik/sengketa antara lain13 :
1. Sengketa agrarian karena penetapan fungsi tanah dan kandungan hasil bumi
serta beragam tanaman industry dan hasil diatasnya sebagai sumber – sumber
yang dieksploitasi secara massif
2. Sengketa akibat program swasembada beras yang pada prakteknya
mnegakibatkan penguasaan tanah terkonsentrasi pada satu tangan dan
membengkaknya jumlah petani tak bertanah
3. Sengketa agrarian di areal perkebunan akibat pengalihan dan penerbitan HGU
4. Sengketa akibat penggusuran diatas lahan yang hendak dimanfaatkan untuk
industry pariwisata, real estate, kawasan indutri, pabrik, dan sebagainya
5. Sengketa agrarian akibat penggusuran dan pengambil alihan tanah tanah
rakyat yang dinyatakan untuk sarana kepentingan umum ataupun kepentingan
keamanan
6. Sengketa akibat pen cabutan hak rakyat atas tanah karena pembangunan
taman nasional, hutan lindung dan sebagainya atas nama kelestarian
lingkungan.
13

Hilma, dkk, “Menuju Demokratisasi Pemetaan – Refeksi Gerakan Pemetaan
Partisipatif di Indonesia”, JKPP, 2009, hal. 3 - 4

MP3EI -- Perpres 32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI)
- Kerja bareng, mengundang investasi seluasnya, mempersembahkan wajah/
potret resource alam dan geospasial Indonesia sebagai arus utama model
pembangunan
- Zonasi produksi dan distribusi
- Menyediakan Indonesia sebagai “komparador” globalisasi
- Memerlukan regulasi kebijakan “penyokong”
“Masalah agraria sepanjang jaman, pada hakikatnya adalah masalah politik”
(Gunawan Wiradi)