Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia
Laporan Pendahuluan
Badan Pusat Statistik Jakarta, Indonesia
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Jakarta, Indonesia
Kementerian Kesehatan Jakarta, Indonesia
MEASURE DHS ICF International Calverton, Maryland, USA
Desember 2012
iv
I PENDAHULUAN
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) bekerja sama dengan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan Kementerian Kesehatan. Pembiayaan survei disediakan oleh Pemerintah Indonesia. ICF International memberi bantuan teknis melalui proyek MEASURE DHS, sebuah program oleh U.S. Agency for International Development (USAID) yang menyediakan dana dan bantuan teknis dalam pelaksanaan survei kependudukan dan kesehatan di banyak negara.
SDKI 2012 merupakan survei ketujuh yang diselenggarakan di Indonesia melalui program Demographic and Health Surveys (DHS). Data yang dikumpulkan dalam SDKI 2012 menghasilkan estimasi terbaru dari indikator utama kependudukan dan kesehatan yang dicakup dalam SDKI sebelumnya.
SDKI 2012 dirancang untuk menyediakan data kependudukan, keluarga berencana, dan kesehatan. Berbeda dengan SDKI sebelumnya dimana yang diwawancarai adalah wanita pernah kawin usia 15-49 tahun, maka SDKI 2012 mencakup seluruh wanita usia subur (WUS) 15-49 tahun yang belum pernah kawin. Selain sampel WUS, SDKI 2012 juga mewawancarai sejumlah pria berstatus kawin usia 15-54 tahun dan pria usia 15-24 tahun yang belum pernah kawin.
Wanita ditanya tentang latar belakang pribadinya, anak yang dilahirkan, pengetahuan dan praktek keluarga berencana, kesehatan ibu dan anak, kesehatan reproduksi, pengetahuan tentang HIV-AIDS dan infeksi menular seksual lainnya, serta informasi lain yang berguna untuk penyusun kebijakan dan pengelola di bidang kesehatan dan keluarga berencana. Selain itu, ada tambahan pertanyaan untuk WUS usia 15-24 tahun yang belum pernah kawin, antara lain mengenai pengetahuan tentang sistem reproduksi, perilaku dalam hal merokok, minum minuman beralkohol dan pemakaian obat-obatan terlarang, serta perilaku pacaran dan hubungan seksual.
Pria berstatus kawin ditanya mengenai pengetahuan dan partisipasi mereka dalam perawatan kesehatan istri dan anaknya. Remaja pria yang belum pernah kawin ditanya tentang pengetahuan dan sikap remaja terhadap kesehatan reproduksi, perilaku dalam hal merokok, minum minuman beralkohol dan pemakaian obat-obatan terlarang, persepsi terhadap perkawinan dan
anak, pengetahuan tentang HIV-AIDS, dan perilaku pacaran dan hubungan seksual 1 .
Laporan ini menyajikan beberapa indikator kunci SDKI 2012. Analisis lengkap dari data akan dipublikasikan pada bulan Agustus 2013. Meskipun dianggap sementara, diharapkan hasil yang disajikan dalam laporan ini tidak banyak berbeda dengan yang akan disajikan dalam laporan akhir.
Laporan pendahuluan hasil survei remaja usia 15-24 akan disajikan dalam laporan terpisah.
II PELAKSANAAN SURVEI
A. Kuesioner
SDKI 2012 menggunakan empat macam kuesioner, masing-masing untuk rumah tangga, untuk wanita usia subur, untuk pria kawin, dan untuk remaja pria. Terkait perubahan cakupan sampel individu wanita dari wanita pernah kawin (WPK) usia 15-49 tahun menjadi wanita usia subur (WUS) 15-49 tahun, maka kuesioner WUS merupakan gabungan kuesioner WPK dengan kuesioner remaja yang dalam SDKI 2007 terpisah.
Kuesioner rumah tangga maupun kuesioner individu SDKI 2012 mengacu pada versi terbaru (Maret 2011) kuesioner standar yang digunakan program DHS. Kuesioner tersebut mencakup isu dan pertanyaan baru sesuai kebutuhan dan untuk memenuhi keterbandingan internasional. Beberapa pertanyaan di kuesioner standar DHS tidak dicakup dalam SDKI 2012 karena kurang sesuai dengan kondisi di Indonesia. Selain itu, kategori jawaban serta tambahan pertanyaan disesuaikan dengan muatan lokal terkait program di bidang kesehatan dan keluarga berencana di Indonesia.
Kuesioner rumah tangga digunakan untuk mencatat seluruh anggota rumah tangga dan tamu yang menginap di rumah tangga terpilih sampel malam sebelum wawancara, dan keadaan tempat tinggalrumah tangga terpilih. Pertanyaan dasar anggota rumah tangga yang dikumpulkan adalah umur, jenis kelamin, status perkawinan, pendidikan, dan hubungan dengan kepala rumah tangga. Keterangan mengenai tempat tinggal yang dikumpulkan meliputi sumber air minum, jenis kakus, jenis lantai, jenis atap, jenis dinding, dan kepemilikan aset rumah tangga. Informasi mengenai kepemilikan aset menggambarkan status sosial-ekonomi rumah tangga tersebut. Kegunaan utama kuesioner rumah tangga adalah untuk menentukan responden wanita dan pria yang memenuhi syarat untuk wawancara perseorangan.
Kuesioner untuk wanita digunakan untuk mengumpulkan informasi dari wanita umur 15-49 tahun. Topik yang ditanyakan kepada wanita tersebut adalah:
Latar belakang responden Riwayat kelahiran Pengetahuan dan pemakaian kontrasepsi Perawatan kehamilan, persalinan, dan pemeriksaan setelah melahirkan Pemberian air susu ibu dan makanan anak Imunisasi dan kesakitan anak Perkawinan dan kegiatan seksual Preferensi fertilitas Latar belakang suami/pasangan dan pekerjaan responden Kematian anak Pengetahuan tentang HIV-AIDS dan infeksi seksual lain Kematian saudara kandung, termasuk kematian ibu Isu kesehatan lainnya
Khusus untuk wanita usia 15-24 tahun yang belum pernah kawin, ditanyakan: Latar belakang tambahan responden
Pengetahuan mengenai sistem reproduksi manusia Sikap tentang perkawinan dan anak Peran keluarga, sekolah, masyarakat, dan media Rokok, minuman beralkohol, dan obat-obatan terlarang Pacaran dan perilaku seksual
Kuesioner pria kawin (PK) digunakan untuk mengumpulkan informasi dari pria berstatus kawin umur 15-54 tahun pada sepertiga sampel rumah tangga SDKI 2012. Informasi yang dikumpulkan dalam kuesioner PK hampir sama dengan kuesioner wanita namun lebih pendek karena tidak mencakup riwayat kelahiran, dan kesehatan ibu dan anak. Sebaliknya, pria berstatus kawin ditanya mengenai pengetahuan dan partisipasi mereka dalam perawatan kesehatan anak.
Kuesioner untuk remaja pria (RP) mencakup pengetahuan dan sikap remaja tentang kesehatan reproduksi, perilaku dalam hal merokok, minum minuman beralkohol dan pemakaian obat-obatan terlarang, persepsi terhadap perkawinan dan anak, pengetahuan tentang HIV-AIDS serta perilaku pacaran dan hubungan seksual.
B. Rancangan Sampel
Metode sampling yang digunakan adalah sampling tiga tahap. Tahap pertama adalah memilih sejumlah primary sampling unit (PSU) dari kerangka sampel PSU secara probability proportional to size (PPS). PSU adalah kelompok blok sensus yang berdekatan yang menjadi wilayah tugas koordinator tim (kortim) Sensus Penduduk (SP) 2010. Tahap kedua adalah memilih satu blok sensus secara PPS di setiap PSU terpilih. Tahap ketiga adalah memilih 25 rumah tangga biasa di setiap blok sensus terpilih secara sistematik.
Jumlah sampel SDKI 2012 adalah 1.840 blok sensus, 874 blok sensus di daerah perkotaan dan 966 blok sensus di daerah perdesaan. Sampel SDKI 2012 bertujuan untuk menghasilkan estimasi karakteristik penting dari wanita umur 15-49 tahun dan pria kawin umur 15-54 tahun di tingkat nasional, di daerah perkotaan dan perdesaan, dan di masing-masing provinsi. Jumlah sampel yang ditargetkan adalah 46.000 rumah tangga, 55.200 wanita 15-49 tahun, 13.248 pria kawin, dan 23.000 remaja pria belum pernah kawin.
C. Pelatihan dan Lapangan
Sejumlah 922 orang (376 laki-laki dan 546 wanita) dilatih sebagai pewawancara. Pelatihan berlangsung pada awal bulan Mei 2012 di sembilan pusat pelatihan (Batam, Bukit Tinggi, Banten, Yogyakarta, Denpasar, Banjarmasin, Makasar, Manokwari dan Jayapura). Pelatihan mencakup pembelajaran materi di kelas, latihan berwawancara dan tes. Pelatihan dibedakan menjadi tiga kelas: kelas WUS, kelas PK, dan kelas RP. Seluruh peserta dilatih menggunakan kuesioner rumah tangga dan kuesioner perseorangan sesuai jenis kelasnya.
Data SDKI 2012 dikumpulkan oleh 119 tim petugas. Satu tim terdiri dari delapan orang: 1 orang pengawas pria, 1 orang wanita editor WUS dan PK, 4 orang wanita pewawancara WUS, 1 orang pria pewawancara PK (merangkap sebagai editor RP), dan 1 orang pria pewawancara RP. Untuk Papua dan Papua Barat, satu tim terdiri dari dari lima orang: 1 oang pengawas pria (merangkap sebagai editor PK dan RP), 1 orang wanita editor WUS, 2 orang wanita pewawancara WUS dan 1 orang pria pewawancara PK dan RP. Kegiatan lapangan berlangsung dari 7 Mei sampai 31 Juli 2012.
D. Pengolahan Data
Seluruh kuesioner SDKI 2012 yang sudah diisi termasuk lembar pengawasan dikirim ke kantor pusat BPS di Jakarta untuk diolah. Pengolahan terdiri dari pemeriksaan isian, pemberian kode pada jawaban pertanyaan terbuka, perekaman data, verifikasi, dan pengecekan kesalahan di komputer. Tim pengolahan terdiri dari 42 orang editor, 58 orang perekam data, 14 orang secondary editor, dan 14 orang pengawas perekaman data. Perekaman dan pemeriksaan data dilakukan menggunakan program komputer Census and Survey Processing System (CSPro), yang khusus dirancang untuk mengolah data semacam SDKI.
III HASIL
Bab ini menyajikan temuan pokok dari SDKI tahun 2012, khususnya untuk fertilitas dan keluarga berencana, kesehatan ibu dan anak, kematian bayi dan anak, serta kesadaran tentang HIV- AIDS. Laporan ini menyajikan temuan-temuan di Indonesia secara keseluruhan. Tabel-tabel yang menggambarkan keadaan menurut provinsi dapat dilihat di Lampiran A.
A. Hasil Kunjungan
Tabel 1 menunjukkan hasil kunjungan petugas SDKI 2012. Dari 46.000 rumah tangga yang terpilih dalam sampel, 46.024 rumah tangga memenuhi syarat untuk diwawancarai. Namun hanya 44.302 rumah tangga yang dapat ditemui, dan di antara rumah tangga tersebut, 43.852 rumah tangga berhasil diwawancarai, atau tingkat responnya sebesar 99 persen.
Di dalam rumah tangga yang diwawancarai, didapat 47.533 WUS yang memenuhi syarat untuk diwawancarai, dan 45.607 wanita (96 persen) berhasil diwawancarai. Di sepertiga dari rumah tangga yang terpilih SDKI 2012, dijumpai 10.086 pria kawin yang memenuhi syarat untuk diwawancarai dan 9.306 di antaranya atau 92 persen berhasil diwawancarai. Secara umum, tingkat respon untuk wawancara dengan pria kawin di daerah perdesaan lebih tinggi daripada di daerah perkotaan.
Tabel 1. Hasil wawancara rumah tangga dan perseorangan
Jumlah rumah tangga, jumlah kunjungan dan hasil kunjungan, menurut tempat tinggal (tidak tertimbang), Indonesia 2012
Hasil
Tempat Tinggal
Wawancara rumah tangga
Rumah tangga sampel
46.024 Rumah tangga ditemui
44.302 Rumah tangga diwawancarai
Hasil kunjungan 1 98,8
Wawancara perseorangan wanita
Wanita yang memenuhi syarat
47.533 Wanita yang diwawancarai
Hasil kunjungan 2 95,6
Wawancara perseorangan pria 3 Pria yang memenuhi syarat
10.086 Pria yang diwawancarai
Hasil kunjungan 2 91,3 93,1 92,3
1 Rumah tangga yang diwawancarai/rumah tangga yang ditemui
3 Responden yang diwawancarai/responden yang memenuhi syarat Termasuk pria yang berstatus hidup bersama
B. Karakteristik Responden
Tabel 2 menyajikan distribusi persentase wanita umur 15-49 tahun (WUS) dan pria kawin umur 15-54 tahun menurut karakteristik latar belakang. Hampir 30 persen WUS berumur remaja (15-24 tahun), 22 persen berstatus belum kawin, dan 73 persen berstatus kawin atau hidup bersama. Lebih dari separo (52 persen) WUS tinggal di daerah perkotaan.
Tabel 2. Karakteristik latar belakang responden
Distribusi persentase wanita umur 15-49 tahun dan pria kawin umur 15-54 tahun¹ menurut karakteristik latar belakang, Indonesia 2012
Wanita
Pria
Karakteristik latar
Tidak belakang
Tertimbang tertimbang
Status perkawinan
na na Kawin
Belum kawin
9.286 9.260 Hidup bersama
20 46 Cerai hidup
na na Cerai mati
Daerah tempat tinggal
Tidak Sekolah
265 270 Tidak Tamat SD
1.371 1.394 Tamat SD
2.118 1.791 Tidak tamat SMTA
1.979 2.123 Tamat SMTA+
9.306 9.306 na = tidak sesuai
Jumlah 100,0 45.607 45.607 100
Catatan: Kategori pendidikan mengacu pada tingkat pendidikan tertinggi yang diduduki, tamat maupun tidak. ¹ Termasuk pria yang berstatus hidup bersama
Di antara pria kawin yang diwawancarai dalam survei, 4 persen berumur 15-24 tahun, 16 persen berumur kurang dari 30 tahun, 27 persen berumur 30-39 tahun, dan 47 persen berumur di atas 40 tahun. Persentase pria kawin yang tinggal di perkotaan hampir sama dengan WUS yakni 51 persen. Secara umum, pria berpendidikan lebih baik dari wanita. Persentase pria yang tidak berpendidikan lebih rendah dari wanita, sedangkan persentase pria yang berpendidikan sekolah menengah ke atas lebih tinggi dari wanita.
C. Fertilitas
Semua WUS dalam SDKI 2012 ditanya tentang jumlah anak laki-laki maupun perempuan yang pernah dilahirkan seumur hidupnya. Untuk mendapatkan laporan yang lengkap tentang anak, wanita ditanya tentang jumlah anak yang tinggal di rumah, tinggal di tempat lain, dan yang sudah meninggal. Untuk setiap anak yang lahir hidup ditanyakan jenis kelamin, tanggal lahir, dan status kelangsungan hidup. Untuk anak yang sudah meninggal ditanyakan umur ketika meninggal.
Angka fertilitas menurut kelompok umur (Age Specific Fertility Rate atau ASFR) untuk periode tiga tahun terakhir sebelum SDKI 2012 disajikan pada Tabel 3. Angka fertilitas menurut kelompok umur dan angka fertilitas total (Total Fertility Rate atau TFR) dihitung secara langsung dari data riwayat kelahiran. TFR adalah jumlah dari angka kelahiran menurut kelompok umur dan merupakan ringkasan ukuran dari tingkat fertilitas. Angka ini menggambarkan rata-rata jumlah anak yang akan dilahirkan oleh seorang wanita pada akhir masa reproduksinya jika ia mengikuti pola fertilitas yang berlaku. Menurut data SDKI 2012 rata-rata wanita Indonesia akan mempunyai 2,6 anak selama hidupnya. Tabel 3 menunjukkan bahwa wanita yang tinggal di perkotaan mempunyai TFR 0,4 lebih rendah dibandingkan dengan wanita yang tinggal di perdesaan. Namun angka kelahiran menurut kelompok umur pada kelompok umur 25-29, 30-34, dan 40-44 tahun di daerah perkotaan lebih tinggi dibanding di daerah perdesaan.
Tabel 3 juga menyajikan angka fertilitas umum (General Fertility Rate atau GFR) dan angka fertilitas kasar (Crude Birth Rate atau GFR). Sama dengan TFR, GFR dan CBR di daerah perkotaan lebih rendah dibanding di daerah perdesaan.
Tabel 3. Angka fertilitas
Angka fertilitas menurut kelompok umur, angka fertilitas total, angka fertilitas umum, angka fertiltas kasar untuk tiga tahun sebelum survei, menurut daerah perkotaan/ perdesaan, Indonesia 2012
TFR 15-49
Catatan : Angka fertilitas menurut umur ibu per 1.000 wanita.
Angka untuk kelompok umur 45-49 kemungkinan sedikit bias karena pembulatan. Angka fertilitas untuk periode 1-36 bulan
sebelum bulan wawancara.
TFR: Angka fertilitas total per wanita umur 15-49 tahun GFR: Angka fertilitas umum (jumlah kelahiran dibagi jumlah
wanita umur 15-44 tahun), per 1.000 wanita CBR: Angka fertilitas kasar per 1.000 penduduk
Gambar 1 menyajikan TFR hasil SDKI 1991, 1994, 1997, 2002-2003, 2007 dan 2012. Terlihat adanya penurunan dari 3 anak per wanita pada SDKI 1991 menjadi 2,6 anak pada SDKI 2002-2003. Setelah itu tingkat fertilitas tidak mengalami perubahan.
Variasi antar provinsi dalam angka fertilitas dapat dilihat pada Lampiran Tabel A-2.
Gambar 1. Tren Angka Kelahiran Total, Indonesia 1991-2012
Kelahiran per wanita 3,00
D. Keinginan Mempunyai Anak
Untuk mengetahui keinginan mempunyai anak, wanita berstatus kawin dalam SDKI 2012 ditanya tentang keinginan mempunyai anak pada masa mendatang. Pertanyaan-pertanyaan mencakup keinginan menambah anak, menjarangkan kelahiran anak berikutnya, dan membatasi kelahiran. Tabel 4 memperlihatkan bahwa hampir separo (47 persen) wanita kawin tidak menginginkan anak lagi dan 3 persen menyatakan telah dioperasi sterilisasi. Empat puluh empat persen wanita kawin menginginkan mempunyai anak lagi; 15 persen ingin mempunyai anak lagi dalam waktu dua tahun, 23 persen ingin menunda kelahiran berikutnya dua tahun atau lebih, dan 6 persen menyatakan belum dapat menentukan waktunya. Tiga dari empat wanita kawin ingin menjarangkan kelahiran berikutnya atau tidak ingin mempunyai anak lagi. Angka ini menggambarkan proporsi wanita yang secara potensial memerlukan pelayanan keluarga berencana (KB).
Tabel 4 juga memperlihatkan bahwa keinginan membatasi kelahiran meningkat secara cepat sejalan dengan banyaknya anak lahir hidup; 84 persen wanita yang tidak mempunyai anak ingin mempunyai anak lagi dibandingkan dengan 7 persen wanita dengan dua anak. Di sisi lain, proporsi wanita yang tidak ingin mempunyai anak lagi meningkat dari 11 persen pada wanita yang mempunyai satu anak menjadi 58 persen pada wanita yang mempunyai dua anak, dan 80 persen atau lebih pada wanita yang mempunyai lima orang anak atau lebih.
Tabel 4. Keinginan mempunyai anak menurut jumlah anak masih hidup
Distribusi persentase wanita berstatus kawin umur 15-49 tahun 1 menurut keinginan mempunyai anak dan jumlah anak masih hidup, Indonesia 2012
Jumlah anak masih hidup²
Keinginan Mempunyai Anak 0 1 2 3 4 5 6+ Jumlah Ingin anak segera³
0,8 14,6 Ingin anak kemudian⁴
1,4 23,4 Ingin anak, belum menentukan
1,5 5,5 Belum memutuskan
5,4 4,8 Tidak ingin anak lagi
8,1 3,4 Tidak dapat hamil lagi
1,9 1,1 Tidak terjawab
Jumlah wanita
943 33.465 ¹ Termasuk wanita yang berstatus hidup bersama
² Termasuk kehamilan pada waktu survei ³ Ingin anak lagi dalam 2 tahun
⁴ Ingin menunda kelahiran anak berikutnya dalam 2 tahun atau lebih ⁵ Termasuk sterilisasi wanita dan pria
E. Keluarga Berencana
Pengetahuan tentang alat/cara kontrasepsi
Pengetahuan mengenai pembatasan kelahiran dan keluarga berencana (KB) merupakan salah satu aspek penting ke arah pemahaman tentang berbagai alat/cara kontrasepsi yang tersedia. Selanjutnya, pengetahuan tersebut akan berpengaruh kepada pemakaian alat/cara kontrasepsi yang tepat dan efektif. Pengetahuan responden mengenai metode kontrasepsi diperoleh dengan cara menanyakan semua jenis alat atau cara kontrasepsi yang pernah didengar untuk menunda atau menghindari terjadinya kehamilan dan kelahiran.
Informasi mengenai pemakaian kontrasepsi penting untuk mengukur keberhasilan program KB. Informasi ini diperoleh dengan cara menanyakan apakah pada saat wawancara dilakukan responden atau pasangannya menggunakan suatu jenis alat atau cara kontrasepsi.
Metode atau cara kontrasepsi dibagi dalam dua kategori, yaitu metode kontrasepsi modern dan cara tradisional. Metode kontrasepsi modern meliputi sterilisasi wanita, sterilisai pria, pil KB, IUD, suntik KB, susuk, kondom pria, intravag, diafragma, kontrasepsi darurat, dan metode amenorrhea laktasi (MAL). Cara tradisional meliputi pantang berkala (kalender), sanggama terputus, dan jamu.
Tabel 5 memperlihatkan bahwa hampir semua responden pernah mendengar suatu metode/cara kontrasepsi (99 persen). Pil KB dan suntik KB merupakan metode kontrasepsi yang paling dikenal oleh responden dengan persentase masing-masing sebesar 97 dan 98 persen. Pengetahuan tentang metode kontrasepsi tradisional sanggama terputus hampir sama dengan pantang berkala (masing-masing 48 dan 47 persen).
Secara umum, kelompok wanita umur 30-34 tahun, yang berdomisili di wilayah perkotaan, dan yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi mempunyai pengetahuan tertinggi mengenai metode kontrasepsi, baik metode kontrasepsi modern maupun tradisional. Sebaliknya, wanita kawin umur 15-24 tahun, tinggal di perdesaan, dan berpendidikan rendah memiliki pengetahuan yang rendah tentang metode kontrasepsi.
Tabel 5. Pengetahuan tentang alat/cara KB
1 Persentase wanita kawin umur 15-49 tahun tentang pengetahuan kontrasepsi menurut karakteristik latar belakang, Indonesia 2012
Suatu
Cara modern
Cara tradisional
Sanggama Cara Jumlah belakang
Karakteristik latar Suatu
terputus lain wanita
10 Tempat tinggal
Tidak sekolah 86,7
Tidak tamat SD 98,3
Tamat SD 99,4
Tidak tamat SMTA 99,6
Tamat SMTA+ 99,9
Catatan: MAL = Metode amenorrhea laktasi (metode menyusui alami). Jika lebih dari satu metode yang dipakai, hanya metode yang paling efektif yang dicatat dalam tabel. ¹ Termasuk wanita yang berstatus hidup bersama
Pemakaian alat/cara kontrasepsi
Tabel 6 menyajikan informasi tentang prevalensi pemakaian kontrasepsi di antara wanita kawin berusia 15-49 tahun menurut beberapa variabel karakteristik latar belakang. Hasil survei menunjukkan bahwa 62 persen wanita kawin usia 15-49 tahun menggunakan alat cara KB, sebagian besar di antaranya menggunakan metode kontrasepsi modern (58 persen) dan 4 persen menggunakan metode kontrasepsi tradisional. Di antara cara KB modern yang dipakai, suntik KB merupakan alat kontrasepsi terbanyak digunakan oleh wanita berstatus kawin (32 persen), diikuti oleh pil KB, hampir 14 persen.
Pemakaian alat kontrasepsi pada wanita kawin kelompok umur 15-19 tahun dan 45-49 tahun lebih rendah dibandingkan mereka yang berumur 20-44 tahun. Wanita muda cenderung untuk memakai alat kontrasepsi modern jangka pendek seperti suntikan dan pil KB, sementara mereka yang lebih tua cenderung untuk memakai kontrasepsi jangka panjang seperti IUD dan sterilisasi wanita.
Gambar 2 menunjukkan tren penggunaan kontrasepsi antara tahun 1991 sampai 2012. Terlihat adanya peningkatan dalam angka prevalensi kontrasepsi dari 50 persen pada tahun 1991 menjadi 62 persen pada tahun 2012. Namun demikian, ada perlambatan peningkatan sejak tahun 2002-2003 dimana selama sepuluh tahun terakhir penggunaan kontrasepsi modern hanya meningkat sebesar 1 persen.
Variasi antar provinsi dalam pengetahuan tentang kontrasepsi dan prevalensi pemakaian kontrasepsi dapat dilihat pada Lampiran Tabel A-3 dan A-4.
Gambar 2. Tren Pemakaian Kontrasepsi pada Wanita Kawin, Indonesia 1991-2012
SDKI SDKI SDKI 1991 1994 1997 2002- 2007 2012
SDKI SDKI SDKI
2003 Suatu cara Suatu Cara Modern
Tabel 6. Pemakaian kontrasepsi masa kini
Distribusi persentase wanita berstatus kawin umur 15-49 tahun 1 menurut cara/alat KB yang dipakai dan karakteristik latar belakang, Indonesia 2012
Cara Modern
Suatu
Cara Tradisional
Sekarang Karakteristik latar
tidak Jumlah belakang
tradisi- Pantang
pakai Jumlah wanita
Tempat tinggal
Tidak sekolah
56,6 100,0 1.209 Tidak tamat SD
46,6 100,0 4.185 Tamat SD
34,3 100,0 9.045 Tidak tamat SMTA
32,6 100,0 7.912 Tamat SMTA+
Jumlah anak masih hidup
Catatan: MAL = Metode amenorrhea laktasi (metode menyusui alami). Jika lebih dari satu metode yang dipakai, hanya metode yang paling efektif yang dicatat dalam tabel. ¹ Termasuk wanita yang berstatus hidup bersama
F. Kebutuhan Pelayanan Keluarga Berencana
Cara penghitungan kebutuhan pelayanan KB yang dipakai dalam SDKI sebelum ini telah disederhanakan oleh Bradley dkk. (2012). Data pada Tabel 7.1. memperlihatkan tingkat kebutuhan pelayanan KB yang tidak terpenuhi (unmet need), kebutuhan KB yang terpenuhi (met need) dan total kebutuhan KB (demand for family planning) pada wanita kawin berumur 15-49 tahun yang dihitung dengan cara baru. Angka-angka dalam tabel ini tidak dapat dibandingkan dengan angka-angka yang diterbitkan dalam laporan SDKI 2007 maupun SDKI sebelumnya. Untuk melihat tren sejak 2007, keperluan pelayanan KB berdasarkan SDKI 2012 juga dihitung dengan cara lama dan disajikan dalam Tabel 7.2
Menurut cara penghitungan baru, 11 persen wanita berstatus kawin di Indonesia mempunyai kebutuhan pelayanan KB yang tidak terpenuhi; 4 persen karena ingin menunda kelahiran anak berikutnya untuk jangka waktu dua tahun atau lebih, dan 7 persen karena tidak ingin mempunyai anak lagi. Tabel 7.1 juga memperlihatkan bahwa dari 62 persen kebutuhan KB yang terpenuhi, 27 persen wanita kawin menggunakan kontrasepsi untuk menjarangkan kelahiran dan 35 persen untuk membatasi jumlah anak. Persentase wanita kawin yang memerlukan pelayanan KB saat ini di Indonesia adalah 73 persen, dimana 85 persen di antaranya telah terpenuhi kebutuhannya. Jika semua kebutuhan pelayanan KB terpenuhi, maka prevalensi kontrasepsi di antara wanita kawin di Indonesia saat ini dapat ditingkatkan dari 62 persen menjadi 73 persen.
Kebutuhan pelayanan KB yang tidak terpenuhi bervariasi menurut kelompok umur. Wanita kawin pada kelompok umur tua (35-49 tahun) cenderung mempunyai kebutuhan pelayanan kontrasepsi yang lebih besar dibandingkan dengan wanita kelompok umur muda (15-34 tahun). Pemenuhan kebutuhan pelayanan KB tidak berbeda antara wanita perkotaan dan wanita perdesaan, tetapi kebutuhan pelayanan KB di perkotaan adalah untuk membatasi kelahiran, sedangkan wanita perdesaan lebih membutuhkan pelayanan KB untuk menjarangkan kelahiran.
Jumlah kebutuhan KB yang terpenuhi meningkat sejalan dengan naiknya tingkat pendidikan wanita, mulai dari 76 persen untuk wanita yang tidak sekolah sampai dengan 87 persen untuk wanita yang tidak tamat SMTA. Kebutuhan pelayanan KB yang terpenuhi juga meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah anak lahir hidup; 66 persen untuk wanita yang tidak punya anak dan
71 persen atau lebih tinggi untuk wanita yang punya anak 1 atau lebih.
Tabel 7.1. Kebutuhan untuk memperoleh pelayanan KB: cara penghitungan baru
Persentase wanita berstatus kawin umur 15-49 tahun 1 yang kebutuhan KB-nya tidak terpenuhi, persentase kebutuhan KB yang terpenuhi, dan total kebutuhan pelayanan KB , menurut karakteristik latar belakang, Indonesia 2012
Kebutuhan pelayanan KB yang tidak terpenuhi
Kebutuhan pelayanan KB yang
terpenuhi
Total kebutuhan pelayanan KB Persentase
pelayanan KB yang Karakteristik latar
pelayanan KB
terpenuhi dengan Jumlah belakang
yang terpe-
nuhi 3 metode modern 4 wanita
Tempat tinggal
73,4 1.209 Tidak tamat SD
Tidak sekolah
74,9 4.185 Tamat SD
82,6 9.045 Tidak tamat SMTA
82,9 7.912 Tamat SMTA+
Jumlah anak masih hidup
Catatan: Angka dalam tabel ini sesuai dengan definisi baru kebutuhan pelayanan KB yang diuraikan dalam Bradley dkk, 2012. ¹ Termasuk wanita yang berstatus hidup bersama 2 Total kebutuhan pelayanan KB adalah jumlah kebutuhan pelayanan KB yang tidak terpenuhi dan kebutuhan pelayanan KB yang terpenuhi 3 Persentase kebutuhan pelayanan KB yang terpenuhi adalah kebutuhan pelayanan KB yang terpenuhi dibagi dengan total kebutuhan pelayanan KB
4 Termasuk sterilisasi wanita, sterilisasi pria, pil, IUD, suntik, susuk KB, kondom, intravag/diafragma, dan MAL
Variasi antar provinsi dalam kebutuhan pelayanan KB yang dihitung dengan cara penghitungan baru dapat dilihat pada Lampiran Tabel A-5.
Tabel 7.2 disajikan untuk memperlihatkan tingkat kebutuhan KB yang tidak terpenuhi (unmet need), kebutuhan KB yang terpenuhi (met need) dan total kebutuhan KB (demand for family planning) pada wanita kawin berumur 15-49 tahun yang dihitung menggunakan cara lama seperti yang diterbitkan dalam laporan SDKI 2007. Berdasarkan cara penghitungan ini, 9 persen dari wanita berstatus kawin di Indonesia mempunyai kebutuhan KB yang tidak terpenuhi, 4 persen karena ingin menjarangkan atau menunda kelahiran anak berikutnya untuk jangka waktu dua tahun atau lebih dan 5 persen karena tidak ingin mempunyai anak lagi.
Kebutuhan pelayanan KB yang tidak terpenuhi di Indonesia hasil SDKI 2012 dengan cara penghitungan lama dapat dikatakan tidak berubah dari keadaan tahun 2007. Pada tahun 2012, 88 persen wanita berstatus kawin mempunyai kebutuhan pelayanan KB yang terpenuhi hampir sama dengan keadaan pada tahun 2007 (87 persen).
Tidak ada perbedaan pola kebutuhan pelayanan KB yang tidak terpenuhi menurut karakteristik latar belakang wanita kawin baik dengan cara penghitungan lama maupun baru.
Tabel 7.2. Kebutuhan untuk memperoleh pelayanan KB: cara penghitungan lama
Persentase wanita berstatus kawin umur 15-49 tahun 1 yang kebutuhan KB-nya tidak terpenuhi, persentase kebutuhan KB yang terpenuhi, dan total kebutuhan pelayanan KB, menurut karakteristik latar belakang, Indonesia 2012
Kebutuhan pelayanan KB yang tidak
Kebutuhan pelayanan KB yang
terpenuhi
terpenuhi
Total kebutuhan pelayanan KB 2 Persentase
pelayanan KB Karakteristik latar
yang terpe- Jumlah belakang
nuhi 3 wanita
Tempat tinggal 16 Perkotaan
Pendidikan Tidak sekolah
3,9 5,0 8,9 10,1 33,4 43,4 Tidak tamat SD
84,5 4.185 Tamat SD
89,0 9.045 Tidak tamat SMTA
90,1 7.912 Tamat SMTA+
Jumlah anak masih hidup
Jumlah 3,9 4,6 8,5 26,7 35,2 61,9 30,6 39,8 70,4 87,9 33.465 Catatan: Angka dalam tabel ini sesuai dengan definisi lama kebutuhan pelayanan KB yang digunakan dalam SDKI 2007. ¹ Termasuk wanita yang berstatus hidup bersama
2 Total kebutuhan pelayanan KB adalah jumlah kebutuhan pelayanan KB yang tidak terpenuhi dan kebutuhan pelayanan KB yang terpenuhi 3 Persentase kebutuhan pelayanan KB yang terpenuhi adalah kebutuhan pelayanan KB yang terpenuhi dibagi dengan total kebutuhan pelayanan KB
G. Kematian Bayi dan Anak
Salah satu tujuan dari SDKI 2012 adalah mengukur tingkat dan kecenderungan kematian bayi dan anak. Angka kematian bayi dan anak yang disajikan dalam Tabel 8 adalah estimasi secara langsung berdasarkan keterangan yang didapat dari bagian riwayat kelahiran dari kuesioner wanita mengenai tanggal kelahiran anak, status kelangsungan hidup, dan umur saat meninggal untuk anak yang sudah meninggal. Angka-angka kematian bayi dan anak didefinisikan sebagai berikut:
Kematian neonatum: peluang meninggal dalam bulan pertama setelah lahir (0-28 hari). Kematian post neonatum: selisih antara kematian bayi dan kematian neonatum (1-11 bulan). Kematian bayi: peluang bayi meninggal sebelum mencapai ulang tahun pertama (0-11
bulan). Kematian anak: peluang meninggal antara ulang tahun pertama dan ulang tahun kelima (1-4 tahun). Kematian balita: peluang anak meninggal sebelum mencapai ulang tahun kelima (0-4 tahun).
Tabel 8. Kematian bayi dan anak
Angka kematian neonatum, post-neonatum, bayi, anak, dan balita untuk periode lima tahunan sebelum survei, Indonesia 2012
Tahun
Kematian sebelum
balita survei
(PNN) 1 ( 1 q 0 )
23 21 45 14 58 1 Dihitung dari selisih antara angka kematian bayi dan kematian neonatum
1998-2002
Angka-angka kematian bayi dan anak dalam Tabel 8 dihitung untuk tiga periode lima tahunan sebelum survei. Semua angka kematian bayi dan anak hasil SDKI 2012 lebih rendah dari hasil SDKI 2007. Untuk periode lima tahun sebelum survei, angka kematian bayi hasil SDKI 2012 adalah 32 kematian per 1.000 kelahiran hidup dan kematian balita adalah 40 kematian per 1.000 kelahiran hidup. Sama dengan pola SDKI 2007, lebih dari tiga perempat dari semua kematian balita terjadi dalam tahun pertama kehidupan anak dan mayoritas kematian bayi terjadi pada periode neonatus.
Gambar 3 menunjukkan kecenderungan kematian bayi dan kematian balita sejak SDKI 1991. Angka kematian bayi turun lebih lambat dalam tahun-tahun akhir, seperti yang biasa terjadi pada penduduk dengan angka kematian rendah. Angka kematian anak turun dari 44 kematian per 1.000 kelahiran hidup pada SDKI 2007 menjadi 40 kematian per 1.000 kelahiran hidup pada SDKI 2012.
Variasi antar provinsi dalam kematian bayi dan anak dapat dilihat pada Lampiran Tabel A-6. Angka-angka kematian bayi dan anak dalam Tabel A-6 dihitung untuk periode 10 tahun sebelum survei.
Gambar 3. Tren Angka Kematian Bayi dan Angka Kematian Balita, Indonesia 1991-2012
SDKI SDKI SDKI 1991
SDKI SDKI SDKI
2003 Kematian Bayi Kematian Balita
H. Pemeriksaan Kehamilan
Perawatan yang memadai selama kehamilan dan persalinan penting untuk kesehatan ibu maupun anak. Dalam SDKI 2012, ibu yang melahirkan anak hidup dalam lima tahun sebelum survei ditanya beberapa pertanyaan tentang perawatan kesehatan ibu dan anak. Untuk perawatan ibu hamil, pewawancara diinstruksikan untuk mencatat semua jawaban responden kalau dilaporkan lebih dari satu sumber pelayanan. Tabel 9 menunjukkan bahwa 96 persen dari kelahiran terakhir dalam lima tahun sebelum survei, mendapatkan pemeriksaan kehamilan dari petugas medis terlatih. Ibu umur 20-34 tahun cenderung menerima pemeriksaan kehamilan dari tenaga professional kesehatan lebih baik dibandingkan ibu umur lebih muda maupun ibu umur lebih tua. Cakupan pemeriksaan kehamilan lebih tinggi di daerah perkotaan dibanding perdesaan (masing-masing 98 persen dan 93 persen). Cakupan pemeriksaan kehamilan membaik dengan bertambah tingginya tingkat pendidikan, 64 persen untuk ibu tanpa pendidikan, menjadi 99 persen untuk ibu dengan pendidikan menengah atau lebih.
Suntikan tetatus toksoid (TT) diberikan selama kehamilan untuk mencegah tetanus neonatum, yang merupakan penyebab utama kematian bayi di banyak negara berkembang. Pada SDKI 2012, untuk kelahiran terakhir sejak Januari 2007, ibu diminta memberi keterangan apakah selama kehamilannya mendapatkan suntikan tetanus toksoid. Pada Tabel 9 dapat dilihat bahwa anak lahir hidup terakhir dari 60 persen ibu terlindung dari tetanus. Proporsi anak dari ibu umur 20-34 tahun, dari ibu yang tinggal di perkotaan, dan ibu dengan pendidikan menengah ke atas lebih besar kemingkinannya untuk terlindung dari tetanus daripada ibu-ibu lain.
Tidak seperti pemeriksaan kehamilan yang keterangannya hanya dikumpulkan untuk kelahiran hidup terakhir, keterangan tentang perawatan persalinan dikumpulkan untuk semua kelahiran yang terjadi dalam lima tahun sebelum survei. Pewawancara diminta untuk mencatat semua orang yang menolong dalam persalinan. Tabel 9 memperlihatkan bahwa 83 persen dari kelahiran dalam lima tahun sebelum survei mendapat pertolongan dari tenaga medis terlatih selama Tidak seperti pemeriksaan kehamilan yang keterangannya hanya dikumpulkan untuk kelahiran hidup terakhir, keterangan tentang perawatan persalinan dikumpulkan untuk semua kelahiran yang terjadi dalam lima tahun sebelum survei. Pewawancara diminta untuk mencatat semua orang yang menolong dalam persalinan. Tabel 9 memperlihatkan bahwa 83 persen dari kelahiran dalam lima tahun sebelum survei mendapat pertolongan dari tenaga medis terlatih selama
Tabel 9. Pemeriksaan kehamilan
Persentase wanita umur 15-49 tahun yang mempunyai anak lahir hidup terakhir selama lima tahun sebelum survei yang mendapat pelayanan pemeriksaan kehamilan dari tenaga kesehatan, dan persentase yang anak terakhirnya terlindung dari tetanus neonatum, dan di antara anak lahir hidup selama lima tahun sebelum survei, persentase yang ditolong oleh tenaga kesehatan ketika dilahirkan, dan persentase yang dilahirkan di fasilitas kesehatan, menurut karakteristik latar belakang, Indonesia 2012
yang anak
yang
Persentase
yang Karakteristik latar
dilahirkan di belakang
diperiksa oleh
terlindung
ditolong oleh
tenaga
dari tetanus
Jumlah
tenaga
fasilitas Jumlah
kesehatan ¹
neonatum 2 wanita
Kesehatan ¹
kesehatan kelahiran
Umur ibu saat melahirkan
Tempat tinggal
Tidak sekolah
21.1 365 Tidak tamat SD
38.0 1.457 Tamat SD
47.1 3.976 Tidak tamat SMTA
61.0 4.438 Tamat SMTA+
Catatan: Jika responden menyebutkan lebih dari satu orang yang menolong saat melahirkan, maka yang kualifikasinya tertinggi yang dicatat dalam tabel.
1 Tenaga pemeriksa kehamilan termasuk dokter, dokter ahli kandungan dan kebidanan, perawat, bidan, dan bidan desa. 2 Termasuk ibu yang sudah menerima dua kali suntikan TT pada saat hamil anak lahir hidup lima tahun sebelum survei, menerima dua atau lebih suntikan (tiga tahun terakhir anak lahir hidup kurun waktu lima tahun sebelum surve)i, atau menerima tiga atau lebih suntikan (lima tahun terakhir untuk anak lahir hidup terakhir selama lima tahun sebelum survei)r, atau menerima empat atau lebih suntikan (sepuluh tahun terkhir untuk anak lahir hidup terakhir lima tahun sebelum survei), atau menerima lima atau lebih suntikan (untuk anak lahir hidup terakhir lima tahun sebelum survei).
Tabel 9 menunjukkan bahwa 63 persen dari kelahiran dalam lima tahun sebelum survei bersalin di fasilitas kesehatan. Seperti halnya dengan indikator maternal lainya, ibu umur 20-34 tahun, ibu yang tinggal di daerah perkotaan, dan ibu dengan pendidikan lebih baik, cenderung menerima pelayanan medis lebih baik saat persalinan dibandingkan dengan ibu-ibu lainnya.
Variasi antar provinsi untuk keempat parameter pemeriksaan kehamilan dapat dilihat pada Lampiran Tabel A-7.
Gambar 4 menunjukkan tren perawatan ibu sejak SDKI 2002-2003. Proporsi ibu hamil yang diperiksa oleh tenaga kesehatan meningkat dari 92 persen pada SDKI 2002-2003 menjadi 96 persen pada SDKI 2012. Persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan meningkat dari 66 persen pada SDKI 2002-2003 menjadi 83 persen pada SDKI 2012.
Gambar 4. Tren Indikator Pemeriksaan Kehamilan dan Persalinan, Indonesia 2002-2003, 2007, dan 2012
Pemeriksaan kehamilan
Persalinan
Melahirkan di Fas. Kesehatan
SDKI 2002-2003
SDKI 2007
SDKI 2012
I. Imunisasi
Dalam SDKI 2012, semua wanita yang mempunyai anak lahir hidup dalam lima tahun sebelum survei diminta untuk menunjukkan kepada pewawancara kartu imunisasi, Kartu Menuju Sehat (KMS), atau buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dari semua anak yang dilahirkan sejak Januari 2007. Pewawancara kemudian mengutip dari kartu/buku tanggal setiap imunisasi yang diterima anak. Jika anak tidak mempunyai kartu atau ibu tidak dapat menunjukkan kartu kepada pewawancara, maka ibu ditanya imunisasi apa saja yang diterima anak dan berapa kali imunisasi diterima. Dalam laporan ini seorang anak dikategorikan menerima imunisasi lengkap jika anak menerima imunisasi BCG untuk mencegah tuberkulosis; tiga dosis vaksin untuk mencegah difteri, pertusis, dan tetanus (DPT); tiga dosis vaksin polio (polio 1-3); empat dosis vaksin hepatitis B dan satu dosis vaksin campak. Cakupan imunisasi lengkap ini agak berbeda dengan SDKI 2007 dimana vaksinasi hepatitis B belum termasuk sebagai imunisasi dasar lengkap sebelumnya. Untuk keterbandingan dengan data SDKI 2007, maka imunisasi lengkap tanpa pemberian vaksinasi hepatitis
B juga disajikan pada tabel. Cakupan vaksinasi dalam laporan ini didasarkan pada keterangan dari kartu dan keterangan dari ibu untuk anak yang tidak mempunyai kartu.
Tabel 10 menunjukkan cakupan imunisasi dari anak umur 12-23 bulan, umur yang menurut anjuran seharusnya sudah menerima semua vaksinasi. Berdasarkan keterangan dari kartu dan pelaporan ibu, 66 persen anak telah menerima semua jenis imunisasi yang dianjurkan. Secara keseluruhan, 89 persen anak menerima BCG, 72 persen mendapat dosisi ketiga DPT, dan 76 persen mendapat dosis ketiga vaksin polio. Cakupan imunisasi campak adalah 80 persen. Cakupan imunisasi lengkap meningkat dari 52 persen dalam SDKI 2002-2003 dan 59 persen dalam SDKI 2007.
Ibu hanya mampu menunjukkan kartu kesehatan dari 41 persen anak umur 12-23 bulan. Persentase ini menunjukkan kenaikan dari 31 persen dalam SDKI 2002-2003 dan 37 persen dalam SDKI 2007. Tujuh persen anak umur 12-23 bulan tidak pernah menerima imunisasi dan 23 persen anak menerima sebagian imunisasi. .
Tabel 10. Imunisasi menurut karakteristik latar belakang
Persentase anak umur 12-23 bulan yang menerima imunisasi tertentu sebelum survei (menurut kartu imunisasi atau laporan ibunya), dan persentase yang mempunyai KMS menurut karakteristik latar belakang, Indonesia 2012
DPT
Polio
Imunisasi lengkap Tanpa
Persentase Karakteristik latar
Termasuk
KMS Jumlah belakang
diperlihatkan anak
Jenis kelamin
Tempat tinggal
Pendidikan Ibu
Tidak sekolah
14,1 53 Tidak tamat SD
32,5 219 Tamat SD
42,9 770 Tidak Tamat SMTA
Tamat SMTA+
¹ Imunisasi BCG, campak, dan 3 dosis DPT dan Polio, tidak termasuk Polio 4 ² Imunisasi BCG, campak, 4 dosis Hepatitis B, dan 3 dosis DPT dan Polio, tidak termasuk Polio 4
Cakupan imunisasi lengkap tidak banyak berbeda menurut karakteristik anak, kecuali menurut tingkat pendidikan ibu. Cakupan imunisasi lengkap meningkat dengan pendidikan ibu, mulai 23 persen untuk anak yang ibunya tidak berpendidikan sampai 74 persen untuk anak dari ibu yang tamat SMTA atau pendidikan lebih tinggi. Perbedaan yang nyata adalah dalam persentase anak yang tidak dimunisasi, 4 persen anak di perkotaan yang tidak diimunisasi dibanding 10 persen di perdesaan.
Variasi cakupan imunisasi antar provinsi dapat dilihat pada Lampiran Tabel A-8
Gambar 5 menunjukkan bahwa cakupan masing-masing jenis imunisasi serta imunisasi lengkap mengalami peningkatan sejak SDKI 2002-2003.
Gambar 5. Tren Imunisasi Anak Umur 12-23 Bulan, Indonesia 2002-2003, 2007 dan 2012
SDKI 2002-2003
SDKI 2007
SDKI 2012
J. Penyakit pada Anak
SDKI 2012 mencakup berbagai pertanyaan untuk mendapatkan keterangan prevalensi dan praktek pengobatan untuk infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), demam dan diare, penyakit- penyakit yang berpengaruh pada penyebab kematian anak. Perlu dikemukakan bahwa data penyakit yang dikumpulkan sifatnya subyektif karena dikumpulkan berdasarkan persepsi ibu tentang penyakit tersebut tanpa dilakukan validasi medis. Prevalensi penyakit ISPA diperkirakan dengan menanyakan kepada ibu apakah anak mereka yang berumur dibawah lima tahun sakit dengan batuk disertai napas cepat dan pendek dalam dua minggu sebelum survei. Disamping itu ditanyakan juga mengenai gejala demam selain ISPA. Pada SDKI 2012, untuk setiap anak balita, ibu juga ditanya apakah anak sakit diare dalam dua minggu sebelum survei. Secara keseluruhan, dari 16.380 anak yang disurvei, 5 persen dilaporkan menunjukkan gejala ISPA, 31 persen mengalami demam, dan 14 persen sakit diare (data tidak disajikan).
Untuk setiap anak yang sakit, ibu ditanya apakah anaknya dibawa berobat ke fasilitas kesehatan. Hasilnya disajikan dalam Tabel 11. Tiga dari empat anak yang menderita ISPA (75 persen),
74 persen anak menderita demam, dan 65 persen anak yang menderita diare berobat ke fasilitas kesehatan atau tenaga kesehatan. Angka-angka ini tidak banyak berbeda menurut karakteristik anak, kecuali anak berumur 6-11 bulan yang cenderung lebih mendapatkan pengobatan untuk gejala ISPA dan demam dibandingkan dengan anak kelompok umur lainnya.
Tabel 11. Pengobatan infeksi saluran napas akut, demam, dan diare
Di antara anak-anak berumur di bawah lima tahun yang memperlihatkan gejala infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) atau demam selama dua minggu sebelum survei, persentase anak yang dibawa ke fasilitas kesehatan/petugas kesehatan, dan di antara anak-anak berumur di bawah lima tahun yang menderita diare selama dua minggu sebelum survei, persentase anak yang dibawa ke fasilitas kesehatan/petugas kesehatan, persentase yang menerima oralit, persentase yang menerima cairan oralit/cairan yang dibuat sendiri, menurut karakteristik latar belakang, Indonesia 2012
Anak dengan gejala
Anak yang menderita diare Persen-
ISPA ¹
Anak menderita demam
Persen-
Persen-
tase yang
tase yang
tase yang
dibawa ke
Persentase fasilitas
dibawa ke
dibawa ke
yang mene-
rima Jumlah petugas
tase yang
oralit/cairan anak Karakteristik latar
yang dibuat menderita belakang
sendiri ³ diare
Umur dalam bulan
Jenis kelamin
Tempat tinggal
Pendidikan ibu
Tidak sekolah
39,0 40 Tidak tamat SD
47,6 239 Tamat SD
47,1 538 Tidak Tamat SMTA
50,7 676 Tamat SMTA+
1 Gejala ISPA (nafas pendek, cepat, dan tersengal sengal) dipakai sebagai proksi pneumonia 2 Tidak termasuk apotik, toko, praktek tradisional 3 Termasuk ORALIT paket dan larutan gula dan garam buatan sendiri
Di antara anak yang menderita diare, 39 persen diberi larutan dari paket garam rehidrasi oral (ORS), dan 47 persen diberikan cairan oralit atau larutan gula garam yang dibuat sendiri. Berdasarkan karakteristik latar belakang, anak usia 12-23 bulan, anak laki-laki, dan anak yang tinggal di perdesaan cenderung untuk dibawa ke fasilitas kean diaresehatan/tenaga kesehatan untuk mengobati diarenya.
Untuk variasi antar provinsi mengenai praktek pengobatan ISPA, demam dan diare dapat dilihat pada Lampiran Tabel A-9.
K. Pemberian ASI dan Makanan Tambahan
Air susu ibu (ASI) mengandung semua zat gizi yang diperlukan bayi dalam enam bulan pertama setelah dilahirkan. Pemberian pengganti susu ibu (PASI) sebelum anak berumur enam bulan tidak dianjurkan, karena dapat meningkatkan kemungkinan terkontaminasi dan meningkatkan risiko terkena penyakit, khususnya diare. Setelah anak berusia enam bulan sesuai dengan proses pertumbuhan dan perkembangan bayi, maka ASI harus ditambah dengan cairan lain dan makanan padat untuk memberikan gizi yang memadai. Cairan dan makanan padat itu biasanya disebut makanan pendamping ASI (MPASI), diberikan sampai anak berusia dua tahun.
SDKI 2012 mengumpulkan data tentang pemberian makanan pada bayi untuk semua anak terakhir yang dilahirkan ibu dalam kurun waktu dua tahun sebelum survei. Tabel 12 menunjukkan bahwa hanya 27 persen bayi umur 4-5 bulan mendapat ASI ekslusif (tanpa tambahan makanan atau minuman lain). Selain ASI, 8 persen bayi pada umur yang sama diberi susu lain dan 8 persen diberi air putih. Pemberian ASI ekslusif kepada bayi berusia 4-5 bulan dalam SDKI 2012 lebih tinggi dibandingkan dengan hasil SDKI 2007 (masing-masing 27 persen dan 17 persen).
Tabel 12. Pemberian air susu ibu (ASI) menurut umur
Persentase anak berumur di bawah dua tahun yang tinggal dengan ibunya, menurut status pemberian air susu ibu, dan persentase anak di bawah dua tahun yang diberi minum dengan botol dengan dot, menurut umur dalam bulan, Indonesia 2012
Pemberian ASI dan Makanan Pendamping Persen-
ASI
Jumlah tase
dan
anak anak
cairan
terakhir yang Jumlah
di menggu- anak di Umur
bawah nakan bawah dalam
dua botol dua bulan
Tidak ASI
anak yang
disusui ekslusif
putih
buah 1 lain
tahun dan dot tahun
Catatan: Status menyusui merujuk pada 24 jam sebelum survei. Anak yang diklasifikasikan diberi ASI dan air putih tidak diberi minuman atau makanan tambahan. Kategori anak yang dikelompokkan tidak diberi ASI, diberi ASI eksklusif, diberi ASI dan air putih saja, cairan bukan susu/jus, susu lain dan makanan pendamping (padat dan setengah padat) bersifat bertingkat dan saling ekslusif, sehingga persentasenya berjumlah 100 persen. Jadi, anak yang mendapat ASI dan cairan bukan susu dan yang tidak mendapat susu lain dan yang tidak diberi makanan pendamping, dikelompokkan dalam kelompok cairan bukan susu meskipun mereka juga mungkin mendapat air
putih. Demikian pula anak yang mendapat makanan pendamping dimasukkan dalam kelompok tersebut selama mereka juga mendapat ASI.
1 Cairan bukan susu termasuk jus segar, jus kemasan, kaldu, dan cairan lainnya.
Pemberian makanan bayi dengan menggunakan botol dan dot tidak dianjurkan pada umur berapapun. Walaupun demikian SDKI 2012 melaporkan bahwa praktek tersebut masih berlangsung, bahkan semakin meningkat. Sebagai contoh, 29 persen bayi berumur 4-5 bulan diberi minum menggunakan botol dan dot pada SDKI 2012, dibandingkan dengan 28 persen pada SDKI 2007.
L. Pengetahuan tentang HIV-AIDS
Selama hampir dua dasawarsa, pemerintah Indonesia telah mempromosikan strategi HIV- AIDS nasional. Dalam menanggulangi AIDS pemerintah bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM), sektor swasta, dan masyarakat. Strategi nasional mencakup hidup sehat, seks aman, penggunaan jarum suntik aman, penggunaan kondom, dan pemberian dukungan kepada pengidap HIV-AIDS.