BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengetian Bahan Komposit - Pembuatan dan Analisa Sifat Mekanik Komposit dengan Penguat Abu Terbang (fly ash) Cangkang Sawit Untuk Bahan Kampas Rem Sepeda Motor

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengetian Bahan Komposit

  Material komposit adalah material yang terbuat dari dua bahan atau lebih yang tetap terpisah dan berada dalam level makroskopik selagi membentuk komponen tunggal. Komposi t berasal dalam kata kerja “to compose” yang berarti menyusun atau menggabung. Jadi secara sederhana bahan komposit berarti bahan gabungan dari dua atau lebih bahan yang berlainan. Kata komposit dalam pengertian bahan komposit berarti terdiri dari dua atau lebih bahan yang berbeda yang di gabung secara makroskopis. Pada umumnya bentuk dasar suatu bahan komposit adalah tunggal di mana merupakan susunan dari paling tidak terdapat dua unsur yang bekerja sama untuk menghasilkan sifat-sifat bahan yang berbeda terhadap sifat-sifat unsur bahan penyusunnya.

  Berdasarkan bahan penyusunnya komposit dapat kita pisahkan menjadi dua bagian yaitu matriks dan bahan penguat. Matriks sebagai bagian terbesar dalam material komposit dapat terbuat dari tiga material dasar yaitu, Metal Matrix

  

Composite ( MMC ), Ceramic Matrix Composite (CMC ), Polymer Matrix Composite

( PMC ). (Gibson,1984).

Gambar 2.1 diagram komposit berdasarkan bahan penyusunnya.

  Material komposit terdiri dari lebih satu tipe material dan di rancang untuk mendapatkan kombinasi karakteristik terbaik dari setiap komponen penyusunnya. Bahan komposit memiliki banyak keunggulan yaitu lebih ringan, kekuatan dan ketahanan yang lebihn tinggi, tahan korosi, dan ke tahanan aus, (Smallman & Bishop, 2000 ).

Gambar 2.2 klasifikasi/skema struktur komposit (Callister, 1994)

  Karakteristik umum komposit yaitu : 1.

  Material komposit lebih baik daripada semua material dasar dalam hal kekuatan (strength) dan kekakuan (stiffness), ketahanan pada temperatur tinggi, fatigue strength, dan sifat-sifat lainnya. Sifat kombinasi yang diinginkan dapat direkayasa.

  2. Material komposit merupakan material komplek yang komponen- komponennya memiliki sifat yang sangat berbeda, saling tidak larut atau hanya sedikit larut, dan terpisah oleh satu batasan yang jelas.

3. Prinsip pembuatan komposit meniru apa yang terjadi di alam. Dahan dan ranting pohon serta tulang manusia dan binatang merupakan komposit alam.

  Dalam kayu, serat selulosa diikat oleh lignin yang bersifat plastis. Dalam tulang, serat fosfat yang tipis dan kuat diikat oleh kolagen yang bersifat plastis.

5. Sifat komposit sangat tergantung pada sifat fisiko-mekanik dari komponen- komponennya dan kekuatan ikatan antara komponen-komponennya.

  6. Untuk mendapatkan sifat komposit yang optimal, maka komponen- komponennya harus memiliki sifat yang sangat berbeda tetapi saling melengkapi. Secara umum bahan komposit terdiri dari dua bagian utama yaitu : 1.

  Matriks yang mengisolasi fasa 2. Penguat (filler) atau fasa sebaran

FILLER MATRIKS KOMPOSIT

  Komponen pembentuk dan pengikat

Gambar 2.3 Gabungan makroskopik fasa-fasa pembentuk komposit.

  Matriks merupakan komponen pembentuk dan pengikat dalam komposit.Dasar atau matriks dari komposit bisa terdiri dari logam atau alloy (komposit logam), polimer, karbon dan material keramik (komposit non logam). Sifat-sifatnya akan menentukan kondisi operasi pembuat-an komposit dan karakteristik komposit, seperti temperatur operasi, fatigue strength, ketahanan terhadap efek lingkungan, density, dan specific strength. Beberapa komposit memiliki matriks gabungan yang terdiri dari dua atau lebih lapisan dengan komposisi berbeda dan disusun selang-seling. (Gibson, 1984) Filler merupakan komponen lain yang terdistribusi merata dalam matriks.

  Filler memegang peranan penting dalam menguatkan komposit, sehingga disebut penguat/ reinforcing material. Filler harus memiliki nilai kekuatan/strength, daripada yang dimiliki matriks. Sifat-sifat material komposit bisa juga dipengaruhi oleh bentuk, ukuran, konsentrasi dan distribusi filler. (Putu Lokantara, 2007)

2.2 Abu (fly ash) cangkang sawit

  Abu (fly ash) cangkang kelapa sawit adalah limbah padat yang berasal dari pembakaran cangkang kelapa sawit yang di pergunakan sebagai bahan bakar boiler untuk menghasilkan uap pada proses penggilingan minyak sawit. Di Indonesia dari 21,4 juta Ha lahan areal perkebunan nasional sekitar 42,39% atas lahan perkebunan itu di Tanami kelapa sawit. Lahan seluas 9,07 juta Ha kelapa sawit itu menghasilkan CPO (Cruide Palm Oil), terbesar di dunia yaitu sebesar 23,52 juta ton pada tahun 2012. ( Dirjen Perkebunan 2012)

  Pemrosesan tandan buah sagar ( TBS ) menjadi CPO (Cruide Palm Oil), menghasilkan limbah padat yang sangat banyak dalam bentuk serat cangkang dan tandan kosong. Setiap 100 ton tandan buah segar yang dip roses akan menghasilkan lebih kurang 20 ton cangkang, 7 ton serat dan 25 ton tandan kosong. Cangkang selanjutnya di gunakan lagi sebagai bahan bakar, pembakaran pada ketel uap dengan menggunakan cangkang kelapa sawit akan menghasilkan 5 % abu dari setiap 1 ton cangkang yang di bakar dengan butiran yang sangat halus. Abu hasil pembakaran ini biasanya di buang di dekat pabrik sebagai limbah padat yang tidak di manfaatkan, bahkan berpotensi menimbulkan gangguan terhadap lingkungan dan kesehatan.

  Abu cangkang kelapa sawit ini memiliki kandungan utama Silikon Oksida ( SIO2) yang memiliki sifat reaktif dan pozzolanik bagus yang bias bereaksi menjadi bahan yang keras dan kaku. Abu cangkang sawit ini merupakan bentuk partikel halus sangat cocok di jadikan bahan komposit dengan menggunakan matriks polyester resin tak jenuh yang memiliki sifat sebagai resin termoset yang tahan terhadap suhu panas, memiliki titik lebur pada suhu 190 C dan tidak dapat di daur ulang. Abu cangkang sawit ini memiliki beberapa unsur kimia yang terdapat pada tabel 2.1. (Hutaehan B, 2007)

Tabel 2.1 unsur kimia abu cangkang sawit. (Hutahaean B, 2007)

  Unsur kimia Persen tase SiO2 50,02

  % Al2O 8,7%

  Fe2O3 2,6% CaO 12,65

  % MgO 4,23%

  K2O 0,72% Na2O 0,41%

  H2O 1,97%

2.3 Polyester Resin Tak Jenuh

   Polyester resin tak jenuh merupakan polimer kondensat yang terbentuk

  berdasarkan reaksi antara polyol yang merupakan organik gabungan dengan alkohol

  

multiple atau gugus fungsi hidroksi, dan polycarboxylic, yang mengandung ikatan

ganda. Tipikal jenis polyol yang digunakan adalah glycol, seperti ethylene glycol.

  Sementara asam polycarboxylic yang digunakan adalah asam phthalic dan asam

  

maleic . Polyester resin tak jenuh adalah jenis polimer thermoset yang memiliki

  struktur rantai karbon yang panjang. Matrik yang berjenis ini memiliki sifat dapat mengeras pada suhu kamar dengan penambahan katalis tanpa pemberian tekanan ketika proses pembentukan. (Schwarts, 1983).

  Pada desain struktur dilakukan dengan cara pemilihan matriks dan penguat, hal ini dilakukan untuk memastikan kemampuan material sesuai dengan produk yang akan dihasilkan. Dalam desain struktur ini jenis matriks yang akan digunakan adalah

  

Polyester resin tak jenuh dan penguat abu cangkang kelapa sawit. Matriks ini

  tergolong jenis polimer thermoset yang memiliki sifat dapat mengeras pada suhu kamar dengan penambahan katalis tanpa pemberian tekanan ketika proses pembentukannya. Struktur material yang dihasilkan berbentuk crosslink dengan keunggulan daya tahan yang lebih baik terhadap jenis pembebanan statik dan impak. molekul raksasa, atom-atom karbon yang saling mengikat satu dengan lainnya mengakibatkan struktur molekulnya menghasilkan efek peredaman yang cukup baik terhadap beban yang diberikan. (Agus Pramono, 2008).

  Data karakteristik mekanik material polyester resin tak jenuh seperti terlihat pada tabel.

Tabel 2.2. Karakteristik mekanik polyester resin tak jenuh.

  

Sifat Mekanik Satuan Besaran

  kg/mm3 1,215.10-6 Berat jenis (ρ) Modulus Elastisitas N/mm2 2941.8

  (E) N/mm2

  54 Kekuatan Tarik (σT) Elongasi % 1,6

  Sumber: PT. Justus Kimia Raya, 2007 Umumnya material ini digunakan dalam proses pembentukan dengan cara penuangan antara lain perbaikan body kenderaan bermotor, pengisi kayu dan sebagai material perekat. Material ini memiliki sifat perekat dan aus yang baik, dan dapat digunakan untuk memperbaiki dan mengikat secara bersama beberapa jenis material yang berbeda. Material ini memiliki umur pakai yang panjang, kestabilan terhadap sinar Ultraviolet (UV), dan daya tahan yang baik terhadap serapan air. Kekuatan material ini diperoleh ketika dicetak kedalam bentuk komposit, dimana material- material penguat, seperti serat kaca, karbon dan lain-lain, akan meningkatkan sifat mekanik material tersebut sementara ketika dalam keadaan tunggal material ini bersifat rapuh dan kaku. (Hull, 1992)

2.3 Katalis MEKPO (Metyil Ethyil Ketone Perioksida)

  proses reaksi polimerisasi struktur komposit pada kondisi suhu kamar dan tekanan atmosfir. Pemberian katalis dapat berfungsi untuk mengatur waktu pembentukan gelembung blowing agent, sehingga tidak mengembang secara berlebihan, atau terlalu cepat mengeras yang dapat mengakibatkan terhambatnya pembentukan gelembung.

2.5 Kampas Rem

  Kampas rem merupakan komponen penting pada kendaraan bermotor di jalan raya. Pertambahan kendaraan bermotor roda dua dan empat saat ini meningkat pesat sejalan laju pertumbuhan ekonomi masyarakat. Komponen kendaraan yaitu kampas rem sangat perlu mendapatkan perhatian yang lebih oleh pemegang kebijikan ( pemerintah ) dalam upaya melindugi konsumen dan mengurangi persentase penyebab kecelakaan di jalan raya. Standar Nasional Indonesia ( SNI ) kampas rem sudah di buat sejak tahun 1987 namun beberapa parameter serta spesifikasinya perlu di tinjau atau di kaji ulang sesuai perkembangan dan mengacu kepada standar internasiponal atau pola perkembangan teknologi otomotif yang modern ini. (Pratama, 2010).

  Komposisi berbasis polimer tidak mengandung asbestos dan logam berat bahan komposit berbasis polimer, karena sebagian besar bahannya menggunakan bahan polimer organik, maka benar-benar dapat di jamin bebas terhadap senyawa yang mengandung Pb, Cr dan Zn. Seratnya pun di gunakan serat E-glass dan atau

  airamid . Juga sering di gunakan serat alam berupa fibre, wisker dan serat karbon dari

  organik material. Bahan pengisi berupa mineral tambang adalah minority dan bersifat “ fire retardant” sehingga tahan terhadap panas atau memiliki koefisien perpindahan panas yang lebih kecil. Namun di satu sisi kurang kuat menyerap atau menyimpan panas, sehingga panas sering berbalik ke roda akibatnya roda menjadi panas. Hal ini dapat d i atasi dengan pengembangan di “material engineering”dan aspek desain penggabungan antara cast iron dan komposit menggunakan bidang kontak komposit yang lebih banyak untuk mengakomodasi “friction material life time” agar lebih an. Di era “ Global Climate Change” dan “Carbon

  Trade

  ”, aspek penggunaan bahan berbahaya beracun harus memerlukan perhatian yang serius dan penegakan hokum yang ketat, kalau Indonesia mau menjadi bangsa yang besar, sehat, sejahtera dan memiliki kawasan yang bersih dari bahan-bahan beracun.

2.6 Komposisi Kampas Rem

   Sebelum 1870, roda kendaraan masih terbuat dari kayu, dan alat yang di

  gunakan untuk memperlambat laju roda juga terbuat dari kayu. Namun sejak 1870, roda mulai di buat dengan menggunakan besi untuk mengurangi keausan kayu. Pada waktu itu bidang gesek rem juga menggunakan besi. Penggunaan besi untuk bidang gesek re mini memang membuatnya lebih awet, namun rem tidak pakem. Memasuki 1897, mulailah di gunakan rem jenis tromol (brake lining) pada kendaraan. Jenis rem ini di ciptakan Herber Food dari perusahaan Ferodo Ltd. Kampas yang di gunakan menggunakan bahan campuran sabut dengan kain katun (cotton belting). Selanjutnya sekitar 1908, bahan asbestos mulai di gunakan. Asbestos merupakan paduan kuningan dan serat metal yang di satukan menggunakan binder (bahan pengikat) namun belum di cetak. Hingga 1920, kampas rem mulai di cetak dengan serat metal dengan ukuran lebih pendek, logam kuningan yang lebih halus serta tambahan bahan organik.

  Namun pada 1994, di temukan kalau asbestos mengandung zat karsinogen yang di tuding sebagai salkah satu zat penyebabkanker paru-paru. Dan efek itu baru terasa setelah 10-15 tahun. Sejak itu, produksinya sudah mulai perlahan di hentikan. Sebagai gantinya adalah penggunaan brass, copper fiber dan aramid pulp. Kampas rem non asbestos ini terbagi dua yakni, low steel yang masih mengandung besi meski sedikit dan non-steel yang tidak menggunakan besi. Selain ramah lingkungan, kampas rem non asbestos juga memiliki segudang kelebihan lain seperti tidak mudah dari pengikisan kampas berwarna hitam dapat mengotori pelek dan harganya pun lebih mahal dari kampas rem asbestos. Kemungkinan besar di masa mendatang, kampas rem massal menggunakan bahan keramik yang lebih tahan panas. Namun saat ini material itu masih terlalu mahal. Meski sudah ada mobil produksi massal menggunakannya, tapi jenis rem ini banyak di gunakan di mobil balap. (Ari Tristianto Wibowo, 2010).

  Bahan baku kampas rem asbestos: asbestos 40 s/d 60%, resin 12s/d 15%, BaSO 14s/d 15%, sisanya karet ban bekas, tembaga sisa kerajinan, frict dust. Bahan

  4

  baku kampas rem non asbestos : aramyd, kevlar, twaron, rockwool, fiberglass,

  potasiumtitanate, carbonfiber, graphite, cellulose, vemiculate, steekfiber, BaSO 4, resin, nitrile butadiene rubber. (Agung Suryadi Pamenang, 2009)

2.7 Material Komposit Untuk Kampas Rem

  Indonesia kaya akan material-material bahan tambang berupa oksida-oksida logam seperti Calcite, Barite, Hematite, Silikat, dll yang sangat bermanfaat dan murah untuk pengembangan bahan tahan aus tinggi. Di samping itu pula juga memiliki potensi bahan-bahan organik alam lainnya yang bias di manfaatkan sebagai matriks bahan komposit. Sekarang sudah saatnya kita memanfaatkan sumber kekayaan alam kita yang bernilai tambah tinggi, memiliki keunggulan komparatif, dari segi mutu produk dan keunggulan kompetitif dari segi harga. Kita harus dapat menciptakan material cerdas dari bahan baku local yang bermanfaat. (Pratama, 2010).

  Secara umum ke empat klasifikasi bahan friksi harus mengandung tipe bahan penyusun yang terdiri dari bahan pengikat, bahan serat dan bahan pengisi. Bahan kampas rem yang akan di ujikan yaitu adalah komposit yang terdiri dari resin sebagai pengikat dan abu cangkang sawit sebagai penguat atau filler. Resin ini berfungsi untuk mengikat berbagai zat penyusun di dalam bahan tersebut. Resin sintetik yang di gunakan terdiri dari 2 macam yaitu termoset dan termoplastik (Hardianto, 2008). sedangkan termoplastik akan melunak tetapi akan kembali keras setelah di dinginkan. Perbedaan sifatnya tentu oleh struktur dalamnya. Komposit bahan kampas rem yang akan di ujikan adalah komposit yang berpengikat dari resin epoxy.

2.8 Mekanisme Kerja Pengereman Pada Sepeda Motor

  Secara umum cara kerja rem adalah memanfaatkan gaya gesekan mekanik untuk memperlambat laju kendaraan dan akhirnya berhenti. Kontruksi rem tromol (drum break) yang umumnya di operasikan secara mekanis dan sistem operasinya cukup sederhana. Terdiri atas sepasang sepatu rem, pegas pembalik (penarik), tambatan rem, kam (pendorong) yang semua itu terpasang pada hub roda. Kemudian bersama hub tersebut, semua komponen rem di pasang dalam tromol. Bila rem dan komponen tidak ikut berputar, tromol berputar bersama roda. Tepatnya rem bekerja dengan menahan putaran tromol. (Junaidi, 2009)

  Untuk mengoperasikan sepatu rem, kam atau pendorong di hubungkan ke tangki yang selanjutnya di kaitkan pada pedal yang di operasikan dengan oleh gaya tekan pada kaki. Bila pedal di tekan, kam akan bergerak atau berputar yang menyebabkan sepatu rem terdorong dan mengembang, permukaannya sering di sebut kampas rem yang terbuat dari asbestos yang menyentuh bagian bawah tromol. Bila tromol berputar, kampas rem akan menahannya dan menyebabkan putaran roda akan semakin lambat atau berhenti secara seketika.

Gambar 2.4 Mekanisme penyetelan sepatu rem

  Berdasarkan cara kerjanya, rem tromol di bagi menjadi dua jenis, yaitu :

  1. Jenis system leading trailing, pada jenis ini meski kedua sepatu rem sama-sama menembang namun memiliki efek pengereman yang berbeda atau berlawanan. Perbedaan terjadi karena arah perputaran roda tersebut. Untuk menggerakkan kedua sepatu rem nya di gunakan satu kam saja, seperti yang di perhatikan arah satu putaran roda, dimana roda berputar searah jarum jam.

  2. Cara pengereman trailing, yaitu pada saat sepatu rem sama-sama menekan, tromol juga mengerem sepatu rem kiri ke arah dalam tromol, karena sepatu di tekan secara terus menerus efek pengereman menjadi kurang bagus. Sementara itu, sepatu rem sebelah kanan cenderung ke luar atau terus menerus menekan tromol, akibatnya gaya pengereman semakin bertambah. Terkadang cara kerja seperti ini yang sering di sebut juga leading, hasilnya pengereman tidak merata namun karena konstruksinya sederhana banyak produsen menggunakan kombinasi prinsip sistem ini.

  Hanya pada kendaraan tertentu yang ke dua sepatu rem nya bekerja secara leading. Untuk mendapatkan efek yang seperti itu, setiap sepatu di berikan kam dan tambatan dengan posisi yang berlawanan. Maka hasilnya setiap kam akan mendorong demikian setiap rem menekan tromol. Rem dengan kedua sepatu yang menggunakan cara leading menghasilkan pengereman yang lebih baik, satu setengah kali lebih baik di bandingkan model kombinasi ( trailing leading). Karena itulah cara tenaga pengereman yang lebih besar. Permukaan rem tromol umumnya di buat dari besi tuang, kemudian di satukan dengan hub roda yang terbuat dari alumunium.

  Komponen rem tromol terbuat dari : a.

  Silinder roda, berfungsi untuk meneruskan tekanan dari master silinder ke sepatu rem agar menekan tromol.

  b.

  Backing plate, berfungsi sebagai tumpuan sekaligus tempat pemasangan komponen rem.

  c.

  Sepatu rem dan kampas, biasanya sepatu rem berbentuk busur yang di letakkan dengan kampas rem menggunakan keeling atau perekat. Sepatu rem juga berfungsi untuk menahan putaran tromol.

Gambar 2.5 bagian-bagian kampas rem d.

  Pegas pembalik, ini berfungsi mengembalikan sepatu rem ke posisi semula apabila tekanan minyak rem dari master silinder semakin berkurang.

  e.

  Baut penyetel, berfungsi untuk menyetel kelonggaran antara sepatu rem dan tromol, penyetel rem biasanya menjadi satu dengan silinder roda, tetapi ada juga yang terpisah dari silinder dan rodanya. Sejalan dengan meningkatnya pengguna kendaraan bermotor roda 4 atau roda 2 makin tinggi maka laju pertumbuhan kebutuhan spare part kampas rem juga semakin tinggi juga. Bahkan saat harga BBM semakin tinggi masyarakat pengguna kendaraan roda 2 semakin pesat antara 2-5 kali lipat dari 5 tahun sebelumnya. Kondisi ini merupakan pangsa empuk dari pasar komponen kendaraan bermotor seperti kampas rem yang relative singkat. Komponen ini perlu mendapat perhatian terhadap kualitas yang mengacu terhadap standart nasional atau internasional. Mengingat prekonomian di tengah-tengah masyarakat sangat beragam dan umumnya bila mencari komponen akan mencari yang murah tanpa memperhatikan kualitas yang berkaitan dengan keselamatan jarang di perhitungkan. Walaupun hal ini rasanya sudah terbiasa, namun peran pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan terhadap produk standar perlu di lakukan evaluasi atau revisi sesuai perkembangan teknologi dan mengutamakan factor keselamatan serta perlindungan konsumen dari akal-akalan produsen.

  Masing-masing tipe sepeda motor memiliki bentuk serta kualitas bahan kampas rem khusus. Secara umum bagian-bagian kampas rem terdiri dari daging kampas (bahan friksi), dudukan kampas (body brake shoe) dan 2 buah spiral. Pada aplikasi system pengereman otomotif yang aman dan efektif, bahan friksi harus memenuhi persyaratan minimum mengenai unjuk kerja, noise dan daya tahan. Bahan rem harus memenuhi persyaratan keamanan, ketahanan dan dapat mengerem dengan halus. Selain itu pula harus mempunyai koefisien gesek yang tinggi, keausan kecil, kuat, tidak melukai permukaan roda dan dapat menyerap getaran. (Hardianto, 2008)

  Komposit di gunakan sebagai material kampas rem karena memiliki banyak kelebihan dari material lainnya. Kelebihan tersebut antara lain adalah, ramah lingkungan, lima kali lebih ringan sehingga mudah di pasang, tahan lama, memiliki tingkat keausan yang mudah di modifikasi, ketahanan terhadap korosi dan pengaruh zat kimia, serta memiliki tingkat kebisingan yang rendah. Banyak factor yang bias menjadi penyebab kegagalan pada kampas rem komposit. Sifat-sifat material gesek kemampuan kampas rem menerima beban ketika pengereman terjadi. Kondisi operasi pengereman akan mempengaruhi pembebanan mekanik pada kampas rem. Rancangan dari backing plate kampas rem komposit juga akan mempengaruhi kemampuan kampas rem komposit menerima beban.

  Bahan friksi tersusun atas tiga komponen yaitu penguat, bahan pengikat serta bahan pengisi. Abu terbang cangkang sawit dapat dijadikan sebagai alternatif serat penguat bahan friksi non asbes pada pembuatan kampas rem sepeda motor. Pemanfaatan abu cangkang sawit perlu diketahui sifat-sifat yang akan ditunjukkan oleh abu cangkang sawit tersebut, baik sifat kimiawi, fisik dan mekanis. Sifat-sifat ini akan dapat di lihat atau disimpulkan dari data kualitas abu cangkang sawit hasil analisis dan pengujiannya. Dari sejumlah data kualitas yang ada dari padanya dapat diambil harga rata-ratanya, misalnya kandungan air, abu dan lainnya yang bersifat kimiawi, tetapi ada pula yang tidak dapat diambil harga rata-ratanya melainkan harus dilihat harga minimum dan maksimum, seperti pada harga hardgrove index dan titik leleh abu.

  Untuk memenuhi syarat dan menjaga keselamatan dalam mengemudikan kendaraan dan kompetisi di pasaran, bahan fiksi membutuhkan performa friksi yang baik dan biaya rendah. Akan tetapi, biasanya bahan mentah dengan performa friksi yang baik mempunyai harga yang relatif tinggi. Untuk menghasilkan

  “brakelining”

  yang baru dengan nilai yang cukup pada koefisien gesek (

  μ) dan kecepatan wear

  yang rendah, faktor biaya kedua bahan mentah dan proses pembuatannya harus betul- betul dipertimbangkan, agar didapatkan suatu bahan dengan koefisien gesek tinggi dan juga wear yang rendah.

  Karakterisasi yang perlu dilakukan dalam pembuatan kampas rem sepeda motor adalah kekerasan dan keausan. Kedua hal ini sangat penting karena saling berhubungan satu sama lain. Jika kampas rem sangat keras akan mempengaruhi rotornya dan jika kampas rem cepat aus maka akan menambah pengeluaran. Oleh karena itu, karakterisasi keduanya perlu dilakukan untuk mendapatkan hasil yang terbuat dari bahan tersebut) untuk menerima beban/gaya/energi tanpa menimbulkan kerusakan pada bahan/komponen tersebut. Seringkali bila suatu bahan mempunyai sifat mekanik yang baik tetapi kurang baik pada sifat yang lain, maka diambil langkah untuk mengatasi kekurangan tersebut dengan berbagai cara yang diperlukan. Untuk mendapatkan standar acuan tentang spesifikasi teknik kampas rem, maka nilai kekerasan, keausan lentur dan sifat mekanik lainnya harus mendekati nilai standart keamanan.

  Adapun persyaratan teknik dari kampas rem komposit (www.stopcobrake.com/en/file/en.pdf/SAEJ661) yaitu : a.

  Untuk nilai kekerasan sesuai standart keamanan 68 – 105 (Rocwell R).

  b.

  C, untuk pemakaian terus menerus sampai dengan 120 C. Ketahanan panas 60

  • 4 -3

  2 c.

  • 5 x 10 mm /kg). Nilai keausan kampas rem adalah (5 x 10 d.

  Koefisien gesek 0,14 - 0,27

  3 e.

  . Massa jenis kompas rem adalah 1,5 - 2,4 gr/cm

  o f. K.

  Konduktifitas thermal 0,12 - 0.8 W.m.

  o g.

  C. Tekanan spesifiknya adalah 0,17 – 0,98 joule/g.

  3 h. .

  Kekuatan geser 1300 – 3500 N/cm 3. i.

  Kekuatan perpatahan 480 – 1500 N/cm

2.10 Pengujian Sifat Mekanik

2.10.1 Pengujian Kekerasan

  Kekerasan adalah salah satu sifat mekanik (Mechanical properties) dari suatu material. Kekerasan suatu material harus diketahui khususnya untuk material yang dalam penggunaanya akan mangalami pergesekan (frictional force) dan deformasi plastis. Deformasi plastis sendiri suatu keadaan dari suatu material ketika material tersebut diberikan gaya maka struktur mikro dari material tersebut sudah tidak bisa kembali ke bentuk asal artinya material tersebut tidak dapat kembali ke bentuknya semula. material untuk menahan beban identasi atau penetrasi (penekanan). Uji kekerasan terdiri dari : 1.

  Brinnel ( HB/BHN ), adalah untuk menentukan kekerasan suatu material dalam bentuk daya tahan material terhadap bola baja ( identor ) yang di tekankan pada permukaan material uji tersebut ( spesimen )

  Dimana: D = Diameter bola ( mm ) d = Impression diameter ( mm ) F = load ( beban ) ( kgf ) HB = Brinell Result ( HB )

Gambar 2.6 Pengujian Brinell (Callister, 2001) 2.

  Rockwell ( HR/RHN ), adalah metode pengujian kekerasan dalam bentuk daya tahan terhadap identor dalam bentuk bola baja ataupun kerucut intan yang di tekankan pada permukaan material uji tersebut. Untuk mencari besarnya nilai kekerasan dengan menentukan nilai kekerasan Rockwell di jelaskan pada gambar

  4. Yaitu pada langkah 1, benda uji di tekan oleh identor pada beban dengan beban minor ( Minor Load F0 ), setelah itu di tekan dengan beban mayor ( Mayor Load

  

F1 ) pada langkah 2, dan pada langkah 3 beban mayor di ambil sehingga yang

  tersisa adalah minor load dimana pada kondisi 3 ini identor di tahan seperti pada penelitian ini yang di gunakan adalah pengujian kekerasan dengan metode Rockwell, karena cocok untuk semua material yang keras dan dan lunak dan metode ini lebih sederhana karna penekanannya dapat dengan leluasa.

Gambar 2.7 Prinsip Kerja Metode Kekerasan Rockwell

  Dimana: F0 = beban minor ( load minor ) (kgf) F1 = beban mayor ( load major ) (kgf) F = total beban ( kgf ) e = jarak antara kondisi 1 dengan kondisi 3 yang di bagi dengan 0,002 mm

  E = jarak antar identor saat di beri minor load dan zero referense line yang untuk tiap jenis identor yang berbeda-beda HR = besarnya nilai kekerasan dengan metode hardness

Tabel 2.3 Rockwell Hardness Scales

  F0 F1 F Scale Indentor E Jenis Material Uji

  (kgf) (kgf) (kgf) A Diamond

  10

  50

  60

  10 Exremely hard cone materials, tugsen carbides, dll

  B 1/16" steel

  10 90 100

  13 Medium hard ball materials, low dan medium carbon steels, kuningan, perunggu, dll C Diamond cone

  10 140 150

  13 Sama dengan H scale L 1/4" steel ball

  13 Sama dengan H scale V 1/2" steel 10 140 150

  10 90 100

  13 Sama dengan H scale S 1/2" steel ball

  60

  50

  10

  13 Sama dengan H scale R 1/2" steel ball

  10 140 150

  13 Sama dengan H scale P 1/4" steel ball

  10 90 100

  13 Sama dengan H scale M 1/4" steel ball

  60

  50

  10

  10 140 150

  10 Hardened steels, hardened and tempered alloys

  13 Plastik dan soft metals seperti timah K 1/8" steel ball

  60

  50

  10

  13 Cast iron, alumunium alloys H 1/8" steel ball

  10 140 150

  13 Alumunium sheet G 1/16" steel ball

  60

  50

  10

  13 Berrylium copper, phosphor bronze, dll. F 1/16" steel ball

  10 90 100

  10 Annealed kuningan dan tembaga E 1/8" steel ball

  D Diamond cone 10 90 100

  13 Sama dengan H ball scale 3.

  Vickers, permukaan benda uji ditekan dengan penetrator intan berbentuk piramida dasar piramida berbentuk bujur sangkar dan sudut antara dua bidang miring yang berhadapan 136º. Sudut ini dipilih, karena nilai tersebut mendekati sebagian besar nilai perbandingan yang diinginkan antara diameter lekukan dan diameter bola penumbuk pada uji kekerasan Brinell. Karena bentuk penumbuknya piramid, maka pengujian ini sering dinamakan uji kekerasan piramidsa intan. Angka kekerasan piramida intan (DPH), atau angka kekerasan Vickers (VHN atau VPH), didefinisikan sebagai beban dibagi luas permukaan lekukan. Pada prakteknya, luas ini dihitung dari pengukuran mikroskopik panjang diagonal jejak. DPH dapat ditentukan dari persamaan berikut:

  Dimana : P = Beban yang digunakan (kg) d = Panjang diagonal rata-rata dari bekas penekanan (mm)

  o

  ) θ = Sudut antara permukaan intan yang berlawanan (136

Gambar 2.8 Pengujian Vickers (Callister, 2001) 4.

  Micro hardness ( Knoop hardness ), yaitu pengujian kekerasan yang di gunakan pada material yang nilai kekerasannya rendah ataupun getas seperti keramik.

Gambar 2.9 Bentuk Identor Knoop (Callister, 2001)

  Namun pada penelitian ini pengujian yang di pakai adalah dengan metode hardnes micro vickers.

2.10.2 Pengujian lentur

  Kekuatan ( strength ), menyatakan kemampuan bahan untuk menerima tegangan tanpa menyebabkan bahan menjadi patah. Kekuatan ini ada beberapa macam, tergantung pada jenis beban yang bekerja atau yang mengenainya. Contoh kekuatan lengkung. Material yang lentur ( tidak kaku ) adalah material yang dapat mengalami keregangan bila di beri tegangan atau beban tertentu. Kelenturan merupakan sifat mekanik bahan yang menunjukkan derajat deformasi plastis yang terjadi sebelum suatu bahan putus atau patah. Untuk mengetahui kekuatan lentur suatu material dapat di lakukan dengan pengujian lentur terhadap material tersebut. (Edi Supardi, 1999).

   Kekuatan lentur atau kekuatan lengkung adalah tegangan lentur terbesar

  yang dapat di terima akibat pembebanan luar tanpa mengalami deformasi yang besar atau kegagalan. Besar kekuatan lentur tergantung pada jenis material dan pembebanan. Kekeuatan lentur pada sisi bagian atas sama sisi dengan kekeuatan lentur pada sisi bagian bawah. Pada pengujian lentur terdapat beberapa pengujian seperti two poin bending, three poin bending, four point bending dan lainnya. Tetapi pada penelitian ini di lakukan dengan three poin bending.

Gambar 2.10 Metode Three Point Bending

  Pada perhitungan kekuatan lentur ini, di gunakan persamaan yang ada pada satndar ASTM D790, yaitu : Dimana : S = tegangan lentur ( Mpa ) P = beban / load ( N ) L = panjang span ( mm ) b = lebar ( mm ) d = tebal ( mm )

2.10.3 Pengujian Keausan

  Keausan pada umumnya di definisikan sebagai kehilangan material secara progresif atau pemindahan sejumlah material dari suatu permukaan suatu hasil. Pergerakan relatif antara permukaan tersebut dan permukaan lainnya. Pengujian keausan dapat di lakukan dengan berbagai macam metode dan teknik, yang semuanya bertujuan untuk mensimilasikan kondisi keausan aktual. Adapun jenis-jenis uji keausan yaitu :

  Keausan Adhesive ( Adhesive Wear ), Terjadi bila kontak permukaan dari dua material atau lebih mengakibatkan adanya perlekatan satu sama lainnya ( adhesive ) serta deformasi plastis dan pada akhirnya terjadi pelepasan / pengoyakan salah satu material seperti di perlihatkan pada gambar di bawah ini :

Gambar 2.11 Keausan Metode Adhesive 2.

  Keausan Abrasive (Abrasive Wear) Terjadi bila suatu partikel keras (asperity) dari material tertentu meluncur pada permukaan material lain yang lebih lunak sehingga terjadi penetrasi atau pemotongan material yang lebih lunak. Tingkat keausan pada mekanisme iniditentukan oleh derajat kebebasan (degree of freedom) partikel keras atau asperity tersebut.Sebagai contoh partikel pasir silica akan menghasilkan keausan yang lebih tinggi ketika diikat pada suatu permukaan seperti pada kertas amplas, dibandingkan bila pertikel tersebut berada di dalam sistem slury. Pada kasus pertama, partikel tersebut kemungkinan akan tertarik sepanjang permukaan dan akhirnya mengakibatkan pengoyakan.

  Sementara pada kasus terakhir, partikel tersebut mungkin hanya berputar (rolling) tanpa efek abrasi.

Gambar 2.12 Keausan Metode Abrasive 3.

  Keausan Fatik (lelah), keausan fatik dibutuhkan interaksi multi. Keausan ini terjadi akibat interaksi permukaan dimana permukaan yang mengalami beban berulang akan mengarah pada pembentukan retak-retak mikro. Retak-retak mikro tersebut pada akhirnya menyatu dan menghasilkan pengelupasan material. Tingkat keausan sangat bergantung pada tingkat pembebanan.

Gambar 2.13 Mekanisme Keausan Lelah 4.

  Keausan Oksidasi/ Korosif ( Corrosive Wear ), Proses kerusakan dimulai dengan adanya perubahan kimiawi material di permukaan oleh faktor lingkungan. Kontak dengan lingkungan ini menghasilkan pembentukan lapisan pada permukaan dengan sifat yang berbeda dengan material induk. Sebagai konsekuensinya, material akan mengarah kepada perpatahan interface antara lapisan permukaan dan material induk dan akhirnya seluruh lapisan permukaan itu akan tercabut.

  G ambar 2.14 Mekanisme Keausan Oksidasi

  5. Keausan Erosi ( Erosi Wear ), Proses erosi disebabkan oleh gas dan cairan yang membawa partikel padatan yang membentur permukaan material. Jika sudut benturannya kecil, keausan yang dihasilkan analog dengan abrasive. Namun, jika sudut benturannya membentuk sudut gaya normal ( 90 derajat ), maka keausan yang terjadi akan mengakibatkan

  

brittle failure pada permukaannya, skematis pengujiannya seperti terlihat

  pada gambar di bawah ini :

Gambar 2.15 Skematis Keausan Erosi lakukan dengan pengujian laju ke ausan metode pin on disk. Pengujian keausan di nyatakan dengan jumlah kehilangan/pengurangan specimen tiap satuan luas bidang kontak dan lama pengausan ( Victor Malau dan Adhika Widyaparaga, 2008 )

  Laju keausan di nyatakan dengan : Dengan, W = Laju keausan ( g/ .detik ) W0 = Berat awal specimen sebelum pengausan ( gram ) W1 = Berat akhir specimen setelah pengausan ( gram ) A = Luas bidang kontak dengan pengausan ( ) t = Waktu/lama pengausan ( detik )

  Pengujian ini di lakukan dengan menggunakan metode pin on disk.