TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Kedelai

  

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman Kedelai Akar kedelai terdiri atas akar tunggang, akar lateral, dan akar serabut. Pada

tanah yang gembur, akar ini dapat menembus tanah sampai kedalaman hingga 15

cm. Pada akar lateral terdapat bintil bintil akar yang merupakan kumpulan bakteri rhizobium pengukat N dari udara. Bintil akar ini biasanya akan terbentuk 15-20

hari setelah tanam. Pada tanah yang belum pernah ditanami kedelai atau kacang

kacangan lainnya, bintil akar tidak akan tumbuh. Oleh karena itu benih yang akan ditanam harus dicampur dengan legin (Najiyati dan Danarti, 1999).

  Kedelai berbatang semak, dengan tinggi batang antara 30-100 cm. Setiap batang dapat membentuk 3-6 cabang. Bila jarak antara tanaman dalam barisan rapat, cabang menjadi berkurang atau tidak bercabang sama sekali. Untuk itu diperlukan jarak tanam yang tepat (Rubatsky dan Yamaguchi, 1998).

  Mulyadi dan Sarjiman (2007) mengatakan biji kedelai mengandung protein tinggi, yaitu berkisar 35-43 %. Biji kedelai, selain sebagai bahan makanan juga merupakan bahan dasar untuk industri sedangkan batang dan daunnya juga dapat bermanfaat sebagai pakan ternak, pupuk hijau dan akar-akar yang tertinggal dalam tanah maupun daun yang rontok dapat memperbaiki kesuburan tanah. Penanaman kedelai pada suatu lahan berpotensi memberikan kontribusi dalam perbaikan kesuburan tanah khususnya dalam penyediaan nitrogen (N) dan kegemburan tanah untuk pertanaman berikutnya.

  Daun kedelai hampir seluruhnya trifoliat (menjari tiga) dan jarang sekali mempunyai empat atau lima jari daun. Bentuk daun tanaman kedelai bervariasi, yakni antara oval dan lanceolate, tetapi untuk praktisnya, diistilahkan dengan berdaun lebar (broad leaf) dan berdaun sempit (narrow leaf). Kedelai berdaun sempit lebih banyak ditanam oleh petani dibandingkan tanaman kedelai berdaun lebar, walaupun dari aspek penyerapan sinar matahari, tanaman kedelai berdaun lebar menyerap sinar matahari lebih banyak dari pada yang berdaun sempit.

  Namun, keunggulan tanaman kedelai berdaun sempit adalah sinar matahari akan lebih mudah menerobos di antara kanopi daun sehingga memacu pembentukan bunga (Adisarwanto, 2007).

  Bunga kedelai termasuk bunga sempurna, artinya dalam setiap bunga terdapat alat jantan dan alat betina. Penyerbukan terjadi pada saat mahkota bunga masih menutup, sehingga kemungkinan terjadinya kawin silang secara alam amat kecil. Bunga terletak pada ruas-ruas batang, berwarna ungu atau putih. Tidak semua bunga dapat menjadi polong walaupun telah terjadi penyerbukan secara sempurna. Menurut penelitian Barus (2005) sekitar 60 % bunga rontok sebelum membentuk polong (Suprapto, 1989).

  Polong kedelai pertama kali terbentuk sekitar 7-10 hari setelah munculnya bunga pertama. Panjang polong muda sekitar 1 cm. Jumlah polong yang terbentuk pada setiap ketiak tangkai daun sangat beragam, antara 1-10 buah dalam setiap kelompok. Pada setiap tanaman, jumlah polong dapat mencapai lebih dari 50, bahkan ratusan. Kecepatan pembentukan polong dan pembesaran biji akan semakin cepat setelah proses pembentukan bunga berhenti. Ukuran dan bentuk polong menjadi maksimal pada saat awal periode pemasakan biji. Hal ini kemudian diikuti oleh perubahan warna polong (Irwan, 2006).

  Syarat Tumbuh Iklim

  Faktor iklim yang menentukan pertumbuhan tanaman kedelai adalah lama dan intensitas sinar matahari (panjang hari), suhu, kelembaban udara dan curah hujan. Kemampuan adaptasi kedelai terhadap keragaman faktor iklim tersebut sebenarnya sangat luas, namun “kondisi iklim” yang sesuai perlu diidentifikasi (Guslim, 2008).

  Tanaman kedelai sangat peka terhadap perubahan panjang hari atau lama penyinaran sinar matahari karena kedelai termasuk tanaman hari pendek. Artinya, tanaman kedelai tidak akan berbunga bila panjang hari melebihi batas kritis, yaitu 15 jam per hari. Oleh karena itu, bila varietas yang berproduksi tinggi dari daerah subtropik dengan panjang hari 14 – 16 jam ditanam di daerah tropik dengan rata- rata panjang hari 12 jam maka varietas tersebut akan mengalami penurunan produksi karena masa berbunganya menjadi pendek, yaitu dari umur 50 – 60 hari menjadi 35 – 40 hari setelah tanam (Guslim, 2008).

  Kedelai tumbuh baik pada daerah beriklim basah dengan curah hujan yang

tinggi selama masa pembungaan. Saat pematangan buah dikehendaki keadaan

yang kering. Pertumbuhan optimum kedelai tercapai pada suhu 20 C – 25 C.

Iklim kering lebih disukai kedelai dibanding iklim sangat lembab. Curah hujan

optimum antara 100-200 mm/bulan (Najiyati dan Danarti, 1999).

  Tanah Untuk dapat tumbuh dengan baik, kedelai menghendaki tanah yang subur,

gembur dan kaya akan humus atau bahan organik. Bahan organik yang cukup

dalam tanah akan memperbaiki daya olah dan juga merupakan sumber makanan bagi jasad renik yang akhirnya akan membebaskan unsur hara untuk pertumbuhan

tanaman. Dengan drainase yang baik, kedelai akan tumbuh baik pada tanah

aluvial, regosol, gromosol, latosol dan andosol. Tanah berpasir dapat ditanami

kedelai asal hara dan air untuk pertumbuhannya cukup (Suprapto, 1989).

  Kedelai dapat tumbuh di tanah yang agak masam akan tetapi pada pH yang terlalu rendah bisa menimbulkan keracunan Al dan Fe. Nilai pH yang cocok berkisar antara 5,8 – 7,0. Pada pH di bawah 5,0 pertumbuhan bakteri bintil dan proses nitrifikasi akan berjalan kurang baik (Suprapto, 1989).

  Varietas Varietas adalah sekumpulan individu tanaman yang dapat dibedakan oleh

setiap sifat (morfologi, fisiologi, sitologi, kimia, dll) yang nyata untuk usaha

pertanian dan bila diproduksi kembali akan menunjukkan sifat-sifat yang dapat

dibedakan dari yang lainnya (Sutopo, 1998).

  Penelitian Sinaga (2005) menunjukkan bahwa keragaman ukuran biji kedelai dalam satu varietas terjadi karena keragaman kondisi lingkungan pada berbagai areal pertumbuhan, keragaman kondisi antar tanaman dalam pertanaman, serta keragaman kondisi dan umur polong dalam satu tanaman.

  Penelitian Akhmad (2006) menunjukkan bahwa perbedaan varietas juga dapat terjadi karena kondisi lingkungan yang berbeda terhadap genotif, gen dari tanaman dan nilai heritabilitas dari tanaman tersebut.

  Varietas atau klon introduksi perlu diuji adaptabilitasnya pada suatu

umumnya suatu daerah memiliki kondisi lingkungan yang berbeda terhadap

genotif. Respon genotif terhadap faktor lingkungan ini biasanya terlihat dalam penampilan fenotipik dari tanaman bersangkutan (Darliah dkk, 2001).

  

Allard (2005) menyatakan bahwa gen-gen dari tanaman tidak akan dapat

menyebabkan berkembangnya suatu karakter terkecuali apabila gen-gen tersebut berada dalam lingkungan yang sesuai dan sebaliknya tidak akan ada pengaruh gen-gen terhadap berkembangnya karakteristik dengan merubah tingkat keadaan lingkungan terkecuali gen yang diperlukan ada.

  

Hasil maksimum akan dapat dicapai apabila suatu kultivar unggul

menerima respons terhadap kombinasi optimum dari air, pupuk dan praktek

budidaya lainnya. Semua kombinasi ini penting dalam mencapai produktivitas

(Nasir, 2002).

  

Perbedaan susunan genetik merupakan salah satu faktor penyebab

keragaman penampilan tanaman. Program genetik yang akan diekspresikan pada suatu fase pertumbuhan yang berbeda dapat diekspresikan pada berbagai sifat tanaman yang mencakup bentuk dan fungsi tanaman yang menghasilkan keragaman pertumbuhan tanaman. Keragaman penampilan tanaman akibat perbedaan susunan genetik selalu dan mungkin terjadi sekalipun tanaman yang digunakan berasal dari jenis yang sama (Sitompul dan Guritno, 1995).

  Pupuk Guano Guano merupakan bahan organik yang berasal dari kotoran kelelawar.

  Pupuk organik ini adalah bahan pembenah tanah yang paling baik dan alami. Pada umumnya pupuk organik ini mengandung bahan organik dalam jumlah yang cukup tinggi serta unsur hara makro N, P, K, yang rendah tetapi juga mengandung unsur hara makro dalam jumlah yang sangat dibutuhkan oleh pertumbuhan tanaman terutama akar, batang dan bunga (Sutanto, 2006).

  Penelitian Barus (2005) menunjukkan bahwa pemberian fosfat alam yang dilakukan 2 minggu sebelum tanam dan pemberian kapur berpengaruh tidak nyata terhadap peubah yang diamati. Hal ini disebabkan oleh unsur P dalam guano lambat tersedia bagi tanaman.

  Hasil penelitian Selvakumari et al., (2000) menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik dapat meningkatkan suplai nutrien, memperbaiki aerasi, memperluas zona perakaran dan meningkatkan absorbsi hara sehingga dapat meningkatkan hasil tanaman.

  Penelitian Wahid (2006) menunjukkan bahwa manfaat dari penggunaan pupuk guano antara lain yaitu dapat meningkatkan kesuburan tanah meningkatkan

jumlah dan aktivitas metabolik jasad mikro di dalam tanah, penyumbang unsur

hara P ke dalam tanah, serta meningkatkan pertumbuhan akar dan tunas.

  Penelitian Rahadi (2008) menunjukkan bahwa pemberian pupuk guano

tidak berpengaruh nyata terhadap komponen pertumbuhan dan hasil. Hal ini ini

diduga karena unsur P dalam tanah sudah mencukupi kebutuhan tanaman atau

pengapuran yang dilakukan belum efektif. Diduga masih tersisa kandungan pupuk organik di dalam tanah sehingga dapat dimanfaatkan oleh pertanaman berikutnya.

  Menurut Prasetyo (2008) guano merupakan kotoran kelelawar,

menyimpan potensi besar sebagai pupuk organik. Guano memiliki tingkat

nitrogen terbesar setelah kotoran merpati. Namun, menduduki urutan pertama

dalam bagian kadar unsur fosfat dan menduduki urutan ke tiga terbesar bersama

kotoran sapi perah dalam kadar kalium.

  Pupuk guano merupakan pupuk organik yang diperoleh dari kotoran kelelawar, mengandung unsur hara makro sebesar 7,5% nitrogen (N), 8,1% fosfor

  (P) dan 2,7% kalium (K). Disamping itu pupuk guano juga mengandung unsur hara mikro seperti Mg, Mn, Fe, Zn, Cl dan Cu. Pupuk organik guano mempunyai efek residu jangka panjang karena mempunyai sifat slow release, oleh karena itu pemberian fosfat alam dapat diberikan sekaligus pada saat tanam dan dapat digunakan hingga beberapa musim berikutnya (Rahadi, 2008).

  Deposit guano yang merupakan suatu bahan yang mengandung nitrogen dan fosfat berasal dari akumulasi hasil ekskresi binatang laut dan kelelawar Kandungan guano umumnya 15% N, 10-12% P2O5 sebagai bentuk yang mudah larut dan 2% K2O. Diperkirakan fosfat alam di Pulau Jawa terjadi dengan proses semacam ini, tetapi gua asli sebagai tempat kelelawar menimbun ekskresinya telah hilang akibat erosi dan pelapukan sehingga tinggal deposit fosfat yang diperkaya saja (Sediyarso, 1999).

  Pada umumnya kadar P2O5 dalam fosfat alam di dunia bervariasi dari 16- 37% bahkan yang berasal dari batuan beku bisa mencapai 42% P2O5. Kadar P2O5 sekitar 20-32% dalam deposit sediman umumnya lebih homogen. Pada umumnya deposit fosfat alam di Indonesia mempunyai kadar total P2O5 sangat bervariasi dari rendah sampai sedang dan ada beberapa deposit yang mencapai kadar sampai 40% P2O5. Reaktivitas fosfat alam atau kelarutan fosfat alam yang menentukan kemampuan fosfat alam melepaskan P untuk tanaman juga sangat bervariasi (< 1 – 18% P2O5) (Yusuf, 2000).

  

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

  Penelitian dilaksanakan di Desa Tanjung Selamat Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara dengan ketinggian + 30 meter di atas permukaan laut, dimulai pada bulan Oktober 2011 sampai Januari 2012.

  Bahan dan Alat

  Bahan yang digunakan yaitu benih kedelai varietas Anjasmoro (deskripsi varietas dapat dilihat pada lamiran 4), Burangrang (deskripsi varietas dapat dilihat pada lampiran 5), Argomulyo (deskripsi varietas dapat dilihat pada lampiran 6), pupuk Guano dari PT. Agrosubur Lestari, insektisida Blue-V dan fungisida Fugstop-P.

  Alat yang digunakan adalah cangkul, gembor, meteran, pacak sampel, papan nama penelitian, label penelitian, timbangan, kalkulator, amplop cokelat, dan gunting.

  Metode Penelitian

  Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan 2 faktor perlakuan yaitu : Faktor I : Varietas (V) yaitu :

  V

  1 = Anjasmoro

  V

  2 = Burangrang

  V = Argomulyo

  3 Faktor II : Pupuk Guano (P) yang terdiri dari 5 taraf, yaitu : G = 37,5 g/plot (250 kg/ha)

  1 G 2 = 45 g/plot (300 kg/ha)

  G

  3 = 52,5 g/plot (350 kg/ha)

  G

  4 = 60 g/plot (400 kg/ha)

  G

  5 = 67,5 g/plot (450 kg/ha)

  Dari perlakuan faktor I dan faktor II diperoleh perlakuan sebanyak 15 kombinasi, yaitu :

  V

  1 G

  2 G

  3 G

  1 V

  1 V

  1 V

  1 G

  2 G

  3 G

  2 V

  2 V

  2 V

  1 G

  2 G3

  V

  3 G

  3 V

  3 V G

  V G

  V G

  1

  4

  2

  4

  3

  4 V

  1 G

  2 G

  3 G

  5 V

  5 V

  5 Jumlah ulangan (Blok) : 3

  Jumlah plot : 15 Jumlah plot seluruhnya : 45 Ukuran plot : 150 cm x 150 cm Jarak antar plot : 20 cm Jarak antar blok : 40 cm Jumlah tanaman/plot : 15 Jumlah sampel/plot : 5 tanaman Jumlah sampel seluruhnya : 225 tanaman Jumlah tanaman seluruhnya : 675 tanaman

  Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan sidik ragam dengan model linear aditif sebagai berikut :

  

k + (

αβ) jk + ε ijk i = 1,2,3 j = 1,2, k = 1,2,3,4,5

Y ijk = µ + ρ i + α j + β

  Dimana: Y ijk : Hasil pengamatan pada blok ke-i akibat pengaruh Varietas (V) taraf ke-j dan pengaruh pemberian pupuk Guano (G) pada taraf ke-k µ : Nilai tengah ρ

  α

  j : Efek perlakuan Varietas (V) pada taraf ke-j

  β

  k : Efek pemberian pupuk Guano (G) pada taraf ke-k

  ( αβ)

  jk

  : Interaksi antara perlakuan Varietas (V) taraf ke-j dan pemberian pupuk Guano (G) pada taraf ke-k

  ε

  ijk : Galat dari blok ke-i, perlakuan Varietas (V) ke-j dan pemberian pupuk

  Guano (G) pada taraf ke-k Apabila terhadap sidik ragam yang nyata, dilanjutkan analisis lanjutan dengan menggunakan Uji Rata – Rata Duncant Berjarak Ganda dengan taraf 5 %

  (Bangun, 1991).