BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah - Majalah Hijabella dan Gaya Hidup Dalam Mengimitasi Budaya Populer Berhijab (Studi Korelasi Pada Mahasiswi di Kota Medan)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

  Industri fashion islami di Indonesia terus bergerak dinamis saat ini dan perkembangannya semakin diperhitungkan. Dengan Jumlah Penduduk Indonesia yang mencapai 240 juta, jelas menjadi potensi yang cukup besar untuk mengembangkan industri fashion islami ini. Industri fashion islami mempunyai kedekatan dengan yang namanya hijab, karena hijab merupakan bagian dari integrasi fashion muslim itu sendiri. Di beberapa Negara di dunia maupun di Indonesia, menggunakan hijab sangat rentan dengan diskriminasi. Hal ini dapat dilihat dari lintasan sejarah mengenai revolusi hijab di Indonesia yang bermula pada tahun 1979, saat para siswi yang berkerudung di SPG Negeri Bandung ingin dipisahkan pada sekolah khusus. Mereka pun akhirnya langsung beraksi dengan memberontak atas perlakuan diskriminasi akibat pemakaian hijab. Ketua MUI Jawa Barat akhirnya turun tangan, hingga pemisahan itu berhasil digagalkan. Ini merupakan peristiwa awal dari rentetan panjang sejarah hijab di Nusantara.

  Pada tanggal 17 maret 1982, keluar SK 052/C/Kep/D.82 tentang Seragam Sekolah Nasional oleh Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Prof. Darji Darmodiharjo, S.H. Namun, pelaksanaan terhadap surat keputusan itu justru berujung pada larangan terhadap hijab, sehingga, meledaklah demo barisan pembela hijab di seluruh Indonesia. Ketika itu, memang tengah gencar-gencarnya penggusuran para muslimah pengguna hijab dari bangku pelajaran. Sehingga, siswi muslimah ini terpaksa keluar dari studi demi konsisten menjalankan syariat.

  1

  2 Mereka yang diusir dari sekolah bahkan melanjutkan perkara ini hingga ke pengadilan.

  Belum selesai perjuangan hijab di sekolah-sekolah, kemudian muncul lagi fitnah baru di penghujung 1989. Seorang wanita muslimah bernama Ny.Fadillah yang berbelanja di Pasar Rawu tiba-tiba diserang dan diteriaki serta dituduh penebar racun oleh sekelompok orang. Orang-orang yang tersulut emosi langsung merajam wanita itu hingga hampir meninggal dunia. Peristiwa ini membuat para muslimah menjadi takut keluar rumah. Hingga digelar kembali tabligh akbar ribuan pendukung hijab.

  Korban demi korban terus berjatuhan, namun semangat berbusana takwa makin berkobar hebat. Akhirnya, kebenaran tidak bisa lagi dibendung, aturan Allah-lah yang maha benar. Unjuk rasa, protes, demontrasi, dan dialog intensif serta jalur hukum sampailah di saat yang berbahagia, seiring keluarnya SK Dirjen Dikdarmen No.100/C/Kep/D/1991 yang berisi bahwa hijab lengkap dengan busana menutup auratnya dinyatakan halal atau boleh masuk sekolah.

  Kesadaran muslimah untuk menggunakan hijab di Indonesia sebenarnya berjalan seiring dengan kebangkitan Islam yang dipicu oleh runtuhnya kekuasaan Syah Reza Pahlevi di Iran dan kemenangan kaum Mullah yang melahirkan Revolusi Islam di Iran. Sebelumnya, pada tahun 1936, Shah Reza Pahlevi memang mengeluarkan perintah melarang penggunaan segala bentuk pakaian beruansa Islami oleh perempuan di Iran.

  Namun, setelah runtuhnya kekuasaan tersebut, kebangkitan Islam melanda di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Khusus di Indonesia, revolusi hijab bisa dikatakan berjalan seiring dengan maraknya gerakan dakwah para era

  3 80-an (Firdaus, 2013:21-26). Pada saat itu, Islam di Indonesia bangkit seiring dengan lahirnya kelas menengah yang didukung dengan gerakan politik Islam serta privatisasi media yang terjadi pada tahun 1990-an (Hoesterey dan Clark, 2012:209). Kemudian tumbangnya rezim Soeharto kian membuka keran kebebasan dalam berekspresi menjadi hari “kemenangan”, dimana umat Islam dapat meluapkan gairah keagamaan setelah terkekang pengalaman traumatik pengucilan struktural akibat kebijakan Orde Baru.

  Keberhasilan dalam meraih kebebasan melakukan praktik beragama ini kemudian dimanifestasikan dalam berbagai kegiatan spiritual untuk meluapkan semangat beragama yang tengah berapi-api. Heryanto (2011, hal. 63) mengatakan bahwa sejak tahun 1980-an, sejumlah umat muslim urban yang berpendidikan tinggi memiliki kekuatan politik serta menempati posisi ekonomi yang tinggi. Sebagai implikasinya, muncul urgensi pada umat muslim tersebut untuk “merayakan” hak-hak yang baru mereka dapatkan tersebut, salah satunya dapat dilihat melalui aktivitas gaya hidup, seperti disampaikan Heryanto dalam Hoesterey dan Clark (2012, hal:211) :

  “...like the new bourgeoisie elsewhere, Indonesia’s newly rich Muslims have a new-found preoccupation with lifestyle issues such as the display of wealth and exuberant consumption”

  Pada awalnya memang belum banyak perempuan muslim yang mengenakan hijab, khususnya di Indonesia. Berhijab saat itu dianggap para perempuan sebagai sesuatu yang aneh, tidak modis, tidak flexibel, bahkan kampungan. Model hijab dan baju muslim pada saat itu tidak banyak dan tidak beragam, sehingga membuat para perempuan muslim tidak mau mengenakan hijab.

  4 Memasuki abad ke 21, perkembangan media yang ditandai dengan dibukanya keran kebebasan berekspresi, beraktivitas, dan kebebasan menentukan arah kehidupan di masa depan, kebangkitan dalam beragama termasuk dalam berbusana mulai berkembang pesat. Indonesia menjadi terlihat agamis dan saleh.

  Industri fashion maupun budaya berlabel agama mulai menunjukkan eksistensinya (Yogasaputra, 2012:4-7). Namun, pada saat itu masih banyak pihak yang mempunyai persepsi, terutama kalangan wanita kalau hijab yang benar secara syari’ah itu memakai kerudung kotak, menutupi dada, dan tidak dililit-lilit.

  Persepsi seperti ini masih menjadi tolok ukur apakah perempuan tersebut mengenakan hijab dengan benar atau masih setengah-tengah. Terpaan perkembangan teknologi media yang semakin pesat berpengaruh terhadap kebebasan berekspresi dan beraktivitas.

  Hijab pada saat ini memang telah mengalami perkembangan, penggunaan hijab bukan hanya sekedar untuk menutup kepala dan bagian tubuh perempuan sebagaimana yang disyariatkan oleh agama Islam. Saat ini hijab telah bertransformasi menjadi komoditas modern dengan model hijab yang semakin beragam dan bervariasi yang membuat kaum perempuan berlomba untuk tampil , walaupun menggunakan hijab.

  stylish

  Perkembangan tren berhijab terus menunjukkan eksistensinya di tengah anggapan bahwa modernisasi menggerus nilai-nilai agama. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Widodo dalam Hariyadi (2010:hal.1) yang mengatakan bahwa :

  “Islam is not merely a religion since entrepreneurs are also transforming it into a popular brand for media, cultural and commercial product”.

  Sebagai dampaknya, Ibrahim (2007:135) mengatakan bahwasanya akhir- akhir ini tengah ditanamkan dan terbentuknya suatu ideologi yang samar-samar,

  5 yaitu adanya keinginan di kalangan masyarakat agamis di Indonesia untuk beragama, tetapi tetap trendi dan modis tanpa mengurangi sisi religious. Keinginan umat Islam ini kemudian difasilitasi oleh kemampuan pasar untuk beradaptasi dengan apa saja. Dalam hal ini pasar mampu menyediakan hijab dengan beragam model, corak, dan warna. Dengan demikian, maka permintaan dan daya beli masyarakat Indonesia akan meningkat.

  Menurut data dari McKinsey Global Institute Analysis, kelas menengah Indonesia pada tahun 2020 akan meningkat sebanyak 85 juta penduduk. Jika diamati pada tahun 2020 penduduk muslim di Indonesia ada 80 %, maka kelas menengah muslim mencapai 68 juta. Jika setengahnya adalah perempuan, maka terdapat 34 juta potensi pasar. Asumsikan yang memakai hijab mencapai 50 %, maka terdapat 17 juta potensi pasar (McKinsey&Company, 2012:4 / Lampiran 11).

  Saat ini, pertumbuhan muslimah berhijab di Indonesia memang sangat tinggi. Hal ini bisa dilihat dari meningkatnya permintaan busana muslim, tumbuhnya komunitas-komunitas hijab, banyaknya berbagai kegiatan hijab class, dan lain sebagainya. Salah satu contoh nyata adalah terbentuknya komunitas hijabers pada tahun 2010. Komunitas hijabers adalah komunitas yang pertama membawa tren hijab modern di Indonesia. Sekarang ini tren di dalam berhijab memang tumbuh dengan pesat di negeri ini, hal ini dapat dilihat dari adanya acara fashion festival yang hadir setiap tahunnya di Indonesia. Peran media massa memang tidak dapat dilepaskan dalam pertumbuhan tren fashion di Indonesia. Media massa adalah salah satu faktor penting dalam lingkungan sosial masyarakat modern saat ini. Media massa memang telah membuat masyarakat menjadi sangat

  6 membutuhkannya, baik dalam mendapatkan informasi, pengetahuan, maupun hiburan. Keadaan masyarakat yang membutuhkan media massa memang didukung oleh sifat manusia yang membutuhkan informasi dan hiburan yang sangat dirasakan penting bagi manusia untuk memenuhi rasa keingintahuan mereka. Informasi dan hiburan saat ini memang sudah menjadi kebutuhan pokok manusia. Informasi dan hiburan dapat diperoleh melalui berbagai media, yaitu media cetak yang berupa surat kabar, majalah, tabloid, dan buku; media elektronik berupa radio, televisi, dan film; serta media online (Nurudin, 2007:5). Saat manusia mulai menyadari pentingnya informasi dalam kehidupannya; maka peran media massa baik cetak, elektronik, maupun online menjadi semakin besar. Media massa, khususnya media cetak juga seperti tak ingin kehilangan momentum melihat peluang ini.

  Di dalam penelitian ini, penulis memilih salah satu media cetak majalah sebagai media massa yang digunakan. Dalam penelitian ini penulis mengambil salah satu majalah perempuan islami yang bernama Hijabella. Majalah Hijabella adalah majalah fashion yang memiliki konsep dari 3 (tiga) kata, yaitu : “Ethnic,

  Colourfull, dan Unpredictable

  ”. Hijabella diterbitkan oleh PT. Hijabella yang terbit sebulan sekali. Majalah yang didirikan Dian Pelangi ini terbit dengan edisi perdana pada bulan Maret 2013. Harga Jual untuk majalah ini untuk wilayah Jabodetabek adalah sebesar Rp. 29.500,- dan untuk luar Pulau Jawa sebesar Rp.31.000,-. Sesuai dengan konsepnya, majalah fashion dan gaya hidup seputar muslimah ini sangat cocok bagi muslimah yang energic dan colourfull. Majalah ini banyak membahas tentang kecantikan. Kecantikan muslimah dalam berpakaian maupun berkepribadian serta memberikan pembahasan bagaimana

  7 menampilkan dan memunculkan inner beauty seorang muslimah (memiliki kecantikan paras dan hati), bukan sebaliknya.

  Banyak informasi dan hiburan yang bisa didapatkan dalam berbagai rubrik di majalah ini, mulai dari informasi kecantikan, model hijab maupun pakaian yang dipadu-padankan, make over, travelling, resep makanan, cerpen, tanya jawab seputar fashion, kamus mengenai bahasa arab, agama, hingga psikologi. Untuk tanya jawab seputar fashion ada Dian Pelangi yang merupakan desainer muda muslimah Indonesia, dalam halaman fashion Dian Pelangi memberikan informasi tata cara berhijab yang benar, terutama dalam pemilihan bahan, warna, dan motif. Para muslimah pembaca majalah ini diharapkan dapat lebih harmoni dalam padu- padan atau tidak satu gaya saja, tetapi tetap sederhana dan percaya diri dalam berbusana.

  Alasan penulis memilih majalah Hijabella dalam penelitian ini karena majalah Hijabella adalah media yang bernuansa islami dan sebagai salah satu majalah referensi perempuan islami yang ingin tampil secara stylish tanpa menghilangkan unsur

  syar’i. Majalah hijabella berusaha menuangkan imajinasi

  dan daya kreativitas untuk menampilkan citra sebagai sebuah produk fashion islami. Hal ini sejalan dengan survei Center for Middle-Class Consumer Studies yang menyatakan majalah Hijabella adalah salah satu dari sebelas majalah yang secara rutin mengangkat berbagai isu fashion muslim di Indonesia (Lampiran 11).

  Kemunculan media ini mungkin bisa dianggap biasa saja, namun tidak demikian halnya jika dilihat dari konteks sistem ekonomi kapitalisme yang cukup dominan sekarang ini. Bagi masyarakat dalam sistem kapitalisme, sebuah karya seni dapat dilihat sebagai satu bentuk kebudayaan yang disebut sebagai budaya

  8 massa atau budaya populer. Dalam istilah kapitalisme, budaya pop dapat diartikan sebagai:

  "popular has been considered to be that culture which is prevalent amongst the ‘people’. Generally, these ideas about popular culture construct cultural producers as invariably motivated by commercial greed and a common ideological mission, an assumption which elides the varied motives and ideals of those involved in the culture industries, and their artistic independence."

  (Edensor, 2002: 14) Jika diinterpretasikan, maka budaya pop dapat diartikan sebagai sebuah kebudayaan yang diproduksi secara massal untuk dinikmati atau dikonsumsi masyarakat luas dengan tujuan utama untuk mencari keuntungan. Jika melihat dari isi yang terdapat didalam majalah ini, mulai dari penggunaan model sebagai peraga hijab, kalangan artispun juga ditampilkan sebagai cover dalam majalah ini.

  Layaknya majalah-majalah fashion yang sudah lebih dahulu populer seperti : vogue, cosmopolitan, dan lain sebagainya, majalah ini mencoba mengincar segmentasi perempuan muslim sebagai target marketnya. Mendidik masyarakat secara halus sehingga menempatkan majalah ini sebagai trensetter dalam berhijab.

  Dengan bantuan majalah inilah perempuan muslim dapat menunjukkan identitas dirinya dengan cara pemakaian hijab yang mengikuti mode saat ini. Oleh karena itu, untuk dapat berpenampilan yang cantik itu, perempuan mengkonsumsi hijab yang secara tidak langsung dapat membentuk gaya hidup tersendiri bagi mereka.

  Meskipun dorongan agama yang paling banyak menjadi alasan yang utama untuk mengenakan hijab, akan tetapi dorongan untuk cantik itu lebih besar yaitu hijab dapat dijadikan salah satu penunjang fisik dari seorang perempuan. Hal ini disebabkan karena hijab itu tidak memiliki bentuk yang tetap, apalagi tunggal.

  Nita Savitri sebagai pengamat budaya dan fashion dalam penelitian Lusiana Lubis

  9 (2014) juga membenarkan bahwa hijab pada saat ini sudah banyak pilihan dan seseorang dapat memodifikasi / menggabungkan hijab yang lama, sehingga kelihatan baru dan menarik. Hal inilah yang menjadi daya tarik seorang muslimah di dalam berhijab, mereka menjadi tidak malu dan merasa risih untuk menggunakan hijab. Hijab sekarang ini bukan lagi semata-mata simbol dan kewajiban agama, tetapi sebagai lifestyle.

  Jika berbicara tentang hijab, pasti di dalamnya ada kata perempuan, karena perempuan adalah seseorang yang memang memiliki kewajiban untuk menggunakan hijab. Hal ini juga telah dijelaskan dalam Al-Qur'an Surat An-Nur Ayat 31, yang berisi :

  “Katakanlah kepada perempuan yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau perempuan-perempuan islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang- orang yang briman supaya kamu beruntung” (An- Nur:31).

  Selanjutnya Al-Qur'an Surat Al-Azhab Ayat 59 juga menyatakan bahwa : "Hai Nabi, katakanlah pada istri-istrimu, anak-anak perempuan- mu dan istri-istri orang mukmin : ”Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka”, yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (QS.33 al-Azhab:59).

  Dalam penelitian ini yang menjadi objek penelitian adalah perempuan yaitu mahasiswi, khususnya mahasiswi muslimah. Alasan penulis menggunakan mahasiswi muslimah sebagai objek penelitian ini adalah karena dari hasil

  10 pengamatan peneliti mahasiswi merupakan konsumen terbesar yang melakukan pembelian majalah Hijabella dan mengikuti tren yang ada saat ini atau mengikuti perkembangan zaman. Mengapa dikatakan dapat melakukan pembelian? Karena mereka pasti memiliki uang bulanan bahkan dimasa kuliah mereka sudah dapat bekerja dan menghasilkan uang sendiri. Selain itu, mahasiswi adalah seseorang yang belum bertanggung jawab kepada keluarganya (suami, istri, maupun anak), sehingga fokus terhadap kebutuhan diri sendiri. Selanjutnya, di lingkungan universitas mahasiswi juga ingin menunjukkan siapa dirinya dan tebar pesona melalui fashion yang dikenakan, dalam hal ini fashion dalam menggunakan hijab modern. Hal ini tidak dapat mereka lakukan dilingkungan sekolah yang mengharuskan penggunaan seragam.

  Mahasiswi yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswi muslimah yang berasal dari 3 Universitas yang ada di Kota Medan; yaitu Universitas Sumatera Utara (USU) sebagai universitas negeri yang terkenal di Medan dan memiliki mahasiwi muslimah yang modis dan mengikuti tren didalam menggunakan hijab modern, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) sebagai universitas swasta ternama yang ada di Kota Medan yang sangat menganjurkan mahasiswi yang ada disana untuk menggunakan hijab dan pada kegiatan akademik seperti ujian dan sidang meja hijau wajib menggunakan hijab, dan yang terakhir adalah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) sebagai universitas yang berbasis kepada agama Islam dan semua mahasiswi muslimah yang ada disana menggunakan hijab.

1.2. Pembatasan Masalah 1.

  Dalam penelitian ini media massa yang digunakan adalah media cetak dalam bentuk majalah. Majalah yang digunakan bernama majalah Hijabella. Media

  11 ini bernuansa islami dan menampilkan fashion yang dapat menarik perhatian dan menginspirasi penikmat media tersebut.

2. Imitasi yang dimaksud adalah merupakan peniruan model hijab yang sedang tren saat ini.

  3. Maksud dari gaya hidup berhijab dalam penelitian ini adalah terbentuknya pola tingkah laku atau pola kehidupan sehari-hari seseorang didalam penggunaan hijab modern yang modis, gaya, gaul, trendi, dan lain sebagainya. Jadi gaya hidup yang dimaksud lebih ditekankan dalam fashion penggunaan hijab modern. Penggunaan hijab modern tersebut juga menjadi kebiasaan seseorang dalam kehidupannya.

  4. Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswi muslimah pada 3 universitas di Kota Medan, yaitu: Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), dan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sumatera Utara. Mahasiswi yang menjadi populasi adalah mahasiswi muslimah yang berasal dari program strata1 (S1).

1.3. Perumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: "Sejauhmanakah pengaruh majalah Hijabella dan gaya hidup muslimah dalam mengimitasi budaya populer berhijab pada mahasiswi di Kota Medan?"

  Untuk menjawab permasalahan di atas, dapat dijawab melalui pertanyaan berikut ini :

  1. Apakah ada pengaruh majalah Hijabella dalam mengimitasi budaya populer berhijab pada mahasiswi di Kota Medan ?

  2. Apakah ada pengaruh imitasi budaya populer berhijab terhadap gaya hidup mahasiswi muslimah di Kota Medan ?

  3. Apakah ada pengaruh majalah Hijabella terhadap gaya hidup muslimah dalam mengimitasi budaya populer berhijab pada mahasiswi di kota Medan ?

  Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui pengaruh majalah Hijabella dalam mengimitasi budaya populer berhijab pada mahasiswi di Kota Medan.

  2. Untuk mengetahui pengaruh imitasi budaya populer berhijab terhadap gaya hidup mahasiswi muslimah di Kota Medan.

  3. Untuk mengetahui pengaruh majalah Hijabella terhadap gaya hidup muslimah dalam mengimitasi budaya populer berhijab pada mahasiswi di kota Medan.

  Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat disumbangkan kepada FISIP USU, khususnya Magister Ilmu Komunikasi dalam rangka memperkaya bahan penelitian dan sumber bacaan.

  2. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu menambah dan memperluas wawasan penulis mengenai kajian komunikasi massa sebagai salah satu kajian dalam ilmu komunikasi.

  3. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan masukan yang positif bagi pihak yang terkait dan berkepentingan dalam penelitian.

  12