Gambaran Penerimaan Diri Ibu Tiri Yang Memiliki Anak Tunarungu

(1)

1

GAMBARAN PENERIMAAN DIRI IBU TIRI YANG

MEMILIKI ANAK TUNARUNGU

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

OLEH:

RIZQI CHAIRIYAH

101301007

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

2

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul:

Gambaran Penerimaan Diri Ibu Tiri yang Memiliki Anak Tunarungu

adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini yang saya kutip dari hasil karya orang lain dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan sanksi-sanksi lainnya dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, 03 Februari 2015

Rizqi Chairiyah


(3)

3

Gambaran Penerimaan Diri Ibu Tiri yang Memiliki Anak Tunarungu Rizqi Chairiyah dan Debby Anggraini Daulay

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran penerimaan diri ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. Status ibu tiri yang memiliki penilaian negatif di masyarakat membuat ibu tiri membutuhkan adaptasi untuk menerima statusnya dan kondisi keluarganya termasuk kondisi anak tirinya yang tunarungu. Kekurangan bahasa dan lisan membuat anak tunarungu membutuhkan pelayanan khusus dari orang tua ataupun pengasuhnya. Berkaitan dengan kompleksitas mengenai status ibu tiri dan kondisi anak tunarungu tersebut, maka akan mempengaruhi proses penerimaan diri ibu tiri. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori penerimaan diri dari Jersild (1963) dimana penerimaan diri adalah derajat dimana individu memiliki kesadaran terhadap karakteristiknya, ia mampu dan bersedia untuk hidup dengan karakteristik tersebut. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus intrinsik. Melibatkan 2 orang partisipan dengan menggunakan teknik pengambilan partisipan berdasarkan theory-based operational construct sampling. Teknik pengambilan data yang digunakan adalah metode wawancara dan observasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua partisipan memiliki penerimaan diri yang baik terhadap statusnya sebagai ibu tiri. Partisipan 1 menerima dirinya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu dan menjalani kesepuluh aspek penerimaaan diri dengan baik. Partisipan 1 juga sudah menerima dan menganggap anak tirinya yang tunarungu sebagai anaknya sendiri. Partisipan 2 telah memiliki penerimaan diri yang baik terhadap statusnya sebagai ibu tiri dan dapat menjalani kesembilan aspek penerimaan diri dengan baik dalam hidupnya. Aspek yang tidak terpenuhi pada partisipan 2 yaitu tidak memiliki penerimaan orang lain dengan baik. Namun, partisipan 2 belum bisa menerima dan menganggap anak tirinya yang tunarungu sebagai anaknya sendiri. Hal tersebut dikarenakan perilaku kasar anak tirinya dan penolakan dari ibu mertuanya terhadap dirinya. Pemikiran positif juga berpengaruh terhadap proses penerimaan diri partisipan 1 dan partisipan 2, sehingga kedua partisipan mampu menjalani proses penerimaan dirinya.


(4)

4

The Overview of Stepmother’s Self-Acceptance Who has a Deaf Child Rizqi Chairiyah dan Debby Anggraini Daulay

ABSTRACT

The aim of this research was to describe stepmother’s self-acceptance who has a deaf child. Status of stepmother have a negative assessment in the public make stepmother requires adaptation to accept her status and condition of her family including her deaf children. Deficiency oral and language makes deaf child need special care from their parents or caregiver. Associated with the complexity the status of stepmother and deaf condition of the child, it will affect the process of stepmother’s self-acceptance. The research used self-acceptance theory from Jersild (1963) in which the self-acceptance is the degree to which individuals have the awareness of their characteristics, it is able and willing to live with these characteristics. This study used a qualitative research method with intrinsic case study approach. Involves 2 participants using a technique theory-based operational construct sampling. Data collection techniques used were interview and observation. The result of the research showed that two participants have a good self-acceptance to her status as a stepmother. The first participants accept her selves as stepmother who have a deaf children and undergo of the tenth aspect of self-acceptance herself well. The first participant also has received and considered step child who are deaf as her own. The second participant has a good acceptance of the status as a stepmother and can undergo ninth self-acceptance aspect well in her life. Aspects that are not fulfilled at the second participant that do not have other people with good reception. Until now, the second participant cannot accept and assume stepchildren who are deaf as her own. That is because the rude behavior from stepchild and rejection from mother in law against her. Positive thinking also affect the process of self-acceptance in first participant and second participant, so the both participants are able to undergo the process self acceptance of herself.


(5)

5

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan berkah dan hidayah-Nya selama menjalankan kewajiban menuntut ilmu hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat dan salam penulis ucapkan kepada Nabi Muhammad SAW, semoga penulis selalu dapat meneladaninya.

Adapun judul skripsi yang penulis susun untuk memenuhi tugas akhir ini, yaitu “Gambaran Penerimaan Diri Ibu Tiri yang Memiliki Anak Tunarungu”.

Penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan, bantuan, bimbingan serta saran selama penulis menyelesaikan skripsi ini. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Prof.Dr.Irmawati,M.si.,psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi USU, beserta pembantu Dekan I, II dan III Fakultas Psikologi USU.

2. Kedua orang tua saya sendiri, Mahmuddin dan Asnah yang dengan segenap hati memberikan dukungan dan mendampingi peneliti selama mengerjakan tugas ini mulai dari awal hingga akhirnya peneliti dapat menyelesaikan tugas ini. Terima kasih sebesar-besarnya kepada kedua orang tua saya yang rela bersabar menunggu saya untuk mendapatkan gelar sarjana. Terima kasih kepada ibu saya yang telah bersusah payah membantu mencari informasi mengenai keberadaan partisipan yang


(6)

6

sesuai dengan tema penelitian ini. Jasa yang tidak akan pernah bisa dibalas dengan apapun.

3. Kakak saya yaitu kak Sari yang tiada henti-hentinya menegur dan memarahi peneliti dengan omelannya ketika peneliti lalai mengerjakan tugas ini. Adik-Adikku, Iqbal, Ihsan, Dayat, Dinna, yang selalu rela membantu menemani peneliti keliling untuk menemui partisipan.

4. Kak Debby Anggraini Daulay, M.Psi.Psikolog, selaku dosen pembimbing yang dengan segenap hati telah membimbing saya mulai dari awal hingga akhir dari tugas ini. Terima kasih sebesar-besarnya kepada beliau karena telah memberikan banyak masukan, kritikan, dan saran terhadap penelitian saya ini, sehingga membuat saya mampu mengerjakan tugas ini sampai akhir.

5. Kak Rahma Yurliani, M.Psi. yang juga telah bersedia menjadi second opinion pada metode penelitian saya di bab 3. Terima kasih peneliti ucapkan kepada kak Ama atas waktu yang diberikan kepada saya.

6. Kak Ade Rahmawati Siregar, M.Psi. yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk menguji, memberikan masukan dan kritikan terhadap penyelesaian tugas akhir.

7. Terima kasih kepada Bapak Eka Danta Jaya Ginting., M.A.,Psikolog yang telah bersedia menjadi dosen pembimbing akademik saya selama 4 tahun terakhir ini.


(7)

7

8. Kak Sartika dan kak NB yang telah bersedia menjadi partisipan penelitian dan memberikan infomasi seputar penelitian dan menceritakan pengalamannya kepada peneliti.

9. Terima kasih kepada Riri Amaliah dan Reza Yoga Pratama Ginting yang gak henti-hentinya menegur dan memarahi peneliti ketika peneliti lalai mengerjakan tugas ini. Terima kasih juga untuk dukungan dan nasehatnya selama peneliti mengerjakan tugas ini.

10.Terima kasih kepada Geng Rempong (Icut, Ocha, Anggi, Ririn, Tika) yang selalu memberikan dukungan kepada peneliti, berbagi waktu, kesenangan, kesedihan yang tidak mengenal waktu, dan berbagi bantal bersama. Terima kasih untuk waktunya 4 tahun ini dan untuk Anggi terima kasih telah mengajarkan peneliti tentang makna hidup yang sebenarnya dan mengajarkan peneliti untuk berkata “tidak” sama sesuatu yang gak disukai. Thanks.

11.Terima Kasih Kepada M. Prabudi Aswan Nasution yang telah meluangkan waktunya untuk selalu mengajak peneliti menghabiskan waktu kesana-kesini ketika peneliti merasa bosan. Terima kasih juga selalu mendengarkan keluh kesah peneliti selama mengerjakan tugas ini, meski kaadang gak sependapat.

12.Rekan seperjuangan saya Mahasiswa Psikologi Angkatan 2010 yang telah bersama-sama selama empat tahun menjalani suka dan duka di dunia perkuliahan.


(8)

8

13.Terima kasih kepada seluruh civitas Psikologi USU, Dosen, Staff Pegawai, dan mahasiswa seluruhnya.

Penelitian dengan tema penerimaan diri ibu tiri yang memiliki anak tunarungu dilakukan dalam upaya untuk melihat bagaimana penerimaan diri pada ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. Saya berharap dengan adanya penelitian ini, kita mampu melihat bahwa tidak semua ibu tiri memiliki karakteristik yang kejam. Saya ingin mengajak kita semua untuk mengubah pandangan kita mengenai staus ibu tiri dan kondisi anak tunarungu.

Akhir kata, “tak ada gading yang tak retak” peneliti menyadari bahwa sangat banyak kekurangan dalam penelitian ini, baik informasi, sumber daya, maupun kemampuan saya sendiri. Oleh karena itu, penulis meminta maaf jika terdapat kesalahan penulisan kata yang salah dan tidak berkenan. Keterbatasan ini saya harapkan dapat menjadi masukan untuk penelitian dimasa yang akan datang. Akhirnya, saya berharap agar penelitian ini bermanfaat bagi masyarakat secara luas.

Medan, 03 Februari 2015


(9)

9 DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PERNYATAAN……….. .... i

ABSTRAK………. .... ii

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL………. .... xii

DAFTAR GAMBAR………. .... xiii

DAFTAR LAMPIRAN………. .... xiv

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah Penelitian ... 15

C. Tujuan Penelitian ... 15

D. Manfaat Penelitian ... 15

a. Manfaat Teoritis ... 15

b. Manfaat Praktis ... 16

E. Sistematika Penulisan ... 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 18

A. Penerimaan Diri... 18

1. Pengertian Penerimaan Diri ... 18

2. Aspek-Aspek Penerimaan Diri ... 20


(10)

10

B. Ibu Tiri ... 28

1. Pengertian Ibu Tiri ... 28

2. Penyesuaian dan Pengasuhan Ibu Tiri di dalam Keluarga ... 29

C. Tunarungu ... 31

1. Pengertian Anak Tunarungu ... 31

2. Faktor Penyebab Ketunarunguan ... 32

3. Klasifikasi Anak Tunarungu ... 34

4. Hambatan dalam Mengasuh Anak Tunarungu ... 36

D. Penerimaan Diri Ibu Tiri yang Memiliki Anak Tunarungu ... 38

E. Paradigma Teoritis ... 43

F. Paradigma Berpikir ... 44

BAB III METODE PENELITIAN ... 45

A. Metode Penelitian Kualitatif ... 45

B. Lokasi Penelitian ... 47

C. Partisipan Penelitian ... 47

1. Karakteristik Partisipan ... 47

2. Jumlah Partisipan ... 48

D. Teknik Pengambilan Partisipan ... 49

E. Metode Pengumpulan Data ... 49

F. Alat Bantu Pengumpulan Data ... 50

G. Kredibilitas Penelitian... 52

H. Prosedur Penelitian ... 53


(11)

11

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 56

3. Tahap Pencatatan Data ... 58

I. Metode Analisa Data ... 59

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 62

A. Hasil Partisipan 1 ... 63

1. Analisa Data Partisipan 1 ... 63

2. Data Wawancara Partisipan 1 ... 63

a. Hasil Observasi Partisipan 1... 64

b. Rangkuman Hasil Wawancara Partisipan 1 ... 73

3. Aspek-Aspek Penerimaan Diri ... 93

4. Rekapitulasi Analisa Penerimaan Diri Ibu Tiri yang Memiliki anak Tunarungu Partisipan I ... 119

B. Hasil Partisipan 2 ... 127

1. Analisa Data Partisipan 2 ... 127

2. Data Wawancara Partisipan 2 ... 127

a. Hasil Observasi Partisipan 2... 128

b. Rangkuman Hasil Wawancara Partisipan 2 ... 137

3. Aspek-Aspek Penerimaan Diri ... 172

4. Rekapitulasi Analisa Penerimaan Diri Ibu Tiri yang Memiliki anak Tunarungu Partisipan II ... 198

C. Pembahasan ... 211

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 236


(12)

12

B. Saran ... 240 DAFTAR PUSTAKA ... 243 LAMPIRAN


(13)

13

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Gambaran Umum Partisipan 1 ... 63 Tabel 2 Waktu dan Lokasi Wawancara Partisipan 1 ... 63 Tabel 3 Rekapitulasi Analisa Penerimaan Diri Ibu Tiri yang Memiliki

Anak Tunarungu Partisipan 1 ... 119 Tabel 4 Gambaran Umum Partisipan 2 ... 127 Tabel 5 Waktu dan Lokasi Wawancara Partisipan 2 ... 127 Tabel 6 Rekapitulasi Analisa Penerimaan Diri Ibu Tiri yang Memiliki

Anak Tunarungu Partisipan 2 ... 198 Tabel 7 Analisa Banding antar Partisipan 1 dan Partisipan 2 ... 204


(14)

14

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Skema Gambaran Penerimaan Diri Ibu Tiri yang Memiliki

Anak Tunarungu Partisipan 1... 126 Gambar 2 Skema Gambaran Penerimaan Diri Ibu Tiri yang Memiliki


(15)

15 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Pedoman Wawancara


(16)

3

Gambaran Penerimaan Diri Ibu Tiri yang Memiliki Anak Tunarungu Rizqi Chairiyah dan Debby Anggraini Daulay

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran penerimaan diri ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. Status ibu tiri yang memiliki penilaian negatif di masyarakat membuat ibu tiri membutuhkan adaptasi untuk menerima statusnya dan kondisi keluarganya termasuk kondisi anak tirinya yang tunarungu. Kekurangan bahasa dan lisan membuat anak tunarungu membutuhkan pelayanan khusus dari orang tua ataupun pengasuhnya. Berkaitan dengan kompleksitas mengenai status ibu tiri dan kondisi anak tunarungu tersebut, maka akan mempengaruhi proses penerimaan diri ibu tiri. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori penerimaan diri dari Jersild (1963) dimana penerimaan diri adalah derajat dimana individu memiliki kesadaran terhadap karakteristiknya, ia mampu dan bersedia untuk hidup dengan karakteristik tersebut. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus intrinsik. Melibatkan 2 orang partisipan dengan menggunakan teknik pengambilan partisipan berdasarkan theory-based operational construct sampling. Teknik pengambilan data yang digunakan adalah metode wawancara dan observasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua partisipan memiliki penerimaan diri yang baik terhadap statusnya sebagai ibu tiri. Partisipan 1 menerima dirinya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu dan menjalani kesepuluh aspek penerimaaan diri dengan baik. Partisipan 1 juga sudah menerima dan menganggap anak tirinya yang tunarungu sebagai anaknya sendiri. Partisipan 2 telah memiliki penerimaan diri yang baik terhadap statusnya sebagai ibu tiri dan dapat menjalani kesembilan aspek penerimaan diri dengan baik dalam hidupnya. Aspek yang tidak terpenuhi pada partisipan 2 yaitu tidak memiliki penerimaan orang lain dengan baik. Namun, partisipan 2 belum bisa menerima dan menganggap anak tirinya yang tunarungu sebagai anaknya sendiri. Hal tersebut dikarenakan perilaku kasar anak tirinya dan penolakan dari ibu mertuanya terhadap dirinya. Pemikiran positif juga berpengaruh terhadap proses penerimaan diri partisipan 1 dan partisipan 2, sehingga kedua partisipan mampu menjalani proses penerimaan dirinya.


(17)

4

The Overview of Stepmother’s Self-Acceptance Who has a Deaf Child Rizqi Chairiyah dan Debby Anggraini Daulay

ABSTRACT

The aim of this research was to describe stepmother’s self-acceptance who has a deaf child. Status of stepmother have a negative assessment in the public make stepmother requires adaptation to accept her status and condition of her family including her deaf children. Deficiency oral and language makes deaf child need special care from their parents or caregiver. Associated with the complexity the status of stepmother and deaf condition of the child, it will affect the process of stepmother’s self-acceptance. The research used self-acceptance theory from Jersild (1963) in which the self-acceptance is the degree to which individuals have the awareness of their characteristics, it is able and willing to live with these characteristics. This study used a qualitative research method with intrinsic case study approach. Involves 2 participants using a technique theory-based operational construct sampling. Data collection techniques used were interview and observation. The result of the research showed that two participants have a good self-acceptance to her status as a stepmother. The first participants accept her selves as stepmother who have a deaf children and undergo of the tenth aspect of self-acceptance herself well. The first participant also has received and considered step child who are deaf as her own. The second participant has a good acceptance of the status as a stepmother and can undergo ninth self-acceptance aspect well in her life. Aspects that are not fulfilled at the second participant that do not have other people with good reception. Until now, the second participant cannot accept and assume stepchildren who are deaf as her own. That is because the rude behavior from stepchild and rejection from mother in law against her. Positive thinking also affect the process of self-acceptance in first participant and second participant, so the both participants are able to undergo the process self acceptance of herself.


(18)

16 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dewasa ini, fenomena seorang duda yang menikah lagi (remarriage), bukan menjadi hal yang baru. Status duda disebabkan oleh berakhirnya suatu pernikahan yang terjadi karena istri meninggal dunia, sakit atau bercerai (Glick, dalam Dariyo, 2004). Dikarenakan berakhirnya pernikahan ini, tidak jarang seorang duda memutuskan menikah lagi untuk mencari peran pengganti istri ataupun ibu untuk mengurus kehidupannya dan kehidupan anak-anaknya (Agnes, 2010). Survei yang dilakukan Rizka Moeslichan (2010) terhadap 100 janda dan duda di Indonesia tentang perilaku mereka setelah menghadapi perceraian, membuktikan sebanyak 35% duda memiliki keinginan untuk menikah kembali dibandingkan dengan janda (Syafrina dalam Kompas, 2013). Hal ini juga sesuai dengan survei di Inggris yang melibatkan 2000 pria dewasa, yang membuktikan

sebanyak 47% pria yang telah bercerai lebih “berani” untuk menjalin hubungan

sakral (menikah) lagi dibandingkan dengan mantan istri mereka (Landscappist, 2012).

Adanya ikatan pernikahan yang baru ini, maka akan memunculkan peran ibu pengganti yaitu ibu tiri (Arnee, 2013). Ibu tiri adalah seorang wanita yang dinikahi oleh ayah kandung setelah ayah kandung tidak memiliki ikatan pernikahan dengan ibu kandung, baik karena perpisahan maupun kematian (Beer dalam Zanden, 1997). Munculnya ibu tiri di dalam suatu keluarga, tentu akan


(19)

17

membutuhkan proses adaptasi baru bagi keluarga maupun ibu tiri tersebut (Wiwik, 2010). Adaptasi adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri baik secara internal maupun fisik terhadap keadaan sekitar yang berubah (Hinchliff, S, 1999). Hal ini sesuai dengan kutipan wawancara dengan ibu Erna yaitu sebagai berikut :

“…Keputusan saya untuk menikah dengan laki-laki berstatus duda, bukan

paksaan dari pihak manapun, tapi yah… tentunya butuh adaptasi dengan

lingkungan baru, kayak mana menghadapi keluarga baru saya, karena kan saya punya peran baru untuk menjalani hidup sebagai seorang istri

sekaligus sebagai ibu tiri…

(Komunikasi personal, 20 Oktober 2013)

Dibandingkan pernikahan antara gadis dan jejaka, pernikahan dengan duda atau janda tentu memerlukan lebih banyak pertimbangan, apalagi bila telah mempunyai anak. Seperti yang diungkapkan Farli Erla Zuhanna, P.Si (dalam Ivvaty, 2007) sebagai konsultan di Pusat Konsultasi Psikologi Terapan (PKTP)

Consulting yang berada di Fakultas Psikologi Universitas Pancasila, Jakarta Selatan:

“...perlu disadari bahwa pernikahan ini tidak menyelaraskan dua perasaan saja tapi juga perlu mempertimbangkan anak, orang tua, mertua dan lingkungan sosial. Apalagi, stereotype orang tua tiri lebih kejam dari orang tua kandung masih sangat melekat dalam masyarakat, sehingga muncul persepsi bahwa perlakuan dan pengasuhan orang tua kepada anak biologis (anak kandung) akan berbeda bila dibandingkan dengan anak Non-Biologis (anak tiri) ...”

Fenomena tentang karakteristik ibu tiri yang kejam, jahat, serta tidak perhatian terhadap anak bawaan dari suaminya, memang sudah sejak jaman dahulu berkembang dalam kehidupan bermasyarakat. Pandangan negatif pada ibu


(20)

18

tiri tersebut, muncul dari legenda serta pandangan masyarakat yang mengembangkan cerita-cerita negatif dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga hal ini seringkali membuat status ibu tiri menjadi bahan pembicaraan yang kurang baik di dalam masyarakat (Swari, 2012). Gambaran tentang ibu tiri yang kejam, juga masih melekat pada pandangan sebagian masyarakat jaman sekarang. Hal ini sesuai dengan kutipan wawancara dengan saudari Aina yaitu sebagai berikut:

“…Ibu tiri itukan biasanya digambarin orang-orang hem… punya sifat yang jelek, kayak kejam, jahat, identik dengan penyiksaan sama si anak dari suaminya. Mau jaman dulu atau sekarang, ibu tiri itu tetap punya

gambaran kayak gitu kan istilahnya…”

(Komunikasi personal, 15 Desember 2013) “…Sebaik-baiknya ibu tiri, tetap aja bedalah kasih sayangnya sama anak

dari suaminya, hem…rasa tulusnya pun beda karena kan itu bukan anak

dari rahimnya sendiri, momok yang nakutin deh pokonya kalok bahas ibu

tiri itu…”

(Komunikasi personal, 15 Desember 2013)

Pada kenyataannya tidak semua ibu tiri memiliki karakteristik negatif yang berkembang sesuai dengan cerita di dalam masyarakat. Pada sebagian masyarakat, ada juga yang memiliki pandangan positif mengenai status ibu tiri (Swari, 2012). Hal ini juga sesuai dengan hasil temuan lapangan yang ditemukan oleh peneliti, dimana pada jaman sekarang ini ada sebagian masyarakat yang tidak begitu mempermasalahkan status ibu tiri dan karakteristiknya. Hal ini sesuai dengan kutipan wawancara dengan saudara Dini yaitu sebagai berikut:

“…Kalok dibilang kejam, itu bukan patokan juga sih. Menurut saya, gak

semua ibu tiri tuh kejam, toh ada juga ibu kandung yang kejamnya

melebihi ibu tiri, nyiksa anak kandung juga kan?…”


(21)

19

“…Kejamnya seorang ibu, bukan karena dia itu ibu tiri aja, tapi karena

sifat dan tingkah laku si ibu itu sendiri gimana, terus gimana juga cara

dia ngasuh anaknya, kandung ataupun tiri…”

(Komunikasi personal, 15 Desember 2013)

Pada awalnya, kedatangan orang tua tiri seringkali dipandang sebagai hal yang negatif, namun sebenarnya orang tua tiri dapat menyediakan dukungan dan keamanan bagi keluarga orang tua tunggal. Keberadaan orang tua tiri dapat memberikan tambahan waktu, tenaga, dan bahkan uang yang mungkin saja sangat dibutuhkan oleh keluarga yang dimasuki (Bonkowski, dalam Papalia 2001). Hal ini sesuai dengan kutipan wawancara dengan ibu Erna yaitu sebagai berikut :

“…Saya kan juga kerja, jadi hasilnya itu biasanya buat nambah-nambah

kebutuhan pendidikan, seperti hem..SPP anak dari suami saya, gitulah...

(Komunikasi personal, 20 Oktober 2013)

Oleh karena status ibu tiri yang sering dipandang sebagai hal yang negatif, membuat para wanita yang menyandang peran ini berupaya menyesuaikan diri agar bisa menerima dirinya dengan status tersebut (Agnes, 2010). Penerimaan diri adalah derajat dimana individu memiliki kesadaran terhadap karakteristiknya, sehingga ia mampu dan bersedia untuk hidup dengan karakteristik tersebut (Jersild, dalam Hurlock 1978). Individu yang menerima dirinya sendiri adalah individu yang memiliki keyakinan akan standar-standar dan pengakuan terhadap dirinya tanpa terpaku pada pendapat orang lain dan memiliki perhitungan akan keterbatasan dirinya (Jersild, 1963). Jadi ibu tiri dapat dikatakan memiliki penerimaan diri yang baik, ketika ia memiliki keyakinan bahwa status ibu tiri


(22)

20

bukanlah hal yang negatif, serta ia tidak terpaku pada pandangan ataupun pendapat orang lain mengenai status ibu tiri tersebut.

Pada dasarnya, penerimaan diri adalah sebuah proses (Jersild, 1963). Hal ini dijelaskan oleh Jersild (1963), melalui beberapa aspek penerimaan diri yaitu, persepsi mengenai diri dan sikap terhadap penampilan; sikap terhadap kelemahan dan kekuatan diri sendiri dan orang lain; mampu mengatasi perasaan inferioritas; respon yang baik atas penolakan dan kritikan; keseimbangan antara real self dan

ideal self; memiliki penerimaan diri dan penerimaan orang lain; menerima diri, menuruti kehendak dan menonjolkan diri; menerima diri, spontanitas, menikmati hidup; kejujuran dalam penerimaan diri, serta sikap yang baik terhadap penerimaan diri. Begitu juga dengan status sebagai ibu tiri yang dimiliki oleh seorang wanita, membutuhkan waktu dalam menjalani proses penerimaan diri agar akhirnya ia bisa menerima dirinya dengan status tersebut. Hal ini sesuai dengan kutipan wawancara dengan ibu Erna yaitu sebagai berikut:

“…Kalok ditanya tentang proses, pasti butuh proseslah untuk ngejalani hidup sebagai ibu tiri. Memang awalnya agak dikit susah gitulah, tapi lama-kelamaan, berjalannya waktu..terbiasa aja gitu jadi ibu tiri, yaah..udah bisa nerima gitulah walaupun agak lama gitu. Ngadepin penilaian orang, ngasuh anak tiri sendiri,ya..semua proses itu udah bisa

kakak terima.…”

(Komunikasi personal, 20 Oktober 2013) “….Ada persepsi negatif kan sama sebutan ibu tiri. Denger penilaian

negatif dari orang-orang, ngebuat saya harus bisa nerima diri saya dulu sebagai ibu tiri, baru saya bisa nerima penilaian yang muncul itu. Kan kalok udah punya pandangan positif sama diri sendiri, ntar pasti bisa

ngadepin persepsi negatiftentang ibu tiri yang muncul di masyarakat…” (Komunikasi personal, 2 November 2013)


(23)

21

Individu yang memiliki penerimaan diri yang baik, umumnya akan berpikir lebih realistik tentang penampilan dan bagaimana dirinya terlihat dalam pandangan orang lain (Jersild, 1963). Pandangan realistik ini berupa persepsi positif yang dimiliki ibu tiri, dengan meyakini bahwa pandangan negatif yang muncul di masyarakat merupakan hal yang tidak sepenuhnya benar. Oleh karena itu, pandangan realistik yang dimiliki oleh ibu tiri merupakan suatu proses untuk mengevaluasi respon ataupun penilaian yang muncul tentang dirinya dihadapan orang lain.

Peran ibu tiri selain menjadi seorang istri, ia juga memiliki tanggung jawab untuk menggantikan peran ibu kandung dalam mengasuh anak-anak dari suaminya (Agnes, 2010). Dalam menjalani perannya, ibu tiri juga harus dapat menyesuaikan diri dengan berbagai keadaan yang menjadi karakteristik dari keluarga barunya tersebut. Selain harus menerima kondisi sang suami sebagai duda, ibu tiri juga harus menerima segala kondisi keluarga, seperti keadaan rumah tangga, kondisi ekonomi, kondisi anak dari suaminya dan sebagainya. Hal ini sesuai dengan kutipan wawancara dengan ibu Erna yaitu sebagai berikut :

...Setiap keluarga kan pasti udah punya aturan, kebiasaan, hem..karakteristik yang beda-beda antar anggota keluarganya, jadi..sebagai orang baru, sebagai ibu tiri juga, saya harus menerima segalakondisi apapun yang terjadi di dalam keluarga baru saya, nerima Bapaknya, anak-anaknya..karena itu semua adalah kehidupan saya, kehidupan baru saya sebagai istri dan ibu tiri....


(24)

22

Salah satu kondisi yang dirasakan berbeda dan tentunya membutuhkan penyesuaian khusus antara lain adalah ketika menghadapi kondisi anak tiri yang berkebutuhan khusus. Ketika orang tua mengetahui bahwa anaknya mengalami suatu kondisi kecacatan tertentu, tentu ia akan menunjukkan berbagai reaksi emosi seperti cemas, sedih khawatir, takut, serta marah (Safaria, 2005). Begitu juga yang dialami oleh ibu tiri ketika ia menghadapi dan menerima kondisi anak tiri yang berkebutuhan khusus, maka ibu tiri akan merespon serta memiliki persepsi yang berbeda-beda pula. Hal ini berkaitan dengan penerimaan dan kesiapan pola asuh yang memiliki tantangan yang lebih berat (Mahabbati, 2009). Hal ini sesuai dengan kutipan wawancara dengan ibu Hanum dan ibu Muna, yaitu sebagai berikut :

“...Awalnya, kakak ngerasa “aneh” gitu waktu ngadepin anak luar biasa

ini, shock jugak pasti kan? Bingung harus gimana, sempat ngerasa malu

jugak sih waktu itu ...”

(Komunikasi personal, 20 Oktober 2013)

“...Karena kakak belum pernah punya anak, dan gak pernah jugak kan

ngurus anak luar biasa, jadi waktu pertama ngerawatnya sempat bingung,

terus kesal juga...karena kan gak ngerti apa mau dia...”

(Komunikasi personal, 20 Oktober 2013)

Kondisi anak yang berkebutuhan khusus, tentu membutuhkan perhatian, dukungan serta pelayanan yang khusus dari keluarganya (Heward, 1996). Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki keunikan tersendiri dalam jenis dan karakteristiknya, yang membedakan anak tersebut dari anak-anak normal pada umumnya. Anak dikatakan berkebutuhan khusus jika ada sesuatu yang kurang atau bahkan lebih dalam dirinya (Soemantri, 2006). Selain itu menurut


(25)

23

Heward (1996), anak berkebutuhan khusus adalah anak yang membutuhkan pendidikan dan pelayanan khusus untuk mengoptimalkan potensi kemanusiaannya secara utuh akibat adanya perbedaan kondisi dengan kebanyakan anak lainnya.

Anak berkebutuhan khusus, umumnya dianggap “aneh” oleh sebagian

besar orang. Hal ini disebabkan, karena anak berkebutuhan khusus dianggap berbeda dari anak normal lainnya. Perbedaan ini dikarenakan anak berkebutuhan khusus memiliki keterbatasan pada dirinya karena kemungkinan adanya masalah pada perkembangan fungsi indera, kemampuan belajar, perilaku dan emosi, serta kesulitan berinteraksi sosial dengan orang lain pada umumnya (Soemantri, 2006). Seorang anak berkebutuhan khusus, bisa saja memiliki satu ataupun beberapa keterbatasan (tunaganda) pada dirinya, yang dikhawatirkan akan dapat memperparah kondisi penyesuaian diri dalam kehidupan sehari-hari (Hallahan and Kauffman, 1988). Berdasarkan data Pusdatin (Pusat Data dan Informasi) Kementrian Sosial, jumlah penyandang disabilitas diperkirakan mencapai 4,8 persen dari 240 juta penduduk Indonesia, dengan perincian 3.474.035 adalah

tunanetra; 3.010.830 adalah tunadaksa; 2.547.626 adalah tunarungu; 1.389.614 adalah tunagrahita; dan 1.158.012 adalah penyandang disabilitas kronis (BKKBN, 2013).

Salah satu yang termasuk anak berkebutuhan khusus dengan masalah fungsi indera adalah tunarungu. Anak tunarungu merupakan anak yang memiliki gangguan pada pendengarannya, sehingga tidak dapat mendengar bunyi dengan sempurna atau bahkan tidak dapat mendengar sama sekali (Hallahan dan Kauffman, 1988). Tunarungu dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu tuli


(26)

24

(deaf) dan kurang dengar (hard of hearing). Tuli (deaf) adalah anak yang indera pendengarannya mengalami kerusakan dalam taraf berat sehingga pendengarannya tidak berfungsi lagi meskipun menggunakan alat bantu dengar (hearing of aids). Sedangkan, kurang dengar (hard of hearing) adalah anak yang indera pendengarannya mengalami kerusakan, tetapi masih dapat berfungsi untuk mendengar, baik menggunakan ataupun tanpa menggunakan alat bantu dengar (Hallahan dan Kauffman, 1988). Adapun penyebab kelainan pendengaran atau tunarungu dapat terjadi sebelum anak dilahirkan (pre-natal), seperti keturunan, kelainan organ pendengaran sejak dalam kandungan, ataupun sesudah anak dilahirkan (post-natal), seperti infeksi, meningitis, otitis media, serta trauma fisik (Heward, 1996).

Bahasa memiliki peranan penting dalam komunikasi. Anak tunarungu memiliki kekhasan tersendiri dalam berkomunikasi jika dibandingkan dengan anak berkebutuhan khusus lainnya. Anak tunarungu akan menggunakan bahasa isyarat (cued speech) ketika berkomunikasi dengan orang lain. Bahasa isyarat yang dilakukan oleh anak tunarungu, membutuhkan pemahaman khusus agar dapat mengerti maksud pembicaraan anak tersebut. Adanya keterbatasan dalam bahasa dan komunikasi pada anak tunarungu, maka anak tunarungu akan mengalami kesulitan untuk menyampaikan keinginan, perasaan ataupun ide-ide yang dimilikinya (Mangunsong, 2009). Jika dibandingkan dengan anak berkebutuhan khusus lainnya seperti anak tunanetra, yang masih mampu berkomunikasi untuk menyampaikan keinginan, perasaan ataupun ide-ide yang dimilikinya karena masih mampu untuk mendengar dan berbicara seperti anak


(27)

25

normal pada umumnya. Selain itu, anak tunarungu tidak dapat menggunakan pendengarannya untuk dapat mengartikan pembicaraan, walaupun sebagian pembicaraan dapat diterima dengan alat bantu mendengar (Soemantri, 2006). Apabila dilihat secara fisik, anak tunarungu tidak berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Namun, pada saat berkomunikasi baru diketahui bahwa anak tersebut mengalami ketunarunguan. Apabila tidak mendapatkan penanganan yang tepat, ketunarunguan dapat mengakibatkan terjadinya suatu kendala atau hambatan dalam berbagai aspek kehidupan seseorang (Meadow, dalam Hallahan dan Kauffman, 1988).

Kekurangan akan pemahaman bahasa lisan atau tulisan seringkali menyebabkan anak tunarungu menafsirkan sesuatu secara berbeda atau salah, sehingga menyebabkan tekanan emosi pada dirinya. Respon emosi yang ditampilkan umumnya seperti frustasi, temper, keras kepala, dan bisa juga menjadi menarik diri. Bila tidak ditangani sejak dini, maka tekanan emosi tersebut pada akhirnya dapat menghambat perkembangan kepribadiannya. Kondisi inilah yang kemudian dapat mengganggu interaksi ataupun proses sosial dalam lingkungan kehidupannya sehari-hari (Soemantri, 2006).

Mengingat berbagai hambatan yang dialami anak tunarungu, maka dibutuhkan pelayanan khusus berupa perhatian dan pengawasan yang lebih. Pengawasan dan perhatian yang diberikan kepada anak tersebut pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan anak normal lainnya. Hanya saja dengan kondisi ketunarunguan anak tersebut, dibutuhkan pemahaman lebih mengenai kondisi anak agar penanganannya tepat serta memiliki kesabaran dalam menghadapi


(28)

26

perilaku anak agar dukungan dalam proses belajar dapat berjalan dengan lebih baik. Selain itu, orang tua juga tetap harus meningkatkan kehangatan agar terciptanya kepercayaan dalam membina hubungan serta berusaha menerima segala kekurangan yang dimiliki anak (Rye, 2007).

Umumnya, hambatan yang paling sering ditemui pada orang tua yang mengasuh anak tunarungu adalah kurangnya pemahaman atau pengetahuan orang tua tentang anak tunarungu, sehingga dengan segala keterbatasan yang ditunjukkan anak dapat memicu timbulnya sikap yang kurang sabar dalam mengasuh anak tunarungu tersebut (Heward, 1996). Hal ini sesuai dengan kutipan wawancara dengan ibu Nurul, yaitu sebagai berikut:

“…Gak ngerti sih awalnya ngurusin anak tunarungu ini, bingung gitu kan

komunikasi sama dia kayak gimana, terus belom lagi waktu dia rewel minta ini-itu..susahlah mahaminya gimana ditambah saya gak bisa bahasa isyarat ke dia supaya dianya ngerti. Sempat kesel juga sih ngadepin

maunya dia apa, karena gak jelas itu kan?…”

(Komunikasi Personal, 2 November 2013)

“…Kalok kurang sabar, sih iya. Karena ini kan sebenernya pengalaman

pertama kakak juga ngurus anak tunarungu kan? Kurang sabarnya yaah itulah waktu keinginan kita sama keinginan dia itu gak sesuai..yaudah

jadinya ngerasa gak sabar aja ngadepin dia kadang…”

(Komunikasi Personal, 2 November 2013)

Berkaitan dengan kompleksitas dalam upaya penanganan dan pengasuhan anak tunarungu tersebut, maka proses penerimaan diri ibu tiri tentu akan menjadi lebih sulit. Menerima status sebagai ibu tiri saja sudah membutuhkan proses, apalagi ketika ia harus dihadapkan pada kondisi pengasuhan anak tiri yang mengalami tunarungu. Dengan adanya berbagai tantangan dan hambatan yang


(29)

27

harus dijalani dan dihadapi untuk menjadi ibu tiri yang memiliki anak tunarungu, maka ibu tiri harus berusaha menerima dirinya untuk menjalani kehidupan dengan status tersebut serta mengasuh anak tirinya dengan segala keterbatasan yang dimilikinya. Hal ini sesuai dengan kutipan wawancara dengan saudari Nurul, yaitu sebagai berikut :

“…Penilaian dari orang-orang sekitar itu memang paling berdampak sih

ke saya. Hem..intinya saya harus bisa sih nerima penilaian- penilaian orang tentang status ibu tiri itu. Terus nambah lagi kan status saya,

jadinya ibu tiri yang punya anak tunarungu…hehehe…hem…berupaya

sabar, nerima aja sih intinya ngadepin penilaian negatif dari orang-orang, walaupun sempat juga marah ke diri sendiri, kesel gitu…”

(Komunikasi Personal, 2 November 2013)

“…Saya coba sih untuk paham apa maunya anak saya (tiri), walaupun agak terkendala waktu sih, tapi saya coba cari tahu ‘googling’ nyari

gimana cara ngasuh anak tunarungu, cara beajar bahasa isyarat, kayak gitu sih…”

(Komunikasi Personal, 2 November 2013)

Mengingat proses penerimaan diri yang membutuhkan waktu, dengan adanya respon positif maupun negatif yang muncul dari penilaian masyarakat, tentu dapat mempengaruhi pandangan realistik ibu tiri itu sendiri. Menurut Jersild (1963), individu yang memiliki penerimaan diri yang baik, akan menerima respon maupun kritikan yang muncul sebagai hikmah untuk mengevaluasi diri menjadi lebih baik. Jadi apabila ibu tiri memiliki penerimaan diri yang baik, maka ibu tiri akan menerima respon maupun kritikan yang muncul sebagai hikmah untuk mengevaluasi diri menjadi lebih baik. Namun, apabila ibu tiri tidak memiliki penerimaan diri yang baik, maka ia akan menganggap respon serta kritikan yang muncul sebagai penolakan terhadap dirinya. Hal inilah yang pada akhirnya dapat


(30)

28

memunculkan perasaan inferior atau merasa tidak berdaya di dalam dirinya (Jersild, 1963).

Sejalan dengan aspek penerimaan diri Jersild (1963) tentang keseimbangan real self dan ideal self, menyatakan bahwa setiap orang memiliki

real self dan ideal self, namun tidak semua individu dapat menerima dirinya, karena ideal self dan real self yang ada di dalam dirinya. Begitu juga halnya dengan diri ibu tiri. Real self adalah sesuatu yang diyakini seseorang sebagai dirinya, sedangkan ideal self adalah harapan seseorang terhadap dirinya (Hurlock, 1978). Apabila ideal self tersebut tidak realistis dan sulit untuk dicapai dalam kehidupan yang nyata, maka hal ini akan menyebabkan rasa kecewa, menyesal, dan frustrasi (Hurlock, 1978). Hal ini sesuai dengan kutipan wawancara dengan ibu Nurul, yaitu sebagai berikut :

“…Kalok ditanya pengennya apa..ya..dapet suami lajang, punya keluarga

sendiri, nata keluarga sama-sama, punya anak dari rahim sendiri, tapi kan keadaannya sekarang beda..tapi yaudah jalanin aja yang penting udah hidup sama-sama suami, anaknya, tenanglah…”

(Komunikasi personal, 20 Oktober 2013)

“…Ya..sebagai orang tua pasti pengen punya anak yang baik-baik..normal gitu kan. Gak kurang apa-apa didirinya. Hem..tapi kakak kan kenyataannya sekarang dapet duda, terus punya anak yang luar biasa pulak. Ya..mau gimana udah jodoh kakak dapet suami yang seperti itukan? Tapi kakak sama sekali gak ngerasa nyesal kok punya hidup yang sekarang ini, gak seburuk pikiran orang-orang. Masa depan kakak

sekarang ya sama mereka…”

(Komunikasi personal, 20 Oktober 2013)

Jadi berdasarkan penjelasan diatas, agar ibu tiri bisa menyesuaikan ideal self dengan real self-nya, ibu tiri harus memiliki harapan-harapan realistis yang


(31)

29

memungkinkan untuk dicapainya, serta berupaya untuk dapat menerima dirinya sendiri dengan status tersebut. Selain itu, Jersild (1963) juga menjelaskan aspek penerimaan diri tentang penerimaan diri dan penerimaan orang lain. Menurut Jersild (1963), setelah individu dapat menerima dirinya sendiri, dan keadaan dirinya telah diterima oleh orang lain, maka individu tersebut memiliki keleluasaan untuk menikmati segala hal dalam hidupnya. Jadi, agar status ibu tiri yang memiliki anak tunarungu dapat diterima oleh orang lain, maka terlebih dahulu ibu tiri harus berupaya menerima dan menyesuaikan dirinya dengan status tersebut.

Berdasarkan uraian diatas, proses penerimaan diri akan dapat berjalan lebih baik, ketika individu memiliki harapan dan pandangan yang realistis terhadap keadaannya. Ia juga memiliki keyakinan akan standar-standar yang dimilikinya tanpa terlalu terpaku pada pendapat orang lain, serta dapat menerima kekurangan dan kelebihan di dalam dirinya (Jersild, 1963). Setiap individu akan memiliki cara-cara tersendiri dalam menerima dirinya. Hal ini juga terjadi pada ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. Penerimaan diri tidak akan dapat ibu tiri peroleh begitu saja tanpa dapat melalui hambatan dan permasalahan terhadap status dan kondisi anak tirinya yang tunarungu. Melalui penelitian ini, peneliti juga ingin mengetahui lebih dalam tentang bagaimana proses penerimaan diri ibu tiri yang dihadapkan dengan kondisi anak tunarungu.


(32)

30 B. Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka peneliti mencoba merumuskan masalah penelitian dalam bentuk pertanyaan yaitu :

a.“Bagaimana gambaran penerimaan diri Ibu tiri yang memiliki anak

tunarungu?”

b. “Bagaimana pengaruh pemikiran positif terhadap proses penerimaan diri

ibu tiri yang memiliki anak tunarungu?”

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui gambaran penerimaan diri ibu tiri yang memiliki anak tunarungu.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan dua manfaat, yaitu: manfaat secara teoritis dan manfaat secara praktis.

1. Manfaat Teoritis

- Menjadi salah satu sumber bahan atau rujukan untuk mengembangkan penelitian sejenis dimasa depan.

- Memberikan manfaat dalam mengembangkan ilmu Psikologi terutama pengetahuan dalam bidang psikologi perkembangan yang berkaitan dengan penerimaan diri ibu tiri yang memiliki anak tunarungu.


(33)

31 2. Manfaat Praktis

- Bagi subjek diharapkan penelitian ini dapat memberikan masukan dan informasi mengenai penerimaan diri sebagai ibu tiri terutama bagi ibu tiri yang memiliki anak tunarungu.

- Bagi masyarakat, agar dapat memahami keadaan psikologis ibu tiri yang memiliki anak tunarungu, sehingga dapat memberikan dukungan sosial yang dibutuhkan.

- Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi para peneliti lainnya untuk pengembangan penelitian lebih lanjut.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

 BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini menjelaskan tentang latar belakang masalah penelitian, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penullisan.

 BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menguraikan tentang tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah. Teori-teori yang dinyatakan adalah teori-teori yang berhubungan dengan penerimaan diri, ibu tiri dan anak tunarungu. Bab ini diakhiri dengan pembuatan paradigma peneltian.


(34)

32

 BAB III : METODE PENELITIAN

Dalam bab ini dijelaskan alasan digunakannya pendekatan kualitatif, responden penelitian, lokasi penelitian, teknik pengambilan partisipan, metode pengambilan data, alat bantu pengumpulan data, kredibilitas penelitian, serta prosedur penelitian.

 BAB IV : ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini berisi deskripsi partisipan, analisa dan pembahasan data yang diperoleh dari hasil temuan lapangan dalam bentuk penjelasan yang terperinci yang menghubungkan data temuan lapangan dengan teori yang telah dijabarkan di bab II untuk menjawab .

 BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini menguraikan kesimpulan yang menjabarkan jawaban dari pertanyaan rumusan masalah penelitian dan memberikan saran berupa saran praktis dan saran untuk penelitian selanjutnya.


(35)

33 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Bagian ini menjelaskan mengenai teori penerimaan diri ibu tiri yang sejalan dengan fokus penelitian yaitu penerimaan diri ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. Menjawab rumusan masalah penelitian, maka fokus teori yang akan diuraikan mengenai pengertian penerimaan diri, aspek-aspek penerimaan diri yang dikemukakan oleh Jersild (1963). Teori mengenai ibu tiri, pengasuhan ibu tiri di dalam keluarga, dan anak tunarungu juga akan diuraikan.

A. Penerimaan Diri

1. Pengertian Penerimaan Diri

Penerimaan diri adalah derajat dimana individu memiliki kesadaran terhadap karakteristiknya, kemudian ia mampu dan bersedia untuk hidup dengan karakteristik tersebut. Individu yang menerima dirinya sendiri adalah individu yang memiliki keyakinan akan standar-standar dan pengakuan terhadap dirinya tanpa terpaku pada pendapat orang lain dan memiliki perhitungan akan keterbatasan dirinya tanpa memandang dirinya secara irasional atau tidak masuk akal (Jersild dalam Hurlock 1978).

Menurut Maslow (dalam Hjelle & Ziegler, 1992) penerimaan diri adalah sikap positif terhadap dirinya sendiri, individu dapat menerima keadaan dirinya secara tenang, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Individu tersebut bebas dari rasa bersalah, rasa malu, dan rendah diri karena keterbatasan diri serta


(36)

34

bebas dari kecemasan akan adanya penilaian dari orang lain terhadap keadaan dirinya.

Menurut Jersild (1963), individu yang memiliki penerimaan diri akan berfikir lebih realistik tentang penampilan dan bagaimana dirinya terlihat dalam pandangan orang lain. Hal ini bukan berarti individu tersebut mempunyai gambaran sempurna tentang dirinya, melainkan individu tersebut dapat melakukan sesuatu dan berbicara dengan baik mengenai dirinya yang sebenarnya.

Jersild (1963) mengemukakan individu yang memiliki penerimaan diri, akan memandang kelemahan dan kekuatan dalam dirinya lebih baik daripada individu yang tidak memiliki penerimaan diri. Individu tersebut kurang menyukai jika harus menyia-nyiakan energinya untuk melakukan hal yang tidak mungkin, atau berusaha menyembunyikan kelemahan dirinya sendiri maupun orang lain. Individu akan menggunakan kemampuan yang dimilikinya dengan lebih leluasa. Selain itu, individu juga bersikap baik dalam menilai kelemahan dan kekuatan dirinya dan orang lain.

Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa penerimaan diri adalah sikap positif individu terhadap dirinya sendiri, dimana individu memiliki kesadaran terhadap karakteristiknya, menerima keadaan dirinya, kemudian ia mampu dan bersedia untuk hidup dengan karakteristik tersebut serta memiliki keyakinan akan standar-standar dan pengakuan terhadap dirinya tanpa terpaku pada pendapat orang lain serta dapat memandang kelemahan serta kekuatan dalam dirinya dan orang lain dengan lebih baik.


(37)

35 2. Aspek-Aspek Penerimaan Diri

Jersild (1963) mengemukakan beberapa aspek-aspek penerimaan diri sebagai berikut :

a. Persepsi mengenali diri dan sikap terhadap penampilan

Individu yang memiliki penerimaan diri yang baik, berarti dia sudah dapat mengenali dirinya sendiri, dapat berpikir lebih realistik tentang penampilannya dan bagaimana dirinya terlihat dalam pandangan orang lain. Bagaimana seorang individu mempersepsikan dirinya dengan baik, bukan berarti individu tersebut mempunyai gambaran sempurna tentang dirinya, melainkan individu tersebut dapat melakukan sesuatu dan berbicara dengan baik mengenai dirinya yang sebenarnya.

b. Sikap terhadap kelemahan dan kekuatan diri sendiri dan orang lain

Individu yang memiliki penerimaan diri yang baik, mempunyai pandangan yang positif mengenai kelemahan dan kekuatan yang ada pada dirinya. Menurutnya, merupakan hal yang sia-sia jika energinya hanya dipakai untuk berusaha menjadi sesuatu yang tidak baik, atau berusaha menyembunyikan kelemahan dirinya sendiri di depan orang lain. Individu yang memiliki penerimaan diri yang baik, tidak hanya berdiam diri dengan kemampuan yang dimilikinya, namun akan menggunakan bakat ataupun kelebihan yang dimilikinya dengan lebih baik dan leluasa. Individu juga dapat menilai kelemahan dan kekuatan orang lain dengan lebih baik pula.


(38)

36

c. Perasaan inferioritas sebagai gejala penolakan diri

Menurut Adler (dalam Hall dan Lindzey, 1978), perasaan inferior adalah rasa kurang berharga yang timbul karena ketidakmampuan psikologis atau sosial yang dirasa secara subjektif, ataupun karena keadaan jasmani yang kurang sempurna. Perasaan inferior yang muncul ini, berasal dari dalam diri (internal) dan dari lingkungan (eksternal) individu. Inferioritas merupakan perasaan yang relatif tetap (persistent) tentang ketidakmampuan diri, atau munculnya kecenderungan untuk merasa kurang dan rendah diri. Seorang individu yang terkadang merasakan inferioritas atau disebut dengan infeority complex, adalah seorang individu yang tidak memiliki sikap penerimaan diri yang baik dan hal tersebut akan mengganggu penilaian yang realistik atas dirinya. Individu yang memiliki rasa inferior, akan membuat dirinya menjadi menolak atau menarik diri dari lingkungan sosialnya (Jersild, 1963).

d. Respon yang baik atas penolakan dan kritikan

Individu yang memiliki penerimaan diri tidak menyukai kritikan, namun demikian individu mempunyai kemampuan untuk menerima kritikan bahkan dapat mengambil hikmah dari kritikan tersebut. Ia berusaha untuk melakukan koreksi atas dirinya sendiri, dimana hal ini merupakan hal yang penting dalam perkembangannya menjadi seorang individu dewasa dan dalam mempersiapkan diri untuk menghadapi masa depan. Individu yang tidak memiliki penerimaan diri justru menganggap kritikan sebagai wujud penolakan terhadap dirinya. Hal yang penting dalam penerimaan diri yang baik adalah mampu belajar dari


(39)

37

pengalaman dan meninjau kembali sikapnya yang terdahulu untuk memperbaiki diri.

e. Keseimbangan antara “real self”dan“ideal self”

Tidak semua individu dapat menerima dirinya, karena setiap orang memiliki real self dan ideal self di dalam dirinya. Real self adalah sesuatu yang diyakini seseorang sebagai dirinya, sedangkan ideal self adalah harapan seseorang terhadap dirinya. Apabila ideal self tersebut tidak realistis dan sulit untuk dicapai dalam kehidupan yang nyata, maka hal ini akan menyebabkan rasa kecewa, menyesal dan frustrasi (Hurlock, 1978). Individu yang memiliki penerimaan diri adalah individu yang dapat mempertahankan harapan dan tuntutan dari dalam dirinya dengan baik. Agar individu dapat menyesuaikan

ideal self dan real self-nya, maka individu harus mempersiapkan atau memiliki harapan-harapan lain yang dapat dicapainya sehingga ia tidak akan kecewa ketika harapan atau real self yang diinginkannya tidak tercapai.

f. Memiliki penerimaan diri dan penerimaan orang lain dengan baik

Seorang individu yang menyayangi dirinya, maka akan lebih memungkinkan baginya untuk menyayangi orang lain. Apabila seorang individu tidak menyukai dirinya, maka akan lebih memungkinkan bagi dirinya untuk tidak menyukai orang lain. Adanya hubungan timbal balik antara penerimaan diri dan penerimaan orang lain adalah ciri individu yang memiliki penerimaan diri yang baik. Oleh karena itu, hal tersebut dapat memunculkan perasaan percaya diri dalam interaksinya dengan lingkungan sosial.


(40)

38

g. Penerimaan diri, menuruti kehendak, dan menonjolkan diri

Menerima diri dan menuruti diri merupakan dua hal yang berbeda. Apabila seorang individu telah menerima dirinya, hal tersebut bukan berarti individu memanjakan dirinya. Individu yang telah memiliki penerimaan diri, akan melakukan keinginannya tanpa harus merasa rendah diri dengan lingkungan sekitarnya. Semakin individu menerima dirinya dan diterima orang lain, maka individu akan semakin mampu untuk terlihat percaya diri dalam interaksi sosialnya dengan orang lain.

h. Penerimaan diri, spontanitas, menikmati hidup

Individu dengan penerimaan diri yang baik, mempunyai lebih banyak keleluasaan untuk menikmati hal-hal dalam hidupnya. Namun, terkadang ia kurang termotivasi untuk melakukan sesuatu yang rumit. Individu tersebut tidak hanya leluasa menikmati sesuatu yang dilakukannya, akan tetapi juga leluasa untuk menolak atau menghindari sesuatu yang tidak ingin dilakukannya.

i. Kejujuran dalam menerima diri

Individu dengan penerimaan diri yang baik tidak harus selalu berbudi baik, namun memiliki kejujuran untuk menerima dirinya sebagai apa dan untuk apa ia nantinya. Individu ini dapat secara terbuka mengakui dirinya sebagai individu yang pada suatu waktu dalam masalah, merasa cemas, ragu, dan bimbang tanpa harus memanipulasi diri menjadi orang lain.


(41)

39 j. Sikap yang baik terhadap penerimaan diri

Menerima diri merupakan hal penting dalam kehidupan seseorang. Individu yang memiliki penerimaan diri akan memandang dirinya secara positif dan apa adanya. Individu yang dapat menerima beberapa aspek hidupnya, bisa saja mengalami keraguan dan kesulitan dalam menghormati orang lain. Hal tersebut merupakan arahan agar dapat menerima dirinya. Individu dengan penerimaan diri dapat membangun kekuatannya untuk menghadapi kelemahan dan keterbatasannya. Banyak hal dalam perkembangan seorang individu yang belum sempurna. Bagi seseorang individu yang menerima dirinya, akan lebih baik jika dapat menggunakan kemampuannya dalam perkembangan hidupnya.

Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat diketahui aspek-aspek penerimaan diri, yaitu persepsi mengenai diri dan sikap terhadap penampilan; sikap terhadap kelemahan dan kekuatan diri sendiri dan orang lain; perasaan inferioritas sebagai gejala penolakan diri; respon yang baik atas penolakan dan kritikan; keseimbangan antara real self dan ideal self; memiliki penerimaan diri dan penerimaan orang lain; menerima diri, menuruti kehendak, dan menonjolkan diri; menerima diri, spontanitas, menikmati hidup; kejujuran dalam penerimaan diri, serta sikap yang baik terhadap penerimaan diri.

3. Proses Penerimaan Diri

Menurut Jersild (1963), adapun proses penerimaan diri seseorang yaitu bermula ketika individu sudah dapat mengenali dirinya sendiri, memiliki pandangan yang positif mengenai kelebihan dan kekurangan dalam dirinya, serta


(42)

40

sudah dapat berpikir lebih realistik, maka individu tersebut sudah memiliki penerimaan diri yang baik. Selain itu, individu yang memiliki penerimaan diri yang baik adalah individu yang mampu mengatasi perasaan inferioritas yang muncul pada dirinya. Ketika individu tidak mampu mengatasi perasaan inferior yang muncul pada dirinya, maka akan mengganggu penilaian realistik atas dirinya. Kemudian, setelah individu tersebut mampu mengatasi perasaan inferior yang muncul pada dirinya, maka individu tersebut akan memiliki respon yang baik terhadap penilaian yang muncul mengenai dirinya. Individu mampu menerima kritikan serta dapat mengambil hikmah dari kritikan tersebut, dan mampu belajar dari pengalaman dan meninjau kembali sikapnya yang terdahulu untuk memperbaiki diri.

Individu yang memiliki penerimaan diri yang baik adalah individu yang memiliki keseimbangan real self dan ideal self-nya, yaitu dengan mempersiapkan atau memiliki harapan-harapan lain yang dapat dicapainya, sehingga ia tidak akan kecewa ketika harapan yang diinginkannya tidak tercapai. Selain itu, individu dengan penerimaan diri yang baik adalah individu yang menyayangi dirinya, menyukai dirinya yang sebenarnya tanpa harus menjadi orang lain, sehingga individu tersebut juga mudah untuk menerima atau menyukai orang lain. Oleh karena itu, hal tersebut dapat memunculkan perasaan percaya diri dalam interaksinya dengan lingkungan sosialnya. Apabila seorang individu sudah dapat menerima dirinya, maka ia akan melakukan keinginannya tanpa harus merasa rendah diri dengan lingkungan sekitarnya. Semakin individu menerima dirinya,


(43)

41

maka individu akan semakin mampu untuk percaya diri dalam berinteraksi di lingkungan sosialnya (Jersild, 1963).

Setelah individu tersebut melalui beberapa proses diatas, maka individu akan dapat merasakan keleluasaan untuk menikmati hal-hal di dalam hidupnya. Individu tersebut tidak hanya leluasa untuk menikmati sesuatu yang dilakukannya, namun juga leluasa untuk menolak atau menghindari sesuatu yang tidak ingin dilakukannya. Individu yang sudah memiliki penerimaan diri yang baik, dapat secara terbuka mengakui dirinya dengan apa adanya tanpa harus memanipulasi diri menjadi orang lain. Adapun proses akhir dari penerimaan diri, yaitu memiliki sikap yang baik terhadap penerimaan diri yang dimilikinya. Sikap tersebut dapat ditunjukkan dengan cara menghadapi kekurangan dan kelebihan dirinya di dalam perkembangan hidupnya. Individu dapat dikatakan memiliki penerimaan diri yang baik adalah individu yang mampu melalui segala proses penerimaan diri diatas. Oleh karena itu Jersild (1963) mengatakan bahwa dalam menerima dirinya, maka seorang individu membutuhkan waktu untuk melalui segala aspek penerimaan diri.

Hurlock (1978) juga menjelaskan bahwa semakin baik seseorang dapat menerima dirinya, maka akan semakin baik pula penyesuian diri dan sosialnya. Kemudian Hurlock (1978) membagi dampak dari penerimaan diri dalam 2 kategori yaitu :


(44)

42 a. Dalam penyesuaian diri

Orang yang memiliki penyesuaian diri, mampu mengenali kelebihan dan kekurangannya. Salah satu karakteristik dari orang yang meiliki penyesuaian diri yang baik adalah lebih mengenali kelebihan dan kekurangannya, biasanya memiliki keyakinan diri (self confidence). Selain itu juga lebih dapat menerima kritik, dibandingkan dengan orang yang kurang dapat menerima dirinya. Dengan demikian orang yang memiliki penerimaan diri dapat mengevaluasi dirinya secara realistik, sehingga dapat menggunakan semua potensinya secara efektif hal tersebut dikarenakan memiliki anggapan yang realistik terhadap dirinya maka akan bersikap jujur dan tidak berpura-pura.

b. Dalam penyesuaian sosial

Penerimaan diri biasanya disertai dengan adanya penerimaan dari orang lain. Orang yang memiliki penerimaa diri akan merasa aman untuk memberikan perhatiannya pada orang lain, seperti menunjukkan rasa empati. Dengan demikian orang yang memiliki penerimaan diri dapat mengadakan penyesuaian soail yang lebih baik dibandingkan dengan orang yang merasa rendah diri atau merasa tidak adekuat sihingga mereka itu cenderung untuk bersikap berorientasi pada dirinya sendiri (self oriented). Penerimaan diri sangat berhubungan erat dengan konsep diri karena penerimaan diri memiliki peranan yang penting dalam pembentukan konsep diri dan kepribadian yang positif. Orang yang memiliki penerimaan diri yang baik maka dapat dikatakan memiliki konsep diri yang baik pula, karena selalu mengacu pada gambaran


(45)

43

ideal self-nya, sehingga bisa menerima gambaran dirinya yang sesuai dengan

real self-nya. B. Ibu Tiri

1. Pengertian Ibu Tiri

Kata ‘tiri’ memiliki definisi bukan darah daging sendiri. Ibu tiri adalah seorang perempuan yang dinikahi oleh ayah kandung setelah ayah kandung tidak memiliki ikatan pernikahan dengan ibu kandung yang disebabkan oleh perpisahan maupun kematian (Beer dalam Zanden, 1997). Ibu tiri adalah wanita pengganti ibu kandung yang dinikahi oleh ayah kandung serta memiliki hak dan kewajiban yang sama seperti ibu kandung dan hidup bersama dengan ayah kandung (Chumar, 2012). Kata ibu tiri menjadi hal yang menakutkan bagi anak-anak (Widiastuty, dalam Agnes 2010). Kedatangan orang tua tiri seringkali dipandang sebagai hal yang negatif, namun sebenarnya disatu sisi, orang tua tiri dapat menyediakan dukungan dan keamanan bagi keluarga orang tua tunggal. Keberadaan orang tua tiri dapat memberikan tambahan waktu, tenaga, dan bahkan uang yang mungkin saja sangat dibutuhkan oleh keluarga yang dimasuki (Bonkowski, dalam Agnes 2010).

Berdasarkan pengertian diatas, ibu tiri adalah ibu non-biologis yang menggantikan ibu kandung yang dinikahi oleh ayah kandung serta memiliki hak dan kewajiban yang sama seperti ibu kandung.


(46)

44

2. Penyesuaian dan Pengasuhan Ibu Tiri di dalam Keluarga

Penilaian tentang karakteristik ibu tiri yang kejam, sudah berkembang sejak jaman dahulu. Ketika seorang wanita menyandang status sebagai ibu tiri, maka karakteristik ibu tiri yang negatif juga akan melekat pada wanita tersebut. Oleh karena status ibu tiri yang sering dipandang sebagai hal yang negatif, membuat para wanita yang menyandang peran ini berupaya menyesuaikan diri agar bisa menerima dirinya dengan status tersebut (Agnes, 2010). Untuk dapat menyesuaikan diri dengan status ibu tiri tersebut, maka ibu tiri membutuhkan dukungan dari orang-orang terdekatnya seperti, suami, orang tua, maupun keluarga baru yang dimasukinya. Dukungan yang diberikan tersebut, dapat membuat ibu tiri merasa yakin dan percaya diri dalam menghadapi stereotype

ataupun penilaian negatif yang muncul di masyarakat (Sfakianos, 2012).

Awalnya, menjadi ibu tiri tentu memiliki kesulitan karena membutuhkan penyesuaian atau adaptasi ketika memasuki keluarga baru. Selain harus berupaya menyesuaikan diri dengan status ibu tiri yang dimilikinya, ibu tiri awalnya juga akan mengalami tantangan pengasuhan bagi suami maupun anak tirinya. Salah satu tantangan yang dihadapi oleh ibu tiri disebabkan karena hubungan ibu tiri dan anak tirinya cukup lemah yang disebabkan sedikitnya interaksi sebelumnya yang dilakukan antara ibu tiri dan anak tirinya, sehingga hubungan emosional yang terjalin belum begitu baik. Oleh karena itu, untuk membangun hubungan dekat dan hubungan emosional yang baik, dibutuhkan kerjasama antara ibu tiri dengan ayah untuk mengasuh anak-anak mereka (Ron Deal, 2009).


(47)

45

Menemukan peran ibu tiri yang efektif merupakan suatu tantangan. Namun, dengan memiliki harapan yang positif dan strategi yang spesifik untuk membangun hubungan dengan anak tiri, maka akan terbentuk ikatan atau interaksi yang saling memuaskan. Melalui tahun pertama pernikahan, ibu tiri seharusnya mendekatkan diri dengan ikut terlibat dalam berbagai aktivitas keluarga baru dan anak tirinya. Aktivitas di dalam keluarga ini, akan mengurangi kekhawatiran anak-anak saat berkumpul dengan ibu tirinya serta dapat menjalin interaksi yang dekat dengan anak tirinya. Orang dewasa seringkali mengira bahwa cara mengetahui anak tirinya adalah dengan menghabiskan waktu secara personal dengan mereka. Namun, hal tersebut bukanlah cara efektif untuk membangun interaksi dengan anak tiri. Anak tiri pada umumnya lebih suka didekati oleh ibu tirinya, ketika ada ayah kandung bersamanya (Ron Deal, 2009).

Ibu tiri awalnya akan merasa kebingungan dengan perannya untuk menetapkan batasan, mengajarkan nilai-nilai, dan menekankan konsekuensi pada anak tirinya. Pengasuhan anak adalah tugas kedua orang tua, baik ayah dan ibu tiri. Ayah dan ibu tiri harus berupaya berperan menjadi suatu tim dalam mengasuh anak. Kerjasama tersebut seperti berbagi keluh kesah bersama ketika anak melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan aturan keluarga. Ketika ayah angkat tangan dari tanggung jawab pengasuhan anak daripada ibu tiri, maka kondisi akan menjadi sulit. Dikarenakan kurangnya pengawasan dan kerja sama dengan ayah, maka tidak jarang ibu tiri mulai menetapkan batasan serta peraturan baru yang dibuatnya untuk anak tirinya. Untuk itu, kerjasama


(48)

46

yang melibatkan ayah dan ibu tiri adalah cara terbaik untuk mengasuh dan menjalin hubungan baik dengan anak tiri (Ron Deal, 2009).

C. Tunarungu

1. Pengertian Anak Tunarungu

Tunarungu adalah istilah umum yang mencakup cacat pendengaran mulai dari yang ringan sampai sangat berat, sehingga mencakup anak-anak yang tuli dan mereka yang memiliki kesulitan dalam mendengar (Hallahan and Kauffman, 1988). Anak tunarungu merupakan anak yang memiliki gangguan pada pendengarannya sehingga tidak dapat mendengar bunyi dengan sempurna atau bahkan tidak dapat mendengar sama sekali. Ketunarunguan dibedakan menjadi dua kategori, yaitu tuli (deaf) dan kurang dengar (hard of hearing). Tuli (deaf) adalah anak yang indera pendengarannya mengalami kerusakan dalam taraf berat sehingga pendengarannya tidak berfungsi lagi. Sedangkan, kurang dengar (hard of hearing) adalah anak yang indera pendengarannya mengalami kerusakan, tetapi masih dapat berfungsi untuk mendengar, baik menggunakan ataupun tanpa menggunakan alat bantu dengar (hearing aids).

Seseorang yang tuli (deaf) adalah seseorang dengan ketidakmampuan mendengar yang dapat menghalangi kesuksesan memproses informasi bahasa dari lawan bicara, dengan atau tanpa bantuan pendengaran. Orang yang mengalami kesulitan mendengar adalah orang yang secara umum menggunakan alat bantu mendengar, dengan sisa pendengaran yang cukup


(49)

47

untuk memproses informasi bahasa dari lawan bicaranya (Hallahan and Kauffman, 1988).

Gangguan pendengaran (hearing impairment) adalah istilah umum yang melibatkan gangguan pada alat indera pendengaran yaitu telinga dari ringan sampai sangat berat, yang mencakup anak-anak yang sulit mendengar (hard of hearing) dan tuli (deaf). Seseorang yang tuli (deaf), tidak bisa menggunakan pendengarannya untuk memahami pembicaraan, meskipun dia mungkin mendengar beberapa suara (Heward, 1996).

2. Faktor Penyebab Ketunarunguan

Menurut S.C. Brown (dalam Heward, 1996) ada 4 penyebab tuli (deaf) dan gangguan pendengaran yang berat pada anak-anak yang membutuhkan perhatian, yaitu :

a. Maternal rubella, dikenal juga dengan cacar Jerman. Maternal rubella

merupakan symptom ringan yang juga menyebabkan tuli (deaf), gangguan penglihatan dan macam-macam gangguan serius pada perkembangan anak-anak yang terjadi pada ibu hamil selama trimester pertama.

b. Heredity. Selain karena maternal rubella, penyebab utama gangguan pendengaran adalah faktor keturunan. Bukti yang kuat menyebutkan bahwa gangguan pendengaran diturunkan dari beberapa keluarga.


(50)

48

c. Prematurity and complications of pregnancy. Ini adalah faktor yang meningkatkan resiko tuli (deaf) dan gangguan lainnya. Komplikasi pada kehamilan menimbulkan bermacam-macam penyebab.

d. Meningitis. Adapun penyebab utama gangguan pendengaran adalah meningitis. Meningitis adalah bakteri atau infeksi virus yang bisa menyebabkan efek lain, merusak alat-alat pendengaran di dalam telinga.

Gangguan pendengaran juga disebabkan otitis media, yaitu infeksi atau peradangan pada telinga tengah. Jika tidak diobati, maka akan menimbulkan penumpukan cairan dan gendang telinga pecah, dimana menyebabkan gangguan pendengaran secara permanen.

Cara yang paling umum untuk mengklasifikasikan penyebab gangguan pendengaran adalah berdasarkan lokasi dari masalah dalam mekanisme pendengaran. Ada 3 klasifikasi utama, yaitu conductive hearing losses, sensorineural hearing losses, dan mixed hearing losses (Heward, 1996):

a. Conductive hearing losses berasal dari kelainan atau komplikasi pada telinga luar atau tengah. Conductive hearing losses mengacu pada gangguan yang mengganggu dengan pengalihan suara di sepanjang jalur konduktif dari telinga. Penumpukan lilin yang berlebihan pada saluran pendengaran dapat menyebabkan gangguan pendengaran konduktif, seperti penyakit yang dapat meninggalkan cairan atau puing-puing. Sebuah gangguan pendengaran juga dapat disebabkan jika gendang telinga atau ossicles tidak bergerak dengan benar.


(51)

49

b. Sensorineural hearing losses mengacu pada kerusakan serat saraf pendengaran atau mekanisme sensitif di telinga bagian dalam. Sensorineural impairments melibatkan masalah pada perbatasan telinga dalam. Sensorineural loss diindikasikan jika udara dan tulang hampir setengahnya abnormal.

c. Mixed hearing losses adalah kerusakan pendengaran yang merupakan gabungan antara conductive hearing losses dan sensorineural hearing losses.

3. Klasifikasi Anak Tunarungu

Gangguan pendengaran individu biasanya digambarkan dengan istilah

slight, mild, moderate, severe dan profound tergantung pada tingkat pendengaran rata-rata dalam desibel, seluruh frekuensi yang paling penting untuk memahami pembicaraan (500 sampai 2000 Hz). Adapun klasifikasi derajat pendengaran menurut Heward (1996), yaitu :

a. Slight loss, hanya mampu mendengar suara mulai 27 sampai 40 dB. Anak yang mengalami slight loss memiliki pendengaran yang samar dan jauh. Kemampuan mendengar masih baik karena berada pada batas antara penderngaran normal dan kekurangan pendengaran taraf ringan. Tidak mengalami kesulitan memahami pembicaraan dan dapat mengikuti sekolah biasa dengan syarat tempat duduknya perlu diperhatikan. Sedikit mengalami kesulitan ketika ia berinteraksi dengan orang lain yang berbicara dengan suara samar dan jauh.


(52)

50

b. Mild loss, hanya mampu mendengar suara mulai 41 hinga 55 dB. Anak yang

mild loss, dapat memahami percakapan pada jarak 3 sampai 5 kaki (tatap muka). Namun, ia bisa kehilangan sebanyak 50% dari diskusi kelas jika suara samar. Ia juga memiliki kosakata yang terbatas dan berbicara tidak sesuai dengan tata bahasa.

c. Moderate loss, hanya mampu mendengar suara mulai 56 hingga 70 dB. Anak yang mengalami moderate loss, hanya dapat memahami percakapan keras serta cenderung memiliki gangguan bicara, cenderung memiliki kesulitan dalam penggunaan bahasa dan pemahaman, serta memiliki kosakata yang terbatas.

d. Severe loss, hanya mampu mendengar suara mulai 71 hingga 90 dB. Anak yang mengalami severe loss, dapat mendengar suara-suara keras sekitar 1 kaki dari telinga. Kemungkinan individu mampu membedakan vokal tetapi tidak semua konsonan. Kosakata dan bahasa yang dimilikinya mungkin terganggu atau memburuk. Jika individu kehilangan pendengaran sebelum usia 1 tahun, maka kosakata dan bahasa tidak mungkin untuk berkembang secara spontan.

e. Profound loss hanya mampu mendengar suara 91 dB atau lebih. Anak yang mengalami profound loss mungkin mendengar beberapa suara keras tapi getaran indra lebih sensitif. Individu juga memiliki kosakata dan bahasa yang mungkin terganggu atau memburuk sehingga akan mengganggu proses komunikasi dan interaksi sosialnya dengan orang lain.

Berdasarkan klasifikasi anak tunarungu diatas, maka slight loss hanya mampu mendengar suara mulai 27 sampai 40 dB; mild loss, hanya mampu


(53)

51

mendengar suara mulai 41 hinga 55 dB; moderate loss, hanya mampu mendengar suara mulai 56 hingga 70 dB; severe loss, hanya mampu mendengar suara mulai 71 hingga 90 dB; dan profound loss hanya mampu mendengar suara 91 dB atau lebih.

4. Hambatan dalam Mengasuh Anak Tunarungu

Mengasuh dan merawat anak adalah sebuah tantangan tersendiri bagi orang tua. Ayah dan ibu memiliki peran yang sama di dalam mengasuh anak-anaknya. Peran yang saling melengkapi dalam mengasuh anak, membantu anak untuk mengembangkan identitas dirinya. Oleh karena itu, ayah dan ibu harus memiliki tanggung jawab yang seimbang agar anak-anaknya dapat tumbuh dengan optimal. Namun, ketika ayah dan ibu mendapat karunia untuk membesarkan anak tunarungu, maka situasi yang dihadapi akan sedikit berbeda dengan keluarga pada umumnya (Rahmhita, 2011).

Ketika mengasuh anak tunarungu, hal yang terpenting bagi orang tua yaitu harus mengetahui pola perkembangan anak tersebut. Selanjutnya, setelah orang tua mengetahui kondisi perkembangan anak dari ahli medis yang menanganinya, maka orang tua bisa menyesuaikan gaya pengasuhan yang dilakukan terhadap anak tunarungu (Rahmhita, 2011). Pada dasarnya untuk merawat dan mengasuh anak tunarungu, tidak dibutuhkan sebuah ilmu akademik yang khusus. Hal yang paling utama dilakukan adalah dengan memiliki kesabaran yang tinggi, mengingat anak tunarungu memiliki karakteristik yang berbeda dari anak normal lainnya karena kerusakan pada indera pendengarannya. Umumnya, hambatan yang paling


(54)

52

sering ditemui pada orang tua yang mengasuh anak tunarungu adalah kurangnya pemahaman atau pengetahuan orang tua tentang anak tunarungu, sehingga dengan segala keterbatasan yang ditunjukkan anak dapat memicu timbulnya sikap yang kurang sabar dalam mengasuh anak tunarungu tersebut (Heward, 1996). Tidak sedikit orang tua yang memiliki anak tunarungu, menitipkan anak mereka ke lembaga sosial yang bergerak di bidang tersebut. Hal tersebut dikarenakan orang tua tidak mengetahui cara mengasuh anak tunarungu karena hambatan komunikasi yang dialami oleh anak tersebut. Meski tidak sepenuhnya salah, namun cara seperti ini juga tidak tepat untuk dilakukan. Hal tersebut dikarenakan pada dasarnya, pendidikan terbaik bagi anak tunarungu adalah pendidikan yang berasal dari rumah, yaitu keluarga. (Anne, 2009).

Adapun hambatan yang umumnya dialami orang tua ketika mengasuh anak tunarungu yaitu keterbatasan komunikasi. Hambatan komunikasi yang dialami oleh anak tunarungu, membuat orang tua yang mengasuhnya mengalami kesulitan dalam memahami keinginan, ide-ide serta harapan dari anak tunarungu tersebut. Namun, keterbatasan bahasa dan komunikasi pada anak tunarungu dapat dibantu dengan metode pengajaran bahasa seperti, speechreading (membaca gerakan bibir lawan bicara), cued speech (isyarat gerakan tangan) dan menggunakan alat bantu dengar (Ashman & Elkinds, 1994). Selain itu, orang tua ataupun pengasuh anak tunarungu harus mampu membimbing anak untuk dapat membangkitkan kepercayaan dirinya, sehingga anak tidak merasa cemas ketika berinteraksi dengan lingkungan sebayanya. Lingkungan sosial anak, juga merupakan faktor penting dalam membentuk perilaku anak tunarungu. Oleh


(55)

53

karena itu, sebaiknya lingkungan hendaknya dapat memberikan respon-respon positif terhadap perilaku anak tunarungu (Heward, 1996).

D. Penerimaan Diri Ibu Tiri yang Memiliki Anak Tunarungu

Orang tua yang mengetahui bahwa anaknya mengalami suatu kondisi kecacatan tertentu, maka ia akan menunjukkan berbagai reaksi emosi seperti cemas, sedih khawatir, takut, serta marah (Safaria, 2005). Selain itu, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mahabbati (2009) mengenai penerimaan dan kesiapan pola asuh ibu terhadap anak berkebutuhan khusus, menunjukkan hasil bahwa orang tua kandung akan memiliki sikap dan respon yang berbeda-beda dalam menerima kondisi anaknya yang berkebutuhan khusus. Fase penerimaan tersebut ditandai dengan perasaan terkejut (shock), ketidakpercayaan, denial

(penolakan atau penyangkalan), bargaining (tawar-menawar) hingga fase depresi. Salah satu yang termasuk anak berkebutuhan khusus dengan masalah fungsi indera yaitu tunarungu. Anak tunarungu merupakan anak yang memiliki gangguan pada pendengarannya sehingga tidak dapat mendengar bunyi dengan sempurna atau bahkan tidak dapat mendengar sama sekali (Hallahan and Kauffman, 1988). Anak tunarungu umumnya membutuhkan pendidikan dan pelayanan khusus untuk mengoptimalkan potensi kemanusiaannya secara utuh akibat adanya keterbatasan pendengaran yang dialaminya (Heward, 1996). Adanya kondisi keterbatasan dalam bahasa dan komunikasi pada anak tunarungu, maka anak tunarungu cenderung akan mengalami kesulitan untuk menyampaikan keinginan, perasaan ataupun ide-ide yang dimilikinya (Mangunsong, 2009). Jika


(1)

267

2. Bagaimana respon lingkungan memandang anak tunarungu?

3. Bagaimana respon lingkungan terhadap ibu tiri yang memiliki anak tunarungu?

4. Bagaimana respon orang tua Anda ketika Anda memiliki anak tiri yang tunarungu?

E. Aspek-Aspek Penerimaan Diri

1. Persepsi mengenai diri dan sikap terhadap penampilan diri

- Bagaimana persepsi Anda mengenai penampilan diri Anda? Jelaskan! - Apakah Anda terpaku pada pendapat orang lain, terkait penampilan

diri Anda?

- Apakah penilaian orang lain membuat Anda percaya diri atau malu? 2. Sikap terhadap kelemahan dan Kelebihan diri sendiri

- Apa kelebihan dan kekurangan diri Anda? Jelaskan!

- Bagaimana Anda memandang kelebihan dan kekurangan diri Anda? Jelaskan!

- Apakah status sebagai ibu tiri merupakan kekurangan pada diri Anda?

3. Perasaan inferior (rendah diri) yang dirasakan ibu tiri yang memiliki anak tunarungu

- Bagaimana awalnya perasaan Anda ketika menyandang status sebagai ibu tiri?

- Apakah saat ini Anda merasa rendah diri terkait status tersebut? Jelaskan!


(2)

268

- Bagaimana cara rendah diri Anda mengatasi perasaan yang muncul tersebut?

- Bagaimana awalnya ketika Anda bersosialisasi dengan lingkungan sekitar dengan status yang dimiliki? Jelaskan!

- Apakah penilaian lingkungan menjadi salah satu faktor Anda merasa rendah diri dengan status yang dimiliki?

4. Respon terhadap penolakan dan kritikan

- Bagaimana tanggapan Anda terhadap kritikan atau pendapat orang lain mengenai diri dan status yang Anda miliki?

- Kritikan seperti apa yang membuat Anda merasa rendah diri? Jelaskan!

- Apakah Anda pernah merasa takut dicela oleh orang lain terkait dengan status yang Anda miliki?

- Apakah Anda menganggap bahwa kritikan yang diberikan oleh orang lain merupakan penolakan terhadap status Anda?

5. Keseimbangan Real self dan ideal self (Gambaran diri sebenarnya dan Keinginan diri)

- Bagaimana respon Anda terhadap status yang Anda miliki?

- Apakah ada kesulitan dalam menerima status yang Anda miliki saat ini? Jelaskan!

- Apakah Anda pernah merasa kecewa dengan status ibu tiri yang memiliki anak tunarungu

- Bagaimana Anda mengatasi rasa kecewa terhadap keadaan Anda sebagai ibu tiri yang memiliki anak tiri saat ini?


(3)

269

- Apakah membutuhkan waktu yang lama untuk menerima status tersebut? Jelaskan!

- Apakah Anda memiliki harapan pada diri Anda saat ini? Jelaskan! 6. Memiliki Penerimaan Diri dan Penerimaan orang lain dengan baik

- Bagaimana cara Anda menerima keadaan diri saat ini?

- Apakah Anda mudah menerima anak tiri yang tunarungu tersebut sebagai anak Anda? Jelaskan!

- Apakah Anda pernah mengikutsertakan anak tiri Anda dalam sebuah acara?

7. Penerimaan diri, menuruti kehendak, menonjolkan diri

- Bagaimana perasaan Anda ketika berinteraksi dengan tetangga di lingkungan Anda?

- Apakah Anda mengikuti suatu perkumpulan dilingkungan tempat tinggal Anda?

8. Penerimaan diri, spontanitas, menikmati hidup

- Bagaimana cara Anda menikmati hidup Anda sebagai ibu tiri yang memiliki Anak Tunarungu?

- Bagaimana sikap Anda ketika Anda diminta untuk melakukan suatu hal yang tidak Anda sukai di lingkungan tempat tinggal Anda?

9. Kejujuran dalam menerima diri

- Bagaimana perasaan Anda setelah menjadi ibu tiri yang memiliki Anak Tunarungu?

- Apakah Anda pernah merasa cemas, ragu, dan bimbang dengan status yang Anda miliki?


(4)

270

- Apakah Anda pernah merasa marah dan bersalah ketika memiliki status tersebut?

10. Sikap yang baik terhadap penerimaan diri

- Bagaimana sikap Anda dalam menerima status yang Anda miliki saat ini?


(5)

271

LEMBAR PERSETUJUAN PARTISIPASI

Dengan ini saya menyatakan persetujuan saya untuk dapat ikut berpartisipasi sebagai partisipan dalam penelitian yang berjudul “Gambaran Penerimaan Diri Ibu Tiri yang Memiliki Anak Tunarungu”. Saya menyatakan bahwa keikutsertaan saya dalam penelitian ini saya lakukan secara sukarela atau tanpa paksaan dari pihak manapun.

Saya juga memperkenankan kepada peneliti untuk menggunakan data-data yang saya berikan untuk dipergunakan sesuai dengan kepentingan dan tujuan penelitian. Saya menyadari dan memahami bahwa data yang saya berikan dan yang akan digunakan memuat informasi-informasi yang jelas tentang diri saya. Walaupun demikian, berbagai informasi seperti nama jelas, alamat lengkap, dan informasi lengkap lainnya, hanya saya ijinkan untuk diketahui oleh peneliti dan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

Sebagai partisipan dalam penelitian ini, saya menyetujui untuk bertemu dan melakukan wawancara pada waktu dan tempat yang akan disepakati kemudian antara saya dan peneliti. Dalam melakukan wawancara, saya juga memperkenankan peneliti untuk menggunakan alat bantu perekam untuk menghindari kesalahan atau adanya informasi yang tidak lengkap mengenai diri saya yang akan digunakan untuk menganalisis penelitian tersebut.

Medan, 25 Maret 2014

Peneliti Partisipan


(6)

272

LEMBAR PERSETUJUAN PARTISIPASI

Dengan ini saya menyatakan persetujuan saya untuk dapat ikut berpartisipasi sebagai partisipan dalam penelitian yang berjudul “Gambaran Penerimaan Diri Ibu Tiri yang Memiliki Anak Tunarungu”. Saya menyatakan bahwa keikutsertaan saya dalam penelitian ini saya lakukan secara sukarela atau tanpa paksaan dari pihak manapun.

Saya juga memperkenankan kepada peneliti untuk menggunakan data-data yang saya berikan untuk dipergunakan sesuai dengan kepentingan dan tujuan penelitian. Saya menyadari dan memahami bahwa data yang saya berikan dan yang akan digunakan memuat informasi-informasi yang jelas tentang diri saya. Walaupun demikian, berbagai informasi seperti nama jelas, alamat lengkap, dan informasi lengkap lainnya, hanya saya ijinkan untuk diketahui oleh peneliti dan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

Sebagai partisipan dalam penelitian ini, saya menyetujui untuk bertemu dan melakukan wawancara pada waktu dan tempat yang akan disepakati kemudian antara saya dan peneliti. Dalam melakukan wawancara, saya juga memperkenankan peneliti untuk menggunakan alat bantu perekam untuk menghindari kesalahan atau adanya informasi yang tidak lengkap mengenai diri saya yang akan digunakan untuk menganalisis penelitian tersebut.

Medan, 09 Juni 2014

Peneliti Partisipan