BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Teori Gelombang dan Bunyi - Pengaruh Variasi Diameter Rogga Terhadap Koefisien Serap Bunyi Paduan Aluminium-Magnesium Berongga

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Teori Gelombang dan Bunyi

  Pada bagian ini akan diberikan beberapa definisi dan pengertian dasar mengenai gelombang dan bunyi serta hal-hal yang berkaitan dengan teori ini.

2.1.1. Pengertian Gelombang Gelombang adalah suatu getaran, gangguan atau energi yang merambat.

  Dalam hal ini yang merambat adalah getarannya, bukan medium perantaranya. Satu gelombang terdiri dari satu lembah dan satu bukit (untuk gelombang transversal) atau satu renggangan dan satu rapatan (untuk gelombang longitudinal). Besaran-besaran yang digunakan untuk mendiskripsikan gelombang antaralain panjang gelombang (λ) adalah jarak antara dua puncak yang berurutan, frekuensi (ƒ) adalah banyaknya gelombang yang melewati suatu titik tiap satuan waktu, periode (T) adalah waktu yang diperlukan oleh gelombang melewati suatu titik, amplitudo (A) adalah simpangan maksimum dari titik setimbang, kecepatan gelombang (v) adalah kecepatan dimana puncak gelombang (atau bagian lain dari gelombang) bergerak.

  Kecepatan gelombang harus dibedakan dari kecepatan partikel pada medium itu sendiri. Pada waktu merambat gelombang membawa energi dari satu tempat ke tempat lain. Saat gelombang merambat melalui medium maka energi dipindahkan sebagai energi getaran antar partikel dalam medium tersebut.

   Jenis-Jenis Gelombang

  Jenis-jenis gelombang dikelompokkan berdasarkan arah getar, amplitudo dan fasenya, medium perantaranya dan frekuensi yang dipancarkannya.

  Berdasarkan arah getarnya gelombang dikelompokkan menjadi:

  a. Gelombang Transversal Gelombang transversal adalah gelombang yang arah getaranya tegak lurus terhadap arah rambatannya. Satu gelombang terdiri dari satu lembah dan satu bukit seperti ditunjukkan pada gambar 2.1.

  A T Gambar 2.1 Gelombang transversal.

  (Sumber: Elvis, 2010)

  b. Gelombang Longitudinal Gelombang longitudinal adalah gelombang yang arah getarnya sejajar atau berimpit dengan arah rambatannya. Gelombang yang terjadi berupa rapatan dan renggangan seperti ditunjukkan pada gambar 2.2

Gambar 2.2 Gelombang longitudinal.

  (Sumber: Elvis, 2010)

2.1.3. Pengertian Bunyi Bunyi secara harfiah dapat diartikan sebagai sesuatu yang dapat didengar.

  Bunyi merupakan hasil getaran dari partikel-partikel yang berada di udara dan energi yang terkandung dalam bunyi dapat meningkat secara cepat dan dapat menempuh jarak yang sangat jauh.

  Defenisi sejenis juga dikemukakan oleh Bruel & Kjaer (1986) yang menyatakan bahwa bunyi diidentikkan sebagai pergerakan gelombang di udara yang terjadi bila sumber bunyi mengubah partikel terdekat dari posisi diam menjadi partikel yang bergerak.

  Secara lebih mendetail, Doelle (1972) menyatakan bahwa bunyi mempunyai dua defenisi, yaitu:

  1. Secara fisis, bunyi adalah penyimpangan tekanan, pergeseran partikel dalam medium elastik seperti udara. Definisi ini dikenal sebagai bunyi objektif. penyimpangan fisis yang digambarkan pada bagian atas. Hal ini disebut sebagai bunyi subjektif.

  Secara singkat, Bunyi adalah suatu bentuk gelombang longitudinal yang merambat secara perapatan dan perenggangan terbentuk oleh partikel zat perantara serta ditimbulkan oleh sumber bunyi yang mengalami getaran. Rambatan gelombang bunyi disebabkan oleh lapisan perapatan dan peregangan partikel-partikel udara yang bergerak ke luar, yaitu karena penyimpangan tekanan.

  Hal serupa juga terjadi pada penyebaran gelombang air pada permukaan suatu kolam dari titik dimana batu dijatuhkan.

  Gelombang bunyi adalah gelombang yang dirambatkan sebagai gelombang mekanik longitudinal yang dapat menjalar dalam medium padat, cair dan gas. Medium gelombang bunyi ini adalah molekul yang membentuk bahan medium mekanik ini. Gelombang bunyi ini merupakan vibrasi/getaran molekul- molekul zat dan saling beradu satu sama lain namun demikian zat tersebut terkoordinasi menghasilkan gelombang serta mentransmisikan energi bahkan tidak pernah terjadi perpindahan partikel.

2.1.4. Sifat–Sifat Bunyi

  Bunyi mempunyai beberapa sifat, seperti frekuensi bunyi, kecepatan perambatan, panjang gelombang, intensitas dan kecepatan partikel.

2.1.4.1 Frekuensi

  Frekuensi merupakan gejala fisis objektif yang dapat diukur oleh instrumen-instrumen akustik. Frekuensi adalah ukuran jumlah putaran ulang per seseorang menetapkan jarak waktu, menghitung jumlah kejadian peristiwa, dan membagi hitungan ini dengan panjang jarak waktu. Hasil perhitungan ini dinyatakan dalam satuan hertz (Hz) yaitu nama pakar fisika Jerman Heinrich Rudolf Hertz yang menemukan fenomena ini pertama kali.

  Frekuensi yang dapat didengar oleh Manusia berkisar 20 sampai 20.000 Hz dan jangkauan frekuensi ini dapat mengalami penurunan pada batas atas rentang frekuensi sejalan dengan bertambahnya umur manusia. Jangkauan frekuensi audio manusia akan berbeda jika umur manusia juga berbeda. Besarnya frekuensi ditentukan dengan rumus:

  = ......................................... (2.1) ........ dimana: = Frekuensi (Hz)

  = Waktu (detik) Periode adalah banyaknya waktu per banyaknya getaran, sehingga periode berbanding terbalik dengan frekuensi.

  1

  = ............................................. (2.2)

  f

  dimana: = Frekuensi (Hz) = periode (detik)

2.1.4.2 Kecepatan Perambatan

  Bunyi bergerak pada kecepatan berbeda-beda pada tiap media yang dilaluinya. Pada media gas udara, cepat rambat bunyi tergantung pada kerapatan, suhu, dan tekanan.

  = ............................................... (2.3)

  atau dalam bentuk yang sederhana dapat ditulis:

  = 20,05

  √ dimana: c = Cepat rambat bunyi (m/s) γ = Rasio panas spesifik (untuk udara = 1,41) P a = Tekanan atmosfir (Pascal)

  3

  ) ρ = Kerapatan (Kg/m T = Suhu (K)

  Pada media padat bergantung pada modulus elastisitas dan kerapatan, sedangkan pada media cair bergantung pada modulus bulk dan kerapatan.

  = ........................................................ (2.4)

  dimana: E = Modulus Elastisitas (Pascal)

  3

  ) ρ = Kerapatan (Kg/m

2.1.4.3 Panjang Gelombang

  Panjang suatu gelombang bunyi dapat didefinisikan sebagai jarak antara dua muka gelombang berfase sama. Hubungan antara panjang gelombang, frekuensi, dan cepat rambat bunyi dapat ditulis sebagai berikut:

  = ........................................................ (2.5)

  dimana: λ = Panjang gelombang bunyi c = Cepat rambat bunyi (m/s) f = Frekuensi (Hz)

   Intensitas Bunyi

  Intensitas bunyi adalah aliran energi yang dibawa gelombang udara dalam suatu daerah per satuan luas. Intesitas bunyi pada tiap titik dari sumber dinyatakan dengan:

  = ................................................... (2.6)

  2

  dimana: I = Intensitas bunyi (W/m ) W = Daya akustik (Watt)

  2 A = Luas area (m )

  Ambang batas pendengaran manusia, yaitu nilai minimum intensitas daya

  • 6

  2 bunyi yang dapat dideteksi telinga manusia, adalah 10 W/cm .

2.1.4.5 Kecepatan Partikel

  Radiasi bunyi yang dihasilkan suatu sumber bunyi akan mengelilingi udara sekitarnya. Radiasi bunyi ini akan mendorong patikel udara yang dekat dengan permukaan luar sumber bunyi. Hal ini akan menyebabkan bergeraknya partikel-partikel di sekitar radiasi bunyi yang disebut dengan kecepatan partikel.

  = .............................................. (2.7)

  dimana: V = Kecepatan partikel (m/detik) p = Tekanan (Pa)

  

3

  ) ρ = Massa jenis bahan (Kg/m c = Kecepatan rambat gelombang (m/detik)

   Aluminium

  Aluminium telah menjadi salah satu logam industri yang paling luas penggunaannya di dunia. Aluminium banyak digunakan di dalam semua sektor utama industri seperti angkutan, konstruksi, listrik, peti kemas dan kemasan, alat rumah tangga serta peralatan mekanis. Adapun sifat-sifat aluminium antara lain sebagai berikut :

  a) Kuat Aluminium memiliki sifat yang kuat terutama bila dipadu dengan logam lain. Digunakan untuk pembuatan komponen yang memerlukan kekuatan tinggi seperti : pesawat terbang, kapal laut, bejana tekan, kendaraan dan lain-lain.

  b) Tahan terhadap korosi Sifatnya durabel sehingga baik dipakai untuk lingkungan yang dipengaruhi oleh unsur-unsur seperti air, udara, suhu dan unsur-unsur kimia lainnya, baik di ruang angkasa atau bahkan sampai ke dasar laut.

  c) Mudah dibentuk Proses pengerjaan aluminium mudah dibentuk karena dapat disambung dengan logam/material lainnya dengan pengelasan, brazing, solder,

  , sambungan mekanis, atau dengan teknik

  adhesive bonding penyambungan lainnya.

  d) Ringan Memiliki bobot sekitar 1/3 dari bobot besi dan baja, atau tembaga dan banyak digunakan dalam industri transportasi seperti angkutan udara.

  e) Memantulkan sinar dan panas pantul yang tinggi yaitu sekitar 95% dibandingkan dengan kekuatan pantul sebuah cermin. Sifat pantul ini menjadikan aluminium sangat baik untuk peralatan penahan radiasi panas

  f) Konduktor listrik Aluminium dapat menghantarkan arus listrik dua kali lebih besar jika dibandingkan dengan tembaga. Karena aluminium tidak mahal dan ringan, maka aluminium sangat baik untuk kabel-kabel listrik overhead maupun bawah tanah (Ir. Tata Surdia. M.S. Met. E).

  g) Konduktor panas Sifat ini sangat baik untuk penggunaan pada mesin-mesin/alat-alat pemindah panas sehingga dapat memberikan penghematan energy h) Non magnetik

  Aluminium sangat baik untuk penggunaan pada peralatan elektronik, pemancar radio/TV dan lain-lain. Dimana diperlukan faktor magnetisasi negatif. i) Mampu diproses ulang-guna

  Mendaur ulang kembali melalui proses peleburan dan selanjutnya dibentuk menjadi produk seperti yang diinginkan. Proses ulang-guna ini dapat menghemat energi, modal dan bahan baku yang berharga. j) Menarik Aluminium sering digunakan tanpa diberi proses pengerjaan akhir.

  Tampak permukaan aluminium sangat menarik dan karena itu cocok untuk perabot rumah (hiasan), bahan bangunan dan mobil. Disamping itu dicat dengan berbagai warna, dan juga diberi proses anodisasi. Proses ini menghasilkan lapisan yang juga dapat melindungi logam dari goresan dan jenis abrasi lainnya. k) Memiliki ketangguhan yang baik

  Dalam keadaan dingin dan tidak seperti logam lainnya yang menjadi getas bila didinginkan. Sifat ini sangat baik untuk penggunaan pada transportasi LNG dimana suhu gas cair LNG mencapai dibawah -150 ˚C.

2.2.1. Perlakuan Panas Aluminium Paduan

  Perlakuan panas pada aluminium paduan dilakukan dengan memanaskan sampai terjadi fase tunggal kemudian ditahan beberapa saat dan diteruskan dengan pendinginan cepat hingga tidak sempat berubah ke fase lain. Jika bahan tadi dibiarkan untuk jangka waktu tertentu maka terjadilah proses penuaan (aging).

  Perubahan akan terjadi berupa presipitasi (pengendapan) fase kedua yang dimulai dengan proses nukleasi dan timbulnya klaster atom yang menjadi awal dari presipitat. Presipitat ini dapat meningkatkan kekuatan dan kekerasannya. Proses ini merupakan proses age hardening yang disebut natural aging. Jika setelah dilakukan pendinginan cepat kemudian dipanaskan lagi hingga di bawah temperatur solvus (solvus line) kemudian ditahan dalam jangka waktu yang lama dan dilanjutkan dengan pendinginan lambat di udara disebut proses penuaan buatan (artificial aging). Diagram fasa perubahan mikrostruktur paduan Al-Cu dapat dilihat pada gambar 2.3

Gambar 2.3 Diagram fasa perubahan mikrostruktur paduan Al-Cu.

  (Sumber: William K. Dalton: 259) Proses dari pemanasan awal hingga pendinginan cepat disebut proses perlakuan pelarutan (solution treatment), dan proses sesudahnya disebut proses perlakuan pengendapan (precipitation treatment).

2.2.2. Mekanisme Pengerasan

  Untuk menjelaskan mekanisme terjadinya pengerasan, sebagai contoh diambil untuk diagram fase Al-Cu. Dari diagram tampak bahwa kelarutan Cu dalam Al menurun dengan menurunnya temperatur. Suatu paduan dengan 4 % Cu mulai membeku di titik 1 dengan membentuk dendrit larutan padat . Dan pada titik 2 seluruhnya sudah membeku menjadi larutan padat dengan 4 % Cu. Pada titik 3 kelarutan Cu dalam Al mencapai batas jenuhnya, bila temperaturnya diturunkan akan ada Cu yang keluar dari larutan padat berupa CuAl2. Makin rendah temperaturnya makin banyak Cu-Al yang keluar. Pada gambar struktur mikro Al-Cu tampak partikel CuAl tersebar didalam matriks . larut kembali di dalam . Dengan pendingan cepat (quench) Cu tidak sempat keluar dari . Pada suhu kamar struktur masih tetap berupa larutan padat fase tunggal Sifatnyapun masih belum berubah. Masih tetap lunak dan sedikit ulet. Dalam keadaan ini larutan dikatakan sebagai larutan yang lewat jenuh karena mengadung solute yang melampaui batas jenisnya untuk temperatur itu. Setelah beberapa saat larutan yang lewat jenuh ini akan mengalami perubahan kekerasan dan kekuatan. Menjadi lebih kuat dan keras, tetapi struktur mikro tidak tampak mengalami perubahan.

  Penguatan ini terjadi karena timbulnya partikel CuAl (fase ) yang

  2

  berpresipitasi di dalam kristal . Presipitat ini sangat kecil tidak tampak di mikroskop (submicroscopic) dan akan menyebabkan terjadinya tegangan pada lattis kristal di sekitar presipitat ini . Karena presipitat tersebar merata didalam lattis kristal. Maka dapat dikatakan seluruh lattis menjadi tegang mengakibatkan kekuatan dan kekerasan menjadi lebih tinggi.

  Aging dapat dilakukan dengan membiarkan larutan lewat jenuh itu pada

  temperatur kamar selama beberapa waktu. Dinamakan natural aging atau dengan memanaskan kembali larutan lewat jenuh itu ke temperatur di bawah garis solvus dan dibiarkan pada temperatur tersebut selama beberapa saat. Dinamakan artficial

  

aging Bila aging temperatur terlalu tinggi dan atau aging time terlalu panjang

  maka partikel yang terjadi akan terlalu besar (sudah mikroskopik) sehingga effek penguatannya akan menurun bahkan menghilang sama sekali, dan ini dinamakan

  over aged . beberapa tahap yaitu: 1. Solution treatment, yaitu memanaskan paduan hingga diatas solvus line.

  2. Mendinginkan kembali dengan cepat (quenching)

  3. Aging, yaitu menahan pada suatu temperatur tertentu (temperatur kamar atau temperatur dibawah solvus line) selang waktu tertentu.

  Paduan Aluminium lainnya yang dapat di perlakukan panas sebagaimana diagram fasa di bawah ini:

  1. Paduan Al-Si masuk kategori non heat tretable, tetapi untuk paduan Al-Si dengan kadar Si kurang dari 1,6 sebagaimana diagram fasa di bawah ini masih memungkinkan Al-Si mencapai fasa tunggal jika dipanaskan di atas garis solvus. Berarti memungkinkan untuk di heat treatment. Diagram fasa paduan Al-Si dapat dilihat pada gambar 2.4.

Gambar 2.4 Diagram fasa paduan Al-Si.

  (Sumber: Hansen & Anderko,1958) Diagram fasa paduan Al-Si dapat dilihat pada gambar 2.5.

Gambar 2.5 Diagram fasa paduan Al-Cu.

  (Sumber: Hansen & Anderko,1958) 2.3.

   Magnesium 2.3.1. Sejarah Magnesium

  Senyawa-senyawa magnesium telah lama diketahui. Black telah mengenal magnesium sebagai elemen di tahun 1755. Davy berhasil mengisolasikannya di tahun 1808 dan Busy mempersiapkannya dalam bentuk yang koheren di tahun 1831. Magnesium merupakan elemen terbanyak kedelepan di kerak bumi. Ia tidak muncul tersendiri, tapi selalu ditemukan dalam jumlah deposit yang banyak dalam bentuk magnesite, dolomite dan mineral-mineral lainnya. Logam ini sekarang dihasilkan di AS dengan mengelektrolisis magnesium klorida yang terfusi dari air asin, sumur, dan air laut.

  Magnesium merupakan logam yang ringan, putih keperak-perakan dan cukup kuat. Ia mudah ternoda di udara dan magnesium yang terbelah-belah secara halus dapat dengan mudah terbakar di udara dan mengeluarkan lidah api putih yang menakjubkan.

  Magnesium digunakan di fotografi, flares, pyrotechnics, termasuk

  

incendiary bombs . Magnesium sepertiga lebih ringan dibanding aluminium dan

dalam campuran logam digunakan sebagai bahan konstruksi pesawat dan missile.

  Logam ini memperbaiki karakter mekanik fabrikasi dan las aluminium ketika digunakan sebagai alloying agent. Magnesium digunakan dalam memproduksi grafit dalam cast iron, dan digunakan sebagai bahan tambahan conventional

  

propellants . Magnesium juga digunakan sebagai agen pereduksi dalam produksi

  uranium murni dan logam-logam lain dari garam-garamnya. Hidroksida (milk of

magnesia ), klorida, sulfat (Epsom salts) dan sitrat digunakan dalam kedokteran.

  Magnesite digunakan untuk refractory, sebagai batu bata dan lapisan di tungku- tungku pemanas.

2.4. Paduan Aluminium-Magnesium

  Aluminium lebih banyak dipakai sebagai paduan daripada logam murni sebab tidak kehilangan sifat ringan dan sifat-sifat mekanisnya serta mampu cornya diperbaiki dengan menambah unsur-unsur lain. Unsur-unsur paduan yang tidak ditambahkan pada aluminium murni selain dapat menambah kekuatan mekaniknya juga dapat memberikan sifat-sifat baik lainnya seperti ketahanan pada gambar 2.6.

Gambar 2.6 Diagram fasa paduan Al-Mg, Temperatur vs Persentase Mg.

  (Sumber: Hansen & Anderko. Constitution of binary alloys.1958)

Gambar 2.6 di atas memperlihatkan penambahan Magnesium hingga 6% akan cenderung menurunkan titik cair dari paduan Aluminium. Penambahan Mg

  6% akan menurunkan titik cair paduan Aluminium menjadi 630

  C. Penambahan unsur Magnesium pada Aluminium untuk fase biner akan menghasilkan berbagai fase seperti Al (  ) (0-17,1% Mg), Al

  

2 Mg

  2

  (β) (36,1-37,8% Mg), R (39%Mg), Al

12 Mg

  17

  (γ) (42-58,0% Mg), Mg (87,1-100% Mg). Pada unsur 6%Mg fasa yang terbentuk adalah fasa Al ( ). Garis di atas menunjukkan Aluminium memiliki titik

  

  cair pada suhu ±630

  C. Pada saat suhu mencapai 650 C maka Aluminium akan memasuki fase Liquid.

  Nilai fasa paduan Aluminium-Magnesium untuk setiap komposisi dapat dilihat pada tabel 2.1.

  (Sumber:J.L Murray, 1998) Beberapa komposisi paduan aluminium-magnesium berdasarkan nomor seri yang telah ditetapkan ditunkukkan oleh tabel 2.2.

  0.25

  4.50–

  5.50

  0.05–

  0.20

  0.10 0.06–

  0.20 Remainder 5454 0.25 0.40 0.10 0.50–

  1.0

  2.4–

  3.0

  0.05–

  0.20

  0.20 Remainder 5456 0.25 0.40 0.10 0.50–

  0.20 Remainder 5356 0.25 0.40 0.10

  1.0

  4.7–

  5.5

  0.05–

  0.20

  0.25

  0.20 Remainder 5754 0.40 0.40 0.10

  0.50

  2.6–

  3.6

  0.30

  0.20

  0.10

  0.20

Tabel 2.2. Batas komposisi paduan Aluminium-Magnesium (%)

  0.25

  Alloy Si Fe Cu Mn Mg Cr Zn Ti Al 5052 0.25 0.40 0.10

  0.10

  2.2–

  2.8

  0.15–

  0.35

  0.10 Remainder 5083 0.40 0.40 0.10 0.40–

  1.0

  4.0–

  4.9

  0.05–

  0.25

  0.35

  0.15 Remainder 5086 0.40 0.50 0.10 0.20–

  0.7

  3.5–

  4.5

  0.05–

  0.25

  0.25

  0.15 Remainder 5154 0.25 0.40 0.10

  0.10

  3.10–

  3.90

  0.15–

  0.15 Remainder (Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Aluminium_alloy) akan menyebabkan menurunnya nilai impedansi akustik paduan tersebut. Dengan penurunan impedansi/ hambatan akustik tersebut maka propagasi gelombang bunyi lebih besar. Tabel 2.3 berikut menunjukkan perbedaan nilai impedansi akustik dari kedua material.

Tabel 2.3. Acoustic properties aluminium dan magnesium.

  Density Acoustic Impedance Metals

  3

  2

  5 g/cm g/cm -sec x10

  Aluminum

  2.70

  17.10 Magnesium

  1.74

  10.98 (Sumber: http://www.ndted.org/GeneralResources/MaterialProperties/UT/ut_matlprop_metals.htm )

2.5. Teori Pengecoran

2.5.1. Sejarah Pengecoran

  Sejarah pengecoran dimulai ketika orang mengetahui bagaimana mencairkan logam dan bagaimana membuat cetakan. Hal itu terjadi kira-kira 4.000 sebelum Masehi, sedangkan tahun yang lebih tepat tidak diketahui. Pengecoran dibuat dari logam yang dicairkan, dituang ke dalam cetakan, kemudian dibiarkan mendingin dan membeku.

  Penggunaan logam oleh orang ialah ketika orang membuat perhiasan dari emas atau perak tempaan, dan kemudian membuat senjata atau mata bajak dengan menempa tembaga, hal itu dimungkinkan karena logam-logam ini terdapat di alam dalam keadaan murni, sehingga dengan mudah orang menempanya.

  Kemudian secara kebetulan orang menemukan tembaga mencair, selanjutnya mengetahui cara untuk menuang logam cair kedalam cetakan, dengan demikian tersebut dibuat dari perunggu yaitu suatu paduan tembaga, timah dan timbal yang titik cairnya lebih rendah dari titik cair tembaga.

  Pengecoran perunggu di lakukan pertama di Mesopotamia, kira-kira 3000 tahun sebelum Masehi. Teknik ini diteruskan ke Asia Tengah, India dan Cina.

  Teknik pengecoran Mesopotomia diteruskan juga ke Eropa padatahun 1500 - 1400 sebelum Masehi dan pada abad ke 14 saja pengecoran besi kasar dilakukan secara besar-besaran. Cara pengecoran pada zaman itu ialah menuangkan secara langsung logam cair yang di dapat dari biji besi kedalam cetakan, jadi tidak dengan jalan mencairkan kembali besi kasar seperti cara sekarang. Coran paduan Alumanium dibuat pada akhir abad 19 setelah cara pemurnian elektrolisasi (Purnomo., 2004).

2.5.2. Proses Pengecoran

  Proses pengecoran akan dihasilkan aluminium dengan sifat-sifat yang diinginkan. Aluminium murni memiliki sifat mampu cor dan sifat mekanis yang tidak baik, maka dipergunakanlah aluminium alloy untuk memperbaiki sifat tersebut. Beberapa elemen alloy yang sering ditambahkan diantaranya tembaga, magnesium, mangan, nikel, silikon dan sebagainya (Tata Surdia, 1992).

  Desain coran perlu dipertimbangkan beberapa hal sehingga diperoleh hasil coran yang baik, yaitu ; bentuk dari pola harus mudah dibuat, cetakan dari coran hendaknya mudah, cetakan tidak menyebabkan cacat pada coran. Pembuatan cetakan dibutuhkan saluran turun yang mangalirkan cairan logam kedalam rongga cetakan. Besar dan bentuknya ditentukan oleh ukuran, tebal irisan dan macam seperti temperatur penuangan dan laju penuangan. Kwalitas coran tergantung pada saluran turun, penambah, keadaan penuangan, dan lain-lainya, maka penentuanya memerlukan pertimbangan yang teliti.

  Sistem saluran adalah jalan masuk cairan logam yang dituangkan ke dalam rongga cetakan. Tiap bagian diberi nama, dari mulai cawan tuang dimana logam cair dituangkan dari ladel, sampai saluran masuk ke dalam rongga cetakan. Bagian-bagian tersebut terdiri dari : cawan tuang, saluran turun, pengalir, dan saluran masuk.

  1. Cawan tuang Merupakan penerima yang menerima cairan logam langsung dari ladel.

  Cawan tuang biasanya berbentuk corong atau cawan dengan saluran turun di bawahnya. Cawan tuang harus mempunyai konstruksi yang tidak dapat melakukan kotoran yang terbawa dalam logam cair dari ladel. Oleh karena itu cawan tuang tidak boleh terlalu dangkal. Kalau perbandingan antara : H tinggi logam cair dalam cawan tuang dan d diameter cawan, harganya terlalu kecil, umpamanya kurang dari 3, maka akan terjadi pusaran- pusaran dan timbullah terak atau kotoran yang terapung pada permukaan logam cair. Karena itu dalamnya cawan tuang sebaiknya dibuat sedalam mungkin. Sabaliknya kalau terlalu dalam, penuangan menjadi sukar dan logam cair yang tersisa dalam cawan tuang akan terlalu banyak sehingga tidak ekonomis (Tata Surdia, 1992).

  Salurun turun adalah saluran yang pertama yang membawa cairan logam dari cawan tuang kedalam pengalir dan saluran masuk. Saluran turun dibuat lurus dan tegak dengan irisan berupa lingkaran. Kadang-kadang irisannya sama dari atas sampai bawah, atau mengecil dari atas kebawah yang pertama dipakai kalau dibutuhkan pengisian yang cepat dan lancar, sadangkan yang kedua dipakai apabila diperlukan penahan kotoran sebanyak mungkin. Salurun turun dibuat dengan melubangi cetakan dengan mempergunakan satu batang atau dengan memasang bumbung tahan panas yang dibuat dari samot. Samot ini cocok untuk membuat salurun turun yang panjang. Ukuran diameter saluran turun bervariasi, tergantung dari berat coran.

  3. Pengalir Pengalir adalah saluran yang membawa logam cair dari saluran turun ke bagian-bagian yang cocok pada cetakan. Pengalir biasanya mempunyai irisan seperti trapesium atau setengah lingkaran sebab irisan demikian mudah dibuat pada permukaan pisah, lagi pula pengalir mempunyai luas permukaan yang terkecil untuk satu luas irisan tertentu, sehingga lebih efektif untuk pendinginan yang lambat. Pengalir lebih baik sebesar mungkin untuk melambatkan pendinginan logam cair. Logam cair dalam pengalir masih membawa kotoran yang terapung, terutama pada permulaan penuangansehingga harus dipertimbangkan untuk membuang kotoran tersebut. Perpanjangan pemisah dibuat pada ujung saluran pengalir agar logam cair yang pertama masuk akan mengisi seluruh ruang membuat saluran turun bantu.

  4. Saluran Masuk Salauran masuk adalah saluran yang mengisikan logam cair dari pengalir kedalam rongga cetakan. Saluran masuk dibuat dengan irisan yang lebih kecil dari pada irisan pengalir, agar dapat mencegah kotoran masuk kedalam rongga cetakan. Bentuk irisan saluran masuk biasanya berupa bujur sangkar, trapesium, segitiga atau setengah lingkaran yang membesar kearah rongga cetakan untuk mencegah terkikisnya cetakan. Irisannya diperkecil ditengah dan diperbesar lagi kearah rongga saluran dan irisan terkecil ini mudah diputuskan sehingga mencegah kerusakan pada coran.

2.5.3. Pembuatan Cetakan

  Jenis - jenis cetakan yang sering digunakan pada proses pengecoran logam yaitu : a. Cetakan Pasir

  Cetakan dibuat dengan jalan memadatkan pasir, pasir yang akan digunakan adalah pasir alam atau pasir buatan yang mengandung tanah lempung. Pasir ini biasanya dicampur pengikat khusus, seperti air, kaca, bentonit, semen, resin ferol, minyak pengering. Bahan tersebut akan memperkuat dan mempermudah operasi pembuatan cetakan (Tata Surdia, 1992).

  Cetakan ini dibuat dengan menggunakan bahan yang terbuat dari logam. Cetakan jenis logam biasanya dipakai untuk industri-industri besar yang jumlah produksinya sangat banyak, sehingga sekali membuat cetakan dapat dipakai untuk selamanya. Cetakan logam harus terbuat dari bahan yang lebih baik dan lebih kuat dari logam coran, karena dengan adanya bahan yang lebih kuat maka cetakan tidak akan terkikis oleh logam coran yang akan di tuang.

  Membuat coran harus dilakukan proses-proses seperti : pencairan logam, membuat cetakan, menuang, membongkar dan membersihkan coran. Proses pencairkan logam dilakukan dengan menggunakan bermacam-macam tanur yang dipakai. Umumnya kupola atau tanur induksi frekwensi rendah dipergunakan untuk besi cor, tanur busur listrik atau tanur induksi frekuensi tinggi digunakan untuk baja tuang dan tanur krus untuk paduan tembaga atau coran paduan ringan.

  Tanur-tanur ini dapat memberikan logam cair yang baik dan sangat ekonomis untuk logam-logam tersebut.

2.6. Sifat Akustik

  Kata akustik berasal dari bahasa Yunani yaitu akoustikos, yang artinya segala sesuatu yang bersangkutan dengan pendengaran pada suatu kondisi ruang yang dapat mempengaruhi mutu bunyi. Fenomena absorpsi suara oleh suatu permukaan bahan ditunjukkan pada gambar 2.7.

Gambar 2.7 Fenomena absorpsi suara oleh suatu permukaan bahan.

  

(Sumber : FTI ITB 2010)

  Fenomena suara yang terjadi akibat adanya berkas suara yang bertemu atau menumbuk bidang permukaan bahan, maka suara tersebut akan dipantulkan (reflected), diserap (absorb), dan diteruskan (transmitted) atau ditransmisikan oleh bahan tersebut. Medium gelombang bunyi dapat berupa zat padat, cair, ataupun gas. Frekuensi gelombang bunyi dapat diterima manusia berkisar antara

  20 Hz sampai dengan 20 kHz, atau dinamakan sebagai jangkauan yang dapat didengar (audible range).

2.6.1. Koefisien Absorpsi

  Menurut Jailani et al. (2004) penyerapan suara (sound absorption) merupakan perubahan energi dari energi suara menjadi energi panas atau kalor.

  Kualitas dari bahan peredam suara ditunjukkan dengan harga α (koefisien penyerapan bahan terhadap bunyi), semakin besar α maka semakin baik digunakan sebagai peredam suara. Nilai α berkisar dari 0 sampai 1. Jika α bernilai 0, artinya tidak ada bunyi yang d iserap sedangkan jika α bernilai 1, artinya 100% bunyi yang datang diserap oleh bahan. Besarnya energi suara yang dipantulkan, diserap, atau diteruskan bergantung pada jenis dan sifat dari bahan atau material tersebut. Pada umumnya bahan yang berpori (porous material) akan menyerap pori-pori menyebabkan gelombang suara dapat masuk kedalam material tersebut. Energi suara yang diserap oleh bahan akan dikonversikan menjadi bentuk energi lainnya, pada umumnya diubah ke energi kalor.

  Perbandingan antara energi suara yang diserap oleh suatu bahan dengan energi suara yang datang pada permukaan bahan tersebut didefinisikan sebagai koefisien penyerap suara atau koefisien absorbsi (α).

  Absorbed Energy  .................................. (2.8) Incident Energy

  Terdapat dua metode untuk mengukur koefisien absorbsi suara, yaitu dengan tabung impedansi (impedance tube) yang dapat mengukur koefisien absorbsi suara normal, serta pengukuran dengan ruang dengung (reverberationroom) yang dapat mengukur koefisien absorbsi suara sabine. Tabel 2.4 berikut merupakan nilai koefisien absorpsi dari beberapa material.

Tabel 2.4. Koefisien penyerapan bunyi dari beberapa material

  Frekuensi (Hz) Material 125 250 500 1000 2000 4000

  Gypsum board (13 mm)

  0.29

  0.10

  0.05

  0.04

  0.07

  0.09 Kayu

  0.15

  0.11

  0.10

  0.07

  0.06

  0.07 Gelas

  0.18

  0.06

  0.04

  0.03

  0.02

  0.02 Tegel geocoustic (81 mm)

  0.13

  0.74

  2.35

  2.53

  2.03

  1.73 Beton yang dituang

  0.01

  0.01

  0.02

  0.02

  0.02

  0.03 Bata tidak dihaluskan

  0.03

  0.03

  0.03

  0.04

  0.05

  0.07 Steel deck (150 mm)

  0.58

  0.64

  0.71

  0.63

  0.47

  0.40 Sumber : Doelle, Leslie L, 1993. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi nilai serap bunyi. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyerapan bunyi pada material adalah: Koizumi et al. (2002) melaporkan bahwa meningkatnya koefisien serap bunyi diikuti dengan menurunnya diameter serat. Ini disebabkan ukuran serat yang kecil akan lebih mudah untuk berpropagasi dibandingkan dengan serat yang lebih besar pada gelombang suara.

  2. Resistensi Aliran Udara.

  Salah satu kualitas yang sangat penting yang dapat mempengaruhi karakteristik dari material berserat adalah spsefik resistensi aliran udara per unit tebal material. Karakteristik impedansi dan propagasi konstan, yang mana menggambarkan sifat akustik material berpori.

  3. Porositas (rongga pori) Jumlah, ukuran, dan tipe rongga pori adalah faktor yang penting ketika mempelajari mekanisme penyerapan suara pada material berpori. Untuk memungkinkan disipasi suara dengan gesekan, gelombang suara harus dimasukkan ke material dengan rongga (berpori). Ini berarti haru ada pori yang cukup pada permukaan material untuk dilewati oleh gelombang suara dan diredam. Porositas pada material berporos didefinisikan sebagai rasio volume berpori didalam material kepada jumlah total volume.

  4. Ketebalan Beberapa studi yang berhubungan dengan penyerapan bunyi pada material berpori menghasilkan kesimpulan bahwa absorbsi suara frekuensi

  Ibrahim et al. (1978) menunjukkan meningkatnya penyerapan bunyi pada frekuensi rendah dengan meningkatnta ketebalan material. Namun, pada frekuensi tinggi ketebalan material tidak terlalu berpengaruh pada penyerapan bunyi.

  5. Densitas Densitas material sering dianggap menjadi faktor yang penting yang mengatur perilaku absorbs suara pada material.

  6. Permukaan impedansi Nilai permukaan impedansi yang semakin tinggi akan menyebabkan meningkatnya jumlah refleksi bunyi pada permukaan sehingga kemampuan serap bunyinya berkurang.

2.6.2. Sound Transmission Loss

  Sound transmission loss adalah kemampuan suatu bahan untuk mereduksi

  suara. Nilainya biasa disebut dengan decibel (dB). Semakin tinggi nilai sound

  

transmission loss ( TL), semakin bagus bahan tersebut dalam mereduksi suara

  (Bpanelcom 2009). Sound transmission class (STC) adalah kemampuan rata-rata

transmission loss suatu bahan dalam mereduksi suara dari berbagai frekuensi.

  Semakin tinggi nilai STC, semakin bagus bahan tersebut dalam mereduksi suara (Bpanelcom 2009). Nilai STC ditetapkan berdasarkan baku mutu ASTM E

  American Society for Testing and Materials (ASTM).

2.7. Material Akustik

  Material akustik adalah material teknik yang fungsi utamanya adalah untuk menyerap suara/bising. Material akustik adalah suatu bahan yang dapat menyerap energi suara yang datang dari sumber suara. Pada dasarnya semua bahan dapat menyerap energi suara, namun besarnya energi yang diserap berbeda-beda untuk tiap bahan. Energi suara tersebut dikonversi menjadi energi panas, yang merupakan hasil dari friksi dan resistansi dari berbagai material untuk bergerak dan berdeformasi. Sama halnya dengan besar energi suara yang sangat kecil bila dilihat dalam satuan Watt, energi panas yang dihasilkan juga sangat kecil sehingga secara makrokopis tidak akan terlalu terasa perubahan temperatur pada bahan tersebut.

  Peredam suara merupakan suatu hal penting didalam desain akustik dan dapat diklasifikasikan menjadi 4 bagian yaitu:

  1. Material berpori (porous material), seperti bahan akustik yang umum digunakan, yaitu mineral wool, plester akustik, sama seperti karpet dan bahan gorden, yang dikarakterisasi dengan cara membuat rajutan yang saling mengait sehingga membentuk pori yang berpola. Pada saluran dan rongga yang sempit dan saling merekat inilah terjadi perubahan energi, dari energy suara menjadi energi vibrasi, kalor atau perubahan momentum. Daya penyerapan atau peredaman dari suatu jenis material adalah fungsi dari frekuensi. Penyerapan relatif rendah pada frekuensi frekuensi rendah dapat ditingkatkan dengan cara melapisi material sehingga menambah ketebalannya. Mengecat plaster dan tile, secara varial akan menghasilkan efektivitas reduksiyang cukup besar.

  2. Membran penyerap (panel absorber): lembar bahan solid (tidak porus) yang dipasang dengan lapisan udara dibagian belakangnya (air

  

spacebacking ). Bergetarnya panil ketika menerima energi suara serta

  transfer energy getaran tersebut ke lapisan udara menyebabkan terjadinya efek penyerapan suara. Sama halnya separti material berpori, yang berfungsi sebagai peredam suara, yaitu merubah energi suara menjadi energi vibrasi dan kalor. Penambahan porous absorber pada bagian ruang kosong antara ruang panil dan dinding akan lebih jauh meningkatkan efisiensi dari penyerapan frekuensi rendah.

  3. Rongga penyerap (cavity resonator), rongga udara dengan volume tertentu dapat dirancang berdasarkan efek resonator Helmholzt. Efek osilasi udara pada bagian leher (neck) yang terhubung dengan volume udara dalam rongga ketika menerima energi suara menghasilkan efek penyerapan suara, menyerap energi suara paling efisien pada pita frekuensi yang sempit di dekat sumber gaungnya. Peredam jenis ini biasanya dalam bentuk elemen tunggal, sepertiblok beton standar dengan rongga yang ditempatkan didalamnya; bentuk lain terdiri dari panel yang berlubang-lubang dan kisi-kisi kayu dengan selimut absorbsi diantaranya. Selain memberikan nilai estetika arsitektur, sistem yang baru saja dijelaskan (bentuk kedua) memberikan absorbsi yang berguna untuk oleh elemen tunggal berongga (struktur sandwich).

  4. Penyerapan suara tiap benda diberikan oleh manusia, meja, kursi dan furniture. Furnitur kayu termasuk didalamnya adalah kursi dan meja.

  Untuk kondisi dimana terdapat banyak orang dengan meja dan kursi (seperti dapat kita temukan di dalam ruang kelas dan ruang kuliah), akan lebih cocok jika digunakan peredaman per orang dan per benda dari furnitur yang diberikan daripada peredaman oleh manusia saja. Dengan menentukan jumlah dan distribusi peredam jenis ini, dapat dimungkinkan untuk merancang kelakuan waktu gaung terhadap frekuensi untuk memperoleh hampir semua lingkungan akustik yang diinginkan. Hal ini juga dapat memungkinkan untuk merancang sebuah ruangan dimana karakteristik gaungnya dapat diubah dengan cara menggeser atau merubah posisi panil dimana posisi permukaan berpengaruh terhadap sifat peredaman yang berbeda. Selama waktu gaung optimum bergantung terhadap fungsi ruangan, dengan cara ini dapat dimungkinkan untuk merancang sebuah ruangan serba guna (multipurpose rooms).

  Bagaimanapun, cara seperti ini akan lebih efektif untuk menekan biaya dan memberikan solusi yang fleksibel, khususnya di dalam ruangan yang besar. Bahan yang mampu menyerap suara pada umumnya mempunyai struktur berpori atau berserat. Bahan-bahan akustik yang tergolong sebagai bahan penyerap suara antara lain adalah glass wool, rock wool, soft board, carpet, kain, busa, acoustic tiles dan lain-lain. Ada dua metode standar yang digunakan untuk mengukur koefisien serap bunyi untuk sampel berukuran kecil yaitu menggunakan metode rasio gelombang tegak (ISO 105432-1) dan metode transfer fungsi (ISO 105432-2). Kedua metode dirancang untuk pengukuran pada sampel kecil. Metode rasio gelombang tegak mapan, tapi lambat sehingga diganti dengan metode transfer fungsi karena kecepatan dan akurasinya dalam pengukuran.

2.8.1. Metode Pengukuran Koefisien Absorpsi Menggunakan Tabung Impedansi

2.8.1.1 Metode Perbandingan Gelombang Tegak (ISO 10534-1:1996)

  Metode ini berdasarkan pada fakta bahwa hanya ada gelombang datar yang datang dan dipantulkan sepanjang sumbu axis dalam tabung. Gelombang bunyi sinusoidal yang datang dibangkitkan oleh loudspeaker pada salah satu ujung tabung. Pada ujung lainnya dibatasi oleh lapisan material yang memiliki reflektifitas tinggi. Pengukuran dapat dilakukan dalam satu oktaf atau 1/3 oktaf frekuensi. Dengan menggunakan definisi dari rasio gelombang tegak:

  | | = .............................................. (2.9)

  | |

  Faktor refleksi dan koefisien serap bunyi didefinisikan oleh:

  | | = ............................................... (2.10) = 1 | | ........................................... (2.11)

  − Tabung impedansi yang menggunakan metode ini diilustrasikan pada gambar 2.8.

2.7.1.1 Metode Transfer Fungsi (ISO 10534-2:1998)

Gambar 2.9 Tabung Impedansi untuk pengukuran koefisien serap bunyi.

  adalah jarak antara sampel dan mikropon terdekat (m)

  2

  x

  

1 adalah jarak antara sampel dan mikropon terjauh (m)

  ) x

  dimana: A dan B adalah amplitudo tegangan (Volt) k adalah nomor gelombang (m

  Tabung impedansi yang menggunakan metode ini diilustrasikan pada gambar 2.9.

Gambar 2.8 Pandangan skematis metode rasio gelombang tegak.

  = + .................................... (2.12) = + ................................. (2.13)

  Tekanan bunyi pada posisi ini masing-masing adalah:

  2 .

  dan x

  1

  Metode ini menggunakan dua buah mikropon yaitu pada posisi x

  • 1

  =

  ...................................... (2.14)

  dan faktor refleksinya: = ................................. (2.15) dimana: =

  = =

  − (jarak kedua mikropon) maka koefisien serap bunyi dapat ditentukan melalui persamaan berikut:

  | | = 1 ........................................ (2.16)

  −