BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bunyi Suara 2.1.1 Defenisi Bunyi Suara - Hubungan Paparan Kebisingan dan Karakteristik Operator SPBU terhadap Tekanan Darah di Kecamatan Medan Sunggal Tahun 2015

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bunyi / Suara

  2.1.1 Defenisi Bunyi / Suara

  Bunyi atau suara didengar sebagai rangsangan pada sel saraf pendengar dalam telinga oleh gelombang longitudinal yang ditimbulkan getaran dari sumber bunyi atau suara dan gelombang tersebut merambat melalui media udara atau penghantar lainnya (Suma’mur, 2009). Defenisi lain, suara adalah sensasi yang dihasilkan yang dihasilkan ketika getaran longitudinal dari molekul – molekul dari lingkungan luar tubuh, di mana terjadi perubahan yaitu kompresi dan peregangan molekul suara yang bergantian, ini menimbulkan fluktuasi di dalam tekanan udara (atmosphersic pressure) secara berulang

  • – ulang disebut gelombang suara (sound

  

wave ) dan akan dirambat ke segala arah, kemudian mencapai gendang

  pendengaran (membrane tympani). Perubahan pada gerakan ini merupakan perubahan tekanan pada membran timpani telinga kita maka membran ini akan bergetar sebagai jawaban pada fluktuasi tekanan udara tersebut. Getaran ini akan sampai di otak dan diinterpretasikan sebagai suara (Ganong, 1995).

  2.1.2 Karakteristik Suara

  Terdapat 2 karakteristik utama yang menentukan kualitas suatu bunyi atau suara, yaitu (Suma’mur, 2009) :

1. Frekuensi

  Frekuensi dinyatakan dalam jumlah getaran per detik dengan satuan Herz Sesuatu benda jika bergetar menghasilkan bunyi atau suara dengan frekuensi tertentu yang merupakan ciri khas dari benda tersebut. Biasanya suatu kebisingan terdiri atas campuran sejumlah gelombang sederhana dari aneka frekuensi.

2. Intensitas

  Intensitas atau arus energi per satuan luas biasanya dinyatakan dalam suatu satuan logaritmis yang disebut decibel (dB) dengan memperbandingkannya

  2

  dengan kekuatan standar 0,0002 dine (dyne)/cm yaitu kekuatan bunyi dengan frekuensi 1.000 Hz yang tepat dapat didengar telinga normal. Dalam rumus :

  10

  dB = 20 log (p/p ) p = intensitas suatu bunyi

  2

  p = intensitas bunyi standar (0,0002 dine/cm )

2.1.3 Sumber Bunyi / Suara

  Sumber bunyi adalah sumber getaran yang dihasilkan dari suatu gelombang bunyi. Sumber getaran tersebut menggetarkan semua medium yang ada di sekelilingnya. Adapun wujud-wujud dari sumber bunyi dibedakan menjadi sumber bunyi sebagai senar atau disebut juga dawai, pita dan permukaan (Soedojo, 1999).

  Sumber bunyi dapat berupa benda-benda yang mampu bergetar, seperti denar gitar, tali suara manusia atau disebut juga dengan pita suara, loudspeaker, serta bunyi tepuk tangan. Penerima bunyi tersebut adalah telinga manusia, ada juga suatu alat yang dapat menerima bunyi yaitu microphone. Bunyi harus merambat dengan media perantara, karena jika tanpa media perantara, sumber bunyi tersebut tidak mampu merambat sampai ke penerima bunyi yang disebut dengan pendengaran.

2.2 Anatomi Dan Fisiologi Alat Pendengaran

2.2.1 Alat Pendengaran Manusia

  Alat pendengaran pada manusia berupa telinga. Telinga merupakan organ pendengaran dan juga memainkan peran penting dalam mempertahankan keseimbangan. Bagian-bagian yang berperan dalam pendengaran yaitu (Watson, 2002) : a.

  Telinga Bagian Luar Terdiri dari daun telinga, liang atau kanal telinga sampai membrane

  tympani . Daun telinga berfungsi sebagai pengumpal energi bunyi dan di

  konsentras pada membrane tympani (Tambunan, 2005). Telinga bagian luar berfungsi sebagai mikrofon yaitu menampung gelombang suara dan menyebabkan membrane timpany bergetar. Semakin tinggi frekuensi getaran semakin cepat pula membran tersebut bergetar begitu pula sebaliknya (Buchari, 2007).

  b.

  Telinga Bagian Tengah Telinga bagian tengah merupakan ruang kecil dalam tulang temporal, dipisahkan oleh membran timpani dari telinga bagian luar, dinding selanjutnya dibentuk oleh dinding bagian lateral telinga dalam (Watson, 2002). Mulai dari

  membrane tympani sampai tube eustachius, yang terdiri dari tiga buah tulang pendengaran (osicles) yaitu tulang malleus, Incus, stapes (Tambunan, 2005). dari membrane timpany dan meneruskan getaran yang telah diperbesar ke oval

  window yang bersifat fleksibel. Oval window ini terdapat pada ujung dari cochlea (Buchari, 2007).

  c.

  Telinga Bagian Dalam Telinga dalam berada di belakang tulang tengkorak kepala terdiri dari cochlea (rumah siput) dan oval window (tingkat oval). Cochlea berbentuk spiral (seperti rumah siput) dengan isi cairan di dalamnya (Tambunan, 2005), terdapat membran basiler dan organ corti yang terdiri dari sel-sel rambut yang merupakan reseptor pendengaran (Buchari, 2007). Organ corti mengandung lebih dari 20.000 sel sensor, terletak pada membran basiler, sejumlah rambut halus terletak pada ujung sel sensor tersebut dan berhadapan dengan membran tektorial, dan serat-seratnya bergabung bersama sel-sel rambut untuk tersambung/memben-tuk saraf pendengaran. Jika suara sampai pada telinga luar maka akan diteruskan ke gendang yang akan mengentarkan dan menggerakkan tulang pendengaran. Tulang tapes melekat pada oval window dan cairan pada saluran membran yang diubah menjadi gerakan gelombang, dan berbalik kemudian merangsang organ corti (Tambunan, 2005).

2.2.2 Mekanisme Mendengar

  Suara dari lingkungan akan diterima daun telinga dan liang telinga yang merupakan bagian telinga luar. Semua bunyi yang mencapai telinga kita sebenarnya merupakan tenaga suatu gelombang suara. Selanjutnya gelombang suara akan menggetarkan gendang telinga (membrane tympani) yang merupakan telinga tengah yang berisi tulang-tulang pendengaran. Tulang tersebut antara lain tulang-tulang malleus, incus dan stapes. Sebagian tulang malleus melekat pada sisi dalam gendang telinga dan akan bergetar bila membran tympani bergetar. Tulang stapes berhubugan dengan selaput oval window (tingkat oval) yaitu telinga bagian dalam. Karena ketiga tulang pendengaran saling bersendi satu sama lain maka akan menjembatani getaran dari gendang telinga, memperkeras dan menyampaikan ke telinga dalam (Watson, 2002).

  Cochlea termasuk telinga dalam berisi cairan elektrolik yang mempunyai

  struktur pipa dengan dua setengah lingkaran yang mirip rumah siput. Pergerakan tulang-tulang pendengaran akan menggetarkan selaput oval window yang menyebabkan aliran cairan cochlea. Aliran tersebut akan menggerakkan sel-sel rambut yang halus yang melekat pada saluran cochlea, pada saat inilah terjadi perubahan gelombang suara menjadi gelombang listrik. Potensial listrik yang timbul akan diteruskan ke otak untuk diolah/diterjemahkan melalui saraf pendengaran. Peristiwa gelombang suara menjadi potensial listrik pada saraf melalui tulang-tulang pendengaran ini dinamakan sebagai gejala sensasi bunyi atau bone conductio. Proses terjadinya getaran pada gendang telinga dan kemudian sampai pada tulang pendengaran dinamakan air conduction, sehingga gelombang yang datang dari telinga luar sampai ke telinga dalam berlangsung secara borne conduction (Watson, 2002).

2.3 Kebisingan

2.3.1 Defenisi Kebisingan

  Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 48/MENLH/11/1996 yang dimaksud dengan kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyaman lingkungan.

  Bunyi atau suara didengar sebagai rangsangan pada sel saraf pendengar dalam telinga oleh gelombang longitudinal yang ditimbulkan getaran dari sumber bunyi atau suara dan gelombang tersebut merambat melalui media udara atau penghantar lainnya dan manakala bunyi atau suara tersebut tidak dikehendaki oleh karena mengganggu atau timbul di luar kemauan orang yang bersangkutan, maka bunyi- bunyian atau suara demikian dinyatakan sebagai kebisingan (Suma’mur, 2009).

  Kebisingan menurut Sv Szokolay dalam jurnal penelitian Setiawan (2010) didefenisikan sebagai getaran-getaran yang tidak teratur, dan memperlihatkan bentuk yang tidak biasa. Faktor-faktor yang mempengaruhinya antara lain adalah pola intensitas, frekuensi dan pembangkitan.bunyi terjadi ketika telinga manusia mendengar pada tekanan kecil yang naik turun di udara, yang disebabkan oleh pergerakan getaran dari benda padat. Kebisingan dapat dideskripsikan dalam beberapa istilah dari tiga variable yaitu amplitude, frekuensi dan pola waktu. Dari tiga variable tersebut maka dapat dijelaskan :

  1. Amplitudo Kerasnya dari suatu bunyi bergantung pada amplitude dari naik turunnya tekanan atmosfir di atas dan di bawah yang digabungkan dengan gelombang suara. Dan besarnya berlaku pada tekanan suara dalam gelombang suara yang dinyatakan dalam root-mean-square (rms).

  2. Frekuensi Suara adalah fluktuasi dari tekanan udara. Bilangan dari terjadinya fluktuasi waktu dalam satu detik disebut frekuensi. Dalam akustik frekuensi dinyatakan dalam satuan Hertz (Hz). Hubungan frekuensi dengan panjang gelombang dinyatakan dalam : f λ = v 3. Pola waktu

  Karakteristik pentung yang ketiga dari kebisingan yaitu variasi dalam waktu.

2.3.2 Jenis-jenis Kebisingan

  Secara umum kebisingan dapat dikelompokkan berdasarkan kontinuitas, intensitas dan spectrum frekuensi sura yang ada, seperti berikut (Chandra, 2005) :

  1 Steady state and narrow band noise Kebisingan yang terus menerus dengan spectrum suara yang sempit seperti suara mesin dan kipas angin.

  2 Nonsteady state and narrow band noise Kebisingan yang tidak terus menerus dengan spectrum suara yang sempit

  3 Kebisingan intermiten Kebisingan semacam ini terjadi sewaktu-waktu dan terputus, misalnya suara pesawat terbang dan kereta api.

  4 Kebisingan impulsive Kebisingan yang impulsive atau memekakkan telinga, misalnya bunyi tembakan bedil, meriam, atau ledakan bom.

  Berdasarkan sumber kebisingan dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam kebisingan, yaitu (Wardhana, 2001) :

  1. Kebisingan impulsive, yaitu kebisingan yang datangnya tidak secara terus menerus, akan tetapi sepotong-sepotong. Contohnya: kebisingan yang datang dari suara palu yang dipukulkan, kebisingan yang datang dari mesin pemancang tiang pancang.

  2. Kebisingan kontinyu, yaitu kebisingan yang datang secara terus menerus dalam waktu yang cukup lama. Contohnya: kebisingan yang dating dari suara mesin yang dijalankan (dihidupkan).

  3. Kebisingan semi kontinyu (intermittent), yaitu kebisingan kontinyu yang hanya sekejap, kemudian hilang dan mungkin akan datang lagi. Contohnya: suara mobil atau pesawat terbang yang sedang lewat.

2.3.3 Sumber Kebisingan

  Sumber-sumber kebisingan menurut Prasetio (1985) dapat bersumber dari: 1. Bising interior yaitu sumber bising yang bersumber dari manusia, alat-alat rumah tangga, atau mesin-mesin gedung.

  2. Bising outdoor yaitu sumber bising yang berasal dari lalu lintas, transportasi, industry, alat-alat mekanis yang terlihat dalam gedung, tempat-tempat pembangunan gedung, perbaikan jalan, kegiatan olahraga dan lain-lain di luar ruangan atau gedung.

2.3.4 Pengaruh Kebisingan Terhadap Kesehatan

  Pengaruh utama kebisingan terhadap kesehatan adalah kerusakan pada indra pendengar yang dapat menyebabkan ketulian progresif. Pengaruh tersebut tentunya sangat penting bagi higiene perusahaan dan kesehatan kerja (Chandra, 2005).

  Dampak kebisingan terhadap kesehatan adalah sebagai berikut: (Prabu, 2009): a.

  Gangguan Fisiologis Pada umumnya, bising bernada tinggi sangat mengganggu, apalagi bila terputus

  • – putus atau yang datangnya tiba – tiba. Gangguan dapat berupa peningkatan tekanan darah, peningkatan nadi, kontruksi pembuluh darah perifer terutama pada tangan dan kaki, serta dapat menyebabkan pucat dan gangguan sensoris.

  Bising dengan intensitas tinggi dapat menyebabkan pusing/sakit kepala. Hal ini disebabkan bising dapat merangsang situasi vestibular dalam telinga dalam yang akan menimbulkan efek pusing/vertigo. Perasaan mual, susah tidur dan sesak napas disebabkan oleh rangsangan bising terhadap sistem saraf, keseimbangan organ dan keseimbangan elektrolit. Melalui makanisme hormonal adrenalin, yang dapat meningkatkan frekuensi detak jantung dan tekanan darah. b.

  Gangguan Psikologis Gangguan psikologis dapat berupa rasa tidak nyaman, kurang konsentrasi, kejengkelan, kecemasan, ketakutan dan cepat marah. Bila kebisingan diterima dalam waktu lama dapat menyebabkan penyakit psikosomatik berupa gastritis, jantung, stres, kelelahan.

  c.

  Gangguan komunikasi Kebisingan bisa mengganggu komunikasi yang sedang berlangsung (tatap muka/ via telepon). Tingkat kenyaringan suara yang dapat mengganggu percakapan diperhatikan dengan seksama karena suara yang mengganggu komunikasi tergantung konteks suasana.

  d.

  Gangguan tidur Kualitas tidur seseorang dapat dibagi menjadi beberapa tahap mulai dari keadaan terjaga sampai tidur terlelap. Kebisingan bisa menyebabkan gangguan dalam bentuk perubahan tahap tidur. Gangguan yang terjadi dipengaruhi oleh beberapa factor antara lain motivasi bangun, kenyaringan, lama kebisingan, fluktuasi kebisingan dan umur manusia. Standart kebisingan yang berhubungan dengan gangguan tidur sulit ditetapkan karena selain tergantung faktor – faktor tersebut di atas, gangguan kebisingan terhadap tidur juga berhubungan dengan karakteristik individual. Environmental protection Agency menetapkan bahwa tingkat kebisingan harian 45 dB A cukup untuk melindungi seseorang dari pengaruh kesehatan karena tidak bisa tidur (Sasongko, 2000). e.

  Efek pada pendengaran Pengaruh utama dari bising pada kesehatan adalah kerusakan pada indera pendengaran, yang menyebabkan tuli progresif dan efek ini telah diketahui dan diterima secara umum dari zaman dulu. Mula

  • – mula efek bising pada pendengaran adalah sementara dan pemulihan terjadi secara cepat sesudah pekerjaan di area bising dihentikan. Akan tetapi apabila bekerja terus menerus di area bising maka terjadi tuli menetap dan tidak dapat normal kembali, biasanya dimulai pada frekuensi 4000 Hz dan kemudian semakin meluas ke frekuensi sekitarnya dan akhirnya mengenai frekuensi yang biasanya digunakan untuk percakapan (Prabu, 2009).

2.3.5 Kebisingan dan Produktivitas Kerja

  Menurut Chandra (2005) kebisingan ternyata mempunyai efek yang merugikan terhadap produktivitas kerja. Pengaruh-pengaruh negatif dari kebisingan, antara lain: 1.

  Gangguan.

  Menurut WHO, kebisingan adalah suara-suara yang tidak dikehendaki. Besarnya gangguan bergantung pada jenis dan intensitas suatu kebisingan. Pada umumnya kebisingan bernada tinggi sangat mengganggu, apalagi yang terputus-putus atau yang datangnya secara tiba-tiba dan tidak terduga.

  Pengaruh kebisingan akan sangat terasa apabila sumber kebising-an tersebut tidak diketahui.

  2. Komunikasi dengan pembicaraan.

  Risiko potensial pada pendengaran terjadi, apabila komunikasi dengan pembicaraan harus dilakukan secara berteriak. Gangguan komunikasi semacam itu dapat menyebabkan gangguan pada pekerjaan atau bahkan mengakibatkan kesalahan dan kecelakaan kerja terutama pada pekerja baru.

  Pengaruh pada komunikasi percakapan dapat dipastikan dengan cara mengukur rata-rata intensitas oktaf-oktaf di antara 600-1.200; 1.200-2.400; dan 2.400-4.800 Hz. Nilai yang dihasilkan disebut Tingkat Gangguan Pembicaraan (Speech Interference Level).

  3. Efek pada pekerjaan.

  Kebisingan dapat mengganggu konsentrasi pekerja pada pekerjaannya, terutama suara yang bernada tinggi, karena dapat menimbulkan reaksi psikologis dan kelelahan. Pada pekerjaan yang lebih banyak menggunakan otak, kebisingan sebaiknya ditekan serendah mungkin.

  4. Reaksi masyarakat.

  Apabila kebisingan akibat suatu proses produksi sudah sedemikian hebatnya, pengaruhnya pasti sangat besar. Masyarakat sekitar pun pasti mengajukan protes dan menuntut agar kegiatan produksi tersebut segera dihentikan.

2.3.6 Nilai Ambang Batas Kebisingan

  Nilai Ambang Batas (NAB) kebisingan sebagai faktor bahaya di tempat kerja adalah standar sebagai pedoman pengendalian agar tenaga kerja masih dapat

a. Peruntukan Kawasan 1.

  60

  55 Sumber : Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 48 Tahun 1996

  55 3. Tempat Ibadah atau Sejenisnya

  55 2. Sekolah dan Sejenisnya

  Rumah Sakit atau Sejenisnya

   Lingkungan Kegiaatan 1.

  70 b.

  70

  60

  70 8. Khusus

  pekerjaan sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 (delapan) jam sehari dari 5 (lima) hari kerja seminggu atau 40 jam seminggu. NAB kebisingan tersebut merupakan ketentuan dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor: Kep- 51/Men/1999 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di Temapat Kerja dan merupakan standar dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) 16-7063-2004 Nilai Ambang Batas iklim kerja (panas), kebisingan getaran tangan-lengan dan radiasi sinar ultra ungu di tempat kerja. SNI dimaksud juga memberikan informasi tentang pengendalian kebisingan yang dilakukan sehubungan dengan tingkat paparan sebagaimana substansinya (Suma’mur, 2009).

  60 7. Rekreasi

  70 6. Pemerintahan dan Fasilitas Umum

  50 5. Industri

  65 4. Ruang Terbuka Hijau

  70 3. Perkantoran dan Perdagangan

  55 2. Perdagangan dan Jasa

  Perumahan dan Pemukiman

Tabel 2.1 Baku Mutu Kebisingan Zona Kawasan / Lingkungan Kesehatan Tingkat Kebisingan dB

  Batasan nilai tingkat untuk beberapa kawasan atau lingkungan Menurut Menteri Negara Lingkungan Hidup dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut ini :

  • Bandar Udara
  • Stasiun Kereta Api
  • Pelabuhan Laut
  • Cagar Budaya

  Selain melalui tingkat keras, kebisingan juga dikaitkan dengan lama paparannya. Semakin keras tingkat bunyi, semakin pendek waktu paparan yang disarankan bagi telinga.

  Standar kebisingan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.51/MEN/1999 adalah sebagai berikut :

Tabel 2.2 Nilai Ambang Batas Kebisingan Waktu Pemaparan Intensitas Kebisingan (dB)

  8 Jam

  85

  4 Jam

  88

  2 Jam

  91

  1 Jam

  94

  30 Menit

  97

  15 Menit 100 7,5 Menit 103

  3,75 Menit 106 1,88 Menit 109 0,94 Menit 112

  28,12 Detik 115 14,06 Detik 118

  7,03 Detik 121 3,52 Detik 124 1,76 Detik 127 0,88 Detik 130 0,44 Detik 133 0,23 Detik 136 0,11 Detik 139 Sumber : Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.51/MEN/1999.

  Keterangan : Tidak boleh terapajan lebih dari 140 dB, walaupun sesaat.

  Peraturan Menteri Kesehatan No. 718 Tahun 1987 tentang kebisingan yang berhubungan dengan kesehatan menyatakan pembagian wilayah dalam 4 zona :

Tabel 2.3 Pembagian zona-zona peruntukan

  Tingkat Kebisingan dB (A) Zona Peruntukan

  Dianjurkan Diperbolehkan A Laboratorium, rumah sakit, panti perawatan

  35

  45 B Rumah, sekolah, tempat rekreasi

  45

  55 C Kantor, pertokoan

  50

  60

2.3.7 Pengendalian Kebisingan

  Kebisingan dapat dikendalikan dengan cara, antara lain (Budiono, 2003): 1. Pengendalian Secara Teknis

  a) Mengubah cara kerja dari yang menimbulkan bising menjadi berkurang suara yang menimbulkan bisingnya.

  b) Menggunakan penyekat dinding dan langit-langit yang kedap suara.

  c) Mengisolasi mesin-mesin yang menjadi sumber kebisingan.

  d) Substitusi mesin yang bising dengan mesin yang kurang bising.

  e) Menggunakan fondasi mesin yang baik agar tidak ada sambungan yang goyang dan mengganti bagian-bagian logam dengan karet.

  f) Modifikasi mesin atau proses.

  g) Merawat mesin dan alat secara teratur dan periodic sehingga dapat mengurangi suara bising.

2. Pengendalian secara administrasi

a) Pengadaan ruang kontrol pada bagian tertentu (misalnya bagian diesel).

  b) Tenaga kerja di bagian tersebut hanya melihat dari ruang berkaca yang kedap suara dan sesekali memasuki ruang berbising tinggi, dalam waktu yang telah ditentukan, serta menggunakan APD (ear muff).

  c) Pengaturan jam kerja, disesuaikan dengan NAB yang ada. Cara ini dilakukan untuk mengurangi waktu pemajanan dan tingkat kebisingan, sehingga suara yang diterima organ pendengaran pekerja, masih dalam batas aman.

  3. Pengendalian secara medis Pemeriksaan audiometri sebaiknya dilakukan pada saat awal masuk kerja, secara periodik, secara khusus dan pada akhir masa kerja.

  4. Penggunaan Alat Pelindung Diri Apabila pengendalian secara teknis dan administrasi belum dapat mereduksi tingkat dan lama kebisingan yang diterima maka digunakan alat pelindung kebisingan yaitu ear plug atau ear muff disesuaikan dengan jenis pekerjaan, konsidi dan penurunan intensitas kebisingan yang diharapkan.

2.3.8 Pengukuran Intensitas Kebisingan Standar alat untuk mengukur kebisingan adalah Sound Level Meter (SLM).

  Pengukuran dalam SLM dikategorikan dalam tiga jenis karakter respon frekuensi, yaitu ditunjukkan dalam skala A, B, dan C. Skala A yang ditemukan paling dapat mewakili batas pendengaran manusia dan respon telinga manusia terhadap kebisingan, termasuk kebisingan yang dapat menimbulkan gangguan pendengaran. Skala A tersebut dinyatakan dalam satuan dBA (Djalante, 2010).

  Dalam penelitian Buchari (2007), menjelaskan untuk alat ukur kebisingan yaitu Sound Level Meter (SLM) dan untuk mengukur ambang pendengaran digunakan alat Audiometer. Sound Level Meter (SLM) adalah alat untuk mengukur suara. Mekanisme kerja dari SLM adalah apabila ada benda bergetar, maka akan menyebabkan terjadinya perubahan tekanan udara yang mana perubahan tersebut dapat ditangkap oleh alat ini, sehingga akan menggerakkan meter petunjuk atau jarum petunjuk. Sedangkan untuk Audiometer, adalah alat suara yang paling lemah yang dapat didengar manusia. Audiogram adalah chart hasil pemerikasaan audiometri.

2.3.9 Kebisingan Lalu Lintas

  Perkembangan yang semakin meningkat pada transportasi di jalan raya tentunya mempunyai dampak lingkungan di sepanjang jalan yang ramai dengan sarana transportasi. Di negara berkembang seperti Indonesia, yang pengaturan dan penyediaan kendaraan umum belum tertata secara baik, masyarakat akan cenderung menggunakan kendaraan pribadi untuk mendukung kegiatannya. Berdasar kecepatan dan kenyamanan berkendara maka kendaraan bermotor pribadi lebih dipilih dibanding kendaraan tidak bermotor. Kebisingan di perkotaan yang padat lalu lintasnya bukan merupakan masalah baru lagi, tetapi permasalahan lama yang perlu dipecahkan bersama. Meski kini kelompok- kelompok masyarakat pengguna sepeda telah terbentuk, seperti Bike to Work, namun jumlah anggotanya masih sedikit. Di waktu mendatang diharapkan pengguna sepeda terus meningkat jumlahnya sehingga dapat menurunkan polusi udara dan bunyi. Hal itu juga perlu didukung dengan penyediaan jalur khusus sepeda agar keselamatan dan kenyamanan pengguna sepeda.

  Kebisingan pada kendaraan bermotor terutama bersumber pada mesin dan saluran gas buang. Juga terdapat sumber lain meski bukan sumber pokok, yaitu gesekan roda dengan jalan dan klakson. Pada kendaraan bermotor dengan usia pembuatan 10 tahun ke bawah serta yang mesinnya terawat dengan baik, kebisingan yang dihasilkan mesin dapat dianggap sesuai baku. Hal ini tertentu. Bila jumlah dan jenis kendaraan sesuai baku makan munculnya kebisingan dapat dihindari. Namun pada kenyataannya hal ini tidak terpenuhi.

  Ruas jalan dipenuhi kendaraan melebihi kemampuan hingga terjadi kemacetan. Keadaan ini, tentu menimbulkan polusi udara dan bunyi (Mediastika, 2009).

  Sumber kebisingan lalu lintas termasuk dalam kriteria kebisingan garis, kebisingan tersebut ditimbulkan oleh suara-suara dari kendaraan bermotor yang melewati jalanan dan semakin padatnya lalu lintas yang ada di jalan tersebut. Adapun penyebab kebisingan dari kendaraan bermotor adalah mesin dari kendaraan bermotor itu sendiri biasanya berjenis mesin bakar, jenis kipas pendingin kendaraan, bagian sistem pembuangan kendaraan yang berbeda-beda, dan model kendaraan. Selain penyebab kebisingan dari kendaraan tersebut, ada pula parameter dari kendaraan itu sendiri yaitu kecepatan dan kepadatan kendaraan bermotor yang ada di lalu lintas jalan, komposisi kendaraan bermotor tersebut, sifat dari pengemudi kendaraannya sendiri, dan kestabilan atau ketidakstabilan lalu lintas kendaraan bermotor. Selain parameter lalu lintas, ada pula parameter dari jalan yang dilalui oleh kendaraan, yaitu kondisi yang membentuk fisik dari jalan, contohnya bentuk jalan, kemiringan jalan, kelengkungan jalan atau tikungan jalan, permukaan jalan yang berbeda-beda dan lebar dari jalan yang dilewati banyaknya kendaraan bermotor (Suroto, 2010).

2.4 Tekanan Darah

  2.4.1 Defenisi Tekanan Darah

  Tekanan darah adalah daya dorong ke semua arah pada seluruh permukaan yang tertutup pada dinding bagian dalam jantung dan pembuluh darah (Sloane, 2004).

  Tekanan darah adalah menunjukkan keadaan dimana tekanan yang dikenakan oleh darah pada pembuluh arteri ketika darah dipompa oleh jantung ke seluruh anggota tubuh, dengan kata lain tekanan darah juga berarti kekuatan yang dihasilkan oleh darah terhadap setiap satuan luas dinding pembuluh (Guyton dan Hall, 2006).

  Tekanan darah juga sering disebut sebagai suara di mana detak jantung pertama kali di dengar dengan bantuan alat stetoskop. Tekanan darah dapat dilihat dengan mengambil dua ukuran yang biasa ditunjukkan dengan angka seperti berikut: 120/80 mmHg. Angka 120 mmHg menunjukkan tekanan pada pembuluh arteri ketika jantung berkontraksi, yang biasanya disebut dengan sistolik. Angka 80 mmHg menunjukan jantung sedang berelaksasi disebut tekanan darah diastolik (Ganong, 1995).

  2.4.2 Sistem Sirkulasi Tekanan Darah

  Darah mengambil oksigen dari dalam paru-paru. Darah yang mengandung oksigen ini memasuki jantung dan kemudian dipompakan ke seluruh bagian tubuh melalui pembuluh darah yang disebut arteri. Pembuluh darah yang lebih besar bercabang-cabang menjadi pembuluh-pembuluh darah lebih kecil hingga pembuluh-pembuluh darah sangat kecil yang disebut kapiler. Jaringan ini mengalirkan darah ke sel-sel tubuh dan menghantarkan oksigen untuk menghasilkan energi yang dibutuhkan demi kelangsungan hidup. Kemudian darah, yang sudah tidak beroksigen kembali ke jantung melalui pembuluh darah vena, dan di pompa kembali ke paru-paru untuk mengambil oksigen lagi. Saat jantung berdetak, otot jantung berkontraksi untuk memompakan darah ke seluruh tubuh. Tekanan tertinggi berkontraksi dikenal sebagai tekanan sistolik. Kemudian otot jantung rileks sebelum kontraksi berikutnya, dan tekanan ini paling rendah, yang dikenal sebagai tekanan diastolik. Tekanan sistolik dan diastolik ini diukur ketika Anda memeriksakan tekanan darah (Beevers, 2002).

2.4.3 Jenis Tekanan Darah

  Tekanan darah terdiri dari 2 (dua) bagian besar, yaitu : Tekanan darah sistolik adalah tekanan darah yang diturunkan sampai suatu titik dimana denyut dapat dirasakan. Tekanan yang terjadi apabila oto jantung berdenyut memompa untuk mendorong darah keluar melalui pembuluh darah arteri. Tekanan ini berkisar antara 95-140 mmHg. Sedangkan tekanan darah diastolik adalah tekanan di atas arteri brakialis perlahan-lahan dikurangi sampai bunyi jantung atau denyut arteri dengan jelas dapat didengar dan titik dimana bunyi mulai menghilang tekanan ini berkisar antara 60-95 mmHg (Tahang, 2004). Perbedaan tekanan darah antara sistolik dan diastolik disebut tekanan nadi dan normalnya adalah 30- 50 mmHg (Pearce, 2009).

2.4.4 Klasifikasi Tekanan Darah

  Tekanan darah diklasifikasikan menjadi 3 kelompok, yaitu :

  1 Tekanan darah normal Seseorang dikatakan mempunyai tekanan darah normal bila tekanan darah uuntuk sistolik <140 mmHg dan diastolik ,90 mmHg (Guyton dan Hall, 2006). Nilai tekanan darah normal: a.

  Pada usia 15-29 tahun : sistolik 90-120 mmHg, diastolik 60-80 mmHg.

  b.

  Pada usia 30-49 tahun : sistolik 110-140 mmHg, diastolik 70-90 mmHg.

  c.

  Pada usia >50 tahun : sistolik 120-150 mmHg, diastolik 70-90 mmHg.

  2 Tekanan darah rendah Seseorang dikatakan mempunyai tekanan darah rendah bila tekanan darah untuk sistolik <100 mmHg dan diastolik <60 mmHg (Watson, 2002).

  3 Tekanan darah tinggi Seseorang dikatakan mempunyai tekanan darah tinggi apabila untuk tekanan darah sistolik >140 mmHg dan diastolik >90 mmHg (Watson, 2002).

  Klasifikasi tekanan darah bagi orang dewasa usia 18 tahun ke atas yang tidak sedang dalam pengobatan tekanan darah tinggi dan tidak menderita penyakit serius dalam jangka waktu tertentu menurut Seventh Report of the Joint National

  

Committe VII (JNC VII) on Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of

High Blood Pressure adalah sebagai berikut:

Tabel 2.4 Kategori Tekanan Darah

  Tekanan Darah Sistolik Diastolik Normal Di bawah 120 Di bawah 80 Pre-hipertensi 120-139 80-89 Darah tinggi atau hipertensi (stadium 1) 140-159 90-99 Darah tinggi atau hipertensi (stadium 2 atatu

2.4.5 Pengukuran Tekanan Darah

  Untuk mengukur tekanan darah maka perlu dilakukan pengukuran tekanan darah secara rutin. Pengukuran tekanan darah dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Pada metode langsung, kateter arteri dimasukkan ke dalam arteri. Walaupun hasilnya sangat tepat, akan tetapi metode pengukuran ini sangat berbahaya dan dapat menimbulkan masalah kesehatan lain (Smeltzer & Bare, 2001). Menurut Nursecerdas (2009), bahaya yang dapat ditimbulkan saat pemasangan kateter arteri yaitu nyeri inflamasi pada lokasi penusukkan, bekuan darah karena tertekuknya kateter, perdarahan: ekimosis bila jarum lepas dan tromboplebitis. Sedangkan pengukuran tidak langsung dapat dilakukan dengan menggunakan sphygmomanometer dan stetoskop. Sphgmomanometer tersusun atas manset yang dapat dikembangkan dan alat pengukur tekanan yang berhubungan dengan ringga dalam manset. Alat ini dikalibrasi sedemikian rupa sehingga tekanan yang terbaca pada manometer seseuai dengan tekanan dalam milimeter air raksa yang dihantarkan oleh arteri brakialis (Smeltzer & Bare, 2001).

  Adapun cara pengukuran tekanan darah dimulai dengan membalutkan manset dengan kencang dan lembut pada lengan atas dan dikembangkan dengan pompa. Tekanan dalam manset dinaikkan sampai denyut radial atau brakial menghilang. Hilangnya denyutan menunjukkan bahwa tekanan sistolik darah telah dilampaui dan arteri brakialis telah tertutup. Manset dikembangkan lagi sebesar 20 sampai 30 mmHg diatas titik hilangnya denyutan radial. Kemudian manset palpasi. Dengan palpasi kita hanya dapat mengukur tekanan sistolik. Sedangkan dengan auskultasi kita dapat mengukur tekanan sistolik dan diastolik dengan lebih akurat (Smeltzer & Bare, 2001).

  Untuk mengauskultasi tekanan darah, ujung stetoskop yang berbentuk corong atau diafragma diletakkan pada arteri brakialis, tepat di bawah lipatan siku (rongga antekubital), yang merupakan titik dimana arteri brakialis muncul diantara kedua kaput otot biseps. Manset dikempeskan dengan kecepatan 2 sampai 3 mmHg per detik, sementara kita mendengarkan awitan bunyi berdetak, yang menunjukkan tekanan darah sistolik. Bunyi tersebut dikenal sebagai Bunyi Korotkoff yang terjadi bersamaan dengan detak jantung, dan akan terus terdengar dari arteri brakialis sampai tekanan dalam manset turun di bawah tekanan diastolik dan pada titik tersebut, bunyi akan menghilang (Smeltzer & Bare, 2001).

2.4.6 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Tekanan Darah

  Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tekanan darah yaitu : 1. Usia

  Hipertensi erat kaitannya dengan umur, semakin tua seseorang semakin besar risiko terserang hipertensi. Umur lebih dari 40 tahun mempunyai risiko terkena hipertensi. Arteri kehilangan elastisitasnya atau kelenturannya dan tekanan darah seiring bertambahnya usia, kebanyakan orang hipertensinya meningkat ketika berumur lima puluhan dan enam puluhan (Gunawan, 2001).

2. Jenis Kelamin

  Faktor gender berpengaruh pada terjadinya hipertensi, dimana pria lebih

  2,29 untuk kenaikan tekanan darah sistolik dan 3,76 untuk kenaikan tekanan darah diastolik. Pria diduga memiliki gaya hidup yang cenderung dapat meningkatkan tekanan darah dibandingkan dengan wanita. Namun, setelah memasuki menopause, prevalensi hipertensi pada wanita tinggi. Bahkan setelah umur 65 tahun, terjadinya hipertensi pada wanita lebih tinggi dibandingkan dengan pria yang diakibatkan oleh faktor hormonal (Depkes, 2006).

  Wanita yang belum mengalami menopause dilindungi oleh hormon estrogen yang berperan dalam meningkatkan kadar High Density Lipoprotein (HDL). Kadar kolesterol HDL yang tinggi merupakan faktor pelindung dalam mencegah terjadinya proses aterosklerosis. Efek perlindungan estrogen dianggap sebagai penjelasan adanya imunitas wanita pada usia premenopause. Pada premenopause wanita mulai kehilangan sedikit demi sedikit hormon estrogen yang selama ini melindungi pembuluh darah dari kerusakan. Proses ini terus berlanjut dimana hormon estrogen tersebut berubah kuantitasnya sesuai dengan umur wanita secara alami, yang umumnya mulai terjadi pada wanita umur 45-55 tahun (Dwi, 2009).

3. Masa Kerja

  Masa kerja adalah jangka waktu orang sudah bekerja pada suatu organisasi, lembaga dan sebagainya. Masa kerja seseorang perlu diketahui karena masa kerja merupakan salah satu indikator tentang kecenderungan para pekerja dalam melaksanakan aktivitas kerjanya.

  1. masa kerja baru (< 2 tahun) 2. masa kerja lama (> 2 tahun)

  Semakin lama seseorang dalam bekerja maka semakin banyak dia terpapar bahaya yang ditimbulkan oleh lingkunga n kerja tersebut (Suma’mur, 2009).

4. Ras

  Kajian populasi selalu menunjukkan bahwa aras tekanan darah pada masyarakat kulit hitam lebih tinggi ketimbang aras pada golongan suku lain.

  Suku bangsa mungkin berpengaruh pada hubungan antara umur dan tekanan darah, seperti yang ditujukkan oleh kecenderungan tekanan darah yang meninggi bersamaan dengan bertambahnya umur secara progresif pada orang Amerika berkulit hitam keturunan Afrika ketimbang pada orang Amerika berkulit putih. Perbedaan tekanan darah rata-rata antara kedua golongan tersebut beragam, mulai dari yang agak lebih rendah dari 5 mmHg (0,67 kPa) pada usia 20-an sampai hampir 20 mmHg (2,67 kPa) pada usia 60-an. Orang Amerika hitam keturunan Afrika telah menunjukkan pula mempunyai tekanan darah yang lebih tinggi daripada orang Afrika hitam. Hal ini memberi kesan bahwa ada penambahan pengaruh lingkungan pada kecenderungan kesukuan Peran kesukuan yang bebas dari faktor lingkungan perlu dijelaskan pada golongan suku Lin di Negara yang mempunyai keanekaragaman suku (WHO, 2001).

  5. Faktor Sosial Ekonomi Di negara-negara yang berada pada tahap pasca-peralihan perubahan ekonomi dan epidemiologi, selalu dapat ditunjukkan bahwa aras tekanan darah dan prevalensi hipertensi yang lebih tinggi terdapat pada golongan sosioekonomi rendah. Hubungan yang terbalik itu ternyata berkaitan dengan tingkat pendidikan, penghasilan, dan pekerjaan. Akan tetapi, dalam masyarakat yang berada dalam masa peralihan atau pra-peralihan, aras tinggi tekanan darah dan prevalensi-hipertensi yang lebih tinggi ternyata terdapat pada golongan sosioekonomi yang lebih tinggi. Ini barangkali menggambarkan tahap awal epidemik penyakit kardiovaskular (WHO, 2001).

  6. Faktor Genetik Riwayat keluarga dekat yang menderita hipertensi (faktor keturunan) juga mempertinggi risiko terkena hipertensi, terutama pada hipertensi primer

  (esensial). Faktor genetik juga dipengaruhi faktor-faktor lingkungan lain, yang kemudian menyebabkan seseorang menderita hipertensi. Faktor genetik juga berkaitan dengan metabolisme pengaturan garam dan renin membran sel. Bila kedua orang tua menderita hipertensi maka sekitar 45% turun ke anak - anaknya dan bila salah satu orang tua yang menderita hipertensi maka sekitar 30% turun ke anak-anaknya (Depkes, 2006).

  7. Kebiasaan Merokok Nikotin menyebabkan kenaikan tekanan arteri dan denyut jantung oleh beberapa mekanisme: (Kaplan dan Norman, 1996) : a.

  Nikotin meransang pelepasan epinetrinlokal dari saraf adregenik dan meningkatkan sekresi katekolamin dari modula adrenalis dan dari jaringan kromafin di jantung.

  b.

  Nikotin bekerja pada kemoreseptor di glomus caroticus dan glomera aotica yang menyebabkan peningkatan denyut jantung dan tekanan arteri.

  c.

  Nikotin bekerja langsung pada miokardium untuk menginduksi efek inotropik dan kronotopik positif.

  Nikotin dalam merokok dapat mengakibatkan jantung berdenyut lebih cepatdan penyempitan pembuluh saluran

  • – saluran nadi sehingga menyababkan jantung terpaksa memompa dengan lebih kuat untuk memenuhi kebutuhan darah ke seluruh tubuh (Singgih, 1995).

8. Kebiasaan Minum Kopi

  Minum kopi yang mengandung kafein disebut dapat menghasilkan perubahan dalam hemodinamik diantaranya dapat meningkatkan tekanan darah (Lane, 1993). Dalam tubuh manusia senyawa kafein dapat memacu hormon adrenalin, yang berpengaruh terhadap peningkatan tekanan darah dan detak jantung, sekresi asam lambung, senyawa gula pada aliran darah dan otot dalam kondisi siap beraktivitas.

  Sebahagian orang, minum kopi dapat menimbulkan jantung berdebar- debar, denyutnya bisa melebihi 80 kali per menit. Hal itu disebabkan efek stimulan kopi. Mengkonsumsi kopi secara berlebihan dapat meningkatkan tekanan darah, yang berpotensi mempercepat terjadinya penyakit jantung korona kiri dan kanan, bila pembuluh darah korona tersumbat terjadilah PJK (Afian, 2010).

  9. Konsumsi Alkohol Pengaruh alkohol terhadap kenaikan tekanan darah telah dibuktikan.

  Mekanisme peningkatan tekanan darah akibat alkohol masih belum jelas. Namun, diduga peningkatan kadar kortisol dan peningkatan volume sel darah merah serta kekentalan darah berperan dalam menaikkan tekanan darah. Di negara barat seperti Amerika, komsumsi alkohol yang berlebihan berpengaruh terhadap terjadinya hipertensi. Sekitar 10% hipertensi di Amerika disebabkan oleh asupan alkohol yang berlebihan di kalangan pria separuh baya. Akibatnya, kebiasaan meminum alkohol ini menyebabkan hipertensi sekunder di usia ini (Depkes, 2006).

  Penelitian Riyadina (2002) yang dilakukan terhadap operator pompa bensin (SPBU) di Jakarta menyatakan bahwa risiko untuk terjadinya hipertensi pada peminum alkohol sebesar 2,208 kali lebih besar dibandingkan dengan orang yang bukan peminum alkohol. Artinya risiko hipertensi akan 2 kali lebih besar pada peminum alkohol dibandingkan yang bukan peminum alkohol.

  10. Stres Stres menurut Greenberg (2002) adalah interaksi antara seseorang dengan lingkungan termasuk penilaian seseorang terhadap tekanan dari suatu kejadian dan kemampuan yang dimiliki untuk menghadapi tekanan tersebut, keadaan psikologis antara lain berupa emosi, kecemasan, depresi, dan perasaan stres. Sedangkan respon secara fisiologis dapat berupa rangsangan fisik meningkat, perut mulas, badan berkeringat, jantung berdebar-debar. Respon secara

  .

  perilaku antara lain mudah marah, mudah lupa, susah berkonsentrasi Stres atau ketegangan jiwa (rasa tertekan, murung, rasa marah, dendam, rasa takut, rasa bersalah) dapat merangsang kelenjar anak ginjal melepaskan hormone adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat serta lebih kuat, sehingga tekanan darah akan meningkat. Peningkatan darah akan lebih besar pada individu yang mempunyai kecenderungan stres emosional yang tinggi. Jika stres berlangsung lama, tubuh akan berusaha mengadakan penyesuaian sehingga timbul kelainan organis atau perubahan patologis. Gejala yang muncul dapat berupa hipertensi atau penyakit maag. Diperkirakan, prevalensi atau kejadian hipertensi pada orang kulit hitam di Amerika Serikat lebih tinggi dibandingkan dengan orang kulit putih disebabkan stres atau rasa tidak puas orang kulit hitam pada nasib mereka (Depkes, 2006).

  Penelitian Framingham dalam Nasution (2013) bahwa bagi wanita berusia 45-64 tahun, sejumlah faktor psikososial seperti keadaan tegangan, ketidakcocokan perkawinan, tekanan ekonomi, stres harian, mobilitas pekerjaan dan kemarahan terpendam didapatkan bahwa hal tersebut berhubungan dengan peningkatan tekanan darah dan manifestasi klinik penyakit kardiovaskuler apapun. Hal yang mempengaruhi fungsi tubuh diatas dipercaya dapat meningkatkan tekanan darah menjadi hipertensi.

  11. Konsumsi Garam Secara umum masyarakat sering menghubungkan antara konsumsi garam dengan hipertensi. Garam merupakan hal yang sangat penting pada mekanisme timbulnya hipertensi. Pengaruh asupan garam terhadap hipertensi melalui peningkatan volume plasma (cairan tubuh) dan tekanan darah.

  Keadaan ini akan diikuti oleh peningkatan ekskresi kelebihan garam sehingga kembali pada keadaan hemodinamik (sistem pendarahan) yang normal. Pada hipertensi esensial mekanisme ini terganggu, di samping ada faktor lain yang berpengaruh. Asupan garam kurang dari 3 gram tiap hari menyebabkan prevalensi hipertensi yang rendah, sedangkan jika asupan garam antara 5-15 gram perhari prevalensi hipertensi meningkat menjadi 15-20 %. Pengaruh asupan terhadap timbulnya hipertensi terjadi melalui peningkatan volume plasma, curah jantung dan tekanan darah (Radecki, 2000).

  Garam menyebabkan penumpukan cairan dalam tubuh, karena menarik cairan diluar sel agar tidak keluar, sehingga akan meningkatkan volume dan tekanan darah. Pada manusia yang mengkonsumsi garam 3 gram atau kurang ditemukan tekanan darah rata-rata rendah, sedangkan asupan garam sekitar 7- 8 gram tekanan darahnya rata-rata lebih tinggi. Konsumsi garam yang dianjurkan tidak lebih dari 6 gram/hari setara dengan 110 mmol natrium atau 2400 mg/hari (Gunawan, 2001).

  12. Kebisingan Paparan bising dengan intensitas yang tinggi dalam waktu yang lama berlangsung lama/secara periodik menyebabkan arterial hipertensi (Tambunan, 2005).

13. Status gizi

  Kriteria status gizi menurut Asmadi (2008) sebagai berikut :

  a) Kurus jika IMT :

  1) < 17 : kekurangan berat badan tingkat berat. 2) 17 – 18,4 : kekurangan berat badan tingkat rendah.

  b) Normal jika IMT : 18,5 – 24,9

  c) Gemuk jika IMT :

  1) 25 – 27 : kelebihah berat badan tingkat ringan. 2) > 27 : kelebihah berat badan tingkat berat.

  Kaitan erat antara kelebihan berat badan dan kenaikan tekanan darah telah dilaporkan oleh beberapa studi. Berat badan dan Indeks Masa Tubuh (IMT) berkorelasi langsung dengan tekanan darah, terutama tekanan darah sistolik. Obesitas bukanlah penyebab hipertensi. Akan tetapi prevalensi hipertensi pada obesitas jauh lebih besar. Risiko relatif untuk menderita hipertensi pada orang - orang gemuk 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan seorang yang badannya normal. Sedangkan, pada penderita hipertensi ditemukan sekitar 20 -33% memiliki berat badan lebih (overweight) (Depkes, 2006).

  Hal ini disebabkan makin besar massa tubuh, makin banyak darah yang dibutuhkan untuk memasok oksigen dan makanan ke jaringan tubuh. Ini meningkat sehingga memberi tekanan lebih besar pada dinding arteri. Kelebihan berat badan juga meningkatkan frekuensi denyut jantung dan kadar insulin dalam darah. Peningkatan insulin menyebabkan tubuh menahan natrium dan air (Muhummadun, 2010).

  Penelitian Sigarlaki (2000) yang dilakukan di RSU FK-UKI menyatakan bahwa ada hubungan orang yang berat badan berlebihan dengan kejadian hipertensi. Dalam penelitian itu mempunyai OR sebesar 3,74 artinya bahwa orang yang obesitas mempunyai risiko untuk menderita hipertensi sebesar 3,74 kali dibandingkan dengan orang yang tidak obesitas.