BAB I PENDAHULUAN 1.1 - Pola Partisipasi Masyarakat Dalam Pelestarian Hutan Mangrove (Studi Deskriptif di Desa Jago-jago Kecamatan Badiri Kabupaten Tapanuli Tengah)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

  Lingkungan hidup menyediakan sumber daya pada manusia berupa air, tumbuhan dan hewan untuk bahan pangan, pakaian, obat-obatan, bahan bangunan, peneduh dan lain-lain kebutuhan hidup. Lingkungan hidup juga menyajikan ancaman bagi manusia, misalnya, hewan karnivor besar, seperti harimau, hewan dan tumbuhan berbisa, pathogen serta banjir dan kekeringan, antara manusia dengan lingkungan hidupnya selalu terjadi interaksi tmbal-balik. Manusia mempengaruhi lingkungan hidupnya dan manusia dipengaruhi oleh lingkungan hidupnya. Demikian pula manusia membentuk lingkungan hidupnya dan manusia dibentuk oleh lingkungan hidupnya (Otto Soemarwoto, 2001).

  Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km. Jajaran pantai ini tergabung di dalam 17.508 pulau yang merupakan gabungan antara bentuk ekosistem pantai dan hutan pantai. Dengan banyaknya pulau-pulau ini, maka banyak pula ekosistem hutan pantai yang tumbuh di sekitar garis pantai tersebut. Ekosistem hutan pantai ini sangat berperan penting dalam kehidupan biota darat dan biota laut. Diketahui juga bahwa beberapa tipe hutan pantai merupakan tipe perantara antara ekosistem hutan darat dengan ekosistem laut (Sugiarto dan Willy, 2003).

  Dewasa ini bangsa Indonesia telah mengalihkan perhatian yang serius dalam hal pengelolaan sumber daya alam ke wilayah pesisir dan lautan sebagaimana diarahkan oleh GBHN 1998. Data dan informasi kelautan dan pesisir harus terus digali, dikumpulkan, diolah dan didistribusikan kepada masyarakat antara lain melalui peningkatan kegiatan surver dan penelitian dalam rangka inventarisasi kekayaan laut dan pesisir (GBHN, 1998).

  Indonesia adalah salah satu Negara di kawasan iklim tropis yang sering disebut sebagai paru-paru dunia hutan alam tropika yang luas dan sangat berperan dalam penentu iklim dunia. Salah satunya adalah hutan mangrove atau bakau yang terdapat di sepanjang wilayah pesisir pantai Indonesia. “Indonesia memiliki sekitar 40% dari total hutan mangrove di dunia, dan dari jumlah itu sekitar 75% berada di Papua” (www.antara.co.id/mangrove).

  Hutan mangrove merupakan suatu ekosistem transisi yang menghubugkan ekosistem darat dan laut dan memegang peranan penting dalam mendukung produktivitas laut yang berdekatan. Secara umum, hutan mangrove didefenisikan sebagai hutan yang terdapat di daerah-daerah yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut, tetapi tidak terpengaruh oleh iklim. Mangrove merupakan vegetasi khas di zona pantai, floranya berjenis semak hingga pohon yang besar dan tingginya hingga 50-60 meter dan hanya mempunyai satu tajuk di pucuk tanaman (Istomo, 1992).

  Beberapa ahli mendefinisikan istilah “mangrove” secara berbeda-beda, namun pada dasarnya merujuk pada hal yang sama. Tomlinson (1986) dan Wightman (1989) mendefinisikan mangrove baik sebagai tumbuhan yang terdapat di daerah pasang surut maupun sebagai komunitas. Mangrove juga didefinisikan sebagai formasi tumbuhan daerah litoral yang khas di pantai daerah tropis dan sub tropis yang terlindung. Sementara itu Soerianegara (1987) mendefinisikan hutan mangrove sebagai hutan yang terutama tumbuh pada tanah lumpur aluvial di daerah pantai dan muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut, dan terdiri atas jenis-jenis pohon Aicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera,

  

Excoecaria , Xylocarpus, Aegiceras, Scyphyphora dan Nypa (Yus Rusila Noor dkk,

2006).

  Pada tahun 1984, menteri Pertanian dan Menteri Kehutanan mengeluarkan Surat Keputusan Bersama No. KB 550/246/ KPTS/1984 dan No. 082/KPTS-II/1984, yang menghimbau pelestarian jalur hijau selebar 200 meter sepanjang pantai, melarang penebangan mangrove di Jawa, serta melestarikan seluruh mangrove yang tumbuh pada pulau-pulau kecil (kurang dari 1.000 ha.)

  Berkaitan dengan konservasi, peraturan yang paling relevan nampaknya adalah Kepres No. 32 Tahun 1990 mengenai areal lindung, Undang-undang No. 5 Tahun 1990 mengenai perlindungan sumber daya hayati dan ekosistemnya dan Undang-undang No. 22 Tahun 1999 mengenai pemerintahan daerah. UU yang terakhi ini memberikan wewenang yang besar kepada daerah untuk melakukan pengelolaan dan pelestarian mangrove.

  Secara ideal, sebaiknya pemanfaatan kawasan mangrove dalam membantu pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat tidak sampai mengakibatkan kerusakan terhadap keberadaan mangrove. Selain itu yang menjadi pertimbangan paling mendasar adalah pengembangan kegiatan yang dapat menguntungkan bagi masyarakat, namun dengan tetap mempertimbangkan kelestarian fungsi mangrove secara ekologis (fisik-kimia dan biologis). Perlu juga mengembangkan mata pencaharian alternatif bagi masyarakat di sekitar kawasan mangrove dengan pemanfaatan bahan baku non-kayu dan diversifikasi bahan baku industri kehutanan (Anonim, 2008).

  Untuk menciptakan kawasan mangrove yang lestari, masyarakat di sekitar kawasan hutan mangrove tersebut mempunyai peranan yang sangat penting dalam mendukung suksesnya kegiatan ini. Peran tersebut dapat secara individual maupun secara kelompok sebagai organisasi masyarakat. Keberhasilan pengelolaan hutan mangrove tidak terlepas dari partisipasi/peran serta masyarakat. Untuk itu masyarakat perlu dimotivasi agar berperan aktif dalam pengembangan hutan mangrove. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 6 ayat (1) yang berbunyi “ Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan pengerusakan lingkungan hidup “. Kemudian dipertegas dalam penjelasan bahwa hak dan kewajiban mengandung makna bahwa setiap orang (anggota masyarakat) baik individu maupun kelompok sebagai organisasi masyarakat turut berpartisipasi dalam upaya memelihara lingkungan hidup (Sianipar, 2001).

  Di daerah Sumatera Utara hanya beberapa kabupaten yang memiliki pesisir pantai. Diantaranya adalah Kabupaten Tapanuli Tengah. Secara geografis Kabupaten Tapanuli Tengah terdiri dua puluh Kecamatan. Dimana beberapa kecamatan tersebut berbatasan dengan lautan, daerah Tapanuli Tengah (Tapteng) itu lebih luas daerah lautan dari pada daratan yang tergolong daerah beriklim tropis. Kabupaten Tapanuli Tengah mempunyai luas 2.194,98 Km2. Bumi Tapanuli Tengah, sebagai daerah yang berada di pesisir pantai Barat Pulau Sumatera, yang berbatasaan langsung dengan Samudera Indonsia (Hindia) dan dibawah kaki Gunung Bukit Barisan memiliki Teluk yang indah yaitu Teluk Tapian Nauli. Garis pantai sepanjang 200 km berkelok-kelok.

  (Rapson Okardo Purba, 2011).

  Hanya ada beberapa kecamatan di Tapanuli Tengah yang memiliki daerah pesisr, seperti Kecamatan Badiri, tepatnya di Desa Jago-jago. Wilayah pesisir Desa jago-jago mempunyai panjang garis pantai sekitar 1,5 km dan berhadapan dengan laut terbuka, yaitu Samudera Hindia. Tinggi gelombang laut berkisar antara 0,6 – 2,5 m, dengan tinggi rata-rata 0,7 m. Kedalaman air 1 – 10 m dan jenis substrat pantai berpasir dan lumpur (Rapson Okardo Purba, 2011).

  Di Desa ini terdapat juga hutan mangrove baik mangrove yang berjenis nipah, bakau maupun mangrove yang berjenis lainnya. Untuk mangrove yang berjenis nipah, terdapat di bagian hilir sungai Badiri dan Lumut dengan kondisi yang masih bagus. Umumnya ibu-ibu rumah tangga memanfaatkan nipah ini menjadi rokok yang pemasarannya sampai ke Padang Sidempuan Kabupaten Tapanuli Selatan Propinsi Sumatera Utara. Ada juga hutan mangrove berjenis bakau. Dimana kebanyakan bakau ini tumbuh dibibir pantai Desa Jago-jago. Biasanya untuk yang berjenis bakau ini dimanfaatkan untuk kayu bakar, bahan bangunan dan lain-lain. Pemanfaatan hutan mangrove yang dilakukan oleh masyarakat disana masih dapat dikatakan sangat tradisional dan tidak menggunakan bahan-bahan kimia yang dapat merusak mangrove tersebut.

  Hutan mangrove disana kurang mendapat perhatian masyarakat dalam hal pelestarian dan budidaya. Selain pengetahuan masyarakat yang kurang dalam pelestarian hutan mangrove, ditambah dengan peralatan dan perlengkapan yang digunakan dapat dikatakan kurang memadai. Pelestarian hutan mangrove di Desa ini sangat jarang sekali dilakukan oleh masyarakat setempat. Pada umumnya masyarakat Desa jago-jago melakukan pelestarian hanya bersifat induvidual, sehingga secara umum kebanyakan masyarakat tidak dapat menyadari arti pentingnya ekosistem mangrove dalam penyanggah kehidupan. Pada tahun 2005 silam, masyarakat melakukan kerja sama dengan Dinas Kehutanan Tapanuli Tengah dalam rangka penghijauan hutan mangrove di Desa Jago-jago. Ini memberikan dampak positif bagi kehidupan pesisr di desa tersebut walaupun tindak lanjut dari kerja sama tersebut tidak bersifat berkelanjutan. Dan pelestarian diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat setempat.

  Kesadaran masyarakat sangatlah penting dalam menjaga ekosistem kehidupan khususnya ekosistem laut dan hutan mangrove. Limbah rumah tangga juga sangat berantakan di daerah bibir pantai. Ini sebabkan oleh pembuangan limbah masyarakat tersebut tidak dapat dikelola dengan baik, sehingga akan berpotensi untuk merusak lingkungan khususnya ekosistem laut dan hutan mangrove itu sendiri. Kendati demikian program kebersihan yang dilakukan oleh masyarakat desa tersebut dalam rangka untuk melestarikan ekosistem laut sangatlah minim. Ini disebabkan adanya factor apatis (tidak peduli) masyarakat terhadap lingkungan mereka. Hanya beberapa kecil masyarakat yang sadar dan melestarikan ekosistem mangrove di desa tersebut. Dengan pola pemanfaatan yang masih kental dengan bernuansa masyarakat local dengan peralatan seadaanya masyarakat di desa tersebut tetap berusaha menjaga keseimbangan lingkungan mereka. Namun, pemanfaatan yang dilakukan oleh masyarakat perlu dilakukan kajian dalam bentuk pemanfaatan yang berkelanjutan, memperhatikan kelestarian lingkungan maupun ekosistem mangrove sebagai penyangga kehidupan masyarakat sekitarnya.

  Partisipasi yang diharapkan di masyarakat adalah partisipasi yang benar-benar muncul dari masyarakat atas kesadaran sendiri. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh salah satu warga desa Jago-jago yang menginginkan supaya partisipasi dari masyarakat tersebut bersifat aktif dan bukan bersifat pasif. Sesuai dengan teorinya bahwa partisipasi tersebut adalah merupakan keterlibatan mental dan emosional seseorang individu dalam situasi kelompok tertentu yang mendorongnya untuk mendukung tercapainya tujuan-tujuan kelompok serta ikut bertanggung jawab terhadapnya. Dengan demikian maka partisipasi masyarakat tersebut dapat di wujudkan dalam proses perencanaan, pelaksanaan dart pengawasan terhadap pelestarian hutan mangrove

  Oleh sebab itu, usaha untuk melestarikan hutan mangrove sangat diperlukan agar masyarakat dapat terus memanfaatkan hasil mangrove tersebut dan menjaga hutan mangrove agar dapat terus dipertahankan untuk kelancaran kehidupan manusia sampai keanak cucunya. Pada tahun 2004 yang lalu, Coral Reef Rehabilitation and

  

Management Program (COREMAP) pun melakukan program mereka di desa

  tersebut. Dengan memberikan bantuan dan fasilitas dengan tujuan masyarakat disana dapat melestarikan ekosistem laut khususnya tetap menjaga dan melestarikan terumbu karang dan hutan mangrove. Salah satu bantuan tersebut adalah tong sampah yang diberikan di setiap rumah tangga. Namun, program kebersihan yang dilakukan oleh masyarakat setempat hanya untuk beberapa bulan saja.

  Dalam hal ini yang menjadi fokus penelitian adalah pelestarian ekosistem hutan mangrove. Salah satu bentuk pelestarian hutan mangrove adalah bentuk penangkapan ikan dan pemanfaatan hutan mangrove dan lain-lain yang tidak menggunakan bahan peledak atau alat/bahan yang dapat merusak hutan mangrove tersebut. Dan menjaga agar hutan mangrove didaerah tersebut dapat dilestarikan dan diambil manfaatnya guna untuk meningkatkan pendapat ekonomi masyarakat.

  Dimana dalam pelaksanaan program pelestarian ekosistem hutan mangrove tidak terlepas dari peran pemerintah setempat dan juga masyarakat desa tersebut. Sampai saat ini pelestarian ekosistem hutan mangrove masih tetap terus diupayakan, agar keseimbangan dan gerak perekonomian keluarga dapat berjalan dengan baik.

  Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul : “Pola Partisipasi Masyarakat dalam Pelestarian Hutan Mangrove

  

di Desa Si Jago-Jago Kecamatan Badiri, Kabupaten Tapanuli Tengah,

Sumatera Utara”

1.2 Perumusan Masalah

  Untuk mempermudah penelitian dan agar penelitian memiliki arah yang jelas dalam menginterpretasikan fakta dan data ke dalam penulisan laporan , maka terlebih dahulu dirumuskan permasalahannya.

  Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana Pola Partisipasi Masyarakat dalam Pelestarian Hutan

  

Mangrove di Desa Si Jago-Jago Kecamatan Badiri Kabupaten Tapanuli Tengah

Sumatera Utara?” Tujuan Penelitian

  Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui potensi ekosistem hutan mangrove di Desa Si Jago-jago.

  2. Untuk mengetahui partisipasi masyarakat Desa Sijago-jago dalam melestarikan lingkungannya, khususnya hutan mangrove.

  3. Untuk mengetahui peranan masyarakat desa Si Jago-jago dalam memanfaatkan hutan mangrove di Desa Jago-jago.

1.3 Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

  Untuk menambah pengetahuan peneliti mengenai partisipasi masyarakat dalam memanfaatkan dan melestarikan ekosistem laut, kemudian sebagai bahan rujukan untuk penelitian selanjutnya, serta bermanfaat dalam pengembangan ilmu-ilmu sosial khususnya Ilmu Sosiologi Lingkungan.

b. Manfaat Praktis

  Memberikan masukan dalam bentuk bacaan untuk memperkaya wawasan setiap individu yang membaca hasil penelitian ini dan menjadi bahan pedoman bagi masyarakat pesisir laut lainnya.

1.5 Definisi Konsep

  Konsep merupakan istillah dan definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial. Melalui konsep, peneliti diharapkan akan dapat menyederhanakan pemikirannya dengan menggunakan satu istilah untuk beberapa kejadian yang berkaitan satu dengan lainnya.

  1. Masyarakat menurut Paul B. Horton & C. Hunt merupakan kumpulan manusia yang relatif mandiri, hidup bersama-sama dalam waktu yang cukup lama, tinggal di suatu wilayah tertentu, mempunyai kebudayaan sama serta melakukan sebagian besar kegiatan di dalam kelompok / kumpulan manusia tersebut. Masyarakat yang akan dilihat dalam penelitian ini adalah masyarakat di Desa Jago - Jago yang pasif dalam melakukan pelestarian lingkungan, khususnya melestarikan dan memanfaatkan ekosistem laut.

2. Partisipasi adalah suatu sistem yang mengikutsertakan masyarakat dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan kegiatan pembangunan.

  Partisipasi masyarakat seperti : a. Masyarakat merasa bertanggung jawab terhadap keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan kegiatan pembangunan.

  b.

  Program pembangunan yang dilakukan efektif karena direncanakan dan diinginkan oleh masyarakat. c.

  Penyimpangan pelaksanaan pembangunan dapat diminimalisir karena diawasi oleh masyarakat.

  3. Pelestarian lingkungan hidup (Environmentalism) adalah perlindungan lingkungan hidup dari pengaruh-pengaruh luar, misalnya pencemaran, bising, pemanasan global, dan perusakan sumber daya alam.

  4. Hutan mangrove adalah tumbuhan yang terdapat di daerah pasang surut maupun sebagai komunitas. Mangrove juga didefinisikan sebagai formasi tumbuhan daerah litoral yang khas di pantai daerah tropis dan sub tropis yang terlindung.

  5. Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Ekosistem bisa dikatakan juga suatu tatanan kesatuan secara utuh dan menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi.

  Komponen-komponen pembentuk ekosistem adalah: Komponen hidup (biotik)

   Komponen tak hidup (abiotik)

   6. Ekologi adalah ilmu yang mempelajari bagaimana makhluk hidup dapat mempertahankan kehidupannya dengan mengadakan hubungan antar makhluk hidup dan dengan benda tak hidup di dalam tempat hidupnya atau lingkungannya.

  7. Lingkungan adalah kombinasi antara kondisi fisik yang mencakup keadaan sumber daya alam seperti tanah, air, energi surya, mineral, serta flora dan fauna yang tumbuh di atas tanah maupun di dalam lautan, dengan kelembagaan yang meliputi ciptaan manusia seperti keputusan bagaimana menggunakan lingkungan fisik tersebut.

  8. Pelestarian secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu usaha atau kegiatan untuk merawat, melindungi dan mengembangkan objek pelestarian yang memiliki nilai guna untuk dilestarikan 9. Laut dari segi Bahasa Indonesia adalah kumpulan air asin dalam jumlah yang banyak dan luas yang menggenangi dan membagi daratan atas benua atau pulau. Jadi laut adalah merupakan air yang menutupi permukaan tanah yang sangat luas dan umumnya mengandung garam dan berasa asin. Biasanya air mengalir yang ada di darat akan bermuara ke laut.

  10. Nelayan adalah masyarakat pesisir yang menggantungkan hidup pada kegiatan melaut di Desa Jago- Jago. Masyarakat di desa ini tergolong nelayan tradisonal yang terdiri dari nelayan jaring selam, nelayang pancing, nelayan pukat, dan nelayan penyelam.

Dokumen yang terkait

Pola Partisipasi Masyarakat Dalam Pelestarian Hutan Mangrove (Studi Deskriptif di Desa Jago-jago Kecamatan Badiri Kabupaten Tapanuli Tengah)

1 49 86

Partisipasi Masyarakat Dalam Pelestarian Hutan Mangrove

6 82 76

Partisipasi Kelompok Masyarakat dalam Pelestarian Hutan Mangrove di Desa Margasari Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur

6 41 55

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Tradisi Masyarakat Desa Janji Mauli Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan (1900-1980)

0 0 13

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Ekowisata Mangrove (Studi Etnografi Tentang Pengelolaan Ekowisata Mangrove Berbasis Masyarakat Di Kampoeng Nipah, Desa Sei Nagalawan, Kecamatan Perbaungan, Serdang Bedagai)

0 1 28

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG - Gambaran Perilaku Masyarakat Dalam Pola Pencarian Pengobatan di Desa Doloksaribu Lumban Nabolon, Kecamatan Uluan Kabupaten Toba Samosir Tahun 2015

0 0 9

BAB I PENDAHULUAN - Peran Kecamatan Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah ( Studi Tentang Peran Kecamatan Dalam Meningkatkan Perekonomian Masyarakat Di Kecamatan Barus Kabupaten Tapanuli Tengah)

0 0 8

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Kekuasaan Sentralistik dan Elitis Dalam Pengambilan Keputusan (Studi Analitis Deskriptif di Desa Sihopur Kecamatan Angkola Selatan Kabupaten Tapanuli Selatan)

0 0 36

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Adaptasi Masyarakat Terhadap Perubahan Fungsi Hutan (Studi Deskriptif tentang Kehadiran Hutan Tanaman Industri PT. Toba Pulp Lestari di Desa Tapian Nauli III, Kecamatan Sipahutar, Kabupaten Tapanuli Utara)

0 0 10

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2. 1. Konsep Partisipasi - Pola Partisipasi Masyarakat Dalam Pelestarian Hutan Mangrove (Studi Deskriptif di Desa Jago-jago Kecamatan Badiri Kabupaten Tapanuli Tengah)

0 0 30