PENDAHULUAN Analisis Kerusakan Permukiman Akibat Banjir Lahar Pasca Erupsi Gunungapi Merapi 2010 di Sebagian Kabupaten Magelang.

(1)

1

gunungapi aktif atau sekitar 15 % dari seluruh gunungapi yang ada di Bumi. Walaupun demikian, sangat sedikit sekali orang Indonesia yang ingin mendalami ilmu volkanologi. Lingkup studi mengenai gunungapi meliputi petrologi, mitigasi dan evaluasi bencana, survey pemetaan geologi, pemantauan atau mitigasi erupsi, tata guna lahan, pertanian dan eksplorasi sumber daya alam. Gunungapi bisa merupakan rangkaian pegunungan, tetapi sangat berbeda dengan gunung lainnya, karena gunungapi tidaklah dibentuk oleh perlipatan, erosi ataupun pengangkatan, tetapi membentuk tubuhnya sendiri oleh adanya pengumpulan bahan erupsinya, seperti lava, batuan dan aliran piroklastik (Sumintadiredja, 2000).

Diantara 129 gunungapi aktif di Indonesia itu, terdapat sekitar 10 hingga 15 gunungapi yang berada dalam keadaan sangat potensial untuk meletus. Bentuk ancaman dari bencana alam ini berupa korban jiwa dan kerusakan pemukiman/harta/benda akibat aliran lava, lemparan abu, awan panas, gas beracun, dan lain lain. Menurut Sumintadiredja (2000), frekuensi letusan gunungapi di Indonesia tercatat antara 3 hingga 5 kali per tahun, dengan jenis bencana berikut ini.

 Nuee Ardente, awan panas yang biasanya bersamaan dengan adanya aliran piroklastik, yang mengalir pada saat erupsi menuju daerah yang lebih rendah dengan kecepatan 100 km/jam.

 Bongkah dan bom volkanik, merupakan hasil lemparan material yang menyumbat lubang kawah, berupa kubah lava dan lemparan bom yang langsung berasal dari magma pijar.

 Hujan abu, partikel halus abu gunungapi yang terbawa angin sejauh ratusan kilom.

 Lahar, istilah lainnya mudflow, adalah lumpur yang mengalir dengan kecepatan tinggi berisi bongkahan batu dan pasir.


(2)

 Tsunami, terjadi di laut, sebagai contoh adalah Gunungapi Krakatau (1883) dan Gunungapi Tambora (1815)

 Gas beracun, akumulasi gas beracun, contohnya di Dieng.

Diantara gunungapi yang aktif di Indonesia adalah Gunungapi Merapi. Gunungapi ini terletak di perbatasan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah. Adapun secara geografis, Gunungapi Merapi terletak pada posisi 7⁰32.5’ Lintang Selatan dan 110⁰ 26.5’ Bujur Timur, dengan ketinggian 2980 m dpl. Cholik (2011) menyebutkan bahwa Gunungapi Merapi telah mengalami 5 perkembangan masa kejadian sebagai berikut.

1) Pra Merapi, ditandai dengan balastik andesit, tidak mengandung orthopiroxe, berumur 700.000 tahun yang lalu.

2) Merapi Tua berumur 60.000 hingga 8.000 tahun yang lalu, ditandai dengan lava balastik dengan produk erupsi berupa andesit balastik dan awan panas.

3) Merapi Muda, berumur 2.000 hingga 8.000 tahun yang lalu, ditandai dengan lava andesit, produk erupsi berupa aliran lava dan awan panas dengan letusan bersifat efusif, eksplosif, debris avalanche, membentuk Kawah Pasar Bubar (2 km x 7 km), dan indeks kualitas letusan bernilai > 4.

4) Merapi Baru berumur 1.600 hingga 2.000 tahun yang lalu, ditandai dengan aliran lava basalt dan lava andes, mampu membentuk kubah, produk erupsi berupa awan panas dengan indeks kualitas letusan bernilai < 3.

5) Merapi Terkini, ditandai dengan kubah lava dan awan panas tipe Merapi. Sejarah letusan Gunungapi Merapi diketahui telah terjadi sejak tahun 1780. Gunungapi Merapi meletus terakhir kali pada tahun 2010 dengan volume letusan 140 Juta m3, dengan indeks kualitas letusan bernilai 4 atau setara dengan letusan yang pernah terjadi pada tahun 1822.

Pada tanggal 26 Oktober 2010 Gunungapi Merapi mengalami delapan kali letusan yang menghasilkan awan panas (nuee ardente) dan material piroklastik. Sedangkan pada tanggal 4 November 2010, aliran material piroklastik berjumlah 30 kali lipat dari erupsi tahun 2006 yang hanya sebesar 5 juta m3, mencapai jarak 15 km dari


(3)

puncak yang menghilangkan 135 jiwa. Hal tersebut mengindikasikan bahwa bahaya primer akibat erupsi 2010 sudah sangat kecil, akan tetapi potensi bahaya sekunder masih terus mengancam sampai lima tahun ke depan bahkan lebih, dan tidak hanya di wilayah lereng Merapi saja akan tetapi juga wilayah bawah khususnya daerah perkotaan yang padat permukimannya (Hadmoko dkk, 2011). Perbandingan letusan Merapi sejak tahun 1780 hingga 2010 pada gambar 1.1 di bawah ini dapat menjelaskan potensi erupsi yang dimiliki oleh Gunungapi Merapi.

Gambar 1.1. Indeks letusan dan masa istirahat Gunungapi Merapi (Cholik, 2011) Banjir lahar merupakan salah satu jenis bahaya sekunder yang diakibatkan oleh erupsi Gunungapi Merapi. Tercatat sejak tahun 1822 hingga 2010, Lavigne (2000) menyatakan bahwa banjir lahar yang berasal dari erupsi Gunungapi Merapi mengalir melalui sungai - sungai yang berhulu di Gunungapi Merapi, antara lain Kali Trinsing, Kali Senowo, Kali Pabelan, Kali Putih, Kali Bebeng, Kali Batang, Kali Lamat, Kali Blongkeng. Sungai – sungai tersebut terletak di lereng barat Gunungapi Merapi.

Diantara sungai – sungai tersebut, pada tahun 2010, Kali Putih dan Kali Pabelan adalah sungai – sungai yang paling banyak dialiri banjir lahar akibat erupsi Gunungapi Merapi hingga melimpas dan mengakibatkan kerusakan permukiman terutama di Kecamatan Salam, Ngluwar, Mungkid dan Muntilan sebagaimana yang tampak pada tabel 1.1.


(4)

Tabel 1.1. Daftar Rumah dan Jumlah Pengungsi yang Terkena Banjir Lahar Pasca Erupsi Gunungapi Merapi 2010

Kecamatan Desa

Rumah

Pengungsi Roboh /

Hanyut

Rusak Berat

Rusak Sedang

Rusak Ringan

Salam

Gulon - 4 - - 1.005

Sucen - 4 - - 1

Jumoyo 54 36 5 - 1.005

Seloboro - 2 7 2 68

Sirahan 11 58 - - -

Ngluwar Blongkeng - 6 - - -

Mungkid Ngrajek 5 2 50 - 565

Muntilan

Adikarto 13 12 - - 192

Tamanagung 2 11 - - -

Gondosuli 2 - - - -

Jumlah 87 135 62 2 2.836

Sumber : Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2011)

Penyajian kerusakan permukiman dalam peta menjadi salah satu kompetensi pada bidang ilmu geografi. Pemetaan kerusakan permukiman akibat banjir lahar telah dilakukan oleh BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) pada tahun 2011 dengan skala 1 : 100.000. Pada skala tersebut, tidak dimungkinkan untuk memperoleh informasi kerusakan dari masing – masing rumah. Data penginderaan jauh berupa citra IKONOS mampu melakukan pemetaan skala tinggi. Citra IKONOS tahun 2010 dengan resolusi spasial 4 m pada multispektral dapat melakukan pemetaan 1 : 8.000. Hal ini dapat dihitung dengan rumus penentuan skala peta berdasarkan resolusi citra yakni, Skala Peta = Resolusi spasial citra (dalam satuan m) x 2 x 1000 (Tobler, 1987).

Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan di atas dan juga dengan memperhatikan kemampuan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam menampilkan kedetailan pemetaan, maka penelitian ini mengambil judul : Analisis Kerusakan Permukiman Akibat Banjir Lahar Pasca Erupsi Gunungapi Merapi 2010 di Sebagian Kabupaten Magelang. Penelitian ini ditujukan untuk melakukan analisis kerusakan permukiman akibat banjir lahar dengan mengambil wilayah penelitian di Kecamatan Salam, Ngluwar, Mungkid dan Muntilan sebagai kecamatan yang terkena banjir lahar terparah dari Kali Putih dan Kali Pabelan.


(5)

1.2. Rumusan Masalah

Letusan Gunungapi Merapi yang terjadi pada tahun 2010 adalah letusan dengan indeks kualitas letusan terbesar sejak tahun 1872. Letusan ini telah memuntahkan material yang mencapai 150 Juta m3. Muntahan material tersebut telah mengakibatkan kerusakan di berbagai sisi lereng Gunungapi Merapi.

Salah satu hasil muntahan material Gunungapi Merapi telah mengakibatkan banjir lahar di Kabupaten Magelang yang berada di lereng barat Gunungapi Merapi. Menurut Surono (2011), banjir lahar yang terjadi di Magelang belum mencapai sepertiga dari jumlah material yang dimuntahkan. Banjir lahar yang mengalir melalui sungai yang berhulu di Gunungapi Merapi telah meluap hingga menggenangi permukiman warga dan menimbulkan kerusakan yang luar biasa. Kerusakan ini diakibatkan oleh material banjir lahar yang tak hanya berisi pasir namun juga berisi batu dengan ukuran yang besar. Pada kejadian erupsi Gunungapi Merapi 2010, tidak semua sungai yang berhulu di Gunungapi Merapi, terutama yang berada di lereng sebelah barat dan dialiri banjir lahar mengakibatkan kerusakan permukiman, melainkan hanya Kali Putih dan Pabelan saja. Kedua sungai ini mengakibatkan kerusakan permukiman di Kecamatan Salam, Ngluwar, Mungkid dan Muntilan. Berdasarkan hal itu, penelitian dilakukan di keempat kecamatan tersebut.

Inventarisasi kerusakan permukiman akibat banjir lahar dapat dilakukan dengan menggunakan sistem informasi geografis dan penginderaan jauh. Integrasi keduanya dapat menghasilkan pemetaan dengan skala besar sehingga dapat memudahkan dalam proses penggalian informasi mengenai perbedaan tingkat kerusakan permukiman. Berdasarkan hal tersebut maka pada penelitian ini dirumuskan beberapa permasalahan, yaitu :

1. bagaimana agihan keruangan luapan banjir lahar ? dan

2. bagaimana tingkat kerusakan permukiman yang terkena banjir lahar di daerah penelitian ?


(6)

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang dan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk :

1. mengetahui agihan keruangan luapan banjir lahar di daerah penelitian,

2. melakukan penilaian tingkat kerusakan permukiman yang terkena banjir lahar pasca erupsi gunungapi Merapi 2010 di daerah penelitian, dan

3. analisis pola sebaran kerusakan permukiman akibat banjir lahar di daerah penelitian.

1.4. Kegunaan Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat yaitu :

1. bagi pengembang ilmu pengetahuan, memberi gambaran daya jangkau banjir lahar yang terjadi pasca erupsi Gunungapi Merapi 2010.

2. bagi pemerintah dan masyarakat, sebagai informasi tingkat kerusakan akibat banjir lahar. Selain itu, dapat dijadikan pertimbangan dalam membuat atau mengembangkan permukiman.

1.5. Telaah Pustaka dan Penelitian Sebelumnya 1.5.1. Gunungapi Merapi

Gunungapi Merapi dapat dibedakan menjadi 2 kelompok besar yaitu Merapi Muda dan Merapi Tua (Wirakusumah, 1989 dalam Rovicky, 2011). Menurut Berthommier (1990 dalam Rovicky, 2011) berdasarkan studi stratigrafinya, Gunungapi Merapi dapat dibedakan menjadi empat yaitu Pra Merapi, Merapi Tua, Merapi Pertengahan dan Merapi Baru, hal tersebut lebih didasari oleh proses pembentukan Gunungapi Merapi yang diketahui mulai lebih dari 400.000 tahun yang lalu hingga hari ini.

Selama masa perkembangannya, Gunungapi Merapi terus menerus melakukan erupsi. Menurut Rovicky (2011) kronologi erupsi yang lebih rinci baru diketahui pada akhir abad 19. Erupsi yang dihasilkan oleh Gunungapi Merapi termasuk pada kelas Sub Plinian, yaitu erupsi eksplosif dari magma asam/riolitik dari gunungapi strato, memiliki


(7)

tahap erupsi efusif yang menghasilkan kubah lava riolitik (Volcanological Survey of Indonesia, 2011). Menurut Hadmoko dkk (2011) Gunungapi sejak erupsi pada tahun 2006 mempunyai kecenderungan yang unik, yaitu erupsi efusif pada tahun 2006 dan sebelumnya dan kemudian menjadi explosif pada letusan 2010 bahkan dengan magnitude yang lebih besar.

Erupsi Gunungapi Merapi yang terjadi secara terus menerus tersebut mengakibatkan berbagai bahaya seperti jatuhan piroklastik, awan panas, hujan abu, hilangnya mata air dan banjir lahar. Penelitian ini akan memfokuskan kepada kerusakan yang diakibatkan oleh banjir lahar yang menimpa permukiman.

1.5.2. Banjir Lahar

Terminologi lahar, berasal dari Bahasa Jawa, yang mana istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Scrivenor (1929 dalam Lavigne, 2000) pada penelitiannya mengenai aliran dinamis yang berasal dari semburan kawah Gunungapi Kelut di Jawa Timur. Kemudian Van Bemmelen (1949 dalam Lavigne, 2000) juga membuat definisi mengenai lahar, yakni sebagai mudflow, yang berisi bongkahan batuan berasal dari gunungapi.

Dalam menentukan pengertian yang baku mengenai lahar, peneliti menggunakan pengertian yang telah disepakati dalam konsensus internasional yakni lahar adalah aliran yang sangat cepat berisi campuran bongkahan batu dan air yang berasal dari gunungapi (Smith dan Fritz, 1989 dalam Lavigne, 2000). Lahar dapat dikelompokkan ke dalam debris flow (Lavigne, et al 2000), dimana debris flow diartikan sebagai campuran antara zat padat dan zat cair (solid and fluids), dengan konsentrasi sedimen umumnya berkisar 60 % dari volume dan 80 % dari bobot. Konsentrasi sedimen pada aliran yang sangat pekat adalah sekitar 20 - 60 % dari volume dan 40 – 80 % dari bobot (Beverage dan Culbertson, 1964 dalam Lavigne, 2000).

Sumintadiredja (2000) membagi lahar ke dalam dua jenis lahar, yakni lahar panas dan lahar dingin. Lahar panas hanya terjadi pada gunungapi yang memiliki danau kawah. Sedangkan lahar hujan, bisa terjadi pada gunungapi yang memiliki maupun


(8)

tidak memiliki danau kawah. Perbandingan antara lahar panas dan lahar dingin dapat dilihat pada tabel 1.2.

Tabel 1.2. Perbandingan Lahar Panas dan Lahar Dingin

Suhu Asal Air

Danau Kawah Hujan Lebat Panas Erupsi / lahar primer, langsung

berasal dari kawah

Lahar hujan panas / lahar sekunder

Dingin Lahar berhenti, akibat dinding kawah roboh

Lahar hujan dingin, lahar sekunder

Sumber : Sumintadireja (2000)

Lahar mempunyai berat jenis antara 2 – 2,5 gr/cc, sehingga jika mengalir sangat deras dapat berbahaya, karena mampu menyeret berbagai macam batuan dan merusak berbagai infrastruktur bangunan yang ada. Lahar erupsi terjadi sangat mendadak bersamaan dengan proses terjadinya erupsi volkanik. Lahar hujan terjadi karena pengumpulan air hujan yang terjadi pada endapan abu volkanik yang sangat tebal.

Pada Gunungapi Merapi, terdapat dua macam lahar yang masing masing dipicu oleh dua proses utama yaitu ; (1) lahar primer (lahar erupsi) yang berasal dari pyroclastic flows, bongkahan batu dan air, (2) lahar sekunder berasal dari hujan lebat yang melarutkan hasil letusan Gunungapi Merapi (batu dan pasir), biasanya terjadi pada musim hujan (November – April). Letusan Gunungapi Merapi ada kalanya berlangsung bersamaan dengan hujan, sehingga mengakibatkan lahar mengalir semakin besar, hal ini pernah terjadi pada 9 sungai yang berada diantara Sungai Pabelan dan Sungai Woro pada 19 Desember 1930 dan 7 – 8 Januari 1969 (Schmidt, 1934; Asmanu, 1969; Hadikusumo, 1970; Siswowidjojo, 1971 dalam Lavigne, 2000).

Lahar di Gunungapi Merapi mempunyai kecepatan yang sangat tinggi dan material yang dilarutkan pun sangat banyak. Kecepatan maximum yang pernah diukur adalah mencapai 15 m/detik, pada tahun 1995 di Sungai Boyong yang berjarak 7 km dari puncak Gunungapi Merapi, dengan gradien sungai sebesar 4,1⁰ (Lavigne et al, 2000). Sedangkan material yang dilarutkan adalah sebanyak 2000 m3 pada tahun 1985 di Sungai Putih (Volcanic Technical Sabo Centre, 1990 dalam Lavigne, 1999).


(9)

1.5.3. Permukiman

Permukiman menurut UU No. 4 / th 92 diartikan sebagai bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Secara garis besar, rumah sebagai tempat bermukim memiliki empat fungsi pokok sebagai tempat tinggal yang layak dan sehat bagi manusia, yaitu : (1) rumah harus memenuhi kebutuhan pokok jasmani manusia, (2) rumah harus memenuhi kebutuhan pokok rohani manusia, (3) rumah harus melindungi manusia dari penularan penyakit, dan (4) rumah harus melindungi manusia dari gangguan luar (Kurniasih, 2007).

Pengembangan dan pembuatan permukiman hendaknya berpedoman kepada empat fungsi pokok rumah di atas. Selain itu, permukiman yang berada di daerah bencana juga akan lebih baik manakala berkesesuaian dengan karakteristik bencana yang terdapat pada daerah tersebut. Volcanological Survey of Indonesia (2011), telah membuat ketentuan bagi rumah yang berada di sekitar gunungapi agar tahan terhadap bencana gunungapi.

Model rumah di sekitar gunungapi dibuat untuk mengantisipasi letusan gunungapi atau yang disebut dengan ashfall yang berisi pasir, abu vulkan, dan kerikil. Rumah di sekitar gunungapi dibuat dengan atap yang mempunyai kemiringan 45⁰ atau lebih curam lagi, kemudian tiang penopang atap dibuat lebih kerap dibantu dengan tiang diagonal, dan atap terbuat dari seng agar tahan panas dan tahan lontaran batu (pijar) (Volcanological Survey Indonesia, 2011). Gambar 1.2. di bawah ini menampilkan model rumah di sekitar gunung api.

Gambar 1.2. Model Rumah di Sekitar Gunungapi (Volcanological Survey of Indonesia, 2011)


(10)

1.5.4. Penelitian Sebelumnya

Penelitian mengenai analisis kerusakan permukiman akibat banjir lahar di sebagian Kabupaten Magelang ini merupakan penelitian yang pertama dilakukan. Beberapa penelitian sejenis telah dilakukan, namun masing – masing memiliki lokasi dan atau sudut pandang penelitian yang berbeda – beda. Penelitian terdahulu dilakukan oleh Deliana (2011) di lapangan golf merapi, kemudian Satrio (2011) di Desa Argomulyo, Cangkringan, Sleman, kemudian Kumalawati, Lisditya dan Rijal (2012) mengenai zonasi lahar, persepsi masyarakat terhadap lahar dan valuasi ekonomi di Sub DAS Putih.

Deliana (2011) melakukan penelitian di lapangan golf merapi, Kabupaten Sleman, dengan tujuan melakukan kajian terhadap arah lahar dan tingkat bahaya yang ditimbulkan. Metode yang digunakan adalah klasifikasi dan skoring. Teknik sampling yang digunakan dalam pengambilan sampel yaitu purposive sampling. Analisis dengan pendekatan spasial, temporal, kompleks wilayah dan geomorfologi. Hasil penelitian berupa peta tingkat bahaya lahar yang mengancam lapangan golf dan sekitarnya.

Satrio (2011) mengambil daerah penelitian di Desa Argomulyo, Cangkringan, Sleman bertujuan melakukan kajian terhadap arah luberan banjir lahar dan melakukan penilaian kerusakan lahan dan analisis daerah yang terkena resiko banjir lahar. Metode yang digunakan adalah overlay peta dengan skoring dan pembobotan. Analisis hasil dengan pendekatan spasial, temporal, kompleks wilayah dan resiko banjir lahar. Hasil penelitian adalah peta luberan banjir lahar, penilaian kerusakan lahan dan peta resiko banjir lahar di Desa Argomulyo.

Kumalawati, Lisditya dan Rijal (2012) mengambil daerah penelitian di Sub DAS Putih. Penelitian dilakukan guna mengetahui zonasi lahar, persepsi masyarakat terhadap lahar dan valuasi ekonomi. Metode yang digunakan adalah zonasi bahaya lahar dengan cross section, tracking area terdampak dan interpolasi kontur. Penilaian persepsi dengan menggunakan korelasi produk momen. Valuasi ekonomi dampak kerusakan akibat banjir lahar dilakukan dengan pengisian kuesioner dan pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling. Hasil dari penelitian adalah Peta tingkat


(11)

bahaya banjir lahar, tabel nilai indeks korelasi, dan tabel valuasi ekonomi (jumlah kerugian).

Rijal (2012) melakukan penelitian di sepuluh desa di sebagian Kecamatan Magelang yang terkena banjir lahar. Sepuluh desa tersebut adalah Gulon, Sucen, Jumoyo, Seloboro, Sirahan (Kecamatan Salam), Blongkeng (Kecamatan Ngluwar), Ngrajek (Kecamatan Mungkid), Adikarto, Tamanagung, Gondosuli (Kecamatan Muntilan). Penelitian ditujukan untuk mengetahui luapan banjir lahar, penilaian tingkat kerusakan permukiman, dan analisis pola sebaran kerusakan permukiman akibat banjir lahar didaerah penelitian. Metode yang digunakan untuk mengetahui luapan banjir lahar di masing – masing desa adalah dengan gps tracking, sedangkan metode yang digunakan untuk menilai kerusakan rumah adalah dengan wawancara dan pengampilan sampel dengan teknik stratified random sampling. Hasil yang diharapkan dari penelitian berupa peta luapan banjir lahar per desa, tabel penilaian tingkat kerusakan rumah, dan peta sebaran kerusakan permukiman akibat banjir lahar di masing – masing desa. Analisis yang digunakan adalah pola spasial yang dapat menjelaskan sebaran kerusakan permukiman yang terkena banjir lahar. Perbandingan penelitian sebelumnya dan penelitian yang akan dilakukan dapat dilihat pada tabel 1.3. di bawah ini.


(12)

12 Risky Nurwidiati

Deliana A. S. (2011)

Merapi Terhadap Lapangan Golf Merapi, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah

Istimewa Yogyakarta

Kajian arah lahar dan tingkat bahaya yang ditimbulkan

Teknik sampling yangdigunakan dalam pengambilan sampel yaitu purposive sampling. Analisis hasil dengan pendekatan spasial, temporal, kompleks wilayah dan geomorfologi.

Peta tingkat bahaya lahar yang mengancam lapangan golf dan sekitarnya.

Dinky Satrio P. (2011)

Zonasi Luberan Banjir Lahar untuk Analisis Resiko Bencana Pasca Erupsi Merapi 2010 di Desa Argomulyo, Cangkringan, Sleman, DIY

Kajian arah luberan banjir lahar, melakukan penilaian terhadap kerusakan lahan dan analisis daerah yang terkena resiko banjir lahar di Desa Argomulyo.

Overlay peta dengan metode skoring dan pembobotan. Analisis hasil dengan pendekatan spasial, temporal, kompleks wilayah dan resiko banjir lahar.

Peta luberan banjir lahar, penilaian kerusakan lahan dan peta resiko banjir lahar di Desa Argomulyo.

Rosalina Kumalawati, Afrinia Lisditya P., Seftiawan Samsu Rijal (2012)

Pengelolaan Daerah Bahaya Lahar Pasca Erupsi Gunungapi Merapi 2010 di Kali Putih Kabupaten Magelang, Jawa Tengah

Kajian zonasi bahaya lahar, penilaian terhadap persepsi masyarakat tentang lahar, valuasi ekonomi dampak kerusakan akibat banjir lahar

Zonasi bahaya lahar ditentukan dengan cross section, tracking area terdampak dan interpolasi kontur. Penilaian persepsi dengan menggunakan korelasi produk momen. Valuasi ekonomi dampak kerusakan akibat banjir lahar dilakukan dengan pengisian kuesioner dan pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling.

1. Peta tingkat bahaya banjir lahar

2. Tabel nilai indeks korelasi

3. Tabel valuasi ekonomi (jumlah kerugian)

Seftiawan Samsu Rijal (2012)

Analisis Kerusakan Permukiman Akibat Banjir Lahar Pasca Erupsi Gunungapi Merapi 2010 di Sebagian Kabupaten Magelang

Mengetahui luapan banjir lahar, penilaian tingkat kerusakan permukiman, dan analisis pola sebaran kerusakan permukiman akibat banjir lahar didaerah penelitian

Mengetahui luapan banjir lahar di masing – masing desa dengan gps tracking,

menilai kerusakan rumah dengan wawancara dan pengampilan sampel per tingkat bahaya dengan teknik stratified random sampling

1. Peta luapan banjir lahar

2. Tabel penilaian tingkat kerusakan rumah 3. Peta sebaran kerusakan

permukiman akibat banjir lahar di masing


(13)

Erupsi Gunungapi Merapi mempunyai tiga tipe bahaya, yakni bahaya primer, bahaya sekunder dan bahaya tersier. Bahaya primer berupa jatuhan piroklastik, hujan abu dan awan panas terjadi beberapa saat setelah letusan. Bahaya sekunder berupa banjir lahar dan bahaya tersier berupa rusaknya lingkungan seperti hilangnya mata air.

Banjir lahar akibat erupsi Gunungapi Merapi pada tahun 2010 mengalir ke beberapa sungai di bagian baratdaya Gunungapi Merapi, sungai – sungai tersebut antara lain Sungai Bebeng, Sungai Krasak, Sungai Putih, Sungai Pabelan, dan Sungai Blongkeng. Banjir lahar yang mengalir pada sungai – sungai tersebut melebihi luas penampang sungai sehingga meluber hingga menghancurkan tebing sungai, kebun, dan sawah, bahkan banjir lahar yang terjadi pada Sungai Putih dan Pabelan melimpas hingga merusak permukiman. Penelitian ini dilakukan pada banjir lahar yang berasal dari Sungai Putih dan Pabelan karena banjir lahar yang terjadi pada kedua sungai tersebut telah merusak permukiman.

Banjir lahar yang menimpa permukiman telah mengakibatkan kerusakan yang berbeda - beda pada tiap rumah. Kerusakan rumah dapat diketahui dengan melakukan penilaian (assessment) pada setiap rumah. Penilaian kerusakan rumah dapat dilakukan dengan menilai fisik rumah pra dan pasca banjir lahar dan juga dengan memperhatikan luas existing luapan banjir lahar. Untuk lebih jelasnya terkait kerangka penelitian maka dapat melihat gambar 1.14. yang menampilkan diagram alir penelitian.

1.7. Metode Penelitian

Metode penelitian ini berisi gambaran teknis bagaimana data dan param didapatkan, diukur, dan dianalisis untuk mendapatkan hasil akhir yang merupakan tujuan dari penelitian.


(14)

erupsi Gunungapi Merapi

Interpretasi persil rumah Pemilihan batas administrasi di masing - masing desa

terkena banjir lahar

banjir lahar

Peta tentatif permukiman di desa yang terkena banjir

lahar

Kondisi rumah Luapan banjir lahar

Pasca Banjir Lahar Pra Banjir Lahar

Penentuan sampel menggunakan teknik stratified random sampling

Survey lapangan

Penilaian kerusakan dan plotting rumah

Gambar 1.3. Diagram Alir Penelitian (Sumber : Peneliti, 2012) Wawancara

penduduk

GPS tracking

Tabel kondisi bangunan pra banjir

lahar

Peta sebaran kerusakan rumah akibat banjir lahar

Peta luapan banjir lahar di masing – masing desa terkena

banjir lahar Pengolahan hasil

GPS tracking

Analisis kerusakan permukiman akibat banjir lahar pasca erupsi


(15)

Alat dan bahan yang digunakan adalah : a. Alat

1. Seperangkat komputer untuk instalasi softwrae dengan spesifikasi :  processor core 2 duo T7500 @ 2.2 Ghz

 RAM 2048 MB 2. Software :

 ArcGIS 9.3., untuk pengolahan data spasial

 Ms. Office, untuk pembuatan laporan, tabel dan presentasi 3. Printer Canon iP 1800, untuk pencetakan laporan

4. GPS untuk survey lapangan

5. Kamera digital untuk pengambilan foto lapangan b. Bahan

1. Data fisik bangunan pra dan pasca banjir lahar 2. Data luapan banjir lahar aktual

3. Peta RBI skala 1 : 25.000 lembar Sleman, Muntilan dan Mungkid 4. Citra IKONOS 2010.

1.7.2. Tahapan Penelitian

Peneliti membagi tahapan penelitian menjadi 3 tahap, yakni tahap persiapan, tahap survey lapangan dan tahap olah data, analisis dan pelaporan. Adapun rincian dari ketiga tahapan tersebut sebagai berikut.

Tahap Persiapan, meliputi :

1. studi pustaka meliputi teori dan penelitian sebelumnya, kemudian membuat perumusan masalah,

2. menyusun kerangka penelitian,

3. pengumpulan dan pemilihan data baik dari instansi terkait maupun dari penelitian sebelumnya,

4. interpretasi citra dan peta yang mencakup daerah penelitian, dan 5. membuat peta dasar dan menentukan jenis dan sumber data. Tahap Survey Lapangan, meliputi :


(16)

lahar, plotting rumah terkena banjir lahar, tracking area terdampak dan wawancara penduduk yang terkena dampak banjir lahar dan atau perangkat desa setempat.

Tahap Olah Data, Analisis, dan Pelaporan, meliputi :

1. pengolahan data lapangan menjadi peta luapan banjir lahar dan peta sebaran kerusakan bangunan akibat banjir lahar,

2. pengolahan hasil wawancara ke dalam bentuk tabel, dan

3. analisis pola spasial untuk peta luapan banjir lahar dan peta sebaran kerusakan bangunan akibat banjir lahar berdasarkan jarak rumah terhadap sungai dan tinggi endapan banjir lahar.

1.8. Batasan Operasional

Gunungapi adalah bentukan tanah yang terjadi karena letusan yang mana bentuk dan modelnya ditentukan oleh jenis letusan tersebut (Prager et al, 2000).

Bahaya adalah fenomena yang berpotensi menimbulkan bencana (Tim PSBA UGM, 2010).

Bahaya Gunungapi adalah Gunungapi adalah ancaman yang ditimbulkan oleh gunungapi yang terbagi menjadi bahaya primer dan bahaya sekunder. Bahaya primer berupa dampak langsung dari letusan gunungapi yang terdiri dari awan panas, guguran lava, jatuhan piroklastik dan abu vulkanik. Sedangkan bahaya sekunder yang dimaksud adalah lahar (Bakornas, 2007).

Lahar adalah aliran yang sangat cepat berisi campuran bongkahan batu dan air yang berasal dari gunungapi (Smith dan Fritz, 1989 dalam Lavigne, 2000).

Rumah adalah tempat kediaman, tempat perlindungan untuk menikmati kehidupan (Kurniasih, 2007).

Permukiman adalah suatu perumahan atau kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana lingkungan (Kurniasih, 2007).


(1)

11

bahaya banjir lahar, tabel nilai indeks korelasi, dan tabel valuasi ekonomi (jumlah kerugian).

Rijal (2012) melakukan penelitian di sepuluh desa di sebagian Kecamatan Magelang yang terkena banjir lahar. Sepuluh desa tersebut adalah Gulon, Sucen, Jumoyo, Seloboro, Sirahan (Kecamatan Salam), Blongkeng (Kecamatan Ngluwar), Ngrajek (Kecamatan Mungkid), Adikarto, Tamanagung, Gondosuli (Kecamatan Muntilan). Penelitian ditujukan untuk mengetahui luapan banjir lahar, penilaian tingkat kerusakan permukiman, dan analisis pola sebaran kerusakan permukiman akibat banjir lahar didaerah penelitian. Metode yang digunakan untuk mengetahui luapan banjir lahar di masing – masing desa adalah dengan gps tracking, sedangkan metode yang digunakan untuk menilai kerusakan rumah adalah dengan wawancara dan pengampilan sampel dengan teknik stratified random sampling. Hasil yang diharapkan dari penelitian berupa peta luapan banjir lahar per desa, tabel penilaian tingkat kerusakan rumah, dan peta sebaran kerusakan permukiman akibat banjir lahar di masing – masing desa. Analisis yang digunakan adalah pola spasial yang dapat menjelaskan sebaran kerusakan permukiman yang terkena banjir lahar. Perbandingan penelitian sebelumnya dan penelitian yang akan dilakukan dapat dilihat pada tabel 1.3. di bawah ini.


(2)

12 Penelitian

Risky Nurwidiati Deliana A. S. (2011)

Tingkat Bahaya Lahar Gunung Merapi Terhadap Lapangan Golf Merapi, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah

Istimewa Yogyakarta

Kajian arah lahar dan tingkat bahaya yang ditimbulkan

Metode klasifikasi dan pemberian skor melalui sistem skoring.

Teknik sampling yangdigunakan dalam pengambilan sampel yaitu purposive sampling. Analisis hasil dengan pendekatan spasial, temporal, kompleks wilayah dan geomorfologi.

Peta tingkat bahaya lahar yang mengancam lapangan golf dan sekitarnya.

Dinky Satrio P. (2011)

Zonasi Luberan Banjir Lahar untuk Analisis Resiko Bencana Pasca Erupsi Merapi 2010 di Desa Argomulyo, Cangkringan, Sleman, DIY

Kajian arah luberan banjir lahar, melakukan penilaian terhadap kerusakan lahan dan analisis daerah yang terkena resiko banjir lahar di Desa Argomulyo.

Overlay peta dengan metode skoring dan pembobotan. Analisis hasil dengan pendekatan spasial, temporal, kompleks wilayah dan resiko banjir lahar.

Peta luberan banjir lahar, penilaian kerusakan lahan dan peta resiko banjir lahar di Desa Argomulyo.

Rosalina Kumalawati, Afrinia Lisditya P., Seftiawan Samsu Rijal (2012)

Pengelolaan Daerah Bahaya Lahar Pasca Erupsi Gunungapi Merapi 2010 di Kali Putih Kabupaten Magelang, Jawa Tengah

Kajian zonasi bahaya lahar, penilaian terhadap persepsi masyarakat tentang lahar, valuasi ekonomi dampak kerusakan akibat banjir lahar

Zonasi bahaya lahar ditentukan dengan cross section, tracking area terdampak dan interpolasi kontur. Penilaian persepsi dengan menggunakan korelasi produk momen. Valuasi ekonomi dampak kerusakan akibat banjir lahar dilakukan dengan pengisian kuesioner dan pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling.

1. Peta tingkat bahaya banjir lahar

2. Tabel nilai indeks korelasi

3. Tabel valuasi ekonomi (jumlah kerugian)

Seftiawan Samsu Rijal (2012)

Analisis Kerusakan Permukiman Akibat Banjir Lahar Pasca Erupsi Gunungapi Merapi 2010 di Sebagian Kabupaten Magelang

Mengetahui luapan banjir lahar, penilaian tingkat kerusakan permukiman, dan analisis pola sebaran kerusakan permukiman akibat banjir lahar didaerah penelitian

Mengetahui luapan banjir lahar di masing – masing desa dengan gps tracking,

menilai kerusakan rumah dengan wawancara dan pengampilan sampel per tingkat bahaya dengan teknik stratified random sampling

1. Peta luapan banjir lahar

2. Tabel penilaian tingkat kerusakan rumah 3. Peta sebaran kerusakan

permukiman akibat banjir lahar di masing – masing desa


(3)

13

1.6. Kerangka Penelitian

Erupsi Gunungapi Merapi mempunyai tiga tipe bahaya, yakni bahaya primer, bahaya sekunder dan bahaya tersier. Bahaya primer berupa jatuhan piroklastik, hujan abu dan awan panas terjadi beberapa saat setelah letusan. Bahaya sekunder berupa banjir lahar dan bahaya tersier berupa rusaknya lingkungan seperti hilangnya mata air.

Banjir lahar akibat erupsi Gunungapi Merapi pada tahun 2010 mengalir ke beberapa sungai di bagian baratdaya Gunungapi Merapi, sungai – sungai tersebut antara lain Sungai Bebeng, Sungai Krasak, Sungai Putih, Sungai Pabelan, dan Sungai Blongkeng. Banjir lahar yang mengalir pada sungai – sungai tersebut melebihi luas penampang sungai sehingga meluber hingga menghancurkan tebing sungai, kebun, dan sawah, bahkan banjir lahar yang terjadi pada Sungai Putih dan Pabelan melimpas hingga merusak permukiman. Penelitian ini dilakukan pada banjir lahar yang berasal dari Sungai Putih dan Pabelan karena banjir lahar yang terjadi pada kedua sungai tersebut telah merusak permukiman.

Banjir lahar yang menimpa permukiman telah mengakibatkan kerusakan yang berbeda - beda pada tiap rumah. Kerusakan rumah dapat diketahui dengan melakukan penilaian (assessment) pada setiap rumah. Penilaian kerusakan rumah dapat dilakukan dengan menilai fisik rumah pra dan pasca banjir lahar dan juga dengan memperhatikan luas existing luapan banjir lahar. Untuk lebih jelasnya terkait kerangka penelitian maka dapat melihat gambar 1.14. yang menampilkan diagram alir penelitian.

1.7. Metode Penelitian

Metode penelitian ini berisi gambaran teknis bagaimana data dan param didapatkan, diukur, dan dianalisis untuk mendapatkan hasil akhir yang merupakan tujuan dari penelitian.


(4)

Citra IKONOS pra erupsi Gunungapi

Merapi

Peta RBI Skala 1 : 25.000

Interpretasi persil rumah Pemilihan batas administrasi

di masing - masing desa terkena banjir lahar

Data lokasi desa terkena banjir lahar

Peta tentatif permukiman di desa yang terkena banjir

lahar

Kondisi rumah Luapan banjir lahar

Pasca Banjir Lahar Pra Banjir Lahar

Penentuan sampel menggunakan teknik stratified random sampling

Survey lapangan

Penilaian kerusakan dan plotting rumah

Gambar 1.3. Diagram Alir Penelitian (Sumber : Peneliti, 2012) Wawancara

penduduk

GPS tracking

Tabel kondisi bangunan pra banjir

lahar

Peta sebaran kerusakan rumah akibat banjir lahar

Peta luapan banjir lahar di masing – masing desa terkena

banjir lahar Pengolahan hasil

GPS tracking

Analisis kerusakan permukiman akibat banjir lahar pasca erupsi


(5)

15

1.7.1. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan adalah : a. Alat

1. Seperangkat komputer untuk instalasi softwrae dengan spesifikasi :  processor core 2 duo T7500 @ 2.2 Ghz

 RAM 2048 MB 2. Software :

 ArcGIS 9.3., untuk pengolahan data spasial

 Ms. Office, untuk pembuatan laporan, tabel dan presentasi 3. Printer Canon iP 1800, untuk pencetakan laporan

4. GPS untuk survey lapangan

5. Kamera digital untuk pengambilan foto lapangan b. Bahan

1. Data fisik bangunan pra dan pasca banjir lahar 2. Data luapan banjir lahar aktual

3. Peta RBI skala 1 : 25.000 lembar Sleman, Muntilan dan Mungkid 4. Citra IKONOS 2010.

1.7.2. Tahapan Penelitian

Peneliti membagi tahapan penelitian menjadi 3 tahap, yakni tahap persiapan, tahap survey lapangan dan tahap olah data, analisis dan pelaporan. Adapun rincian dari ketiga tahapan tersebut sebagai berikut.

Tahap Persiapan, meliputi :

1. studi pustaka meliputi teori dan penelitian sebelumnya, kemudian membuat perumusan masalah,

2. menyusun kerangka penelitian,

3. pengumpulan dan pemilihan data baik dari instansi terkait maupun dari penelitian sebelumnya,

4. interpretasi citra dan peta yang mencakup daerah penelitian, dan 5. membuat peta dasar dan menentukan jenis dan sumber data. Tahap Survey Lapangan, meliputi :


(6)

2. pengambilan data lapangan, mencakup penilaian kondisi rumah pasca banjir lahar, plotting rumah terkena banjir lahar, tracking area terdampak dan wawancara penduduk yang terkena dampak banjir lahar dan atau perangkat desa setempat.

Tahap Olah Data, Analisis, dan Pelaporan, meliputi :

1. pengolahan data lapangan menjadi peta luapan banjir lahar dan peta sebaran kerusakan bangunan akibat banjir lahar,

2. pengolahan hasil wawancara ke dalam bentuk tabel, dan

3. analisis pola spasial untuk peta luapan banjir lahar dan peta sebaran kerusakan bangunan akibat banjir lahar berdasarkan jarak rumah terhadap sungai dan tinggi endapan banjir lahar.

1.8. Batasan Operasional

Gunungapi adalah bentukan tanah yang terjadi karena letusan yang mana bentuk dan modelnya ditentukan oleh jenis letusan tersebut (Prager et al, 2000).

Bahaya adalah fenomena yang berpotensi menimbulkan bencana (Tim PSBA UGM, 2010).

Bahaya Gunungapi adalah Gunungapi adalah ancaman yang ditimbulkan oleh gunungapi yang terbagi menjadi bahaya primer dan bahaya sekunder. Bahaya primer berupa dampak langsung dari letusan gunungapi yang terdiri dari awan panas, guguran lava, jatuhan piroklastik dan abu vulkanik. Sedangkan bahaya sekunder yang dimaksud adalah lahar (Bakornas, 2007).

Lahar adalah aliran yang sangat cepat berisi campuran bongkahan batu dan air yang berasal dari gunungapi (Smith dan Fritz, 1989 dalam Lavigne, 2000).

Rumah adalah tempat kediaman, tempat perlindungan untuk menikmati kehidupan (Kurniasih, 2007).

Permukiman adalah suatu perumahan atau kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana lingkungan (Kurniasih, 2007).


Dokumen yang terkait

Klasifikasi Kerusakan Permukiman Akibat Banjir Lahar Menggunakan Model Builder GIS

1 2 4

PENDAHULUAN Analisis Strategi Pengembangan Sektor Pertanian Di Kabupaten Magelang Pasca Erupsi Merapi.

0 2 12

PENDAHULUAN Analisis Perdagangan Pasca Erupsi Merapi Di Pasar Muntilan Kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang Tahun 2010.

0 0 22

ANALISIS TINGKAT KERUSAKAN PENGGUNAAN LAHAN AKIBAT BANJIR LAHAR PASCA ERUPSI GUNUNGAPI MERAPI Analisis Tingkat Kerusakan Penggunaan Lahan Akibat Banjir Lahar Pasca Erupsi Gunungapi Merapi Tahun 2010 Di Sub Das Kali Putih.

0 0 13

PENDAHULUAN Analisis Tingkat Kerusakan Penggunaan Lahan Akibat Banjir Lahar Pasca Erupsi Gunungapi Merapi Tahun 2010 Di Sub Das Kali Putih.

0 0 24

ANALISIS TINGKAT KERUSAKAN PENGGUNAAN LAHAN AKIBAT BANJIR LAHAR PASCA ERUPSI GUNUNGAPI MERAPI Analisis Tingkat Kerusakan Penggunaan Lahan Akibat Banjir Lahar Pasca Erupsi Gunungapi Merapi Tahun 2010 Di Sub Das Kali Putih.

0 0 18

DAFTAR PUSTAKA Analisis Kerusakan Permukiman Akibat Banjir Lahar Pasca Erupsi Gunungapi Merapi 2010 di Sebagian Kabupaten Magelang.

0 0 4

ANALISIS KERUSAKAN PERMUKIMAN AKIBAT BANJIR LAHAR PASCA ERUPSI GUNUNGAPI MERAPI 2010 DI SEBAGIAN Analisis Kerusakan Permukiman Akibat Banjir Lahar Pasca Erupsi Gunungapi Merapi 2010 di Sebagian Kabupaten Magelang.

1 2 14

PENDEKATAN MORFOLOGI SUNGAI UNTUK ANALISIS LUAPAN LAHAR AKIBAT ERUPSI MERAPI TAHUN 2010 DI SUNGAI PUTIH, KABUPATEN MAGELANG

0 0 8

PERUBAHAN MORFOLOGI SUNGAI CODE AKIBAT ALIRAN LAHAR PASCA ERUPSI GUNUNGAPI MERAPI TAHUN 2010

0 0 6