Perbandingan Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMP antara yang Memperoleh Pembelajaran Model Problem Based Learning dan Guided Inquiry.

(1)

Rizky Fauziah Nurrochman, 2015

ABSTRAK

Rizky Fauziah Nurrochman (1002271). Perbandingan Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMP antara yang Memperoleh Pembelajaran Model Problem Based Learning dan Guided

Inquiry.

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh rendahnya kemampuan pemecahan masalah matematis siswa di tingkat SMP pada materi segiempat. Tujuan penelitian ini adalah: (1) untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa antara yang memperoleh pembelajaran dengan model Problem Based Learning (PBL) dan model Guided Inquiry (GI); (2) mengetahui sikap siswa terhadap implementasi pembelajaran matematika melalui model PBL dan model GI. Penelitian ini dilaksanakan di salah satu SMP di kota Bandung dengan dua kelas VII sebagai sampel. Penelitian ini menggunakan kuasi eksperimen dengan desain pre post test control group. Data penelitian ini berasal dari data kuantitatif (tes kemampuan pemecahan masalah) dan data kualitatif (angket dan lembar observasi). Pengolahan data menggunakan SPSS versi 20.0 for Windows dengan uji-t dan α = 0,05. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa antara yang memperoleh pembelajaran melalui model PBL dan model GI; (2) Pada umumnya (86%) sikap siswa yang memperoleh PBL adalah positif, dan pada umumnya (80%) sikap siswa yang memperoleh GI adalah positif

Kata Kunci: Problem Based Learning, Guided Inquiry, Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis


(2)

ABSTRACT

Rizky Fauziah Nurrochman (1002271). The Comparison of Junior High

School Students’ Mathematical Problem Solving Improvement Between the

Students Who Acquire Problem Based Learning and Guided Inquiry.

The background of this study is due to of student’s mathematical problem solving ability of students. The purposes of this study are: (1) finding out whether there is an enhancement difference in mathematical problem solving ability between students who obtain Problem Based Learning (PBL) and students who obtain

Guided Inquiry; (2) finding out students’ response toward the implementation of

mathematics learning through Problem Based Learning and Guided Inquiry. The population of this study is students of class 7th grade in one of junior high school in Bandung city. This study applied experimental quasi method with pre post test

control group design. Data in this study came from quantitative data (student’s

problem solving ability test) and qualitative data (questionnaires sheet and observation sheet). Data processing is performed by SPSS for windows 20th version with t-tes and α =0,05. The results of study show that: (1) There’s no the

enhancement difference of student’s mathematical problem solving between students who obtain PBL and students who obtain GI; (2) In general (86%) attitude of students who acquire PBL method is positive and in general (80%) attitude of students who acquire GI method is positive.

Keywords:, Problem Based Learning, Guided Inquiry, Mathematical Problem Solving Ability


(3)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Matematika merupakan salah satu ilmu pengetahuan yang berperan penting dalam kemajuan teknologi dan berbagai bidang keilmuan lainnya. Peranan matematika sebagai ilmu dasar telah begitu cepat mengalami perkembangan, hal itu terbukti dengan semakin banyaknya kegiatan matematika dalam kehidupan sehari-hari. Matematika sebagai alat komunikasi universal dalam setiap bidang menjadikan matematika disebut sebagai ratunya ilmu pengetahuan. Menurut Cockroft (Hidayat, 2010) matematika penting diajarkan kepada siswa karena (1) selalu digunakan dalam segala aspek kehidupan; (2) semua bidang studi menggunakan matematika yang sesuai; (3) merupakan alat komunikasi yang kuat, singkat dan jelas; (4) dapat menyajikan informasi dalam berbagai cara; (5) meningkatkan kemampuan berpikir logis, ketelitian dan kesadaran keruangan; dan (6) memberikan rasa puas saat memecahkan masalah yang menantang. Banyaknya peran matematika dalam kehidupan manusia, sehingga matematika wajib dipelajari di tingkat dasar hingga tinggi.

Pembelajaran matematika berkembang sesuai dengan kebutuhan, hal ini diperkuat dengan berkembangnya pembelajaran matematika yang termuat dalam kurikulum saat ini. Kurikulum 2013 dipersiapkan pemerintah Indonesia sebagai penyempurna kurikulum yang sebelumnya pernah diterapkan. Intinya, kurikulum ini memadukan sikap, pengetahuan dan keterampilan menjadi satu kesatuan. Begitu halnya pada pembelajaran matematika, dalam kurikulum 2013 siswa dituntut untuk memecahkan suatu masalah matematika.

National Council of Teacher Mathematic (NCTM, 2000) menetapkan ada

5 (lima) keterampilan proses yang harus dikuasai siswa melalui pembelajaran matematika, yaitu : (1) pemecahan masalah (problem solving); (2) penalaran dan pembuktian (reasoning and proof); (3) koneksi (connection); (4) komunikasi (communication); serta (5) representasi (representation). Salah satu yang menjadi fokus utama adalah kemampuan pemecahan masalah. Selain itu pentingnya


(4)

pemecahan masalah menurut Bell (Sutrisno, 2013) karena pemecahan masalah merupakan kegiatan yang penting dalam pembelajaran matematika dan kemampuan pemecahan masalah yang diperoleh dalam suatu pembelajaran matematika umumnya dapat digunakan dalam memecahkan masalah lain.

Gagne (Suherman, 2010) menjelaskan bahwa pemecahan masalah adalah tipe belajar tingkat tinggi dan kompleks dibandingkan dengan tipe belajar lainnya. Masalah dalam matematika merupakan persoalan tidak rutin dan belum adanya metode untuk menyelesaikannya (Suherman, 2010). Sehingga pemecahan masalah sangat penting dalam pembelajaran matematika karena dapat mengukur tingkat pemahaman siswa. Kemampuan pemecahan masalah dibutuhkan siswa sebagai modal agar mampu memecahkan masalah matematika dalam kehidupan sehari-hari.

Salah satu faktor yang mempengaruhi sistem pembelajaran matematika dalam kurikulum 2013 (Kemendikbud, 2014) salah satunya hasil studi TIMMS dan PISA. Misalnya, rendahnya kemampuan pemecahan masalah matematik siswa Indonesia dapat dilihat dari hasil survey lembaga TIMSS (Trends in

International Mathematics and Science Study) tahun 2011 menempatkan

Indonesia pada peringkat ke-38 dari 44 negara dengan skor 386, dibawah skor yang standar yang ditetapkan yaitu 500. Hal ini memperlihatkan ada penurunan skor sebelumnya pada tahun 2007 yaitu 394. PISA (Programme for International

Student Assesment) tahun 2012 menempatkan Indonesia pada peringkat ke-64

dari 65 negara yang ikut ambil bagian. Pada survei tersebut salah satu indikator kognitifnya adalah pemecahan masalah.

Penelitian terhadap kemampuan pemecahan masalah masih rendah. Salah satunya adalah penelitian Handiani (2011) memperlihatkan hasil tes akhir kemampuan pemecahan masalah siswa sebagian besar masih dibawah 50, selain itu Mardliah (2012) pada kelas yang ditelitinya sekitar 50% siswa memiliki nilai dibawah 60. Kusumawardhani (2013) memaparkan bahwa hasil akhir kemampuan pemecahan masalah siswa sebesar 90% masih di bawah 50. Dari hasil penjelasan di atas disimpulkan bahwa hasil kemampuan pemecahan masalah masih di bawah KKM, dengan ini kemampuan pemecahan masalah maatematik siswa masih rendah.


(5)

Upaya-upaya dalam memperbaiki kualitas pembelajaran di kelas terus disosialisasikan oleh pemerintah, yaitu mengubah teacher centered menjadi

student centered. Berbagai model pembelajaran yang telah berkembang saat ini

dapat menjadi salah satu solusi dari permasalahan kemampuan pemecahan masalah. Salah satu model pembelajaran yang bersifat student centered adalah

Problem Based Learning (PBL) dan Guided Inquiry (GI) atau inkuiri terbimbing,

dua model ini juga direkomendasikan sebagai model pembelajaran untuk kurikulum 2013. Model pembelajaran PBL dan GI dianggap dapat mengatasi pemecahan masalah matematis dan bersesuaian dengan pendekatan yang diterapkan pada kurikulum 2013.

Menurut Glaser (Karlimah, 2010) belajar berdasar masalah merupakan aktivitas kognitif yang konstruktif karena menurut psikologi kognitif, belajar adalah proses konstruksi pengetahuan baru berdasar perngetahuan kini. Beberapa pandangan mengenai pembelajaran berbasis masalah yang diungkapkan Cunningham dkk (Karlimah, 2010) menyatakan pembelajaran berbasis masalah adalah strategi pembelajaran yang secara bersamaan mengembangkan strategi pemecahan masalah, disiplin ilmu keterampilan menempatkan siswa dalam memecahkan masalah dengan struktur masalah berupa masalah-masalah nyata pada kehidupan sehari. Problem Based Learning (PBL) adalah model pembelajaran yang dirancang untuk membuat siswa mahir dalam memecahkan masalah yang berbasis pada kehidupan nyata. PBL pada kurikulum 2013 merupakan salah satu model pembelajaran yang telah ditentukan dari tiga model pembelajaran. PBL diharapkan dapat membuat siswa lebih aktif dan mampu memecahkan masalah.

Pembelajaran inkuiri menitikberatkan pada aktifitas dan pemberian belajar secara langsung pada siswa. Inkuiri mendorong siswa untuk memiliki kesempatan dalam mencari dan menemukan sendiri apa yang dibutuhkan. Menurut Sanjaya (2008) pembelajaran inkuiri terbimbing yaitu suatu model pembelajaran inkuiri yang dalam pelaksanaannya guru menyediakan bimbingan atau petunjuk cukup luas kepada siswa. Adapula langkah-langkah pelaksanaan pembelajaran inkuiri yaitu orientasi, merumuskan masalah, mengajukan hipotesis, mengumpulkan data, menguji hipotesis dan merumuskan kesimpulan. Berdasarkan langkah-langkah


(6)

tersebut, siswa diajak aktif dalam melakukan dan berpikir sehingga dapat menyimpulkan bedasarkan hasil yang mereka dapat sendiri. Oleh karena itu

guided inquiry (GI) dianggap mampu dalam membantu siswa dala memecahkan

masalah.

Penelitian mengenai PBL sebelumnya sudah sering dilakukan, misalnya penelitian yang telah dilakukan oleh Purnamasari (2014) menunjukkan bahwa hasil pemecahan masalah dengan menggunakan model PBL lebih baik dibandingkan dengan model konvensional. Penelitian Maulidyawati (2013) memaparkan bahwa terdapat peningkatan kemampuan pemecahan masalah dengan menggunakan model pembelajaran inkuri terbimbing dibandingkan dengan model pembelajaran konvensional. Berdasarkan referensi dalam penelitian tersebut maka diharapkan penelitian dengan menggunakan model PBL dan GI dapat mempengaruhi peningkatan pemecahan masalah matematis. Namun, pada penelitian ini model PBL akan dibandingkan dengan model GI terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis, dengan alasan bahwa kedua model pembelajaran bersifat student centered dimana siswa berperan aktif dalam pembelajaran matematika.

Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) dan Guided Inquiry (GI) adalah model pembelajaran yang dianggap mampu dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis secara teoritis. Melalui pembelajaran dengan model PBL siswa dihadapkan pada pembelajaran berdasarkan masalah, dan materi segiempat memiliki variasi soal yang terkait kehidupan sehari-hari dan pemecahan masalah. Sedangkan dalam pembelajaran model GI, pada tahapan mengembangkan hipotesis, pengumpulan data dan menguji hipotesis diperlukan dalam mengindentifikasi masalah, selain itu tahapan tersebut dapat menyelesaikan masalah secara terstruktur. Sehingga menurut penulis, model PBL dan GI tepat dalam memecahkan masalah pada materi segiempat. Pemecahan masalah pada tingkat SMP dipilih selain karena hasil TIMSS dan PISA yang kurang memuaskan, yaitu karena pada tingkat SD siswa belajar matematika masih dalam tahap berpikir konkret, namun di SMP siswa mulai diajarkan berpikir abstrak. Penelitian ini menggunakan materi segiempat yang akan dipelajari pada siswa kelas VII yang merupakan kelas transisi antara pembelajaran di SD dan SMP


(7)

sehingga menjadi langkah awal siswa untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis agar terbiasa dalam menghadapi soal-soal pemecahan masalah pada jenjang berikutnya.

Dalam penelitian ini dibahas juga mengenai sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan menggunakan model PBL dan GI, karena merupakan salah satu faktor penting yang dapat menunjang keberhasilan siswa. Salah satu penelitian mengenai sikap siswa terhadap matematika yaitu penelitian Siskandar (2008) menyimpulkan bahwa sikap siswa terhadap pembelajaran matematika sangat mempengaruhi hasil belajar matematika. Semakin positif sikap siswa, semakin tinggi pula hasil belajar matematika. Selain itu menurut Ruseffendi (1988) untuk menumbuhkan sikap positif terhadap matematika, pelajaran harus menyenangkan, mudah dipahami, tidak menakutkan dan menunjukkan kegunaan. Mengacu pada penjelasan mengenai sikap di atas, peneliti ingin melihat bagaimana sikap siswa terhadap pembelajaran yang akan diberikan yaitu pembelajaran model PBL dan GI.

Berdasarkan pemikiran tersebut, penelitian ini terfokus pada perbandingan model PBL dan GI dalam kemampuan pemecahan matematis siswa SMP. Selain itu, peneliti juga ingin mengetahui sikap siswa terhadap pelajaran matematika. Oleh karena itu, penulis tertarik melakukan penelitian dan menyusun hasil karya

yang berjudul “Perbandingan Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah

Matematis Siswa SMP antara yang Memperoleh Pembelajaran Model Problem

Based Learning (PBL) dan Guided Inquiry (GI)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, rumusan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah

matematis antara siswa yang pembelajarannya menggunakan model Problem

Based Learning (PBL) dan Guided Inquiry (GI)??

2. Bagaimana sikap siswa yang mendapatkan pembelajaran matematika melalui


(8)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan di atas, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan

masalah matematis antara siswa yang pembelajarannya menggunakan model model Problem Based Learning (PBL) dan Guided Inquiry (GI).

2. Mengetahui sikap siswa yang mendapatkan pembelajaran matematika melalui

model Problem Based Learning (PBL) dan Guided Inquiry (GI).

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa SMP antara yang memperoleh pembelajaran model Problem Based Learning (PBL) dan Guided

Inquiry (GI) serta sikap siswa terhadap kedua model pembelajaran tersebut.

Adapun rinci manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagi Guru

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dan tambahan ilmu pengetahuan bagi guru terkait proses pembelajaran khususnya untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa.

2. Bagi Siswa

a. Meningkatkan atau mengembangkan kemampuan pemecahan masalah

matematisnya sehingga dapat memahami dan menyelesaikan

permasalahan matematika yang dihadapinya.

b. Memiliki sikap positif terhadap pembelajaran yang diperolehnya.

3. Bagi Peneliti dan Pembaca

a. Mengetahui model pembelajaran yang dapat menjadi salah satu alternative

untuk kemampuan pemecahan masalah matematis siswa.

b. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi atau masukan bagi pembaca yang ingin meneliti lebih lanjut mengenai model Problem Based


(9)

E. Definisi Operasional

Berdasarkan judul penelitian, ada beberapa istilah yang perlu dijelaskan agar tidak terjadi perbedaan persepsi antara peneliti dengan pembaca.

1. Model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) adalah model

pembelajaran yang menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam mengumpulkan pengetahuan baru. Pelakasanaan model PBL memiliki tahapan-tahapan orientasi siswa, mengorganisasikan siswa, membimbing penyelidikan individu dan kelompok, mengembangkan dan menyajikan hasil karya serta menganalisa dan mengevaluasi proses pemecahan masalah.

2. Model inkuiri terbimbing adalah model pembelajaran yang memberikan

kesempatan kepada siswa untuk melakukan penelitian namun masih dalam instruksi atau arahan-arahan. Pelaksanaan inkuiri terbimbing meliputi orientasi, merumuskan masalah, mengajukan hipotesis, mengumpulkan data, menguji hipotesis dan merumuskan kesimpulan.

3. Kemampuan pemecahan masalah matematis adalah proses penyelesaian soal

matematis yang tidak rutin, yaitu suatu soal matematis yang harus diselesaikan siswa, tetapi ia belum mempunyai strategi yang tepat untuk menyelesaikan soal tersebut. Indikator pemecahan masalah dalam penelitian ini meliputi:

a. Mengidentifikasi unsur-unsur yang diketahui, yang ditanyakan, dan

kecukupan unsur yang diperlukan.

b. Merumuskan masalah matematik atau menyusun model matematik.

c. Menerapkan strategi untuk menyelesaikan berbagai masalah dalam atau di

luar matematika


(10)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode dan Desain Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuasi eksperimen. Dalam penelitian ini pemilihan sampel kelas tidak dikelompokkan secara acak, tetapi keadaan subjek sudah diterima sebagaimana adanya untuk setiap kelas yang dipilih. Hal ini didasarkan pada pertimbangan karena kelas telah terbentuk sebelumnya dan tidak mungkin dilakukan pengelompokan siswa secara acak.

Penelitian ini melibatkan dua kelompok siswa, kelompok pertama yaitu kelas eksperimen yang memperoleh model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) dan kelompok kedua yaitu kelas eksperimen yang memperoleh model pembelajaran Guided Inquiry (GI). Selain itu, pretest dan posttest diberikan kepada kedua kelompok siswa, sehingga desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain kelompok kontrol pretest posttest yang dinyatakan sebagai berikut:

O1 X1 O2

--- O1 X2 O2

Keterangan:

O1 : Pretest berupa tes kemampuan pemecahan masalah matematis

O2 : Posttest berupa tes kemampuan pemecahan masalah matematis

X1 : Pembelajaran matematika dengan menggunakan model Problem Based

Learning.

X2 : Pembelajaran matematika dengan menggunakan model Guided Inquiry

(Russefendi, 2010)


(11)

Populasi dari penelitian ini adalah siswa kelas VII di salah satu SMP di Kota Bandung tahun ajaran 2014/2015. Berdasarkan desain penelitian yang digunakan, maka pengambilan sampel dilakukan tidak secara acak dan dipilih dua kelas untuk dijadikan kelas eksperimen. Kelas eksperimen pertama memperoleh model pembelajaran PBL, sedangkan kelas eksperimen kedua memperoleh model pembelajaran GI.

C. Instrumen Penelitian 1. Instrumen Tes

Instrumen tes digunakan untuk mengukur keterampilan, pengetahuan intelegensi kemampuan atau bakat yang dimiliki oleh siswa berdasarkan indikator yang telah ditentukan. Ada beberapa bentuk tes, namun dalam penelitian ini tes yang digunakan untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah matematis adalah tes uraian. Tes tersebut digunakan untuk mengungkap proses berpikir siswa dalam menyelesaikan tugas matematis. Dalam penelitian ini akan dilaksanakan dua kali tes, yaitu pretest untuk mengetahui kemampuan awal siswa dalam memahami konsep suatu materi matematika yang dipelajarinya sebelum mendapatkan perlakuan dan postest untuk mengetahui sejauh mana variabel bebas berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa setelah mendapatkan perlakuan.

Acuan pemberian skor untuk kemampuan pemecahan masalah matematis yang diukur, menggunakan acuan pemberian skor berdasarkan langkah-langkah Polya (Suhendar, 2011) seperti dalam tabel 3.1 berikut:

Tabel 3.1

Pemberian Skor berdasarkan langkah-langkah Polya

Aspek yang dinilai Skor Keterangan

Pemecahan masalah 0 Tidak ada jawaban sama sekali.

1 Salah menginterpretasikan sebagian soal


(12)

Lanjutan Tabel 3.1

Aspek yang dinilai Skor Keterangan

Perencanaan penyelesaian

0 Menggunakan strategi yang tidak relevan

1 Menggunakan strategi yang kurang dapat

dilaksanakan dan tidak dapat dilanjutkan.

2 Menggunakan sebagian stategi yang benar tetapi

mengarah pada jawaban yang salah

3 Menggunakan prosedur yang mengarah ke

solusi yang benar. Pelaksanaan

perhitungan

0 Tidak ada solusi sama sekali.

1 Menggunakan beberapa prosedur yang

mengarah kepada solusi yang benar.

2 Hasil salah sebagian, karena salah perhitungan.

3 Hasil dan proses yang benar.

Soal tes diujicobakan terlebih dahulu pada siswa di luar sampel penelitian yang sudah mempelajari materi yang akan diujikan sebelum digunakan untuk penelitian. Untuk mendapatkan hasil evaluasi yang baik, selain dari faktor yang mempengaruhinya tentunya diperlukan alat evaluasi yang kualitasnya baik pula. Untuk memperoleh evaluasi yang kualitasnya baik, ada beberapa kriteria yang perlu diperhatikan yang harus dipenuhi, diantaranya yaitu: validitas, reliabilitas, daya pembeda dan indeks kesukaran. Data yang diperoleh dari hasil uji coba


(13)

kemudian akan diolah, untuk reliabilitas dan validitas menggunakan bantuan

software Anates V4.0.5 tipe uraian.

Suatu alat evaluasi yang baik akan mencerminkan kemampuan sebenarnya dari testi yang dievaluasi dan bisa membedakan siswa yang pandai, siswa yang kemampuannya sedang, dan siswa yang kemampuannya kurang, sehingga penyebaran skor atau nilai dari hasil evaluasi tersebut berdistribusi normal (Suherman dan Kusumah, 1990). Untuk mendapatkan alat evaluasi yang berkualitas baik perlu dilakukan uji coba sebelum digunakan. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui validitas, reliabilitas, indeks kesukaran, dan daya pembeda.

a) Validitas

Menurut Suherman (2003) suatu alat evaluasi disebut valid (absah atau sahih) jika alat tersebut mampu mengevaluasi apa yang seharusnya dievaluasi. Oleh karena itu, keabsahannya tergantung pada sejauh mana ketepatan alat evaluasi itu dalam melaksanakan fungsinya.

Salah satu cara untuk mencari koefisien validitas suatu alat evaluasi adalah dengan menggunakan rumus korelasi produk momen memakai angka kasar (Suherman, 2003), yaitu:

∑ ∑ ∑

√ ∑ (∑ ) ∑ (∑ )

Keterangan:

rxy = koefisien korelasi antara variabel x dan variabel y.

X = skor siswa pada tiap butir soal. Y = skor total tiap responden (testi). N = banyak subyek (testi).

Untuk menentukan tingkat (derajat) validitas alat evaluasi dapat digunakan kriterium-kriterium dari Guilford (Suherman dan Kusumah, 1990:147):

Tabel 3.2

Klasifikasi Koefisien Korelasi


(14)

0,80 < rxy ≤ 1,00 Sangat Tinggi

0,60 < rxy ≤ 0,80 Tinggi

0,40 < rxy ≤ 0,60 Sedang

0,20 < rxy ≤ 0,40 Rendah

0,00 < rxy ≤ 0,20 Sangat Rendah

rxy ≤ 0,00 Tidak Valid

Harga koefisien korelasi minimal sama dengan 0,3 digunakan sebagai pengembangan dan penyusunan insturmen (Friedenberg, 1995). Sehingga dalam butir soal instrument yang memiliki korelasi di atas 0,3 atau semakin tinggi maka semakin baik kelayakan soal. Dari hasil uji instrumen yang telah diberikan sebelum penelitian, diperoleh data sebagai berikut:

Tabel 3.3

Data Interpretasi Validitas Nilai Pretest No. Butir

Soal Korelasi

Intrepretasi Validitas (Suherman, 1990)

Intrepretasi Validitas (Sugiyono, 2013)

1 0,698 Tinggi Valid

2 0,611 Tinggi Valid

3 0,586 Sedang Valid

4 0,810 Sangat Tinggi Valid

5 0,667 Tinggi Valid

Bedasarkan tabel 3.3 bahwa korelasi tiap butir soal instrumen pretest adalah 0,586 hingga 0,810 yang mengindikasikan interpretasi validitas sedang hingga sangat tinggi, karena korelasi tiap butir yang didapatkan lebih dari 0,4 (rendah) maka kelima butir soal pretest layak untuk digunakan.

Tabel 3.4


(15)

No. Butir

Soal Korelasi

Intrepretasi Validitas (Suherman, 1990)

Intrepretasi Validitas (Sugiyono, 2013)

1 0,670 Tinggi Valid

2 0,786 Tinggi Valid

3 0,565 Sedang Valid

4 0,669 Tinggi Valid

5 0,809 Sangat Tinggi Valid

Bedasarkan tabel 3.4 bahwa korelasi tiap butir soal instrumen pretest adalah 0,565 hingga 0,809 yang mengindikasikan interpretasi validitas sedang hingga sangat tinggi, karena korelasi tiap butir yang didapatkan lebih dari 0,4 maka kelima butir soal pretest layak untuk digunakan.

b) Reliabilitas

Suatu alat evaluasi (tes dan non-tes) disebut reliabel jika hasil evaluasi tersebut relatif tetap jika digunakan untuk subyek yang sama. Istilah relatif tetap di sini dimaksudkan tidak tepat sama, tetapi mengalami perubahan yang tak berarti (tidak signifikan) dan bisa diabaikan (Suherman dan Kusumah, 1990:167).

Rumus yang digunakan untuk mencari koefisien reliabilitas bentuk uraian dikenal dengan rumus Alpha (Suherman dan Kusumah, 1990:194), yaitu:

Keterangan:

r11 = reliabilitas tes secara keseluruhan.

n = banyak subyek.

∑ = jumlah varians skor tiap item. st2 = varians skor total.


(16)

Koefisien reliabilitas yang menyatakan derajat keterandalan alat evaluasi, dinyatakan dengan r11. Untuk menginterprestasikan derajat reliabilitas alat

evaluasi dapat digunakan tolak ukur yang dibuat oleh J. P. Guliford (Suherman dan Kusumah, 1990), yaitu:

Tabel 3.5

Klasifikasi Reliabilitas

Besarnya r11 Derajat Reliabilitas

r11 ≤ 0,20 Sangat Rendah

0,20 < r11 ≤ 0,40 Rendah

0,40 < r11 ≤ 0,70 Sedang

Lanjutan Tabel 3.5

Besarnya r11 Derajat Reliabilitas

0,70 < r11 ≤ 0,90 Tinggi

0,90 < r11 ≤ 1,00 Sangat Tinggi

Dalam pengujian biasanya menggunakan batasan 0,6. Menurut Sekaran (1992), reabilitas kurang dari 0,6 kurang baik sedangkan 0,7 dapat diterima dan di atas 0,8 adalah baik.

Berdasarkan hasil uji instrumen yang telah dilakukan diperoleh nilai realiabilitas untuk soal pretest sebesar 0,78 dan reliabilitas soal posttest sebesar 0,81. Kedua hasil uji instrumen tergolong tinggi, sehingga instrument pretest dan

posttest dapat digunakan

c) Daya Pembeda

Daya Pembeda (DP) dari sebuah butir soal menyatakan seberapa jauh kemampuan butir soal tersebut mampu membedakan antara testi yang mengetahui jawabannya dengan benar dengan testi yang tidak dapat menjawab soal tersebut (atau testi yang menjawab salah). Dengan perkataan lain daya pembeda sebuah butir soal adalah kemampuan butir soal unuk membedakan antara testi (siswa) yang pandai atau berkemampuan tinggi dengan siswa yang bodoh. Pengertian


(17)

tersebut didasarkan pada asumsi Galton bahwa suatu perangkat alat tes yang baik harus bisa membedakan antara siswa yang pandai, rata-rata, dan yang bodoh karena dalam suatu kelas biasanya terdiri dari ketiga kelompok tersebut (Suherman dan Kusumah, 1990:199).

Untuk menentukan daya pembeda digunakan rumus (Suherman, 2003:160):

Keterangan:

DP = Daya Pembeda.

= jumlah skor kelompok atas. = jumlah skor kelompok bawah. = jumlah skor ideal kelompok atas.

Klasifikasi interprestasi untuk daya pembeda yang banyak digunakan (Suherman dan Kusumah, 1990) adalah:

Tabel 3.6

Klasifikasi Interprestasi Daya Pembeda

Nilai Daya Pembeda (DP) Klasifikasi Daya Pembeda (DP)

DP ≤ 0,00 Sangat Jelek

0,00 < DP ≤ 0,20 Jelek

0,20 < DP ≤ 0,40 Cukup

0,40 < DP ≤ 0,70 Baik

0,70 < DP ≤ 1,00 Sangat Baik

Suatu butir soal yang baik hanya mampu dijawab benar oleh siswa yang memang memiliki kemampuan tinggi. Kalau siswa dengan kemampuan rendah dan tinggi menjawab benar maka butir soal tidak mampu membedakan kemampuan siswa. Apabila suatu butir soal ternyata justru dapat dijawab benar oleh sebagian besar siswa dengan kemampuan atau kelompok rendah, sedangkan sebagian besar siswa dengan kemampuan atau kelompok tinggi tidak banyak yang


(18)

mampu menjawab dengan benar, maka hal itu menunjukkan bahwa item soal tersebut menyesatkan. Berdasarkan uji instrumen, didapatkan data sebagai berikut:

Tabel 3.7

Interpretasi Indeks Daya Pembeda Pretest

Nilai Daya Pembeda

0,475 Baik

0,375 Cukup

0,325 Cukup

0,700 Baik

0,300 Cukup

Berdasarkan data pada tabel 3.7 diperoleh daya pembeda soal pretest adalah 0,3 hingga 0,7 yaitu dengan kategori cukup dan baik. Oleh karena hasil data pembeda untuk pretest lebih dari 0,2 atau tidak dalam kategori jelek maka kelima butir soal pretest dapat digunakan.

Tabel 3.8

Interpretasi Indeks Daya Pembeda Postes

Nilai Daya Pembeda

0,350 Cukup

0,550 Baik

0,300 Cukup

0,450 Baik

0,625 Baik

Berdasarkan data pada tabel 3.8 diperoleh daya pembeda soal pretest adalah 0,3 hingga 0,625 yaitu dengan kategori cukup dan baik. Oleh karena hasil data pembeda untuk posttest lebih dari 0,2 atau tidak dalam kategori jelek maka kelima butir soal posttest dapat digunakan.


(19)

Menurut Suherman (2003:169), indeks kesukaran dari soal adalah suatu parameter yang mengidentifikasi sebuah soal dikatakan mudah atau sulit untuk diajikan kepada siswa. Bilangan real pada interval 0,00 sampai 1,00 menunjukkan derajat kesukaran suatu butir soal. Soal dengan indeks kesukaran mendekati 0,00 berarti butir soal tersebut terlalu sukar, sedangkan soal dengan indeks kesukaran 1,00 berarti soal tersebut terlalu mudah.

Untuk mencari indeks kesukaran (IK) digunakan rumus (Suherman, 2003):

Keterangan:

IK = Indeks Kesukaran.

= jumlah skor kelompok atas. = jumlah skor kelompok bawah. = jumlah skor ideal kelompok atas. = jumlah skor kelompok atas.

Klasifikasi indeks kesukaran yang paling banyak digunakan (Suherman dan Kusumah, 1990) adalah sebagai berikut:

Tabel 3.9

Klasifikasi Indeks Kesukaran Soal

Nilai Indeks Kesukaran (IK) Klasifikasi Indeks Kesukaran (IK)

IK = 0,00 Terlalu Sukar

0,00 < IK ≤ 0,30 Sukar

0,30 < IK ≤ 0,70 Sedang

0,70 < IK ≤ 1,00 Mudah

IK = 1,00 Terlalu Mudah

Pada butir soal yang terlalu sulit dengan indeks kesukaran terlalu rendah (0,00) dan item soal yang terlalu mudah dengan indeks kesukaran tinggi (1,00) secara umum tidak banyak memberikan kontribusi keefektifan suatu tes. Hal ini disebabkan butir soal tersebut tidak memiliki kemampuan untuk membedakan siswa yang berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan rendah.


(20)

Butir soal yang terlalu mudah akan mampu dijawab benar oleh siswa yang memiliki kemampuan tinggi dan rendah. Sebaliknya butir soal yang terlalu sulit, kedua kelompok siswa menjawab salah. Dengan demikian daya diskrimansi butir soal tersebut rendah atau tidak baik. Berdasarkan hasil uji instrumen, diperoleh data sebagai berikut:

Tabel 3.10

Interpretasi Indeks Kesukaran Pretest

Nilai Interpretasi Tingkat Kesukaran

0,7625 Mudah

0,6625 Sedang

0,5625 Sedang

0,5250 Sedang

0,8000 Mudah

Berdasarkan data pada tabel 3.10 di atas diperoleh indeks kesukaran pada soal pretest adalah 0,525 hingga 0,8 yaitu dengan kategori sedang dan mudah. Oleh karena hasil indeks kesukaran tidak 0 (terlalu sukar) dan tidak 1 (terlalu mudah) maka kelima butir soal pretest dapat digunakan

Tabel 3.11

Interpretasi Indeks Kesukaran Postes

Nilai Interpretasi Tingkat Kesukaran

0,7000 Sedang

0,6750 Sedang

0,7000 Sedang

0,6000 Sedang

0,6875 Sedang

Berdasarkan data pada tabel 3.11 di atas diperoleh indeks kesukaran pada soal posttest adalah 0,6 hingga 0,7 yaitu dengan kategori sedang. Oleh karena hasil indeks kesukaran tidak 0 atau terlalu sukar dan tidak 1 atau terlalu mudah


(21)

2. Instrumen Non Tes

Instrumen non-tes yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket dan lembar observasi. Angket adalah sekumpulan pernyataan atau pertanyaan yang harus dilengkapi oleh responden dengan memilih jawaban atau menjawab pertanyaan melalui jawaban yang sudah disediakan atau melengkapi kalimat dengan jalan mengisinya (Ruseffendi, 2010: 121). Angket yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan model skala likert. Penggunaan angket bertujuan untuk mengetahui respons siswa terhadap proses pembelajaran yang dilakukan. “Skala likert meminta responden untuk menjawab suatu pernyantaan dengan jawaban sangat setuju (SS), setuju (S), tak memutuskan (N), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS)” (Ruseffendi, 2010: 135).

Lembar observasi merupakan lembar aktivitas guru dan aktivitas siswa selama proses pembelajaran berlangsung. Lembar observasi ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas penggunaan model inkuiri terbimbing dan model PBL di dalam kelas. Selain itu, lembar observasi ini juga digunakan sebagai bahan evaluasi bagi guru untuk melihat kesesuaian indikator dan langkah-langkah pembelajaran yang disiapkan. Lembar observasi ini diisi oleh observer selama proses pembelajaran berlangsung.

C. Perangkat Pembelajaran

Penelitian ini menggunakan dua macam perangkat pembelajaran, yakni Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan Lembar Kerja Siswa (LKS). RPP dan LKS yang digunakan pada kelas eksperimen 1 dan eksperimen 2 berisikan proses pembelajaran dari model PBL dan model Inkuiri Terbimbing.

D. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Data yang dikumpulkan kemudian diolah dan dianalisis untuk menguji hipotesis yang telah dirumuskan kemudian diinterpretasikan sesuai dengan hasil yang didapatkan. Dalam pebelitian ini akan dianalisis kedua jenis data yaitu data kuantitatif dan data kualitatif.


(22)

Analisis data kuantitatif ini dilakukan untuk mengetahui perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa setelah memperoleh pembelajaran baik di kelas M-APOS maupun di kelas PBL. Analisis dilakukan dengan menggunakan bantuan software SPSS (Statistical Product and

Service Solution) versi 20.0.

Berikut ini adalah penjelasan mengenai analisis data hasil tes tersebut: a. Analisis Data Pretest

Sebelum melakukan pengujian terhadap data hasil pretest terlebih dahulu dilakukan perhitungan terhadap deskripsi data yang meliputi rata-rata, simpangan baku, nilai maksimum, dan nilai minimum. Hal ini dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai data yang akan diuji.

1) Uji Normalitas Data Pretest

Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data skor pretes sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal atau tidak. Dalam hal ini pengujian dilakukan dengan menggunakan software SPSS versi 20.0. Pengujian normalitas dilakukan menggunakan uji statistik Saphiro-Wilk dengan perumusan hipotesis sebagai berikut:

Hipotesis 1:

H0 : Data pretes kelas PBL berdistribusi normal.

H1 : Data pretes kelas PBL berdistribusi tidak normal.

Hipotesis 2:

H0 : Data pretes kelas GI berdistribusi normal.

H1 : Data pretes kelas GI berdistribusi tidak normal.

Kriteria pengujian dengan mengambil taraf signifikansi α = 0,05 adalah menerima H0 jika nilai sig. (p-value) lebih besar atau sama dengan α, dan

menolak H0 jika nilai sig. (p-value) lebih kecil α.

Jika data skor pretes kedua kelas penelitian berdistribusi normal, uji statistik selanjutnya yang dilakukan adalah uji homogenitas varians. Akan tetapi, jika data skor pretes salah satu atau kedua kelas penelitian berdistribusi tidak normal, maka uji homogenitas tidak perlu dilakukan melainkan dilakukan uji


(23)

statistik non-parametrik, yaitu uji Mann- Whitney U untuk uji perbedaan dua sampel independen.

2) Uji Homogenitas Varians Data Pretest

Uji homogenitas dilakukan untuk mengetahui apakah data skor pretes dari kedua kelas penelitian variansinya homogen atau tidak homogen. Apabila data skor pretes kedua kelas penelitian berdistribusi normal maka dilanjutkan uji

homogenitas varians menggunakan uji Levene’s test dengan perumusan hipotesis

sebagai berikut:

H0 : Data pretes kelas PBL dan kelas GI bervarians homogen.

H1 : Data pretes kelas PBL dan kelas GI bervarians tidak homogen.

Kriteria pengujian dengan mengambil taraf signifikansi α = 0,05 adalah menerima H0 jika nilai sig. (p-value) lebih besar atau sama dengan α, dan

menolak H0 jika nilai sig. (p-value) lebih kecil α.

3)Uji Rata-Rata Data Pretest

Uji rata-rata data pretes dilakukan untuk mengetahui apakah data pretest dari kedua kelas penelitian memiliki rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematis yang tidak berbeda atau berbeda secara signifikan. Jika data skor pretes kedua kelas penelitian berdistribusi normal dan bervarians homogen, maka pengujian dilakukan menggunakan uji t. Sedangkan jika data skor pretes kedua kelas penelitian berdistribusi normal dan bervarians tidak homogen, maka pengujian dilakukan menggunakan uji t’. Namun jika data skor pretes salah satu atau kedua kelas penelitian berdistribusi tidak normal, maka pengujian dilakukan menggunakan uji nonparametrik yaitu menggunakan uji Mann Whitney. Perumusan hipotesis uji adalah sebagai berikut:

H0 : Rata-rata data pretes kelas PBL tidak berbeda secara signifikan dengan kelas

GI

H1 : Rata-rata data pretes kelas PBL berbeda secara signifikan dengan kelas GI.

Kriteria pengujian dengan mengambil taraf signifikansi α = 0,05 adalah menerima H0 jika nilai sig. (p-value) lebih besar atau sama dengan α, dan


(24)

b.Analisis Data Posttest

Sebelum melakukan pengujian terhadap data hasil posttest terlebih dahulu dilakukan perhitungan terhadap deskripsi data yang meliputi rata-rata, simpangan baku, nilai maksimum, dan nilai minimum. Hal ini dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai data yang akan diuji.

1) Uji Normalitas Data Posttest

Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data skor posttest sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal atau tidak. Dalam hal ini pengujian dilakukan dengan menggunakan software SPSS versi 20.0. Pengujian normalitas dilakukan menggunakan uji statistik Saphiro-Wilk dengan perumusan hipotesis sebagai berikut:

Hipotesis 1:

H0 : Data postes kelas PBL berdistribusi normal.

H1 : Data postes kelas PBL berdistribusi tidak normal.

Hipotesis 2:

H0 : Data postes kelas GI berdistribusi normal.

H1 : Data postes kelas GI berdistribusi tidak normal.

Kriteria pengujian dengan mengambil taraf signifikansi α = 0,05 adalah menerima H0 jika nilai sig. (p-value) lebih besar atau sama dengan α, dan

menolak H0 jika nilai sig. (p-value) lebih kecil α.

Jika data skor posttest kedua kelas penelitian berdistribusi normal, uji statistik selanjutnya yang dilakukan adalah uji homogenitas varians. Akan tetapi, jika data skor postes salah satu atau kedua kelas penelitian berdistribusi tidak normal, maka uji homogenitas tidak perlu dilakukan melainkan dilakukan uji statistik non-parametrik, yaitu uji Mann- Whitney U untuk uji perbedaan dua sampel independen.

2) Uji Homogenitas Varians Data Posttest

Uji homogenitas dilakukan untuk mengetahui apakah data skor posttest dari kedua kelas penelitian variansinya homogen atau tidak homogen. Apabila


(25)

data skor postes kedua kelas penelitian berdistribusi normal maka dilanjutkan uji

homogenitas varians menggunakan uji Levene’s test dengan perumusan hipotesis

sebagai berikut:

H0 : Data postes kelas PBL dan kelas GI bervarians homogen.

H1 : Data postes kelas PBL dan kelas GI bervarians tidak homogen.

Kriteria pengujian dengan mengambil taraf signifikansi α = 0,05 adalah menerima H0 jika nilai sig. (p-value) lebih besar atau sama dengan α, dan

menolak H0 jika nilai sig. (p-value) lebih kecil α.

3) Uji Rata-Rata Data Posttest

Uji rata-rata data postes dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan rata-rata data skor postes secara signifikan antara kedua kelas penelitian. Jika data skor posttest kedua kelas penelitian berdistribusi normal dan bervarians homogen, maka pengujian dilakukan menggunakan uji t. Sedangkan jika data skor postes kedua kelas penelitian berdistribusi normal dan bervarians

tidak homogen, maka pengujian dilakukan menggunakan uji t’. Namun jika data

skor posttest salah satu atau kedua kelas penelitian berdistribusi tidak normal, maka pengujian dilakukan menggunakan uji nonparametrik yaitu menggunakan uji Mann Whitney. Perumusan hipotesis uji adalah sebagai berikut:

H0 : Rata-rata data postes kelas PBL tidak berbeda secara signifikan dengan

kelas GI.

H1 : Rata-rata data postes kelas PBL berbeda secara signifikan dengan kelas GI.

Kriteria pengujian dengan mengambil taraf signifikansi α = 0,05 adalah menerima H0 jika nilai sig. (p-value) lebih besar atau sama dengan α, dan

menolak H0 jika nilai sig. (p-value) lebih kecil α.

c. Analisis Data Indeks Gain

Untuk mengetahui adanya perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis, maka dilakukan analisis terhadap indeks gain. Adapun indeks gain dihitung dengan rumus sebagai berikut (Hake, 2007):


(26)

Kriteria klasifikasi indeks gain disajikan dalam tabel berikut (Hake, 1999):

Tabel 3.12

Klasifikasi Indeks Gain

Indeks gain Kriteria

g > 0,70 Tinggi

0,30 < g ≤ 0,70 Sedang

g ≤ 0,30 Rendah

Sebelum melakukan pengujian terhadap data hasil indeks gain terlebih dahulu dilakukan perhitungan terhadap deskripsi data yang meliputi rata-rata, simpangan baku, nilai maksimum, dan nilai minimum. Hal ini dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai data yang akan diuji.

1) Uji Normalitas Data Indeks Gain

Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data hasil indeks gain dari dua kelas penelitian berdistribusi normal atau tidak. Dalam hal ini pengujian dilakukan dengan menggunakan software SPSS versi 20.0. Pengujian normalitas dilakukan menggunakan uji statistik Saphiro-Wilk dengan perumusan hipotesis sebagai berikut:

Hipotesis 1:

H0 : Data indeks gain kelas PBL berdistribusi normal.

H1 : Data indeks gain kelas PBL berdistribusi tidak normal.

Hipotesis 2:

H0 : Data indeks gain kelas GI berdistribusi normal.

H1 : Data indeks gain kelas GI berdistribusi tidak normal.

Kriteria pengujian dengan mengambil taraf signifikansi α = 0,05 adalah menerima H0 jika nilai sig. (p-value) lebih besar atau sama dengan α, dan


(27)

Jika data indeks gain kedua kelas penelitian berdistribusi normal, uji statistik selanjutnya yang dilakukan adalah uji homogenitas varians. Akan tetapi, jika data indeks gain salah satu atau kedua kelas penelitian berdistribusi tidak normal, maka uji homogenitas tidak perlu dilakukan melainkan dilakukan uji statistik non-parametrik, yaitu uji Mann- Whitney U untuk uji perbedaan dua sampel independen.

2) Uji Homogenitas Varians Data Indeks Gain

Uji homogenitas varians digunakan untuk mengetahui apakah data hasil indeks gain dari kedua kelas penelitian bervarians homogen atau tidak. Apabila data indeks gain kedua kelas penelitian berdistribusi normal maka dilanjutkan uji

homogenitas varians menggunakan uji Levene’s test dengan perumusan hipotesis

sebagai berikut:

H0 : Data indeks gain kelas PBL dan kelas GI bervarian homogen.

H1 : Data indeks gain kelas PBL dan kelas GI bervarian tidak homogen.

Kriteria pengujian dengan mengambil taraf signifikansi α = 0,05 adalah menerima H0 jika nilai sig. (p-value) lebih besar atau sama dengan α, dan

menolak H0 jika nilai sig. (p-value) lebih kecil α.

3) Uji Rata-Rata Data Indeks Gain

Uji perbedaan dua rata-rata digunakan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan rata-rata data indeks gain secara signifikan antara kedua kelas penelitian. Jika data indeks gain kedua kelas penelitian berdistribusi normal dan bervarians homogen, maka pengujian dilakukan menggunakan uji t. Sedangkan jika data indeks gain kedua kelas penelitian berdistribusi normal dan bervarians tidak homogen, maka pengujian dilakukan menggunakan uji t’. Namun jika data indeks gain salah satu atau kedua kelas penelitian berdistribusi tidak normal, maka pengujian dilakukan menggunakan uji nonparametrik yaitu menggunakan uji

Mann Whitney untuk uji perbedaan dua sampel independen. Perumusan hipotesis


(28)

H0 : Tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah

matematis siswa antara yang memperoleh pembelajaran dengan model PBL dan model pembelajaran GI

H1 : Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis

siswa antara yang memperoleh pembelajaran dengan model PBL dan model pembelajaran GI

Kriteria pengujian dengan mengambil taraf signifikansi α = 0,05 adalah menerima H0 jika nilai sig. (p-value) lebih besar sama dengan α, dan menolak H0

jika nilai sig. (p-value) lebih kecil α.

Langkah-langkah yang diperlukan untuk analisis data disajikan pada gambar berikut ini:

Gambar 3.1 Bagan Analisis Data Kuantitatif

2. Pengolahan Data Kualitatif a. Angket Siswa

Data kualitatif ini diperoleh dari angket yang terdiri dari pertanyaan positif dan pernyataan negatif. Pada penelitian ini, pilihan jawaban Netral (N) tidak digunakan karena siswa yang ragu-ragu mengisi pilihan jawaban memiliki kecenderungan yang besar untuk memilih jawaban Netral (N). Sikap atau respons

Data Sampel 1 Uji Normalitas

Uji Non-Parametrik Uji Homogenitas

Varians

Uji t Uji t'

Data Sampel 2

Kedua data berdistribusi normal Salah satu atau

kedua data berdistribusi tidak

normal

Varians tidak homogen

Varians homogen


(29)

siswa terhadap implementasi pembelajaran model PBL dan model Inkuiri Terbimbing disajikan dalam bentuk persentase. Untuk melihat persentase sikap siswa terhadap implementasi pembelajaran yang dilakukan, digunakan rumus sebagai berikut:

P = 100 %

Keterangan:

P : Persentase jawaban

f : frekuensi jawaban

n : banyak responden

Data angket yang telah berkumpul kemudian dihitung dan

dipersentasekan, setelah itu diinterpretasikan dalam narasi. Skor siswa dihitung dengan menjumlahkan bobot setiap pernyataan dari alternatif jawaban yang dipilih. Persentase jawaban siswa menurut Kuntjaraningrat (Mandasari, 2012) dapat diinterpretasikan sebagai berikut :

Tabel 3.13

Kategori Persentase Angket dan Observasi

Besar Persentase Kategori

P = 0% Tidak ada

0% < P ≤ 25% Sebagian kecil

0,25% < P < 50% Hampir setengahnya

P = 50% Setengahnya

0,50% < P ≤ 75% Sebagian besar

0,75% < P < 100% Pada umumnya

P = 100% Seluruhnya

b. Lembar Observasi

Penilaian data hasil observasi dilakukan dengan menyimpulkan hasil pengamatan observer selama pembelajaran berlangsung. Kriteria untuk penilaian lembar observasi hanya dilihat dari terlaksana atau tidaknya hal-hal yang harus


(30)

dilakukan dalam proses pembelajaran menggunakan model PBL dan model pembelajaran Inkuiri Terbimbing.

E. Prosedur Penelitian

Secara garis besar, prosedur penelitian ini dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut:

1. Tahap Persiapan

a. Mengidentifikasi masalah dan kajian pustaka

b. Membuat proposal penelitian.

c. Menentukan materi ajar

d. Menyusun instrumen penelitian

e. Pengujian instrumen penelitian

f. Membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Lembar Kerja Siswa

(LKS), angket dan lembar observasi g. Perizinan untuk penelitian.

2. Tahap Pelaksanaan

a. Pemilihan sampel penelitian sebanyak dua kelas, yang disesuaikan dengan

materi penelitian dan waktu pelaksaan penelitian

b. Pelaksanaan pretest kemampuan pemecahan masalah matematis untuk

kedua kelas

c. Pelaksanaan kegiatan pembelajaran dengan mengimplementasikan model

pembelajaran PBL untuk kelas eksperimen 1 dan pembelajaran model GI untuk kelas eksperimen 2.

d. Pelaksanaan posttest untuk kedua kelas

3. Tahap Pengumpulan dan Analisis Data

a. Mengumpulkan hasil data kuantitatif (tes siswa berupa hasil pretest dan

posttest kemampuan pemecahan masalah matematis) dan kualitatif (angket

dan lembar observasi).

b. Mengolah dan menganalisis data kuantitatif berupa hasil pretest dan hasil


(31)

c. Mengolah dan menganalisis data kualitatif berupa angket dan lembar observasi.

4. Tahap Pembuatan Kesimpulan

Membuat kesimpulan dari data yang diperoleh, yaitu mengenai perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa


(32)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil pengolahan dan analisis data pada Bab IV, kesimpulan yang diperoleh berdasarkan hasil penelitian adalah sebagai berikut:

1. Tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemecaha masalah

matematis antara siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) dengan model pembelajaran

Guided Inquiry (GI) . Kualitas peningkatan kemampuan pemecahan masalah

matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran model pembelajaran

Problem Based Learning (PBL) dengan model pembelajaran Guided Inquiry

(GI) tergolong sedang.

2. Sebagian besar siswa baik kelas PBL maupun kelas Inkuiri Terbimbing

memberikan sikap positif terhadap pembelajaran matematika melalui model pembelajaran Problem Based Learning dan model pembelajaran GI.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan simpulan yang diperoleh, maka diajukan beberapa saran sebagai berikut.

1. Model pembelajaran PBL dan metode pembelajaran Inkuiri Terbimbing

dapat digunakan untuk sebagai salah satu altrenatif pembelajaran di kelas meningkatkan kemampuan pemecahan matematis siswa.

2. Pembelajaran di kelas perlu membiasakan siswa belajar secara berkelompok

dan mengerjakan soal-soal pemecahan masalah.

3. Perlu adanya kajian lebih lanjut untuk penelitian selanjutnya mengenai

implementasi pembelajaran matematika dengan model PBL ataupun dengan model Inkuiri Terbimbing untuk pokok bahasan, kemampuan dan populasi lain.


(33)

DAFTAR PUSTAKA

Abdurahman, D. (2014). Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Komunikasi

serta Disposisi Matematik Siswa SMP melalui Pembelajaran Inkuiri Terbimbing. Tesis pada Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung:

Tidak diterbitkan.

Amalia, S. (2011). Analisis Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa

SMP. Skripsi pada Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: Tidak

diterbitkan.

Arends. (2008). Learning to Teach-Belajar untuk Mengajar. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Friedenberg, L. (1995). Psychological Testing, Design, Analysis and Use. Allyn and Bacon

Gani, R. A. (2007). Pengaruh Pembelajaran Metode Inkuiri Model Alberta

Terhadap Kemampuan Pemahaman dan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Sekolah Menengah Atas. Disertasi pada Universitas Pendidikan

Indonesia. Bandung: Tidak diterbitkan.

Hadiningrat, S. (2010). Pengertian dan Langkah-Langkah PBL. [On Line]. Tersedia: http://exa321.wordpress.com/2010/10/30/85/. [4 September 2014].

Handiani, Y. (2011). Penerapan Model Pembelajaran PCL (Problem Centered

Learning) untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik dan Self Regukated Learning Siswa SMP. Skripsi pada

Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: Tidak diterbitkan.

Hake, R. R. (1999). Analizing Change/ Gain Scores. [On Line]. Tersedia: http://physic s.indiana.edu. [21 Oktober 2014].

Hake, R. R. (2007). Design-Based Research in Physic in Physics Education : A Review in A.E, Kelly, R.A Lesh, & J.Y. Back, eds (in press), handbook of

Design Research Methods in Mathematics, Science, and Technolog Education. Erlbaum.

Hidayat, D. (2011). Pembelajaran Kooperatif Tipe Student Teams Achievement

Divisions (STAD) dengan Metode Inkuiri Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Siswa SMP. Skripsi pada

Universita Sultan Ageng Tirtayasa. Serang: Tidak diterbitkan.

Karlimah. (2010). Mengembangkan Kemampuan Komunikasi dan Pemecahan

Masalah serta Disposisi Matematis Mahasiswa PGSD Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah. Disertasi pada Universitas Pendidikan


(34)

Kemendikbud. (2014). Materi Pelatihan Implementasi Kurikulum 2013 Mata

Pelajaran Matematika. Jakarta: Badan Pengembangan Sumber Daya

Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan. Kusumawardhani, Y. (2012). Penerapan Model Pembelajaran Reciprocal

Teaching untuk Meningkatkan Kemampuan Pemcahan Masalah Matematis Siswa SMP.. Skripsi pada Universitas Pendidikan Indonesia.

Bandung: Tidak diterbitkan.

Lukman, H. S . (2014). Implementasi Model Problem Based Learning untuk

Meningkatkan Kemampuan Metakognitif dan Self Regulated Learning Siswa SMA. Tesis pada Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: Tidak

diterbitkan.

Mandasari, N. (2012). Penerapan Modeel Pembelajaran Kooperatif Tipe

Rotating Trio Exchange (RTE) untuk Meningkatkan Kemampuan Eksplorasi Matematis Siswa SMP. Skripsi pada Universitas Pendidikan

Indonesia. Bandung: Tidak diterbitkan.

Mardliah, N. D. S. (2012). Pengaruh Pembelajaran Matematika dengan Strategi

Metakognitif Terhadap Pencapaian Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMP. Skripsi pada Universitas Pendidikan Indonesia.

Bandung: Tidak diterbitkan.

Maulidyawati, D. (2013). Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah

Matematis Siswa SMA melalui Pembelajaran dengan Menggunakan Metode Penemuan Terbimbing. Skripsi pada Universitas Pendidikan

Indonesia. Bandung: tidak diterbitkan.

McIntosh, R dan Jarret, D. (2000). Teaching Mathematical Problem Solving:

Implementing The Vision. [On Line]. Tersedia:

http://www.cimmm.uucr.ac.cr. [14 November 2014]

Muchlis, E. E. (2012). Pengaruh Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik

Indonesia. Jurnal Excata, volum 10, nomor 2, halaman 136-139.

Mulyadi, M. (2011). Penggunaan Model Pembelajaran Berbasis Masalah Pada

Materi Pokok Segitiga untuk Meningkatkan Kemampuan Penalaran Matematis Siswa. Skripsi pada Universitas Pendidikan Indonesia.

Bandung: tidak diterbitkan.

NCTM. (2000). Executive Summary Principles and Standards for School

Mathematics. [On line]. Tersedia: http://www.nctm.org/uploadedFiles/

Math_Standards/ 12752_ exec_ pssm.pdf. [3 September 2014].


(35)

(SSCS) untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMP. Skripsi pada Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung:

tidak diterbitkan.

Navian. (2011). Problem Based Learning. [On Line]. Tersedia: http://noviansang

pendiam.blogspot.com/2011/04/problem-based-learning-pembelajaran.html. [4 September 2014].

OECD. (2013). PISA 2012 Assessment and Ananlytical Framework competencies

mathematics, reading, science, problem solving, and financial literacy.

[On Line]. Tersedia: http://dx.doi.org/10.1787/9789264190511-en. [30 September 2014]

Palacios, A., dkk. (2014). Attitudes Towars Mathematics: Constructions and

Validation of a Measurement Intrument. [On Line]. Tersedia:

http://www.ehu.es/ojs. [12 Desember 2014]

Polya, G. (1985). How To Solve It 2nd ed. New Jersey: Priceton University Press.

Purnamasari, C. D. (2014). Penerapan Pembelajaran Berbasis Masalah untuk

Meningkatkan Kemampuan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa Sekolah Menengah Pertama. Skripsi pada Universitas Pendidikan

Indonesia. Bandung: tidak diterbitkan.

Riyanti. (2012). Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis. [On Line]. Tersedia: http://sin-riyanti.blogspot.com/2012/10/kemampuan-pemecahan-masalah-matematis.html. [6 September 2014].

Rothstein dan Pamela. (1990). Educational Psychology. Singapore : Mc Graw Hill. Inc

Ruseffendi, E T. (1988). Pengajaran Matematika Modern dan Masa Kini untuk

Guru dan SPG. Bandung: Tarsito

Ruseffendi, E T. (2005). Dasar-Dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non

Eksakta Lainnya. Bandung: Tarsito

Ruseffendi, E T. (2006). Pengantar Kepada Guru Membantu Guru

Mengembangkan Potensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito

Ruseffendi, E T. (2010). Dasar-Dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non

Eksakta Lainnya. Bandung: Tarsito.

Sanjaya, W. (2007). Strategi Pembelajaran, Berorientasi Standar Proses


(36)

Sanjaya, W. (2008). Kurikulum dan Pembelajaran : Teori dan Praktik dan

Pengembangan KTSP. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup

Sanjaya, W. (2009). Strategi Pembelajaran, Berorientasi Standar Proses

Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Schmidt, H.G. (1983). Problem Based Learning: rational and description. Medical Education, 11-17.

Sekaran, U. (1992). Research Method for Business A Skill Building Approach. New York: John Wiley and Sons, Inc.

Siskandar. (2008). Sikap dan Motivasi Siswa dalam Kaitan dengan Hasil Belajar

Matematika di SD. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. 14, (072),

238-451.

Soemarmo, U. (2010). Teori Paradigma , Prinsip dan Pendekatan Pembelajaran

MIPA dalam Konteks Indonesia. Bandung: Universitas Pendidikan

Indonesia.

Soleh, M. (1998). Pokok-Pokok Pengajaran Matematika Sekolah. Jakarta: Depdikbud.

Sund, R.B, dan Trowbridge, Leslie W, (1973)., Teaching Science By Inquiry In

The Secondary School, Second Edition, Columbus: Charles E.Merill

Publishing Company.

Suhendar, H. (2011). Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Two

Stay-Two Stray dalam Pembelajaran Matematika untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Siswa SMA. Skripsi pada

Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: Tidak diterbitkan.

Suherman, E dan Kusumah, Y. S. (1990). Petunjuk Praktis untuk Melaksanakan

Evaluasi Pembelajaran Matematika. Bandung: Wijayakusumah.

Suherman, E. (2003). Evaluasi Pendidikan Matematika. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Suherman, E. (2010). Belajar dan Pembelajaran Matematika. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Sutrisno, J. (2013). Pemecahan Masalah Sebagai Tujuan dan Proses dalam

Pembelajaran Matematika.n [On line]. Tersedia: http://lenterastkippgribl.

blogspot.com/2013/02/pemecahan-masalah-sebagai-tujuan-dan.html. [1

Okto-ber 2014]

TIMSS. (2011). Timss 2011 International Results in Mathematics. United State: TIMSS & PIRLS International Study Center.


(37)

Wahyudin. (2008). Pembelajaran dan Model-Model Pembelajaran. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Wulan, E. D. (2012). Penerapan Pendekatan Model Elicting Activities untuk

Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMP.

Skripsi pada Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: Tidak diterbitkan.


(1)

Rizky Fauziah Nurrochman, 2015

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil pengolahan dan analisis data pada Bab IV, kesimpulan yang diperoleh berdasarkan hasil penelitian adalah sebagai berikut:

1. Tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemecaha masalah

matematis antara siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) dengan model pembelajaran Guided Inquiry (GI) . Kualitas peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) dengan model pembelajaran Guided Inquiry (GI) tergolong sedang.

2. Sebagian besar siswa baik kelas PBL maupun kelas Inkuiri Terbimbing memberikan sikap positif terhadap pembelajaran matematika melalui model pembelajaran Problem Based Learning dan model pembelajaran GI.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan simpulan yang diperoleh, maka diajukan beberapa saran sebagai berikut.

1. Model pembelajaran PBL dan metode pembelajaran Inkuiri Terbimbing

dapat digunakan untuk sebagai salah satu altrenatif pembelajaran di kelas meningkatkan kemampuan pemecahan matematis siswa.

2. Pembelajaran di kelas perlu membiasakan siswa belajar secara berkelompok

dan mengerjakan soal-soal pemecahan masalah.

3. Perlu adanya kajian lebih lanjut untuk penelitian selanjutnya mengenai implementasi pembelajaran matematika dengan model PBL ataupun dengan model Inkuiri Terbimbing untuk pokok bahasan, kemampuan dan populasi lain.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Abdurahman, D. (2014). Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Komunikasi serta Disposisi Matematik Siswa SMP melalui Pembelajaran Inkuiri Terbimbing. Tesis pada Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: Tidak diterbitkan.

Amalia, S. (2011). Analisis Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMP. Skripsi pada Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: Tidak diterbitkan.

Arends. (2008). Learning to Teach-Belajar untuk Mengajar. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Friedenberg, L. (1995). Psychological Testing, Design, Analysis and Use. Allyn and Bacon

Gani, R. A. (2007). Pengaruh Pembelajaran Metode Inkuiri Model Alberta Terhadap Kemampuan Pemahaman dan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Sekolah Menengah Atas. Disertasi pada Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: Tidak diterbitkan.

Hadiningrat, S. (2010). Pengertian dan Langkah-Langkah PBL. [On Line]. Tersedia: http://exa321.wordpress.com/2010/10/30/85/. [4 September 2014].

Handiani, Y. (2011). Penerapan Model Pembelajaran PCL (Problem Centered Learning) untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik dan Self Regukated Learning Siswa SMP. Skripsi pada Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: Tidak diterbitkan.

Hake, R. R. (1999). Analizing Change/ Gain Scores. [On Line]. Tersedia: http://physic s.indiana.edu. [21 Oktober 2014].

Hake, R. R. (2007). Design-Based Research in Physic in Physics Education : A Review in A.E, Kelly, R.A Lesh, & J.Y. Back, eds (in press), handbook of Design Research Methods in Mathematics, Science, and Technolog Education. Erlbaum.

Hidayat, D. (2011). Pembelajaran Kooperatif Tipe Student Teams Achievement Divisions (STAD) dengan Metode Inkuiri Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Siswa SMP. Skripsi pada Universita Sultan Ageng Tirtayasa. Serang: Tidak diterbitkan.

Karlimah. (2010). Mengembangkan Kemampuan Komunikasi dan Pemecahan Masalah serta Disposisi Matematis Mahasiswa PGSD Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah. Disertasi pada Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: Tidak diterbitkan.


(3)

Kemendikbud. (2014). Materi Pelatihan Implementasi Kurikulum 2013 Mata Pelajaran Matematika. Jakarta: Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan. Kusumawardhani, Y. (2012). Penerapan Model Pembelajaran Reciprocal

Teaching untuk Meningkatkan Kemampuan Pemcahan Masalah Matematis Siswa SMP.. Skripsi pada Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: Tidak diterbitkan.

Lukman, H. S . (2014). Implementasi Model Problem Based Learning untuk Meningkatkan Kemampuan Metakognitif dan Self Regulated Learning Siswa SMA. Tesis pada Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: Tidak diterbitkan.

Mandasari, N. (2012). Penerapan Modeel Pembelajaran Kooperatif Tipe Rotating Trio Exchange (RTE) untuk Meningkatkan Kemampuan Eksplorasi Matematis Siswa SMP. Skripsi pada Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: Tidak diterbitkan.

Mardliah, N. D. S. (2012). Pengaruh Pembelajaran Matematika dengan Strategi Metakognitif Terhadap Pencapaian Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMP. Skripsi pada Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: Tidak diterbitkan.

Maulidyawati, D. (2013). Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMA melalui Pembelajaran dengan Menggunakan Metode Penemuan Terbimbing. Skripsi pada Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: tidak diterbitkan.

McIntosh, R dan Jarret, D. (2000). Teaching Mathematical Problem Solving:

Implementing The Vision. [On Line]. Tersedia:

http://www.cimmm.uucr.ac.cr. [14 November 2014]

Muchlis, E. E. (2012). Pengaruh Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia. Jurnal Excata, volum 10, nomor 2, halaman 136-139.

Mulyadi, M. (2011). Penggunaan Model Pembelajaran Berbasis Masalah Pada Materi Pokok Segitiga untuk Meningkatkan Kemampuan Penalaran Matematis Siswa. Skripsi pada Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: tidak diterbitkan.

NCTM. (2000). Executive Summary Principles and Standards for School Mathematics. [On line]. Tersedia: http://www.nctm.org/uploadedFiles/ Math_Standards/ 12752_ exec_ pssm.pdf. [3 September 2014].

Nurhayati, R. (2012). Penerapan Pembelajaran Matematika dengan


(4)

(SSCS) untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMP. Skripsi pada Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: tidak diterbitkan.

Navian. (2011). Problem Based Learning. [On Line]. Tersedia: http://noviansang

pendiam.blogspot.com/2011/04/problem-based-learning-pembelajaran.html. [4 September 2014].

OECD. (2013). PISA 2012 Assessment and Ananlytical Framework competencies mathematics, reading, science, problem solving, and financial literacy. [On Line]. Tersedia: http://dx.doi.org/10.1787/9789264190511-en. [30 September 2014]

Palacios, A., dkk. (2014). Attitudes Towars Mathematics: Constructions and Validation of a Measurement Intrument. [On Line]. Tersedia: http://www.ehu.es/ojs. [12 Desember 2014]

Polya, G. (1985). How To Solve It 2nd ed. New Jersey: Priceton University Press. Purnamasari, C. D. (2014). Penerapan Pembelajaran Berbasis Masalah untuk

Meningkatkan Kemampuan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa Sekolah Menengah Pertama. Skripsi pada Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: tidak diterbitkan.

Riyanti. (2012). Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis. [On Line]. Tersedia: http://sin-riyanti.blogspot.com/2012/10/kemampuan-pemecahan-masalah-matematis.html. [6 September 2014].

Rothstein dan Pamela. (1990). Educational Psychology. Singapore : Mc Graw Hill. Inc

Ruseffendi, E T. (1988). Pengajaran Matematika Modern dan Masa Kini untuk Guru dan SPG. Bandung: Tarsito

Ruseffendi, E T. (2005). Dasar-Dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non Eksakta Lainnya. Bandung: Tarsito

Ruseffendi, E T. (2006). Pengantar Kepada Guru Membantu Guru Mengembangkan Potensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito

Ruseffendi, E T. (2010). Dasar-Dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non Eksakta Lainnya. Bandung: Tarsito.

Sanjaya, W. (2007). Strategi Pembelajaran, Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.


(5)

Sanjaya, W. (2008). Kurikulum dan Pembelajaran : Teori dan Praktik dan Pengembangan KTSP. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup

Sanjaya, W. (2009). Strategi Pembelajaran, Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Schmidt, H.G. (1983). Problem Based Learning: rational and description. Medical Education, 11-17.

Sekaran, U. (1992). Research Method for Business A Skill Building Approach. New York: John Wiley and Sons, Inc.

Siskandar. (2008). Sikap dan Motivasi Siswa dalam Kaitan dengan Hasil Belajar Matematika di SD. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. 14, (072), 238-451.

Soemarmo, U. (2010). Teori Paradigma , Prinsip dan Pendekatan Pembelajaran MIPA dalam Konteks Indonesia. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Soleh, M. (1998). Pokok-Pokok Pengajaran Matematika Sekolah. Jakarta: Depdikbud.

Sund, R.B, dan Trowbridge, Leslie W, (1973)., Teaching Science By Inquiry In The Secondary School, Second Edition, Columbus: Charles E.Merill Publishing Company.

Suhendar, H. (2011). Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Two Stay-Two Stray dalam Pembelajaran Matematika untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Siswa SMA. Skripsi pada Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: Tidak diterbitkan.

Suherman, E dan Kusumah, Y. S. (1990). Petunjuk Praktis untuk Melaksanakan Evaluasi Pembelajaran Matematika. Bandung: Wijayakusumah.

Suherman, E. (2003). Evaluasi Pendidikan Matematika. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Suherman, E. (2010). Belajar dan Pembelajaran Matematika. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Sutrisno, J. (2013). Pemecahan Masalah Sebagai Tujuan dan Proses dalam Pembelajaran Matematika.n [On line]. Tersedia: http://lenterastkippgribl.

blogspot.com/2013/02/pemecahan-masalah-sebagai-tujuan-dan.html. [1

Okto-ber 2014]

TIMSS. (2011). Timss 2011 International Results in Mathematics. United State: TIMSS & PIRLS International Study Center.


(6)

Wahyudin. (2008). Pembelajaran dan Model-Model Pembelajaran. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Wulan, E. D. (2012). Penerapan Pendekatan Model Elicting Activities untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMP. Skripsi pada Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: Tidak diterbitkan.