PEMIKIRAN POLITIK DAN GERAKAN SOSIOKULTURAL KEWARGANEGARAAN KAUM INTELEKTUAL MUSLIM NEO-MODERNIS DALAM PENGUATAN DEMOKRASI DAN CIVIL SOCIETY DI INDONESIA : suatu perspektif keadaban kewarganegaraan (civic virtue).

(1)

PEMIKIRAN POLITIK DAN GERAKAN SOSIOKULTURAL KEWARGANEGARAAN KAUM INTELEKTUAL MUSLIM

NEO-MODERNIS DALAM PENGUATAN DEMOKRASI DAN CIVIL SOCIETY DI INDONESIA

Suatu Perspektif Keadaban Kewarganegaraan (Civic Virtue)

DISERTASI

Diajukan untuk memenuhi sebagian dari syarat memperoleh Gelar Doktor Ilmu Pendidikan dalam Bidang

Pendidikan Kewarganegaraan

oleh ABDUL ROZAK

NIM : 0909906

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERISTAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG


(2)

DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH PANITIA DISERTASI :

Promotor/Penguji Merangkap Ketua

Prof. Dr. Dasim Budimansyah, M.Si NIP. 19620316 199803 1 003

Ko-Promotor/Penguji Merangkap Sekretaris

Prof. Dr. Endang Sumantri, M.Ed NIP. 19410715 196703 1 001

Anggota/Penguji

Prof. Dr. Udin S. Winataputra, MA NIP. 19451007 197302 1 002

Mengetahui Ketua Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan

Prof. Dr. Sapriya, M.Ed NIP. 19630820 199803 1 001


(3)

DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH PANITIA UJIAN DISERTASI :

Penguji

Prof. Dr. Afif Muhammad, MA NIP. 19480312 198603 1 001

Penguji

Prof. Dr. Sapriya, M.Ed NIP. 19630820 199803 1 001

Mengetahui Ketua Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan

Prof. Dr. Sapriya, M.Ed NIP. 19630820 199803 1 001


(4)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul “PEMIKIRAN POLITIK DAN GERAKAN SOSIOKULTURAL KEWARGANEGARAAN KAUM INTELEKTUAL MUSLIM NEO MODERNIS DALAM PENGUATAN DEMOKRASI DAN CIVIL SOCIETY DI INDONESIA : Suatu Perspektif Keadaban Kewarganegaraan (Civic Virtue)” ini dan seluruh isinya adalah

benar-benar karya saya sendiri. Saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika ilmu yang berlaku dalam masyarakat keilmuan. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung resiko yang dijatuhkan kepada saya apabila di kemudian hari ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya ini, atau ada klaim dari pihak lain terhadap karya saya ini.

Jakarta, Juni 2015

Yang membuat pernyataan

Abdul Rozak


(5)

KATA PENGANTAR

Penelitian disertasi dengan judul “PEMIKIRAN POLITIK DAN GERAKAN SOSIOKULTURAL KEWARGANEGARAAN KAUM INTELEKTUAL MUSLIM NEO-MODERNIS DALAM PENGUATAN DEMOKRASI DAN CIVIL SOCIETY DI INDONESIA: Suatu Perspektif Keadaban Kewarganegaraan (Civic Virtue)” dilatarbelakangi oleh dua hal utama yaitu: Pertama, keadaban kewarganegaraan bagi bangsa Indonesia yang religius, demokratis, toleran, moderat, menghargai pluralitas, menghormati dan menegakkan nilai-nilai kemanusiaan, dan keadilan serta persatuan dalam keragaman merupakan imperatif dan niscaya untuk secara terus menerus diupayakan dan ditegakkan dalam tatanan kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan. Kedua, realitas sosial politik bangsa Indonesia saat ini yang masih dihadapkan dengan berbagai persoalan yang kontra produktif dan destruktif antara lain krisis identitas kebangsaan dimana sebagian generasi bangsa menunjukkan perilaku yang tercerabut dari akar budaya dan nilai-nilai kebangsaan, krisis moral dimana masih tingginya tindakan destruktif pada sebagian bangsa ini seperti tindak pidana korupsi, konflik sosial, tindakan premanisme, tindakan terorisme, konflik internal partai politik, konflik Ahok-DPRD DKI Jakarta, konflik antar penegak hukum (KPK vs Kepolisian) dan tindakan destruktif lainnya.

Berdasarkan realitas tersebut, penelitian ini dilaksanakan dengan satu asumsi bahwa membangun kewarganegaraan berkeadaban merupakan pekerjaan yang berkelanjutan sesuai dengan dinamika dan tantangan yang dihadapi warga negara tersebut dalam mengisi ruang kehidupan, baik dalam skala nasional maupun global. Sebagai kelompok mayoritas dalam penduduk Indonesia, umat Islam berada pada posisi terdepan dalam membangun negara bangsa yang berkeadaban dengan dilandasi oleh spirit religiusitas, moralitas dan nilai-nilai budaya keindonesiaan. Cak Nur dan Gus Dur adalah dua dari sekian intelektual muslim Indonesia sebagai model warganegara yang menunjukkan kepedulian, tanggung jawab dan civic skill nya dengan ide, gagasan, pemikiran dan gerakan sosiokultural kewarganegaraannya yang telah mengkontekstualisasikan dan


(6)

membumikan serta mengintegrasikan nilai-nilai keislaman dengan keindonesiaan, kemodernan dan tatanan global. Begitu juga dengan gerakan sosiokultural kewarganegaraan yang dilakukan kedua guru bangsa ini telah menghadirkan wajah Islam Indonesia sebagai ISLAM RAHMATAN LIL ‘ALAMIIN yaitu Islam yang responsif dan akomodatif terhadap berbagai tantangan modernitas, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta isu global seperti demokrasi, HAM, civil society, dan etika global. Dengan demikian melalui upaya sungguh-sungguh dari kedua warganegara ini yang merupakan bagian integral dari upaya kolektif bangsa terutama dari kalangan komunitas muslim terpelajar wajah Islam Indonesia tampil sebagai Islam yang moderat, toleran, harmoni dan penuh kedamaian serta berkemajuan dalam tatanan kehidupan bangsa Indonesia khususnya dan umat manusia pada umumnya. Melalui upaya tersebut umat Islam Indonesia senantiasa dapat menjalankan amanah dan misi profetik kenabian dan kerasulan Muhammad saw dalam rangka mencerdaskan dan membangun bangsa dan warga negara Indonesia yang berkeadaban, bertanggungjawab, toleran dan demokratis dengan mengedepankan nilai-nilai keadaban kewarganegaraan (civic

virtue) sebagai wujud dari keshalehan sosial warganegara Indonesia sebagai

bagian dari warga global.

Jakarta, Juni 2015


(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Syukur Alhamdulillah peneliti sampaikan ke hadirat ALLAH SWT, Zat yang Maha Kuasa dan Bijaksana, yang mempunyai kehendak di atas segala kehendak makhlukNya”. Shalawat dan salam disampaikan keharibaan Nabi Muhammad SAW, pembawa risalah Ilahiah, pendidik bagi alam semesta, pembawa rahmatan lil ‘alamin dan suri teladan dalam membangun masyarakat berkeadaban. Semoga sebagai umatnya kita senantiasa dapat menjalankan amanah dan misi profetik kenabian dan kerasulannya dalam rangka mencerdaskan dan membangun bangsa dan warga negara yang berkeadaban, bertanggungjawab, mengedepankan nilai-nilai keshalehan sosial, toleran dan demokratis.

Penelitian disertasi ini dengan judul “PEMIKIRAN POLITIK DAN GERAKAN SOSIOKULTURAL KEWARGANEGARAAN KAUM INTELEKTUAL MUSLIM NEO-MODERNIS DALAM PENGUATAN DEMOKRASI DAN CIVIL SOCIETY DI INDONESIA : Suatu Perpektif Keadaban Kewarganegaraan (Civic Virtue)” telah mengalami perjalanan waktu yang cukup panjang. Oleh karena itu sejak penentuan judul sampai penulisan hasil penelitian ini tidak bisa dilepaskan dari kontribusi dan dukungan para pihak, sehingga karya hasil penelitian ini dapat dirampungkan sebagai sebuah karya akademik guna memenuhi sebagian persyaratan dalam penyelesaian studi program doktor pada Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Kontribusi dan dukungan para pihak teraktualisasikan dalam bentuk dukungan moral, bantuan material, arahan, wawasan keilmuan, dan mitra dialog yang konstruktif dan kolegial dalam rangka memberikan bobot mutu disertasi ini. Untuk itu semua, penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan berdo’a semoga segala kebaikan tersebut yang mereka berikan menjadi amal ibadah.

Secara khusus penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada Direktur dan Asisten Direktur SPs UPI Bandung yang dengan segala kebijakannya telah memberikan kesempatan pada peneliti untuk dapat mengikuti studi dan


(8)

mendapatkan pelayanan akademik lainnya pada Sekolah Pascasarjana UPI, para dosen Program Doktor pada Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan antara lain : Prof. Dr. Nu’man Soemantri, M.Sc.; Prof. Dr. Endang Sumantri, M.Ed; Prof. Dr. Abd. Azis Wahab, MA; Prof. Kosasih Jahiri (almarhum); Prof. Dr. Ahmad Sanusi, SH., MPA; Prof. Dr. Wahyudin, M.Pd; Prof. Dr. Dasim Budimansyah, M.Si; Prof. Ace Suryadi, M.Sc., Ph.D; Prof. Dr. Astim Riyanto, Drs. SH, MH; Prof. Dr. Idrus Affandi, SH; Prof. Dr. Sapriya, M.Ed; Prof. Dr. Karim Suryadi, M.Si; Prof. Dr. Udin S. Winataputra, MA; Dr. Mubiyar Purwasasmita, MA; Dr. Cecep Darmawan, M.Si; dan Freddy Kalijernih, MA., Ph.D atas segala ilmu, wawasan akademik dan dorongan yang telah diberikan kepada penulis dalam penguatan dan pengembangan tradisi keilmuan dan akademik khususnya pada bidang keilmuan PKn. Semoga segala kebaikan yang diberikan menjadi amal ibadah dan ilmu yang ditransformasikan menjadi api pencerahan bagi kehidupan warga negara yang berkeadaban

Hal yang sama juga penulis sampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada Tim Promotor yang terpelajar yaitu Prof. Dr. Dasim Budimansyah, M.Si (Promotor); Prof. Dr. Endang Sumantri, M.Ed (Ko-Promotor); dan Prof. Dr. Udin S. Winataputra, MA (Anggota Promotor) sebagai akademisi yang mumpuni yang dengan penuh kesabaran, keikhlasan dan kesediaannya di tengah-tengah kesibukan yang sangat padat, namun masih tetap meluangkan waktu yang sangat memadai untuk memberikan masukan, arahan, koreksi dan saran yang sangat konstruktif dan progresif dalam suasana dialogis dan komunikatif sebagai tim promotor guna menambah bobot mutu keilmiahan karya akademik ini. Semoga segala kebaikan yang diberikan menjadi amal ibadah dan ilmu yang ditransformasikan menjadi api pencerahan bagi kehidupan warga negara yang berkeadaban.

Kepada Tim reveieuer Komisi Sekolah Pascasarjana yang terpelajar yaitu Dr. Uus Kuswaty, M.Sn; Prof. Dr. Sapriya, M.Ed; Dr. Kokom Komalasari, M.Pd; yang telah membaca, menelaah, dan memberikan catatan kritis dan konstruktif untuk perbaikan dan penyempurnaan disertasi, baik dari segi teknis maupun substansi untuk dapat memenuhi standar kualifikasi sebagai karya akademik


(9)

dalam rangka pemenuhan sebagian persyaratan penyelesaian studi program doktor bidang ilmu Pendidikan Kewarganegaraan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Kepada tim revieuer penulis haturkan terima kasih karena telah membukakan jalan menuju tangga ujian tahap 1 pada Program doktor Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Kepada Tim Penguji Disertasi yaitu Prof. Dr. Dasim Budimansyah, M.Si; Prof. Dr. Endang Sumantri, M.Ed; Prof. Dr. Udin S. Winataputra, MA; prof. Dr. Afif Muhamamad, MA dan prof. Dr. Sapriya, M.Ed yang telah menguji promovendus serta memberikan kritik dan perbaikan dalam ujian disertasi tahap I (ujian tertutup) maupun ujian tahap II (ujian promosi) dalam rangka membuka jalan bagi promovendus untuk memperoleh gelar doktor kependidikan bidang ilmu Pendidikan Kewarganegaraan pada Sekolah pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Semoga segala kebaikan yang diberikan menjadi amal ibadah dan ilmu yang ditransformasikan menjadi api pencerahan bagi kehidupan warga negara yang berkeadaban.

Hal yang penting secara khusus penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada Prof. Dr. Dede Rosyada, MA baik sebagai Dekan FITK (2005-2012), Direktur Pendidikan Tinggi Islam Kementerian Agama (2012-2014) dan sebagai Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2015-2019) yang telah memberikan ruang pembelajaran yang sangat kondusif, artikulatif dan pematangan intelektualitas, manajerial serta leadership pada penulis terutama ketika mendampingi beliau sebagai Wakil Dekan bidang Administrasi Umum selama periode 2005-2012 dan beberapa penugasan yang diberikan beliau sebagai tim asistensi ketika menjadi Direktur Pendidikan Tinggi Islam Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama;

Kepada Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajaran pimpinan rektorat, dekan FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajarannya dan para dosen FITK yang senantiasa mendorong dan mengingatkan promovendus untuk segera dapat menyelesaikan studi pada jenjang S-3 di Universitas Pendidikan Indonesia. Begitu juga kepada para Dekan LPTK PTKIN yang tergabung dalam Fordetak yaitu: Dr. Mujiburrahman, MA (LPTK UIN Aceh); Prof. Dr.


(10)

Syafaruddin, M.Pd LPTK UIN Medan); Prof. Dr. Dusuki Samad, MA LPTK IAIN Padang)); Dr. Mas’ud Zein, M.Pd (LPTK UIN Riau); Dr. Kasinyo Harto, MA (LPTK UIN Palembang); Prof. Dr. Syaiful Anwar, M.Pd (Wakil Rektor IAIN Lampung); Dr. Cahirul Anwar, M.Pd (LPTK IAIN Lampung); Dr. Naf’an Tarihoran, M.Hum (LPTK IAIN Banten); (Nurlena Rifa’i, MA., Ph.D (LPTK UIN Jakarta); Prof. Dr. Mahmud, M.Si (LPTK UIN Bandung); Dr. Saefuddin, MA (LPTK IAIN Cirebon); Dr. Suja’i, MA (LPTK UIN Semarang); Dr. Giyoto, M.Hum (LPTK IAIN Surakarta); Prof. Dr. Hamruni, M.Si (LPTK UIN Yogyakarta); Dr. Nur Ali, M.Pd (LPTK UIN Malang); Prof. Dr. Ali Mudhofir, MA (LPTK UIN Surabaya); Dr. Hidayat Ma’ruf, M.Pd (LPTK IAIN Banjarmasim); Dr. Muhammad, M.Pd (LPTK IAIN Mataram); Dr. Shalahuddin, MA (LPTK UIN Makasar); Dr. Idrus Sere, M.Pd (LPTK IAN Ambon);

Ucapan terima kasih dan penghargaan juga disampaikan kepada kawan dan kolega dosen FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta antara lain : Prof. Dr. Abuddin Nata, MA; Prof. Dr. Rusmin Tumanggor, MA; Prof. Dr. Armai Arief, MA; Ir. Mahmud Siregar; Baiqhanna Susanti, M.Sc; Maifalinda Fatra, M.Pd; Dr. Ahmad Sofyan, M.Pd; Wahdi Sayuti, MA; Hindun, M.Pd; Dr. Fauzan, MA; Dr. Farida Hamid, M.Pd; Ahmad Ubaidillah, MA, Ph.D; Drs. Abd. Shomad, MA; Dr. Atiq Susilo, MA; Dr. Faridal Arkam, M.Pd; Dr. Iwan Purwanto, M.Pd; Drs. Syarifullah, M.Si; Dr. Fahriany, M.Pd; Dra. Eny Rosyda, M.Psi; Dr. Moh. Arif, M.Pd; Dr. Marzuki Mahmud, MA; Drs. Masan, M.Pd; Dra. Tati Hartimah, MA; Dr. Abd. Azis Hasibuan, M.Pd; Dr. Salman Tumanggor; Neng Sri Nur’aini, M.Pd; Dr. Khalimi, MA, Dr. Abu Khair, MA dan kawan-kawan dosen FITK lainnya sebagai mitra kolegial dalam pengembangan akademik dan diskursus intelektual; Kepada para pimpinan staf adminstratif di lingkugan FITK UIN Jakarta yaitu: Drs. Ja’far Sanusi, MA; Imam Thabroni, SE; Dra. Ati Rahmawati, Dra. Ratna, M.Pd; Dra. Ati Sugiarti; Ir. Yarsi Berlianti, Sundus Nuzulia, M.Si.; Drs. H. Romli dan Mas Komeng yang senantiasa mendorong dan membantu promovendus dalam penyelesaian studi;

Begitu juga kepada Drs. Wahyuni Nafis, MA sebagai kader muda penerus Nurcholish Madjid dan Direktur Madania School, para pimpinan pegawai


(11)

perpustakaan UIN Jakarta, perpustakaan riset SPs UIN Jakarta, perpustakaan CSIS Jakarta, Perpustakaan UI Depok, Abdurrahman Wahid Center UI Depok; perpustakaan UPI Bandung, Yayasan Wakaf Paramadina, The Wahid Institute; Perpustakaan Pojok Gus Dur PBNU Jakarta; perpustakaan Universitas Paramadina, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengakses sumber-sumber utama dan sekunder untuk keperluan peneltian. Kawan-kawan mahasiswa S-3 Program Studi PKn UPI Bandung angkatan 2009 dan 2010 antara lain Ahmad Zaenuri, Endang Dimyati, Rahmat, Iim Masyitoh, Zainul Slam, Ika Julianti, Tati Hartimah, Miming Karmilah, dan kawan mahasiswa S-3 Program Studi PKn lainnya sebagai mitra dialog dan pematangan akademik bidang keilmuan PKn serta senantiasa mendorong untuk bersama-sama dapat menyelesaikan studi;

Kepada kedua orang tua (Ibu Rohmah dan Ayahanda Marzuki) dan bapak-ibu mertua (H. Shidik dan Hj. Anih), kepada istri tercinta Siti Jubaidah dan ananda tersayang Mohammad Wafid Zurrahman serta keluarga besar penulis atas segala do’a restu yang penuh ketulusan dan tiada henti untuk mendorong keberhasilan promovendus dalam studi sejak di bangku madrasah sampai ke jenjang S-3. Dukungan moral dan segala pengorbanan yang sangat besar diberikan untuk kelancaran kuliah jenjang S-3 dan penyelesaian tugas akhir penulisan disertasi maupun dalam pelaksanaan tugas lainnya kepada penulis dalam mengemban amanah yang telah dipercayakan.

Akhirnya semoga karya hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat dan dapat mengisi ruang yang masih kosong dalam pengembangan keilmuan bidang Pendidikan Kewarganegaraan serta menambah khazanah karya keislaman dan keindonesiaan dalam perjalanan bangsa dan negara Indonesia dalam memasuki era demokrasi dan pembentukan warga negara berkeadaban dan berwawasan global sebagai projek bangsa dan negara yang tiada henti.

Jakarta, Juni 2015 Promovendus


(12)

KEWARGANEGARAAN KAUM INTELEKTUAL MUSLIM NEO-MODERNIS DALAM PENGUATAN DEMOKRASI DAN CIVIL SOCIETY DI INDONESIA: Suatu Perspektif Keadaban Kewarganegaraan bertujuan untuk mendeskripsikan pemikiran politik dan gerakan

sosiokultural kewarganegaraan Nurcholish Madjid (Cak Nur) dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam penguatan demokrasi dan civil society di Indonesia. Fokus penelitian ini terkait dengan: (a) Perjalanan sejarah sosial intelektual Cak Nur dan Gus Dur dalam peta intelektual Indonesia; (b) Paradigma pemikiran politik Cak Nur dan Gus Dur; (c) Pola gerakan sosiokultural kewarganegaraan Cak Nur dan Gus Dur dalam penguatan demokrasi dan civil society di Indonesia berdasarkan perspektif keadaban kewarganegaraan; (d) Dampak dan relevansi pemikiran politik dan gerakan sosiokultural kewarganegaraan Cak Nur dan Gus Dur dalam konteks penguatan demokrasi dan civil society di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan dengan metode studi tokoh. Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan kerangka kerja penelitian sejarah sosial intelektual. Data primer penelitian dari sumber pustaka yang ditulis oleh Cak Nur dan Gus Dur, sedangkan data sekunder dari tulisan pihak lain yang memiliki relevansi dengan fokus penelitian ini. Data dianalisis berdasarkan analisis wacana kritis, analisis isi, analisis hermeneutik serta analisis reflektif inkuiri untuk mendapatkan temuan hasil penelitian. Temuan penelitian menegaskan bahwa Cak Nur dan Gus Dur merupakan dua warga negara yang berasal dari daerah dan latar belakang kultural yang sama, namun berbeda dalam strategi gerakan. Keduanya berada dalam titik temu sebagai pemikir dan intelektual neo-modernis dalam merespons masalah-masalah kewarganegaraan. Cak Nur dan Gus Dur berpandangan bahwa Islam sebagai ideologi dan agama menjadi faktor utama dalam mendorong modernisasi, meneguhkan semangat kebangsaan yang multikultural dan menjadikan nilai dan substansi ajaran Islam sebagai etos dan nilai-nilai keadaban dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan tanpa harus menjadikan Indonesia sebagai negara Islam, tetapi negara Pancasila. Kedua tokoh ini menempuh gerakan Islam kultural sebagai model dari gerakan sosiokultural kewarganegaraan untuk penguatan demokrasi dan civil society di Indonesia. Melalui gerakan tersebut dilakaukan pengembangan nilai-nilai keadaban kewarganegaraan yang dijadikan sebagai acuan dalam etika sosial politik bagi warga negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Nilai-nilai keadaban kewarganegaraan yang dirumuskan Cak Nur dan Gus Dur mencakup nilai: pluralitas, penghargaan terhadap perbedaan, kebersamaan, silaturahmi-ta’aruf, penghormatan terhadap minoritas, humanitarian, kebangsaan, empati, toleran, egaliter, solidaritas bangsa, keadilan sosial. Nilai-nilai keadaban kewarganegaraan tersebut dapat mendorong lahirnya keadaban demokrasi (democracy civility) dan keadaban kewarganegaraan dalam menguatkan demokrasi dan peran civil society di Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian direkomendasikan untuk melakukan rekonstruksi materi dan metode pendidikan kewarganegaraan sebagai sebuah paradigma baru berdasarkan tradisi keilmuan Islam dan kearifan lokal keindonesiaan.

Kata Kunci: pemikiran politik, gerakan sosiokultural kewarganegaraan, demokrasi, civil

society, dan keadaban kewarganegaraan


(13)

The title of research POLITICAL THOUGHT AND SOCIOCULTURAL CITIZENSHIP MOVEMENT OF NEO-MODERNIST MUSLIMS INTELLECTUAL IN STRENGTHENING DEMOCRACY AND CIVIL SOCIETY IN INDONESIA : A Civic Virtue Perspective has been the objectives to describe in depth about political thought and sosiocultural citizenship movement of Nurcholish Madjid (Cak Nur) and Abdurrahman Wahid (Gus Dur) in strengthening democracy and civil society in Indonesia within the perspective civic virtue. This study dealth with: (a) Social history of intellectual Cak Nur and Gus Dur in the intellectual map of Indonesia; (b) The paradigm of political thought of Cak Nur and Gus Dur as well as models of political thought both figures; (c) Sociocultural movement patterns for citizenship of Cak Nur and Gus Dur in the strengthening democracy and civil society in Indonesia; (d) Impact and relevance of political thoughts and sociocultural movements citizenship of Cak Nur and Gus Dur to the context of strengthening democracy and civil society in Indonesia according from the prespective civic virtue. This research was a library research and literature the figures methods. The approach user this study was social history of intellectual research. Data were obtained from published sources written by two characters that were examined as the primary data source. The secondary source was obtained from the writings of others that have relevance to the focus of this study. The data were analyzed based on critical discourse analysis, content analysis, hermeneutic analysis and reflective inquiry to get the findings.The findings of the study confirms that Cak Nur and Gus Dur were two citizens from the same area and cultural background of the family. The citizens of this country have different learning environment in the developing and strengthening their intellectualism. This research also showed Cak Nur and Gus Dur had the same point of view that in Indonesia, in functioning of Islam as a religion and ideology. Those have become the main factors to develop modernization and citizenship even Indonesia is not an Islamic country, but it is based on Pancasila. Nevertheless, both of them have develop the same movement in responding the issues related to citizenship and the relationship between Islam, politics and civil society. As political thinker based on Islamic and modernity perspectives, Cak Nur and Gus Dur have formulated civic virtue values such as: pluralism, appreciation of diversity, equality, egality, equity, humanity, nationalism, emphaty, tolerance, solidarity, and social justice. Both of them formulated and developed the value and substance of the teachings of Islam as the ethos and values of civility in our nationhood and statehood like democracy civility and civic virtue in the strengthening of democracy and civil society in Indonesia. Based on research findings it can be recommended to reconstruct contents and methods as new paradigm of civic education based on Islamic knowledges tradition and local wisdoms in Indonesian setting as well as.

Keywords: political thought, sociocultural movement of citizenship, the strengthening democracy and civil society, civic virtue


(14)

(15)

Abdul Rozak, 2015

PEMIKIRAN POLITIK DAN GERAKAN SOSIOKULTURAL KEWARGANEGARAAN KAUM

INTELEKTUAL MUSLIM NEO-MODERNIS DALAM PENGUATAN DEMOKRASI DAN CIVIL SOCIETY

DAFTAR ISI

Halaman

Lembar Persetujuan………...… ii

Lembar Pernyataan………...…. iii

Abstrak ... iv

Abstract ... v

Kata Pengantar ... vi

UcapanTerima Kasih ... viii

Daftar Isi ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang Penelitian ... 1

1. Islam sebagai Agama Rahmatan lil ‘Alamin ... 1

2. Islam dalam Realitas Historis dan Sosio-Politik ... 14

3. Islam dalam Konteks Ke-Indonesia-an sebagai Negara Bangsa, Masalah-masalah Demokrasi dan Kebangsaan pada Era Reformasi ... 23

4. Realitas Sosio-Politik terkait dengan Konflik Sosial, Konflik Agama, Radikalisme Agama, dan Terorisme ... 35

5. Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid : Model Respons Positif dan Tanggung Jawab Warga Negara Visioner terhadap Isu-isu Kewarganegaraan dalam Realitas Keislaman, Ke-Indonesia-an, Kemodernan dan Dunia Global ... 44 6. Keterkaitan Pemikiran Politik dan Gerakan Sosio


(16)

Abdul Rozak, 2015

PEMIKIRAN POLITIK DAN GERAKAN SOSIOKULTURAL KEWARGANEGARAAN KAUM

INTELEKTUAL MUSLIM NEO-MODERNIS DALAM PENGUATAN DEMOKRASI DAN CIVIL SOCIETY

Keilmuan Pendidikan Kewarganegaraan ... 68

B.Identifikasi dan Perumusan Masalah Penelitian ... 79

C.Tujuan Penelitian ... 80

D.Manfaat Penelitian ... 81

E. Sistematika Penulisan ... 82

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 85

A.Pemikiran Politik dalam Tradisi Intelektual Islam ... 85

1. Hakikat Pemikiran Politik Islam ... 85

2. Paradigma Teoritik Pemikiran Politik Islam dalam Khazanah Keilmuan Islam ... 98

3. Isu-isu dalam Pemikiran Politik Islam : Respons Intelektual Muslim Islam terhadap Relasi Islam dan Negara Demokrasi, Islam dan Civil Society ... 113

a. Islam dan Negara Demokrasi ... 113

b. Islam dan Pengembangan Civil Society dalam Kerangka Penguatan Demokrasi ... 133

4. Islam dan Etika Politik : Berpolitik dalam Bingkai Nilai-nilai Etis pada Warganegara ... 157

B.Neo-Modernisme sebagai Mazhab Pemikiran Islam Kultural dan Gerakan Sosiokultural Kewarganegaraan ... 192

C.Gerakan Sosiokultural Kewarganegaraan sebagai Wahana dan Strategi Penguatan Demokrasi, Civil Society dan Keadaban Kewarganegaraan ... 199

1. Hakikat Gerakan Sosiokultural Kewarganegaraan ... 199

2. Dasar teoritis Gerakan Sosiokultural Kewarganegaraan ... 204 3. Peranan Pendidikan Kewarganegaraan dalam

Pengembangan Etika Politik dan


(17)

Abdul Rozak, 2015

PEMIKIRAN POLITIK DAN GERAKAN SOSIOKULTURAL KEWARGANEGARAAN KAUM

INTELEKTUAL MUSLIM NEO-MODERNIS DALAM PENGUATAN DEMOKRASI DAN CIVIL SOCIETY

Kerangka Penguatan Demokrasi danCivil Society ... 219

D.Penelitian Terdahulu yang Relevan : Kajian Keterkaitan Penelitian ini dengan Penelitian Lainnya ... 251

BAB III METODE PENELITIAN ... 268

A.Pendekatan dan Jenis Penelitian ... 268

B.Subjek Penelitian ... 277

C.Langkah-langkah Penelitian ... 277

D.Teknik Pengumpulan Data ... 279

E. Teknik Analisis Data ... 280

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 286

A.Pemikiran Politik dan Gerakan Sosiokultural Kewarganegaraan Nurcholish Madjid dalam Penguatan Demokrasi, Masyarakat Madani, dan Pengembangan Nilai-nilai Keadaban Kewarganegaraaan (Civic Virtue) di Indonesia ... 286

1. Biografi Nurcholish Madjid sebagai Intelektual Muslim Neo-Modernis di Indonesia ... 286

2. Kegiatan dan Karier Intelektual Nurcholish Madjid ... 305

3. Tema Pokok Pemikiran Nurcholish Madjid dalam Karya-karya Intelektualnya ... 310

4. Posisi Nurcholish Madjid dalam Peta Bumi Intelektual Indonesia ... 319 5. Pemikiran Politik Nurcholish Madjid tentang

Islam dan Negara Demokrasi, Islam dan Keindonesiaan-Pancasila, Islam dan Hak Asasi


(18)

Abdul Rozak, 2015

PEMIKIRAN POLITIK DAN GERAKAN SOSIOKULTURAL KEWARGANEGARAAN KAUM

INTELEKTUAL MUSLIM NEO-MODERNIS DALAM PENGUATAN DEMOKRASI DAN CIVIL SOCIETY Manusia, Islam dan Masyarakat Madani, Islam

dan Etika Politik serta Nilai-nilai

Keadaban Kewarganegaraan ... 323 a) Pemikiran Politik Nurcholish Madjid tentang Islam

dan Negara Demokrasi ... 323 b) Pemikiran Politik Nurcholish Madjid tentang

Islam dan Keindonesiaan-Pancasila sebagai Tatanan

dalam Kemasyarakatan, Kebangsaan dan Kenegaraan ... 333 c) Pemikiran Politik Nurcholish Madjid tentang Islam dan

Hak Asasi Manusia ... 338 d) Pemikiran Politik Nurcholish Madjid tentang Islam dan

Pengembangan Masyarakat Madani ... 347 e) Pemikiran Politik Nurcholish Madjid tentang Etika

Politik : Membangun Nilai-nilai Keadaban

Kewarganegaraan dalam Kehidupan Bermasyarakat,

Berbangsa dan Bernegara ... 370 6. Gerakan Sosiokultural Kewarganegaraan Nurcholish

Madjid dalam Penguatan Demokrasi, Pengembangan Masyarakat Madani dan Pengembangan Nilai-nilai Keadaban Kewarganegaraan Indonesia : Sebuah Model Alternatif dalam Pendidikan

Kewarganegaraan Kemasyarakatan (Community

Civic Education) ... 393 a) Kelembagaan Gerakan

Sosiokultural Kewarganegaraan ... 398 b) Strategi untuk Memelihara Keberlanjutan

Gagasan dan Gerakan

Sosiokultural Kewarganegaraan ... 407 B.Pemikiran Politik dan Gerakan Sosiokultural


(19)

Abdul Rozak, 2015

PEMIKIRAN POLITIK DAN GERAKAN SOSIOKULTURAL KEWARGANEGARAAN KAUM

INTELEKTUAL MUSLIM NEO-MODERNIS DALAM PENGUATAN DEMOKRASI DAN CIVIL SOCIETY Kewarganegaraan Abdurrahman Wahid dalam

Penguatan Demokrasi, Masyarakat Sipil, dan

Pengembangan Nilai-nilai Keadaban Kewarganegaraaan

(Civic Virtue) di Indonesia ... 421 1. Biografi Abdurrahman Wahid sebagai Intelektual

Muslim Neo-Modernis di Indonesia ... 421 2. Kegiatan dan Karier Intelektual Abdurrahman

Wahid ... 428 3. Tema Pokok Pemikiran Abdurrahman Wahid

dalam Karya-karya Intelektualnya ... 430 4. Posisi Abdurrahman Wahid dalam Peta Bumi

Intelektual Indonesia ... 437 5. Pemikiran Politik Abdurrahman Wahid tentang Islam

dan Negara Demokrasi, Islam dan Keindonesiaan -Pancasila, Islam dan Hak Asasi Manusia, Islam dan Masyarakat Sipil dan Islam dan Etika Politik-

Nilai-nilai Keadaban Kewarganegaraan ... 438 a) Pemikiran Politik Abdurrahman Wahid tentang

Islam dan Negara Demokrasi ... 438 b) Pemikiran Politik Abdurrahman Wahid tentang

Islam dan Keindonesiaan-Pancasila sebagai Tatanan dalam Kemasyarakatan, Kebangsaan dan

Kenegaraan ... 476 c) Pemikiran Politik Abdurrahman Wahid tentang,

Islam dan Hak Asasi Manusia ... 487 d) Pemikiran Politik Abdurrahman Wahid tentang

Islam dan Pengembangan Masyarakat Sipil ... 492 e) Pemikiran Politik Nurcholish Madjid tentang Etika


(20)

Abdul Rozak, 2015

PEMIKIRAN POLITIK DAN GERAKAN SOSIOKULTURAL KEWARGANEGARAAN KAUM

INTELEKTUAL MUSLIM NEO-MODERNIS DALAM PENGUATAN DEMOKRASI DAN CIVIL SOCIETY Kewarganegaraan dalam Kehidupan Bermasyarakat,

Berbangsa dan Bernegara ... 494

6. Gerakan Sosiokultural Kewarganegaraan Abdurrahman Wahid dalam Penguatan Demokrasi, Masyarakat Sipil dan Pengembangan Nilai-nilai Keadaban Kewarganegaraan Indonesia : Sebuah Model Alternatif dalam Pendidikan Kewarganegaraan Kemasyarakatan (Community Civic Education) ... 509

a) Kelembagaan Gerakan Sosiokultural Kewarganegaraan ... 509

b) Strategi untuk Memelihara Keberlanjutan Gagasan dan Gerakan Sosiokultural Kewarganegaraan ... 512

C.Dampak Pemikiran Politik dan Gerakan Sosiokultural Kewarganegaraan Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid dalam Penguatan Demokrasi, Civil Society dan Pengembangan Nilai-nilai Keadaban Kewarganegaraan (Civic Virtue) di Indonesia ... 520

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 543

A.Simpulan ... 543

1. Simpulan Umum ... 543

2. Simpulan Khusus ... 545

B.Implikasi ... 556

C.Dalil-dalil ... 558

D.Rekomendasi ... 560


(21)

Abdul Rozak, 2015

PEMIKIRAN POLITIK DAN GERAKAN SOSIOKULTURAL KEWARGANEGARAAN KAUM

INTELEKTUAL MUSLIM NEO-MODERNIS DALAM PENGUATAN DEMOKRASI DAN CIVIL SOCIETY


(22)

Abdul Rozak, 2015

PEMIKIRAN POLITIK DAN GERAKAN SOSIOKULTURAL KEWARGANEGARAAN KAUM INTELEKTUAL A.Latar Belakang Penelitian

1. Islam sebagai Agama Rahmatan lil ‘Alamin

Islam merupakan salah satu agama samawi yang sejak kelahirannya di Mekkah Arab Saudi sampai saat ini telah tersebar ke berbagai kawasan dan penjuru negara di dunia dengan komposisi populasi yang berbeda-beda antara satu negara dengan negara lain seperti Indonesia. Kata agama dalam bahasa Arab disebut ad-din. Kata ad-din secara etimologi berarti ketaatan dan ketundukan terhadap sesuatu. Dalam al-Qur’an kata tersebut dipergunakan untuk arti-arti lain seperti agama, pembalasan, keputusan, kekuasaan, jalan, dan sebagainya. Adapun secara istilah kata ad-din berarti sesuatu yang dipeluk dan diyakini oleh manusia baik berupa hal-hal yang bersifat fisik maupun metafisik. Dalam istilah Islam, ad-din berarti al-taslim li Allah wa al-inaqiyad lah (penyerahan diri kepada Allah dan ketundukan kepada,Nya). Kata ad-din diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kata “agama”, dan dalam bahasa Inggris sebagai

relegion. Meski penerjemhan itu tidak sepenuhnya benar dan tepat, tetapi tidaklah salah,

karena dalam al-Qur’an dan bahasa Arab, Agama Yahudi, Kristen, dan agama lain yang bersifat polities pun disebut sebagai ad-din. Hanya saja terdapat perbedaan karakteristik antara Islam, dan agama lainnya, baik kelompok agama samawi maupun kelompok agama ardhi. (Abdillah, 2011: xi).

Dalam studi agama (comperative study of religion) terdapat dua kelompok agama yaitu agama samawi dan agama ardhi. Agama samawi adalah agama yang sumber ajarannya berasal dari wahyu Tuhan kepada rasul-Nya yang selanjutnya disampaikan kepada para umatnya, sedangkan agama ardhi adalah agama yang sumber ajarannya berasal dari refleksi dan perenungan secara mendalam melalui proses mediasi yang dilakukan oleh seorang manusia yang menjadi tokohnya untuk memperoleh kebenaran. Yang termasuk agama samawi adalah Yahudi, Nasrani, dan Islam, sedangkan yang termasuk agama ardhi adalah Hindu, Budha, Majusi, Konghucu dan agama lokal (Nata, 2011: 119-122).


(23)

Terkait dengan jumlah penduduk, Indonesia saat ini disebut sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Indonesia adalah negara yang jumlah penduduknya terbesar keempat di dunia dari dua puluh negara di dunia. Berikut adalah 20 negara berpenduduk terbesar di dunia yaitu: 1) China = 1.355.692.576; 2) India = 1.236.344.631; 3) Amerika Serikat = 318.892.103; 4) Indonesia = 253.609.643; 5) Brasil = 202.656.788; 6) Pakistan = 196.174.380; 7) Nigeria = 177.155.754; 8) Bangladesh = 166.280.712; 9) Russia = 142.470.272; 10). Jepang = 127.103.388; 11). Meksiko = 120.286.655; 12). Philippina = 107.668.231; 13) Ethiopia = 96.633.458; 14) Vietnam = 93.421.835; 15) Mesir = 86.895.099; 16) Turki = 81.619.392, 17) Jerman = 80.996.685; 18) Iran = 80.840.713; 19) Kongo = 77.433.744; 20) Thailand = 67.741.401. Dilihat dari segi agama yang dianut oleh penduduknya, Indonesia adalah negara yang terdapat di dalamnya enam agama resmi yang diakuinya sesuai dengan status agama yang sah menurut negara yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Menurut hasil sensus tahun 2010, sebanyak 87,18% dari 237.641.326 penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam, 6,96% beragama Protestan, 2,9% beragama Katolik, 1,69% pemeluk Hindu, 0,72% beragama Buddha, 0,05% beragama Konghucu, 0,51% agama lainnya.

Sebagai negara yang mengakui keberadaan agama-agama, hubungan agama dan negara di Indonesia menjadi salah satu isu penting dan strategis untuk dipertimbangkan dalam kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan bukan hanya pada pada era transisi menuju demokrasi saat ini, melainkan telah berlangsung sejak awal menjelang kemerdekaan terutama ketika merumuskan tentang dasar negara Indonesia merdeka. Diantara agama di Indonesia yang memiliki keterkaitan langsung dengan masalah kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan adalah Islam. Menurut Fachruddin (2006: 1-2), ada tiga alasan pentingnnya isu hubungan agama dan negara dikaji dan dijelaskan dalam kehidupan kenegaraan. Pertama, meskipun Indonesia bukan negara sekular dan juga bukan negara agama (teokratis) warga negaranya menikmati kebebasan beragama sebagai diatur dan dijamin dalam UUD 1945. Kedua, konsep bhineka tunggal ika yang menjadi dasar kehidupan berbangsa dan bernegara menyiratkan adanya rasa hormat dan toleransi terhadap perbedaan agama dan kelompok agama. Ketiga, masih adanya perdebataan diantara sarjana muslim sendiri maupun agama lainnya terkait apakah Islam mendukung proses demokrasi atau tidak.


(24)

Berkaitan dengan isu alasan ketiga di atas, sarjana non muslim terbagi dalam dua kubu yaitu kubu rejektionis dan kubu akomodasionis (Fachruddin, 2006: 3). Pertama, kubu rejektionis yakni mereka yang berpendapat bahwa Islam termasuk konsep dan praktik Islam tentang masyarakat madani tidak mendukung demokrasi. Alasannya adalah bahwa budaya bangsa Arab dan Islam tidak sesuai dengan demokrasi karena kurang member perhatian dan dukungan terhadap liberalisasi politik serta berpandangan bahwa tidak ada nilai-nilai demokrais dalam Islam. Ilmuwan Barat dalam kelompok ini adalah Esposito, Lewis, Huntington, Stepan. Kedua, kubu akomodasionis, yang berpandangan bahwa nilai fundamental Islam sangat cocok dengan demokrasi. Begitu juga di kalangan sarjana muslim terbagi dalam dua kutub terkait dengan hubungan anatara Islam dan demokrasi (Fachruddin, 2006: 3). Pertama, kubu Islamis yang beranggapan bahwa demokrasi tidak sesuai dengan ajaran Islam karena demokrasi menekankan pada kedaulatan rakyat-sebuah konsep yang bertentangan dengan ajaran fundamental Islam tentang hakimiyyah Allah (kedaulatan Tuhan) sebagaimana dikemukakan oleh al-Maududi dan Goddard. Kedua, kubu liberalis, modernis, atau reformis yang berpendapat bahwa demokrasi bukanlah konsep monolitik namun lebih merupakan fenomena yang kompleks dan oleh sebab itu berbagai bentuk demokrasi dapat saja berkembang di dalam masyarakat muslim maupun non muslim. Islam sebagai sebuah agama samawi mengandung ajaran fundamental yang mempunyai kesamaan dengan nilai-nilai dalam demokrasi seperti musawwat (kesetaraan), hurriyah (kebebasan), syura (musyawarah),

‘adl (keadilan), ijtihad (kebebasan berpikir-reinterpretasi), ijma’, (konsensus), ikhtilaf (perbedaan pendapat), istishlah (kemaslahatan umum), tasamuh (toleransi), dan hisba (akuntabilitas publik).

Dalam realitas sosial politik, Indonesia disebut juga sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia ternyata telah berhasil membangun dan menerapkan sistem demokrasi dalam kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan. Meskipun wujud demokrasi yang berhasil dibangun di Indonesia masih dalam tahapan demokrasi formal, legal, prosedural dan sedang berupaya keras dan sungguh-sungguh menuju terwujudnya demokrasi substansial. Demokrasi sebagai sistem nilai yang berintikan pada pandangan dan kesadaran bahwa kekuasaan substantif dalam penyelenggaraan negara berada di tangan rakyat, menghormati keragaman, keteraturan, mengedepankan supremasi sipil, persamaan di depan hukum, menjunjung tinggi kemanusiaan dan


(25)

akuntabilitas dalam pemerintahan dan dalam kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan. Keberhasilan Indonesia sebagai salah satu kampiun negara demokrasi yang berpenduduk mayoritas muslim terbesar di dunia tersebut diwujudkan dalam pelaksanaan pemilu legislatif dan eksekutif terutama dalam era reformasi secara langsung, aman, damai, adil, jujur, bebas dan rahasia. Pemilu yang demikian sebagai salah satu pilar utama demokrasi dan menjadikan Indonesia sebagai salah satu kampiun negara demokrasi terbesar di dunia yang mewakili negara berpenduduk muslim terbesar. Kehadiran demokrasi di Indonesia tidak terlepas dari peran besar yang diberikan umat Islam dan para intelektual muslim dalam membangun tatanan kehidupan yang demokratis. Indonesia adalah negara demokratis terbesar ketiga setelah Amerika dan India. Hal paling istemewa, Indonesia adalah negeri berpenduduk mayoritas muslim yang mampu menyandingkan Islam dan demokrasi dalam satu wadah yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ber-Bhineka Tunggal Ika. Indonesia adalah salah satu dari sedikit negara yang mampu mencapai dan menciptakan apa yang oleh Leonard Binder disebut sebagai “sintesis yang tidak mudah” (uneasy synthesis) antara

Islam dan nation state (Binder, 1979; Musa, 2013 : 141).

Pemilu sebagai salah satu pilar demokrasi di Indonesia telah berlangsung sejak awal era kemerdekaan sampai saat ini. Pemilu 1955 merupakan pemilu pertama di Indonesia dan sering disebut oleh ilmuwan politik sebagai model pemilu yang paling demokratis meski pelaksanaannya situasi saat itu negara belum kondusif dan normal. Tak kurang dari 80 partai politik, organisasi massa, dan puluhan perorangan ikut serta mencalonkan diri pada pemilu tersebut. Dalam pemilu 1955 masyarakat memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante yang dilakukan dalam dua periode. Periode pertama tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota DPR dan periode kedua pada 15 Desember 1955 untuk memilih anggota Konstituante. Saat itu anggota angkatan bersenjata dan polisi ikut berpartisipasi. Dari pelaksanaannya, pemilu pertama bisa dikatakan sukses dan berlangsung damai, dimana tingkat partisipasi warga begitu tinggi. Suara sah saat pemilu pada 1955 mencapai 88 persen dari 43 juta pemilih. Sedangkan pemilih yang suaranya tidak sah atau tidak datang (golput) hanya sebesar 12,34 persen. 5 Juli 1971 menjadi pemilu kedua yang dilaksanakan dan merupakan Pemilu pertama zaman Orde Baru yang saat itu diikuti 10 partai politik dan partai baru golongan karya (golkar) menjadi pemenangnya. Beberapa parpol pada Pemilu 1955 tidak lagi ikut serta


(26)

karena dibubarkan, seperti Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Partai Masyumi), Partai Sosialis Indonesia (PSI), dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Dalam pelaksanaan Pemilu 1971 menggunakan sistem proporsional dengan daftar tertutup dan semua kursi terbagi habis di setiap daerah pemilihan. Golkar pada pemilu 1971 menang dengan mengantongi 62,8 persen suara (236 kursi DPR), disusul partai lain seperti Nahdlatul Ulama (NU), Parmusi, Partai Nasional Indonesia, dan Partai Syarikat Islam Indonesia. Banyak perdebatan antara pakar sejarah politik tentang kadar demokrasi dalam pemilu 1971 ini. Karena banyaknya indikator sebuah pemilihan umum demokratis yang tidak terpenuhi atau bahkan ditinggalkan sama sekali. Hal ini tidak terlepas dari proses transisi kepemimpinan yang diawali oleh peristiwa berdarah yang kemudian membuat politik Indonesia disebut-sebut masuk kedalam sebuah era pretorianisme militer. Sebuah era dimana militer selalu mempunyai peran penting dalam menjaga serta mempertahankan kekuasaan. Meski demikian, di pemilu ini, golput yang pertama kali dicetuskan dan dikampanyekan justru mengalami penurunan sekitar 6,67 persen. Pemilu ketiga dilakukan pada tanggal 2 Mei 1977. Secara proses tidak berbeda jauh dengan sistem yang digunakan pada pemilu 1971 yaitu menggunakan Sistem Proporsional. Ciri khas dari pelaksanaan sistem pemilu 1977 ialah jumlah partai yang mengikuti pemilu hanya tiga, yakni PPP, PDI dan Golkar. Ini terjadi setelah sebelumnya pemerintah bersama-sama dengan DPR berusaha menyederhanakan jumlah partai dengan membuat UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar. Dalam penghitungannya, dari 70 Juta lebih pemilih, hampir 64 juta suara yang sah atau sekitar 90,93 persen dan Golkar sebagai pemenangnya. Pemilihan Umum keempat tahun 1982 dilakukan serentak tanggal 4 Mei 1982. Sistem dan tujuannya sama dengan tahun 1977, di mana hendak memilih anggota DPR (parlemen). Hanya saja, komposisinya sedikit berbeda. Sebanyak 364 anggota dipilih langsung oleh rakyat, sementara 96 orang diangkat oleh presiden. Pemilu ini dilakukan berdasarkan Undang-undang No. 2 tahun 1980. Sementara untuk suara yang sah dalam perhitungan pemilu tahun 1982 mencapai 75 Juta lebih dimana Golkar tetap menjadi pemenangnya. Pemilu berikutnya tahun 1987 yang dilakukan tanggal 23 April 1987. Masih dalam masa Orde Baru dimana secara sistem dan tujuan pemilihan masih sama dengan pemilu sebelumnya yaitu memilih anggota parlemen. Total kursi yang tersedia adalah 500 kursi. Dari jumlah ini, 400 dipilih secara langsung dan 100 diangkat oleh Presiden Suharto. Sistem Pemilu yang digunakan sama seperti pemilu


(27)

sebelumnya, yaitu Proporsional dengan varian Party-List. Di pemilu tahun ini dari 93 Juta lebih pemilih, sekitar 85 juta suara yang sah atau sebanyak 91,32 persen. Pemilu kelima yang dilakukan secara periodik pada pemerintahan Orde Baru dilaksanakan pada tanggal 9 Juni 1992. Tidak jauh berbeda dengan pemilu sebelumnya, secara sistem dan tujuan juga masih tetap sama. Sementara untuk suara yang sah tahun 1992 mencapai 97 Juta lebih suara, dari total pemilih terdaftar 105.565.697 orang dimana Golkar sebagai pemenangnya. Pemilu 1997 merupakan Pemilu terakhir di masa pemerintahan Presiden Suharto. Pemilu ini diadakan tanggal 29 Mei 1997. Sistem dan tujuan penyelenggaraan pemilu masih sama yakni, Proporsional dengan varian Party-List. Dimana saat itu memilih 424 orang anggota DPR. Pada tanggal 7 Maret 1997, sebanyak 2.289 kandidat (caleg) telah disetujui untuk bertarung guna memperoleh kursi parlemen. Pemilu 1997 ini menuai sejumlah protes. Di Kabupaten Sampang, Madura, puluhan kotak suara dibakar massa disebabkan kecurangan pelaksanaan pemilu yang dianggap sudah keterlaluan dan di tahun ini jumlah suara yang sah hampir 113 Juta suara dimana Golkar sebagai pemenangnya. Pemilu berikutnya tahun 1999 yang sekaligus menjadi Pemilu pertama sesudah runtuhnya Orde Baru dan dilangsungkan tanggal 7 Juni. Pemilu ini diadakan di bawah kepemimpinan Presiden B.J. Habibie. Terselenggara di bawah sistem politik Demokrasi Liberal. Artinya, jumlah partai peserta tidak lagi dibatasi seperti pemilu-pemilu lalu yang hanya terdiri dari Golkar, PPP, dan PDI. Jumlah partai yang terdaftar di Kementrian Hukum dan HAM adalah 141 partai, sementara yang lolos verifikasi untuk ikut Pemilu 1999 adalah 48 partai. Tidak seperti pemilu-pemilu sebelumnya, Pemilu 1999 mengalami beberapa hambatan di antaranya dalam proses perhitungan suara, dimana terdapat 27 partai politik yang tidak bersedia menandatangani berkas hasil pemilu 1999. Masalah selanjutnya adalah pembagian kursi. Perbedaan antara Pemilu 1999 dengan Pemilu 1997 adalah bahwa pada Pemilu 1999 penetapan calon terpilih didasarkan pada rangking perolehan suara suatu partai di daerah pemilihan. Pemilu 1999 ini sama dengan metode yang digunakan pada Pemilu 1971, sedangkan angka partisipasi pemilih mencapai 94.63 persen. Sementara angka Golput hanya sekitar 5,37 persen saja. Pemilu 2004 diselenggarakan secara serentak pada tanggal 5 April 2004 untuk memilih 550 Anggota DPR, 128 Anggota DPD, serta Anggota DPRD (DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota) se-Indonesia periode 2004-2009. Sedangkan untuk memilih presiden dan wakil presiden untuk masa bakti 2004-2009 diselenggarakan


(28)

pada tanggal 5 Juli 2004 (putaran I) dan 20 September 2004 (putaran II). Pemilu 2004 merupakan sejarah tersendiri bagi pemerintahan Indonesia dimana untuk pertama kalinya rakyat Indonesia memilih presidennya secara langsung sekaligus membuktikan upaya serius mewujudkan sistem pemerintahan Presidensil yang dianut oleh pemerintah Indonesia. Sistem pemilu yang digunakan adalah Proporsional dengan Daftar Calon Terbuka. Proporsional Daftar Calon Terbuka adalah sistem pemilihan mengikuti jatah kursi di tiap daerah pemilihan. Jadi, suara yang diperoleh partai-partai politik di tiap daerah selaras dengan kursi yang mereka peroleh di parlemen. Pemilu 2004 ini adalah periode pertama kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono. Meski demikian di Pemilu Legislatif jumlah pemilih terdaftar yang tidak memakai hak pilihnya cukup besar yakni sekitar 23 juta lebih suara, dari jumlah pemilih terdaftar 148 Juta pemilih, atau 16 persen tidak memakai hak pilihnya. Pemilu 2009 merupakan pemilu ketiga pada masa reformasi yang diselenggarakan secara serentak pada tanggal 9 April 2009 untuk memilih 560 Anggota DPR, 132 Anggota DPD, serta Anggota DPRD (DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota) se-Indonesia periode 2009-2014. Sedangkan untuk memilih presiden dan wakil presiden untuk masa bakti 2009-2014 diselenggarakan pada tanggal 8 Juli 2009 (satu putaran). Pemilu 2009 dilaksanakan menurut Undang-undang Nomor 10 tahun 2008. Jumlah kursi di tiap dapil yang diperebutkan minimal tiga dan maksimal sepuluh kursi. Ketentuan ini berbeda dengan Pemilu 2004. Pemilu 2009 menjadi periode kedua terpilihnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden dengan didampingi Prof. Dr. Boediono sebagai wakil presiden. Sementara untuk jumlah golput hampir 50 juta suara atau sekitar 30 persen. Jumlah angka golput ini tergolong besar meskipun masih lebih kecil dari hasil survei yang memprediksi angka golput mencapai 40 persen. Pemilu 2014 diikuti oleh 12 partai politik untuk mengisi kursi di parlemen dengan perolehan suara sebagai berikut : PDI Perjuangan (PDIP) =18.95%, Partai Golkar =14.75%, Partai Gerindra =11.81%, Partai Demokrat =10.19%, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) = 9.04%, Partai Amanat Nasional (PAN) =7.59%, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) = 6.79%, Partai Nasdem = 6.72%, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) = 6.53%, Partai Hanura = 5.26%, Partai Bulan Bintang1.46%, PKP Indonesia (PKPI) 0.91%. Pada Pemilu Legislatif 2014, angka partisipasi mencapai 75,11 persen .Artinya, ada 24,89 persen pemilih yang tidak menggunakan hak suaranya alias golput. Adapun total pemilih dalam Pemilu kali ini adalah 185.822.255. Pada Pemilu 2009, jumlah


(29)

golput tercatat sebanyak 49.677.076 atau 29,1 persen. Pada Pemilu 2014 presiden terpilihnya adalah Joko Widodo dan Wakilnya Yusuf Kalla. Tingkat golput dalam pagelaran Pilpres 2014 mencapai 29,8% atau 56.732.857 suara. Angka golput Pilpres 2014 lebih parah dibanding Pilpres 2009 yang mencapai 27,7%. Bahkan lebih buruk dibanding Pilpres 2004 yang hanya mencapai 24%. Era Reformasi adalah era yang hadir setelah kejatuhan rezim Orde Baru yang telah berkuasa di Indonesia sekitar 30-an tahun di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Menjelang kehadiran era reformasi, di Indonesia terkena dampak dari krisis finansial Asia yang menyebabkan ekonomi Indonesia melemah dan menjadi pendorong timbulnya ketidakpuasan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan pimpinan Soeharto saat itu semakin besarnya. Kondisi tersebut menyebabkan terjadinya aksi demonstrasi besar-besaran yang dilakukan berbagai organ gerakan mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia. Pemerintahan Soeharto dalam merespons aksi demontrasi tersebut semakin disorot setelah Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998 yang kemudian memicu Kerusuhan Mei 1998 sehari setelahnya. Gerakan mahasiswa pun meluas hampir di seluruh Indonesia. Di bawah tekanan yang besar dari dalam maupun luar negeri, Soeharto akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya setelah upaya terakhir yang dilakukan untuk membentuk dewan penyelamat ditolak para intelektual dan akademisi yang salah satunya adalah Nurcholish Madjid untuk diminta sebagai ketua tim. Di tengah situasi politik yang tidak menentu itulah atas saran dari berbagai pihak salah satunya adalah Nurcholish Madjid, Presiden Soeharto mundur dan digantikan oleh wakil presiden ketika itu B,J, Habibie.

Era Reformasi adalah era yang hadir setelah kejatuhan rezim Orde Baru yang telah berkuasa di Indonesia sekitar 30-an tahun di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Menjelang kehadiran era reformasi, di Indonesia terkena dampak dari krisis finansial Asia yang menyebabkan ekonomi Indonesia melemah dan menjadi faktor pendorong timbulnya ketidakpuasan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan pimpinan Soeharto saat itu semakin besar. Kondisi tersebut menyebabkan terjadinya aksi demonstrasi besar-besaran yang dilakukan berbagai organ gerakan mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia. Pemerintahan Soeharto dalam merespon aksi demontrasi tersebut semakin disorot setelah Tragedi Trisakti pada 12 Mei1998 yang kemudian memicu Kerusuhan Mei 1998 sehari setelahnya. Gerakan mahasiswa pun meluas hampir


(30)

diseluruh Indonesia. Di bawah tekanan yang besar dari dalam maupun luar negeri, Soeharto akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya setelah upaya terakhir yang dilakukan untuk membentuk dewan penyelemat ditolak para intelektual dan akademisi yang salah satunya adalah Nurcholish Madjid untuk diminta sebagai ketua tim. Ditengah situasi politik yang tidak menentu itulah atas saran dari berbagai pihak yang salah satunya Nurcholish Madjid, Presiden Soeharto mundur tahta kepresidenannya dan digantikan oleh wakil presiden ketika itu B,J, Habibie. Sejak era reformasi terdiri dari pemilu legislatif (DPR, DPRD, DPD), dan pemilu eksekutif (presiden dan wakil presiden; gubernur dan wakil gubernur; bupati dan wakil bupati serta wali kota dan wakil walikota) dilaksanakan berdasarkan asas-asas pemilu modern yaitu asas secara langsung, umum, bebas dan rahasia serta adil. Pelaksanaan pemilu dalam era reformasi merupakan jembatan transisi bagi bangsa Indonesia dari rezim politik kekuasaan otoriterian ke rezim kekuasaan yang mendasarkan pada sistem dan nilai-nilai demokrasi dalam kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan.

Dengan demikian sistem demokrasi yang genuine dan berkeadaban telah menjadi pilihan sadar bangsa Indonesia di dalam mengelola kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan serta pergaulan internasional. Hal tersebut berbeda dengan pelaksanaan kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan yang terjadi di kawasan timur tengah yang mendasarkan pada Islam sebagai ideologi negara saat ini seperti di Mesir. Tunisia, Libya, Yaman, Yordania, Irak, Suri’ah, Bahrain, dan negara Islam lainnya di Timur Tengah yang mengalami gelombang revolusi menuju demokrasi yang dikenal dengan gelombang “Arab Spring”.

Arab Spring merupakan gerakan revolusi yang terjadi di negara-negara Timur

Tengah pada Desember tahun 2010 dengan fokus pada upaya perubahan sistem politik dari otoriterian menuju sistem demokratis. Arab Spring yang terjadi di Timur Tengah berjalan relatif lamban dan berada dalam situasi yang kontra produktif dari tatanan sistem demokrasi serta dalam membawa perubahan mendasar pada dinamika politik di Timur Tengah. Fenomena Arab Spring telah membawa perubahan yang signifikan seperti ditunjukkan adanya partisipasi politik formal di Mesir dan di Tunisia melalui pemilu. Menurut Lewis (1996: 62-63) di dunia Arab, negara-negara yang rakayatnya didominasi muslim kalau berharap demokrasi dapat diterapkan dan berkelanjutan perlu digelar dengan cara “perubahan bertahap dan tanpa paksaan” yang berlangsung dalam


(31)

“tahap-tahap lambat” melalui reformasi dari bentuk otokrasi menjadi sistem politik yang lebih terbuka dan kompetitif. Senada dengan Lewis, Robin Wright (1996: 64) berpendapat bahwa demokrasi sebagai sistem dalam kehidupan politik dan kenegaraan di Timur Tengah dimungkinkan dalam jangka panjang, sebab secara kultural dan historis, wilayah di Timur Tengah adalah wilayah paling sulit di dunia bagi hadirnya kebebasan politik dan demokrasi.

Fakta empirik tersebut merupakan gambaran problematik relasi antara Islam dengan politik dalam realitas kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan. Secara teologis, sebagai agama samawi, Islam tidak saja mengatur pola hubungan antara manusia dengan khaliknya (hablum minal Allah), melainkan juga mengatur pola hubungan antara sesama manusia (hablum minan nas) dalam realitas kehidupan dan mengatur pola hubungan manusia dengan alam sekitar (hablum minal ‘alam) dalam

memanfaatkan dan melestarikan alam sekitar untuk keperluan hidup manusia. Selanjutnya Islam juga mengandung ajaran universal dan komprehensif karena telah memuat seperangkat ajaran pokok bagi kehidupan manusia yang terkait dengan akidah-teologi, syariah-norma hukum, akhlak-tasawuf dan mu’amalat sebagai landasan dan prinsip-prinsip yang terkait dengan kehidupan umat Islam dan umat manusia pada umumnya dalam interaksi sosial di dunia.

Abdillah (2011: xi-xii) menegaskan bahwa Islam berbeda dengan agama-agama di dunia pada umumnya yang hanya merupakan sistem kepercayaan (belief sytem), sistem moral dan praktik-praktik ritual, namun Islam tidak hanya merupakan sistem kepercayaan (belief sytem) dan etika-moral, tetapi juga mencakup sistem kemasyarakatan dan kenegaraan, sehingga Islam lebih tepat disebut sebagai way of life bagi pemeluknya. Dengan demikian Islam tidak memisahkan secara tegas antara hal-hal yang bersifat sakral dengan hal-hal yang bersifat profan. Hal demikian secara historis telah ditunjukkan oleh Nabi Muhammad dan al-khulafaur al-rasyidun yang periodenya bukan hanya sebagai pemimpin agama dalam arti sempit, melainkan juga sebagai pemimpin politik dan kemasyarakatan.

Istilah yang sering digunakan untuk pernyataan tersebut adalah paradigma

al-Islam ad-din wa al-daulah yaitu al-Islam sebagai ajaran agama sekaligus sebagai acuan

dalam kehidupan menjalankan kekuasaan di dunia. Karena itu paradigma di atas berpendirian bahwa untuk menegakkan ajaran Islam dalam kehidupan umat Islam di


(32)

dunia diperlukan tatanan pranata kekuasaan yang bernama negara yang disebut dengan istilah “Negara Islam”. (Al-Maududi, Teori Politik Islam dalam John L. Esposito dan John L. Donohue, 1994: 479-480). Kuntowijoyo sebagai seorang sejarawan dan intelektual muslim berparadigma transformative profetik (1997: 27) mengatakan bahwa banyak orang bahkan pemeluk Islam sendiri tidak sadar terhadap Islam yang bukan hanya agama, tetapi juga sebuah komunitas (umat) tersendiri yang mempunyai pemahaman, kepentingan dan tujuan-tujuan politik sendiri. Banyak orang beragama Islam tetapi hanya menganggap Islam adalah sebuah agama individual, dan lupa kalau Islam juga merupakan kolektivitas. Sebagai kolektivitas, Islam mempunyai kesadaran, struktur, dan kemampuan melakukan aksi bersama untuk kemaslahatan umat manusia. Dari pandangan di atas nampak jelas bahwa keberadaan dan kehadiran “Negara Islam” dalam realitas umat Islam di dunia menjadi keniscayaan dan tuntutan teologis umat Islam sebagai khalifah fil ardh. Dengan demikian kehadiran Islam dalam realitas sosial politik menjadi absah. Hanya saja wujud dari realitas tersebut baik dalam bentuk formal seperti adanya negara Islam atau dalam bentuk substansial dimana nilai-nilai ajaran Islam menjadi landasan fundamental dalam tata kelola kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan.

Pola hubungan antara manusia dengan khaliknya (hablum minal Allah) dan antara sesama manusia (hablum minan nas) itulah yang kemudian melahirkan beragam pemikiran keislaman baik dalam bidang filsafat, kalam, tasawuf, fikih dan sebagainya. Salah satu wacana dalam pemikiran Islam yang muncul pasca hijrah dan wafatnya Nabi Muhammad SAW adalah hal-hal yang menyangkut keterkaitan hubungan antara Islam dan politik atau hubungan antara Islam dengan negara. Secara historis, ketika Nabi Muhammad SAW di Madinah keberadaan beliau selain sebagai pemimpin agama, juga sebagai kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan. Pemikiran keislaman dalam bidang filsafat melahirkan aliran dalam filsafat Islam yaitu aliran paripatetik, aliran iluminasionis, aliran irfan dan aliran hikmah muta’aliyah.

Aliran paripatetik muncul sebagai sebutan bagi para pengikut Aristoteles.

Paripatetik sendiri berasal dari bahasa Yunani “paripatein” yang berarti berkeliling, berjalan-jalan berkeliling. Kata ini juga menunjuk pada suatu tempat, beranda dari peripatos. Dalam tradisi Yunani, kata ini mengacu pada suatu tempat yang biasa digunakan oleh Aristoteles untuk mengajar sambil berjalan-jalan. Dalam tradisi filsafat


(33)

islam paripatetik disebut dengan istilah masyaiyyah yang diambil dari kata

masya-yamsyi-masyyan wa timsyaan yang juga memiliki arti berjalan atau melangkahkan kaki

dari satu tempat ketempat yang lain. Terdapat beberapa ahli hikmah baik yang islam maupun non islam yang dikelompokkan sebagai para filosof paripatetik. Dikatakan sebagai filosof paripatetik dikarenakan oleh landasan epistemologi yang digunakan bagi filsafat mereka berdasarkan rasional murni yang tersusun dari premis minor dan premis mayor yang telah disepakati. Para filosof Barat tersebut antara lain Plato, Aristoteles, Plotinus. Sementara itu dari dunia Islam para filosof dalam aliran ini antara lain al-Kindi, al-Farabi, dan Ibn Sina.

Aliran iluminasionis didirikan oleh seorang pemikir Iran yang bernama Suhrawardi dijadikan sebagai sintesis kebijaksanaannya, dimana para pilosof dan ahli sejarah mendefinisikannya berbeda. Seperti definisi yang pernah diberikan oleh al-Jurjani dalam ta’rifatnya yang termashur menyebut kaum isyraqi sebagai “para filosof dengan Plato sebagai tokoh utamanya”. Sementara Ibn Washiyah yang ditetapkan sebagai penulis paling awal dalam dunia Islam yang pernah menggunakan istilah isyraqi yang ditujukan kepada kelompok orang-orang suci Mesir yang merupakan anak-anak saudari Hermes. Para ahli lebih mengaitkan istilah isyraqi ini dengan periode pra-Aristotelian sebelum filsafat murni dirasionalisasikan dan ketika jalan untuk mencapai ilmu pengetahuan masih bersifat intuitif. Maka dari itu Suhrawardi mengikuti definisi kebijaksanaan isyraqi yang serupa, yang menunjukkan bahwa landasan epistemologi filsafat Suhrawardi tidak hanya terfokus pada nalar intelektual yang berpusat pada rasional murni sebagaimana yang dilakukan oleh para filosof paripatetik melainkan juga berporos pada penalaran intelektual intuitif. Seperti ungkapannya yang mengatakan bahwa pemikiran-pemikirannya tidak bisa dihimpun oleh pemikiran dan penalaran, tapi yang lebih berperan besar di dalamnya adalah intuisi intelektual, kontemplasi, dan praktik-praktik asketik.

Aliran Irfan biasa dikenal sebagai aliran tasawuf dan para pelakunya disebut sufi. Berbeda dengan filsafat yang bertumpu pada penalaran rasional, sementara tasawuf bertumpu pada pengalaman mistik yang bersifat supra-rasional. Jauh sebelum kelahiran Syaikh Isyraq pembahasan tasawuf dibedakan dengan pembahasan filsafat, seperti pada masa Ibn Rusyd dan sebelumnya. Namun pada masa Suhrawardi, sudah mulai terlihat adanya upaya untuk menyatukan kedua hal tersebut dibuktikan dengan pemikiran


(34)

filosofisnya yang tidak hanya dibangun atas usaha-usaha rasional semata tapi juga melibatkan usaha-usaha intuitif. Seperti ditegaskan bahwa kaum sufi mendapatkan pengetahuan tentang segala sesuatu melalui pendekatan-pendekatan intuitif atau yang bersifat perenungan. Pendekatan ini bertumpu pada hati. Sangat berbeda dengan para filosof yang mendapatkan pengetahuan mereka melalui pendekatan-pendakatan rasional yang bertumpu pada akal atau rasio. Menurut kaum sufi perolehan pengetahuan yang didapatkan melalui pendekatan intuitif sangat berbeda dengan pendekatan rasional, karena dengan menggunakan metode pendekatan intuitif ini seseorang dapat langsung mengetahui objek pengetahuan tanpa harus melewati perantara. Artinya bahwa dengan cara ini kaum sufi bisa melihat realitas pengetahuan yang diinginkan tanpa adanya sekat-sekat yang membatasi mereka. Sementara para filosof yang menggunakan pendekatan rasional dalam mencapai pengetahuan akan terhambat oleh sekat-sekat yang harus diterima oleh akal itu sendiri sebagai poros dari kegiatan rasional. Begitu juga dengan pengetahuan sejati, tidak akan pernah bisa dipahami dengan benar apabila seseorang tidak mencoba untuk melihat pengetahuan itu sendiri. Pendekatan seperti inilah yang disebut oleh ahli sufi sebagai pendekatan intuitif, yang terkadang juga sering disebut sebagai ilmu laduni atau ilmu huduri (ilmu yang diperoleh secara langsung). Jadi kesimpulannya bahwa kaum sufi lebih mengandalkan hati sebagai alat untuk mendapatkan pengetahuan ketimbang akal. Tokoh yang mewakili pemikiran tokoh-tokoh sufi lainnya yaitu Ibn Arabi seorang sufi agung yang dikenal melalui konsep wahdat al

wujudnya. Abu Bakar Muhammad bin al-Arabi al-Hatimi al-Tha’i atau yang biasa

dipanggil Ibn Arabi, yang mulai melakukan rihlah ke berbagai kota di Andalusia dan bertemu dengan para wali juga pernah bertemu dengan Ibn Rusyd salah seorang filosof yang namanya lebih dikenal di dunia barat.

Aliran hikmah muta’aliyah ini diusung oleh seorang filosof muslim abad ketujuh belas yang dikenal dengan nama Mulla Sadra. Dengan pemikirannya yang brilian, Mulla Sadra akhirnya berhasil mensintesiskan aliran-aliran filsafat sebelumnya seperti, paripatetik, iluminasi, dan irfan yang ia rangkum dengan membentuk satu aliran baru yang dinamakan aliran hikmah muta’aliyah. Awalnya Mulla Sadra ini dikelompokkan ke dalam mazhab isfahani yang dipimpin oleh Mir Damad, namun karena pemikiran Mulla Sadra sendiri yang dianggap melebihi para pemikir mazhab isfahan, dimasukkan ke


(35)

dalam mazhab tersendiri yang hingga sekarang disebut sebagai mazhab hikmah muta’aliyah.

Dalam bidang kalam melahirkan tujuh aliran dalam teologi Islam seperti aliran Khawarij, aliran Murji’ah, aliran Jabbariyah, aliran Qadariyyah, aliran Mu’tazilah, aliran Syi’ah, aliran Al-Maturidiyah. Sedangkan dalam bidang tasawuf melahirkan aliran tasawuf sunni dan tasawuf falsafi. Selain itu dalam tasawuf juga dikenal berbagai tarekat yang berkembang di Indonesia dan dunia Islam pada umumnya. Di Indonesia terdapat beragam jenis tarekat yaitu Qodiriyah, Syadzilliyah, Naqsyabandiyah, Khalwatiyah,

Syattariyah, Sammaniyah, Tijaniyah, Qodiriyah wa Naqsabandiyah. Di dunia Islam

lainnya dikenal nama tarekat Chistiyah, Mawlawiyah, Ni’matullhi, Sanusiyah. Dalam bidang fikih melahirkan berbagai mazhab dalam fikih seperti Hanafi, Hambali, Maliki, Syafi’i terkait dengan bidang fikih yang mencakup kajian fikih ibadah, munakaha, mu’amalah, siyasah, dan jinayah.

Dalam membangun kehidupan sosial masyarakat Madinah, Nabi telah menyusun satu dokumen kenegaraan yang sangat terkenal yaitu “PIAGAM MADINAH” yang oleh para ahli konstitusi dikatakan sebagai satu model konstitusi sangat modern pada saat itu dan masih memiliki relevansi dengan kehidupan kekinian. Piagam Madinah adalah piagam politik yang dibuat oleh Nabi Muhammad SAW tidak lama setelah hijrah ke Madinah-sebuah kota yang sebelumnya bernama Yastrib-untuk mengatur kehidupan bersama di Madinah yang dihuni oleh beberapa macam golongan. Nabi Muhammad memandang perlu meletakkan aturan pokok tata kehidupan bersama di Madinah, agar terbentuk kesatuan hidup di antara seluruh penghuninya. Kesatuan hidup yang baru dibentuk itu dipimpin oleh Nabi Muhammad dan menjadi kepala negara yang berdaulat. Dengan demikian di Madinah Nabi Muhammad bukan hanya mempunyai sifat Rasul Allah, tetapi juga mempunyai sifat kepala negara artinya Nabi sebagai pemimpin agama sekaligus sebagai pemimpin negara. Para ahli menyebut naskah politik yang dibuat Nabi Muhammad dengan nama bermacam-macam seperti, W. Montgomery Watt menamainya

The Constitution of Medina”; R. A. Nicholson menyebutnya “Medina Charter”; Majid

Khudaery menyebutnya “Treaty”; Philip K. Hitti menyebutnya “Agreement”; Zainal Abidin Ahmad dan Ahmad Sukardja menyebutnya “Piagam Madinah”; dan “Al

-Shahifah”. Kata Al-Shahifah tertulis delapan kali dalam teks piagam. Dalam naskah


(36)

kepada isi dari naskah. Kata “charter”dan “piagam” lebih menunjuk kepada surat resmi yang berisi pernyataan tentang sesuatu hal. Kata “constitution” menunjuk kepada kedudukan naskah itu sebagai dokumen resmi yang berisi pokok-pokok kenegaraan. Kata “shahifah” semakna dengan “charter dan piagam”. Kata kitab lebih menunjuk kepada tulisan tentang suatu hal (Nasution, 1985 :92-95; Watt, 1964: 173; Nicholson, 1969: 73; Khudaery, 1955: 4; Hitti, 1973: 35; Ahmad, 2014: 11; Ahmad, 2012: 1-3).

Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa dalam Islam antara urusan keakhiratan dengan urusan keduniaan merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Oleh karena itu, sebagaimana ditegaskan oleh Nasution (1979: 72) bahwa persoalan yang pertama timbul dalam Islam menurut tinjauan sejarah bukanlah persoalan keyakinan melainkan persoalan politik. Jadi dalam Islam masalah politik menjadi bagian yang integral dengan masalah agama.

Kerangka pandang Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamiin, toleran, menghormati hak asasi manusia dan emansipatoris telah menstimulasi berkembangnya sikap positif terhadap perbedaan yang terdapat dalam kehidupan manusia. Umar sebagaimana dikutif Arifin (2015: 68) menegaskan sebagai berikut:

“…Islam…menyikap perbedaan yang terdapat pada komunitas manusia sebagai

sesuatu yang alamiah yang harus dihormati dan meletakkannya pada kerangka untuk mengembangkan solidaritas dan kerjasama yang kukuh antar manusia. Jadi Islam sangat menekankan pada penciptaan dan penyebaran semangat egaliterianisme dan memahami pluralism sebagai sebuah sunnatullah. Pada saat yang sama Islam menentang eklusivisme, homogenitas dan semacamnya, karena hal ini bertentangan secara diametral dengan semangat egaliterianisme”.

“Sebagai sebuah agama samawi yang terakhir, Islam diturunkan untuk

menciptakan tata kehidupan dunia yang damai dan penuh kasih saying rahmatan

lil ‘alamiin. Visi ini terrefleksi dalam keseluruhan teks-teks ilahiyah, baik yang

berkenaan dengan masalah teologi, syari’at maupun tasawuf atau etika. Konsepsi rahmatan lil ‘alamiin ini secara tidak langsung menekankan peran Islam pada

pemenuhan hak-hak dasar manusia (huquq al-insani). Hak-hak dasar manusia

(huquq al-insani) tercakup dalam lima prinsip dasar yang dikenal dengan ad-dharuriyat al-khams atau yang disebut juga al-maqasid al-syari’ah yakni: hifdzun

ad-din, (perlindungan agama), hifdzun an-nafs (perlindungan diri/jiwa), hifdzun aql (perlindungan akal), hifdzun an-nasl (perlindungan keluarga), hifdzun al-mal (perlindungan harta).


(37)

Dalam sejarah politik Islam,persoalan hubungan antara Islam dan politik belum menjadi suatu keniscayaan seperti pada periode Makkah (611-622 M), dimana pengikut Nabi Muhammad SAW yang beragama Islam hanya sejumlah kecil dari penduduk Makkah. Mereka merupakan kelompok lemah yang tidak memiliki wilayah dan kedaulatan, dimusuhi dan diintimidasi oleh kaum kafir Quraisy sebagai kelompok penguasa Makkah pada waktu itu. Kondisi berbeda yang dialami oleh umat Islam pengikut Nabi Muhammad SAW pada periode Madinah (423-632 M). Pada perode ini, posisi umat Islam berubah total dari kelompok tertindas dan minoritas menjadi kelompok yang memimpin. Nasution (1997: 92) berpandangan bahwa umat Islam di periode Madinah mempunyai posisi yang baik dan berkembang dengan pesat bahkan menjadi suatu komunitas yang kuat dan mampu berdiri sendiri. Posisi Nabi Muhammad SAW selain sebagai pemimpin spiritual juga menjadi pemimpin masyarakat yang baru dibentuk itu dan pada akhirnya menjadi suatu negara baru yang disebut dengan “Negara Madinah” yang wilayah kekuasaannya meliputi seluruh kawasan semenanjung Arabia. Menurut Arnold, posisi Nabi Muhammad SAW di Madinah saat itu merupakan pemimpin agama dan sekaligus pemimpin negara (Arnold, 1965: 30). Negara Madinah yang pimpinan Nabi Muhammad SAW saat itu, diakui oleh Robert N. Bellah, -seorang sarjana Sosiologi Agama terkemuka di dunia Barat- sebagai model harmoni dari pola hubungan antara agama dan negara dalam Islam dan menjadi model negara modern (Bellah, 1991: 128). Oleh karena itu, para sarjana pada umumnya berpendapat bahwa Negara Madinah yang dipimpin oleh Nabi Muhammad SAW adalah suatu model negara teokrasi yang berdasarkan kedaulatan Tuhan (God Sovereignity) dan mendasarkan pada Piagam Madinah (Madina Charter) yang dikukuhkan sebagai konstitusi modern pertama di dunia (Rahman dalam John L. Esposito and John L. Donohue (Eds)., 1982: 261).

Peristiwa wafatnya Nabi Muhammad SAW pada tahun 632 M menjadi titik berakhirnya fase kenabian sekaligus fase kepemimpinan ideal dalam sejarah politik Islam, karena setelah Nabi SAW nyaris tidak pernah ditemukan suatu kondisi yang sangat harmonis, di mana seorang Nabi yang dapat berperan menjadi pemimpin agama dan sekaligus pemimpin negara -pemimpin yang memiliki otoritas spiritual dan politik secara sinergis dan simultan berdasarkan fitrah kenabiannya yang bersumber kepada wahyu Ilahi-. Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, pemerintahan bergeser ke tangan para sahabat yang kemudian dikenal dengan sebutan Khulafa al-Rasyidin (632-661 M) yaitu:


(1)

Abdul Rozak, 2015 MAKALAH

Asa. S. (2005). Nurcholish Hari Baik Untuk Mati, Majalah Tempo,11 September

Azra, A. (2001). ”Religion and Politics in Indonesia”. Canadian Consortium on Asia Pacific Security (CANCAPS) 9th Annual Conference, December 7-9

Azra, A. (2002). Membangun Keadaban Demokrasi Ke Arah Budaya Politik Baru

Indonesia, Makalah dalam Jaringan Islam Liberal

Djohan. E. The contribution of the Islamic Parties to the Decline of Democracy in the

1950s, makalah Confrence on Indonesia Democracy, Monash University,

Dwipayana. AAN GN A. (2010). Demokrasi Kita, makalah diskusi Infest, Yogyakarta, Sabtu, 26 Juni 2010

Hidayat, K. (2001), “Demokrasi di Indonesia,” dalam Seminar Nasional Civic

Education, Jakarta tanggal 9 Agustus.

Kartasasmita, G. (2004). “Budaya Politik dalam Proses Demokratisasi Di Indonesia,”

Makalah disampaikan pada acara Kongres IV dan Seminar Nasional Perhimpunan

Sarjana Administrasi Indonesia (PERSADI) Lembaga Administrasi Negara, Jakarta, 1 Desember 2004.

Madjid, N. (2001), “Demokrasi: Pandangan dan Tantangan Kehidupan Bersama,” dalam Seminar Nasional tentang Pendidikan Kewargaan (Civic Education), Jakarta, tanggal 20 Agustus.

Mubarok. H. (2014). Mencegah Eskalasi Konflik Keagamaan : Studi Kasus Natal

Bersama di Unggaran, Kabupaten Semarang Jawa Tengah, makalah ringkasan

hasil penelitian Pusat Penelitian Kehidupan Keagamaan Badan litbang dan Diklat Kementerian Agama

Slamet. (2013). Civil Society dan Demokrasi di Indonesia : Studi pada Peran NU dalam

Mentransformasikan Nilai-nilai Demokrasi di Indonesia, tt

Wahid, A. (1987). Islam dan Titik Tolak Etika Pembangunan, makalah seminar pesantren dan pembangunan, Berlin Barat, Juli.

Wahid, A. (1987). Islam dan Titik Tolak Etika Pembangunan, makalah seminar pesantren dan pembangunan, Berlin Barat, Juli.

Wahid, A. (1992). “Pluralisme Agama dan Masa Depan Indonesia”, makalah pada seminar agama dan masyarakat, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, 20-November.

Wahid, A. (1992). “Forum Demokrasi: Sebuah Pertanggungjawaban,” makalah Ketua Pokja Forum Demokrasi.

Wahid, A. (1992). “Pluralisme Agama dan Masa Depan Indonesia”, makalah pada

Seminar Agama dan Masyarakat, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga,


(2)

Abdul Rozak, 2015

Wahid, H .N. (2006). “Etika Politik” Makalah Disampaikan Pada Wisuda Pasca Sarjana,

Sarjana, dan Diploma III Serta Dies Natalis Universitas Nasional ke-57 di Jakarta, 21 November.

Wirutomo. P. (2001). Membangun Masyarakat Adab : Sumbangan Sosiologi, Pidato Pengukuhan Guru Besar UI

TESIS DAN DISERTASI

Alkhendra. (2006). Islam Rasional: Studi Terhadap Pemikiran Harun Nasution,

Munawir Syadzali, dan Nurcholish Madjid. Jakarta: SPs UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, tidak diterbitkan.

Cholisoh. N. (2013). Retorika Politik Gus Dur dalam Proses Demokratisasi di

Indonesia, Disertasi Ilmu Politik UI Jakarta

Dhani. S. R. (2002). Manajemen Komunikasi Kepresidenan RI: Studi Kasus Manajemen

Komunikasi Presiden K.H. Abdurrahman Wahid, Tesis Ilmu Politik UI Jakarta

Edwin, S. (1998). Pandangan Islam tentang Negara menurut M. Natsir dan Nurcholish

Madjid: Studi Perbandingan. Jakarta: SPs UIN UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

tidak diterbitkan.

Federspiel, H.M. (1995). Muslims Intellectual in Southeast Asia: Tendecies toward

Parallel Development, Paper for presentation at the Conference on Islam and

Society in Southeast Asia, Jakarta, Mei, 24-31

Hafvenstein, J. (2007). Islamism and Democracy: Political Reform and Social Order in

the Muslim World. A Master’s Thesis di International Relations and Religions,

Boston University Amerika, tidak diterbitkan.

Haryati, T.A. (1999). Titik Temu Agama-agama dalam Perspektif Islam: Studi Pemikiran

Seyyed Hossein Nasr dan Nurcholish Madjid. Jakarta: SPs UIN UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, tidak diterbitkan.

Hasbi, I. (1998). Pemikiran Nurcholish Madjid tentang Pancasila. Jakarta: SPs UIN UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tidak diterbitkan.

Haramain. Abdul M. (2003). Militer di Era Abdurrahman Wahid : Studi Kasus

Hubungan Abdurrahman Wahid – Militer, Tesis, Ilmu Politik UI Jakarta

Ihyak. M. (2003). Dekarismatisasi Gus Dur : Studi tentang Kepemimpinan K.H.

Abdurrahman Wahid dalam Politik Praktis, Tesis, Ilmu Politik UI Jakarta

Indriany. Indah P. (2002). Islam dan Negara di Indonesia Pemikiran Politik

Abdurrahman Wahid, Tesis Ilmu Politik UI Jakarta

Jamhuri. S. (1998). Kepemimpinan Kharismatik Nahdlatul Ulama : Studi Kasus

Kepemimpinan Abdurrahman Wahid, Disertasi, IAIN Jakarta

Maisyaroh, (2006). Pemikiran KH. Abdurrahman Wahid tentang Demokrasi, Tesis, Ilmu Politik UI Jakarta


(3)

Abdul Rozak, 2015

Mashuri. (2005). Hubungan Agama dan Negara : Studi Kasus terhadap Pemikiran

Abdurrahman Wahid tentang Kedudukan Agama dan Negara Republik Indonesia,

Tesis, Ilmu Politik UI Jakarta.

Mibtadin, (2010). Humanisme dalam Pemikiran Abdurrahman Wahid, Tesis, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tidak diterbitkan.

Muhammad, R. (2009). Analisis Terhadap Pemikiran Nurcholish Madjid tentang

Sekularisme dan Pluralisme. Jakarta: SPs UIN UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

tidak diterbitkan.

Muslihin. (2008). “Towards Peace Education: Nurcholish Madjid’s Islamic Education

Reform in Indonesia”, Tesis (Leiden: TIYL and Leiden University, tidak

diterbitkan.

Pirol, A. (2008). Gerakan dan Pemikiran Dakwah Nurcholish Madjid, Jakarta: SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tidak diterbitkan.

Prihatin. Y. Studi tentang Pemikiran Demokrasi dan Prilaku Politik Abdurrahman

Wahid (1984-2001).Tesis Ilmu Politik UI Jakarta

Rahmat. (2014). ”Model Pengembangan Karakter Bangsa Melalui Gerakan Sosial

Kultural Kewarganegaraan di Sekolah (Studi Kasus di SMA Terpadu Krida Nusantara Bandung)” Bandung, tidak diterbitkan.

Remage. Douglas E. (2003). Politics in Indonesia : Democracy, Islam and Ideology of

Tolerance. Disertasi

Suhaimi. (2008). Bahasa Politik Nurcholish Madjid: Analisis Semiotik Terhadap

Platform “Membangun Kembali Indonesia,”. Jakarta: SPs UIN UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tidak diterbitkan.

Sutomo, I. (2008). Altruisme dalam Kehidupan Masyarakat Plural (Studi Pemikiran

Moral Nurcholish Madjid. Disertasi S3 di Program Pascasarjana Universitas Islam

Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, tidak diterbitkan.

Syafa’at, M. A. (2009). “Pembubaran Partai Politik Di Indonesia (Analisis Pengaturan Hukum dan Praktik Pembubaran Partai Politik (1959 – 2004),” Disertasi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, tidak diterbitkan.

Syefriyeni. (2012). Relativisme Etika: Studi Perdebatan Sekularisasi Antara Nurcholish

Madjid dan H.M. Rasjidi. Disertasi S3 pada Sekolah Pascasarjana Universitas

Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta : tidak diterbitkan.

Tampubolon, I. (2009). Paradigma Pemikiran Etika NM. Jakarta: SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tidak diterbitkan.

SURAT KABAR

Asa, Syu’bah. (2005). Nurcholish, Hari Baik Untuk Mati, Majalah Tempo,11 September

Hutabarat, Binsar A., (2010), “Agama Dan Misi Perdamaian,” Suara Pembaruan, 14


(4)

Abdul Rozak, 2015

Intan, Benyamin F., (2010), “Pluralisme Agama dan Negara Berkeadilan,” dalam

Seputar Indonesia, 25 Agustus.

Madjid, N. (1985). “Tasawuf sebagai inti Keberagamaan” dalam Majalah Pesantren,No.3/vol.II

Madjid, N. (1999). “Masyarakat Madani dan Investasi Demokrasi: Tantangan dan Kemungkinan,” Republika, 10 Agustus.

Majalah GATRA, Tafsir Agama Pemicu Fatwa, no. 05, 16 Desember 2002

Majalah TEMPO, Fatwa Itu Lemah Tapi Menghawatirkan, no. 42, 22 Desember2002 Mukadimah: ABRI dan Demokrasi,” Majalah Tempo, Edisi 27/01 – 31/Agutus. Nadjib, E.A (1991). “Gus Dur Pelindung Minoritas,” Yogya Post, 12 April.

Rachman, B. M. (2005). ”Dari Gontor lewat Chicago”, Kompas, 29 Agustus 2005, dalam paramadina.or.id.

Schulze, Kristen E., (1992) “A Jumble of Purposes of Syari’ah Law in Aceh,” dalam The Jakarta Post, 19 April.

Sundahemek AWS. (2006). “Cak Nur Sangat Peduli Masa Depan Bangsa”, Sinar Harapan, 5/09/2009), dilengkapi wawancara dengan Sundhamek di Jakarta (24/07/2006) dikutip dalam Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid.

Wahid, A. (1992). Negeri Ini Kaya dengan Calon Presiden”, dalam Forum Keadilan No. 02, 14 Mei.

Wahid, A. (1993), “Gus Miek: Wajah Sebuah Kerinduan,” dalam Kompas, Minggu, 13

Juni.

Wahid, A. (1994), “Individu, Negara Dan Ideologi,” dalam Kompas, Jumat, 4 Februari.

Wahid, A. (1998). “Masa Depan Demokrasi di Indonesia,” dalam Opini Kompas, Selasa,

01-09

Wahid, A. (2000). Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman: Kumpulan Pemikiran K.H.

Abdurrahman Wahid Presiden ke-4 Republik Indonesia. Jakarta: Kompas.

Wahid, A. (Tahun). ”Catenaccio Hanyalah Alat Belaka”, dalam Darmawan, ed., Gus

Dur Menjawab Kegelisahan Rakyat.

Wahid, A. (1985), “The Islamic Masses in the Life of State and Nation,” dalam Prisma, The Indonesian Indicator, No. 35.

Zuhro, R. S. (2010), “Budaya Politik dan Demokrasi,” dalam Suara Karya, Kamis, 25

Maret.

SUMBER INTERNET

Azra, A. (2008). ”Cak Nur Revisited”, Majalah Madina, Edisi 5.

Brown, T. (2013). “Gramsci and Hegemony,” inks International Journal of Socialist Renewal, http://links.org.au/node/1260, (diakses tanggal 24 Februari 2013).


(5)

Abdul Rozak, 2015

Budimansyah, D. (2009). “Membangun Karakter Bangsa di Tengah Arus Globalisasi dan Gerakan Demokratisasi : Reposisi Peran Pendidikan Kewarganegaraan, Universitas Pendidikan Indonesia,.

http://jimly.com/pemikiran/makalah?page=7> pada 15 Desember 2013, diakses tanggal 23 Januari 2014.

http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/EtosKerja.html; diakses tanggal 25 Januari (2015).

http://paramadina.or.id/?page_id=1084 (diakses 8 April 2013).

http://penelitian.lppm.upi.edu/detil/1475/model-pengembangan-karakter-bangsa- melalui-gerakan-sosial-kultural-kewarganegaraan--di-sekolah-%28studi-kasus-di-sma-terpadu-krida-nusantara--bandung%29,-drs.-rahmat,-m.si. (diakses 22 April 2014).

http://soedijarto.blogspot.com/2013/06/etika-perpolitikan-di-indonesia.html, (diakses tanggal 2- Januari 2015.

http://soedijarto.blogspot.com/2013/06/etika-perpolitikan-di-indonesia.html, (diakses tanggal 2- Januari 2015.

http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:wL0d5mj8uhwJ:file.upi.edu/Dir ektori/FPIPS/JUR._PEND._KEWARGANEGARAAN/Prof.Dr._H._Dasim_Budim ansyah,_M.Si/Pidatopengukuhan_Guru_Besar.rtf+&cd=1&hl=id&ct=clnk&gl=id (diakses 21 April 2013).

http://www.gusdur.net/Pemikiran/Detail/?id=41/hl=id/NU_TNI_Dan_Demokrasi

http://www.gusdur.net/Pemikiran/Detail/?id=7/hl=id/Mengapa_Saya_Golput (diakses 21 April 2013).

http://www.gusdur.net/Pemikiran/Detail/?id=8/hl=id/NU_Muktamar_XXXI_Dan_Demo kratisasi (diakses 21 April 2013).

http://www.tokohindonesia.com, Dr. Alwi Shihab Kandidat Wakil Presiden 2004, (diakses 11 Desember 2003).

http://jaringan Islam liberal-Happy Susanto,com/ Menyoroti Fenomena Radikalisme Agama.html, (diakses tanggal 2- September 2014).

Wahid, A. (2003). ”NU dan Negara Islam (2), 24 Maret 2003, dimuat pada 5 Mei 211 di

http://gusdur.net/Pemikiran/Detail/?id=103/hl=id/NU_Dan_Negara_Islam_2 (diakses 17 April 2013).

Wahid, A. (2005). ”Lain Jaman Lain Pendekatan”, 2 Agustus 2005 dimuat dalam http://www.gusdur.net/Pemikiran/Detail/?id=98/hl=id/Lain_Jaman_Lain_Pendekat an (diakses 18 April 2013).

Wahid, A. (2009). “Lain Dulu, Lain Sekarang. seputar-indonesia.com, Jakarta, 19


(6)

Abdul Rozak, 2015

http://www.gusdur.net/Pemikiran/Detail/?id=21/hl=id/Lain_Dulu_Lain_Sekarang (diakses 21 April 2013).

Wahid, A. (2012). ”Menjadi Muslim-Indonesia: Inspirasi dari Pemikiran Gus Dur”,

Kamis, 05 Januari 2012, www.gusdur.net, (diakses 17 April 2013)

Yanzi, M dan Mona Adha, M. (tahun). ”Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan,”