RESOLUSI KONFLIK ACEH: Kajian Ketidakberhasilan Henry Dunant Centre Dalam Penyelesaian Konflik Pemerintah Indonesia Dengan Gerakan Aceh Merdeka 2000-2004.

(1)

RESOLUSI KONFLIK ACEH: Kajian Ketidakberhasilan Henry Dunant

Centre Dalam Penyelesaian Konflik Pemerintah Indonesia Dengan Gerakan

Aceh Merdeka 2000-2004 SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Departemen Pendidikan Sejarah

OLEH Taupik NIM 1002992

DEPARTEMEN PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

BANDUNG 2015


(2)

RESOLUSI KONFLIK ACEH: Kajian Ketidakberhasilan Henry Dunant

Centre Dalam Penyelesaian Konflik Pemerintah Indonesia Dengan Gerakan

Aceh Merdeka 2000-2004

Oleh Taupik

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

© Taupik 2015

Universitas Pendidikan Indonesia Februari 2015

Hak cipta dilindungi undang-undang.

Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhnya atau sebagian, Dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis


(3)

(4)

Taupik, 2015

ABSTRAK

Masalah yang dikaji dalam skripsi ini adalah “bagaimana upaya Henry Dunant Centre sebagi mediator dalam penyelesaian konflik Aceh pada tahun 2000-2004” Berdasarkan hasil penelitian dapat ditemukan beberapa temuan, diantaranya; pertama situasi dan kondisi Aceh pada tahun 2000-2004 kurang stabil meski DOM sudah dicabut namun pelanggaran HAM dan kekerasan masih tetap terjadi, kedua latar belakang dipilihnya Henry Dunant Centre sebagai mediator penyelesaian konflik Aceh, karena gagalnya menunjuk PBB dan ASEAN, ketiga proses perdamaian yang dilakukan oleh Henry Dunant Centre secara umum dilakukan dengan cara menumbuhkan kepercayaan terlebih dahulu untuk menghentikan aksi kekerasan, dan menuju pada pembicaraan politik yang bersifat parsial, keempat dampak kerja Henry Dunant Centre terhadap perkembangan penyelesaian konflik di Aceh adalah pemerintah pusat lebih menekankan resolusi konflik Aceh dengan jalur damai dan adanya apresiasi dunia internasional terkait jalan dialog dalam menyelesaikan konflik Aceh.

Kata kunci: Henry Dunant Centre, Soft Power, Hard Power, Mediasi, Pemerintah Pusat, GAM


(5)

Taupik, 2015

ABSTRACT

The issue investigated in this research is “how the effort of Henry Dunant Centre as the mediator in the settlement of the Aceh conflict in between 2000 – 2004 was.” In the research, several findings were found; firstly, the situation and the condition in Aceh between 2000 and 2004 was not really stable even though DOM had been taken off, human rights infringement and violence still occurred; secondly, the reason Henry Dunant Centre was chosen as the mediator was caused by the failure of choosing United Nations and ASEAN; Thirdly, reconciliation process handled by Henry Dunant Centre in general was conducted by growing the trust to cease the violence, and then discussing partial politic; fourthly, the effect of Henry Dunant Centre’s work on the progress of conflict reconciliation in Aceh was the central government tended to concern more on resolution of Aceh conflict by peaceful settlement and there was the appreciation from the world regarding the dialogue in conflict settlement in Aceh.

Key words: Henry Dunant Centre, Soft Power, Hard Power, Mediation, Central Government, GAM


(6)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian

Upaya penyelesaian konflik internal Indonesia yang terjadi di Aceh akibat adanya gerakan sparatis sejak masa orde baru sampai sebelum terjadinya kesepakatan damai di Helsinki pada tahun 2005 ternyata kurang sesuai dengan harapan dan keinginan masyarakat Indonesia, pemerintahan pusat maupun gerakan sparatis di Aceh yang dikemudian menamakan diri dengan sebutan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) belum menemukan titik temu atau resolusi konflik yang tepat sebelum tahun 2005. Resolusi konflik untuk mengakhiri ketegangan yang terjadi kurang mendapatkan respon yang positif, hal ini dapat terlihat dari rentetan kegagalan dalam upaya penyelesaian konflik Aceh oleh pemerintah sejak masa orde baru sampai sebelum terjadi perjanjian damai pada tahun 2005 antara pemerintah pusat dengan GAM terlaksana di Helsinki.

Pemerintah pusat melakukan beberapa opsi dalam upaya penyelesaian konflik yang terjadi di Aceh, karena konflik ini memang sudah mengakar dari sejak masa kekuasaan Soekarno sampai dengan pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono. Beberapa opsi yang digunakan diantaranya adalah dengan jalur kekerasan dengan menempatkan kekuatan militer di Aceh untuk meredamkan dan bahkan menumpas habis akar konflik tersebut, selain dengan kekuatan militer pemerintah pusat juga melaksanakan opsi lain, opsi ini dipilih karena melihat efektifitas penyelesaian konflik dengan cara militer kurang memuaskan, sehingga kemudian resolusi konflik lebih menekankan pada jalan damai dengan dialog langsung, atau menggunakan sarana mediator dalam membantu menyelesaikan permasalahan konflik Aceh.

Dengan adanya opsi baru melalui dialog antara pemerintah pusat dan kelompok gerakan sparatis disana setidaknya terdapat suatu harapan dapat ditemukanya sebuah


(7)

resolusi konflik yang tepat bagi semua pihak, opsi penyelesaian konflik dengan cara dialog khususnya dengan menggunakan fasilitas dari pihak ketiga (mediator) merupakan suatu hal yang baru dalam penyelesaian konflik di Aceh, sebelumnya memang terfokus pada penyelesaian dengan jalur tindakan militer. Penyelesaian konflik dengan jalan dialog dan mencari kesepakatan politik, menjadi lebih elegan untuk pemerintah pusat maupun masyarakat Aceh, Zaini Abdullah, Gubernur Aceh dalam Djumala menyatakan bahwa

“Kesediaan pusat untuk berdialog dan berunding merupakan penghargaan atas martabat rakyat Aceh. Cara-cara penyelesaian konflik secara bermartabat inilah kiranya yang memungkinkan Aceh bersedia untuk berunding, sehingga konflik dapat diselesaikan.” (Djumala, 2013, hlm. XIX).

Jika kita perhatikan pada masa pemerintahan orde lama, orde baru sampai dengan era reformasi, sering terjadi pergantian Presiden, keadaan ini berpengaruh pula pada kebijakan penanganan konflik Aceh, namun semua upaya yang telah di lakukan pemerintah pusat seringkali menemui kegagalan dan adanya ketidaksesuaian antara keinginan, harapan dengan kenyataan dari kedua belah pihak. Jika dilihat kembali cara penanganan konflik yang dilakukan oleh pemerintahan pusat pada masa orde lama, orde baru dan penanganan konflik oleh pemerintah pusat pada masa era reformasi terlihat adanya perbedaan yang cukup mendasar, dimana pada masa pemerintahan sebelum reformasi penanganan konflik yang terjadi di Aceh seringkali diselesaikan dengan cara militer atau dengan hard power, sedangkan pada masa setelah reformasi mulai dibuka resolusi konflik dengan cara dialog untuk menghentikan kekerasan atau dengan cara Soft Power.

Berbeda dengan penanganan konflik yang dilakukan pada masa orde lama dan orde baru, pada masa reformasi penanganan konflik di Aceh mulai menemukan opsi baru diluar jalur militer, yaitu dengan mengajak, merangkul, dan menghargai keinginan Aceh, untuk kemudian dapat dijalin kerjasama dan menuju kepada dialog politik terkait resolusi konflik Aceh, namun dalam pelaksanaanya terkadang jalur


(8)

militer masih digunakan pada masa reformasi, namun opsi baru untuk berdialog setidaknya mulai dilaksanakan pada masa reformasi, terutama pasca jatuhnya Soeharto dari kekuasaanya. Perubahan pola penanganan konflik Aceh pasca orde baru mulai terlihat dari kebijakan yang diambil, Aspinal dan Crouch dalam Djumala menjelaskan bahwa

“Panglima ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) Jenderal Wiranto berusaha untuk meraih kembali kepercayaan publik dengan mencabut daerah operasi militer (DOM) di Aceh 7 Agustus 1998. Disamping pencabutan status DOM Jenderal Wiranto juga meminta maaf atas perilaku individu TNI selama masa DOM. Tidak hanya wiranto Habibie pun ketika berkunjung ke Aceh pada maret 1999 juga meminta maaf atas apa yang telah dilakukan oleh aparat keamanan.” (Djumala, 2013, hlm. 38).

Dihapuskanya status Aceh sebagai Daerah Oprasi Militer oleh Panglima TNI Wiranto pada saat setelah reformasi memberikan harapa baru bagi masyarakat pada saat itu tentang situasi Aceh, sehingga kemudian pemerintah lebih menekankan resolusi konflik dalam jalur diskusi atau dialog bersama, ini dilakukan untuk memperbaiki hubungan antara Pemrintah Pusat dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang sebelumnya kurang harmonis akibat pelaksanaan DOM. Cara penyelesaian konflik dengan dialog ini mendapatkan bantuan mediator dari organisasi atau lembaga yang ditunjuk oleh kedua belah pihak, diantaranya adalah Henry

Dunant Centre.

Henry Dunant Centre sendiri merupakan organisasi non pemerintah yang

diberikan kepercayaan oleh pemerintah pusat dan GAM sebagai mediator, sesuai dengan kebiasaan dalam resolusi konflik, penunjukan pihak ketiga/mediator harus berdasarkan pada persetujuan pihak yang sedang bertikai, dalam hal ini pemerintah pusat dan GAM. Mediator sendiri ditunjuk oleh seluruh pihak yang sedang bertikai dan bertugas memediasi atau menengahi pertikaian-pertikaian yang sedang terjadi tanpa memihak atau memojokan kepada salah satu bagian atau unsur yang sedang


(9)

bertikai, sehingga dengan adanya mediator ini diharapkan dapat membantu mempercepat penyelesaian permasalahan atau konflik, jika ditinjau dari etimologi.

Istilah “Mediasi” berasal dari bahasa latin, Mediare yang berarti berada ditengah. makna ini menunjuk pada peran yang ditampilkan pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan menyelesaikan sengketa antara pihak. ’Berada di tengah’ juga bermakna mediator harus berada pada posisi netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa. Ia harus menjaga kepentingan para pihak yang bersengketa secara adil dan sama, sehingga menumbuhkan kepercayaan (trust) dari pihak yang bersengketa. (Abbas, 2011, hlm. 1-2).

Kesepakatan damai yang seutuhnya dan menghentikan konflik Aceh sebenarnya memang terjadi di Helsinki ibukota Finlandia dengan terjadinya Nota Kesepahaman (MOU), antara pemerintah Pusat dengan GAM serta dibantu oleh mantan presiden Finlandia Marti Atihasari dengan organisasi kemanusiaan yang dipimpinya yaitu Crisis Management Initiative sebagai mediator pada tahun 2005. Dalam upaya perdamaian di Aceh sejak jatuhnya pemerintahan orde baru sebenarnya bukan hanya Marti Atihasari dan organisasinya yang sudah berupaya mendamaikan kedua belah pihak, sebelumnya ada pula Organisasi Non Pemerintahan (NGO) internasional yang bergerak dalam bidang kemanusiaan, yaitu Henry Dunant Centre (HDC) yang sudah lebih dahulu melakukan upaya-upaya perdamaian dengan jalan diplomasi pada pemerintah pusat dan GAM terutama pada masa pemerintahan Megawati Soekarno Putri.

Megawati pada awalnya mendukung upaya-upaya penyelesaian damai dengan para pemberontak GAM, tetapi pendekatan ini gagal. Selama tahun 2002- 2003, Susilo Bambang Yudhoyono yang saat itu menjabat Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, mengupayakan penyelesaian dengan mediasi

Henry Dunant Centre for Humanitarian Dialogue dari Jenewa. (Ricklefs, 2008,

hlm. 727).

Henry Dunant Centre memang telah bekerja untuk perdamaian di Aceh dengan

menjadi mediator atau penengah antara pemerintah pusat dan GAM, meskipun masyarakat berpandangan bahwa Henry Dunant Centre ini telah gagal menjalankan


(10)

tugasnya membuat resolusi konflik yang tepat, namun perlu kita pahami bersama bahwa Henry Dunant Centre merupakan lembaga non pemerintahan (NGO) yang pertama yang ditunjuk oleh pemerintah Indonesia dan GAM untuk dapat mengusahakan resolusi konflik yang terbaik bagi mereka. Henry Dunant Centre dalam hal ini tidak bisa dilupakan peranya oleh pemerintah maupun GAM dalam membantu menyelesaikan konflik Aceh.

Henry Dunant Centre membuka jalan dialog dan jalan perdamaian yang selama

ini sulit didapatkan pasca muncul kembali konflik yang menimbulkan gerakan sparatis di Aceh. Baru pada tahun 2000 kesepakatan damai yang dituangkan dalam Jeda Kemanusiaan untuk menghentikan peperangan demi kemanusiaan antara pemerintah pusat dan GAM dapat terwujud, sehingga dengan adanya kesepakatan damai ini masyarakat umum berharap banyak akan terciptanya resolusi konflik yang terbaik bagi mereka. Kesepakatan untuk menghentikan kekerasan demi kemanusiaan ini juga diharapkan dapat menghentikan munculnya korban jiwa dan aksi kekerasan yang dilakukan oleh berbagai pihak, terutama mereka yang tidak bertanggungjawab.

Nota Kesepahaman Bersama Jeda Kemanusiaan Untuk Aceh (Join

Understanding on Humanitarian Pause For Aceh) pada 12 Mei 2000

ditandatangani secara tertutup. RI diwakili oleh Duta Besar/ Wakil tetap RI untuk PBB DR Hasan Wirajuda dan DR Zaini Abdullah mewakili GAM. Hasan Wirajuda mengharapkan melalui nota inidapat menahan diri dari aksi kekerasan. (Kawilarang, 2008, hlm. 160).

Nota Kesepahaman antara pemerintah pusat dan GAM yang ditandatangani di Jenewa Swiss tahun 2000 ini merupakan harapan baru dan modal awal pemerintah pusat dan GAM dalam rangka mencari titik temu penyelesaian masalah Aceh tanpa harus dilakukan dengan jalan kekerasan, Jeda Kemanusiaan memungkinkan pihak yang sedang bertikai kemudidan dapat berunding kembali dan lebih jauh untuk menemukan solusi atas permasalahan-permasalahan yang sedang mereka hadapi bersama. Situasi dan kondisi pasca Jeda Kemanusiaan ini merupakan peluang bagi kedua belah pihak yang tidak boleh dilewatkan begitu saja, karena ini dapat membuka


(11)

peluang untuk terciptanya perdamaian dengan menemukan reoslusi yang sesungguhnya.

Nota Kesepahaman Bersama Jeda Kemanusiaan Untuk Aceh (Join

Understanding on Humanitarian Pause For Aceh) merupakan salah satu bukti kerja

nyata dari Henry Dunant Centre sebagai mediator dalam upaya menengahi pertikaian yang terjadi antara pemerintah pusat dan GAM yang selama ini sulit menemukan titik temu dalam pandangan-pandangan mereka masing-masing, sehingga konflik dengan jalur kekerasan tidak dapat dihindari lagi. Dengan adanya jeda kemanusiaan ini jelas merupakan suatu embrio bagi penyelesaian konflik dengan cara dialog dan mengesampingkan tindakan kekerasan pisik.

Anggapan kegagalan Henry Dunant Centre (HDC) dalam memediasi pemerintah pusat dan GAM berimbas pada pergantian mediator dalam menyelesaikan permasalahan konflik pemerintah pusat dan GAM. Pada saat Soesilo Bambang Yudhoyono memerintah, pemerintah pusat dan GAM sepakat untuk tidak menggunakan jasa dari Henry Dunant Centre lagi dan kemudian menggantikanya dengan Crisis management initiative (CMI) yang diprakarsai oleh mantan Presiden Finlandia Mathi Atihasari dalam membantu menyelesaikan konflik Aceh.

Atihasari menyatakan kesediaanya untuk menjadi mediator untuk resolusi konflik Aceh. Perundinganya sendiri dilaksanakan di Helsinki, Finlandia dalam 5 (lima) kali putaran yang dimulai pada 27 Januari 2005 dan berakhir pada 12 Juli 2005. (Djumala, 2013, hlm. 62).

Anggapan tentang gagalnya Henry Dunant Centre menjalankan tugasnya, dapat disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah kegagalan dalam menjalankan kewenangan, tugas, keterampilan dan langkah kerja yang dilakukan oleh HDC itu sendiri, atau bahkan mungkin adanya keberpihakan HDC dalam menyelesaikan konflik antara pemerintah pusat dan GAM, karena pada dasarnya netralitas mediator terhadap pihak-pihak yang sedang terjadi konflik sangat diutamakan. Netralitas mediator ini yang kemudian menjadi sebuah kepercayaan kepada mereka dari pihak-pihak yang sedang bertikai.


(12)

Keberadaan mediator sebagai pihak ketiga, sangat tergantung pada kepercayaan (trust) yang diberikan para pihak untuk menyelesaikan sengketa mereka. Kepercayaan ini lahir karena para pihak beranggapan bahwa, seseorang mampu menyelesaikan permasalahan mereka. Kepercayaan ini penting bagi mediator sebagai modal awal dalam menjalankan kegiatan mediasi. (Abas, 2011, hlm. 59-60).

Kegagalan Henry Dunant Centre (HDC) dalam melaksanakan kewajibanya sebagai mediator yang ditunjuk oleh pemerintah pusat dan GAM, kemudian menimbulkan pertanyaan bagi khalayak umum, apa sebenarnya yang membuat mereka kemudian tidak dipercayai lagi oleh pemerintah pusat dan GAM untuk menyelesaikan konflik Aceh, sehingga kemudian HDC tidak digunakan kembali jasanya pada masa pemerintahan SBY-JK sebagai mediator utama, HDC digantikan oleh Crisis Management Initiative (CMI) yang diprakarsai oleh Atihasari mantan presiden Finlandia hal ini kemudian yang sangat menarik untuk dikaji.

Ketika pemerintah pusat duduk bersama berunding dengan pihak Gerakan Aceh Merdeka dari sudut pandang protokoler memang seolah-olah pemerintah Indonesia ini sama kedudukan dan haknya dengan Gerakan Aceh Merdeka, padahal suatu hal yang jelas bahwa Indonesia sebuah negara yang berdaulat dan diakui di mata internasional, sedangkan Gerakan Aceh Merdeka hanya gerakan sparatis yang timbul di dalam negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketika kedua pihak ini yang bertikai duduk bersama dengan kedudukan dan hak yang sama, maka secara tidak langsung antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka seolah-olah terlihat adanya kesamaan dan kesetaraan kedudukan hal ini yang menimbulkan banyak polemik khususnya di dalam pemerintahan Indonesia itu sendiri.

Pro dan kontra yang muncul di masyarakat umum adalah mengenai penggunaan pihak ketiga (mediator) dalam menyelesaikan konflik pemerintah pusat dan GAM, begitu pula pada masa mediator Henry Dunant Centre menjalankan tugasnya dalam upaya perdamaian di Aceh, niat baik pemerintah untuk menyelesaikan konflik Aceh dengan jalur diplomasi dan mengesampingkan kekuatan militer telah mengorbankan


(13)

adanya pro dan kontra di internal Indonesia sendiri. Munculnya beberapa pro dan kontra di dalam masyarakat Indonesia sendiri, terutama terkait kedudukan Indonesia yang diwakili oleh pejabat pemerintah pusat dan gerakan sparatis diwakili GAM, masyarakat memandang sudah ada kesetaraan dan ketidaksesuaian, selain itu masyarakat menghawatirkan ikut serta negara asing dalam masalah internal Indonesia dapat mengancam kedaulatan dan keutuhan negara.

Pada umumnya, kontroversi itu berkisar antara pandangan yang pro dan kontra terhadap keterlibatan pihak asing dalam resolusi konflik dalam negeri. Bagi yang kontra keterlibatan pihak asing dalam perundinganya hanya akan membuka ruang bagi negara lain untuk ikut campur tangan dalam urusan dalam negeri Indonesia.” (Djumala, 2013, hlm. 167).

Sebagai negara yang berdaulat tentu saja Indonesia berhak mengatur sendiri urusan kenegaraanya tanpa campur tangan dari negara atau pihak-pihak lain diluar Indonesia ketika, ditetapkanya DOM di Aceh memang sah dan legal untuk dilaksanakan, namun akibat yang ditimbulkanya ternyata sangat merugikan banyak masyarakat artinya sisi negatif terlihat lebih dominan dibandingkan dengan sisi positifnya. Ketika menunjuk pihak mediator atas dasar kesepakatan bersama pemerintah pusat dengan Gerakan Aceh Merdeka dan kemudian mereka akan duduk bersama dengan hak yang sama pula hal ini menimbulkan polemik pula di dalam pemerintah Indonesia sendiri, dimana kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dipertanyakan, dan dikhawatirkan membuka peluang untuk Aceh dapat benar-benar memisahkan diri dari NKRI dan menjadi negara yang berdaulat.

Kekuasaan tertinggi dalam suatu negara yang berlaku terhadap seluruh wilayah dan segenap rakyat dalam negara tersebut. kedaulatan juga merupakan kekuasaan penuh untuk mengatur seluruh wilayah negara tanpa campur tangan dari pemerintah negara lain. (Kansil, 2008, hlm. 5-6).

Dibalik anggapan masyarakat dan tokoh-tokoh Indonesia sendiri tentang kegagalan Henry Dunant Centre dalam menyelesaikan konflik Aceh pada tahun 2000-2004, namun disisi lain peranan Henry Dunant Centre tidak bisa dilupakan begitu saja, dengan berbagai cara mereka membantu menyelesaikan konflik Aceh


(14)

setidaknya pada kurun waktu 2000-2004, kegagalan hanyalah sebuah penilaian tentang pencapaian, tentu dalam sebuah pencapaian tersebut akan ada sebuah perjalanan atau proses dari upaya mereka dalam menjalankan tugas membantu perdamaian di Aceh. Analisis tentang faktor-faktor yang membuat Henry Dunant

Centre ini dianggap telah gagal dalam menjalankan tugasnya di Aceh ini sangat

menarik untuk dibahas dalam sebuah karya ilmiah. Selain itu upaya yang telah dilakukan Henry Dunant Centre dapat menjadi sebuah pelajaran berharga bagi penyelesaian konflik Aceh selanjutnya.

Kegagalan proses perdamaian dengan jalan perundingan antara pemerintah pusat dengan Gerakan Aceh Merdeka yang dibantu oleh Henry Dunant Centre bukan hanya diakibatkan oleh kedua belah pihak yang bertikai dan tidak kunjung menemui kesepakatan bersama, namun ada faktor-faktor teknis dan non teknis lain yang ditampilkan dan dilakukan oleh mediator pada proses dalam perdamaian tersebut yang berpengaruh pada kegagalanya, karena peran dan fungsi mediator dalam hal ini sangat penting guna tercapainya sebuah kesepakatan yang lebih baik daripada sebelumnya. Kecakapan dan strategi yang dipilih mediator harus tepat untuk menghindari kegagalan dalam menjalankan tugasnya.

Gagal tidaknya mediasi juga sangat ditentukan oleh peran yang ditampilkan mediator. Ia berperan aktif dalam menjembatani sejumlah pertemuan antara pihak. Desain pertemuan,memimpin dan megendalikan pertemuan, menjaga keseimbangan proses mediasi dan menuntut para pihak mencapai suatu kesepakatan merupakan peran utama yang harus. pada proses ini mediator menjadi katalisator yang mendorong lahirnya diskusi-diskusi konstruktif dimana para pihak terlibat secara aktif dalam membicarakan akar persengketaan mereka. (Abbas, 2011, hlm. 77).

Ada hal yang menarik dengan dijadikanya Henry Dunant Centre sebagai pihak penengah antara pemerintah pusat dengan Gerakan Aceh Merdeka, diantaranya adalah alasan yang membuat pemerintah pusat dan pihak GAM percaya terhadap organisasi tersebut untuk membantu menyelesaikan konflik yang tengah terjadi diantara mereka, karena konflik tersebut sudah sangat lama terjadi dan belum


(15)

terselesaikan, mengapa tidak organisasi-organisasi resmi yang menaungi negara-negara yang sifatnya internasional atau regional seperti PBB dan ASEAN yang ditunjuk untuk menyelesaikan masalah Aceh. Seperti apa sebenarnya mekanisme kerja dari Henry Dunant Centre sendiri dan hal apa saja yang telah dilakukannya untuk upaya perdamaian konflik Aceh pada kurun waktu sekitar 2000-2004 dan apa sebenarnya motif dari Henry Dunant Centre tersebut dalam menyelesaikan konflik di Aceh, hal ini sangat menarik untuk dibahas dan disajikan dalam sebuah karya ilmiah.

Sebenarnya untuk menyelesaikan suatu konflik yang terjadi idealnya harus dilihat terlebih dahulu dari akar permasalahan yang mengakibatkan konflik tersebut terjadi, untuk itu dapat pula dalam penyelesaian konflik, kita meninjau kembali secara historis terjadinya konflik tersebut. Jika diketahui konflik pada suatu wilayah berdasarkan historis konflik itu sendiri, maka kemungkinan akar permasalahan dapat diketahui pula, sehingga untuk jalan keluar resolusi konflik tersebut juga dapat dirumuskan berdasarkan permasalahan tersebut.

Gerakan sparatis atau kebanyakan orang menyebutnya sparatisme adalah suatu gerakan yang biasanya dapat muncul atau timbul oleh seseorang maupun kelompok dimana mereka mempunyai keinginan dan tujuan yang relatif sama yaitu untuk mendapatkan kedaulatan dan memisahkan wilayahnnya dari pemerintah atau negara yang sedang menaunginya, mereka biasanya suatu kelompok dengan tingkat kesadaran nasional wilayahnya yang sangat tajam antara satu sama lain, gerakan sparatis ini muncul akibat dari situasi atau kondisi dari berbagai asfek-asfek kehidupan mereka yang kurang sesuai dengan harapan dan keinginannya. Kekecewaan suatu wilayah atau daerah dalam suatu negara, dapat timbul dari situasi nasional yang tidak sesuai dengan keinginan dan cita-citanya. Adapun beberapa bentuk kekecewaan tersebut diantaranya adalah:

1. Ketidakpuasaan akan kinerja pemerintahan maka munculah ide-ide untuk membentuk suatu gerakan yang memilik misi dan visi yang berbeda dalam


(16)

menyaingi keadaan yang sudah ada dalam birokrasi dan tatanan yang sudah ada sebelumnya.

2. Kondisi plotik, ekonomi, sosial, budaya yang dalam pemikiran sejumlah kelompok tidak wajar, maka cendrung mereka ingin bebas dan keluar dari aturan itu dan memilih membrontak dari kebijakan yang ada dan ingin merdeka dengan caranya sendiri.

3. Pemahaman terhadap keyakinan dan ini cendrung mengarah pada paham separatisme dan merusak tatanan nilai dan moral yang ada, serta dapat menimbulka perpecahan. (Murdi, 2011, hlm. 1).

Dari kutipan diatas kita bisa melihat sebenarnya selain sisi historis apa saja hal-hal yang menyebabkan timbulnya konflik di Aceh ataupun hal-hal-hal-hal apa saja yang melatarbelakangi timbulnya gerakan Aceh Merdeka (GAM), dan bagaimana seharusnya pemerintah menyelesaikan permasalahan konflik tersebut, apakah dengan ditunjuknya Henry Dunant Centre sebagai mediator dalam membantu proses perdamaian pada tahun 2000-2004 oleh pemerintah Indonesia dan pihak GAM sudah sesuai atau tidak. Sejak kemunculan GAM memang pemerintahan sudah melakukan berbagai cara dan upaya untuk mengatasi konflik itu, namun hal itu apakah sudah sesuai atau tidak dengan yang diharapkan oleh masyarakat, apakah justru memang merugikan salah satu pihak atau bahkan merugikan kedua belah pihak yang sedang bertikai, disinilah pentingnya analisis yang mendalam sebelum penyelesaian suatu konflik yang terjadi, termasuk penyelesaian yang dilakukan oleh Henry Dunant

Centre melalui dialog.

Pimpinan dan anggota GAM sering menganggap bahwa sebenarnya Aceh bukan termasuk kedalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, alasan tersebut mereka lihat dari sisi historis, para panglima GAM seperti Abdullah Syafei beranggapan bahwa memang terdapat perbedaan antara bangsa Aceh dengan bangsa Indonesia atau suku Jawa misalnya, dan tidak ada hubunganya sama sekali, mereka beranggapan bahwa secara historis Aceh merupakan wilayah yang mempunyai struktur sendiri dan tidak harus masuk kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, adapun alasan Aceh masuk ke dalam Negara Kesatun Republik Indonesia adalah karena suatu kesalahan Belanda, mereka berannggapan bahwa sejak 1873 bangsa


(17)

Aceh telah diberikan kemerdekaan oleh Inggris, sehingga Aceh harus mempunyai identitas serta pemerintahan sendiri sehingga sudah tidak relevan lagi Aceh masuk ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Indonesia sendiri merupakan negara dengan keragaman suku bangsa yang cukup banyak belum lagi masyarakat pendatang dari luar negeri hal tersebut yang menyebabkan keadaan kehidupan sosial kemasyarakatan Indonesia yang kompleks, dari segi kepercayaanpun Indonesia tidak menganut monoteisme melainkan menganut

politeisme, belum lagi perbedaan-perbedaan yang sifatnya letak geografis atau

wilayah, perbedaan kebudayaan dan perbedaan adat istiadat hal ini yang menyebabkan keberagaman suku bangsa Indonesia. Keberagaman masyarakat Indonesia membuat mayarakatnya majemuk dan kompleksitas dalam struktur.

Struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh dua ciri yang bersifat unik. Secara horizontal, ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan-perbedaan suku bangsa, perbedaan-perbedaan agama, adat serta perbedaan-perbedaan kedaerahan. Secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan vertical antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam. Perbedaan-perbedaan suku bangsa, perbedaan-perbedaan agama, adat dan kedaerahan sering kali disebut ciri masyarakat Indonesia yang bersifat Majemuk, suatu istilah yang mula-mula sekali diperkenalkan oleh Furnivall untuk menggambarkan masyarakat Indonesia. (Nasikun, 1984, hlm. 30).

Dalam penyelesaian konflik internal yang terjadi di Aceh sendiri sudah diupayakan dengan penyelesaian secara mandiri, oleh internal Indonesia tanpa adanya ikut campur dari pihak-pihak lain dari luar, baik berupa LSM, organisasi-organisasi non pemerintahan maupun organisasi negara-negara kawasan seperti ASEAN atau PBB yang sifatnya internasional. Jika dilihat dari permasalahan memang seharusnya konflik seperti ini dapat diselesaikan secara internal tanpa harus melibatkan negara atau organisasi lain di luar Indonesia, sehingga penyelesaian konflik Aceh ini sejak orde baru diselesaikan oleh Indonesia sendiri tanpa campur tangan dari luar, namun lebih menitikberatkan pada kekuatan militer dalam resolusi konfliknya.


(18)

Suatu hal yang cukup prinsipil memang untuk penyelesaian konflik Aceh ini, idealnya konflik ini diselesaikan dengan cara damai dan saling pengertian antara pemerintah pusat dengan pihak GAM, tanpa harus adanya ikut campur dan kepentingan-kepentingan luar yang masuk kedalam konflik yang terjadi di Aceh, apalagi jika memperkeruh suasana atau membuat situasi tambah kurang kondusif, karena pada dasarnya konflik bersenjata ini bukan merupakan konflik internasional atau negara dengan negara, melainkan konflik yang diakibatkan adanya gerakan sparatis di dalam internal Indonesia sendiri. Penyelesaian secara mandiri dengan jalan damai sulit dilakukan, sehingga mengharuskan adanya peran pihak ketiga dalam membantu menyelesaikan konflik Aceh.

Jika melihat situasi dan kondisi Indonesia sendiri dari segi wilayah, ekonomi, sosial, budaya, yang cukup beragam dan terdapat perbedaan-perbedaan yang mendasar, misalnya perbedaan kepercayaan, ras, kebudayaan dan bahasa memang konflik seperti ini lazim muncul, apalagi ditambah dengan rasa nasionalisme yang kurang baik, adanya diskriminasi dan perbedaan-perbedaan lain yang mendasar dan sulit untuk ditoleransi sehingga rasa etnosentris akan muncul ditambah lagi dengan adanya hal-hal lain yang semakin dirasakan oleh kolektif masyarakat disekitarnya dan merasa senasib seperjuangan dan harus diperjuangkan bersama maka akan muncul suatu keinginan untuk meminta kedaulatan penuh atas wilayahnya dengan cara pengajuan untuk memisahkan diri dari negara asa,l atau menuntut haknya yang belum didapatkan dengan cara lain seperti melakukan gerakan sparatis.

Integrasi Masyarakat Indonesia tidak atau belum akan mencapai tingkatnya yang tangguh. Di dalam keadaan yang demikian maka orang masih lebih mudah tersosialisasi kedalam kesatuan-kesatuan primordial yang telah hidup berabad-abad lamanya, dari pada kedalam lembaga-lembaga yang bersifat nasional. (Nasikun, 1984, hlm. 76).

Integrasi masyarakat yang kurang sesuai ataupun belum mencapai harapan dari masyarakat umum mengakibatkan adanya konflik internal dengan munculnya tuntutan-tuntutan atau keinginan sekelompok masyarakat yang belum terpenuhi


(19)

haknya dari negara dan merasa didiskriminasikan, oleh karena itu cara penyelesaian masalah yang diambilpun harus sesuai dan harus memperhatikan persoalan-persoalan masyarakat yang sebenarnya terjadi. Secara historis harus dipahami dan diketahui mengenai kemunculan konflik tersebut, ini dilakukan agar kebijakan-kebijakan yang diambil dalam upaya penyelesaian konflik tersebut dapat berjalan sesuai dengan harapan masyarakat semua pihka, termasuk didalamnya pihak yang sedang terlibat konflik.

Henry Dunant Centre (HDC) merupakan salah satu organisasi non

pemerintahan (NGO) yang bergerak dalam bidang kemanusiaan, Henry Dunant

Centre sendiri berkedudukan di Swiss dalam upaya membantu menyelesaikan

permasalahan konflik Aceh Henry Dunant Centre berupaya membantu menyelesaikannya dengan menjadi mediator. Beberapa konflik di negara-negara Asia maupun Afrika mereka pernah ikut juga berperan dalam upaya mendamaikanya, dengan mengutamakan mediasi untuk mencapai kesepakatan tanpa adanya pertumpahan darah atau korban termasuk konflik yang pernah terjadi di Aceh yang sudah berlarut-larut antara pemerintah Indonesia dengan gerakan sparatisnya yang menamakan diri Gerakan Aceh Merdeka.

The HD Centre has been operating as an independent mediation organisation for over a decade. As an I mpartial Swiss-based organisation, the HD Centre works to develop constructive dialogue among those in conflict and supports the efforts of other mediation actors, including international and regional organizations. (HDC, 2013, hlm. 1).

Henry Dunant Centre juga termasuk organisasi non pemerintahan yang

menaruh perhatian lebih dalam upaya perdamaian konflik yang sudah lama terjadi di Indonesia, bahkan sebelum mereka ditunjuk sebagi mediator. Secara resmi memang upaya HDC sendiri dalam menengahi konflik di Aceh mulai terlihat pada tahun 2000-2004, khususnya mulai sering terlihat peran Henry Dunt Centre pada saat pemerintahan Abdurahman Wahid dan Megawati Soekarno Putri, mereka terus berupaya agar penyelesaian konflik Aceh sesuai dengan harapan dari kedua belah


(20)

pihak, baik pemerintahan pusat maupun pihak GAM, tanpa adanya pertumpahan darah dan banyak lagi korban jatuh seperti sebelumnya yang memang menggunakan cara militer dalam menangani konflik Aceh.

Penyelesaian masalah konflik Aceh dengan melaksanakan oprasi militer, mengucilkanya dari dunia internasional, berdialog dengan tokoh-tokoh setempat yang langsung dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia, ataupun kegiatan diplomasi-diplomasi dengan atau tanpa bantuan negara lain maupun organisasi internasional yang memfasilitasi atau sebagai penengah dalam penyelesaian konflik Aceh. Jika ditinjau kembali apakah hal tersebut sudah tepat dilakukan atau memang kurang tepat untuk dilakukan sehingga dapat memperkeruh situasi dan kondisi, sebenarnya untuk hal yang lebih baik dalam penyelesaian konflik ini harus dilihat karakteristik masyarakat dengan dipahami dan dimengerti terlebih dahulu, misalkan terkait dengan konflik Aceh, kita harus memahami secara umum karakteristik masyarakat Indonesia yang majemuk, dan karatkteristik masyarakat Aceh sendiri.

Beberapa karakteristik yang dapat kita kenali sebagai sifat dasar masyarakat Majemuk sebagaimana yang dikemukakan oleh Van den berghe, yakni: 1). Terjadinya segmentasi kedalam bentuk kelompok-kelompok yang sering kali memiliki kebudayaan atau lebih tepat sub-kebudayaan, yang berbeda satu sama lain; 2). Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi kedalam lembaga-lembaga yang bersifat non komplementer; 3). Kurang mengembangkan konsensus diantara para anggota masyarakat tentang nilai-nilai sosial yang bersifat dasar; 4). Secara relative sering kali terjadi konflik diantara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain; 5). Secara relative integrasi sosial tumbuh diatas paksaan (coercion) dan saling ketergantungan di bidang ekonomi; serta 6). Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok-kelompok yang lain. (Nasikun, 1984, hlm. 67-68 ).

Sangat penting untuk pemerintah dan masyarakat Indonesia paham dengan struktur dan keadaan sosial budaya masyarakatnya agar dalam kehdiupanya sehari-hari mereka telah saling memahami satu sama lain dan tidak lagi terjadi konflik internal atau terjadi disintegrasi bangsa, adapun bila terjadi dapat diselesaikan dengan baik dan benar, pada masa lalu konflik Aceh mungkin dapat diselesaikan dengan


(21)

baik, jika semua pihak paham dan mengerti dengan sistem sosial budaya masyarakat Indonesia. Penunjukan Henry Dunant Centre dalam membantu proses perdamaian di Aceh apakah sudah tepat atau tidak, karena pada akhirnya pemerintah memandang bahwa kinerja dari Henry Dunant Centre dianggap kurang maksimal dan kurang sesuai keinginan pemerintahan Indonesia, sehingga menyebabkan beberapa spekulasi mengenai kegagalan Henry Dunant sebagai pihak mediator.

Mediator yang menjalankan mekanisme kerjanya dalam memediasi dua pihak atau lebih yang sedang berkonflik seharusnya dapat bersifat netral tanpa ada keberpihakan, karena mediasi sendiri merupakan proses dimana pihak ketiga yang netral membantu mengungkapkan dan memahami perbedaan diantara dua pihak yang sedang bertikai/berseteru, jika memungkinkan membuat suatu klausal untuk penyelesaian konflik, selain itu mediator bekerja dan mempunyai kewenangan atas amanah dari seluruh pihak yang sedang bertikai, keberhasilan dalam menjalankan tugasnya sebagai mediator dipengaruhi juga oleh pemahaman para anggota mediator akan tugasnya.

Mediator memperoleh tugas dan kewenangan tersebut dari para pihak, dimana mereka ‘mengizinkan dan setuju’ adanya pihak ketiga menyelesaikan sengketa mereka kewenangan dan tugas mediator terfokus pada upaya menjaga dan mempertahankan proses mediasi. Mediator diberikan kewenangan oleh para pihak melakukan tindakan dalam rangka memastikan bahwa mediasi sudah berjalan sebagaimana mestinya. (Abbas, 2011, hlm. 82-83).

Dalam perjalanan tugasnya untuk penyelesaian konflik di Aceh 2000-2004

Henry Dunant Centre nampaknya dianggap sudah tidak sesuai dengan kaidah-kaidah

kerja dari suatu lembaga mediasi, dimana mereka dianggap oleh satu pihak atau dalam hal ini pemerintah pusat telah gagal. Spekulasi dari berbagai pihak tentang kegagalan Henry Dunant Centre dalam menjalankan fungsinya sebagai mediator, disebabkan oleh kenyataan di lapangan yang tidak menunjukan signifikansi penyelesaian konflik Aceh, selain itu faktor kecakapan mereka sendiri yang kurang membuat konflik Aceh sulit di selesaikan, apakah ini memang benar adanya ataukah


(22)

ada faktor lain yang lebih utama, sehingga proses perdamaian yang dimediasi oleh

Henry Dunant Centre selalu gagal.

Dari pemaparan latar belakang tersebut maka peneliti menganggap penting untuk mengadakan sebuah penelitian tentang upaya lembaga non pemerintahan (NGO) internasional yang bergerak dalam bidang kemanusiaan dan mediasi dalam konflik yaitu Henry Dunant Centre dalam penyelesaian konflik internal Indonesia yang terjadi di Aceh pada sekitar tahun 2000-2004. Sehingga peneliti merencanakan dan akan berusaha merealisasikan sebuah penelitian ilmiah dengan judul RESOLUSI KONFLIK ACEH: Kajian Ketidakberhasilan Henry Dunant

Centre Dalam Penyelesaian Konflik Pemerintah Indonesia Dengan Gerakan Aceh Merdeka 2000-2004 ”.

1.2. Perumusan Masalah

Kajian ini dimulai dari situasi dan kondisi Indonesia sebelum tahun 2004 yang memandang asal mula konflik Aceh untuk melihat situasi pada 2000-2004, dilanjutkan dengan proses penunjukan Henry Dunant Centre sebagai lembaga yang membantu proses perdamaian Indonesia dan GAM, kemudian upaya apa saja yang telah dilakukan oleh Henry Dunant Centre terkait dengan upaya perdamaian konflik internal di Aceh dalam kurun waktu 2000-2004, dan melihat apa saja pengaruh kerjanya di Indonesia terkait upaya penyelesaian konflik di Aceh pada tahun 200-2004.

Dari hasil penjelasan latar belakang masalah di atas, maka untuk memudahkan penulis dalam melakukan penelitian dan kemudian mengarahkan dalam pembahasan, maka penulis mengidentifikasi perumusan masalah yang menjadi sentral dalam skripsi ini yaitu tentang RESOLUSI KONFLIK ACEH: Kajian Ketidakberhasilan Henry Dunant Centre Dalam Penyelesaian Konflik Pemerintah

Indonesia Dengan Gerakan Aceh Merdeka 2000-2004?“ kemudian untuk menjawab rumusan masalah tersebut peneliti mengajukan beberapa pertanyaan penelitian yaitu:


(23)

1. Bagaimana situasi dan kondisi Aceh pada tahun 2000-2004 ?

2. Apa yang melatarbelakangi dipilihnya Henry Dunant Centre sebagai Meditor Dalam Penyelesaian Konflik Aceh ?

3. Bagaimana proses perdamaian yang dilakukan oleh Henry Dunant Centre dalam penyelesaian konflik Aceh tahun 2000-2004 ?

4. Apa yang menyebabkan ketidakberhasillan Henry Dunant Centre dalam resolusi konflik Aceh ?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan dan batasan permasalahan yang telah dibahas sebelumnya dan akan dikaji dalam skripsi ini, maka tujuan penulisan skripsi adalah:

1. Mendeskripsikan situasi dan kondisi Aceh pada tahun 2000-2004.

2. Mendeskripsikan latar belakang dipilihnya Henry Dunant Centre sebagai Mediator dalam Penyelesaian Konflik Aceh.

3. Mendeskripsikan proses perdamaian yang dilakukan oleh Henry Dunant

Centre dalam penyelesaian konflik Aceh tahun 2000-2004.

4. Menganalisis faktor ketidakberhasillan Henry Dunant Centre dalam resolusi konflik Aceh.

1.4. Manfaat Peneltian

Penelitian ini secara khusus diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah wawasan dan pengetahuan penulis tentang sebuah penelitian karya ilmiah sehingga dimasa yang akan datang dapat membuat penelitian karya ilmiah yang setarap bahkan lebih tinggi tingkatanya, selain itu secara umum penelitian karya ilmiah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat umum diantaranya adalah:

1. Hasil penelitian diharapakan dapat menambah koleksi karya ilmiah di DepartemenPendidikan Sejarah Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Pendidikan Indonesia.


(24)

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat menjadi bahan referensi untuk peneliti selanjutnya yang akan meneliti sebuah karya ilmiah dan mempunyai tema sesuai dengan tema karya ilmiah ini sebagai bahan referensi. 3. Hasil penelitian karya ilmiah ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat Indonesia sehingga mereka memahami konflik di Aceh dan akan memberikan suatu pelajaran yang berharga, agar konflik internal tidak muncul lagi di tengah-tengah masyarakat Indonesia.

4. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya kajian tentang sejarah diplomasi di Indonesia khususnya pada tahun 2000-2004.

1.5. Struktur Organisasi Skripsi

Agar penulisan skripsi ini tersusun secara sistematis, maka penulisan skripsi ini disusun berdasarkan sistematika penulisan karya ilmiah yang sesuai standar dan telah disusun oleh tim dari Universitas Pendidikan Indonesia, yatu sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan, Pada bab ini penulis memaparkan dan menjelaskan mengenai latar belakang masalah yang menjadi alasan penulis untuk melakukan penelitian dan penulisan skripsi, rumusan masalah yang menjadi beberapa permasalahan untuk mendapatkan data-data temuan di lapangan, penulis menyusunnya pada beberapa pertanyaan penelitian, dan pembatasan masalah guna memfokuskan kajian penelitian, agar sesuai dengan permasalahan utama dan tidak mengkaji hal lain yang tidak ada kaitannya dengan kajian karya ilmiah ini.

Bab II Kajian pustaka, pada bab ini akan dijabarkan mengenai daftar literatur yang dipergunakan yang dapat mendukung dalam penulisan. Konsep-konsep dan teori-teori yang relevan dan sesuai dengan pembahasan karya ilmiah ini kemudian dijabarkan untuk membantu memahami dan menyelesaikan karya ilmiah ini sesuai dengan pembahasanya.

Bab III Metode penelitian, dalam bab ini peneliti mengkaji tentang langkah-langkah yang dipergunakan dalam penulisan, diantaranya berupa metode penulisan


(25)

dan teknik penelitian yang digunakan oleh penulis dalam upaya menyusun karya ilmiahnya, metode penulisan karya ilmiah yang digunakan oleh penulis disesuaikan dengan metode penulisan yang dijelaskan dalam buku pedoman penulisan karya ilmiah Universitas Pendidikan Indonesia tahun 2014, agar relevan dan sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh lembaga pendidikan (Perguruan Tinggi) yang merupakan tempat penulis sedang melakukan proses studinya secara formal.

Dalam bab ini juga, penulis berusaha memaparkan metode yang digunakan untuk merampungkan rumusan penelitian, metode penelitian ini harus mampu menjelaskan langkah-langkah serta tahapan-tahapan apa saja yang digunakan dalam penelitian yang dilakukan. Seperti yang dijelaskan dalam buku pedoman penulisan karya ilmiah Universitas Pendidikan Indonesia tahun 2014 Semua prosedur serta tahapan-tahapan penelitian mulai dari persiapan hingga penelitian berakhir harus diuraikan secara rinci dalam bab ini. Hal ini dilakukan untuk memudahkan penulis dalam memberikan arahan dalam pemecahan masalah yang akan dikaji.

Bab IV Upaya Henry Dunant Centre Dalam Penyelesaian Konflik Pemerintah Indonesia Dengan Gerakan Aceh Merdeka 2000-2004, Pada bab ini penulis memaparkan hasil penelitian dan pembahasan yang berisi mengenai keterangan-keterangan dari data-data yang ditemui di lapangan. Baik data-data yang diperoleh yang sifatnya data tertulis, (literatur-literatur) dan data-data yang diperoleh dari dokumentasi yang sesuai, kemudian penulis memaparkan secara deskriptif untuk memperjelas maksud yang terkandung dalam data-data temuan tersebut.

Penulis berusaha mencoba mengkritisi data-data temuan di lapangan dengan membandingkannya kepada bahan atau sumber yang mendukung pada permasalahan yang penulis teliti, sumber yang diperoleh harus melalui proses-proses sistematika yang telah dijelaskan diatas dan melalui prosedur heirarki penelitian sejarah dengan melalui tahapan-tahapan terstruktur. Data-data yang diperoleh dan telah melalui berbagai proses verifikasi kemudian dirancang untuk dapat disampaikan dalam bentuk tulisan yang baik dan mudah dimengerti oleh pembaca, sesuai dengan ejaaan yang disemprnakan.


(26)

BAB V Kesimpulan dan Rekomendasi, bab terakhir ini mengenai kesimpulan yang berisi tentang rangkaian penelitian yang telah dilaksanakan yang tersusun dalam gambaran-gambaran umum yang menjelaskan hasil penelitian dari awal sampai akhir sehingga mampu menjawab rumusan masalah yang ditanyakan. Peneliti menjabarkan hasil dari kesimpulan dengan berdasarkan pada data dan fakta yang telah dikumpulkan, disusun selama proses penelitian ini berlangsung. Rekomendasi ditujukan untuk kegunaan skripsi ini pada dunia pendidikan.


(27)

BAB III

METODE PENELITIAN

Pada bab III ini penulis memaparkan tentang metode dan teknik penelitian yang digunakan dalam mengkaji permasalahan mengenai Ketidakberhasilan

Henry Dunant Centre dalam penyelesaian konflik pemerintah Indonesia dengan

Gerakan Aceh Merdeka pada tahun 2000 sampai 2004. Metode yang digunakan oleh penulis dalam menyelesaikan skripsi ini adalah metode historis dengan melaksanakan langkah-langkah yang tepat dalam sebuah penelitian, sedangkan untuk menjalankan penelitian penulis akan menggunakan studi literatur dan studi dokumentasi dengan menggunakan pendekatan interdisipliner.

3.1. Metode Penelitian

Dalam upaya menyelesaikan karya ilmiah ini peneliti memerlukan metode penelitian yang sesuai, dengan adanya metode penelitian ini diharapkan dapat membantu menyelesaikan karya ilmiah ini sesuai dengan rencana dan tidak keluar dari jalur penelitian. Metode sendiri merupakan suatu cara teratur dan sistematis yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan. Dengan adanya metode ini, diharapkan dapat mempermudah, memperlancar dan bahkan dapat merealisasikan tersususnya skripsi ini sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh peneliti, metode tersebut akan dimanfaatkan dalam sebuah penelitian ilmiah, dimana dalam prosesnya harus sesuai dengan prosedur dan langkah-langkah yang tepat.

Penelitian atau riset sendiri adalah suatu kegiatan atau suatu pekerjaan dalam upaya mencapai suatu tujuan yang diinginkan terkait dengan sebuah permasalahan yang telah diajukan, yaitu dengan cara pengumpulan, pengolahan, analisis, dan penyajian data, kegiatan tersebut kemudian dilakukan secara sistematis dan objektif, sistematis artinya tersusun, sesuai dengan langkah-langkah, kaidah-kaidah yang benar dan mengikuti peraturan baku dalam dunia akademik, sedangkan objektif dalam penelitian ini adalah mengangkat suatu informasi dengan baik dan benar, apa adanya dan tidak memihak atau


(28)

menyudutkan satu atau bahkan semua pihak, semua ini dilakukan untuk menguji suatu hipotesis yang telah diajukan dalam sebuah judul ”RESOLUSI KONFLIK ACEH: Kajian Ketidakberhasilan Henry Dunant Centre dalam Penyelesesaian konflik pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka tahun 2000-2004”.

Metode penelitian dalam sebuah penyusunan karya ilmiah lazim dilakukan untuk dapat membantu dan memudahkan penyelesaian suatu riset atau penelitian, begitu pula dengan skripsi yang penulis susun ini. “Metode penelitian adalah semua asas, peraturan dan teknik-teknik yang perlu diperhatikan dan diterapkan dalam usaha mengumpulkan data dan analisis.” (Unardjan, 2000, hlm. 1). Oleh karena itu dalam penelitian ini penulis akan menggunakan asas, peraturan dan teknik-teknik yang sesuai dengan kajian penulisan karya ilmiah ini.

Dalam upaya merealisasikan skripsi yang berjudul “RESOLUSI KONFLIK ACEH: Kajian Ketidakberhasilan Henry Dunant Centre Dalam Penyelesaian Konflik Pemerintah Indonesia Dengan Gerakan Aceh Merdeka 2000-2004” penulis akan menggunakan cara atau prosedur-prosedur yang sistematis dan sesuai dengan sistem dalam penelitian sejarah. Terkait dengan tema penelitian yang dilaksanakan pada karya ilmiah ini yang merupakan sebuah peristiwa sejarah, maka peneliti akan menggunakan metode sejarah dalam menyelesaikan karya ilmiah ini, dimana dalam metode sejarah setidaknya harus melaksanakan tahapan tahapan, atau langkah-langkah sistematis dan prosedurial yang dilakukan seorang sejarawan tahapan ini tidak dapat mendahului satu dengan yang lainya, dalam metode sejarah, setidaknya ada enam tahap yang harus ditempuh dalam penelitian sejarah:

1. memilih suatu topik yang sesuai;

2. mengusut semua evidensi (bukti) yang relevan dengan topik;

3. membuat catatan tentang itu apa saja yang dianggap penting dan relevan dengan topik yang ditemukan ketika penelitian sedang berlangsung

4. mengevaluasi secara kritis semua evidensi yang telah dikumpulkan (kritik sumber);


(29)

5. menyusun hasil-hasil penelitian (catatan fakta-fakta) kedalam suatu pola yang benar dan berarti yaitu sistematika tertentu yang telah disepakati sebelumnya

6. menyajikan dalam suatu cara yang dapat menarik perhatian dan mengkomunikasikannya kepada para pembaca sehingga dapat dimengerti sejelas mungkin. (Sjamsuddin, 2007, hlm. 89-90).

Untuk dapat merealisasikan penelitian ini, maka setidaknya harus melakukan enam tahap penelitian atau enam langkah penelitian, seperti yang telah dijelaskan oleh Sjamsuddin, dan teknik yang digunakan oleh peneliti adalah dengan cara studi literatur dan studi dokumentasi, dimana dalam teknik penelitian ini, peneliti dapat melihat relevansi dari sumber yang telah ada sebelumnya, hasil dari penelitian terdahulu. Berikut langkah-langkah yang dilakukan oleh peneliti dalam merealisasikan karya ilmiah ini:

3.1.1. Pemilihan Topik Penelitian

Pemilihan topik penelitian merupakan langkah pertama yang sangat penting, hal ini terkait dengan kelanjutan langkah selanjutnya dalam merealisasikan sebuah penelitian, memilih sebuah topik penelitian tidak boleh sembarangan, pemilihan topik dalam penelitian sejarah setidaknya harus memperhatikan empat kriteria, yaitu: nilai (value), keaslian (originality), kepraktisan (practicality), kesatuan (unity). (Sjamsuddin, 2007, hlm. 90-91).

Dalam pemilihan topik suatu penelitian haruslah mempunyai suatu nilai (value), nilai yang dimaksud adalah nilai yang berarti bagi kehidupan manusia, ketika akan meneliti sebuah peristiwa sejarah haruslah yang sekiranya dapat bermanfaat dan berarti bagi kehidupan manusia dimasa yang akan datang, ketika dalam penelitian tersebut mengangkat suatu topik sejarah orde baru di Indonesia misalnya, meskipun sudah berlalu peristiwa tersebut namun ketika disusun dalam sebuah karya ilmiah diharapkan peristiwa tersebut dapat dipahami oleh para pembaca dan menjadi sebuah pembelajaran dalam kehidupan yang akan datang. Ungkapan sejarah mengatakan bahwa “Sejarah masa lalu merupakan pengalaman berharga untuk pijakan dimasa yang akan datang”.


(30)

Dalam memilih topik penelitian, hendaknya seorang peneliti harus memperhatikan beberapa asfek, diantaranya adalah topik yang dipilih harus dikuasai dan sesuai dengan keilmuan peneliti, topik yang dipilih harus mempunyai hubungan emosional untuk menimbulkan ketertarikan peneliti dalam melaksanakan penelitianya, dan topik yang diteliti tentu saja harus mempunyai nilai kegunaan di masyarakat. Pemilihan topik tidak dilakukan dengan cara sembarangan, seorang peneliti harus pandai mencari motif yang baik untuk mengangkat suatu topik penelitian.

Motif penelitian, bukanlah semata-mata untuk menghasilkan karya yang bersifat kompilasi, melainkan juga dapat memberikan sumbangan baru pada perkembangan ilmu pengetahuan dengan menggunakan data baru dari penemuannya dalam melaksanakan penelitian atau interpretasi dari data yang telah lama dikenal. (Abdurahman, 2007, hlm. 55).

Dalam memilih topik penelitian, seorang peneliti harus juga memperhatikan keaslian (originality) dari topik yang akan dikajinya, maksud keaslian disini adalah, topik yang akan dipilih oleh peneliti harus mempunyai keaslian, belum pernah disajikan oleh peneliti terdahulu dengan bentuk dan cara yang sama. Jika topik tersebut pernah juga diangkat dalam penelitian sebelumnya, maka seorang peneliti harus pandai mencari solusi yang tepat dengan memperhatikan asfek lain yang belum dikaji dalam penelitian sebelumnya agar tidak terdapat suatu kesamaan pembahasan yang signifikan.

Jika subjek yang dipilih telah dikaji dalam penelitian yang lebih dahulu, anda harus yakin bahwa anda dapat menampilkan salah satu atau kedua-duanya: 1). Evidensi baru yang sangat substansial dan signifikan, atau suatu 2). Interpretasi baru dari evidensi yang valid dan dapat ditunjukan. (Sjamsuddin, 2007, hlm. 90-91).

Kepraktisan (practicality). Jadi untuk memilih topik penelitian harus memperhatikan kepraktisan dari topik itu sendiri yang akan menjadi kajian, hal ini penting dilakukan untuk memudahkan peneliti dalam proses pelaksanaan penelitian, jika praktis sesuai dengan kapasitas dan kredibelitas yang dimiliki, maka penelitian itu akan mudah dilaksanaka, jika tidak sesuai dan nilai


(31)

kepraktisan itu sangat kecil, maka akan menyulitkan peneliti sendiri dalam pelaksanaan penelitianya.

Penelitian itu harus dapat dilaksanakan dengan memperhatikan hal-hal berikut: 1). Keberadaan sumber-sumber yang dapat diperoleh tanpa adanya kesulitan yang tidak rasional. 2). Kemampuan untuk menggunakan dengan benar sumber-sumber itu berdasarkan atas latar belakang pendidikan anda sebelumnya. 3). Ruang cakup penelitian. Ruang cakup penelitian harus sesuai dengan medium yang akan dipresentasikan. (Sjamsuddin, 2007, hlm. 91).

Penilihan topik penelitian yang bersifat praktis dilakukan oleh peneliti dengan melihat pada kemampuan dan keleluasaan peneliti, sehingga dengan kepraktisan ini penelitian dapat berjalan dengan baik san sesuai dengan rencana, tidak terlalu memberatkan dari segi biaya, waktu dan tentu saja pikiran. Berbagai kesulitan yang muncul meskipun dapat diatasi dengan keuletan, namun penelitian yang baik adalah penelitian yang sesuai dengan kemampuan dan kapabilitas dari peneliti sendiri, sehingga dalam prosesnya penelitian ini tidak memberatkan, melainkan dapat memberikan semangat dan motivasi karena porsi penelitianya sesuai dengan kemampuan dan kapasitas dari peneliti.

Topik yang dipilih haruslah praktis “workable” dapat dikerjakan dalam

waktu yang tersedia, tidak terlalu luas sehingga melampaui waktu; terjangkau sumber-sumbernya dan menguasai bahasa yang terdapat dalam sumber-sumber itu; disesuaikan dengan keperluan, artinya apakah lingkungan topik itu untuk menyusun makalah, skripsi, tesis atau sebuah buku. (Abdurahman, 2007, hlm. 57-58).

Penentuan topik penelitian juga harus memperhatikan kesatuan (unity) tema-tema yang dipilih dalam penelitian, khususnya dalam penelitian sejarah dapat dicari suatu tema yang mempunyai keterhubungan antara satu tema dengan tema yang lain. Tema penelitian utama hendaknya harus terfokus pada satu tema saja, supaya pembahasan dalam penelitian lebih terfokus, adapun keterkaitanya dengan tema lain tidak meruntuhkan bahkan menghilangkan fokus utama penelitian.

Kesatuan (unity) setiap penelitian harus mempunyai suatu kesatuan tema, atau diarahkan kepada suatu pertanyaan atau proposisi yang bulat , yang akan memberikan peneliti suatu titik bertolak, suatu arah maju ke tujuan


(32)

tertentu, serta suatu harapan atau janji yang akan melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang khusus. (Sjamsuddin, 2007, hlm. 91).

Penentuan tema atau topik penelitian yang dilaksanakan oleh peneliti sampai menemukan tema mengenai sejarah kontemporer dalam kajian penyelesaian konflik GAM dengan pemerintah Indonesia, dengan judul “RESOLUSI KONFLIK ACEH: Kajian Ketidakberhasilan Henry Dunant Centre Dalam Penyelesaian Konflik Pemerintah Indonesia Dengan Gerakan Aceh Merdeka 2000-2004” dalam perjalananya menemui banyak kendala dan hambatan. Ketika peneliti melaksanakan mata kuliah seminar penulisan karya ilmiah pada semester 6, dimana pada mata kuliah tersebut mahasiswa yang mengikutinya harus membuat sebuah proposal penelitian sebagai salah satu tugas dalam proses perkuliahan, peneliti sempat mengajukan tema penelitian terkait dengan mata kuliah yang sedang dilaksanakan dan sebagai suatu pertimbangan juga agar tema yang diajukan tersebut dapat digunakan oleh peneliti ketika menyelesaikan tugas akhir studi di departemen pendidikan sejarah Universitas Pendidikan Indonesia dengan membuat sebuah skripsi.

Pada saat itu peneliti sempat mengajukan tema penelitian yaitu tentang peranan para Legiun Vetrean Republik Indonesia (LVRI) kabupaten Kuningan saat merebut dan mempertahankan kemerdekaan, namun ketika telah dipresentasikan dalam satu kesempatan perkuliahan ternyata tema tersebut tidak relevan untuk dijadikan sebuah karya ilmiah, mengingat LVRI terbentuk setelah masa kemerdekaan Indonesia, sehingga peneliti kemudian tidak mengambil tema tersebut sebagai karya ilmiah yang akan dibahas dalam skripsi pada semester selanjutnya. Kegagalan menentukan tema penelitian pada mata kuliah seminar penulisan karya ilmiah ternyata tidak membuat semangat peneliti memudar, peneliti terus mencari permasalahan yang sesuai dan kemudian dapat dikaji dan dijadikan sebuah karya ilmiah, sehingga peneliti sering mencari informasi baik itu langsung turun ke lapangan maupun dengan melakukan studi literatur.

Pada mata kuliah semester tujuh peneliti mengontrak mata kuliah sistem penelitian sosial budaya, dimana pada mata kuliah ini mahasiswa harus


(33)

mempresentasikan calon penelitian ilmiahnya yang akan dijadikan sebuah skripsi, dari beberapa penelitian sederhana sebelumnya yang dituliskan dalam bentuk proposal dan artikel peneliti lebih suka mengkaji tentang sejarah pendidikan, karena perndidikan tidak akan pernah lepas dari manusia, dimana maju mundurnya suatu sumber daya manusia ditentukan pula oleh kualitas pendidikan yang ada di lingkunganya, sehingga peneliti berencana membuat karya ilmiah dengan tema tentang sejarah pendidikan di Indonesia dan di khususkan pada jenjang perguruan tinggi negeri dan pada akhirnya peneliti mengambil sebuah

judul “Penerimaan Wider Mandate Dirjen DIKTI oleh IKIP Bandung”.

Penelitian dengan tema pendidikan tersebut kemudian segera diajukan dalam bentuk proposal kepada TPPS dengan sebelumnya meminta masukan terlebih dahulu kepada Bapak Drs. Moch Eryk Kamsori dan kepada bapak Didin Syaripudin M.Pd, P.Hd. setelah menunggu beberapa hari untuk keputusan diterima atau tidak mengenai proposal yang diajukan peneliti ternyata hasilnya kurang sesuai dengan harapan. Berdasarkan keputusan dari TPPS ternyata proposal yang diajukan peneliti tidak bisa dilanjutkan dan dijadikan sebuah penelitian ilmiah, dengan berbagai pertimbangan, diantaranya adalah dikhawatirkan akan terjadinya plagiarisme karena sebelumnya pernah ditulis tentang tema tersebut oleh salah satu dosen UPI, kemudian terlalu riskan untuk menulis lembaga almamater tempat kita berada dikhawatirkan akan adanya sisi subjektifitas dari peneliti yang justru akan merugikan banyak pihak.

Pada akhirnya setelah beberapa kali berkonsultasi dengan TPPS mengenai tema apa yang tepat untuk dijadikan sebuah penelitian ilmiah disetujuilah sebuah tema yang diajukan, yaitu tentang sejarah konflik internal di Indonesia dengan mengajukan sebuah judul awal: “Peranan Henry Dunant Centre Dalam Upaya Penyelesaian Konflik Indonesia dengan GAM 2000-2004” tema dengan judul

tersebut diajukan oleh peneliti karena peneliti tertarik dengan cara penyelesaian konflik di Aceh yang sudah sejak lama yaitu ketika pasca kemerdekaan sudah timbul adanya ketegangan dengan pemerintah pusat namun belum bisa terselesaikan sampai masa reformasi, penyelesaian dengan cara militer sering


(34)

dilakukan namun ternyata hasilnya kurang sesuai, barulah pada tahun 2000 Indonesia mempunyai cara baru untuk menyelesaikan konflik di Aceh yaitu dengan cara mediasi dan melibatkan pihak luar sebagai mediator, inilah yang menjadi ketertarikan peneliti untuk kemudian mengajukanya dalam bentuk proposal penelitian karya ilmiah.

Dalam penentuan topik penelitian ini, peneliti memperhatikan keadaan emosional, peneliti yang sejak lama telah menaruh perhatian pada peristiwa konflik yang terjadi di Indonesia khususnya konflik Aceh, pada konflik-konflik yang terjadi terkait dengan ancaman disintegrasi bangsa ini peneliti sangat menaruh perhatian lebih sehingga sering mencari informasi-informasi terkait dengan peristiwa tersebut, karena dengan adanya konflik di berbagi daerah ini dapat membuka pengetahuan kita bagaimana sebuah ancaman terhadap kedaulatan dan keutuhan negara ternyata benar-benar terjadi dan dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Dapat disimpulkan apa kiranya hal yang tepat yang harus dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat Indonesia secara umum untuk berlaku bijak menghadapi kenyataan tentang konflik yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia.

3.1.2. Mengusut Bukti Yang Relevan Dengan Topik Penelitian

Setelah topik penelitian ditentukan dan kemudian disahkan dalam Semiar Penulisan Karya Ilmiah pada kamis, 16 Januari 2014 di Laboratorium pendidikan sejarah lantai IV gedung FPIPS UPI. Dengan judul “Peranan Henry Dunant

Centre Dalam Upaya Penyelesaian Konflik Indonesia dengan GAM 2000-2004.”

Peneliti melakukan presentasi pada urutan ke 8, kemudian mendapatkan revisi, hingga judul yang disetujui adalah: Upaya Henry Dunant Centre Dalam Penyelesaian Konflik Pemerintah Indonesia dengan GAM 2000-2004.

Segera setalah mendapatkan persetujuan Judul skripsi dan mendapatkan Pembimbing I Prof. Dr H. Dadang Supardan, M.Pd, Pembimbing II Dr. Encep Supriatna M.Pd, tahap selanjutnya adalah mencari bukti-bukti atau sumber-sumber yang sesuai dengan penelitian sehingga nantinya dapat digunakan dalam


(35)

penyusunan karya ilmiah ini sebagai referensi. Kegiatan ini merupakan langkah awal yang dilakukan setelah mendapatkan judul penelitian, ini merupakan bentuk kegiatan dengan mencari dan mengumpulkan sumber-sumber atau data-data terkait dengan penelitian yang sedang dilaksanakan, proses mencari dan mengumpulkan sumber-sumber atau data-data tersebut dapat dilakukan dengan mencari dari buku-buku, jurnal-jurnal, Artikel-artikel, surat kabar, maupun dokumentasi baik secara langsung maupun melalui media elektronik atau internet. Sumber-sumber yang dicari dan dikumpulkan tentu saja sumber yang sesuai atau berhubungan dengan tema penelitian yang sedang dilaksanakan, yaitu tentang proses perdamaian yang terjadi di Aceh pada tahun 2000-2004 dan upaya lembaga mediator Henry Dunant Centre dalam tugasnya memediator perdamaian antara pemerintah pusat dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dalam kegiatan ini penulis menggunakan teknik studi literatur, dan studi dokumentasi maka dalam proses pencarian sumber tersebut sumber-sumber yang dikumpulkan berupa sumber tertulis diantaranya sumber sumber dari buku, jurnal, artikel-artikel, koran, majalah dan gambar-gambar baik secara langsung maupun melalui bantuan peralatan elektronik, atau internet.

Dalam proses pengumpulan sumber-sumber atau data yang diperlukan, peneliti telah melaksanakan berbagai macam cara untuk mendapatkan sumber yang berkaitan dengan judul penelitian: “RESOLUSI KONFLIK ACEH: Kajian Ketidakberhasilan Henry Dunant Centre Dalam Penyelesaian Konflik Pemerintah Indonesia Dengan Gerakan Aceh Merdeka 2000-2004”. Dengan harapan dapat memperoleh sumber-sumber atau data data yang sesuai, upaya yang dilakukan oleh peneliti diantaranya adalah dengan mendatangi perpustakaan, toko buku dan tempat lain yang sekiranya terdapat sumber yang diinginkan, yaitu:

1). Perpustakaan Universitas Pendidikan Indonesia

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam penelitian skripsi menggunakan studi literature dan studi dokumentasi, maka sumber-sumber yang dicari terkait dengan topik penelitian dengan Judul “RESOLUSI KONFLIK


(36)

ACEH: Kajian Ketidakberhasilan Henry Dunant Centre Dalam Penyelesaian Konflik Pemerintah Indonesia dengan GAM 2000-2004” adalah buku, jurnal,

majalah, baik langsung maupun melalui internet dengan elektronik book. Untuk memperolehnya peneliti mencari sumber-sumber diantaranya buku yang terdapat di perustakaan Universitas Pendidikan Indonesia, diperpustakaan ini peneliti menemukan beberapa buku yang relevan sebagai bahan rujukan atau referensi pada skripsi ini.

Buku-buku yang ditemukan di perpustakaan Universitas Pendidikan Indonesia ini diantaranya adalah buku-buku yang terkait dengan penelitian sejarah yang digunakan dalam cara atau teknik dalam pembuatan skripsi pada departemen pendidikan sejarah Universitas Pendidikan Indonesia, dimana buku-buku yang diperoleh tersebut diantaranya adalah: “Metodologi Penelitian Sejarah” karya

Dudung Abdurahman, “Mengerti Sejarah” buku ini merupakan karya dari Louis

Gottschlak kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh Nugroho Notosusanto, “Pengantar Ilmu sejarah”, (Pengantar Belajar sejarah Sebagai Ilmu dan Wahana Pendidikan) kedua buku ini merupakan karya dari Ismaun guru besar

Pendidikan Sejarah UPI.

2). Perpustakaan Universitas Padjajaran di Jalan Dipatiukur

Selain di perpustakaan Universitas Pendidikan Indonesia, dalam usaha mencari dan mengumpulkan sumber-sumber, dilakukan pula di perpustakaan utama Universitas Padjajaran di Jalan Dipatiukur, dengan harapan dapat ditemukanya buku-buku atau sumber yang relefan dengan tema pada skripsi ini, mengingat Universitas Padjajaran salah satu perguruan tinggi negeri yang didalamnya menaungi Departemen Sejarah dan Hubungan Internasional.

Sumber buku yang diperoleh di Perpustakaan Universitas Padjajaran ini peneliti menemukan buku-buku tentang sebuah kajian sosial dalam penelitian ilmiah dan beberapa buku tentang sistem pemerintahan Indonesia terkait dengan situasi dan kondisi Indonesia pada masa penyelesaian konflik di Aceh tahun 2000-2004, diantara buku buku tersebut adalah: “Konsep Negara Demokrasi” karya dari


(37)

M Fuady, “Ilmu Negara” karya Busroh, “Sistem Pemerintahan Indonesia” karya Kansil, dan “Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah” merupakan karya dari Sartono Kartodirdjo. Buku tentang konflik Aceh yang ditemukan diantaranya adalah Perang dan Perdamaian di Aceh Kumpulan Wawancara

1998-2005 karya Oto Samsyudin Ishak, dan buku Aceh Bersimbah Darah (Mengungkap Penerapan Status Daerah Operasi Militer (DOM) Di Aceh 1898-1998).

3). Perpustakaan Pusat Angkatan Darat

Dalam usaha mencari sumber peneliti mendatangi Perpustakaan Pusat Angkatan Darat di Jalan Kalimantan, kota Bandung perpustakaan ini dekat dengan SMAN 3 dan 5 Bandung dan diketahui peneliti saat akan melaksanakan PPL, disana peneliti menemukan beberapa referensi dan dokumentasi Angkatan Darat saat bertugas menjaga dan mengamankan NKRI sekitar tahun 2000-2004, termasuk dalam menjaga dan mengawal proses perdamaian yang terjadi di Aceh, laporan-laporan kegiatan angkatan darat sebagai arsif terutama ketika menjalankan misi perdamaian di Aceh akan digunakan pula oleh peneliti sebagai referensi dalam penelitian ini.

Beberapa buku yang ditemukan terkait pembahasan konflik Aceh diantaranya berjudul Aceh dipersimpangan Jalan karya dari Tippe, ACEH: Peran

Demokrasi Bagi Perdamaian dan Rekonstruksi, karya dari Tornquist, O dan

Prasetyo, dan sudah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia. Buku-buku yang ditemukan terkait konflik Aceh tersebut sangat membantu peneliti dalam menyelesaikan karya ilmiah ini.

4). Koleksi Pribadi

Buku-buku hasil koleksi pribadi, terkait dengan tema penelitia diatas banyak juga yang relevan sehingga hal ini dapat memperkaya sumber-sumber yang diperoleh. Buku-buku tersebut banyak diperoleh dari toko-toko buku seperti toko buku Gramedia, Togamas dan pusat buku Palasari yang memang sengaja dibeli oleh peneliti dalam rangka pencarian sumber tertulis. Buku tersebut kebanyakan tentang sejarah konflik Aceh dan cara penyelesaianya, namun ada pula buku yang


(38)

membahas mengenai teori-teori politik dan sosiologi, semua itu digunakan dalam mengenalisis karya ilmiah peneliti.

Buku yang berjudul “Soft Power Untuk Aceh Resolusi Konflik dan Politik Desentralisasi” buku ini menjelaskan tentang proses perdamaian yang dilakukan

terkait konflik di Aceh sejak masa demokrasi terpimpin sampai disepakatinya perjanjian damai di Helsinki 2005, buku ini awalnya adalah disertasi dari Darmansjah Djumala, dimana dalam buku ini dituliskan pula perbandingan penyelesaian konflik dari tiap era pemerintahan Republik Indonesia dan perbandingan antara penyelesaian konflik soft power dan hard power.

Buku tentang mediasi untuk membantu memahami tugas, fungsi, dan wewenang seorang mediator dan unsur-unsurnya penulis mempunyai buku yang

berjudul “Mediasi dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Islam” buku

ini karya Syahrizal Abas. Dengan adanya buku ini diharapkan dapat membantu pemahaman peneliti tentang bagaimana pola-pola mediasi dan fungsinya dari sudut hukum, baik hukum syariah, hukum adat dan hukum Islam.

5). Elektronik Book

Selain mengunjung perpustakaan-perpustakaan diatas peneliti juga mencari informasi dari internet, sehingga menemukan alamat resmi dari blog Henry

Dunant Centre yang berkedudukan di Swis dengan nama blog ‘HD centre for Humanitarian Dialouge dari alamat: http://www.hdcentre.org/en/. Dalam blog

tersebut berisi informasi Henry Dunant Centre secara umum dan menemukan beberapa artikel dalam bentuk buku, journal dan artikel biasa yang ditulis oleh lembaga tersebut dan oleh beberapa orang yang bekerja pada Henry dunant

Centre kemudian diambil dalam bentuk pile PDF. Diantara artikel-artikel dan

jurnal-jurnal tersebut yaitu:

Case Study June 2008 (Non-Governmental Actors in Peace Processes The

Case of Aceh)” oleh Timo Kivimaki and David Gorman, ini merupakan tulisan tentang studi kasus di konflik dan penyelesaiannya yang terjadi di Aceh Indonesia. Selanjutnya adalah “Directive agreed upon by the Government of the


(39)

Republic of Indonesia and the Leadership of the Free Aceh Movement oleh Henry Dunant Centre, artikel ini yang dimuat dalam situs resmi Henry Dunant Centre

merupakan sebuah artikel tentang kesepakatan damai antara pemerintah Republik Indonesia dengan GAM.

Untuk melihat perjanjian antara pemerintah Indonesia dan GAM ada juga artikel dengan judul “Directives Of The Joint Council For Political Dialogue

oleh Henry Dunant Centre, disini kita dapat melihat poin-poin kesepakata damai pemerintah Indonesia dan GAM, selanjutnya ada juga artikel dengan judul Resolving conflict in Indonesia” oleh Michael Vatikiotis dan “Status Of Mission Agreement (Soma) On The Establishment And Management Of The HDC Aceh Monitoring Mission (Hamm)” oleh Henry Dunant Centre.

Dalam mencari buku dengan cara browsing di internet untuk menemukan buku dan sumber yang relevan dilakukan juga terhadap sumber-sumber yang berasal dari daerah Aceh sendiri sehingga ditemukan beberapa buku dalam bentuk

elektronik book (e-book) yaitu buku yang berjudul “Aceh Bersimbah Darah

(mengungkap penerapan status daerah operasi militer di Aceh)” buku ini merupakan karya dari A-l Chaidar. Buku yang kedua berjudul “ Aceh Dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinky” merupakan buku karya dari Hary Kawilarang. Buku selanjutnya berjudul “Bara dalam Sekam (Identifikasi akar masalah dan solusi atas konflik-konflik lokal di Aceh, Papua, Maluku dan Riau)” buku ini merupakan karya dari Tim peneliti LIPI. Sumber yang terakhir adalah buku yang berjudul “Aceh dari Konflik ke Damai” karya Amrizal J Prang. Namun dalam pencarian sumber buku-buku tersebut ditemukan juga secara langsung dan kemudian dapat mempermudah peneliti. Buku-buku yang diperoleh tersebut dapat memperkaya informasi tentang konflik yang terjadi antara GAM dan Pemerintah Pusat, sehingga cara penyelesaian yang dilakukan dengan cara diplomasi dengan menggunakan mediator tersebut apakah memang berpengaruh sangat besar sehingga menjadi resolusi yang dipilih oleh Pemerintah Indonesia dan GAM atau karena alasan lain.


(40)

6). Meminjam Kepada Teman-Teman Seangkatan

Dalam usaha mencari dan mengumpulkan sumber yang dilakukan oleh peneliti juga dilakukan dengan mendatangi rekan-rekan satu angkatan dalam perkuliahan di Departemen Pendidikan Sejarah Universitas Pendidikan Indonesia, hal ini dilakukan untuk memperoleh referensi tambahan dari buku-buku koleksi pribadi rekan-rekan kuliah satu angkatan, sehingga diperoleh beberapa buku yang dianggap mempunyai keterkaitan dengan konteks penelitian ini.

Diantara buku-buku yang diperoleh dari hasil meminjam pada rekan-rekan seangkatan adalah tersebut adalah ”Sejarah Indonesia Modern 1200-2008” beberapa buku tentang kajian sosial di Indonesia untuk mengkaji lebih dalam penyelesaian konflik di Aceh “Sistem Sosial Indonesia”, “Pengantar Sosiologis Dasar Analisis, Teori, & Pendekatan Menuju Analisis Masalah-Masalah Sosial & Kajian Strategis”.

Dari keseluruhan sumber-sumber yang telah diperoleh tersebut yang merupakan literatur dari beberapa penelitian terdahulu berupa buku sejarah dan karya ilmiah terkait, jurnal-jurnal, informasi dari media ditambah dengan dokumentasi serta arsif seluruhnya tidak akan diterima begitu saja dalam penelitian ini penulis harus jeli dan teliti memilih sumber-sumber yang akan digunakan dimana sumber tersebut harus relevan dan sesuai dengan penelitian. Sumber yang didapatkan tersebut akan diuji terlebih dahulu mengenai keotentikanya dan keaslian dari isi sumber tersebut agar penelitian ini sesuai dengan harapan peneliti dan institusi.

3.1.3. Membuat Catatan Penting Dalam Penelitian

Sumber-sumber terkait dengan judul: RESOLUSI KONFLIK ACEH: Kajian Ketidakberhasilan Henry Dunant Centre Dalam Menyelesaikan Konflik Aceh 2000-2004, telah ditemukan denga cara mencari ke berbagai tempat baik dalam bentuk buku, jurnal, majalah, koran bahkan dari elektronik book yang relevan, ternyata tidak secara keseluruhan digunakan dalam penelitian ini, sehingga sumber-sumber tersebut harus dipilih dan dipilah untuk memisahkan


(1)

pihak yang tidak bertanggungjawab, mereka yang menjadi korban kemudian melakukan aksi pembalasan, tentara Indonesia sendiri tidak dapat mengontrol keamanan dengan baik, seperti ketika pada masa DOM, sehingga keamanan di Aceh semakin tidak menentu, gagalnya beberapa kesepakatan yang dirintis selama soft power 2000-2004 berpengaruh pada naik turunya intensitas gesekan antara tentara Indonesia dan GAM, dengan kondisi politik dan keamanan yang tidak stabil seperti ini yang paling dirugikan dan menjadi korban adalah penduduk sipil di Aceh.

Situasi politik dan keamanan yang tidak menentu pada dasarnya kemudian berpengaruh terhadap keadaan sosial di Aceh, masyarakat sipil menjadi korban, pelanggaran-pelangaran terhadap Hak Asasi Manusia semakin meningkat dan membuat beberapa pihak prihatin, terutama para aktivis dan pengiat Hak Asasi Manusia baik di Indonesia maupun di luar Indonesia. Trauma masyarakat Aceh selama DOM tidak dapat terobati dengan pencabutan DOM, bahkan ketika DOM selesai mereka masih trauma dengan pertunjukan kekerasan oleh tentara Indonesia dan pihak GAM.

Kehidupan ekonomi di Aceh memang masih sangat memprihatinkan, meskipun pemerintah berupaya membuka diri untuk jalan resolusi konflik Aceh dan mempersilahkan masuknya bantuan internasional namun kondisi ekonomi masih jauh dari harapan, ditetapkanya Undang-Undang No.18/2001 tentang otonomi Aceh yang memberikan keleluasaan bagi pemerintah daerah dalam mengelola rumah tangga di Aceh, dalam pelaksanaanya tidak terlalu banyak membantu kehidupan ekonomi masyarakat Aceh. Semua kondisi yang masih diluar harapan ini terjadi akibat adanya konflik berkepanjangan dan belum dapat diselesaikan meskipun dengan opsi baru, dengan jalur dialog.

Kedua latar belakang dipilihnya Henry Dunant Centre oleh pemerintah pusat dan GAM untuk membantu menanganai konflik di Aceh adalah karena sebelumnya penanganan konflik Aceh oleh pemerintah pusat lebih menekankan kekuatan militer


(2)

(hard power) terutama pada masa orde baru, dan dengan cara itu ternyata kurang efektif dan sangat beresiko, bahkan justru semakin memperkuat perjuangan GAM, sehingga ketika masa reformasi keadaan politik Indonesia mulai berubah, sikap lunak mulai ditunjukan oleh pemerintah pusat yang sudah mulai meningalkan cara-cara lama dalam menyelesaikan konflik Aceh, hingga muncul opsi baru penanganan konflik Aceh pada masa pemerintahan Abdurahman Wahid yaitu dengan cara dialog, dimana dialog untuk menemukan kesepakatan bersama ini harus dilakukan oleh kedua belah pihak dan dengan bantuan pihak ketiga sebagai mediator.

Pemerintah pusat sebenarnya trauma dengan keluarnya Timor-Timur dari bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia, akibat diberikan keleluasaan untuk referendum, sehingga dalam kaitanya dengan konflik Aceh meskipun akan digunakan cara baru yaitu dengan dialog namun pemilihan pihak ketiga sangat hati-hati. Pemerintah pusat menginginkan pihak yang menengahi sebagai mediator dalam konflik Aceh ini tidak mempunyai kekuatan (power) untuk mengintervensi pelaksanaan dialog, selain itu pemerintah juga enggan melibatkan negara-negara lain, karena dikhawatirkan tidak bersikaf netral dan bahkan membawa kepentingan pribadi negaranya.

Hingga opsi untuk memilih PBB dan ASEAN sebagai pihak ketiga dalam upaya resolusi konflik Aceh tidak direalisasikan oleh pemerintah, pemerintah trauma dengan cara PBB dalam menanganai konflik Indonesia di Timor-Timur sehingga wilayah tersebut lepas dari NKRI, sedangkan jika pihak ketiga dipegang kendalinya oleh ASEAN justru yang kurang setuju adalah pihak GAM, mereka khawatir ASEAN tidak dapat bersikap netral, terutama Malaysia dan Singapura, selain itu dikhawatirkan anggota ASEAN yang nantinya ikut berpartisipasi menyelesaikan konflik Aceh, justru membawa kepentingan negara asalnya.

Munculnya opsi baru untuk memberikan kepercayaan pihak ketiga sebagai mediator jatuh pada organisasi non pemerintahan (NGO) dimana NGO ini merupakan


(3)

organisasi yang independen dan anggotanya tidak terikat dari suatu negara, selain itu tidak mempunyai kekuatan hukum untuk dapat mengintervensi pemerintah pusat maupun GAM ketika menjalankan tugasnya, ada beberapa NGO baik nasional maupun internasional yang peduli terhadap konflik di Aceh, untuk NGO nasional sendiri GAM menghawatirkan, karena takut terjadi pemihakan kepada pemerintah pusat, hingga kemudian opsi terbaik untuk penanganan konflik Aceh jatuh pada NGO internasional, hal ini kemudian disambut baik oleh Henry Dunant Centre yang sebelumnya sudah aktif dalam berbagai kegiatan kemanusiaan internasional, termasuk di Aceh. Sambutan baik Henry Dunant Centre menjadi sebuah alasan ditetapkanya mereka sebagai mediator atau penengah dalam proses resolusi konflik Aceh. Abdurahman Wahid sebdiri sebagai presiden yang memberikan mandat tersebut pada Henry Dunant Centre dalam pidatonya di akhir tahun 1999.

Ketiga langkah kerja yang telah dilakukan oleh Henry Dunant Centre selama kurun waktu 2000-2004, pertama-tama dengan cara menumbuhkan kepercayaan (trust) diantara kedua belah pihak yang sedang bertikai untuk dapat maju dalam meja perundingan, kepercayaan yang dibangun ini ditujukan untuk kepentingan kemanusiaan di Aceh. Tahap kedua adalah denga cara membangun dialog-dialog yang sifatnya politis untuk mencari kesepakatan bersama dalam kepentingan masing-masing, ini dapat terlihat dari beberapa tindakan yang mereka lakukan selama menjadi mediator pemerintah pusat dan GAM, beberapa cara telah mereka lakukan diantaranya;

Henry Dunat Centre Merealisasasikan Joint of Understanding for Humanitarian Pause (Jeda Kemanusiaan) ini dilaksanakan dari Januari Sampai Desember 2000, Jeda Kemanusian ini tujuanya adalah untuk menghentikan kekerasan yang berujung pada pelanggaran Hak Asasi Manusia, selain itu untu membuka kesempatan dunia internasional yang akan memberikan bantuan pada Aceh dan yang paling penting adalah untuk menumbuhkan sikap saling percaya antara pemerintah pusat dan GAM. Pasca Jeda Kemanusiaan ini dilaksanakan langkah selanjutnya


(4)

adalah membuka dialog politik pada Januari sampai April 2001, pembicaraan yang sifatnya politik ini sangat penting untuk menyamakan persepsi dan pemahaman dari pemerintah pusat dan GAM. Setelah pembicaraan politik antara pemerintah pusat dan GAM dilaksanakan selanjutnya Henry Dunat Centre berusaha mengikis kekuatan militer, baik dari pemerintah pusat maupun dari pihak GAM, hal ini penting dilakukan untuk mengurangi resiko-resiko pertempuran dan aksi kekerasan lainya yang berujung pada jatuhnya korban jiwa, ini dilakukan dalam kurun waktu April sampai Desember 2001.

Karena beberapa kesepakatan dilanggar oleh kedua belah pihak dan situasi kembali memanas selanjutnya pada kurun waktu Januari sampai Mei 2002 Henry Dunant Centre memperbaharui dialog yang dulu sempat berantakan akibat pelanggaran dari kedua belah pihak. Pada bulan Juni sampai Desember 2002 Henry Dunant Centre berupaya menyusun kerangka perdamaian yang akan dibahas dalam pertemuan selanjutnya. Kemudian karena pada kurun waktu ini pelanggaran terhadap poin-poin kesepakatan banyak terjadi dan kondisi keamanan di lapangan yang sudah menghawatirkan maka selanjutnya Henry Dunant Centre mempersiapkan pelaksanaan Cessation Of Hostilities Agreement (COHA) atau mungkin orang lebih mengenalnya denga penghentian permusuhan antara pemerintah pusat dan GAM, dan yang terakhir adalah Tokyo Joint Council Sebelum 17 sampai 18 mei 2003 meskipun ini merupakan inisiatif dari negara-negara donor untuk resolusi konflik Aceh tetapi Henry Dunant Centre ikut pula berperan dalam mempersiapkan segalanya, namun pada akhirnya pertemuan ini tidak dapat dilaksanakan karena hubungan pemerintah pusat dan GAM semakin memburuk.

Keempat faktor kegagalan Henry Dunant Centre dalam resolusi konflik Aceh dengan peranya sebagai mediator disebabakan oleh dua faktor, yaitu kurang tepatnya strategi dan lemahnya legalitas Henry Dunant Centre, tingginya egoisme Pemerintah Pusat dan Gerakan Aceh Merdeka. Dua faktor tersebut yang paling dominan terhadap kegagalan Henry Dunant Centre dalam upayanya mencari resolusi konflik Aceh.


(5)

5.2. Saran dan Rekomendasi

Pada proses pembelajaran di sekolah, isi penelitian yang berjdul “RESOLUSI KONFLIK ACEH; Kajian Ketidakberhasilan Henry Dunant Centre Dalam Penyelesaian Konflik Pemerintah Indonesia Dengan Gerakan Aceh Merdeka

2000-2004” ini dapat dikembangkan dalam mata pelajaran sejarah pada tingkat

SMA/sederajat. Rekomendasi dari peneliti ini adalah sebagai berikut:

1. Pada mata pelajaran Sejarah Indonesia kelas XII kurikulum 2013 kajian skripsi ini dapat menunjang Kompetensi Dasar No. 3.6 “Mengevaluasi kehidupan politik dan ekonomi bangsa Indonesia pada masa awal reformasi.” 4.6

“Melakukan penelitian sederhana tentang kehidupan politik dan ekonomi bangsa Indonesia pada masa awal reformasi dan menyajikannya dalam bentuk laporan tertulis.” Dengan adanya skripsi ini siswa dapat menjadikanya sebuah referensi dalam melihat kehidupan politik dan ekonomi Indonesia pada awal reformasi, khusunya terkait dengan hubungan pemerintah pusat dan daerah dalam asfek politik dan ekonomi. Ketika akan dijadikan sebuah penelitian oleh siswa hubungan politik dan ekonomi di Aceh pada masa awal reformasi bisa menjadi salah satu referensinya.

2. Pada mata pelajaran Sejarah Peminatan kelas XII kurikulum 2013 kajian skripsi ini dapat menunjang Kompetensi Dasar 3.8 “Mengevaluasi perkembangan politik, ekonomi, sosial budaya dan pendidikan pada masa orde baru dan reformasi.” 4.8 “Merekonstruksi perkembangan politik, ekonomi, sosial budaya dan pendidikan pada masa orde baru dan reformasi, menyajikan dalam bentuk tulisan.” Dengan adanya skripsi ini diharapkan dapat memperkaya kaidah dan referensi siswa dalam proses pembelajaran sejarah peminatan kelas XII pada kurikulum 2013, materi mengenai perkembangan kehidupan politik, sosial, budaya dan ekonomi pada masa orde baru dan reformasi, siswa diharapkan dapat lebih memahami dalam kaitanya dengan integritas bangsa, dengan mencontoh


(6)

cara dialog dalam penyelesaian konflik Aceh, selain itu skripsi ini dalam pembelajaran siswa di kelas dapat menumbuhkan karakter cinta terhadap tanah air sesuai dengan tuntutan sikap siswa dalam kurikulum 2013.