Resolusi konflik dan gerakan separatisme GAM di Aceh study kasus peran CMI sebagai mediator konflik antara pemerintahan RI dan GAM di Aceh

(1)

RESOLUSI KONFLIK DAN GERAKAN SEPARATISME GAM DI ACEH Study Kasus Peran CMI Sebagai Mediator Konflik Antara

Pemerintahan RI dan GAM di Aceh

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Politik (S.Sos) Jenjang Pendidikan Strata I Program Studi Ilmu Politik

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Oleh:

FATIMAH SAPRIANINGSIH Nim: 107033201673

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYAHTULLAH

JAKARTA


(2)

Pemerintahan RI dan CAM di Aceh

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

untuk Mernenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh

Fatimah SapriaNingsih NIM: 107Q3320r673 Di bawah Bimbingan

| . )

L_41

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NE GERI SYARIF HIDAYAHTULLAH

JAKARTA

2011M | 1432H

(

dris Thaha. M. Si


(3)

. : : . ' ; .

. :. PENGQSAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul RESOLUSI KONFLIK DAN GERAKAN SEPARATISME GAM DI

ACEH Study Kasus: Peran CMI Sebagai Mediator Konflik Antara Pemerintah RI Dan GAM

Di Aceh telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta pada29 September 201 l. Skripsi ini telah di terima sebagai salah

satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada program studi llmu Politik.

Jakarta 29 September 2011

Sidang Munaqasyah

Sekretaris Merangkap Anggota

AliMunhanil Ph. D NIP: 150253408

M.l.aki Mubarak. M.Si

M.

NIP:19730927 200501 I 008

Haniah Hanafie. M Si

Ketua Merangkap Anggota

Penguji I


(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

t . Skripsi ini melupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata I (satu) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Islam Negeri Onq Syarif Hidayatullah Jakarta.

Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Islam Negeri GIf$ Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, l6 September 2011

Fatimah SapriaNingsih

2.

a J ^


(5)

iii

ABSTRAK

Fatimah SapriaNingsih

Resolusi Konflik Dan Gerakan Separatisme GAM Di Aceh

Skripsi ini memaparkan tentang bagaimana peran CMI sebagai mediator dalam menangani konflik GAM dengan pemerintah Indonesia yang telah terjadi begitu lama. Kekecewaan yang melanda rakyat Aceh akibat adanya diskriminasi dibidang ekonomi dikarenakan tidak meratanya pembangunan antara pusat dan daerah menjadi dasar perlawanan rakyat Aceh diwakili oleh GAM untuk memisahkan diri dari NKRI. Segala upaya telah dilakukan oleh pemerintah RI untuk mengajak pihak GAM berunding dan menyelesaikan permasalahan di Aceh dengan cara damai dan tetap dalam bingkai NKRI guna mengurangi korban dari pihak sipil.

Hal ini telah dilakukan oleh pemerintah RI dengan melaksanakan beberapa upaya damai seperti Jedah Kemanusian, Moratorium, Perjanjian CoHA yang difasilitasi oleh HDC, namun hal ini tetap saja tidak memperoleh suatu kesepakatan karena pihak GAM tetap menuntut untuk merdeka dari NKRI sampai pada akhirnya hadirlah CMI sebagai mediator perdamaian, terjadinya bencana alam gempa bumi dan tsunami di Aceh menjadi salah satu faktor diselenggarakannya pertemuan antara delegasi GAM dan delegasi Indonesia di Helsinki, Finlandia untuk membicarakan perdamaian antara keduanya.

Untuk itu penelitian ini di fokuskan pada peranan dan upaya apa saja yang telah dilakukan organisasi internasional CMI dalam proses perdamaian antara GAM dan Indonesia. Untuk menjawab penelitian ini penulis menggunakan pendekatan pluralisme, teori organisasi, teori konflik, teori resolusi konflik. Skripsi ini menggunakan jenis data deskriptif dan metode yang digunakan adalah metode kualitatif. Sedangkan sumber data yang digunakan adalah jenis data kualitatif. Sedangkan sumber data yang digunakan adalah jenis data primer dan sekunder. Hal yang ingin dibuktikan dalan skripsi ini adalah peranan CMI sangat penting dalam proses perdamaian antara GAM dan Indonesia. Dari hasil kajian penulis, CMI adalah faktor yang sangat penting dalam perdamain GAM dan Indonesia. Upaya-upaya yang telah dilakukan CMI yaitu dengan menjadi mediator dialog perdamain GAM dan Indonesia.


(6)

iv

Asalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Segala Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Atas berkat ramat, karunia,serta ridho-Nya kepada penulis, sehingga penulis diberikan jalan dan kemudahannya dalam pembuatan skripsi ini yang berjudul “RESOLUSI

KONFLIK DAN GERAKAN SEPARATISME GAM DI ACEH”. Tak lupa juga

penulis panjatkan shalawat dan salam kepada junjungan kita Rasulullah SAW yang membawa kita dari jaman jahiliyah ke jaman yang penuh ilmu pengetahuan. Skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat menempuh ujian Sarjana Politik Program Studi Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis menyadari akan kekurangan dan keterbatasan kemampuan dalam hal pembuatan karya ilmiah ini dengan sempurna, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat yang dapat memberikan masukan-masukan berguna sebagai wujud menutupi kekurangan dalam pembuatan skripsi ini. Penulis berharap dalam karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkan. Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ibunda Yusnahari Harahap dan ayahanda Asmir Saragih. tercinta yang telah memberikan dukungan, kepercayaan dan doa yang tiada henti-hentinya kepada penulis. Semoga Allah Subhanahu Wata‟ala memberikan kesehatan dan kebahagiaan serta kemuliaan kepada mereka, dan semoga penulis dapat membahagiakan keduanya, amin Ya Robbal „ Alamin. 2. Kakak-kakakku tersayang, Budiman, Indrawan, Juli Usman, Erna wati,

berserta Ponakanku terkasih, Zahra Nur Azizia, dan Muhammad Latif Maulana Karim Galingging, yang turut memberikan dukungan semangat serta doa kepada penulisp.


(7)

v

3. Bapak Idris Thaha. M.Si selaku pembimbing yang selalu mendampingi penulis dengan tiada kata lelah, ditengah kesibukan beliau sebagai dosen. 4. Bapak Prof. Bahtiar Effendy selaku Dekan Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. 5. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) khususnya

Program Studi Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mengajarkan banyak ilmu kepada penulis.

6. Segenap Tata Usaha Prodi Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya untuk Pak Jajang dan Ibu Supri yang telah membantu penulis dalam mengurus kebutuhan administrasi dan lain-lain.

7. Terima kasih kepada Asep Irawan kekasih ku tercinta yang selalu sabar membantu dan mendampingi dalam pembuatan skripsi ini.

8. Terima kasih juga untuk Ust. Noval, dan Abang Faisal atas doa dan semangatnya yang selalu mendukung untuk penulisan skripsi ini.

9. Dan yang terakhir untuk Sahabat-sahabat penulis seperjuangan, khususnya Prodi Ilmu Politik angkatan 2007, Neneng Nur Awaliah, Siti Masitoh, Yuyun, dan yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu terima kasih atas dukungan dan kebaikan kalian semua.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Jakarta, 16 September 2011


(8)

LEMBAR PERSETUJUAN………... i

LEMBAR PENGESAHAN………... ii

LEMBAR PERNYATAAN……….. iii

ABSTRAK………... iv

KATA PENGANTAR……….... v

DAFTAR ISI………... vi

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah……….. 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Pembatasan Masalah... 8

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian……… 9

E. Kerangka Teori………..………... ... 9

F. Metodologi Penelitian……….. 14

G. Sistematika Penulisan... 15

BAB II LATAR BELAKANG KONFLIK INDONESIA DAN GAM... . 17

A. Awal Perlawanan Rakyat Aceh ... 18

B. Sejarah Lahirnya Gerakan Aceh Merdeka ... 23

BAB III LANGKAH PEMERINTAH INDONESIA MENGAKHIRI KONFLIK GAM SEBELUM CMI MENJADI MEDIATOR... 28

A. Periode Pra Daerah Operasi Militer ... 29

B. Periode Daerah Operasi Militer ... 30

C. Periode Paska Daerah Operasi Militer ... 31

1. Penandatanganan Kesepakatan Penghentian Permusuhan……... 32

2. Kegagalan Pelaksanaan CoHA……… 33

3. Pemberlakuan Darurat Militer……….. 35

4. Pemberlakuan Keadaan Darurat Sipil……….. 37

BAB IV PERAN MEDIASI CMI DALAM MENENGAHI PERTENTANGAN GAM DAN INDONESIA UNTUK MENCAPAI PENYELESAIAN KONFLIK DI INDONESIA... 39


(9)

A. Situasi Aceh Paska Kegagalan CoHA ... 39

B. Tinjauan Mengenai CMI ... 43

C. Proses Perundingan Helsinki……... 46

1. Putaran Perundingan CMI Tahap Pertama………...…… 47

2. Putaran Perundingan CMI Tahap Kedua………. 52

3. Putaran Perundingan CMI Tahap Ketiga………...……….. 55

4. Putaran Perundingan CMI Tahap Keempat………. 59

5. Putaran Perundingan CMI Tahap Kelima……… 61

BAB V KESIMPULAN... 66

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(10)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Gerakan Aceh merdeka (GAM) adalah suatu gerakan yang terorganisir untuk memperjuangkan kemerdekaan Aceh dari Republik Indonesia. Aceh merupakan salah satu propinsi ke-1 di Indonesia. Dalam bahasa Inggris GAM disebut FAM, yaitu Free Aceh Movement. Dan AGAM, yaitu Angkatan Gerakan Aceh Merdeka yang merupakan salah satu institusi yang bernaung di bawah organisasi GAM.1

Keinginan GAM untuk merdeka dari Indonesia diawali dari rasa kekecewaan yang mendalam atas hal yang di lakukan pemerintah Indonesia terhadap rakyat Aceh. Yang menyebabkan masyarakat Aceh berada di bawah garis kemiskinan, berpendidikan rendah, dan hancurnya identitas lokal.

Kenyataan ini yang membuat tokoh-tokoh eks DI/TII Aceh menjadi prihatin. Nilai-nilai agama semakin terpinggirkan dan seakan tak populer lagi untuk mendapat tempat di tengah-tengah akibat meluasnya dampak industri Aceh, di Lhokseumawe, Aceh Utara.2 Melihat kenyataan itu para tokoh eks DI/TII untuk kembali berjihat untuk melepaskan diri dari pemerintahan RI dan membangun negara Aceh yang berasaskan norma-norma keislaman dan akhirnya pada 24 Mei 1977, para tokoh eks

1Wawancara Teuku Don dengan Tabloid Kronika 22 Januari 2000 dalam “Aceh Sekarang dan Masa Depan”, artikel diakses pada tanggal 7 Juni 2011 dari

http://www.mail-afchive.com/[email protected]/msg06245.html.

2

Kontras, Aceh Damai Dengan Keadilan: Mengungkap Kekerasan Masa Lalu, (Jakarta: Kontras, 2006), h. 18.


(11)

2

DI/TII di tambah dengan para tokoh muda memproklamasikan dirinya sebuah gerakan perlawanan yang di beri nama Gerakan Aceh Merdeka. Proklamasi ini berlangsung dengan sangat sederhana di kaki gunung Halimun.3 Yang di mana pemimpin tertinggi GAM dipegang Daud Beureueh, sedangkan untuk wali negara disepakati dipercayakan pada Hasan Tiro.

Keinginan GAM untuk merdeka dari Indonesia merupakan rasa kekecewaan yang mendalam atas hal yang di lakukan pemerintah Indonesia. Karena pada saat itu di mana Soeharto mengkonstruksi pembangunan yang berpondasi pada pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik, yang mengakibatkan adannya perubahan di dalam sistem tatanan politik dan ekonomi di wilayah Aceh. Kekayaan alam Aceh yang melimpah kemudian dieksploitasi demi kemajuan ekonomi Indonesia.

Berbagai pabrik di dirikan di Aceh, seperti pabrik Liquid Natural Gas (LNG) di Arun dan pabrik Pupuk Iskandar Muda. Kontrol atas semua hasil-hasil ekonomi dan segala macam hal dalam mengembangkan industri yang ada di Aceh diletakkan pemerintah pusat. Pada sisi lain, pembangunan di Aceh tidak mengalami kemajuan yang signifikan jika dibandingkan dengan keuntungan ekonomi yang dihasilkan oleh wilayah tersebut. Sehingga mengakibatkan adanya ketidakmerataan pembangunan antara pusat dan daerah. Inilah yang menjadi alasan lahirnya separatis dari sekelompok masyarakat Aceh yang menamakan dirinya GAM di bawah kepemimpinan Hasan di Tiro pada 1977.4

3

Neta S. Pane, Sejarah dan Kekuatan Gerakan Aceh Merdeka, (Jakarta: PT. Grafindo, 2001),, h. 49.

4


(12)

Tidak lama setelah “deklarasi kemerdekaan” tersebut, kekuatan bersenjata GAM mulai menyerang pasukan pemerintah Indonesia. Serangan tersebut dibalas dengan operasi penumpasan pemberontakan oleh pemerintah Indonesia. Pada 1983, kekuatan GAM sudah dikalahkan dilapangan oleh pemerintah Indonesia dan Hasan di Tiro sebagai pemimpin GAM melarikan diri ke Swedia. Namun pada dekade 1980-an, kekuatan GAM menguat kembali, merasionalisasi status politiknya dan memperkuat sayap militernya untuk menjaga stabilitas nasional, pemerintah Indonesia merespon sikap pemberontakan tersebut dengan melakukan operasi militer skala besar. Maka dari itu pemerintah Indonesia mengambil langkah tegas dengan cara menerapkan status Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh dalam rangka menumpas GAM.5

Namun pemberlakuan status DOM belum juga berhasil menumpas GAM. Masalah ini terus menerus berlarut membuat terganggunya stabilitas nasional Indonesia. Segala upaya yang di lakukan pemerintah Indonesia selalu gagal menumpas GAM. Kegagalan pemerintah dalam mengatasi konflik separatis GAM telah mendorong negara-negara lain seperti, Swedia dan Finlandia, organisasi Internasional, seprti PBB dan ASEAN dan organisasi nonnegara, seperti Henry Dunant Cebter (HDC) dan Crisis Management Initiative (CMI) untuk membantu memecahkan persoalan tersebut dengan menawarkan diri menjadi penengah atau mediator antara pemerintah Indonesia dan GAM. Keinginan dari pihak asing untuk menjadi mediator perdamaian antara Indonesia dan GAM bertujuan agar perselisihan

5

Sukidi, “Wajah Pluralisme Islam Modermi” Tanwir Jurnal Pemikiran Agama dan


(13)

4

yang terjadi antara pemerintah Indonesia dan GAM di selesaikan dengan cara damai dan tidak menggunakan cara-cara kekerasan.

Akhirnya kedua belah pihak kemudian sepakat untuk memilih HDC, alasan di pilihnya HDC karena lembaga ini tidak partisan, professional, dan tidak memihak. Keterlibatan HDC pertama kali di Indonesia mulai pada Januari 2000 ketika Presiden Abdurrahman Wahid meminta HDC untuk memfasilitasi dialog kemanusiaan guna menyelesaikan konflik Aceh.6 Permintaan ini kemudian di tanggapi positif oleh HDC. Aksi pertama yang di lakukan HDC adalah membawa RI-GAM secara bersama-sama ke meja perundingan yang kemudian disusul dengan serangkaian dialog yang dihadiri kedua belah pihak. Berbagai dialog telah membawa kedua belah pihak menandatangani sebuah akhir kesepakatan penghentian permusuhan Cessation of Hostilities Agrement (CoHA) pada Desember 2002.7

Akan tetapi pada Mei 2003, perundingan benar-benar menemukan jalan buntu. Pembicaraan tidak dilanjutkan lagi.8 Ini disebabkan karena mereka tidak pernah berhasil menemukan titik kompromi mengenai isu fundamental mengenai keberadaan Aceh tetap bagian integral dari NKRI atau menjadi merdeka. Para pemimpin Indonesia selalu mengedepankan menjaga integritas wilayah dan sebaliknya, mencegah disintegrasi. Sedangkan pemimpin GAM bersikukuh mengenai hak untuk kemerdekaan diri, ini yang menjadikan proses damai gagal. Rasa saling percaya yang telah terbangun melalui dialog interaktif kemudian mulai menyusut.

6

Novri Susan, Sosiologi Konflik dan Isu-isu Konflik Kontemporer (Jakarta: Kencana 2009), h.143.

7

Kontras, Aceh Damai Dengan Keadilan, h.109.

8

Farid Husain, ed., To See The Unseen: Kisah di Balik Damai di Aceh (Jakarta: Health and Hospital, 2007), h. 22.


(14)

Tiap hari bertambah orang Aceh yang hilang atau meninggal. Dan di kalangan tentara kita dan masyarakat sipil juga jatuh korban. Akhirnya pada tahap inilah, maka CoHA menjadi diabaikan dan resolusi konflik yang dimediasi oleh HDC terhenti, pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri.9

Seperti yang telah di jelaskan sebelumnya antara GAM dan Indonesia telah terjadi kontak senjata yang menimbulkan kekerasan. Dalam bidang ilmu politik konflik yang berwujud kekerasan disebut konflik separatis.10 Dengan demikian konflik antara GAM dan Indonesia adalah konflik antar kelompok yang disebut konflik separatis.

Adapun separatis seperti di definisikan oleh Walter S. Jones, adalah gerakan yang ingin dan menuntut pemisahan secara formal antara wilayah, dengan tujuan membentuk negara yang terpisah.11 Dalam hal, GAM adalah gerakan yang ingin memisahkan Aceh sebagai wilayah dengan Indonesia, seperti yang telah di jelaskan pada awal tulisan ini.

B. Rumusan Masalah

Penyelesaian konflik separatis di suatu negara memang tidak mudah diwujudkan, apalagi konflik tersebut berlangsung cukup lama dan menelan banyak korban jiwa. Selama ini berbagai kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah Indonesia

9

Novri, Sosiologi Konflik dan Isu-isu Konflik Kontemporer, h.144.

10

Budi Suryadi, Sosiologi Politik: Sejarah Definisi dan Perkembangan Konsep (Yogyakarta: IRCiSoD, 2007), h. 77.

11

Walter S. Jones, Logika Hubungan Internasional: Kekuasaan Ekonomi, Politik Internasional, dan Tatanan Dunia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993), h.183.


(15)

6

belum berhasil membawa pihak GAM untuk mau melakukan perundingan damai dengan sungguh-sungguh. Sampai pada saat pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2004, yang dimenangkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan wakil Presiden Yusuf Kalla bermaksud melanjutkan kembali perundingan perdamaian dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Inisiatif perundingan ini menandai babak penting dalam perkembangan konflik politik antara RI dan GAM, setelah kegagalan perundingan yang diplopori Presiden Megawati Soekarno Putri (2000-2003).

Salah satu institusi penting untuk menopang perundingan damai itu adalah Crisis Management Initiative (CMI). Crisis Management Initiative (CMI) di dirikan pada tahun 2000 oleh mantan Presiden Finlandia dan juga sekaligus menjabat sebagai ketua CMI yaitu Marttin Ahtisaari. Organisasi CMI ini adalah organisasi non-laba yang secara inovativ mempromosikan dan berkerja untuk pertahanan dan keamanan. CMI berkerja untuk memperkuat kapasitas masyarakat internasional di dalam manajemen krisis dan resolusi konflik yang menyeluruh.12

Berbeda dengan HDC yang secara internasional kurang diperhitungkan, CMI lebih berpengaruh. Berkat kepemimpinan Martti Ahtisaari dalam menyelesaikan konflik, CMI mempunyai posisi tawar yang tinggi dikarenakan mendapatkan dukungan dana dari para donatur di Uni Eropa.

Berdasarkan latar belakang dan gambaran di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini:

12

http://en.wikipedia.org. “Crisis_Management_Initiative”, Artikel diakses pada tanggal 7


(16)

Mengapa Crisis Management Initiative (CMI) dapat sebagai mediator dalam menangani konflik GAM dengan pemerintah Indonesia untuk mencari penyelesaian konflik separatis?

C. Pembatasan Masalah

Untuk mendapat pemahaman yang lebih mendalam dan tidak melebar ke topik lain, maka penulis memfokuskan batasan masalah yang akan dibahas pada skripsi ini yaitu masalah dimulai dari tahun 2004 ketika CMI secara resmi di terima sebagai mediator dalam membantu menyelesaikan masalah separatis GAM oleh pemerintah Indonesia dan sampai pada tahun 2005 saat CMI telah berhasil mengupayakan pertemuan antara pemerintah Indonesia dan pihak separatis GAM dalam berbagai perundingan damai.

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Berdasarkann rumusan masalah di atas maka penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dan menjelaskan keberhasilan CMI sebagai mediator dalam menangani penyelesaian masalah separatis GAM di Indonesia secara damai.

2. Manfaat Penelitian

Melalui penelitian ini penulis mengharapkan agar dapat memberikan manfaat akademis khususnya bagi penulis sendiri untuk mendapatkan pengembangan dan melatih diri dalam menerapkan ilmu pengetahuan yang di perolah. Dan bagi


(17)

teman-8

teman angkatan akademika dapat menambah informasi sumbangan pemikiran dan bahan kajian penelitian.

E. Kerangka Teori 1. Teori Konflik

Konflik merupakan gejala serba hadir dalam masyarakat atau istilah lain dikenal dengan “everyday to life”, artinya seperti tidak ada individu atau masyarakat tanpa konflik. Konflik sudah menjadi bagian keseharian hidup manusia.13

Ralf Dahrendorf, menyatakan bahwa, konflik merupakan suatu akibat dari proses integrasi di dalam masyarakat tang tidak tuntas (tidak terselesaikan). Dalam konteks ini Dahrenrorf mengatakan bahwa, konflik merupakan sebuah gejala penyakit sosial yang dapat merusak persatuan dan kesatuan masyarakat. Konflik semacam inilah yang dapat merusak dan meluluhlantakan sebuah negara kesatuan hancur berkeping-keping.14

Konflik separatis di Indonesia muncul akibat dari adanya pertentangan antara pemerintah Indonesia dan kelompok separatis GAM. Sikap saling bermusuhan antara kedua belah pihak tersebut terlihat dalam berbagai aksi-aksi teror dan kekerasan yang di lancarkan oleh kelompok GAM yang di tanggapi oleh pemerintah Indonesia melalui tindakan-tindakan militer. Penyebab konflik tersebut karena munculnya rasa kekecewaan mendalam karena tidak diperlakukan secara adil, adanya diskriminasi

13

Budi, Sosiologi Politik, h.76.

14

Rusadi Kantaprawira dan Leo, Perihal Ilmu Politik: Sebuah Bahasan Memahami Ilmu Politik (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), h. 49.


(18)

dalam bidang politik dan ekonomi oleh pemerintah Indonesia, maka dari itu GAM ingin melepaskan diri dari negara kesatuan republik Indonesia.

Sebab sudah lebih tiga puluh tahun konflik yang tiada henti terjadi di Aceh antara pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Tidak ada tanda-tanda konflik tersebut akan terhenti. Pada tahun 2000, HDC telah mengambil prakarsa sebagai mediator untuk membangun dialog antara Pemerintah dengan GAM.15 Prakarsa itu sempat membuat kesepakatan mendinginkan keadaan dengan ditandatanganinya Cessation of Hostilities Agreemant (CoHA) pada 9 Desember 2002 oleh pihak pemerintah RI-GAM, dan pihak mediator HDC dan juga di buat kesepakatan zona damai, tentara Indonesia maupun GAM dilarang menggunakan senjatanya di zona tersebut kecuali saat berada di pos masing-masing.

Separatisme menurut Alexis Heraclides seperti dikutip oleh Rajat Ganguly dan Ian Macduff “Separatism, by contras, covers all aspecs of political alienation that include a desire for reduction of control by central authority” ( Separatisme

merupakan semua aspek pengasingan politik termaksud di dalamnya adalah adanya keinginan untuk mengurangi kontrol atau otoritas pusat). Semua konflik yang bertujuan memisahkan diri dari negara induk memualainya dengan gerakan separatisme. Meskipun sebagian dari maksud atau tujuan gerakan separatisme bisa jadi adalah untuk menggabungkan diri dengan negara lain dibandingkan dengan mendirikan negara baru.16

15

Farid, To See The Unseen, h.22.

16

Ganguly dan Macduff, Ethic Conflict and Secessionism in South and Southeast Asia: Causes, Dynamich, Solution (New Delhi: Sage Publication, 2003), h. 26-28.


(19)

10

Menurut Heraclides ada tiga ciri karakteristik konflik separatisme yakni : 1. Konflik separatisme terjadi ketika pengaturan kekuasaan sangat terpusat dan

tidak adanya atau lemahnya demokrasi.

2. Adanya faktor pendukung dari luar yang kuat sehingga memperhebataksi kekerasan.

3. Konflik separatism melibatkan etnik minoritas yang berhadapan dengan pemerintah pusat sebagai akibat dari diskriminasi politik, ekonomi dan atau penindasan militer oleh pusat.

Separatisme di Aceh merupakan akibat dari adanya diskriminasi dalam bidang ekonomi dan politik yang di lakukan pemerintah pusat terhadap rakyat Aceh. Ketidakadilan yang selama ini dirasakan telah memunculkan niat untuk memisahkan diri dari Indonesia maka dari itu muncul gerakan separatis GAM.17

2. Teori Konsensus

Konsensus adalah sebuah frase untuk menghasilkan atau menjadikan sebuah kesepakatan yang disetujui secara bersama-sama antarkelompok atau individu setelah adanya perdebatan dan penelitian yang dilakukan dalam kolektif intelijen untuk mendapatkan konsensus pengambilan keputusan. konsensus yang dilakukan dalam gagasan abstrak, tidak mempunyai implikasi terhadap konsensus politik praktis akan tetapi tindak lanjut pelaksanaan agenda akan lebih mudah dilakukan dalam memengaruhi konsensus politik. konsensus bisa pula berawal hanya merupakan sebuah pendapat atau gagasan yang kemudian diadopsi oleh sebuah kelompok kepada

17


(20)

kelompok yang lebih besar karena bedasarkan kepentingan (seringkali dengan melalui sebuah fasilitasi) hingga dapat mencapai pada tingkat konvergen keputusan yang akan dikembangkan.18

Adapun cara penyelesaian konflik, yaitu dengan kolaborasi (kerja sama), mengikuti kemauan orang lain, mendominasi, menghindari, kompromi.19 Sadangkan Dahrendorf menyebutkan tiga bentuk pengaturan konflik, yaitu:20

1. Bentuk konsiliasi seperti parlemen atau kuasi-parlemen dalam mana semua pihak berdiskusi dan berdebat secara terbuka dan mendalam untuk mencapai kesepakatan tanpa ada pihak-pihak yang memonopoli pembicaraan atau memaksakan kehendak.

2. Bentuk mediasi dalam mana kedua pihak sepakat mencari nasihat dari pihak ketiga, (seorang yang disebut mediator). Tetapi nasihat yang diberikan oleh mediator ini tidak mengikat mereka.

3. Bentuk arbitrasi, di mana pada bentuk ini kedua pihak sepakat untuk mendapatkan keputusan akhir (yang bersifat legal) sebagai jalan keluar konflik pada pihak ketiga sebagai arbitrator.

Penyelesaian konflik separatis GAM di Indonesia ditempuh dengan cara mediasi. Menurut Saadia Touval dan William Zartman mediasi adalah sebuah bentuk intervensi pihak ke tiga dalam konflik yang bertujuan untuk mengurangi atau

18

http://id.wikipedia.org/wiki/konsensus

19

Masri Maris, How Manage Conflict: Kiat Menangani Konflik (Jakarta: Erlangga, 2001), h.41-47.

20


(21)

12

memecahkan konflik melalui negosiasi.21 Pada dasarnya mediasi adalah sebuah proses politik, mediasi adalah fungsi pelaksanaan dari mediator. Dalam sebuah konflik sering terjadi kebuntuan di antara pihak-pihak yang bertikai sehingga konflik tidak dapat di selesaikan oleh mereka sendiri. Oleh karena itu diperlukan mediator dalam membantu mengatasi kebutuhan tersebut.

Dalam konflik separatis di Indonesia, CMI adalah pihak ke tiga yang berperan sebagai mediator dalam membantu menyelesaikan konflik tersebut. Kehadiran CMI dapat di terima oleh pemerintah Indonesia dan kelompok separatis GAM. CMI berusaha meyakinkan pemerintah Indonesia bahwa perundingan damai akan dapat dilaksanakan dengan pihak GAM, demikian juga kepada pihak GAM, CMI berusaha membujuk mereka untuk tidak lagi menuntut kemerdekaan pada pemerintah Indonesia. Surat perdamaian juga diajukan oleh CMI kepada pemerintah Indonesia dan GAM untuk mempertemukan pihak yang berkonflik dalam sebuah perundingan untuk suatu kesepakatan damai. Disamping upaya negosiasi terhadap kedua belah pihak, CMI juga membuat rumusan yang akan dibahas dalam perundingan yang berisikan berbagai hal mengenai permasalahan yang di hadapi oleh pemerintah Indonesia maupun pihak GAM.

Hal ini terbukti dari keberhasilan CMI membawa kedua belah pihak yang bertikai duduk bersama untuk merumuskan Nota Kesepahaman untuk mengakhiri konflik yang telah terjadi selama puluhan tahun, di lakukannya penyerahan senjata

21

Saadi Touval dan William Zartman, Internasional Meedition in theory and Practice,

(Westview Press/ Foreign Policy Institute Scool of Advanced Internasional Studies, The John Hopkins University, USA: 1985), h. 180.


(22)

dan pembubaran sayap militer GAM. Faktor gempa bumi dan tsunami juga membuat pihak bertikai tidak lagi ingin memperpanjang konflik yang telah terjadi. Akhirnya pada situasi inilah dipatuhinya Nota Kesepahaman yang telah ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki oleh GAM dan Indonesia menjadi indikasi keberhasilan CMI sebagai mediator dalam mendamaikan kedua pihak yang bertikai.

F. Metode Penelitian

Sesuai dengan uraian pada latar belakang permasalahan dan tujuan dari dilaksanakan penelitian ini, maka jenis penelitian ini dengan cara kualitatif; yaitu penelitian yang menggunakan metode historis, komparatif, dan studi kasus, sebagai data-data yang akan diteliti.22 Sedangkan untuk metode penelitian ini termasuk metode penelitian deskriptif yang mencoba untuk menjelaskan dan menggambarkan secara sistematis dan karakteristik objek atau subjek yang diteliti secara tepat.

Dalam pengumpulan data maka penulis menggunakan studi literatur, yaitu data yang di perolah seperti mengenai sejarah awal terbentuknya GAM, dan tulisan ilmiah yang dianggap relevan dengan topik penelitian. Melalui kepustakaan, yang di gunakan untuk mempelajari buku-buku literatur yang berkaitan dengan pokok permasalahan agar dapat menunjang dalam penulisan skripsi dan melengkapi pengetahuan dalam penelitian ini. Seperti dengan membaca buku-buku, artikel surat kabar, dan fasilitas jaringan komputer, yang mendorong dan berkaitan dengan penelitian ini. Hal ini di lakukan untuk mendapat landasan teori dan konsep yang tersususun.

22


(23)

14

G. Sistematika Penulisan

Sebagai gambaran umum, penulis menyajikan sistematika penulisan dalam 5 bab. Hal ini dimaksudkan agar pembahasan dapat di lakukan secara sistematis sehingga dapat memberikan gambaran yang lebih jelas dan mudah di pahami oleh para pembaca skripsi ini. Adapun pembahasan dan penulisan skripsi ini secara garis besar, yaitu sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini menjelaskan mengenai latar belakang permasalahan, permasalahan, pembatasan masalah, tujuan penelitian, kerangka pemikiran, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II LATAR BELAKANG KONFLIK GAM DAN INDONESIA

Dalam bab ini akan di jelaskan mengenai asal usul terjadinya konflik, perkembangan kelompok separatis GAM, serta upaya-upaya yang di lakukan GAM untuk mendeka.

BAB III LANGKAH-LANGKAH YANG TELAH DI AMBIL PEMERINTAH INDONESIA SEBELUM MASUKNYA CMI

Dalam bab ini menjelaskan mengenai langkah-langkah yang telah di ambil pemerintah Indonesia untuk mengakhiri konflik dengan GAM sebelum masuknya CMI.


(24)

BAB IV PERAN MEDIASI CMI DALAM MENANGANI KONFLIK GAM DENGAN INDONESIA UNTUK MENCAPAI PENYELESAIAN KONFLIK SEPARATIS DI INDONESIA

Dalam bab ini akan menjelaskan mengenai mediasi yang telah dijalankan CMI dalam penyelesaian damai bagi pemerintah Indonesia dan kelompok separatis GAM dan keberhasilan yang telah dicapai dalam mendamaikan Indonesia dan GAM. BAB V PENUTUP

Pada bab terakhir ini penulis penulis akan memberikan kesimpulan dari penelitian yang telah di buat.


(25)

17

BAB II

LATAR BELAKANG KONFLIK INDONESIA DAN

GAM

Bagi pemerintah Indonesia, konflik Aceh menjadi isu yang sangat penting bagi keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), karena Aceh merupakan indikator perpecahan Indonesia sehingga apabila Aceh terpisah dari NKRI, maka akan menimbulkan gerakan-gerakan separatis di daerah lainnya. Dalam memahami konflik Aceh perlu dipahami bahwa konflik Aceh adalah konflik yang multidimensional. Yang di mana terdapat banyak hal yang terkait dalam konflik tersebut. Mulai dari faktor ekonomi, politik, sosial, dan budaya secara keseluruhan memberikan kontribusi terhadap konflik Aceh.

Adapun pengertian konflik dalam ilmu politik acapkali dikaitkan dengan kekerasan, seperti kerusuhan, terorime, dan revolusi. Konflik mengandung arti “benturan”, seperti perbedaan pendapat, persaingan, dan pertentangan baik secara kelompok maupun individu dengan kelompok atau kelompok dengan pemerintah.1

Oleh karena itu pada bab inilah untuk mendapat pemahaman yang mendalam, maka penulis akan lebih memfokuskan permasalahan atau konflik yang terjadi di Aceh, seperti sejarah konflik gerakan itu terjadi dan awal dari perlawanan rakyat Aceh sehingga terjadinya sebuah konflik.

1

Budi Suryadi, Sosiologi Politik: Sejarah Definisi dan Perkembangan Konsep (Yogyakarta: IRCiSoD, 2007), h. 77.


(26)

A. Awal Perlawanan Rakyat Aceh

Jika dilihat jauh ke belakang, lahirnya pemberontakan yang berlanjut kepada Gerakan Aceh Merdeka, tak terlepas dari adanya pro-kontra di kalangan tokoh-tokoh Aceh, apakah daerah itu ikut bergabung ke dalam RI dan mendukung Proklamasi Kemerdekaan RI atau tidak. Keinginan rakyat Aceh yang ingin menerapkan syariat Islam di daerahnya ditantang oleh Soekarno, sehingga muncul rasa ketidaksenangan rakyat Aceh terhadap pemerintah. Bukan hanya itu saja tapi juga dari kecemburuan sosial ekonomi dan penderitaan yang dialami oleh masyarakat Aceh selama ini. Munculnya reaksi sosial ini diwujudkan dalam bentuk perlawanan atau penentangan terhadap pemerintah pusat.

Lima hari setelah Proklamasi, tepatnya pada 22 Agustus 1945, sejumlah tokoh dan pejuang Aceh berkumpul untuk menentukan nasib negara Indonesia di rumah Teuku Abdullah Jeunib Anggota Volksraad (Dewan Perwakilan Rakyat buatan Belanda) di Banda Aceh. Bendera Merah Putih pun dikibarkan untuk pertama kalinya di halaman kantor Shu Chokan (Kantor Residen Aceh, sekarang Kantor Gubernur Aceh) kemudian dilakukanlah pemilihan serta pengangkatan Teuku Nyak Arif sebagai pemimpin Aceh sekaligus Gubernur Aceh yang pertama.2

Terlihat pro-kontra yang muncul di Aceh setelah kemerdekaan Republik Indonesia diumumkan. Sebagian kecil di antara rakyat Aceh melihat bahwa kemerdekaan itu justru merugikan bagi diri mereka. Maka konflik di Aceh pun tak terelakkan dan melahirkan berbagai peristiwa salah satunya adalah Perang Cumbok.

2

Neta S. Pane, Sejarah dan Kekuatan Gerakan Aceh Merdeka, (Jakarta: PT. Grafindo,


(27)

19

Perang Cumbok adalah perang yang terjadi akibat perpecahan antara kaum ulama dan kaum hulubalang (bangsawan).3 Perang ini mengakibatkan runtuhnya kekuasaan feodal yang telah berabad-abad berakar di tanah Aceh. Sebagian tokoh Aceh menyebutkan sebagai perang saudara terbesar sepanjang sejarah Aceh. Perang tersebut baru bisa diatasi pada akhir 1946.

Dalam kondisi yang sudah cukup membaik itu, setelah meletusnya Perang Cumbok, tiba-tiba saja muncul kekecewaan rakyat Aceh yang semakin mendalam ketika berlangsungnya sidang Dewan Menteri Republik Indonesia Serikat pada 8 Agustus 1950 di Jakarta. Sidang memutuskan wilayah Indonesia dibagi dalam 10 daerah tingkat satu (provinsi). Dalam hal ini provinsi Aceh melebur ke dalam pemerintahan provinsi Sumatera Utara. Dengan munculnya keputusan itu, keinginan rakyat Aceh agar daerahnya ditangani dengan syariat Islam ternyata tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Daud Beurueh yang saat itu terpilih sebagai ketua umum Kongres Alim Ulama se-Indonesia melontarkan imbauan, agar segenap ulama memperjuangkan supaya negara RI menjadi negara Islam RI. Sejajar dan sebangun dengan cita-cita sejumlah tokoh radikal Islam di sejumlah daerah, terutama di Jawa Barat yang sedang demam dengan NII (Negara Islam Indonesia) pimpinan S.M. Kartosoewirjo yang akhirnya menjadikan mereka berkoalisi dan saling mendukung satu sama lain.

Alasan Daud Beureueh mendukung berdirinya NII adalah dikarenakan para pemimpin Republik Indonesia di Jakarta sudah menyimpang dari jalan yang benar. Padahal dalam persepsi Daud Beureueh, negara Islam adalah satu-satunya

3

Usman A. Rani, Sejarah Peradaban Aceh, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2003), h.122-124.


(28)

kemungkinan yang terkandung dalam prinsip Ketuhanan yang Maha Esa. Seperti yang di terapkan pada sila yang pertama dari dasar negara Republik Indonesia yakni Pancasila.4

Meskipun Ketuhanan yang Maha Esa menjadi sila pertama dalam Pancasila, dalam pandangan Daud Beureueh, pemerintah Soekarno tidak pernah memberikan kebebasan beragama yang sesungguhnya kepada rakyat, terutama rakyat Aceh. Ia mencontohkan, jika memang kebebasan beragama secara sesungguhnya diberlakukan berarti syariat Islam harus diterapkan di Aceh. Hal ini dikarenakan 100% penduduk Aceh adalah Islam. Tapi, hal ini tidak pernah terjadi. Justru yang terjadi adalah kekecewaan rakyat Aceh terhadap pemerintah pusat yang mengakibatkan terjadinya protes dan pemberontakan oleh sebagian besar masyarakat Aceh. Tidak hanya terjadi pada bidang keagamaan saja melainkan juga adanya ketimpangan sosial ekonomi yang mengakibatkan rakyat Aceh tetap miskin.

Seperti kita ketahui bahwa daerah Aceh merupakan daerah yang memiliki sumber daya alam yang sangat luar biasa. Antara lain berupa kandungan gas alam cair dan minyak bumi yang melimpah di Lhokseumawe yang terletak di Kecamatan Banda Sakti. Daya tarik ini yang kemudian mengundang investor asing datang ke Aceh. Sejak saat itu, gas alam cair Liquefied Natural Gas (LNG), telah menyulap wilayah ini menjadi kawasan industri petrokimia modern. Namun demikian pengukuhan wilayah industri ini, bukanlah tanpa meninggalkan masalah. Ketidakpuasaan mulai dari tidak adanya ganti rugi tanah, bahkan sebagian masyarakat sampai ditakut-takuti dan diteror untuk menyerahkan tanah

4


(29)

21

mereka yang kemudian digunakan sebagai lahan berdirinya kawasan industri tersebut.5 Dan tidak hanya disitu saja banyaknya perkebunan karet dan sawit di daerah Kabupaten Aceh ternyata tidak serta merta membuat daerah ini terlepas dari masalah perekonomian, terlebih lagi dengan masih sangat banyaknya daerah-daerah pemukiman yang terisolir. Selain pembangunan jalur transportasi yang belum memadai antar satu daerah dengan daerah lain, juga tingkat pendidikan masyarakatnya yang kurang akibat sarana untuk itu sangat terbatas.

Pemerintah Soekarno sendiri, sejak semula sudah sangat ingin meminggirkan gagasan negara Islam dan lebih memilih konsep negara nasionalis, yang menurutnya bisa menyatukan semua kesamaan etnis dan persepsi keagamaan di berbagai daerah Republik Indonesia. Sebab alasan Soekarno waktu itu, jika berbentuk negara Islam, dikhawatirkan sejumlah daerah akan memisahkan diri dari Republik Indonesia. Namun, Daud Beureueh dengan tegas menyatakan, rakyat Aceh hanya ingin menerapkan syariat Islam dan diberikan Otonomi Khusus menjalankan pemerintahannya sendiri. Namun rakyat Aceh tidak pula menginginkan dirinya dan daerahnya diperlakukan sebagai anak tiri oleh pemerintah Republik Indonesia. Soalnya, pasca kemerdekaan, janji bahwa Aceh dapat menjadi suatu wilayah tersendiri yang menegakkan syariat Islam, ternyata tidak terkabulkan. Bahkan otonomi Aceh dihapuskan.6

Meski demikian rakyat Aceh, bukan ingin memisahkan diri dari Republik

5

Kontras, Aceh Damai Dengan Keadilan: Mengungkap Kekerasan Masa Lalu, (Jakarta: Kontras, 2006), h. 32.

6

Riza Sihbudi, ed., Bara Dalam Sekam: Identifikasi Akar Masalah dan Solusi Atas


(30)

Indonesia. Sebab, menurut Daud Beureueh, proklamasi NII yang didukung oleh rakyat Aceh bukanlah berarti telah terbentuknya suatu negara dalam negara, melainkan disebabkan, pada awalnya rakyat Aceh menganggap Republik Indonesia adalah sebuah jembatan emas untuk menuju cita-cita yang selama ini diidam-idamkan. Ternyata, impian itu tinggal impian, karena pemerintah Soekarno tidak mempedulikan Aceh. Meski demikian, Daud Beureueh berharap, para pemimpin Republik Indonesia tidak menggunakan kekerasan dalam mengatasi konflik dengan tokoh-tokoh NII, terutama dalam kasus Aceh.

Dalam konsep Daud Beureueh, NII Aceh adalah sebuah provinsi dengan otonomi yang luas. Provinsi otonomi ini dipimpin langsung oleh Daud Beureueh. Dalam kepemimpinannya Daud Beureueh dibantu tiga wakil gubernur; Hasan Ali untuk wilayah Aceh Besar, Pidie, dan Aceh Tengah. Hasan Saleh mengkoordinasikan wilayah Aceh Utara, Timur, Langkar, dan Tanah Karo, sedangkan Abdul Gani dipercaya menangani Aceh Selatan, Barat, dan Tapanuli Barat. Untuk wilayah tingkat dua, Daud Beureueh mengangkat sejumlah bupati. Bupati Aceh Besar dipercayakan kepada Sulaiman Daud. Namun, saat baru dimulainya perjuangan NII Aceh, Sulaiman Daud ditangkap pasukan pemerintah RI pada 1954. Posisinya digantikan kepada Ishak Amin. Sementara itu, Aceh Pidie dipimpin Bupati T.A.Hasan, Aceh Utara Sjeh Abdul Hamid, Aceh Timur Saleh Adri, dan Aceh Selatan Zakaria Yunus. Untuk perjuangan militer, Daud Beureueh membentuk tujuh resimen dan satu angkatan polisi yang dipimpin A.R. Hasyim. Setelah terbentuknya berbagai kekuatan sipil dan militer itu aksi perlawanan terhadap pemerintah Republik Indonesia pun digalang Daud Beureueh. Perlawanan ini muncul juga dikarenakan adanya tekanan militer dari


(31)

23

pemerintah Republik Indonesia. Untuk menghindari perang terbuka dan aksi penangkapan dari TNI, pasukan NII Aceh memilih masuk ke dalam hutan. Di sini mereka membangun kekuatan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Di pihak lain, lewat berbagai pendekatan, pemerintah Soekarno terus melakukan upaya diploma dalam menyelesaikan konflik di Aceh ini. Pada 20 September 1953, Daud Beureueh memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia di Aceh dengan wilayah meliputi Aceh dan daerah-daerah sekitarnya, banyak rakyat Aceh ikut memberontak, sejak itu pecah perang DI/TII melawan TNI. Daud Beureueh melakukan banyak perlawanan tetapi berhasil ditumpas oleh pemerintahan Republik Indonesia.7

B. Sejarah Lahirnya Gerakan Aceh Merdeka

Setelah rezim Soekarno jatuh, tokoh-tokoh Aceh berharap bahwa kehidupan sosial, ekonomi dan politik di daerahnya bisa terwujud lebih baik dibandingkan dengan yang terjadi sepanjang era orde lama. Tapi, harapan tinggal sekedar harapan. Sistem pemerintahan yang diterapkan pada masa Orde Baru memberikan posisi tawar yang lemah bagi Aceh sehingga tidak ditempatkan dalam posisi yang sejajar dan hanya melayani kepentingan pusat dengan eksploitasi politik dan ekonomi. Kekayaan daerah tersebut terserap ke pemerintah pusat tanpa pengembalian yang sepadan ke Aceh untuk keperluan pembangunan sehingga Aceh mengalami ketertinggalan dari propinsi lain.8

Hingga tahun 1977 menjelang lahirnya GAM, kondisi sosial ekonomi di

7

Neta S. Pane, Sejarah dan Kekuatan Gerakan Aceh Merdeka , h.14-15.

8

Syamsul Hadi, Disintegrasi Pasca Orde Baru: Negara, Konflik Lokal dan Dinamika


(32)

Aceh sangat timpang. Ini disebabkan pembangunan berbagai proyek multinasional mulai berlangsung dan era eksploitasi dijalankan. Aceh terus menerus dikuras dan dieksploitasi pemerintah pusat, melalui pembangunan industry yang berhasil di dapat lewat pembangunan ladang gas alam, di Arun, Aceh Utara. Akan tetapi ironosnya dampak dari itu semua tidak dirasakan hasilnya oleh rakyat Aceh. Sementara rakyat Aceh tetap miskin, pendidikan rendah, kondisi ekonomi sangat memprihatinkan.

Kenyataan ini membuat tokoh-tokoh eks DI/TII Aceh menjadi prihatin. Dulu, mereka konsisten berjuang untuk mendirikan Republik Islam Aceh dengan penegakan hukum dan norma-norma ke-Islaman. Namun, sekarang nilai-nilai agama semakin terpinggirkan dan seakan tidak populer lagi untuk mendapat tempat ditengah-tengah akibat meluasnya dampak industri Aceh, di Lhokseumawe, Aceh Utara.9 Melihat kenyataan itu para tokoh eks DI/TII untuk kembali berjihat untuk melepaskan diri dari pemerintahan RI dan membangun negara Aceh yang berasaskan norma-norma ke-Islaman dan akhirnya pada 24 Mei 1977, para tokoh eks DI/TII di tambah dengan para tokoh muda memproklamasikan dirinya sebuah gerakan perlawanan yang di beri nama Gerakan Aceh Merdeka. Proklamasi ini berlangsung dengan sangat sederhana di kaki gunung Halimun.10

Proklamasi kemerdekaan negara Aceh dan berdirinya GAM itu hanya diisi dengan pernyataan lisan dari sejumlah tokoh, yang sebagian besar adalah eks DI/TII. Yang di mana pemimpin tertinggi GAM di pegang oleh Daud Beureueh, sedangkan untuk wali negara dipercayakan pada Hasan Tiro. Dalam doktrin

9

Kontras, Aceh Damai Dengan Keadilan, h. 18.

10


(33)

25

pendiriannya GAM memiliki ideologi kemerdekaan nasional, yaitu bertujuan untuk membebaskan Aceh dari segala bentuk kontrol politik asing dari pemerintahan Indonesia. Sedangkan, tujuan GAM adalah untuk menjamin keberlangsungan dalam bidang politik, social, budaya, dan warisan agama.11

Selama berdirinya GAM telah mencapai beberapa keberhasilan secara politik baik pada tingkat nasional maupun internasional. GAM berhasil merekrut banyak pemuda Aceh menjadi anggota. Selain itu GAM juga berhasil membentuk beberapa LSM yang turut mendukung pemisahan Aceh dari Indonesia, salah satunya adalah Sentra Informasi Referendum Aceh (SIRA) yang diketuai oleh Nazaruddin S.Ag. Ini menandai bahwa masyarakat Aceh mulai tidak percaya lagi kepada pemerintah pusat, sehingga mereka mencari jalan keluar dari kesulitan yang sedang menimpa daerah serta dirinya dan dari gangguan kekerasan politik yang sedang mereka alami.12 Selain itu, GAM juga membangun opini publik Internasional melalui media-media asing yang memberitakan pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintah Indonesia.

Kelahiran GAM ini tidaklah sedashat Daud Beureueh memproklamasikan gerakan DI/TII melawan Soekarno. Kurangnya dukungan penuh dari para tokoh DI/TII membuat GAM tidak bisa dengan cepat mendapatkan simpati dari segenap rakyat Aceh. Sebab, gagasan dan prinsip yang diterapkan Hasan Tiro dinilai sebagian pendiri GAM terutama dari sayap kanan yaitu para tokoh DI/TII sangat bertentangan dengan hukum Islam maupun norma-norma adat Aceh. Tapi Hasan Tiro tetap tidak peduli terhadap banyaknya pendiri GAM menentang gagasannya tersebut. Malah, ia membuat sebuah deklarasi dalam bahasa Inggris. Deklarasi itu

11

Syamsul Hadi, Disintegrasi Pasca Orde Baru, h.53.

12

Syarifuddin Tippe, Aceh di Persimpangan Jalan, (Jakarta: Pustaka Cidesindo,2000), h.61-63.


(34)

berjudul Declaration of Independence of Acheh-Sumatera pada 4 Desember 1976, yang ditandatanganinya sendiri. Anehnya, dalam deklarasi itu Hasan Tiro tidak sedikitpun menyebut nama GAM ia lebih suka menggunakan istilah National Liberation Front of Acheh Sumatera. Istilah ini kemudian diubah lagi menjadi

Acheh Sumatera National Liberation Front, yang kemudian di singkat menjadi ASNLF.13 Gerakan ASNLF ini sama halnya dengan SIRA, yang menanamkan visi kepada masyarakat agar setia dan berbagai lapisan sosial termotivasi berperan aktif dalam melakukan tindakan revolusioner.14

Pada tahun 1977 perlawanan GAM sempat terasa agresif. Muncul dan meningkatnya perlawanan GAM ini telah membuat aparat keamanan dari pemerintah RI semakin meningkatkan perang psikologis terhadap gerakan tersebut. Ironisnya, perang urat syaraf ini tak hanya ditujukan kepada tokoh-tokoh GAM, tapi juga kepada rakyat Aceh. Tujuannya, agar rakyat Aceh tidak mendukung GAM.

Untuk menekan perlawanan GAM, di tahun 1978, TNI menyebarkan foto pemimpin gerakan itu, yang di sebarkan ke seluruh Aceh yang isinya meminta siapapun menangkap Hasan Tiro dan tokoh-tokoh GAM lainnya dalam keadaan hidup atau mati. Melihat tinggi dan gencarnya tekanan TNI kepada para pengikut GAM membuat Hasan Tiro pergi keluar negeri untuk mencari bantuan senjata, mengingat semakin gencarnya gempuran TNI. Pada Februari 1979 Hasan Tiro meninggalkan tempat persembunyiannya di Aceh Pidie. Setelah berpamitan dengan sejumlah tokoh GAM pada 29 Maret 1979, Hasan Tiro pergi ke Aceh. Dengan perahu tradisional ia bersama beberapa pengikutnya mengarungi selat

13

Kontras, Aceh Damai Dengan Keadilan, h.18

14


(35)

27

malaka menuju Malaysia lalu perjalanannya di lanjutkan ke Swedia, sejak saat itu Hasan Tiro tidak pernah kembali lagi ke Aceh dan ia menjalankan pemberontakan GAM dari tempat persembunyiannya yaitu di Swedia. Dari Swedialah Gerakan Aceh Merdeka ini mempropagandakan perjuangannya ke dunia internasional untuk menarik perhatian masyarakat dunia. Dari sini pula GAM memojokkan pemerintah RI dan TNI dalam menangani kasus Aceh.


(36)

28

LANGKAH PEMERINTAH INDONESIA

MENGAKHIRI KONFLIK GAM SEBELUM CMI

MENJADI MEDIATOR

Aceh, yang menjadi tempat kekejaman tentara Indonesia dalam usaha menumpas gerakan kemerdekaan, hampir diabaikan oleh masyarakat internasional dan media di luar negeri. ini terbukti pada 1980 Operasi Jaring Merah, yang kemudian lebih dikenal dengan nama Daerah Operasi Militer (DOM) telah banyak melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang serius di wilayah Sumatera yang kemudian telah menjatuhkan banyak korban. mulai dari korban penculikan, dianiaya, disetrum, dan kemudian ditembak di depan umum. Ada pula yang diperkosa di depan anak atau di depan suaminya. Beberapa bagian bentuk kejahatan yang dirasakan rakyat Aceh atas perbuatan militer selama DOM, sangat pedih dirasakan.

Karena hal itu dilakukan oleh bangsa sendiri dan bukan bangsa lain yang pernah menjajah Indonesia seperti Belanda dan Jepang. Di tengah operasi yang berlangsung, terjadi serpihan-serpihan peristiwa yang sangat sulit diterima oleh siapa saja yang masih mempunyai hati nurani. Penyiksaan dan penjarahan terhadap “milik” perempuan yang berharga, mulai dari pelecehan seksual sampai pembunuhan justru dilakukan oleh aparat yang seharusnya melindungi dan membela rakyatnya. Tetapi, justru sampai saat ini sebagian besar korban belum tertangani.


(37)

29

Oleh karena itu pada bab inilah kemudian untuk mendapat pemahaman yang mendalam, maka penulis akan lebih memfokuskan permasalahan atau konflik yang terjadi pada masa DOM, sampai akhir pencabutan DOM.

A. Periode Pra Daerah Operasi Militer (1976-1989)

Pada tahun 1976 sampai dengan 1989 tentara Indonesia melakukan pengejaran dan serangan bersenjata serta pencarian dari rumah ke rumah terhadap anggota Gerakan Aceh Merdeka, di daerah yang diduga sebagai basis GAM. Ini dilakukan karena untuk mendukung kampanye anti pemberontakan. Agar tidak terjadi lagi tindak kekerasan secara terus menerus.1

Amnesty Internasional melaporkan, pada saat Tentara Indonesia melakukan pencarian ke rumah-rumah yang diduga sebagai daerah basis Gerakan Aceh Merdeka, Tentara Indonesia melakukan kekerasan dan pelanggaran HAM seperti:

1. Melakukan pembakaran terhadap rumah-rumah penduduk. 2. Melakukan penyiksaan terhadap penduduk.

3. Melakukan penagkapan terhadap para istri dan anak-anak anggota GAM, dan melakukan penyanderaan terhadap mereka, dan ada diantara mereka yang kemudian diperkosa.

4. Melakukan pembunuhan diluar proses hukum terhadap orang-orang yang dituduh sebagai anggota GAM.

Belum lagi pelanggaran HAM yang terjadi pada masa ini tidak ditanggapi serius oleh pemerintah. Bahkan pemerintah hanya menganggap kejahatan yang

1

Kontras, Aceh Damai Dengan Keadilan: Mengungkap Kekerasan Masa Lalu ,(Jakarta: Kontras, 2006), h. 21.


(38)

dilakukan ABRI atau TNI ini hanya merupakan kejahatan kriminal biasa. Oleh karena itu, tidak satupun dari anggota ABRI maupun TNI yang diadili pada masa ini. Akibatnya, kekecewaan, frustasi, dan kepercayaan sosial masyarakat Aceh dan para korban DOM sudah menipis dan hilang pada pemerintah Indonesia. Umumnya para korban DOM lebih percaya pada GAM, yang kemudian akhirnya memantapkan keinginan mereka untuk berpisah dengan RI.2

B. Periode Daerah Operasi Militer (1989-1998)

Berbagai upaya telah dilaksanakan untuk menyelesaikan konflik Aceh baik dengan pendekatan keamanan dengan menjadikan Aceh sebagai tempat untuk melaksanakan Daerah Operasi Militer (DOM) pada 1989-1998. Pada periode ini menurut rakyat Aceh merupakan pengalaman buruk yang dialami mereka. Karena pada saat itu, rakyat Aceh mengalami tindak kekerasan fisik dan non-fisik yang dilakukan oleh militer. Aceh benar-benar telah menjadi tempat

“pembataian” yang kejam dan sadis. Selama Aceh dijadikan DOM, ada pos satuan taktis yang paling terkenal sebagai tempat penyekapan, penyiksaan, pembunuhan, pemerkosaan, dan kuburan massal yaitu Rumoh Geudong di Pidie dan Rancong di Aceh Utara.3

Pelaksanaan DOM di Aceh memakan banyak sekali korban jiwa baik dari pihak rakyat Aceh sendiri maupun dari pihak GAM, tindak kekerasan pihak militer baik secara fisik maupun psikis sering kali terjadi sehingga menimbulkan trauma yang mendalam bagi rakyat Aceh. DOM juga menyebabkan perekonomian Aceh mengalami stagnasi sehingga kondisi kehidupan rakyat Aceh sangat

2

Tim Peneliti LIPI, Bara Dalam Sekam, (Bandung : Mizan, 2001), h. 44.

3


(39)

31

memperihatinkan, hal ini sebagai akibat dari diberlakukannya DOM maka sebagian besar rakyat Pidie Aceh Utara dan Aceh Timur merasa ketakutan untuk melakukan kegiatan ekonomi. Apalagi ketiga daerah tersebut masih sering terjadi perampasan harta benda, intimidasi, kekerasan dan bentuk-bentuk teror lainnya.4 Selain itu, Operasi Militer telah pula memperburuk tingkat pendidikan di Aceh dibandingkan dengan daerah lainnya. Pemberlakuan Operasi Militer ini dianggap oleh orang Aceh sebagai rencana rekayasa politik Soeharto untuk mengamankan „modal‟ mereka di Aceh.5

Dengan tujuan kekayaan Aceh dapat dikuras dengan mudah.

C. Periode Paska Daerah Operasi Militer

Sebagian besar masyarakat Aceh menyambut dengan rasa syukur yang mendalam atas dicabutnya status Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh pada 7 Agustus 1998. Dengan harapan bahwa berbagai kejadian yang telah terjadi tidak akan terulang lagi dan mereka berharap dapat kembali menjalani hidup dengan normal.6

Sebenarnya berbagai upaya telah ditempuh oleh pemerintah, dengan menerapkan berbagai perundingan dengan pihak GAM, namun hingga sekarang belum juga ada titik temunya. Oleh karena itu dengan dicabutnya status DOM dari Aceh merupakan sebuah angin segar bagi masyarakat Aceh. Ini terbukti dari banyaknya tuntutan masyarakat terhadap pemerintah untuk mengusut kekerasan dan pelanggaran yang terjadi selama masa DOM dan paska masa DOM.

4

Mochammad Nurhasim, Konflik Aceh, (Jakarta: LIPI, 2003), h. 26.

5

Kontras, Aceh Damai dengan Kedilan, h. 28.

6


(40)

Pada tahun 1999 muncul kembali konflik baru yang pada saat itu dimotori oleh mahasiswa, yang tujuannya untuk menuntut kemerdekaan. Tuntutan merdeka ini sebenarnya hanya sebagai strategi agar pemerintah pusat memperhatikan korban-korban Operasi Militer. Akan tetapi tuntutan mereka pun tidak direspon dengan baik oleh pemerintah. Maka dari sinilah kemudian gerakan yang diberi nama Operasi Militer Jaringan Merang semakin meluas, sehingga akhirnya mengangkat dua isu penting yaitu merdeka atau referendum.7

Sejarah mencatat bahwa pendekatan militer tidak pernah berhasil menyelesaikan masalah Aceh. Kekerasan yang dilawan dengan kekerasan justru akan menimbulkan kekerasan baru yang lebih kompleks.8 Keseriusan pemerintah untuk melakukan rehabilitasi korban Operasi Militer, memperbaiki ekonomi rakyat Aceh dan membangun kembali Aceh, akan menjadi pintu gerbang untuk menciptakan Aceh yang damai. Selain itu, itikad baik dan serius dari pemerintah pusat juga menjadi kunci pokok bagi penyelesaian konflik Aceh. Satu hal yang perlu mendapat perhatian serius adalah perbaikan terhadap sistem di Aceh, baik sistem pendidikan, hukum, dan ekonomi.

1. Penandatanganan Kesepakatan Penghentian Permusuhan

Upaya dialog antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) memulai babak baru di Aceh. Pemerintah dan GAM yang berada di Jenewa, Swiss, pada 9 Desember 2002, akhirnya secara resmi menandatangani Kesepakatan Penghentian Permusuhan The Cessation of Hostilities Agreement (CoHA). Salah satu poin dalam perjanjian CoHA ini adalah pembentukan Joint

7

Nurhasim, Konflik Aceh, h. 28.

8


(41)

33

Security Committee yang bertugas untuk memantau pelaksanaan kesepakatan CoHA.9

Kesepakatan CoHA ini menunjukkan suatu kemajuan dengan diberikannya kesempatan kepada masyarakat sipil untuk mengekspresikan kebebasan politiknya tanpa diganggu oleh kedua belah pihak. Untuk itu, pemerintah RI menjamin dan GAM akan mendukung pelaksanaan proses pemilihan yang bebas yang adil dengan partisipasi seluruh elemen masyarakat Aceh yang seluas-luasnya.10 Untuk mendapatkan dukungan itu maka antara pemerintah dan GAM mempunyai tujuan yang sama untuk memenuhi aspirasi rakyat Aceh untuk hidup secara damai, aman, bermatabat, makmur dan adil.

Sebagai persoalan dalam negeri, Pemerintah Indonesia sebenarnya sangat berhati-hati untuk melibatkan pihak luar. Meskipun dukungan internasional sangat kuat peranannya, akan tetapi untuk menentukan tetaplah berada dalam tangan negara dan bangsa Indonesia sendiri, apalagi kekuatan luar tidak dapat terus menerus dijadikan sandaran untuk mendapat bantuan, atau sebaliknya dijadikan kambing hitam untuk melepas tanggung jawab.

2. Kegagalan Pelaksanaan CoHA

Kesepakatan penghentian permusuahan (CoHA) antara pemerintah Indonesia dan GAM pada 9 Desember 2002, ternyata akhirnya hanya mampu bertahan selama 3 (tiga) bulan. Ini dikarenakan pihak GAM telah melanggar, mengingkari, dan menghianati perrjanjian yang telah ditanda tangani. Pelanggaran yang dilakukan oleh GAM, yakni, melakukan propaganda kemerdekaan tidak

9

Kontras, Aceh Damai dengan Kedilan, h. 109.

10


(42)

maumengumpulkan senjata, bahkan melakukan penyelundupan, dan tindak kriminal.11

Mencermati sikap GAM yang mulai menyimpang dari tujuan perjanjian CoHA, pemerintah RI melalui perwakilannya di JSC-RI berusaha mengambil langkah-langkah untuk mencegah segala upaya GAM memenipulasi isi perjanjian. Adapun langkah-langkah tersebut, antara lain: (1) meminta pihak HDC untuk menghentikan segala upaya pihak GAM, (2) meminta pihak HDC untuk menggelar sidang Joint Council (sebagai lembaga tertinggi yang diatur dalam CoHA).12

Setelah pihak GAM tetap pada tujuannya, maka Pemerintah RI secara eksplisit menyatakan pemberlakuan Operasi Terpadu di wilayah Provinsi NAD. Karena perkembangan terakhir atas kondisi Aceh semakin mencemaskan dengan adanya korban jiwa yang terus berjatuhan di pihak TNI, GAM dan rakyat sipil seiring dengan melemahnya semangat untuk mematuhi perjanjian CoHA.

Akhirnya pada 19 Mei 2003 disepakatilah pertemuan Joint Council di Tokyo, guna mendapatkan solusi yang terbaik terhadap macetnya pelaksanaan CoHA. Namun perundingan ini gagal total, karena pihak GAM menolak seluruh syarat dasar pemerintah RI. Adapun syarat tersebut, yaitu: (1) Aceh tetap dalam NKRI, (2) GAM menerima otonomi khusus, (3) GAM mau meletakkan senjata.13 Kemudian dari sinilah pertemuan antara pemerintah RI dengan GAM membuat HDC tidak dapat lagi memfasilitasi perundingan tersebut, yang berarti HDC juga

11

Munawar Fuad Noeh, SBY dan Islam, (Depok: eLSAKU, 2004), h. 107.

12

I Gusti Made Oka, Cessation of Hostilities Frame Work Agreement Between RI and GAM: Suatu Penyelesaian Konflik di Aceh, (Jakarta: Staf Operasi Mabes TNI, 2004), h. 50.

13

Farid Husain, To See The Unseen: Kisah di Balik Damai di Aceh, (Jakarta: Health and Hospital, 2007), h. 245-246.


(43)

35

tidak dapat lagi bertindak sebagai mediator untuk melanjutkan proses implementasi CoHA.

3. Pemberlakuan Darurat Militer

Segala upaya telah dilakukan oleh pemerintah RI untuk mengajak pihak GAM berunding dan menyelesaikan permasalahan di Aceh dengan cara damai dan tetap dalam bingkai NKRI guna mengurangi korban dari pihak sipil. Hal ini telah dilakukan oleh pemerintah RI dengan melaksanakan beberapa upaya damai seperti Jeda Kemanusian, serta Moratorium, kemudian dilanjutkan dengan CoHA yang difasilitasi oleh HDC, namun hal ini tetap saja tidak memperoleh suatu kesepakatan karena pihak GAM tetap menuntut untuk merdeka dan lepas dari NKRI.

Upaya terakhir yang dilaksanakan oleh pemerintah RI yaitu mengadakan Joint Coincil, dimana pihak RI mengajukan beberapa persyaratan dan memberi batas waktu kepada GAM. Dengan gagalnya pertemuan tersebut, Indonesia sebagai negara yang berdaulat telah menentukan sikap tegas yaitu dengan memberlakukan Darurat Militer di NAD. Status Darurat Militer merupakan pernyataan terbuka pemerintah untuk menyatakan perang di bawah payung hukum keputusan resmi Presiden (Keppres No 28 2003). Berbeda dengan masa DOM, paska DOM sampai dengan CoHA, operasi militer yang digelar saat darurat militer secara resmi langsung di bawah pertanggungjawaban presiden sebagai penguasa darurat militer pusat. Meskipun dalam operasionalisasinya di lapangan, Keppres ini tidak mampu menjadi payung hukum yang memadai untuk menyelesaikan semua persoalan.14

14


(44)

Isi dari Keppres tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, “gagalnya upaya-upaya pemerintah menyelesaikan persoalan Aceh melalui penetapan otonomi khusus, pendekatan terpadu dan rencana pembangunan yang komprehensif, maupun dialog. Juga disebutkan bahwa semua upaya tersebut tidak dapat menghentikan niat GAM untuk memisahkan diri dari NKRI dan menyatakan kemerdekaannya.”

Maksud dari poin pertama “secara asal” telah menempatkan seluruh elemen masyarakat yang ada di Aceh, baik masyarakat sipilnya maupun GAM sebagai sumber masalah karena menolak dialog, otonomi khusus serta program pemerintah. Rumusan konsideran ini menunjukkan bahwa Pemerintah mencapuradukkan seluruh problematika Aceh yang belum tentu berhubungan dengan separatisme dan menyelesaikannya lewat Darurat Militer;

Kedua, “bahwa keadaan yang pada akhirnya dapat mengganggu keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia tersebut tidak dapat dibiarkan berlarut-larut, dan secepatnya harus dihentikan melalui upaya-upaya yang lebih terpadu agar kehidupan masyarakat dan penyelenggaraan pemerintah dapat segera dipulihkan kembali.”

Rumusan ini menunjukkan bahwa keutuhan teritorial NKRI digunakan sebagai dasar dari tujuan utama operasi. Atas nama nasionalisme dan jargon NKRI, pemerintah membenarkan seluruh tindakan aparat keamanan selama DOM. Telah melakukan operasi yang menghalalkan segala cara, yang dilakukan justru kontra produktif. Spirit dari nasionalisme dan NKRI adalah

“mempertahankan kepemilikan atas Aceh secara teritorial” dengan daya koersif yang dimiliki negara, sehingga yang dipikirkan pemerintah adalah mengembalikan efektifitas kaki kekuasaannya di daerah dengan cara apapun. Pada point kedua ini sangat bertolak belakang dengan klaim dan tujuan operasi untuk mengembalikan otoritas masyarakat Aceh atas wilayahnya yang berada dalam gangguan GAM.


(45)

37

Ketiga, Keppres No 28 Tahun 2003 dalam perihal mengingat merujuk pada Undang-undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan perubahan keempatUndang-undang Dasar 1945, Undang-undang No 23 Prp Tahun 1959 Tentang kedaan Bahaya, serta Undang-undang No 2 Tahun 2002 Tentang kepolisian Negara RI. Dalam hal ini ketiga instrumen yang menjadi dasar hukum dan mekanisme pelaksanaan Keppres sungguh memiliki perbedaan-perbedaan dalam beberapa aspeknya. Perbedaan-perbedaan ini sulit untuk saling mendukung ketiga instrumen yang menjadi dasar tersebut diimplementasikan secara bersama sebagai dasar penerapan status Darurat Militer, karena kandungan konflik kepentingan, tafsir dan tindakan.15

4. Pemberlakuan Keadaan Darurat Sipil

Setelah merasa keadaan di Aceh sudah sudah mulai membaik Presiden Megawati Soekarnoputri menurunkan status Darurat Militer dan memberlakukan Status Darurat Sipil selama enam bulan, terhitung mulai pada 19 Mei 2004, untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Keputusan ini ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 43 Tuhun 2004. Gubernur NAD, Abdullah Puteh diangkat menjadi Penguasa Darurat Sipil Daerah (PDSD), dibantu oleh Pangdam Iskandar Muda, Kapolda, dan Kajati Aceh. Keppres tersebut juga menyatakan dibentuknya Tim Asistensi dari pemerintah pusat yang tugasnya memberikan asistensi dan monitoring terhadap kerja PDSD.16

Keputusan pemerintah menurunkan status Aceh ke darurat sipil kemudian juga mendapat respon positif dari berbagai elit politik nasional, terutama yang memiliki kepentingan dalam pemilu presiden mendatang. Ini terbukti meskipun

15

Ibid, h. 114-115.

16


(46)

menurunkan status Aceh menjadi darurat sipil, tetap mempertahankan operasi militer dan tidak akan ada pengurangan pasukan di Aceh. Artinya TNI maupun polisi akan tetap melanjutkan operasi pemulihan keamanan.


(47)

39

BAB IV

PERAN MEDIASI CMI DALAM MENENGAHI

PERTENTANGAN GAM DAN INDONESIA UNTUK

MENCAPAI PENYELESAIAN KONFLIK DI

INDONESIA

Upaya menyelesaikan konflik melalui perundingan perdamaian pada hakekatnya adalah sesuatu yang selalu diinginkan oleh semua pihak. Terutama bagi masyarakat Aceh yang terdiri dari kelompok negara (Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, TNI dan Polri, Kelompok Masyarakat, dan Tokoh Adat/Ulama) sebagai pihak yang berkepentingan dalam penyelesaian konflik Aceh tersebut. Karena mereka telah sangat lama merasakan betapa pahit getirnya hidup dalam kondisi konflik yang panjang. Mulai dari tahap membangun dialog dengan pihak RI hingga kemudian dicapainya sebuah perdamaian berkat CMI (Crisis Management Initiative) sebagai mediator terakhir.

Oleh karena itu pada bab inilah, maka akan dipaparkan proses perundingan yang dicapai CMI untuk mendamaikan Pemerintah RI dan GAM yang kemudian melahirkan empat tahap perundingan sekaligus yang dikenal dengan Perundingan Helsinki. Dan juga sedikit memaparkan mengenai organisasi CMI.

A. Situasi Aceh Paska Kegagalan CoHA

Pemerintahan pada masa paska Orde Baru yang dijalankan oleh Presiden BJ. Habibie menunjukan niat serius untuk menciptakan penyelesaian perdamaian


(48)

di Aceh. Dimana pada saat itu pemerintah Indonesia mengizinkan untuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) internasional untuk memulai proses perdamaian dan juga sebagai mediator pihak ketiga dari permasalahan antara GAM dan Indonesia. Dimulai pada 2000, LSM di Swiss yaitu HDC (The Center for Humanitarian Dialogue) menghasilkan sebuah kesepakatan yang diberi nama Jeda Kemanusiaan antara pemerintah RI dan GAM, kesepakatan ini berlaku pada 2 Juni 2000. Tujuan dari Jeda Kemanusiaan ini adalah untuk:1

1. Mengirimkan bantuan kemanusian kepada masyarakat Aceh akibat konflik melalui Komite Bersama Kemanusian,

2. Menyediakan bantuan keamanan guna mendukung pengiriman bantuan kemanusiaan dan untuk mengurangi ketegangan serta kekerasan yang dapat menyebabkan penderitaan selanjutnya melalui Komite Bersama Bantuan Keamanan, dan

3. Meningkatkan langkah-langkah untuk membangun kepercayaan untuk mendapatkan solusi damai terhadap situasi konflik di Aceh.

Namun upaya Jeda Kemanusiaan ini gagal. Karena realitasnya terjadi banyak pelanggaran terhadap perjanjian ini, baik dalam bidang keamanan seperti, ruang untuk ekspresi kebebasan masyarakat sipil dibatasi dan kebijakan untuk situasi aman di Aceh belum memberikan jaminan. Tidak hanya itu saja dalam bidang kemanusiaan pun, kerja-kerja komite tidak berjalan lancar akibat kelambanan dalam menyikapi kebutuhan masyarakat.2

Dari sinilah akhirnya kemudian kembali diadakannya dialog yang kedua yang menghasilkan Perjanjian Penghentian Permusuhan Cessatio of Hostilities

1

Kontras, Aceh Damai Dengan Keadila : Mengungkap Kekerasan Masa Lalu, (Jakarta: Kontras, 2006), h. 93.

2


(49)

41

Agrement (CoHA) pada 9 Desember 2002 di Geneva, Swiss.3 Akan tetapi sama seperti HDC, perjanjian CoHA pun akhirnya gagal untuk mencapai dalam beberapa masalah, seperti bagaimana cara mencapai suatu kompromi antara permintaan kelompok GAM akan kemerdekaan dan pernyataan kuat pemerintah Indonesia bahwa Aceh adalah bagian dari Indonesia, sejauh mana mantan anggota GAM dapat berpartisipasi dalam pemerintahan daerah.4

Diberlakukannya Darurat Militer dan Darurat Sipil di Aceh yang disebabkan karena gagalnya perundingan dan perjanjian yang telah disepakati antara GAM , Indonesia dan HDC telah membuat situasi Aceh kembali bergejolak, terjadi kontak senjata antara GAM dan pemerintah Indonesia, dimana Panglima TNI saat itu Endriartono Sutarto memerintahkan untuk menghancurkan kekuatan GAM sampai keakar-akarnya sebab pemerintah Indonesia tidak ingin GAM tetap eksis, berbagai Operasi Militer tersebut tidak lantas menyelesaikan permasalahan yang terjadi, namun justru meningkatkan eskalasi konflik yang terjadi, sejak Januari sampai Mei 2005. Akibat dari konflik kekerasan tersebut maka banyak korban yang berjatuhan sampai batas akhir darurat tersebut.

Akhirnya dalam hal ini di pilihlah CMI sebagai mediator oleh pemerintah Indonesia dan GAM untuk proses perdamaian karena adanya keyakinan dari kedua belah pihak terhadap kredibilitas CMI dalam mengusahakan perdamaian gejala konflik. Terbukti hanya dalam rentang tiga tahun CMI telah berhasil membawa dua belah pihak yang bertikai duduk bersama merumuskan perjanjian perdamaian dan menghasilkan kesepakatan-kesepakatan yaitu penghentian perjanjian permusuhan antara kedua belah pihak, pencabutan status daerah operasi

3

Ibid, h.109.

4


(50)

militer, bersamaan dengan itu GAM menyerahkan seluruh senjatanya dan membubarkan 3.000 pasukan.

Ada beberapa faktor, baik internal maupun eksternal yang mendukung berhasilnya CMI mendamaikan pemerintah Indonesia dan GAM. Faktor internal keberhasilan dalam perundingan damai dengan GAM adalah kebijakan yang di ambil pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang lebih menekankan dialog dan lebih banyak mengikuti keinginan pihak GAM dari pada menggunakan cara-cara kekerasan, lalu gempa bumi dan tshunami telah membawa berkah tersendiri kepada pihak GAM dan pemerintah Indonesia untuk duduk bersama membangun kembali Aceh yang telah luluh lantah.

Faktor eksternal yang mendukung keberhasilan tersebut adalah adanya perhatian masyarakat internasional untuk mendamaikan GAM dan pemerintah Indonesia, kesediaan CMI sebagai mediator telah membuktikan bahwa masyarakat internasional peduli atas masalah yang di hadapi pemerintah Indonesia dalam menangani masalah GAM. Pada Agustus 2005, kedua pihak sepakat untuk menandatangani Nota Kesepakatan di Helsinki, Filandia. Yang telah membawa harapan bagi pihak-pihak yang bertikai untuk mewujudkan suatu perdamaian sampai saat ini.5 Ini terbukti dengan kesepakatan yang telah di buat dan ditandatangani antara pemerintah Indonesia dan GAM. Adapun kesepakatan perjanjian itu adalah Memorandum of Understanding (MoU).

5


(51)

43

B. Tinjauan Mengenai CMI

CMI adalah sebuah organisasi non-laba yang secara inovatif mempromosikan dan berkerja untuk pertahanan dan keaman. CMI bekerja untuk memperkuat kapasitas masyarakat internasional didalam manajemen krisis dan resolusi konflik yang menyeluruh. CMI bekerja untuk memperluas jaringan donatur atau pemilik saham. Organisasi CMI ini didirikan pada tahun 2000 oleh mantan Presiden Finlandia dan juga sekaligus menjabat sebagai ketua CMI yaitu Marttin Ahtisaari. CMI memiliki markas di Helsinki, Finlandia.6

Pada tahun 1999 Marttin Ahtisaari kemudian memainkan peranan penting untuk mewakili Uni Eropa (UE) dalam perundingan dengan Presiden Serbia, Slobodan Milosevic yang telah berhasil mengakhiri konflik Kosovo. Marttin Ahtisaari juga memiliki karir diplomat yang panjang dan kredibilitasnya sebagai mediator untuk mencari solusi krisis di Afrika, Irak, Irlandia Utara, dan Asia Tengah.7

Berbeda dengan HDC yang secara internasional kurang diperhitungkan, CMI lebih berpengaruh berkat kredibilitas Marttin Ahtisaari dalam menyelesaikan konflik, CMI mempunyai posisi tawar yang tinggi dikarenakan mendapatkan dukungan dana dari para donatur di UE, ia dengan mudah mendapat akses dengan pejabat tingkat tinggi badan internasional seperti dengan sekretaris jenderal PBB, Koffi Annan dan kepala perwakilan tinggi PBB untuk urusan luar negeri dan keamanan Javier Solana.

6

http://en.wikipedia.org. “Crisis Management Initiative”, diakses pada tanggal 24 Juli

2011, Pukul.19.00.

7

Farid Husain, To see The Unseen: Kisah di Balik Damai di Aceh, (Jakarta: Health and Hospital, 2007), h. 55.


(52)

Organisasi internasional CMI memiliki aturan atau pernyataan bersama dalam menggerakkan organisasinya yaitu:

1. Pembelaan solusi untuk perlindungan.

2. Menjadi pelopor dalam mempromosikan pertahanan dan perlindungan.

3. Mengajak para relawan untuk mencari solusi dalam menghadpi tantangan keamanan.

4. Menjamin kapasitas yang membangun diantara masyarakat internasional didalam pencegahan konflik, resolusi dan transformasi. 5. Menggunakan pendekatan menyeluruh yang mengikat menjadi satu

perlindungan dan pengembangan, penguasaan yang baik, keadilan dan perdamaian.

Aktifitas CMI dibagi menjadi dua program yaitu: 1. Program Manajemen Krisis

CMI mendukung usaha masyarakat internasional untuk memperkuat kapasitasnya dalam efisiensi manajemen krisis masyarakat (warga negara) didalam lingkungan post-konflik. CMI mempromosikan suatu kebijakan yang didasarkan pada suatu pemahaman menyeluruh menyangkut dimensi manajeman krisis masyarakat.

CMI bertujuan untuk:

a. Meningkatkan kualitas intervensi masyarakat didalam suatu krisis yang mungkin membahayakan ataupun tidak membahayakan melalui pencegahan dalam meningkatkan resolusi krisis lebih lanjut.


(53)

45

b. Mengembangkan sebuah cara untuk mendukung manajeman krisis masyarakat khususnya dengan menggunakan teknologi baru dengan sumber daya yang menyangkut masyarakat sipil.

c. Memainkan suatu peran yang mendukung usaha masyarakat internasional didalam pencegahan konflik, tanggapan krisis, dan perubahan buruk konflik.

2. Program Resolusi Konflik

Pendekatan CMI dalam resolusi konflik didalam suatu hubungan antara perlindungan dan pengembangan bermasyarakat CMI bekerja dengan resolusi konflik yang bersandar kepada jaringannya terutama terhadap masyarakat sipil dan organisasi regional, CMI bekerja dengan pedoman:

a. Mengawasi konflik sebelum terjadinya perpecahan dengan segera menaggapi tanggapan dan campur tangan para “relawan kunci” dengan cara dan waktu yang tepat.

b. Mendukung dan menghubungkan mekanisme sehingga dapat mendeteksi peringatan awal dan mencatat indikator spesifik yang membantu meramalkan kekerasan yang akan terjadi.

c. Menekankan kebutuhan kepada pencegahan konflik institusi lokal, regional dan internasional.

d. Memperkuat dan memudahkan kebijaksanaan bagi para relawan dalam penyelesaian sengketa dengan cara mediasi.8

8

http://en.wikipedia.org. “Crisis Management Initiative”, diakses pada tanggal 24 Juli


(54)

C. Proses Perundingan Helsinki

Sebelum terjadinya bencana tsunami di Aceh, keinginan untuk melakukan negosiasi perdamaian telah ada dari pihak Indonesia yang pada saat itu diwakili oleh M. Jusuf Kalla. Kapasitasnya sebagai Menko Kesejahteraan Rakyat dalam Kabinet Gotong Royong yang kemudian menjadi Wakil Presiden pada saat itu Jusuf Kalla mengutus orang kepercayaanya, Farid Hussain untuk mencoba kembali merintis upaya perdamaian Aceh dengan cara mengadakan kontak dengan para petinggi GAM di Swedia pada tahun 2003. Perintah ini dilakukan karena mendapat inspirasi pengalaman sejak membantu menangani konflik di Poso dan Ambon.9 Namun peluang ini pun lebih terfokus dijalankan setelah mendapatkan persetujuan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Inisiatif perdamaian yang dilakukan M. Jusuf Kalla dalam masalah ini akhirnya mendapatkan respon positif dari Farid Hussain. Alasan Farid Hussain tidak dapat menolak perintah Jusuf Kalla pada saat itu karena, hubungan diantara mereka sudah sangat dekat dan Jusuf Kalla pun memberikan kebanggaan bagi Farid Hussain atas kepercayaannya dalam menjalankan berbagai tugas yang diperintahkannya.

Akhirnya pada 27 Januari 2005, Farid Hussain pun mengunjungi Helsinki, Finlandia. Dengan tujuan untuk mencapai perdamaian dengan GAM dan menarik perhatian mantan Presiden Finlandia sekaligus Ketua Organisasi CMI, Marttin Ahtisaari yang menyetujui melibatkan organisasinya (CMI) sebagai mediator. Hal ini akhirnya menunjukan bahwa negosiasi yang berlangsung lima tahap itu membuahkan sukses. Pemerintahan dan GAM menandatangani perjanjian

9


(1)

68

Tidak ada toleransi untuk pengacau dan pemberontak, mungkin itulah ungkapan yang tepat untuk melihat sikap pemerintah terhadap munculnya gerakan GAM. Hal tersebut bisa dilihat dari cara pemerintah yang bersikap refresif dan cenderung menggunakan kekuatan militer dalam menanggapi permasalahan tersebut.

Dengan ditetapkannya Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) maka dapat dipastikan Aceh akan menjadi daerah yang mencekam, akan terjadi banyak sekali tindak kekerasan dan pelanggaran HAM yang akan terjadi di bumi Aceh. Karena tindakan refresif tersebut akhirnya GAM pun tersingkir banyak tokoh-tokohnya lari ke luar negeri bahkan termasuk pimpinan GAM sendiri Hasan Tiro lari ke negara Swiss.

Jika dilihat, sangatlah wajar pemerintah melakukan hal tersebut karena secara logika tidak ada seorang pun yang mau dihina di dalam rumahnya sendiri, tidak ada seorang pun yang mau dilecehkan didepan mukanya sendiri.

Tragedi 1998 dan peristiwa Tsunami merupakan tonggak baru dari sejarah Indonesia, runtuhnya Orde Baru dan jatuhnya banyak korban bencana Tsunami merubah tatanan dan pola pikir pemerintah. Karena peristiwa inilah sejarah baru Aceh dimulai, pembicaraan damai pun mulai diwacanakan oleh para pembesar negara.

Niat baik pemerintah pun direspon oleh pihak GAM, tujuan sederhana dari perdamaian ini adalah untuk dapat memunculkan stabilitas Aceh. Dengan daerah yang stabil tentu diharapkan rakyat Aceh lepas dari berbagai kesulitan yang selama ini mereka alami.


(2)

69

Untuk lebih memudahkan dan menjaga agar perundingan damai ini berjalan dengan kondusif maka pemerintah dan pihak GAM setuju untuk menunjuk mediator dari luar kedua belah pihak, dengan tujuan agar perundingan tersebut dapat berjalan dengan adil dan tidak ada pihak yang dirugikan.

CMI merupakan mediator yang berhasil dalam menangani perdamaian antara Indonesia dengan GAM. Adapun langkah-langkah yang dilakukan oleh CMI pada saat mempertemukan kedua belah pihak untuk dapat berdialog adalah,

a. Pertama, pembicaraan tentang otonomi khusus Aceh. b. Kedua, pemberian amnesti dengan segala prosesnya. c. Ketiga, pengaturan keamanan

d. Keempat, sistem monitoring pengaturan keamanan. Mediator menawarkan kepada pihak-pihak yang bertikai untuk menggunakan jasa baik Uni Eropa dan negara-negara ASEAN yang bekerja sama, bahu membahu.

e. Kelima, pembicaraan tentang tahapan-tahapan pencapaian dan waktu yang jelas.

CMI sebagai pihak ketiga dalam perundingan damai ini menemui jalan yang cukup sulit, karena hal yang paling pertama harus dilakukan adalah mengembalikan kepercayaan satu sama untuk dapat duduk bersama berdialog. Namun pada akhirnya berkat kelihaian diplomasi CMI akhirnya kedua belah pihak setujuk untuk berdialog mencari perdamaian.

Dalam perundingan Helsinki terdapat lima putaran. Pada putaran pertama dan kedua, memberikan hasil yang tidak memuaskan, perundingan ini mengalami dead


(3)

70

lock sebab kedua belah pihak tetap mempertahankan keinginan dan pendapatnya sendiri. Namun peran CMI dalam mencari alternatif rumusan perundingan berhasil menjadi faktor penentu keberhasilan dalam perundingan antar RI-GAM. perundingan Helsinki sangat berbeda dengan perundingan-perundingan RI-GAM yang pernah terjadi sebelumnya.

CMI terus memperlihatkan kelihaiannya dalam mencari alternatif-alternatif untuk meraih perdamaian antara kedua belah pihak, pada akhirnya CMI mampu membuka jalan dan meyakinkan Uni Eropa maupun PBB bahwa kedua belah pihak memang benar-benar menginginkan perdamaian di Aceh. Akhirnya, perundingan Helsinki behasil ditandatangani oleh kedua belah pihak pada tanggal 15 Agustus 2005. Perundingan Helsinki ini merupakan simbol berakhirnya gerakan separatisme di Aceh.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Awaludin, Hamid, Damai di Aceh: Catatan Perdamaian RI-GAM di Helsinki, CSIS, 2008

Ganguly dan Macduff, Ethic Conflict and Secessionism in South and Southeast Asia: Causes, Dynamich, Solution, New Delhi: Sage Publication, 2003. Hamid, Farhan, Jalan Damai Nanggroe Endatu: Catatan Seorang Wakil Rakyat

Aceh, Jakarta: Suara Bebas, 2006.

Husain, Farid, ed., To See The Unseen: Kisah di Balik Damai di Aceh, Jakarta: Health and Hospital, 2007.

Hadi, Syamsul, Disintegrasi Pasca Orde Baru: Negara, Konflik Lokal dan Dinamika Internasional, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007.

Jones, Walter S, Logika Hubungan Internasional: Kekuasaan Ekonomi, Politik Internasional, dan Tatanan Dunia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993.

Kingsbury, Damien, Peace In Aceh, Singapore: Ecolnox Publishing Asia, 2006. Kantaprawira, Rusadi dan Leo, Perihal Ilmu Politik: Sebuah Bahasan Memahami

Ilmu Politik, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007.

Maris, Masri, How Manage Conflict: Kiat Menangani Konflik, Jakarta: Erlangga, 2001.

Nurhasim, Mochammad, Konflik Aceh, Jakarta: LIPI, 2003. Noeh, Munawar Fuad, SBY dan Islam, Depok: eLSAKU, 2004.

Patilima, Hamid, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: CV. Alfa Beta, 2005. Pane, Neta S, Sejarah dan Kekuatan Gerakan Aceh Merdeka, Jakarta: PT.

Grafindo, 2001.

Rani, Usman A, Sejarah Peradaban Aceh, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003.


(5)

Surbakti, Ramlan, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Widiasarana, 1992.

Susan, Novri, Sosiologi Konflik dan Isu-isu Konflik Kontemporer, Jakarta: Kencana 2009.

Suryadi, Budi, Sosiologi Politik: Sejarah Definisi dan Perkembangan Konsep, Yogyakarta: IRCiSoD, 2007.

Sihbudi, Riza, ed., Bara Dalam Sekam: Identifikasi Akar Masalah dan Solusi Atas Konflik-konflik Lokal, Bandung: Mizan Medeia Utama, 2001.

Tim peneliti LIPI, Bara Dalam Sekam, Bandung: Mizan, 2001.

Tippe, Syarifuddin, Aceh di Persimpangan Jalan, Jakarta: Pustaka Cidesindo, 2000.

Thung Ju Lan, dkk, Penyelesaian Konflik di Aceh: Aceh dalam Proses Rekonstruksi & Rekonsiliasi, Jakarta: Riset Kompetitif Pengembangan IPTEK Sub Program Otonomi Daerah Konflik dan Daya Saing-LIPI, 2005.

Touval dan Zartman, William, Internasional Meedition in theory and Practice, Westview Press/ Foreign Policy Institute Scool of Advanced Internasional Studies, The John Hopkins University, USA: 1985.

Jurnal:

Kontras, “Aceh Damai Dengan Keadilan: Mengungkap Kekerasan Masa Lalu”, Jakarta: Kontras, 2006.

Tim Peneliti LIPI, “Masyarakat Indonesia: Majalah Ilmu-ilmu Sosial”, Jilid 33. No. 1, 2007.

Staf Operasi Mabes TNI, “Cessation of Hostilities Frame Work Agreement Between RI and GAM: Suatu Penyelesaian Konflik di Aceh”, Jakarta (Juni 2004).

Sukidi, “Wajah Pluralisme Islam Modermi”, Tanwir Jurnal Pemikiran Agama dan Peradaban, No. 2 (Juli 2003).


(6)

Surat Kabar:

Tempo, “Menanti Partai Lokal GAM”, Edisi 25-31 Juli 2005. Internet:

http://www.mail-afchive.com/[email protected], “Aceh Sekarang dan Masa Depan”, diakses pada tanggal 7 Juni 2011, Pukul 16.26

http://en.wikipedia.org. “Crisis_Management_Initiative”, artikel diakses pada tanggal 7 Juni 2011, Pukul 19.30.