Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Institusi Intermediary dalam Gerakan Sosial Baru: Studi tentang OTL Lidah Tani di Randublatung T1 352008001 BAB V
BAB V
SEJARAH PERLAWAANAN PETANI RANDUBLATUNG
Konflik ini berawal dari keinginan masyarakat untuk menumpahkan
ketidakpercayaan kepada pemerintah, khususnya kepada aparat penjaga hutan,
akibat manipulasi yang dilakukannya dengan para pemodal. Keterlibatan para
pemodal yang sebagian besar berperan sebagai penadah itu, dilihat oleh
masyarakat dari dua sisi. Pertama, mereka semakin menyadari bahwa kegiatan
kehutanan dapat menghasilkan pendapatan yang cukup besar dibandingkan
dengan kegiatan masyarakat selama ini yang hanya terlibat dalam skala kecil,
misalnya upah tanam, hasil tumpangsari, upah tebangan dan upah dari berbagai
kegiatan lain. Kedua, masyarakat menyadari bahwa kegiatan kehutanan
melibatkan begitu banyak pemain yang sebagian besar melanggar hukum.
Kejadiankejadian tentang keterlibatan oknum Perhutani, oknum militer, pemilik
modal, dan pihak-pihak lain dalam jaringan gelap tata usaha kayu, saat ini
menjadi terbuka ketika warga juga terlibat di dalamnya. Hal ini menimbulkan
suatu keberanian baru yang bersifat negatif, yaitu mencontoh pelanggaranpelanggaran hukum yang dilakukan oleh aparat yang terjadi di hadapan mereka.
Pada beberapa kejadian terakhir, aparat sudah tidak lagi ditakuti oleh warga dan
ini menunjukkan betapa motivasi warga telah berkembang cukup kompleks.
Konflik terbuka antara masyarakat dan Perum Perhutani dipicu ketika
petugas Perhutani KPH Randublatung melakukan tindakan represif terhadap
pencurian kayu, yang menyebabkan dua orang warga masyarakat tertembak pada
pertengahan 1998. Selanjutnya kronologis penjarahan hutan di Desa Temulus
disajikan dalam Tabel 1, yang merupakan hasil observasi Lembaga ARuPA
Yogyakarta. Kejadian penjarahan hutan diawali oleh kerjasama antara
masyarakat/perangkat desa dan oknum Perhutani setempat untuk bekerja sama
dalam meloloskan kayu-kayu ilegal.
37
Sumber: Wulan, 2007, Analisis Konflik Sektor Kehutanan,hal: 44
Tabel 1. Kronologi Penjarahan Hutan di Temulus
Waktu Kejadian
Diskripsi Kejadian
Maret 1998
- Kerjasama perangkat desa dan oknum Perhutani
- Oknum Perhutani meloloskan kayu illegal
April 1998
- Ajun (Ajudan Administratur) mendatangi masyarakat,
meminta kayu diserahkan
- Masyarakat meminta penengah dari Muspika
Mei 1998
- Ajun memimpin operasi, masyarakat melawan,
petugas kocar-kacir
- Masyarakat mendirikan bangunan dari kayu ilegal
- Masyarakat lain ikut-ikutan mengambil kayu ilegal
- Perum melibatkan militer lokal (Koramil dan Polsek)
- Ok u
iliter alah ikut ber ai
Juni 1998
- Unit I berinisiatif mendatangkan Brimob
- 28 Juni, tiga orang warga Desa Bapangan tertembak
- 29 Juni, masyarakat Bapangan, Menden, Temulus
dan sekitarnya membakar beberapa bangunan
Perhutani
38
Juli – September 1998
- Penjarahan berlangsung terus
- Terjadi mutasi beberapa pegawai Perum setempat
Oktober 1998
- Ada pergantian beberapa petugas Koramil dan
Polsek
- Dilakukan operasi oleh Polda, penjarahan berkurang
- Beberapa warga ditangkap, namun diloloskan setelah
membayar polisi
November 1998
- Operasi berhenti, penjarahan mulai terjadi lagi
Desember 1998
- Penjarahan masih berjalan
- Ada pemilihan Kades baru
- Penjarahan mulai berkurang, namun ada kasus
bibrikan (perambahan)
Januari 1999-Sekarang
- Penjarahan masih berjalan
Sumber: Kutipan dari Penjarahan Hutan di Sekitar Desa, Temulus Randublatung.
ARuPA, 1999.
Rentan waktu kurang dari setengah abad―semenjak mandat pengelolaan
pertama kali diserahkan pada 1961―tentu menyiratkan keyakinan negara akan
kinerja positif Perhuntani dalam mengelola sumber daya hutan (Maryudi,
2011:76). Tetapi, setelah Orde Baru yang memiliki karakter kekuasaan otoriter
dalam mengelola pemerintah ambruk, terjadi fenomena kekacuan dibidang
pengelolaan sumber daya hutan di kawasan KPH Radandublatung. Konflikkonflik perebutan sumber daya hutan terjadi bahkan merebak. Berbagai
masyarakat desa hutan yang sebelumnya pasif menjadi merasa kuat bila
berhadapan dengan negara. Perlawanan terbuka dengan aksi penjarahan kayu
terjadi di seluruh kawasan hutan wilayah kerja Perum Perhutani KPH
Randublatung dan kawasan-kawasan hutan lainya.
Pada mulanya
aksi
penjarahan kayu
terjadi
di
kawasan RPH
Kedungsambi, tetapi kemudian dalam prosesnya meluas ke wilayah kawasan
hutan negara di Randublatung, Cepu, bahkan Blora. Ribuan penjarah secara
leluasa melakukan “panen raya‟ (penebangan liar) tanpa ada yang dapat
menghentikanya. Bahkan, pihak Perum Perhutani KPH Randublatung pun telah
melakukaan operasi-operasi dalam upaya pengamanan hutan, baik dengan
Polhutanya maupun bersama pihak Kepolisian, Militer maupun Brimob.
39
Pasca aksi penjarahan kayu, lahan yang telah kosong akibat dari aksi
penjarahan kayu dikapling-kapling begitu saja oleh petani hutan, guna dialih
fungsikan menjadi lahan pertanian. Bahkan lebih jauh lagi, aksi penjarahan kayu
yang terjadi pada awal tahun 1998 disertai dengan fenomena aksi balas kekerasan
antara masyarakat desa hutan dan Perum Perhutani KPH Randublatung bersama
aparat negara gabunganya. Sehingga mengakibatkan korban meninggal dan
lukaluka, baik dari pihak Perum Perhutani KPH Randublatung maupun
masyarakat desa hutan. Kemudian, aksi kekerasan dari masyarakat desa hutan
juga dilakukan dengan cara merusak sarana dan prasana milik Perum Perhutani
KPH Randublatung.
Kondisi tersebut menempatkan Perum Perhutani dalam situasi kesulitan
mengatasi persoalan aksi penjarahan kayu, aksi perambahan lahan dan diikuti
dengan aksi kekerasan yang terjadi secara masif di semua wilayah kerja Perum
Perhutani KPH Randublatung. Kondisi itu juga menjadikan masyarakat desa
hutan yang sebelumnya cenderung diam di era Orde Baru berubah menjadi
masyarakat yang secara “liar” untuk masuk ke dalam hutan tanpa dapat diatasi
oleh aparat negara pada awal era Reformasi. Oleh karena itu sangat wajar jika
perlawanan terbuka di sekitar hutan KPH Randublatung di era Reformasi
cenderung menonjolkan sifat anarkhis dan memilih berkonfrontasi langsung
secara terbuka dengan kekuatan negara.
Pada tahun 1998, Perhutani menembak dua orang warga yang sedang
mencari kayu di Hutan. Dua orang tersebut adalah Darsit dan Rebo. Setelah
kejadian salah tembak itu, masyarakat melakukan pengrusakan bangunan
Perhutani yang ada di Randublatung dan melakukan tindakan pembalasan dengan
mengambil kayu di hutan jati. Pada tahun 2000 kekerasan oleh Polisi Hutan
kembali terjadi. Kali ini di KPH Cepu yang menewaskan Djani. Djani ditembak
saat Polisi Hutan sedang melakukan operasi pengamanan hutan. Padahal Djani
bukanlah pencuri kayu. Pagi itu dia pergi ke sawah membawa cangkul. Kebetulan
polisi hutan sedang mengejar pencuri kayu dan mendapati Djani di lokasi, polisi
hutan menembaknya sampai tewas. Kekerasan yang sama terus berulang di Blora,
baik yang menyebabkan tewasnya warga masyarakat maupun yang luka-luka.
40
Korban-korban yang tewas di Blora dalam rentang waktu 1998-2008 dijelaskan
pada table 2 di bawah8:
Tabel 2. Korban-korban yang tewas di Blora
Nama
Modus
KPH
Waktu
No
Darsit
Penembakan
Randublatung
28 Juni 1998
Rebo
Penembakan
Randu Blatung
28 Juni 1998
Djani
Penembakan
Cepu
5 November 200
Wiji
Penganiayaan
Cepu
14 Oktober 2002
Mursi
Penembakan
Randublatung
16 Desember 2003
Nurhdi
Penganiayaan
Randublatung
13 Juni 2006
Pariyono
Penaniayaan
Randublatung
18 November2006
Beberapa contoh kasus di atas menunjukkan bahwa sengketa hutan
cenderung terjadi tindak kekerasan di antara para pihak yang terlibat sengketa.
Catatan dari Arupa menguatkan asumsi itu.9 Dalam sepuluh tahun terakhir sudah
7 (tujuh) orang tewas ditangan Perhutani di Blora. Apabila dikalkulasikan untuk
Jawa Tengah (Wilayah I Perhutani), sebagaimana ditabulasikan oleh LBH
Semarang dan Lidah Tani, dalam sepuluh tahun terakhir (1998-2008.) sudah 31
orang tewas dan 69 orang luka-luka akibat pendekatan keamanan yang dilakukan
oleh Perhutani.
8
Data diolah dari tabulasi dokumen kasus yang dikumpulkan LBH Semarang dan Lidah
Tani
9
Edi Suprapto, “Konflik Kehutanan yang Berbuah Kekerasan,“ dalam http://www.
arupa.or.id. diakses tanggal 28 Mei 2015.
41
SEJARAH PERLAWAANAN PETANI RANDUBLATUNG
Konflik ini berawal dari keinginan masyarakat untuk menumpahkan
ketidakpercayaan kepada pemerintah, khususnya kepada aparat penjaga hutan,
akibat manipulasi yang dilakukannya dengan para pemodal. Keterlibatan para
pemodal yang sebagian besar berperan sebagai penadah itu, dilihat oleh
masyarakat dari dua sisi. Pertama, mereka semakin menyadari bahwa kegiatan
kehutanan dapat menghasilkan pendapatan yang cukup besar dibandingkan
dengan kegiatan masyarakat selama ini yang hanya terlibat dalam skala kecil,
misalnya upah tanam, hasil tumpangsari, upah tebangan dan upah dari berbagai
kegiatan lain. Kedua, masyarakat menyadari bahwa kegiatan kehutanan
melibatkan begitu banyak pemain yang sebagian besar melanggar hukum.
Kejadiankejadian tentang keterlibatan oknum Perhutani, oknum militer, pemilik
modal, dan pihak-pihak lain dalam jaringan gelap tata usaha kayu, saat ini
menjadi terbuka ketika warga juga terlibat di dalamnya. Hal ini menimbulkan
suatu keberanian baru yang bersifat negatif, yaitu mencontoh pelanggaranpelanggaran hukum yang dilakukan oleh aparat yang terjadi di hadapan mereka.
Pada beberapa kejadian terakhir, aparat sudah tidak lagi ditakuti oleh warga dan
ini menunjukkan betapa motivasi warga telah berkembang cukup kompleks.
Konflik terbuka antara masyarakat dan Perum Perhutani dipicu ketika
petugas Perhutani KPH Randublatung melakukan tindakan represif terhadap
pencurian kayu, yang menyebabkan dua orang warga masyarakat tertembak pada
pertengahan 1998. Selanjutnya kronologis penjarahan hutan di Desa Temulus
disajikan dalam Tabel 1, yang merupakan hasil observasi Lembaga ARuPA
Yogyakarta. Kejadian penjarahan hutan diawali oleh kerjasama antara
masyarakat/perangkat desa dan oknum Perhutani setempat untuk bekerja sama
dalam meloloskan kayu-kayu ilegal.
37
Sumber: Wulan, 2007, Analisis Konflik Sektor Kehutanan,hal: 44
Tabel 1. Kronologi Penjarahan Hutan di Temulus
Waktu Kejadian
Diskripsi Kejadian
Maret 1998
- Kerjasama perangkat desa dan oknum Perhutani
- Oknum Perhutani meloloskan kayu illegal
April 1998
- Ajun (Ajudan Administratur) mendatangi masyarakat,
meminta kayu diserahkan
- Masyarakat meminta penengah dari Muspika
Mei 1998
- Ajun memimpin operasi, masyarakat melawan,
petugas kocar-kacir
- Masyarakat mendirikan bangunan dari kayu ilegal
- Masyarakat lain ikut-ikutan mengambil kayu ilegal
- Perum melibatkan militer lokal (Koramil dan Polsek)
- Ok u
iliter alah ikut ber ai
Juni 1998
- Unit I berinisiatif mendatangkan Brimob
- 28 Juni, tiga orang warga Desa Bapangan tertembak
- 29 Juni, masyarakat Bapangan, Menden, Temulus
dan sekitarnya membakar beberapa bangunan
Perhutani
38
Juli – September 1998
- Penjarahan berlangsung terus
- Terjadi mutasi beberapa pegawai Perum setempat
Oktober 1998
- Ada pergantian beberapa petugas Koramil dan
Polsek
- Dilakukan operasi oleh Polda, penjarahan berkurang
- Beberapa warga ditangkap, namun diloloskan setelah
membayar polisi
November 1998
- Operasi berhenti, penjarahan mulai terjadi lagi
Desember 1998
- Penjarahan masih berjalan
- Ada pemilihan Kades baru
- Penjarahan mulai berkurang, namun ada kasus
bibrikan (perambahan)
Januari 1999-Sekarang
- Penjarahan masih berjalan
Sumber: Kutipan dari Penjarahan Hutan di Sekitar Desa, Temulus Randublatung.
ARuPA, 1999.
Rentan waktu kurang dari setengah abad―semenjak mandat pengelolaan
pertama kali diserahkan pada 1961―tentu menyiratkan keyakinan negara akan
kinerja positif Perhuntani dalam mengelola sumber daya hutan (Maryudi,
2011:76). Tetapi, setelah Orde Baru yang memiliki karakter kekuasaan otoriter
dalam mengelola pemerintah ambruk, terjadi fenomena kekacuan dibidang
pengelolaan sumber daya hutan di kawasan KPH Radandublatung. Konflikkonflik perebutan sumber daya hutan terjadi bahkan merebak. Berbagai
masyarakat desa hutan yang sebelumnya pasif menjadi merasa kuat bila
berhadapan dengan negara. Perlawanan terbuka dengan aksi penjarahan kayu
terjadi di seluruh kawasan hutan wilayah kerja Perum Perhutani KPH
Randublatung dan kawasan-kawasan hutan lainya.
Pada mulanya
aksi
penjarahan kayu
terjadi
di
kawasan RPH
Kedungsambi, tetapi kemudian dalam prosesnya meluas ke wilayah kawasan
hutan negara di Randublatung, Cepu, bahkan Blora. Ribuan penjarah secara
leluasa melakukan “panen raya‟ (penebangan liar) tanpa ada yang dapat
menghentikanya. Bahkan, pihak Perum Perhutani KPH Randublatung pun telah
melakukaan operasi-operasi dalam upaya pengamanan hutan, baik dengan
Polhutanya maupun bersama pihak Kepolisian, Militer maupun Brimob.
39
Pasca aksi penjarahan kayu, lahan yang telah kosong akibat dari aksi
penjarahan kayu dikapling-kapling begitu saja oleh petani hutan, guna dialih
fungsikan menjadi lahan pertanian. Bahkan lebih jauh lagi, aksi penjarahan kayu
yang terjadi pada awal tahun 1998 disertai dengan fenomena aksi balas kekerasan
antara masyarakat desa hutan dan Perum Perhutani KPH Randublatung bersama
aparat negara gabunganya. Sehingga mengakibatkan korban meninggal dan
lukaluka, baik dari pihak Perum Perhutani KPH Randublatung maupun
masyarakat desa hutan. Kemudian, aksi kekerasan dari masyarakat desa hutan
juga dilakukan dengan cara merusak sarana dan prasana milik Perum Perhutani
KPH Randublatung.
Kondisi tersebut menempatkan Perum Perhutani dalam situasi kesulitan
mengatasi persoalan aksi penjarahan kayu, aksi perambahan lahan dan diikuti
dengan aksi kekerasan yang terjadi secara masif di semua wilayah kerja Perum
Perhutani KPH Randublatung. Kondisi itu juga menjadikan masyarakat desa
hutan yang sebelumnya cenderung diam di era Orde Baru berubah menjadi
masyarakat yang secara “liar” untuk masuk ke dalam hutan tanpa dapat diatasi
oleh aparat negara pada awal era Reformasi. Oleh karena itu sangat wajar jika
perlawanan terbuka di sekitar hutan KPH Randublatung di era Reformasi
cenderung menonjolkan sifat anarkhis dan memilih berkonfrontasi langsung
secara terbuka dengan kekuatan negara.
Pada tahun 1998, Perhutani menembak dua orang warga yang sedang
mencari kayu di Hutan. Dua orang tersebut adalah Darsit dan Rebo. Setelah
kejadian salah tembak itu, masyarakat melakukan pengrusakan bangunan
Perhutani yang ada di Randublatung dan melakukan tindakan pembalasan dengan
mengambil kayu di hutan jati. Pada tahun 2000 kekerasan oleh Polisi Hutan
kembali terjadi. Kali ini di KPH Cepu yang menewaskan Djani. Djani ditembak
saat Polisi Hutan sedang melakukan operasi pengamanan hutan. Padahal Djani
bukanlah pencuri kayu. Pagi itu dia pergi ke sawah membawa cangkul. Kebetulan
polisi hutan sedang mengejar pencuri kayu dan mendapati Djani di lokasi, polisi
hutan menembaknya sampai tewas. Kekerasan yang sama terus berulang di Blora,
baik yang menyebabkan tewasnya warga masyarakat maupun yang luka-luka.
40
Korban-korban yang tewas di Blora dalam rentang waktu 1998-2008 dijelaskan
pada table 2 di bawah8:
Tabel 2. Korban-korban yang tewas di Blora
Nama
Modus
KPH
Waktu
No
Darsit
Penembakan
Randublatung
28 Juni 1998
Rebo
Penembakan
Randu Blatung
28 Juni 1998
Djani
Penembakan
Cepu
5 November 200
Wiji
Penganiayaan
Cepu
14 Oktober 2002
Mursi
Penembakan
Randublatung
16 Desember 2003
Nurhdi
Penganiayaan
Randublatung
13 Juni 2006
Pariyono
Penaniayaan
Randublatung
18 November2006
Beberapa contoh kasus di atas menunjukkan bahwa sengketa hutan
cenderung terjadi tindak kekerasan di antara para pihak yang terlibat sengketa.
Catatan dari Arupa menguatkan asumsi itu.9 Dalam sepuluh tahun terakhir sudah
7 (tujuh) orang tewas ditangan Perhutani di Blora. Apabila dikalkulasikan untuk
Jawa Tengah (Wilayah I Perhutani), sebagaimana ditabulasikan oleh LBH
Semarang dan Lidah Tani, dalam sepuluh tahun terakhir (1998-2008.) sudah 31
orang tewas dan 69 orang luka-luka akibat pendekatan keamanan yang dilakukan
oleh Perhutani.
8
Data diolah dari tabulasi dokumen kasus yang dikumpulkan LBH Semarang dan Lidah
Tani
9
Edi Suprapto, “Konflik Kehutanan yang Berbuah Kekerasan,“ dalam http://www.
arupa.or.id. diakses tanggal 28 Mei 2015.
41