PERUBAHAN ENKULTURASI PADA ANAK-ANAK ETNIK ANGKOLA DI PERKOTAAN : STUDI DI KELURAHAN BINJAI KECAMATAN MEDAN DENAI.

('

_________________

l UNIMEO

MILIK PEI!PUSTAK. AAN

DidjUf·
(!,:

'"':i

>
0
>
. >

I

.li


· syarat untuk memperoleh

Antropologi Sosial

.-.----.-------·1

l TGL. TERIMA
lAS A~-!

' z
>
~
I

·. #LOGI s,
ll\'IEOAN

TESIS


PERUBAHAN ENKULTURASI PADA ANAKANAK ETNIK ANGKOLA DI PERKOTAAN :
STUDI DI KELURAHAN BINJAI
KECAMATAN MEDAN DENAI
Oleh:
YURMAINI SIREGAR
NI~:0821536

Telah dipertahankan di depan Panitia Ujian Tesis
pada Tanggal20 Desember 2010
Dan dinyatakan telah memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh
Gelar Magister Sains Program Studi Antropologi Sosial

Disetujui
Tim Pembimbing
Pembimbing I

Ketua Program Studi
Antropologi Sosial

Dr.pbii.Ichwan Azbari, .S

NIP. 19610116 1958011 003

Pembimbing II

LEMBAR PERSETUJUAN TESIS
Judul Tesis
PERUBAHAN ENKULTURASI PADA ANK~
ETNIK ANGKOLA
DIPERKOTAAN : STUDI DI KELURAHAN BINJAI KECAMATAN
MEDANDENAI

ANDATANGAN

NO

NAMA

1.

Dr.ohii.Ichwan Azhari.M.S

Pembimbing I

2.

Prof. Dr.Usman PeUy.M.A
Pembimbing II

3.

Prof. Dr.lbnu Hajar Damanik M.Si
Penguji

4.

Dr.Fikarwin Zuska,M.Si
Penguji

5.

Pujiati M.Soc,Phd

Penguji

MAHASISWA
NAMA

: Yurmaini Siregar

NIM

:082188510036

TANGGAL UJIAN : 20 Desember 2010

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur dengan segala kerendahan hati Penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT
atas rahmatNya dan keizinkanNya Penulis dapat melakukan penelitian dalam rangka penulisan
Tesis yang berjudul " Perubahan Enkulturasi Pada Anak-Anak Etnik Angkola di Perkotaan Studi
di Kelurahan Binjai Kecamatan Medan Denai ". Pelaksanaan penelitian dan penulisan Tesis ini
telah Penulis lakukan secara maksimal. Hal ini dapat terlaksana karena dorongan, dukungan dan
bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini Penulis menyampaikan terima

kasih kepada :
Bapak DR.Phil.lchwan Azhari MS sebagai Dosen Pembimbing I sekaligus sebagai Ketua
Prodi Antropologi Sosial Pascasarjana Universitas Negeri Medan dan Bapak Prof.Usman Pelly
M.A sebagai Dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan dan
motivasi selama pelaksanaan penelitian hingga penulisan Tesis ini selesai.
Ucapan terimakasih juga Penulis sampaikan kepada Bapak Prof.DRBelferik Manullang
selaku Direktur Program Pascasarjana UNIMED. Bapak Prof.DR.Ibnu Hajar D.MSi, Bapak
DR.Fikarwin Zuska, Ibu Pujiati M.Soc.Phd sebagai Dosen Penguji beserta para Dosen, Guru
Besar dan Staf Akademik Program Pascasarjana Universitas Negeri Medan yang telah banyak
memberikan ilmu pengetahuan, dukungan dan motivasi selama Penulis mengikuti pendidikan.
Bapak Lurah Binjai Kecamatan Medan Denai yang telah memberikan izin kepada
Peneliti untuk melakukan penelitian di Kelurahan Binjai Kecamatan Medan Denai. Bapak
Mastarif Siregar, Bapak Drs.Syamsul Bahri Siregar, Bapak Drs. Parlaungan Ritonga M.Hum,
Bapak Drs. Baleman Siregar, lbu Hepsy Boru Harahap, Bapak Bisron Hasibuan SH sebagai
tokoh adat Angkola yang banyak memberikan bantuan dan masukan kepada Penulis untuk
mengumpulkan data dan informasi yang diperlukan dalam penyelesaian Tesis ini.
Ucapan terima kasih juga kepada suami tercinta Drs.H.ABD.Rahman Tumanggor MPd
beserta ketiga anak-anak : Nuhadi Arief Yusran Tumanggor SH, Arief Hidayat Tumanggor
SEAk, Novita Rahmaini Tumanggor AMd yang telah memberikan kekuatan, perhatian dan do' a
bagi Penulis serta memberikan semangat dan dukungan dalam menyelesaikan pendidikan di

Pascasarjana Universitas Negeri Medan.
Akhimya kepada rekan-rekan kuliah Prodi Antropologi Sosial di Program Pascasarjana
Universitas Negeri Medan, Penulis haturkan terima kasih atas segala bantuan dan kerjasama
serta keakraban yang terbina selama ini.
Penulis menyadari bahwa Tesis ini masih belum sempurna, tetapi Penulis berharap dapat
bermanfaat untuk memperkenalkan sebahagian dari Budaya Angkola. Semoga Allah SWT
senantiasa memberikan rahmad dan hidayahNya kepada kita semua.Amin.
Medan, 20 Desember 2010
Yurmaini Siregar

NIM.082188510036
iv

DAFTARISI
Abstrak ............................................................................................................ i
Daftar lsi ........................................................................................................... ii
Kata Pengantar ......................................................................... .iv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2 Identifikasi Masalah ....................................................................... 4

1.3 Fokus Penelitian ............................................................................. 5
1.4 Perumusan Masa1ah ........................................................................ 5
1.5 Tujuan Penelitian ............................................................................ 6
1.6 Kegunaan Penelitian ....................................................................... 7
1.7 Kajian Pustaka ................................................................................ 7
1.8 Landasan Teori ............................................................................... 10
1.9 Kerangka Pemikiran ....................................................................... l4
1.10 Metode Penelitian ......................................................................... 18
A. Jenis Penelitian ........................................................................... l8
B. Teknik Pengumpulan Data ......................................................... 19
C. Teknik Analisa Data ................................................................... 20
D. Tempat Penelitian ....................................................................... 21
BAB II ETNIK ANGKOLA DI KOTA MEDAN KECAMATAN
MEDAN DENAI ............................................................................... 22
2.1 Penyebaran etnik Angkola ke Kota Medan ................................. 22
2.2 Jumlah Penduduk ........................................................................ 28
2.3 Mata Pencaharian ........................................................................ 30
2.4 Sistem Kekerabatan ..................................................................... 31
BAB III. ENKULTURASI BUDAYA PADA KELUARGA
ETNIK ANGKOLA DI MEDAN ................................................. .44

3.1 Penanaman Nilai-Nilai Budaya ................................................. .44
A. Adat Kehamilan dan kelahiran ............................................... 50
B. Tangkal dan Pantangan ........................................................... 56
C. Pola Asuh ................................................................................ 59
C.1 Membedung ...................................................................... 59
C.2 Menyusui, Menyapih dan Makanan Tambahan ............... 62
3.2 Anak dalam Keluarga ................................................................... 65
3.3 Tradisi Makan Markombak Sila................................................... 74

ii

BAB IV FAKTOR-FAKTOR YANG MENDUKUNG
TERJADINYA PERUBAHAN ENKULTURASI PADA
ETNIK ANGKOLA DI MEDAN ..................................................... 78
4.1 Perubahan Pola Kerja lbu Rumah Tangga ................................... 78
4.2 Sarana Pewarisan Budaya dalam Masyarakat .............................. 83
A. Lingkungan .............................................................................. 83
B. Sekolah .................................................................................... 86
C. Media ....................................................................................... 91
4.3 Pilihan Pendamping Anak ............................................................. 94

A. Pembantu Rumah Tangga ....................................................... 94
B. Keluarga Sendiri ................................... ,.................................. 95
C. Play Group ........................................... ;................................... 97
BAB V KESIMPULAN & SARAN ................................................................ 100
DAFTARPUSTAKA ...................................................................................... 105
DAFTAR INFORMAN .................................................................................... l09
LAMP IRAN ..................................................................................................... 110

iii

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Proses mempelajari nilai-nilai kebudayaan pada setiap masyarakat dapat
dilihat semenjak anak masih dalam kandungan. Pada setiap tradisi kebudayaan
masyarakat semenjak anak masih dalam kandungan, banyak aktifitas ritual
seperti slametan serta pantangan-pantangan yang tidak boleh dilakukan oleh sang
calon ibu karena dipercaya akan berdampak pada kelahiran anak. Ini tidak hanya
terjadi pada orang Jawa dan Sunda tetapi juga pada komunitas Batak. Hal yang

ingin dicapai dengan pelaksanaan slametan tersebut adalah lahimya anak dalam
keadaan sempuma atau tidak cacat mental maupun fisik.
Pada setiap kelompok masyarakat terdapat pola-pola asuhan yang
mencenninkan nilai-nilai kebudayaan masing-masing kelompok. Hal ini terlihat

dari proses sosialisasi 1 didalam pembesaran anak-anak mereka. Proses ini yang
pada akhimya membawa anak ke dalam proses pembudayaan yang dikenal
dengan enkulturasi yaitu proses dimana individu mempelajari dan menyesuaikan
alam pikiran serta sikapnya dengan adat, sistem norma, dan peraturan-peraturan
yang hidup dalam kebudayaannya. 2

Banyak hal-hal yang menyangkut nilai,

norma yang harus dijalankan dan ditanamkan pada anak-anak sebagai proses
enkulturasi atau "pembudayaan" tidak lagi dijalankan ketika lingkungan telah
1
Sosialisasi merupakan salah satu proses belajar kebudayaan oleh warga masyarakat
(Koentjaraningrat: 1997)
2
Ibid

berubah. Banyak faktor yang mendukung perubahan pola pembudayaan pada
anak-anak yang menginjak masa remaja karena proses enkulturasi bersifat
kompleks dan berlangsung seumur hidup, tetapi proses tersebut berbeda-beda
pada berbagai tahap dalam lingkaran kehidupan seorang. Enkulturasi terjadi
secara agak dipaksakan selama awal masa kanak-kanak tetapi ketika mereka
bertambah dewasa akan belajar secara lebih sadar untuk menerima atau menolak
nilai-nilai atau anjuran-anjuran dari masyarakatnya.
Masyarakat Angkola secara administratif menetap di Tapanuli bahagian
Selatan seperti Sipirok, Padang Sidimpuan, Batang Torn, Pintu Padang, Padang
Lawas Utara dan Padang Lawas Selatan. Kelompok etnik ini dinyatakan berbeda
dengan Mandailing dan sering sekali memberikan klaim bahwa mereka saling
berbeda. Terlepas dari perbedaan itu, kelompok etnik (ethnic group) ini telah
berpencar hingga ke beberapa kota di Indonesia seperti Kota Medan. Di kota
Medan, hampir setiap kelompok etnik melakukan perubahan-perubahan dan
pemerkayaan melalui saling adopsi budaya lain terhadap budaya tradisinya. Hal
ini dilakukan agar budaya tradisi tersebut tampak khas sejalan dengan dinamika
masyarakat di kota tersebut.
Meskipun telah tetjadi perpindahan pada kelompok etnik Angkola di
kawasan perkotaan khususnya di Medan, tetapi terdapat satu aspek penting yang
tidak dapat terpisahkan dari aspek budaya berkaitan dengan proses pewarisan
budaya.

Setiap kelompok etnik yang menetap di kawasan Kota Medan

mempunyai kebebasan untuk mengekspresikan kebudayaannya. Begitu juga
kelompok etnik Angkola, kehidupan etnik Angkola di Kelurahan Binjai

2

Kecamatan Medan Denai Kota Medan memiliki

tradisi dalam proses

membesarkan anak-anaknya sesuai dengan budayanya. Dalam pandangan hidup
kelompok etnik Angkola terdapat suatu tradisi yang dijalankan sampai saat ini.
Pandangan hidup itu yang sangat mempengaruhi karakter anak, yaitu poda na

lima (nasehat yang limai:
1. Paias Rohamu (bersihkan hatimu)
2. Paias Pamatangmu (bersihkan badanmu)
3. Paias Pakeanmu (bersihkan pakaianrnu)
4. Paias Bagasmu (bersihkan rumahmu)
5. Paias Pakaranganmu (bersihk:an halaman rumahmu)
Keluarga dan sekolah adalah saluran atau media dari proses pembudayaan.
Dalam konteks inilah pendidikan disebut sebagai proses untuk "memanusiakan
manusia". Sejalan dengan itu, pendidikan merupakan upaya untuk membudayakan
dan menyosialisasikan manusia sebagaimana yang kita kenai dengan proses
enkulturasi (pembudayaan) dan sosialisasi (proses membentuk kepribadian dan
perilaku seorang anak menjadi anggota masyarakat sehingga anak tersebut diakui
keberadaannya oleh masyarakat yang bersangkutan).
Dalam konteks kota Medan yang sangat heterogen seorang individu
(khususnya anak-anak remaja) dapat melihat, memaharni, dan mempratekkan
setiap unsur kebudayaan yang dianggap sesuai dengan gaya hidupnya atau yang

3

Data ini diperoleh dari pengamatan awal peneliti pada beberapa keluarga etnik Angkola di

Medan

3

sedang terlibat dalam trendsetter (gaya hidup perkotaan). 4 Perubahan yang
diakibatkan oleh perpindahan lingkungan budaya pada kelompok etnik Angkola
ini adalah dengan cara melihat bagaimana anak-anak menerapkan nilai, norma
dan atuaran-aturan yang sesuai dengan kebudayaan. Anak-anak merupakan
pencerminan tolak tarik pengaruh antara tradisi aslinya dan bawaan kemajuan di
perkotaan. Selain itu juga bagaimana kita dapat melihat kemungkinan
memudamya tradisi asli dan secara berangsur-angsur menyerap tradisi baru yang
sedang dalam proses pembentukan. Atas dasar itulah, saya akan melihat
bagaimana pola asuh dan pengayaan tradisi kedalam proses pengasuhan anakanak sampai anak-anak memasuki usia remaja (umur 15 tahun) yang diterapkan
pada kelompok etnik Angkola ketika mereka telah bertempat tinggal di Medan.
Sehingga saya ajukan sebuah tema penelitian dengan judul "Proses Enkulturasi
Nilai-Nilai Budaya Tradisional Etnik Angkola di Desa Binjai Kecamatan Medan
Denai"

1.2 Identitlkasi Masalah

Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan identifikasi masalah
sebagai berikut:
1) Pola pengasuhan anak-anak menurut tradisi etnik Angkola.
2) Perubahan-perubahan yang mendasar pada pola pengasuhan anak ketika di
Medan
3) Bagaimana cara orang tua menanarnkan nilai budaya pada anak-anak
4
Trendsetter adalah istilah yang digunakan untuk menunjuk suatu pola gaya hidup yang sedang
digemari atau menjadi mode dalam gaya hidup dalam masyarakat.

4

4) Faktor-faktor yang membentuk nilai-nilai budaya dalam keluarga etnik
Angkola di perkotaan.
5) Bagaimana hasil proses enkulturasi budaya kota terhadap anak-anak generasi
mudakota

1.3 Fokus Penelitian
Untuk memperdalam dan memperkaya data, penelitian ini akan
membatasi atau memfokuskan pada beberapa kajian sebagai berikut:
1) Cara-cara kelompok etnik Angkola di Medan menanamkan nilai-nilai budaya
pada anak-anaknya
2) Perubahan-perubahan yang mendasar pada pola pengasuhan anak ketika di
Me dan
3) Peran keluarga dalam pengasuhan anak-anak pada kelompok etnik Angkola di
Medan
4) Pengaruh-pengaruh eksternal yang mendukung perubahan enkulturasi pada
anak-anak kelompok etnik Angkola
5) Problematika keluarga dalam melakukan proses enkulturasi budaya Angkola
pada anak-anak di Medan dan bagaimana hasil enkulturasi budaya itu menurut
mereka.

1.4 Perumusan Masalah
1) Bagaimana cara-cara kelompok etnik Angkola di Medan menanamkan nilainilai budaya pada anak-anaknya?

5

2) Apa saja perubahan-perubahan yang mendasar pada pola pengasuhan anakanak Angkola ketika di Medan?
3) Bagimana peran keluarga dalam pengasuhan anak-anak pada kelompok etnik
Angkola di Medan?
4) Apa

saja pengaruh-pengaruh

eksternal

yang

mendukung

perubahan

enkulturasi pada anak-anak kelompok etnik Angkola?
5) Apa saja problematika yang dihadapi keluarga dalam melakukan proses
enkulturasi budaya Angkola pada anak-anak di Medan?
6) Apakah proses enkulturasi di perkotaan pada keluarga etnik Angkola telah
berubah atau masih tetap?

1.5 Tujuan Penelitian
1) Mendeskripsikan cara-cara kelompok etnik Angkola di Medan menanamkan
nilai-nilai budaya pada anak-anaknya
2) Menganalisa perubahan-perubahan yang mendasar pada pola pengasuhan anak
ketika di Medan
3) Mengetahui peran keluarga dalam pengasuhan anak-anak pada kelompok
etnik Angkola di Medan
4) Mendeskripsikan pengaruh-pengaruh eksternal yang mendukung perubahan
enkulturasi pada anak-anak kelompok etnik Angkola
5) Menganalisa problematika keluarga dalam melakukan proses enkulturasi
budaya Angkola pada anak-anak di Medan dan mengungkapkan hasil
enkulturasi tersebut

6

1.6 Kegunaan Penelitian
Adapun yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:



Kegunaan Praktis
a) Secara praktis penelitian ini dapat mengungkapkan bagaimana pola
pengasuhan anak-anak menurut tradisi kelompok etnik Angkola.
b) Hasil penelitian ini kiranya dapat memberikan manfaat bagi masyarakat,
dan lembaga-lembaga yang terkait dalam menangani masalah-maslah yang
berkaitan dengan anak-anak terutama anak-anak yang berasal dari etnik
Angkola.



Kegunaan Teoritis
a) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sebuah hasil penelitian yang
memperkaya khasanah Antropologi dalam memahami proses enkulturasi
pada kelompok etnik Angkola, terutama dalam pola pengasuhan anak.
b) Sebagai sarana untuk menemukan konsepsi proses enkulturasi pada
kelompok etnik Angkola yang tinggal dalam kelompok masyarakat yang
heterogen.

1. 7 Kajian Pustaka
Sebagaimana diketahui bahwa, kelahiran adalah salah satu ritus peralihan
yang dialami oleh manusia, disamping lainnya seperti perkawinan (marriage) dan
kematian. Dalam sejarah umat manusia di berbagai daerah di dunia, tiga ranah
ritus peralihan ini, sering sekali di lakukan dengan upacara-upacara ritual yang

7

sangat besar dan bahkan terkadang menelan ongkos sosial yang relatif tinggi.
Meskipun memakan ongkos sosial yang tinggi, tetapi tetap s!:ija masyarakatnya
melakukan beragam upacara dalam tiga ranah dimaksud. White (1972) dalam
Koentjaraningrat (1982) menandaskan bahwa biaya dari semua kewajiban sosial
yang harus dipikul orangtua, dari saat ibu hamil sampai anaknya menjadi dewasa,
misalnya selamatan-selamatan sebelum dan sesudah melahirkan. Benedict dalam
bukunya 'Pola-pola Kebudayaan" (1962) menyebutkan bahwa pada saat manusia
dilahirkan, adat dan lingkungannya menentukan pengalaman dan kelakuannya.
Dengan begitu, ketika ia dewasa, adat kebiasaan, kepercayaan dan laranganlarangan lingkungannya merupakan adat kebiasaan, kepercayaan dan larangan
yang dipegangnnya.
Nilai penting anak sering diungkapkan dalam istilah-istilah tertentu.
Misalnya pada kelompok etnik Jawa nilai anak-anak dilantunkan dalam ucapan
sehari-hari sebagai berikut: "Bilamana kau me:rijadi tua, anak-anakmulah yang
akan mengurusimu. Bahkan pun bilamana engkau sangat kaya, bagaimana anakanakmu akan mengurusimu takkan tertebus dengan uangmu" (Geertz:1985).
Sedangkan pada kelompok etnik Batak anak-anak keturunan mereka dianggap
sebagai kekuatan baru bagi kerajaan pribadi (sahala harajaon) (Pelly:l998).
Penjelasan tersebut menggambarkan bahwa pada setiap kelompok etnik keturunan
itu merupakan hal yang sangat berharga.
Karena anak merupakan sesuatu yang sangat berharga, sebab itu setiap
masyarakat dalam penyambutan sang calon bayi banyak melakukan aktifitasaktifitas yang hams dijalankan menurut tradisinya masing-masing. Menurut

8

Geertz (1985) pada kelompok etnik Jawa semenjak tanda kehamilan muncul,
maka sang calon ibu dan calon ayah mempunyai tanggung jawab yang sama
didalam melaksakan serangkaian pantangan yang diperkirakan untuk mencegah
dua bahya besar: pertama, bahwa bayi akan susah lahir; kedua, bahwa bayi akan
1ahir sebagai raksasa. Sampai pada janin berumur tujuh bulan, sang ibu
dihadapkan oleh rangkaian santapan ritual (slametan) untuk bayi. Hal ini
mempunyai bertujuan untu..!( mencegah kemungkinan-kemungkinan yang tidak
baik ketika sang cain bayi lahir. Selain pada kelompok etnik Jawa, pantanganpantangan dalam proses pengasuhan anak juga terdapat pada orang Melayu di
Sumatera Utara. Pantangan-pantangan dalam pengasuhan anak yang sesuai
dengan nilai-nilai kebudayaan Melayu menjadi pedoman bagi masyarakatnya
(Fachrudin: 1992).
Setelah bayi lahir masih juga dihadapkan dengan serangkaian kebiasaan
yang berhubungan dngan perawatan bayi menurut adat kebiasaan atau tradisi
tertentu. Pada permulaan hidupnya sang bayi dihadapkan oleh individu dalam
lingkungan masyarakat yang kecil yaitu ayah dan ibu serta sanak keluarga yang
lain. Keluarga tersebut biasanya selalu terlibat dalam memberikan arahan dan
nasihat bagaimana cara mengasuh bayi. Geertz ( 1985) berdasarkan hasil
penelitiannya di Jawa, mengemukakan bagaimana orang Jawa merawat dan
mengasuh bayinya. Perawatan itu meliputi: membedung, menggendong bayi,
menyusui, makanan tambahan, dan menyapih. Selanjutnya bagaimana tahapantahapan pemberian makan kepada bayi, latihan kesopanan, belajar berjalan, dan
belajar ke kamar kecil.

9

Siegel (1969) dalam Koentjaraningrat (2006) juga mengungkapkan dengan
jelas bagaimana pola pengasuhan anak-anak pada orang Aceh. Siegel me!Uelaskan
bagaimana seorang ibu dan anggota keluarganya memperlakukan anak-anaknya,
memberikan kasih sayang yang berbeda antara anak-anaknya yang lebih muda
sampai menyisihkan perhatian pada anak-anak yang lebih tua. Dari lingkungan
rumah, anak-anak Aceh belajar bahwa kasih ibu, bibi-bibi dan neneknya
diperolehnya bukan sebagai hadiah karena dia berperan sebagai seorang laki-laki
atau anak perempuan tetapi karena ia seorang anak.
Gambaran lain tentang pola asuhan dari orang Batak diceritakan melalui
sebuah cerita pendek dalam kumpulan cerita yang berjudul "perjalanan anak
bangsa asuhan dan sosialisasi dalam pengungkapan diri". Berdasarkan cerita itu,
seorang anak laki-laki sulung dari kelompok etnik Batak sengaja di didik agar
menjadi laki-laki yang menjadi panutan bagi adik-adiknya. Ini terlihat dalam
ucapan-ucapan yang selalu dikemukakan oleh ayah dan ibunya, seperti: kaulah

anak sulung kami. Kaulah batu penjuru keluarga kita. Kaulah alas berpijak adikadikmu. Kelak adik-adikmu pasti mencontohmu. Bagi mereka kaulah perintis
}alan untuk ditempuh.

1.8 Landasan Teori

Sejak masa kanak-kanak manusia telah mengalami proses enkulturasi,
proses ini dimulai segera setelah kelahiran dan terus berlanjut hingga meninggal
(Haviland: 1991 ). Dalam proses "pembudayaan" seorang individu mempelajari
dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat-adat, sistem norma

10

dan peraturan-peratutan yang hidup dalam kebudayaanya yang disebut enkulturasi
(Koentjaraningrat: 1997). Oleh karena itu proses enkulturasi itu sudah dimulai
dalam alam pikiran warga sesuatu masyarakat. Mula-mula dari orang-orang
didalam lingkungannya sendiri, kemudian teman-temanya bermain. Sering sekali
ia meniru saja berbagai macam tindakan, setelah perasaan dan nilai budaya yang
memberi motivasi akan tindakan meniru itu telah diintemalisasi dalam
kepribadiannya. Dengan berkali-kali meniru maka tindakannya menjadi suatu
pola yang mantap dan norma yang mengatur tindakannya "dibudayakan".
Jadi, proses enkulturasi pada dasamya adalah proses penerimaan terhadap
perubahan dalam rangka pemerkayaan budaya sendiri sebagai akibat dari
intemalisasi dan sosialisasi yang berlangsung terus menerus. Pada akhimya,
intemalisasi dan sosialisasi yang berlangsung terus menerus itu meresap menjadi
kepribadian yang menerima intemalisasi sehingga dibudayakan dalam tindakan
dan prilakunya.
Dengan kata lain bahwa enkulturasi merupakan proses penerusan
kebudayaan dari satu generasi ke generasi berikutnya, dimana dalam prosesnya
enkulturasi dilakukan dengan berbagai media. Media yang paling dianggap efektif
adalah pendidikan. Keluarga merupakan lembaga pendidikan yang memiliki peran
penting dalam mempertahankan serta mengembangkan kebudayaan yang dimiliki
oleh suatu kelompok masyarakat.
Pada awalnya, seorang anak yang lahir mengalami proses sosialisasi dalam
keluarga batih. Disinilah anak pertama kali mengenal lingkungan sosial dan
budayanya, juga mengenal seluruh anggota keluarganya (Narwoko dan

11

Suyanto:2006). Selanjutnya dalam pembentukan sikap anak sangat dipengaruhi
oleh bagaimana cara dan corak orang tua dalam memberikan pendidikan anakanaknya melalui kebiasaan, teguran, nasihat, perintah atau larangan. Fachrudin
(1992) mengemukakan bahwa seorang bayi terus diperhadapkan dengan suasana
interaksi yang sekaligus menuntutnya untuk beradaptasi, sehingga keseluruhan
riwayat hidup individu itu merupakan peristiwa penyesuaian diri terhadap polapola serta ukuran yang turun temurun dalam masyarakatnya.
Keluarga merupakan lembaga pendidikan yang pertama dan utama.
Keberhasilan seorang anak dalam hubungan sosialnya dengan masyarakat
disekitarnya tergantung perlakuan orang tua dalam mengasuh anak-anaknya. Pada
umumnya perlakuan tersebut diwujudkan dalam bentuk merawat, memelihara,
mengajar, dan membimbing anak. Keluarga merupakan pihak-pihak yang
membantu seorang individu menerima nilai-nilai dan menjadikannya sebagai
suatu pola kebudayaan yang tertanam dalam dirinya.
Pelly (1998) mengungkapkan dalam kelompok-kelompok masyarakat di
perkotaan khususnya Medan adalah terdapat pemukiman perantau berdasar
kampung asal yang sama. Dalam kelompok pemukiman ini, hubungan-hubungan
dan kegiatan-kegiatan sosial tradisional kelompok etnik dari karnpung halaman
mereka akan tetap dipertahankan. Upacara-upacara siklus kehidupan dan
pergelaran-pergelaran budaya diadakan dan bahasa daerah masing-masing masih
dipakai dalam pembicaraan sehari-hari. Pemukiman-pemukiman ini melestarikan
kesinambungan budaya melalui interaksi sehari-hari, tukar menukar pikiran
mengenai pekeijaan, sanak saudara, dan bagaimana menjalankan tradisi adat

12

untuk setiap masalah yang timbul dalam latar perantauan. Ini menunjukkan bahwa
selain keluarga, lingkungan sekitar memheri pengaruh dalam proses penyerapan
budaya kedalam diri seorang anak.
Bila merujuk kepada pendapat Benedict (1962) maka diketahui bahwa
terjadinya perubahan atau pergeseran atau perubahan dari cara lama ke cara-cara
yang baru dapat terjadi karena adanya rangsangan atau motivasi.

Selain itu,

perubahan juga dapat terjadi karena dampak lingkungan dimana masyarakat itu
berada seperti ditempat kumuh (slum area) sebagaimana yang dipaparkan oleh
Azhari (1992) ataujuga karena tekanan geografis dan ekonomi (Sukamto, 1990)
atau karena transformasi pola pikir maupun prilaku (Macionis dalam Sztompka,
1978). Pada akhimya, apabila manusia dilahirkan, maka adat kebiasaan dan
lingkungan menentukan pengalaman dan kelakuannya. Dengan itu, ketika ia telah
dewasa, adat dan kebiasaan, kepercayaan dan larangan-larangan lingkungannya
merupakan adat kebiasaan, kepercayaan dan larangan yang dipegangnya
(Benedict: 1962).
Pada kelompok etnik Jawa terdapat kategori-kategori pembeda dalam
mengukur suatu mentalitas seseorang melalui penyerapan pola-pola kebudayaan
beserta sistem-sistem maknanya. Hubungan sosial pada masa kanak-kana.k
diperlihatkan secara jelas melalui klasifikasi umur, misalnya ana.k-ana.k sebelum
berumur 5 atau 6 tahun dikatakan sebagai durungjawa yang secara harfiah berarti
"belum bersifat jawa"5• Kata-kata durung jawa tersebut juga diterapkan bagi

5

Jawa (njawaniljowo) berarti memiliki sikap yang baik atau bagus

13

anak-anak dewasa yang beradab tidak sebagaimana mestinya terhadap orang tua
dan lingkungan sosial mereka (Geertz:1985).
Nilai-nilai kejawaan yang harus ditanamkan pada setiap anak adalah
meliputi gagasan tentang hormat, takut dan malu (Geertz:1985). Sedangkan pada
orang Aceh proses pendewasaan anak-anak adalah harus memmpunyai sifat yang
membuat laki-laki menjadi seorang Aceh sejati seorang muslimin dan dengan
begitu seorang jantan, adalah pengekangan nafsu (Siegel:2006). Selanjutnya
Siegel melihat bahwa dalam proses pendewasaan, orang Aceh membedakan
kegiatan-kegiatan antara anak laki-laki dan anak perumpuan. Kegiatan anak lakilaki yang pertama di luar rumah adalah belajar membaca Qur'an. Sedangkan
ruang gerak anak perempuan terbatas pada kegiatan-kegiatan rumah tangga. Anak
laki-laki yang dianggap telah dewasa (ketika mereka telah mimpi ber-ejakulasi)
dengan sendirinya sadar bahwa mereka telah dewasa. Ini juga menandakan bahwa
mereka harus pindah rumah dan masuk meunasah.

1.9 Kerangka Pemikiran

Setiap individu mengalami proses pembudayaan atau enkulturasi.
Enkulturasi merupakan proses penerusan kebudayaan dari satu generasi ke
generasi berikutnya, dimana dalam prosesnya, enkulturasi dilakukan dengan
berbagai medium. Pendidikan merupakan medium yang paling tepat dalam
mempertahankan sekaligus mengembangkan kebudayaan yang di miliki oleh
manusia, tidak mengherankan bahwa pendidilam memiliki peranan yang penting
dan menjadi fokus utama dalam kehidupan manusia. Keluarga merupakan

14

lembaga pendidikan yang pertama dan utama, sebelum anak mendapat pendidikan
di lembaga lain. Keberhasilan seorang anak dalam hubungan sosialnya tergantung
perlakuan orang tua dalam mengasuh anak-anaknya. Pada umumnya perlakuan
tersebut di wujudkan dalam bentuk merawat, memelihara, mengajar, dan
membimbing anak.
Pendidikan yang diberikan oleh orangtua kepada anak-anaknya tidak
terlepas dari nilai-nilai budaya yang dianut oleh suatu keluarga. Dengan demikian
semenjak seorang anak lahir, maka anak tersebut akan diperlakukan sebagaimana
tradisi yang ada pada suatu kelompok masyarakat. Begitu juga dengan kelompok
etnik Angkola. Seorang anak yang dilahirkan dari pemegang kebudayaan
Angkola, secara otomotatis akan mengalami interaksi dengan para kerabat yang
terlibat dalam interaksinya sehari-hari. Dalam proses ini sang anak mengenal dan
mempelajari nilai-nilai budaya dalam kehidupannya, sehingga sang anak
mengalami pembudayaan atau enkulturasi.
Seiring dengan pergerakan atau perpindahan masyarakat ke wilayahwilayah perkotaan membawa pengaruh pada proses pembudayaan suatu kelompok
etnik. Begitu juga dengan kelompok etnik Angkola. Jika sebelumnya mereka
tinggal dan hidup di wilayah-wilayah pemukiman desa yang homogen, maka
dalam proses penerimaan budaya yang dialami oleh anak-anak tidak akan
berubah. Tetapi ketika mereka telah pindah ke wilayah perkotaan, anak-anak
mereka mengalami proses pembudayaan yang berbeda karena telah mengalami
berrbagai pengaruh dari interaksi antar etnik. Terlebih lagi di Medan,
sebagaimana disebut dalam penelitian Bruner (1974) tidak terdapat dominant

15

culture atau kebudayaan dominan. Di sebuah kota seperti Medan yang tidak
memiliki budaya dominan menurut

Bruner tidak ada acuan budaya yang

dijadikan rujukan bersama oleh etnik-etnik pendatang. Hal ini berbeda misalnya
dengan di Bandung dimana terdapat budaya dominan etnik Sunda dimana etnik
Batak yang datang ke kota itu menjadikan budaya sunda sebagai acuan sehingga
proses enkulturasi anak-anak etnik Batak mengadopsi budaya Sunda.
Dengan demikian di Medan karena tidak adanya budaya dominan maka
proses enkulturasi etnik Angkola tidak mengarah ke budaya etnik tertentu yang
ada di Medan. Ketika enkulturasi budaya etnik Angkola mengalarni perubahan di
dalam keluarga di Medan maka perubahan itu mengarah ke model enkulturasi
baru yang tidak berlandas kepada budaya etnik tertentu.

16

-.oTAME~

Orang tua
keluarga etnik
Angkola
Pengasub

Media

Keluarga etnik
Non Angkola

Proses
enkulturasi
anaklremaja
Angkola

Sekolah

Peer

Famili di
Angkola

Group

Basil

Enkulturasi

Skema 1: Kerangka Pemikiran tentang proses enkulturasi pada keluarga etnik
Angkola di perkotaan

MILIK PERPUSTAKAAN

UNI~JEO
-----.:..:..:.:...::..:;:..._,/
17

1.10 Metode Penelitian
A. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif yang bertujuan
menguraikan realitas sosial dan kultural yang kompleks sehingga relevansi
antropologisnya tercapai (Vredenbregt, 1980:34). Dari penelitian deskriptif ini

akan dapat dipelajari dan diuraikan proses enkulturasi budaya terhadap pola
pengasuhan anak-anak pada kelompok etnik Angkola di Medan.
Penelitian ini dilakukan secara kualitatif dengan pendekatan deskriftif
interpretative yaitu rangkaian penelitian yang berupaya untuk menggambarkan
data secermat mungkin mengenai suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok
tertentu. Kemudian dari deskripsi itu dijelaskan kebermaknaan yang berasal dari
informan (Spradley: 1969). Pertimbangan menggunakan pendekatan ini adalah
sebagaimana yang disebut oleh Moleong (200 1) yakni lebih mudah berhadapan
dengan situasi ganda, menyajikan secara langsung hakikat hubungan peneliti
dengan responden dan

lebih peka dan tajam terhadap pola-pola nilai yang

dihadapi.
Penggambaran tentang keadaan individu dalam suatu keadaan dan gejala
tertentu dapat terlihat dari beberapa kebiasaan yang dijalankan oleh kelompok
budaya Angkola. oleh karena peneliti merupakan partisipan dari kebudayaan
Angkola, maka peneliti melihat secara langsung bagaimana perubahan-perubahan
yang terjadi dalam proses enkulturasi anak-anak Angkola. Sehingga peneliti dapat
mendeskripsikannya dari observasi awal serta mengetahui perubahan-perubahan

18

apa saja yang terlihat dari proses enkulturasi anak-anak Angkola di Kota Medan.
Dan bagaimana orang tua mereka menilai hasil proses enkulturasi itu.

B. Teknik Pengumpulan Data

Untuk menghimpun data-data dalam penelitian ini, peneliti menggunakan
beberapa teknik seperti observasi, studi literatur dan wawancara.
a. Observasi partisipasi (participant observation) yang berupaya untuk
mengamati berbagai fenomena yang terkait dengan penelitian ini, yakni
enkulturasi nilai-nilai tradisional pola-pola pengasuhan anak pada orang
Angkola di Kota Medan. Observasi ini meliputi pengamatan terhadap
cara-cara pengasuhan anak-anak. Kemudian melihat perubahan-perubahan
pada pola hidup anak-anak remaja etnik Angkola. Selain itu juga peneliti
akan mengamati penerapan nilai-nilai budaya yaitu poda na lima (nasehat
yang lima) pada anak-anak remaja etnik Angkola dan bagaimana mereka
menginterpretasikan perubahan itu. Dalam proses pengumpulan data
peneliti menggunakan bahasa Angkola kepada para responden. Walaupun
peneliti harus menyesuaikan waktu interview yang terlebih dahulu harus
diperhatik:an agar tidak menghalangi kegiatan-kegiatan para informan.
b. Studi literatur, yaitu menelaah berbagai literatur terkait dengan tema
penelitian yang sedang dibahas. Literatur-literatur tersebut bisa seperti
buku, arsip, dokumen, laporan penelitian, manuskrip, notulensi, kumpulan
karangan maupun artik:el sepanjang tema yang dibahas dalam literatur
tersebut relevan dengan tema penelitian ini. Studi literatur ini lebih banyak

19

membongkar berbagai basil penelitian dan publikasi dari peneliti-peneliti
sebelumnya.
c. Wawancara terhadap
(structurized

kelompok suku yang diamati secara terstruktur

interviewing)

dan

tidak

terstruktur

(unstructurized

interviewing). Pada wawancara terstruktur telah dipersiapkan terlebih

dahulu bentuk wawancara yang

mengarah pada rumusan masalah

penelitian berupa pertanyaan-pertanyaan ringkas diseputar tema penelitian.
Wawancara ini dilakukan dengan menetapkan terlebih dahulu yang
menetap di Kelurahan Binjai Kecamatan Medan Denai yang sudah
terenkulturasi penuh dengan budaya Angkola. Key informan yang dipilih
merupakan raja adat di Kelurahan Binjai, dan selalu dilibatkan dalam
upacara-upacara adat yang diselenggarakan oleh kelompok etnik Angkola
di Kota Medan. Sedangkan pada wawancara tidak terstruktur dilakukan
secara spontan atau sambil lalu (causal interviewing) sehingga dapat
menjajaki semaksimal mungkin fenomena yang teijadi secara tidak
terbatas.

Dalam wawancara tidak berstruktur ini peneliti melibatkan

beberapa informan terdiri dari anak-anak usia remaja yang meliputi siswa
SMP dan SMA yang memahami dan mengenal kebudayaannya
berdasarkan intensitas keterlibatannya dalam suatu kegiatan-kegiatan
kebudayaan. Dalam prosesnya wawancara sering dilak:ukan kepada para
kerabat dan lebih sering terlibat langsung dalam proses enkulturasi yang
dilakukan terhadap anak -anak.

20

C. Teknik Analisa Data

Data-data yang telah dihimpWl dengan cara observasi, wawancara dan
dokumentasi kemudian di tabulasi, dikategorisasi dan kemudian dianalisis secara
kualitatif dengan pendekatan deskriftif. Pendekatan ini dipilih dan ditentukan
berdasarkan pertimbangan bahwa teknik analisis kualitatif relatif lebih mudah
jika berhadapan dengan situasi ganda. Moleong (2000) mengemukakan bahwa
data-data yang diperoleh berupa hasil observasi dan wawancara dideskripsikan
kedalam bentuk tulisan yang kemudian dijadikan kedalam bentuk tema dan secara
bersamaan peneliti membuat suatu analisa terhadap perubahan-perubahan dalam
proses enkulturasi anak-anak Angkola.

Setelah data dianalisis, maka langkah

akhir adalah menafsirkan data sesuai dengan fakta yang terjadi sehingga mampu
mendeskripsikan fenomena atas tujuan masalah dalam tema penelitian.

D. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kota Medan tepatnya di Kelurahan Binjai
Kecamatan Medan Denai. AdapWl dasar pemilihan lokasi adalah tempat tinggal
orang Angkola yang dominan di Kota Medan. Dalam proses pengumpulan data
yang dilakukan kepada beberapa kelompok etnik yang berdomisili di wilayah ini,
peneliti terlebih dahulu mengidentifikasi alamat-alamat keluarga etnik Angkola.
Di kelurahan ini kelompok etnik Angkola terikat pada satu bentuk kesatuan sosial
yang dapat dilihat dalam kegiatan-kegiatan upacara adat. Di kelurahan ini
kelompok etnik Angkola tidak menetap secara berkolompok, tetapi dapat
diidentiftkasi bahwa di kelurahan banyak terdapat kelompok etnik Angkola.

21

BAB V
KESIMPULAN & SARAN

• Kesimpulan
1. Keluarga merupakan suatu lembaga yang paling penting dalam proses
penanaman nilai-nilai budaya. Dalam kelurga ayah dan ibu mempunyai
peran yang sangat penting dalam mensosialisasikan nilai-nilai budaya.
Pewarisan nilai-nilai budaya dalam keluarga terjadi secara alamiah. Anakanak dalam keluarga Angkola biasanya dilibatkan dalam upacara-upacara
adat seperti siluluton" yaitu istilah untuk menyebutkan acara duka cita
Dalam acara ini orang tua memerintahkan anak untuk membantu
kebutuhan yang berduka. Kemudian anal(-anak juga dilibatkan dalam
acara "siriaon" yaitu acara suka cita, pada acara ini orang tua juga
memerintahkan anak untuk berperan serta dalam membantu persiapan
pernikahan.
2. Setiap anak dalam keluarga kelompok etnik Angkola selalu diajarkan
menggunakan sistem partuturon yang dipergunakan dalam kehidupan dan
pergaulan masyarakat sehari- hari. Partuturon ini sangat dijunjung tinggi
di dalam pergaulan sehari-hari. Partuturon dalam pergaulan hidup seharihari menunjukkan bahwa kita saling menghormati antara yang tua dan
yang muda. Rasa persatuan dan sifat kekeluargaan digambarkan dengan
sopan-santun dan saling menghormati dicetuskan lewat partuturon.

100

3. Proses penanaman nilai-nilai budaya dilakukan sejak masa kehamilan
sampai melahirkan. Kesemua proses yang dijalankan selama masa
kehamilan sampai ketika melahirkan menandakan bahwa seseorang
menjalankan tradisi budaya Angkola. Kesemua proses yang berkaitan
dengan pola enkulturasi pada tahap ini tetap dijalankan ketika orang
Angkola telah berada di Kelurahan Binjai Kecamatan Medan Denai. Ini
dapat dilihat dari pelaksanaan upacara mangoloi mangan yaitu upacara
tujuh bulanan,

kemudian marapi yaitu fase penyembuhan setelah

melahirkan, dan kepercayaan terhadap gangguan mankhluk halus baik
sebelum melahirkan sampai setelah melahirkan. Kegiatan ini merupakan
aktualisasi

dari

enkulturasi

budaya pada orang Angkola.

Tetap

dijalankannya keseluruhan dari proses enkulturasi tersebut pada kelompok
etn ik Angkola di Kota Medan tidak terlepas dari keinginan serta harapan
orang tua atas kelahiran yang sempurna anak-anak mereka.
4. Kegiatan ritual yang lain yaitu manakko dalan yaitu kegiatan si anak
keluar dari rumah

kegiatan adat pengambilan dan/ atau pemberian

parompa sadun yang hanya diberikan kepada anak laki-laki pertama
(sinuan tunas) yang dilakukan oleh orang tua ibu yang melahirkan (mora).
Dan juga mambaen goar yaitu penabalan nama si bayi. Semua kegiatan itu
dilakukan dengan mengundang keluarga besar, unsur-unsur tetua adat,
perangakat desa (hatobangon harajaon), dan alim ulama.
5. Selain proses enkulturasi yang tetap dijalankan seperti yang dijelaskan
pada point-point sebelumnya, juga terdapat perubahan enkulturasi yang

101

terjadi pada keluarga etnik Angkola di Kecamatan Medan Denai.
Perubahan itu meliputi: pembagian tugas antara anak laki-laki dan
perempuan yang tidak memperlihatkan suatu batasan yang tegas, mana
pekerjaan yang harus dikerjakan oleh anak laki-laki dan juga mana
pekerjaan yang harus dijalankan oleh anak perempuan. Perubahan yang
berkaitan dengan penanaman nilai-nilai budaya yang fundamental
diperlihatkan dari penerapan Poda Na Lima (nasehat yang lima). Untuk
membentuk perilaku dan kepribadian yang baik pada anak-anak Angkola,
orang tua menerapkan Poda Na Lima (nasehat yang lima) dalam
kehidupan sehari-hari sejak masih kecil.

Nasehat tersebut merupakan

upaya pembentukan karakter dan kepribadian yang kemudian ditunjukkan
dalam pola tindakan. Tujuan Nasihat yang lima (Poda Na Lima) sebagai
pandangan filosofis dan dasar pembentukan kepribadian. Poda na lima
terdiri dari Paias Rohamu (Bersihkan hatimu) ; Paias Pamatangmu
(bersihkan badanmu); Paias Pakeanmu (Bersihkan pakaianmu); Paias
Bagasmu (bersihkan rumahmu) dan Paias Pakaranganmu (bersihkan
lingkunganmu). Namun sesuai dengan perkembangan budaya dan
pergerakan atau mobiltas pada setiap keluarga, terjadi perubahan dalam
penerapan nilai-nilai budaya Poda Na Lima yang dianggap penting dalam
kelompok ini. Perubahan itu terjadi akibat beberapa faktor antara lain:
perubahan pola kerja ibu rumah tangga, pilihan-pilihan pendamping atau
pengasuh anak, lingkungan sosial, sekolah, dan media.

102

6. Meskipun anak-anak Angkola terenkulturasi di Kota Medan, akan tetapi
mereka tetap mengidentifikasi diri mereka sebagai anak-anak Angkola.
Karena proses penanaman nilai-nilai budaya sedari kecil hingga remaja,
anak-anak Angkola di Kecamatan Medan Denai tetap menjalankan
beberapa nilai-nilai budaya Angkola yang dianggap fundamental. Selain
itu juga anak-anak Angkola ini tetap diajarkan nilai-nilai agama Islam
yang terepresentasi juga dalam budaya mereka yang sering di istilahkan
oleh mereka dengan "hombar do adat dohot ugamo". Tetapi perbedaan
proses enkulturasi itu juga dapat memperlihatkan perbedaan yang
menunjukkan suatu karakter antara anak Angkola yang lahir di Angkola
dan besar di Medan dengan anak Angkola yang lahir dan besar di Medan.
Perbedaan tersebut dapat dilihat dari bahasa yang dipergunakan, karakter
yang berbasis Poda Na Lima, dan juga dalam hal penggunaanpartuturon.



Saran

1. Karena kebudayaan bersifat adaptif, maka kebudayaan yang terdapat
dalam keluarga Angkola di perkotaan juga tidak lepas dari pergeseran
nilai-nilai budaya yang meliputi proses belajar kebudayaan sendiri yaitu
enkulturasi budaya. Hal ini disebabkan oleh masuknya berbagai pengaruh
pada generasi muda dan anak-anak Angkola yang menyebabkan
melemahnya sikap penerimaan terhadap budaya yang ditanamkan dari
keluarganya. Oleh karena itu diperlukan penguatan-penguatan yang ada

103

dalam lembaga keluarga yang sangat berperan penting dalam melestarikan
penanaman nilai-nilai budaya Angkola.
2. Para keluarga Angkola diperkotaan yang tidak dapat lagi menjalankan
sepenuhnya proses pembudayaan kepada anak-anaknya, maka terdapat
suatu cara yang ditempuh untuk meminimalisir perubahan-perubahan
nilai-nilai budaya yang mencolok pada anak-anak Angkola dengan cara
memperkuat lembaga sosialisasi di luar keluarga seperti sekolah, tempat
pengajian, dan lain sebagainya.
3. Meskipun orang tua pada keluarga Angkola tidak dapat sepenuhnya
melaksanakan pola kebudayaan Angkola, akan tetapi orang tua hams tetap
memberikan sosialisasi tentang nilai-nilai budaya yang dianggap
fundamental agar anak-anak Angkola tetap memahami dan mengetahui
proses belajar kebudayaan sendiri yang didalamnya terdapat nilai-nilai
budaya Angkola.

104

DAFTAR PUSTAKA

Azhari, Ichwan.
1992. Kemiskinan Nelayan Melayu di Pantai Timur Sumatra Utara,
Indonesia: Varian Ekologis, Struktural dan Kultural, dalam
Mereka Yang Terpinggirkan: Orang Melayu di Sumatra Utara. M.
Salleh Lamry (ed), Malaysia: Institut Alam dan Tammadun
Melayu, UKM Malaysia.
Breger, Rosemary and Rosanna Hill
1996 Cross Cultural Marriage: Identity and Choice. Oxford and New
York: Berg.
Barth. Fredrik (ed)
Ethnic Group and Boundaries: The Sosial Organization of Kulture
1969
Diffrence. Boston: Little Brown and Co
Bangun.Payung
2000
Pola Umum Revolusi Sosial, dalam 80 tahun Djariaman Damanik,
Bintan Regen Saragih dan Darwan Madja Purba (ed). Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Benedict. Ruth.
1962. Pola-pola Kebudayaan. Jakarta: Pustaka Rakyat.
Djojomartono, Mujono.
1993. Adat Istiadat Sekitar Kelahiran Pada Masyarakat Nelayan Di
Madura dalam Ritus Peralihan di Indonesia, Koentjaraningrat,
(Ed) 1992, Jakarta: Balai Pustaka.
Fachrudin, Chalida,
1996. Sosialisasi Anak Dalam Masyarakat Nelayan Melayu Di Sumatra
Utara dalam Mereka Yang Terpinggirkan, 1992. M.Salleh Lamry
(ed). Occasional Paper. Malaysia: Institut Alam dan Tamadun
Melayu, UKM Malaysia.
Geertz, Hilred.
1985 Keluarga Jawa. Jakarta: Grafiti
Haviland, William A
1991 Antropologi Jilid 2 Edisi 4. Jakarta: Erlangga.
Horton, Paul B and Chester L. Hunt
1992 Sosiologi, 6th edition (terjemahan). Jakarta: Erlangga.

105

Koentjaraningrat
1957 A Preliminary Description ofthe Javanesse Kinship
1997 Pengantar Rmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta
2003 Kamus Istilah Antropologi. Jakarta: Progres
1992 Ritus Peralihan di Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Koentjaraningrat dan Donald K. Emerson
1993 Aspek Manusia Dalam Penelitian Antrpologi. Jakarta: Gramedia.
Lubis, Pangaduan

2007 Asal Usul Marga-marga

di

Mandailing.

Medan:

Pustaka

Widiasarana.
Lubis, A.R.
2005

Mandailing Islam Across Borders. Taiwan: Journal of South East
Asia Studies. Vol2.2/2005.

Matondang, Saiful Anwar dan A. Laut Hasibuan
2000 Teks dan Ana/isis Wacana Lisan Upacara Perkawinan AngkolaMandailing. Proyek Penelitian Peningkatan SDM Dirjen Dikti
Depdiknas Talmn 2001.
Marif, Abdul
2006 Markusip: Suatu Perubahan Pola Hubungan Muda Mudi Menuju

Jenjang Perkawinan di Sipiongot Kecamatan Dolok Kabupaten
Tapanuli Selatan., Thesis. Program Pascasarjana Antropologi
Sosial Unimed.
Moleong, Lexy J.
2000 Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mair, Lucy
1991

Antropologi Sosial Permulaan.

Kuala Lumpur:

Kementrian

Pendidikan Malaysia.
Naroll, Robeth
1964
Ethnic Unit identification. Current Antropology. Vol. V No.4
Narwoko, J. Dwi dan Bagong Suyanto
2006 Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana Predana
Media Group.
Parsadaan Marga Harahap dohot Anakboruna
1993 Horja: Adat Istiadat Dalihan Na Tolu., Jakarta: Parsadaan Marga
Harahap Dohot Anakboruna.

106

Pelawi, Kencana Sembiring
1998 Corak dan Pola Hubungan Sosial antara Golongan dan kelompok
Etnik di Daerah Perkotaan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Pelly, Usman.
1998 Urbanisasi dan Adaptasi. Jakarta: LP3ES.
Rossi
1982

Anak Sulung dalam Perjalanan Anak Bangsa Asuhan dan
Sosialisasi dalam Pengungkapan Diri. Jakarta: LP3ES

Schweitzer, Peter P.
2001 Dividens of Kinship: Meaning and uses of social relatedness.
London and New York: Routledge.
Siegel, James T.
1969 Anak-anak dalam Keluarga dalam Pokok-pokok Antropologi
Budaya. Ihromi, T.O (ed) .2006. Jakarta: YOI
Suparlan, Parsudi.
1985 Manusia Indonesia. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama
1984. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan. Jakarta: Djambatan.
Sztompka, Piotz.
2004. Sosiologi dan Perubahan Sosial. Jakarta: Kanisius.
Soekanto, Soerjono.
1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Rajawali Press.
Shryock. Harold
1982 Sekelumit Mengenai Masyarakat Batak Toba dan Kebudayaanya,
dalam EH. Tambunan. Bandung: Tarsito.
Soekanto, Soerjono
1982 Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Ul. Press
Sanderson, Stephen K.
2001 Makro Sosiologi. (terjemahan),. Jakarta: Raja Grafindo.
Selat, Narazit
1993 Konsep Asas Antropologi. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia.

107

Spradley, James P.
1969. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana

Taib, Abdullah
1986 Asas-asas Antropologi. Kuala Lwnpur: Dewan Bahasa
Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia.

dan

White, Benjamin,
1973. Peranan Anak Dalam Ekonomi Rwnahtangga Desa di Jawa dalam
Masalah-masalah Pembangunan: Bunga Rampai Antropologi
Terapan. Koentjaraningrat (ed) Jakarta: LP3ES.
Wirutomo, Paulus
1994. Sosialisasi dalam Keluarga Indonesia. Prisma No.6 Tahun XXIII
Mei 1994
WWW. Mandailing.Org

108