Metafora Bahasa Minangkabau Dialek Pariaman Di Kelurahan Banjai Kecamatan Medan Denai Kota Medan

(1)

METAFORA BAHASA MINANGKABAU DIALEK PARIAMAN DI KELURAHAN BANJAI KECAMATAN MEDAN DENAI

KOTA MEDAN

TESIS

Oleh NURISMILIDA 087009027/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(2)

METAFORA BAHASA MINANGKABAU DIALEK PARIAMAN DI KELURAHAN BANJAI KECAMATAN MEDAN DENAI

KOTA MEDAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Linguistik pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh NURISMILIDA 087009027/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(3)

Judul Tesis : METAFORA BAHASA MINANGKABAU DIALEK PARIAMAN DI KELURAHAN BANJAI

KECAMATAN MEDAN DENAI KOTA MEDAN Nama Mahasiswa : Nurismilida

Nomor Pokok : 087009027 Program Studi : Linguistik

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S) (Dr. Drs. Eddy Setia, M.Ed TESP) Ketua Anggota

Ketua Program Studi Direktur

(Prof. Tengku Silvana Sinar, Ph.D) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa, B., M.Sc)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal 03 September 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S Anggota : 1. Dr. Drs. Eddy Setia, M.Ed. TESP

2. Prof. Tengku Silvana Sinar, Ph.D 3. Dr. Mahriyuni, M.Hum.


(5)

ABSTRAK

Judul tesis ini adalah METAFORA BAHASA MINANGKABAU

DIALEK PARIAMAN DI KELURAHAN BANJAI KECAMATAN MEDAN DENAI KOTA MEDAN. Ada tiga aspek bahasan yang diungkap dalam tesis ini,

yaitu (1) struktur metafora, (2) fungsi metafora, dan (3) makna metafora bedasarkan strukturnya. Berkaitan dengan struktur metafora, analisis yang dilakukan menggunakan diagram pohon (Alwi, 2003 dan Verhaar, 1991). Analisis ini dilakukan demikian dengan maksud untuk memperoleh unsur-unsur yang membentuk metafora tersebut secara rinci. Unsur-unsur terbanding (identified) A:B yang membentuk struktur metafora terdiri atas (A) sebagai unsur teridentifikasi terdiri atas (1) isi metafora dapat dikelompokkan berdasarkan pola dan posisinya disetiap tindak tutur. Berkaitan dengan bentuk metafora, diperoleh lima bentuk yakni (1) metafora yang diawali dengan kata ‘bak’ (seperti), (2) metafora yang dibentuk dengan frasa, (3) kata majemuk (4) metafora yang dibentuk dengan kalimat (klausa). Fungsi metafora dikelompokkan ke dalam (1) ekspresif, (2) direktif, (3) fatik, dan (4) estetik. Pengelompokkan ini didasari oleh teori Leech (1997).Dan hasil analisis menunjukkan fungsi informasi yang paling berperan (47,05%). Bertalian dengan makna metafora, analisisnya juga menggunakan Leech (1997). Makna metafora dikategorikan menjadi (1) konotatif, (2) stilistik, (3) afektif, (4) reflektif, dan (5) kolokatif. Dan seluruh jenis makna dapat dijumpai dari hasil analisis ini.

Kata kunci: Metafora, Minangkabau, Dialek Pariaman, struktur, fungsi, makna, pembanding, terbanding.


(6)

ABSTRACT

The title of this thesis is METAPHOR OF MINANGKABAUNES

PARIAMAN DIALECT IN BANJAI VILLAGE MEDAN DENAI DISTRICT MEDAN REGENCY. It deals with three aspects, i.e. (1) the structure of the

metaphor, (2) the function of metaphor, and (3) the meaning of the metaphor based on the its structure. Related to the structure of metaphor, the analysis is done by using tree diagram (Alwi, 2003 and Verhaar, 1981). It is done in order to identify the detail contents of each metaphor. Identified elements A:B which construct the structure of the metaphor consists of subject (A) as the identified subject. The forming structure of identified elements is classified into (1) the use of the word bak- ‘be like’, (2)phrase form non-noun or event categories, (3) complex (4) sentence form, (clause form) The contents of metaphor can be classified based on their patterns and the its positions in each act. The function of metaphor can be classified into (1) informative (2) expressive, (3)directive (4)phatic, and (5) aesthetic. The functions are dominated by informative functions, i.e. 47,05% These classifications are based on Leech (1997). Related to the meaning of metaphor, the analysis also used Leech (1997). The meaning of metaphor are categorized into (1) connotative, (2) stylistic, (3) affective, (4) reflective, and (5) colocative.All these types of meanings are exists in the results of the analysis.

Keywords: Metaphor, Minangkabau, Pariaman dialek, structure, function, meaning, identified, identifier.


(7)

KATA PENGANTAR

Tesis ini berjudul “ Metafora Bahasa Minangkabau Dialek Pariaman di Kelurahan Banjai Kecamatan Medan Denai Kota Medan.

Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Humaniora pada Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi peneliti sebagai bahan rujukan penelitian teks selanjutnya khususnya yang berhubungan dengan metafora bahasa Minangkabau Dialek Pariaman. Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pakar dan pendidik bahasa dalam hal memperkaya khasanah kepustakaan linguistik bahasa Minangkabau sebagai salah satu bahasa daerah di Indonesia. Serta dapat bermanfaat bagi pihak – pihak tertentu sebagai bahan pertimbangan dalam rangka upaya pembinaan dan pelestarian bahasa Minangkabau.

Penulis menyadari Tesis penelitian ini belum sempurna. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan kritik konstruktif dari pembaca demi penyempurnaannya.

Medan, 03 September 2010


(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang, atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Salawat dan salam kepada junjungan umat Islam, Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umat Islam kepada jalan yang terang benderang.

Penelitian ini tidak akan berhasil dengan baik tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada:

Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S selaku Pembimbing I dan Dr. Drs. Eddy Setia, M.Ed TESP yang telah banyak berperan khususnya dalam mengoreksi dan mengarahkan penulis pada penulisan tesis yang baik dan benar. Di samping itu juga mereka senantiasa berbaik hati dalam memberikan sumbangan ilmu pengetahuan dan saran-saran yang membangun sehingga terciptanya komunikasi ilmiah dan memperkaya informasi untuk penulisan tesis ini.

Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D selaku Ketua Program S2 Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, yang dalam kesempatan ini beliau juga sebagai penguji dalam setiap tahapan ujian, atas segala bantuan berupa kitikan, koreksi, dan saran.

Rektor Universitas Sumatera Utara dan Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah menerima penulis dan memberi kesampatan mengggunakan segala fasilitas yang dapat mendukung


(9)

terselenggaranya pendidikan penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan S2 di tempat ini.

Seluruh staf pengajar program S2 Linguistik yang telah memberikan ilmu dan pengalaman akademik yang berkualitas. Sekretaris dan staf administratif program yang telah banyak membantu segala persyaratan akademik sehingga melancarkan jalannya proses akademik dengan sangat memuaskan.

Keluarga besar penulis, suami dan anak-anak tercinta yang telah banyak berkorban material dan spiritual. Atas bantuan, perhatian, dan kasih sayang yang mereka berikan diucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya.

Semua teman sejawat penulis yang telah banyak membantu selama dalam masa perkuliahan hingga sampai pada tahapan akhir proses penulisan tesis dan tahapan ujian. Jasa kalian tidak akan pernah penulis lupakan.

Akhirnya, penulis sangat mengharapkan sumbangan pemikiran, kritikan, dan saran untuk kesempurnaan tesis ini. Sekali lagi atas bantuan semua pihak, penulis ucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya. Semoga Allah SWT membalas kebaikan, bantuan, dan kritikan yang telah diberikan.

Medan, 03 September 2010 Penulis,


(10)

RIWAYAT HIDUP

Nama : NURISMILIDA

Tempat/ Tgl. Lahir : P. Brandan / 20 Agustus 1958

Jenis Kelamin : Wanita

Alamat Tempat Tinggal : Jl. Sempurna No. 40 Medan

Status : Kawin

Nomor Ponsel : 081264909358

Alamat Email

PENDIDIKAN FORMAL

SD : SD Negeri 6 Pangkalan Brandan

SLTP : SLTP Negeri 1 Pangkalan Brandan

SMU : SMU Negeri 1 Pangkalan Brandan


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ……….. i

ABSTRACT ………... ii

KATA PENGANTAR ……….. iii

UCAPAN TERIMA KASIH ………. iv

RIWAYAT HIDUP ……… vi

DAFTAR ISI ……….. vii

DAFTAR TABEL ……….. xiv

DAFTAR BAGAN ………. xv

DAFTAR LAMPIRAN ………... xvi

DAFTAR LAMBANG, SIMBOL, DAN SINGKATAN ……… xvii

BAB I PENDAHULUAN ……….. 1

1.1 Latar Belakang ………...……….. 1

1.2 Perumusan Masalah ……… 7

1.3 Tujuan Penelitian .………... 8

1.4 Manfaat Penelitian ……….……….. 9

1.4.1 Manfaat Teoritis .………... 9

1.4.2 Manfaat Praktis ……….. 9

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIK ... 11

2.1 Teori-teori yang Relevan ... 11


(12)

2.2.1 Fungsi Metafora ... 19

2.2.2 Makna Metafora ... 20

2.3 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan ... 23

2.3.1 Kajian Metafora (Dalam Bentuk Buku) ... 23

2.3.1.1 Sinonim (Badudu, 1983) ………. 23

2.3.1.2 Pengantar Linguistik (Verhaar, 1983)...………. 24

2.3.1.3 Kembara Bahasa (Moeliono, 1989)... 25

2.3.1.4 Isu Linguistik: Pengajaran Bahasa dan Sastra (Wahab, 1995)... 26

2.3.2 Kajian Hasil Penelitian Terdahulu (Tesis) ... 28

2.3.2.1 Metafora dalam Surat Keputusan (Rahmah, 2002) ... 28

2.3.2.2 Metafora dalam Teks Keuangan dan Perbankan: Suatu Kajian Teks Surat Kabar Medan Bisnis (Ermyna Seri, 2005)... 29

BAB III METODE PENELITIAN ... 32

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 32

3.1.1 Lokasi Penelitian ……….... 32

3.1.2 Waktu Penelitian ………... 32

3.2 Pendekatan dan Metode Penelitian ... 33

3.2.1 Pendekatan Penelitian ………... 33

3.2.2 Metode Penelitian ………... 34

3.3 Data dan Sumber Data ………. 37

3.3.1 Data Penelitian ……….... 37

3.3.2 Sumber Data ... 38


(13)

3.5 Pemeriksaan dan Pengecekan Keabsahan Data ... 39

BAB IV. TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 41

4.1 Temuan Penelitian ... 41

4.1.1 Terjemahan Tuturan Metafora BMDP secara Harafiah ... 42

4.1.2 Bentuk Metafora ... 46

4.1.2.1 Bentuk Metafora BMDP 1 ... 46

4.1.2.2 Bentuk Metafora BMDP 2 ... 46

4.1.2.3 Bentuk Metafora BMDP 3 ... ... 47

4.1.2.4 Bentuk Metafora BMDP 4 ... 48

4.1.2.5 Bentuk Metafora BMDP 5 ... 48

4.1.2.6 Bentuk Metafora BMDP 6 ... 49

4.1.2.7 Bentuk Metafora BMDP 7 ... 49

4.1.2.8 Bentuk Metafora BMDP 8 ... 50

4.1.2.9 Bentuk Metafora BMDP 9 ... 50

4.1.2.10 Bentuk Metafora BMDP 10 ... 51

4.1.2.11 Bentuk Metafora BMDP 11 ... 51

4.1.2.12 Bentuk Metafora BMDP 12 ... 52

4.1.2.13 Bentuk Metafora BMDP 13 ... 52

4.1.2.14 Bentuk Metafora BMDP 14 ... 53

4.1.2.15 Bentuk Metafora BMDP 15 ... 53

4.1.2.16 Bentuk Metafora BMDP 16 ... 54

4.1.2.17 Bentuk Metafora BMDP 17 ... 54


(14)

4.1.2.19 Bentuk Metafora BMDP 19 ... 55

4.1.2.20 Bentuk Metafora BMDP 20 ... 56

4.1.2.21 Bentuk Metafora BMDP 21 ... 56

4.1.2.22 Bentuk Metafora BMDP 22 ... 57

4.1.2.23 Bentuk Metafora BMDP 23 ... 57

4.1.2.24 Bentuk Metafora BMDP 24 ... 58

4.1.2.25 Bentuk Metafora BMDP 25 ... 58

4.1.2.26 Bentuk Metafora BMDP 26 ... 59

4.1.2.27 Bentuk Metafora BMDP 27 ... 59

4.1.2.28 Bentuk Metafora BMDP 28 ... 60

4.1.2.29 Bentuk Metafora BMDP 29 ... 60

4.1.2.30 Bentuk Metafora BMDP 30 ... 61

4.1.2.31 Bentuk Metafora BMDP 31 ... 61

4.1.2.32 Bentuk Metafora BMDP 32 ... 62

4.1.2.33 Bentuk Metafora BMDP 33 ... 62

4.1.2.34 Bentuk Metafora BMDP 34 ... 63

4.2 Pembahasan ... 63

4.2.1 Struktur yang Membangun Metafora BMDP dan Pola Strukturnya ... 64

4.2.1.1 Struktur yang Membangun Metafora BMDP ... 64

4.2.1.1.1 Struktur Metafora BMDP 1 ... 67

4.2.1.1.2 Struktur Metafora BMDP 2 ... 69


(15)

4.2.1.1.4 Struktur Metafora BMDP 4 ... 73

4.2.1.1.5 Struktur Metafora BMDP 5 ... 74

4.2.1.1.6 Struktur Metafora BMDP 6 ... 76

4.2.1.1.7 Struktur Metafora BMDP 7 ... 77

4.2.1.1.8 Struktur Metafora BMDP 8 ... 79

4.2.1.1.9 Struktur Metafora BMDP 9 ... 81

4.2.1.1.10 Struktur Metafora BMDP 10 ... 82

4.2.1.1.11 Struktur Metafora BMDP 11 ... 84

4.2.1.1.12 Struktur Metafora BMDP 12 ... 85

4.2.1.1.13 Struktur Metafora BMDP 13 ... 87

4.2.1.1.14 Struktur Metafora BMDP 14 ... 89

4.2.1.1.15 Struktur Metafora BMDP 15 ... 90

4.2.1.1.16 Struktur Metafora BMDP 16 ... 91

4.2.1.1.17 Struktur Metafora BMDP 17 ... 92

4.2.1.1.18 Struktur Metafora BMDP 18 ... 94

4.2.1.1.19 Struktur Metafora BMDP 19 ... 95

4.2.1.1.20 Struktur Metafora BMDP 20 ... 96

4.2.1.1.21 Struktur Metafora BMDP 21 ... 97

4.2.1.1.22 Struktur Metafora BMDP 22 ... 98

4.2.1.1.23 Struktur Metafora BMDP 23 ... 100

4.2.1.1.24 Struktur Metafora BMDP 24 ... 100

4.2.1.1.25 Struktur Metafora BMDP 25 ... 100


(16)

4.2.1.1.27 Struktur Metafora BMDP 27 ... 101

4.2.1.1.28 Struktur Metafora BMDP 28 ... 102

4.2.1.1.29 Struktur Metafora BMDP 29 ... 102

4.2.1.1.30 Struktur Metafora BMDP 30 ... 103

4.2.1.1.31 Struktur Metafora BMDP 31 ... 103

4.2.1.1.32 Struktur Metafora BMDP 32 ... 104

4.2.1.1.33 Struktur Metafora BMDP 33 ... 105

4.2.1.1.34 Struktur Metafora BMDP 34 ... 105

4.2.1.2 Pola Struktur Metafora BMDP ... 107

4.2.3 Fungsi Metafora BMDP ... 111

4.2.3.1 Fungs Informasi Metafora BMDP ... 111

4.2.3.2 Fungsi Ekspresif Metafora BMDP ... 114

4.2.3.3 Fungsi Direktif Metafora BMDP ... 115

4.2.3.4 Fungsi Fatik Metafora BMDP ... 116

4.2.4 Makna yang Tersirat dari Bentuk Metafora BMDP ... 121

BAB V. SIMPULAN DAN SARAN ... 128

5.1 Simpulan ... 128

5.2 Saran ... 130


(17)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1 Terjemahan Tuturan Metafora BMDP secara Harafiah ... 43 2 Macam-macam Fungsi Metafora BMDP ... 48 3 Jenis Makna yang Tersirat dari Bentuk Metafora BMDP ... 123


(18)

DAFTAR BAGAN

Nomor Judul Halaman

1. Metafora ... 19

2. Pembagian Majas dalam Bahasa Indonesia ... 26

3. Penerapan Metode Penelitian (Teori Ekletik) ... 40

4. Unsur Morfem dalam BMDP ... 66


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Data Percakapan – 1 ... 138 2. Data Percakapan – 2 ... 142 3. Data Metafora Lepas ... 148 4. Terjemahan Tuturan Metafora BMDP

secara Harafiah ... 150 5. Peta Lokasi Penelitian ... 153 6. Daftar Informan ... 154


(20)

DAFTAR LAMBANG, SIMBOL, DAN SINGKATAN

BMDP = Bahasa Minang Dialek Pariaman BM = Bahasa Minangkabau

K = Kalimat FN = Frasa Nomina FV = Frasa Verba FD = Frasa Depan KD = Kata Depan A = Ajektiva V = Verba N = Nomina Tb = Terbanding Pb = Pembanding PB = Penanda Bilangan BS = Bahasa Sumber BT = Bahasa Target


(21)

ABSTRAK

Judul tesis ini adalah METAFORA BAHASA MINANGKABAU

DIALEK PARIAMAN DI KELURAHAN BANJAI KECAMATAN MEDAN DENAI KOTA MEDAN. Ada tiga aspek bahasan yang diungkap dalam tesis ini,

yaitu (1) struktur metafora, (2) fungsi metafora, dan (3) makna metafora bedasarkan strukturnya. Berkaitan dengan struktur metafora, analisis yang dilakukan menggunakan diagram pohon (Alwi, 2003 dan Verhaar, 1991). Analisis ini dilakukan demikian dengan maksud untuk memperoleh unsur-unsur yang membentuk metafora tersebut secara rinci. Unsur-unsur terbanding (identified) A:B yang membentuk struktur metafora terdiri atas (A) sebagai unsur teridentifikasi terdiri atas (1) isi metafora dapat dikelompokkan berdasarkan pola dan posisinya disetiap tindak tutur. Berkaitan dengan bentuk metafora, diperoleh lima bentuk yakni (1) metafora yang diawali dengan kata ‘bak’ (seperti), (2) metafora yang dibentuk dengan frasa, (3) kata majemuk (4) metafora yang dibentuk dengan kalimat (klausa). Fungsi metafora dikelompokkan ke dalam (1) ekspresif, (2) direktif, (3) fatik, dan (4) estetik. Pengelompokkan ini didasari oleh teori Leech (1997).Dan hasil analisis menunjukkan fungsi informasi yang paling berperan (47,05%). Bertalian dengan makna metafora, analisisnya juga menggunakan Leech (1997). Makna metafora dikategorikan menjadi (1) konotatif, (2) stilistik, (3) afektif, (4) reflektif, dan (5) kolokatif. Dan seluruh jenis makna dapat dijumpai dari hasil analisis ini.

Kata kunci: Metafora, Minangkabau, Dialek Pariaman, struktur, fungsi, makna, pembanding, terbanding.


(22)

ABSTRACT

The title of this thesis is METAPHOR OF MINANGKABAUNES

PARIAMAN DIALECT IN BANJAI VILLAGE MEDAN DENAI DISTRICT MEDAN REGENCY. It deals with three aspects, i.e. (1) the structure of the

metaphor, (2) the function of metaphor, and (3) the meaning of the metaphor based on the its structure. Related to the structure of metaphor, the analysis is done by using tree diagram (Alwi, 2003 and Verhaar, 1981). It is done in order to identify the detail contents of each metaphor. Identified elements A:B which construct the structure of the metaphor consists of subject (A) as the identified subject. The forming structure of identified elements is classified into (1) the use of the word bak- ‘be like’, (2)phrase form non-noun or event categories, (3) complex (4) sentence form, (clause form) The contents of metaphor can be classified based on their patterns and the its positions in each act. The function of metaphor can be classified into (1) informative (2) expressive, (3)directive (4)phatic, and (5) aesthetic. The functions are dominated by informative functions, i.e. 47,05% These classifications are based on Leech (1997). Related to the meaning of metaphor, the analysis also used Leech (1997). The meaning of metaphor are categorized into (1) connotative, (2) stylistic, (3) affective, (4) reflective, and (5) colocative.All these types of meanings are exists in the results of the analysis.

Keywords: Metaphor, Minangkabau, Pariaman dialek, structure, function, meaning, identified, identifier.


(23)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penggunaan ungkapan dalam berbagai aspek kehidupan manusia kerap menjadi pilihan penutur suatu bahasa dalam berinteraksi sehari-hari. Ungkapan digunakan sebagai pengayaan variasi komunikasi agar situasi tutur tidak monoton. Ungkapan dapat diidentifikasi mirip dengan bahasa figuratif, metafora atau analogi, berbeda dari bahasa biasa.

Spesifikasi makna ungkapan sangat ditentukan oleh faktor-faktor etnografi komunikasi. Artinya, makna sebuah ungkapan sangat ditentukan oleh konteks situasi dan konteks sosial budaya penuturnya. Oleh sebab itu, pemahamannya memerlukan pengetahuan, kecerdasan, dan kearifan. Ungkapan bahasa disebut juga ekspresi linguistik (Wahab (1986:11) yang berfungsi untuk menandai tuturan yang bermakna metafora. Salah satu bahasa daerah di Indonesia yang kaya dengan bahasa metaforis adalah bahasa Minangkabau (BM).

Minangkabau berasal dari gabungan dua kata, yaitu minang yang berarti ’menang’ dan kabau yang berati ’kerbau’. Menurut legenda, nama ini diperoleh dari peristiwa perselisihan antara kerajaan Minangkabau dengan seorang putera dari negara berjiran mengenai isu tanah. Agar di keduabelah tidak terjadi pertumpahan darah, maka persengketaan itu dilambangkan dengan pertandingan adu kerbau. Putera tersebut menyetujuinya dan menghadirkan seekor kerbau besar, sehat, dan ganas. Sementara dari pihak rakyat setempat hanya menampilkan


(24)

sapi yang lapar dengan tanduk yang sudah ditajamkan. Sebegitu pertarungan dimulai, sapi yang lapar tersebut dengan tanduk yang sudah ditajamkan dengan tidak sengaja menyeruduk perut kerbau yang besar, sehat dan ganas itu karena ingin mencari puting susu untuk menghilangkan rasa laparnya. Akhirnya kerbau tersebut mati dan rakyat setempat menang dan sekaligus memenangkan sengketa tanah tersebut.

Masyarakat Minangkabau (biasanya disingkat menjadi masyarakat Minang) dikenal sebagai masyarakat perantau. Oleh sebab itu tidak heran kalau di hampir seluruh pelosok penjuru tanah air dapat dijumpai masyarakat suku ini. Biasanya mereka menetap dan membaur dengan masyarakat setempat. Dalam berkomunikasi dengan sesama sukunya, masyarakat Minangkabau dikenal dengan masyarakat yang kukuh mempertahankan bahasanya. Dalam kondisi dan situasi tutur apapun mereka cenderung menggunakan bahasanya. Hal demikian juga terjadi juga bagi masyarakat Minangkabau yang menetap di kota Medan, khususnya di kelurahan Banjai Medan Denai. Dipilihnya lokasi penelitian tersebut didasari oleh kenyataan bahwa masyarakat penutur bahasa Minangkabau di wilayah ini menempati jumlah kedua terbanyak dari lima sukubangsa yang mendiami wilayah ini (Batak = 49,18%, Melayu = 6,35%’, Jawa = 22,17%, Keturunan = 0%, dan Minang = 22,28%, dari total jumlah penduduk 51054 jiwa) (Sensus 2009). Masyarakat Minangkabau yang berdomisili di wilayah ini berasal dari Padang Pariaman dan hidup secara turun-temurun di wilayah ini. Bahasa Minangkabau (BM) merupakan rumpun bahasa Austronesia dan Melayu Polinesia. Bahasa ini mempunyai kemiripan dengan bahasa Indonesia, khususnya


(25)

dalam bidang struktur kalimat, leksikon, maupun morfemnya (Ayub dkk., 1993:2; dan Jufrizal, 1996:3 dalam Antara, 2007). Sebagai bahasa daerah, fungsi BM adalah sebagai bahasa pertama dan utama dalam komunikasi sehari-hari masyarakat Minangkabau. Isman, dkk., (1978:45) menjelaskan bahwa dalam pembicaraan yang bersifat intra etnis sesama masyarakat Minangkabau, BM dipakai oleh 96,02% penduduk Sumatera Barat. Masyarakat Minangkabau juga dikenal dengan kesetiaannya dengan bahasa ibunya.

BM berfungsi sebagai alat pengembangan kebudayaan daerah. Sebagai bahasa pertama di daerah asalnya, BM juga dipergunakan secara aktif oleh masyarakat Minangkabau di perantauan yang tersebar di seluruh penjuru tanah air. Mengingat begitu luasnya dan begitu penting fungsi BM ini diberbagai aspek kehidupan masyarakat Minangkabau di daerah asal dan daerah-daerah lainnya itu, maka sudah selayaknya itu menjadi salah satu alasan pemilihan permasalahan bahasa untuk diteliti secara mendalam.

Fenomena bahasa BM yang akan diteliti adalah metafora. Lebih lengkapnya adalah metafora bahasa BM dialek Pariaman (BMDP) yang dipakai oleh masyarakat penutur dialek tersebut di Kelurahan Banjai Kecamatan Medan Denai Kota Medan. Dalam bertutur sehari-hari, masyarakat tutur BM kerap menggunakan metafora. Misalnya untuk menyatakan (1) ’belajar dari pengalaman sebelumnya’ metafora yang selalu digunakan adalah basiang ateh tumbuah, batimbang ateh nen lalu (bersiang atas tumbuh, bertimbang atas yang lewat). (2) ’terjadi perselisihan’ metafora yang digunakan basilang kaie (bersilang kail). (3) ’meminjam uang dengan kembalian yang berbunga (riba)’ digunakan metafora


(26)

maminjam jari kuruih dengan sarat mengembalikan jari gapuak (meminjam jari kurus dengan sarat mengembalikan jari gemuk).

Penggunaan bahasa sebagai sarana berkomunikasi sehari-hari pada masyarakat Minangkabau di wilayah penelitian tidak terlepas dari penggunaan metafora. Dari pengamatan sepintas, diperoleh kekerapan penggunaan tuturan yang bermakna metaforis dalam percakapan sehari-hari. Bentuk metafora bahasaMinangkabau dialek Pariaman dengan berbagai bentuk strukturnya yaitu merupakan penyampaian maksud dengan cara tidak langsung.

Bahasa (termasuk BMDP) adalah sarana untuk menyampaikan perasaan dan pikiran penuturnya (Pateda, 2001:53). Penyampaian maksud dan tujuan tuturan BMDP dapat dinyatakan dengan makna yang disampaikan secara kias dan disampaikan secara tidak langsung. Penggunaan kias ini (dalam bahasa Indonesia) dikenal dengan istilah majas.

Pemahaman makna metafora secara tepat perlu ditekankan unsur semantiknya dengan lingkungan tempat peristiwa berbahasa itu terjadi. Penutur dan pendengar biasanya telah memahami sebuah bentuk tuturan yang menggunakan metafora karena mereka telah mengetahui penerapan dan penggunaan makna simbol bahasa pada suatu rujukan BMDP. Sebagai contoh makna frasa buayo gadang /buayo gadaη/ ’penipu’ sudah merupakan bentuk metafora yang melekat dalam tuturan sehari-hari. Arti denotatif frasa buayo gadang /buayo gadaη/ adalah ’buaya ukuran besar’. Tetapi frasa ini di kalangan masyarakat Minangkabau yang mayoritas pedagang memiliki makna konotatif ’penipu’.


(27)

Pemahaman makna metafora secara tepat perlu ditekankan unsur semantiknya dengan lingkungan tempat peristiwa berbahasa itu terjadi. Pendengar dapat memahami sebuah bentuk tuturan dalam bentuk metafora karena yang bersangkutan telah mengetahui penerapan makna simbol bahasa pada sebuah rujukan (referent) BMDP telah menyimpang dari makna leksikalnya. Penyimpangan penerapan makna leksikal terhadap rujukan tersebut ditandai oleh penerapan makna simbol bahasanya, baik dalam bentuk kata, frasa, maupun kalimat. Artinya, kata, frasa, atau kalimat yang digunakan untuk membentuk metafora dicirikan oleh penerapan makna yang menyimpang dari makna leksikalnya.

Metafora, dalam pengertian sempit dapat dijelaskan sebagai bagian majas atau khususnya diklasifikasikan sebagai kategori perbandingan yang sejajar dengan simile dan personifikasi (Moeliono, 1989:32; Keraf, 1986:24; dan Murray dalam Sack (ed.) 1979:36). Moeliono (1997:15) menyebutkan bahwa pengertian sempit ini dapat dikategorikan pada pengertian umum dalam bahasa Indonesia karena istilah metafora dinyatakan sebagai bagian dari majae, sebagai subkategori perbandingan. Keraf (1986:23—26) memberikan contoh majas meliputi metafora, personifikasi, simile (perumpamaan), pars pro toto, totem pro parte, sinekdoke, sarkasme, litotes, dan eufimisme. Dalam hal ini Keraf menegaskan bahwa metafora bukan dalam pengertian luas, tetapi metafora dalam pengertian sempit atau sebagai salah sati bagian dari istilah subkategori majas.

Dalam pengertian luas, metafora menduduki posisi payung untuk semua penggunaan bahasa kias (lihat Henle 1958:174; Mooij 1976:66; Black (dalam


(28)

Sacks (ed.) 1979:181). Ortony (ed.), 1979:v—vi (dalam Antara, 2007) menjelaskan bahwa masalah perbandingan yang terdapat dalam istilah metafor sangatlah kompleks dan bersifat multidisiplin.

Penelitian yang dilakasanakan berfokus pada metafora yang digunakan pada wacana lisan. Posisi metafora dalam penelitian ini didasarkan pada pengertian secara luas atau yang memayungi semua tuturan BMDP secara lisan yang bermakna kias. Dasar teori yang digunakan adalah linguistik sehingga acuan analisisnya berkisar pada unsur morfologi, sintaksis, fungsi, dan semantiknya. Berkaitan dengan masalah yang diteliti, digunakan beberapa teori linguistik yang terkait dengan masalah yang diteliti sehingga penerapan teorinya disebut ekletik. Teori ekletik dipakai sebagai kerangka kerja untuk menganalisis masalah bentuk BMDP, sedangkan analisis fungsi dan makna ditentukan dengan menggunakan teori dan fungsi bahasa dan teori makna asosiasi (Konsep Leech 1997).

Penentuan analisis bentuk, fungsi, dan makna BMDP dikaitkan dengan situasi tuturannya, seperti di mana dan bagaimana peristiwa tutur itu berlangsung. Dalam kegiatan menganalisis metafora akan melibatkan antara masyarakat penutur dan budayanya. Penelitian metafora ini juga tidak terlepas dengan kehidupan dan latar budaya masyarakat pendukung bahasa tersebut. Ekspresi berbahasa bermakna metaforis terdapat juga dalam kegiatan berbahasa dalam masyarakat di lokasi penelitian, yaitu Kelurahan Banjai Kecamatan Medan Denai Kota Medan.


(29)

1.2 Perumusan Masalah

Ada tiga masalah pokok yang akan diungkap dalam penelitian tentang metafora BMDP. Ketiga masalah itu antara lain:

1) Bagaimanakah bentuk struktur metafora BMDP pada masyarakat Minangkabau di Kelurahan Banjai Kecamatan Medan Denai Kota Medan?

2) Apakah fungsi metafora BMDP pada masyarakat Kelurahan Banjai Kecamatan Medan Denai Kota Medan?

3) Makna apakah yang tersirat dari bentuk metafora BMDP pada masyarakat Kelurahan Banjai Kecamatan Medan Denai Kota Medan?

Dilihat dari perumusan masalah di atas, penelitian ini terbatas hanya pada bidang linguistik untuk dapat mengungkapkan bentuk (pola) struktur, fungsi, dan arti semantis tuturan metafora dalam BMDP pada masyarakat Kelurahan Banjai Kecamatan Medan Denai Kota Medan. Pelaksanaan analisis linguistik BMDP meliputi uraian sebagai berikut.

(1) Analisis bentuk setiap data metafora BMDP didasarkan atas ketatabahasaan yang meliputi bidang morfologi dan sintaksis. Analisis morfologi meliputi morfem, yang terdiri atas morfem bebas dan morfem terikat. Analisis sintaksis meliputi fungsi sintaksis seperti subjek, objek, dan predikat dengan mengacu pada tata bahasa tradisional seperti yang dikemukakan oleh buku Alisjahbana (1965) dan Alwi, dkk. (2003). Uraian tata bahasa tradisional ini melibatkan pengertian identitas (fitur)


(30)

konstituen simbol lingual yang digunakan sebagai pembanding dan sebagai terbanding dalam analisisnya.

(2) Analisis fungsi setiap BMDP yang merupakan bentuk metafora dirujuk dengan pembagian fungsi bahasa, seperti yang dikemukakan Leech (1997:52 – 54).

(3) Analisis makna setiap data BMDP dilakukan dengan menerapkan teori komparasi (Henle, 1958:174), yang menekankan analisis komponen (Mooij, 1976:18—28). Maksud yang tersirat diinterpretasikan dengan konsep Ogden dan Richards (1976:15) dan klasifikasi maksudnya dirujuk dengan konsep makna asosiasi dari Leech (1997:12—30).

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab persoalan yang dituangkan dalam perusan maslah, yaitu antara lain:

1) Mendeskripsikan bentuk struktur metafora BMDP pada masyarakat Minangkabau di Kelurahan Banjai Kecamatan Medan Denai Kota Medan.

2) Mendeskripsikan fungsi metafora BMDP pada masyarakat Kelurahan Banjai Kecamatan Medan Denai Kota Medan.

3) Mendeskrisikan makna apa saja yang tersirat dari bentuk metafora BMDP pada masyarakat Kelurahan Banjai Kecamatan Medan Denai Kota Medan.


(31)

1.4 Manfaat Penelitian

Ada dua manfaat yang sekaligus akan diperoleh dalam penelitian ini yaitu manfaat teoretis dan manfaat praktis.

1.4.1 Manfaat Teoritis

Secara teoretis, penelitian ini bertujuan untuk:

(1) memberikan informasi mengenai temuan penelitian tentang metafora khususnya metafora BMDP yang ada di wilayah penelitian dalam tesis ini bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Pengembangan teori atas dasar data yang terekam dalam penelitian ini akan dapat dijadikan bahan bandingan untuk kajian lebih lanjut atas fenomena kebahasan yang serupa dalam setiap bahasa daerah di wilayah Indonesia,

(2) menambah jumlah dokumentasi penelitian BMDP yang sudah ada yang berkaitan dengan bahasa yang bermakna kias.

1.4.2 Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini akan sangat berguna khususnya

(1) bagi pemahaman berbahasa masyarakat Kelurahan Banjai Kecamatan Medan Denai Kota Medan khususnya dan masyarakat Minangkabau pada umumnya, mengingat penutur di Kelurahan Banjai Kecamatan Medan Denai Kota Medan ini selalu menggunakan bermacam bentuk metafora.

(2) penelitian ini juga bermanfaat khususnya yang berkaitan dengan konteks sosial, mengingat dalam kegiatan tutur banyak ditemukan


(32)

penggunaan BMDP yang bermakna metaforis sehingga perlu ada pensosialisasikan tentang penafsiran maksud yang diperoleh secara benar dari penelitian metafora BMDP ini kepada masyarakat umum.


(33)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIK 2.2 Teori-teori yang Relevan

Konsep kata ‘metafora’ atau ‘metaphor’ berasal dari meta dan sphere (metasphere). Meta berarti ‘berhubungan dengan’ seperti dalam kata metalanguages, metaphysics, metathesis, metabolism, metallurgy. Sphere berarti ruang, lingkungan, bola. Jadi metafora (metaphor) berarti ‘hal-hal yang berhubungan dengan sekitar’.

Hester, 1976:16—17 (dalam Antara, 2007) menyebutkan metafora merujuk pada dua komplemen yang sejajar yakni epiphor dan diaphor. Epiphor berarti metafora yang mengimplikasikan makna (semantik) konteks seluas-luasnya. Diaphor berarti ‘tipe yang ada dalam batin’. Keterangan ini dikutip oleh Hester dari tulisan Wheelwright dalam bukunya “Metaphor and Reality” (Bloomington, 1962:35—36) yang ditulis kembali oleh Hester dalam bukunya “The Meaning of Poetic Metaphor (1967:17). Hester juga menyebutkan bahwa metafor sangat baik karena memiliki kekuatan untuk menyatakan suatu hal, khususnya untuk menciptakan karya sastra, seperti yang dinyatakan dalam kalimat The best metaphors display a fision of diaphor and epiphor... gives the metaphor its power.

Foss, 1976:61 (dalam Antara, 2007) menambahkan bahwa penggunaan metafor dalam bentuk tuturan kalimat lebih memiliki kekuatan dibandingkan dalam bentuk sebuah kata. Mooij (1976:14) berpendapat bahwa dalam kalimat Napoleon is a wolf menggambarkan Nopeleon kejam (‘Napoleon is cruel’).


(34)

Kekejaman Napoleon diibaratkan dengan kekejaman serigala. Fitur srigala yang paling tepat untuk melukiskan kekejaman yang dimiliki Napoleon. Unsur-unsur yang membangun metafora disusun dari beberapa identitas simbol, di antaranya berupa kelas kata, seperti nomina, adjektifa, dan verba. Simbol lingual metaforanya dapat berupa sesuatu (the things), seseorang (person), ide (ideas), periode (periods), wilayah (areas), kualitas (quality), disposisi (dispositions), hubungan (relations) dan lain-lain.

Konsep metafora menurut Aristoteles (dikutip Hester 1976:14) bahwa metafora dinyatakan sebagai pemberian nama yang berasal dari bidang lain. Cara pemindahan nama itu dapat dilaksanakan dari hal-hal yang umum ke khusus, dari yang khusus ke umum, dari yang khusus ke khusus atau atas dasar analogi. Cara tersebut dimungkinkan bilamana ada empat syarat demikian (A, B, C, dan D) yang berkaitan. Cara tersebut dimungkinkan belamana ada empat syarat demikian yang berkaitan, yaitu yang ke (B) berkaitan dengan yang pertama (A), dan yang keempat (D) dengan yang ketiga (C). Yang dianggap sebagai makna metafora dalam perbandingan ini adalah (D). Hal ini berarti A:B = C:D yakni unsur yang kedua (B) berbanding dengan yang pertama (A) dan juga seperti unsur yang ketiga (C) dengan yang keempat (D) sehingga pemahaman makna pada (D) mengacu pada (A).

Konsep metafora menurut Searle (1979) yang menyebutkan bahwa kedudukan metafora dalam keseluruhan bahasa kias atau figuratif dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu (1) metafora yang diposisikan dalam pengertian luas atau sebagai payung untuk semua bahasa kias, dan (2) metafora


(35)

dalam arti yang sempit. Posisi sebagai payung tersirat dalam pandangan yang dikonsepkan Searle (dalam Ortony, ed. 1979:92—123). Di sini Searle menyatakan istilah metafora sebagai sebuah ekspresi kebahasaan yang bermakna figuratif. Dia juga mengemukakan bahwa dua tipe teori metafora, yaitu teori perbandingan (comparison theories) dan teori interaksi semantik (semantic interaction teories). Kedua teori ini menekankan bahwa konteks yang terdapat dalam ungkapan metafora mengandung dua sisi makna, yaitu sisi yang satu bermakna metaforis dan sisi yang lainnya bermakna harafiah. Hakikat metafora menurutnya adalah membandingkan dua hal, yakni yang dibandingkan/terbanding (Tb) dengan yang dipakai untuk membandingkan/pembanding (Pb). Hakikat pembicaraan metafora merujuk pada semua tuturan yang bermakna kias.

Konsep metafora menurut Saussure (1988) dikaitkan dengan istilah sign berarti tanda, simbul, atau lambang. Teori tanda banyak dikembangkan oleh Pierce, dalam bidang linguistik oleh Saussure (1988:63—69).

Beragam pendapat dan penjelasan tentang metafora telah banyak dijumpai. Salah satu di antaranya adalah pendapat dan penjelasan yang diungkapkan oleh Beardsley (1981:134—135) yang menyebutkan bahwa ada tiga jenis teori yang perlu dipertimbangkan dalam kaitannya dengan metafora, yaitu: (a) teori emotif, (b) teori supervenience, dan (c) teori literal.

Teori pertama, sebagai akibat intensitas emosi, memandang metafora dan bentuk-bentuk kias pada umumnya merupakan dislokasi dan disfungsi bahasa. Dilihat dari struktur bahasa formal metafora seolah-olah salah tempat, salah penggunaan, dan dengan demikian akan menimbulkan salah penafsiran.


(36)

Sebaliknya, dengan pertimbangan bahwa metafora dan penyusunan bahasa sastra pada umumnya dimaksudkan untuk memperoleh makna karya secara maksimal, maka penyimpangan seperti ini justru merupakan keunggulan penggunan bahasa. ‘Pisau bedah’ misalnya, yang semula mengacu pada pengertian benda konkret kemudian menjadi ‘dasar teori’ yang digunakan untuk mengungkap suatu fenomena secara ilmiah. Ketajaman pisau bedah dirujuk sebagai ketajaman dan ketepatan pemilihan sebuah teori untuk mengungkap fenomena keilmuan secara tepat agar hasil yang diperoleh juga tepat. Ketajaman teori dalam mengungkap suatu fenomena jelas mengevokasi emosi untuk memahaminya. Di samping itu, pisau bedah bermakna ketelitian yang tinggi karena salah pisau bedah yang dipilih akan berakibat menghilangkan nyawa seseorang.

Teori kedua, teori supervenience mencoba memahami kemampuan sekaligus kelebihan bahasa sastra, khususnya metafora dibandingkan dengan bahasa secara harafiah. Dalam metafora makna tidak lahir secara literal, makna tidak ada dalam kamus, sehingga seolah-olah tidak ada hubungan atara kata-kata dengan acuan, masing-masing unsur berdiri secara independen. Makna lahir secara tak terduga, seolah-olah tidak diharapkan. Metafora lebih sebagai semacam pemecahan teka-teki. Makna literal yang terkandung lenyap, digantikan oleh makna metaforis. Foss (1949:61—62) menyebutkan bahwa makna metaforis terkandung di dalam proses bukan kata-kata tunggal. Teori ini memandang metafora sebagai jenis bahasa khas.

Teori ketiga, teori literal merupakan teori harafiah dan sekaligus mempertentangkan bahasa sehari-hari dengan metafora itu sendiri, bahasa kias


(37)

pada umumnya. ’Mobilnya seperti mobilku’ misalnya, dianggap sebagai perbandingan langsung, simile, sedangkan metafora adalah kiasan (simile) tersembunyi. Beardsley, 1981:138 (dalam Antara, 2007) menjelaskan bahwa simile terdiri atas dua jenis yaitu simile terbuka dan simile tertutup. Metafora dikategorikan pada simile tertutup karena memiliki cara kerja yang sama. Makna perbandingan langsung dan simile terbuka terkandung dalam konteks. Sebaliknya konteks dalam metafora secara terus menerus dihilangkan sebab kehadirannya mengurangi terjadinya produksi makna. Metafora dengan demikian bukan perbandingan tak langsung melainkan perbandingan itu sendiri. Berbeda debgan teori pertama, sebagai teori emotif, teori kedua dan ketiga bersifat kognitif.

Lakoff dan Mark (1980) berfokus pada dua hal utama. Yang pertama adalah metafora sebagai proses kognitif dan merupakan hasil pengalaman. Oleh sebab itu mereka menyebutkan bahwa metafora adalah sebagai proses kognitif eksperimental. Atas dasar proses kognitif ini, tuturan dapat dianalisis tema-temanya yang tersirat yang mempunyai makna metafora.

Metafora juga dinyatakan sebagai ekspresi linguistik. Artinya adalah bahwa metafora memiliki karakteristik bahasa dan merupakan sebuah perspektif. Di samping itu juga metafora adalah merupakan masalah imajinasi rasionalitas. Dalam hal ini, konsep itu tidak hanya menyangkut masalah intelektualitas tetapi juga di dalamnya memuat semua pengalaman yang alami sehingga pemahaman makna metafora didasarkan atas aspek pengalaman, di antaranya pengalaman estetika. Dengan dasar itu, keberadaan metafora dinyatakan sebagai


(38)

pengungkapan jenis dari sesuatu yang bermakna figuratif dan metafora dikaitkan dengan jenis bahasa figuratif lainnya sepertipersonifikasi dan metonimi.

Lakoff dan Mark (1980:53) juga menyebutkan bahwa metafora didapati dalam kehidupan sehari-hari. Ditambahkan bahwa berdasarkan pengalaman konsep metafora meliputi tiga hal, yaitu (1) ide (makna) untuk menandaai sesuatu yang berupa objek, (2) ekspresi linguistik yaitu berupa kata-kata sebagai wadahnya (kontainer), dan (3) cara komunikasi atau cara penutur menyampaikan maksud secara figuratif.

Sebagai salah satu kajian linguistik, metafora dapat dianalisis berdasarkan atas unsur-unsur kalimat atau struktur kalimat. Melalui kajian linguistik dapat diketahui bahwa unsur yang terdapat dalam metafora berupa ekspresi harafiah dan ekspresi imajinasi metaforis. Esensi konsep metafora berupa pemahaman dan pengungkapan jenis sesuatu yang bermakna metaforis. Untuk memahaminya sangat diperlukan penerapan dasar teori perbandingan. Dicontohkan, kalimat A adalah B akan dianggap sama maknanya dengan kalimat A sama seperti B. Pengertian ini menunjukkan bahwa metafora menduduki posisi yang lebih luas untuksemua pengertian yang mengandung makna perbandingan. Ini didasarkan atas pemahaman tentang metafora melalui proses kognitif.

Berbeda dengan teori di atas, Luxemburgh, dkk., 1984:187 (dalam Antara, 2007) mengutarakan bahwa untuk memberikan intensitas terhadap metafora itu, gaya bahasa dapat digolongkan ke dalam dua bagian, yaitu metafora (perumpamaan) dan metonimia (sinekdoke). Sinekdoke yang paling kerap digunakan adalah konsep-konsep berdampingan dengan ciri bagian mewakili


(39)

totalitas atau sebaliknya. Meskipun metafora dan perumpamaan dianggap sama tetapi keduanya pada dasarnya juga memiliki perbedaan. Perbandingan dalam metafora terjadi secara implisit, dalam perumpamaan secara eksplisit, biasanya dengan menggunakan kata-kata penghubung, di antaranya adalah ’seperti’, ’umpama’, ’laksana’, ’bak’. Dalam kalimat ’Ayahku mendidikku sebagai seorang guru’ adalah perumpamaan, sedangkan ’Ayahku guruku’ adalah metafora. Dalam perumpamaan, dengan perbandingan secara eksplisit maka motif lebih terbatas, misalnya, sebagai guru dengan unsur pendidik. Sedangkan dalam metafora dengan tidak adanya kata penghubung ’sebagai’, maka interpretasi terjadi secara lebih bebas sehingga dimungkinkan untuk menunjukkan motif-motif secara terbatas. Seorang ayah di samping mampu mendidik anaknya secara moral spiritual, ia harus mampu pula mengajarkan ilmu pengetahuan. Dengan kalimat lain, makin singkat baris yang digunakan untuk melukiskan suatu objek, maka makin kayalah penafsiran yang dihasilkan. Urutan baris di bawah ini menunjukkan terjadinya perbandingan terbalik antara panjang pendek baris dengan perkembangan makna tersebut.

’Ayahku mendidikku bagaikan seorang guru ’Ayahku bagaikan seorang guru’

’Ayahku guruku’ ’Guruku’

Teori lain tentang metafora digagas oleh Cormac (1985) dalam bukunya berjudul A Cognitive Theory of Metaphor. Pembahasannya berkisar tentang metafora berdasarkan proses kognitif. Dengan dasar kognitif ini metafora


(40)

dipandang menduduki posisi kunci atau sebagai payung dari semua tuturan yang metaforis, baik metafora yang konvensional maupun metafora yang berbentuk struktur dari hasil imajinasi atau kreativitas. Dengan kreasiberbahasatelah tercipta keragaman bentuk metafora dengan arti yang baru.

Dari uraian konsep metafora di atas (Beardsley,1981; Lakoff dan Mark, 1980; Luxemburgh, dkk., 1984; dan Cormac, 1985) dapat disimpulkan bahwa metafora merupakan payung bagi semua jenis ungkapan yang mengandung konsep perbandingan. Anggapan yang mendudukkan posisi metafora BM sebagai payung didasarkan pada konsep perbandingan antara yang ditandai (terbanding) dengan yang menandai (pembanding).

Hal-hal inti yang diperoleh dari uraian di atas adalah bahwa:

(1) pengertian metafora mengacu pada semua bahasa yang bermakna figuratif, (2) anggapan yang mendudukkan posisi metafora sebagai payung, didasarkan

atas paham kognitif, dan

(3) konsep perbandingan antara yang ditandai dengan yang menandai.

Ketiga hal inti di atas sangat tepat diterapkan pada penelitian metafora BMDP ini. Istilah yang dipakai dalam penelitian ini adalah ’petanda’ untuk terbanding dan ’penanda’ untuk pembanding.

Intisari pendapat para ahli yang diutarakan di atas dapat digambarkan sebagai berikut:


(41)

Bagan 1: Metafora

2.2 Fungsi dan Makna Metafora 2.2.1 Fungsi Metafora

Menurut Leech (1997) Fungsi penggunaan metafora bentuk lisan dikelompokkan ke dalam beberapa jenis fungsi, di antaranya adalah.

1. Fungsi Informasi

Yang dimaksud dengan funsi informasi di sini adalah penggunaan tuturan bahasa secara metaforis yang fungsinya adalah sebagai sarana guna menyampaikan informasi tentang pikiran dan perasaan dari penutur kepada lawan tuturnya. Ciri-ciri fungsi ini adalah adanya pencirian yang tersirat dalam pesan yang disampaikannya. Ciri-ciri fungsi tersebut biasanya yang mengandung ide, keyakinan, kepastian, kemarahan, kekhawatiran, kegelisahan, dan keberanian.

Bahasa yang bermakna kias (majas) dengan unsur mengandung perbandingan

METAFORA (Payung)


(42)

2. Fungsi ekspresif

Yang dimaksud dengan metafora berfungsi ekspresif adalah penyampaian penggunaan tuturan bahasanya secara metaforis mengandung suatu harapan sesuai dengan harapan dan keinginan penutur kepada lawan tuturnya. Ciri-ciri fungsi ini dengan tersiratnya maksud yang menandai adanya pengarahan, anjuran, atau harapan.

3. Fungsi direktif

Yang dimaksud dengan fungsi direktif apabila tuturan bahasanya secara metaforis mengandung unsur-unsur yang dapat mempengaruhi sikap,kemandirian. Biasanya ciri fungsi direktif ini ditandai dengan adanya perintah, instruksi, ancaman, atau pertanyaan.

4. Fungsi fatik

Yang dimaksud dengan fungsi fatik apabila tuturan bahasanya secara metaforis mengandung unsur-unsur yang dapat menginformasikan pesan dengan tujuan untuk menjaga hubungan agak tetap harmonis. Ciri-cirinya antara lain penggunaan bahasa yang bermakna hubungan baik dan buruk, kedekatan hubungan sosial, hubungan keakraban, hubungan kekerabatan antara penutur dan lawan tuturnya.

2.2.2 Makna Metafora

Makna yang tersirat dari bentuk metafora didasarkan pada makna asosiatif sejalan dengan yang disarankan Leech (1997:12-30). Ada tujuh tipe makna konseptual, yaitu (1) makna konotatif, (2) makna stilistik, (3) makna afektif, (4)


(43)

makna reflektif, (5) makna kolokatif, (6) makna tematik, (7) makna stilistik. Lima dari tujuh tipe makna itu diklasifikasikan sebagai rujukan makna asosiatif.

(1) Tuturan metafora yang bermakna konotatif apabila maksud yang dikomunikasikan secara metaforis sesuai dengan apa yang diacu dalam bahasa itu. Dengan kata lain makna konotatif adalah aspek makna sebuah atau sekelompok kata yang didasarkan atas perasaan atau pikiran yang timbul atau ditimbulkan pada pembicaraan dan pendengar.

(2) Tuturan metafora bermakna stilistik apabila tuturannya bermaksud mengkomunikasikan gambaran atau keadaan sosial. Misalnya penggambaran sifat, kepribadian dan keadaan.

(3) Tuturan metafora bermakna afektif biasanya untuk mengutarakan perasaan tingkah laku atau keadaan pribadi penutur. Misalnya ketidakmampuan secara ekonomi, pengetahuan, dan fisik.

(4) Tuturan metafora bermakna reflektif biasanya tuturan yang dimaksudkan untuk menunjukkan simbol lingual bermakna ganda dan makna ekspresi tersebut telah ada sebelumnya. (5) Tuturan metafora yang bermakna kolokatif apabila tuturan

disampaikan dengan maksud untuk hal-hal yang berkonteks kultural dan sosial. Ada dua hal pokok yang perlu dipahami dikaitkan dengan makna ini, yaitu (1) interpretasi


(44)

pesan, (2) penafsiran maksud (Leech, 1997:12-30). Makna metafora jenis ini lebih ditekankan pada penentuan maksud yang dituturkan oleh penutur. Orientasinya adalah pada pesan apa yang ditransfer secara metaforis oleh penutur kepada lawan tuturnya, sesuai dengan situasi,peristiwa, dan lokasi tutur dimaksud. Dasar pemahaman metafora didasarkan atas tuturan kalimat penutur dan interpretasi didasarkan atas maksud metafora yang disampaikan. Dalam hal ini ada kaitannya antara penutur (encoder) dengan lawan tutur (decoder).

Makna metafora sangat berkaitan antara makna harafiah dan makna figuratifnya. Hubungan antara makna harafiah dan makna figuratif yang terdapat di metafora merupakan versi yang disingkat dalam satu kalimat, dan maknanya saling berpengarus secara kompleks. Alur gerak makna metafora BMDP dimulai dari semantik kata ke semantik kalimat karena tuturan metafora BMDP adalah kalimat (Lihat Recoeur, 1979:50-51).

Teknik merumuskan makna metafora dalam penelitian ini dilakukan sesuai dengan maksud dasar semantik. Di sini ditentukan makna metaforanya dengan memperbandingkan simbol lingual sebagai pembanding yang dikenakan pada unsur yang terbanding. Kemudian ditentukan salah satu komponen (fitur) pembanding yang disesuaikan dengan teori komparasi sehingga dipahami maknanya. Selanjutnya menentukan klasifikasi makna metafora yang


(45)

dimaksudkan oleh penutur sesuai dengan konsep makna asosiatif yang disarankan Leech (1997:21-24).

2.3 Kajian Hasil-hasil Penelitian yang Relevan

Pada subbagian ini diuraikan beberapa pustaka yang mengetengahkan hasil-hasil kajian dan penelitian mengenai metafora khususnya metafora yang terdapat dalam bahasa Indonesia. Hasil kajian dan penelitian yang akan disitir sebagai bahan dasar rujukan penelitian ini terdiri atas dua jenis. Jenis pertama dalam bentuk buku, di antaranya Badudu (1983), Verhaar (1983), Moeliono (1989), dan Wahab (1995), dan jenis kedua dalam bentuk tesis.

2.3.1 Kajian Metáfora (Dalam bentuk Buku)

2.3.1.1 Sinonim (Badudu, 1983)

Badudu (1983) mengemukakan bahwa metafora sebagai salah satu alat gaya bahasa Indonesia. Metafora juga sebagai sesuatu yang dibicarakan dan terdapat sesuatu yang digunakan sebagai pembanding. Artinya metafora dilihat dari sudut penggunaan sesuatu untuk membandingkan satu hal dengan hal-hal lainnya.

Selain itu, Badudu juga menjelaskan bahwa metafora dibentuk dari simbol-simbol dalambentuk unsur-unsur frasa dan klausa. Misalnya, dalam tuturan metaforis Pemuda adalah tulang punggung negara terdapat frasa tulang punggung negara sebagai penanda metaforanya. Keadaan fisik manusia dan hewan sebagai sesuatu untuk memperkuat tubuh manusia atau hewan dengan sesuatu yang ada pada negara sehingga posisi tulang punggung menjadi objek


(46)

pembanding (Pb). Perbandingan yang didasari pada persamaan fungsi tersebut dimaksudkan untuk lebih memperkuat hal yang dibandingkan pada negara dengan mengambil simbol yang ada pada manusia dan hewan. Pengertian metafora yang digagas Badudu terbukti sangat cocok dan sesuai untuk diacu dalam penelitian BMDP yang akan dilaksanakan ini.

2.3.1.2 Pengantar Linguistik (Verhaar, 1983)

Verhaar (1983) menggambarkan metafora sebagai bagian dari pembicaraan semantik, yaitu dengan membedakan pengertian makna yang dimaksud. Makna diterangkan sebagai sesuatu yang berada di dalam ujaran itu sendiri atau sebagai gejala dalam ujaran, sedangkan maksud diterangkan sebagai sesuatu di luar ujaran atau berada di pihak si penutur.

Sebagai ilustrasi untuk menguatkan pernyataannya, diberi contoh ujaran kaki gunung berarti bahwa penerapan kata kaki dianggap tidak sesuai dan tidak cocokatau menyeleweng dari pemakaian kata yang sebenarnya. Hal yang menyeleweng dalam metafora bukanlah makna kata yang dipakai secara metaforis, melainkan penerapan makna yang bersangkutan. Artinya, makna tersebut diterapkan pada suatu rujukan (referen) yang tidak sesuai dengan makna leksikalnya. Kaki gunung bermakna bagian bawah dari gunung yang sejalan dengan kaki manusia, yang mengacu pada bagian tubuh paling bawah (Verhaar, 1983:129).

Perbincangan metafora juga dikaitkan dengan semantik bahasa khususnya yang merujuk pada metafora sesuai dengan posisinya pada tataran sintaksis. Di


(47)

samping itu juga dibahas tentang bahasa bermakna metaforis yang dikaitkan dengan analisis berdasarkan kategori kata dan fungsi sintaksis.

Deskripsi yang dipaparkan Verhaar khususnya yang berkenaan dengan makna simbol bahasa dalam tuturan metafora dapat dijadikan landasan dan acuan dalam penelitian BMDP ini. Artinya, pengertian makna kata atau frasa yang menyimpang dari makna yang sebenarnya sangat tepat untuk menganalisis makna tuturan BMDP.

2.3.1.3 Kembara Bahasa (Moeliono, 1989)

Moeliono (1989:22—23) menggunakan istilah majas untuk menerjemahkan istilah bahasa Inggris figure of speech. Majas tidak sama dengan gaya bahasa. Majas dapat digunakan untuk memperkuat gaya bahasa. Majas dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yakni: (1) majas perbandingan; (2) majas pertentangan; dan (3) majas pertautan. Metafora dianggap sebagai subkategori majas perbandingan. Bagan di bawah ini menjelaskan kategorisasi metafora tersebut.


(48)

Bagan 2: Pembagian Majas dalam Bahasa Indonesia

Dari Gambar 2 diperoleh keterangan bahwa pembagian setiap majas dapat dijelaskan susunannya: (1) majas perbandingan meliputi (a) perumpamaan, (b) metafora, dan (c) personifikasi; (2) majas pertentangan meliputi (a) hiperbola, (b) litotes, dan (c) ironi; (3) majas pertautan meliputi (a) metonimia, (b) sinekdoke, (c) kilatan, dan (c) eufimisme.

Dari uraian di atas dapat dilihat kedudukan metafora bukan sebagai payung untuk semua sugkategori majas, melainkan sebagai subbagian majas perbandingan yang sejajar dengan simile dan personifikasi. Oleh karenanya, apabila dikaitkan dengan penelitian yang akan dilakukan ini, yaitu metafora BMDP, maka gagasan Moeliono tidak dapat diterapkan. Unsur yang bersesuaian dengan penelitian ini terdapat pada aneka struktur perbandingan.

2.3.1.4 Isu Linguistik: Pengajaran Bahasa dan Sastra (Wahab, 1995)

Istilah yang digunakan untuk menandai tuturan metaforis dalam karyanya adalah ungkapan bahasa (ekspresi linguistik). Pengertian metáfora didasarkan atas penelitian bahasa Jawa dengan mengetengahkan definisi sebagai berikut:

MAJAS

1. majas perbandingan 2. majas pertentangan 3. majas pertautan

a. perumpamaan b.metafora c.personifikasi

a.hiperbol b.litotes c. ironi

a.metonimia b.sinekdoke c.kilatan d.eufisme


(49)

“….metaphor is defined as a linguistic expresión which signifies a concept which in its literal meaning it does not signify and which, normally, is signified by some other words or expressions”…. (Wahab, 1986:11, dalam Antara, 2007).

Definisi di atas menggambarkan pengertian bahwa ‘metafora adalah ungkapan bahasa yang menandai sebuah konsep, yang di dalam makna harafiahnya belum menandakan kejelasan secara umum, dan untuk kejelasannya digunakan kata-kata atau dengan ungkapan bahasa yang lain’. Dengan kalimat lain, sebuah konsep yang biasanya diungkap secara lugas dapat dikemukakan dengan menggunakan bahasa metaforis atau penyampaian maksud dilakukan dengan cara tidak langsung atau nonlinier. Selain sebagai alat dalam konteks retorika, metáfora juga terkait dengan konteks budaya dan diistilahkan dengan bahasa bermakna nonlinier Wahab, 1995:54—46 (dalam Antara, 2007).

Dalam menganalisis bahasa Jawa konsep yang digunakan Wahab adalah konsep struktur kebahasaan yang digagas oleh Miller (1979:323—330). Dalam penjelasannya, metáfora dibedakan menjadi: (1) struktur metáfora, (2) susunan kategori ruang persepsi untuk menyusun metáfora berdasarkan konsep Haley, dan (3) metáfora sebagai ungkapan bahasa yang nonlinier. Struktur metáfora sendiri dibedakan menjadi empat bagian; (a) metafora nominatif subjektif (MNS), (b) metáfora nominatif objektif (MNO), (3) metáfora predikatif (MP), dan metáfora kalimat (MK) (Wahab, 1986; 1995: 2998).


(50)

2.3.2 Kajian Hasil Penelitian Terdahulu (Tesis)

2.3.2.1 Metafora dalam Surat Keputusan (Rahmah, 2002)

Dalam judul tesis di atas, Rahmah (2002) menelaah metafora dalam Surat Keputusan (SK) yang terdiri atas SK Pemerintah dan Non-pemerintah. Landasan teori yang digunakan dalam analisisnya adalah teori Linguistik Fungsional Sistemik (LFS) yang dikembangkan oleeh Halliday. Fokus utamanya adalah pada tataran gramatika khususnya metafora gramatikal yang terdapat pada kedua jenis SK tersebut di atas. Yang dimaksudkan dengan metafora gramatika di sini adalah berupa fenomena bahasa yang menghadirkan realisasi tidak lazim dalam mengungkapkan pengalaman nyata. Atau dengan kalimat lain, makna bahasa yang direalisasikan dengan pilihan leksikogramatika tidak lazim.

Metafora dalam kajian ini dibedakan atas beberapa jenis. Di antaranya adalah (1) metafora ideasional, termasuk di dalamnya metafora logis dan eksperiensial (metafora pemaparan pengalaman), (2) metafora antar persona (metafora pertukaran pengalaman), dan (3) metafora tekstual (metafora pengorganisasian pengalaman).

Dengan menggunakan teknik sampling non-random (teknik sampling kebetulan – accidental sampling) diperoleh 15 buah SK dari lembaga pemerintah dan 15 buah SK dari lembaga non-pemerintah. Analisis metafora gramatikal dari ketigapuluh SK yang diteliti, diperoleh hasil sebagai berikut.

(6) Tipe metafora gramatika yang terdapat dalam SK pemerintah dan non-pemerintah meliputi metafora pemaparan yang terdiri atas relokasi peringkat dan proses, kemudian metafora pertukaran pengalaman terdiri


(51)

atas metafora vokatif, metafora modus, dan metafora modalitas serta metafora pengorganisasian pengalaman terdiri atas metafora rujukan, metafora konjungsi dan tematisasi.

(7) Tipe metafora gramatikal yang dominan digunakan pada SK pemerintah dan non-pemerintah adalah metafora pengorganisasian pengalaman tekstual.

(8) Dari bandingan kedua jenis SK itu, ditemukan bahwa SK pemerintas mengimplikasikan birokrasi yang secara tidak langsung merefleksikan kekuasaan dan jarak. Sementara SK non-pemerintah memberi implikasi keterbukaan, bebas, dan tidak kaku dengan peraturan dan memperhatikan persamaan hak dan solidaritas.

(9) Dari temuan 1,2,3 di atas disimpulkan bahwa pembuatan SK pemerintah dipengaruhi oleh sistem kolonial yang membedakan adanya jarak antara atasan – bawahan.

Kontribusi yang diperoleh dari tesis ini berkaitan dengan analisis metafora yang akan dilakukan dalam tesis ini adalah berupa gambaran bahwa metafora dapat dikaji dan dianalisis dengan berbagai teori. Hal ini menunjukkan bahwa teori yang digunakan oleh Rahmah tidak berkaitan sama sekali dengan penelitian yang akan dilakukan ini.

2.3.2.2 Metafora dalam Teks Keuangan dan Perbankan: Suatu Kajian Teks Surat Kabar Medan Bisnis (Ermyna Seri, 2005)

Dalam tesisnya, Seri (2005) menggunakan teori relevansi dan teori interpretasi. Teori relevansi pertama sekali digagas oleh Sperber dan Wilson


(52)

(1986) dan dikembangkan oleh Goalty (1997). Tujuan utama teori ini adalah untuk menganalisis hubungan antar makna yang digunakan penutur berdasarkan interpretasi konsep tentang realitas menurut keinginan, pengalaman, dan pikiran penutur.

Pemahaman metafora dalam interpretasi teks, menurut teori ini, bergantung pada proses mental dan sumber pengetahuan. Dalam menginterpretasi teks ada tiga sumber pengetahuan yang harus dimiliki penutur, yaitu (1) pengetahuan tentang sistem bahasa, (2) pengetahuan tentang konteks: situasi dan ko-teks yang diperoleh dari teks yang menyertai proposisi berdasarkan situasional, dan (3) latar belakang skematik pengetahuan: bersifat faktual yang ada di sekeliling kita, dan berdasarkan atas bahasa yang dipakai masyarakat dengan mempertimbangkan faktor sosial budaya.

Dari penelitian itu dihasilkan interpretasi metafora terbagi atas tiga kategori yaitu (1) berdasarkan substitusi, (2) interaksi, dan (3) perbandingan. Kategori berdasarkan substitusi diperoleh dari hasil analisis wahana yang dapat disubstitusikan berdasarkan makna yang terdapat di dalam kamus. Kategori berdasarkan interaksi diperoleh dari hasil analisis wahana dan topik. Wahana dikiaskan seperti topik sehingga ada hubungan atau relevansi antara fitur-fitur yang terdapat di dalam wahana dan topik. Kategori perbandingan diperoleh dari hasil antara wahana dan topik dengan mempertimbangkan fitur-fitur yang terdapat di dalam wahana dan topik, sehingga diperoleh persamaan fitur. Kemudian, dengan menggunakan metode dekriptif dengan sumber data yang berasal dari teks Keuangan dan Perbankan yang terbit di antara 1 November 2004 sampai dengan


(53)

28 Pebruari 2005 diperoleh hasil penelitian sebagai berikut. Dari ketiga kategori interpretasi metafora menunjukkan bahwa frekuensi pemakaian metafora berdasarkan kategori substitusi merupakan pemakaian metafora yang paling dominan yakni sebesar 44%. Sementara kategori interaksi dan kategori perbandingan masing-masing 41% dan 15%.

Kontribusi yang dapat dijadikan bahan acuan terkait dengan penelitian yang akan dilakukan ini adalah sama dengan penelitian pertama di atas, yaitu adanya perbedaan teori dan pendekatan yang digunakan. Dengan kalimat lain dapat dikatakan bahwa perbedaan teori dan pendekatan perlu untuk diutarakan mengingat perlunya adanya ketegasan dalam menentukan penelitian. Di samping itu juga untuk menghindari kesimpangsiuran pendapat.


(54)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.6 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.6.1 Lokasi Penelitian

Sesuai dengan judul dalam tesis ini bahwa lokasi yang dipilih adalah Kelurahan Banjai Kecamatan Medan Denai Kota Medan khususnya Lingkungan 20. Dipilihnya lokasi penelitian ini dikarenakan tiga hal. Pertama, lokasi penelitian dikenal dengan lokasi yang padat huni oleh masyarakat penutur BMDP (total populasi 51034 jiwa (masyarakat penutur BMDP = 11377 jiwa (22,28%) – sensus 2009). Karena populasi penutur BMDP yang padat di wilayah ini kemudian lokasi penelitian tersebut dikenal dengan kampung Padang. Kedua, masyarakat penutur BMDP dikenal taat dalam menggunakan bahasa ibunya meskipun sudah lama merantau. Ketiga, peneliti berdomisili di wilayah ini sehingga mengetahui fenomena penggunaan metafora di kalangan penutur bahasa tersebut. (lihat Peta Lokasi pada Lampiran 1).

3.6.2 Waktu Penelitian

Waktu penelitian dilakukan selama dua bulan, dimulai dengan pengamatan sepintas berkaitan dengan penyusunan proposal tesis ini (Desember 2009). Kemudian setelah disetujui proposal ini melalui ujian seminar proposal maka penelitian yang sebenarnya dilakukan selama dua bulan yaitu bulan Februari dan Maret 2010.


(55)

3.7 Pendekatan dan Metode Penelitian 3.7.1 Pendekatan Penelitian

Penelitian tentang metafora bahasa Minang Dialek Pariaman oleh penutur Minang yang berdomisili di wilayah penelitian (di Kelurahan Banjai Kecamatan Medan Denai Kota Medan) didasarkan pada teori linguistik. Kridalaksana (1993:130) mengatakan bahwa bidang penelitian bahasa dilakukan untuk mendapatkan kaidah-kaidah yang berlaku dalam bahasa manusia pada umumnya. Teori linguistik digunakan untuk menganalisis perihal bentuk, fungsi, dan makna metafora BMDP oleh penutur Minang yang berdomisili di wilayah penelitian (di Kelurahan Banjai Kecamatan Medan Denai Kota Medan) disesuaikan dengan penerapannya. Penerapan yang dimaksudkan di sini adalah penerapan linguistik struktural, pengertian morfologi secara umum, fungsi sintaksis, komponen konstituen, fungsi bahasa, dan semantik struktural, kelas kata, yang secara keseluruhan dihubungkan dengan kegiatan dalam menganalisis metafora BMDP dimaksud.

Van Dijk (dalam Ching, ed. 1980:120—121) memberikan arahan mengenai kondisi kerja penelitian metafora. Pelaksanaan penelitian metafora dapat dirinci sebagai berikut:

1) Semua tuturan berupa kalimat metafora yang diperoleh di lapangan dikumpulkan sebagai data untuk dianalisis.

2) Tidak semua temuan data kalimat yang digunakan penutur dapat diklasifikasikan sebagai bentuk metafora, tetapi dipilah daan diklasifikasikan sesuai dengan tujuan analisis.


(56)

3) Data kalimat metafora harus tetap memperhatikan situasi konteksnya. 4) Tuturan kalimat diinterpretasikan sebagai tuturan yang bermakna

metaforis.

5) Setiap data metafora diinterpretasikan sesuai dengan konteksnya, bukan dengan konteks yang lain.

6) Penerjemahan bahasa sumber (BS) yang bermakna metaforis ke bahasa target (BT) mempunyai makna yang tetap sama.

Ciri-ciri kalimat metaforis tidak hanya bergantung pada pengertian makna yang tersirat di dalamkalimat (intension), tetapi bergantung pada unsur luar (ekstension), antara lain, maksud tutura

3.7.2 Metode Penelitian

Penelitian metafora BMDP ini dapat dikategorisasikan pada jenis penelitian kualitatif sehingga dari proses pelaksanaan penelitiannya diperoleh hasil yang sesuai dengan perencanaan penerapan metode kualitatif (Aminnuddin, ed., 1990:12—13). Data dalam penelitian jenis ini bersifat soft data yang kaya dengan deskripsi, memperhatikan tempat dan uraian percakapan yang terjadi, sehingga tidak mudah dilakukan dengan prosedur statistik.

Moleong (1989:3) menyebutkan bahwa penelitian kualitatif dapat juga berupa pengamatan langsung oleh manusia di lingkungan hidup mereka yang nyata. Sumarsono dan Paina (1999:9—10) menambahkan perolehan data yang dilakukan dan dikumpulkan melalui kontak atau juga dilakukan pengamatan secara terus menerus dengan orang-orang di dalam konteks berbahasa yang


(57)

bersifat alami dalam waktu yang lama. Penelitian kualitatif pada umumnya mengumpulkan data bahasa yang bersifat apa adanya. Semi (1993:24—27) menyebutnya bersifat ilmiah.

Berkaitan dengan laporan hasil penelitian, Moloeng (1989:14—16) menyatakan laporan hasil penelitian kualitatif pada umumnya menggunakan untaian kata-kata secara rinci yang diistilahkan deskriptif naratif. Alwi (1990:16) menambahkan bahwa analisis data dilakukan dengan bentuk deskripsi fenomena, bukan berupa angka-angka atau koefisien tentang hubungan antara variabel atau tidak berupa gambar. Hasil peneltian kualitatif dilengkapi dengan kutipan-kutipan dari kumpulan data untuk memberikan ilustrasi dan mengisi materi laporan.

Sudaryanto (1992:24—25) menjelaskan bahwa pelaksanaan penelitian meliputi dua hal, yakni metode dan teknik, yang masing-masing dilengkapi dengaan langkah kerja. Data metafora BMDP lisan harus diperoleh di lapangan melalui mendengarkan dan mencatat pembicaraan atau dialog seseorang dengan orang lain. Catatan data yang telang diperoleh dan dikumpulkan kemudian datanya dipilih kembali sesuai dengan analisis permasalahan. Data metafora BMDP dapat dikatakan sifatnya seperti potret atau paparan apa adanya. Hal itu berarti penekanan hasil penelitian untuk menganalisis bentuk, fungsi, dan makna metafora BMDP merujuk bagaimana cara memandang atau melihat temuan data dan tidak mempertimbangkan benar atau kurang tepat sebagai ciri utamanya.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penelitian ini. (1) bagaimana menentukan jenis penelitian BMDP ini. (2) bagaimana menentukan jenis data dan sumber data. (3) metode dan teknik apa yang digunakan untuk


(58)

mengumpulkan data, (4) bagaimana menentukan metode dan teknik untuk menganalisis data, (5) bagaimana teknik menyajikan hasil laporan penelitian, dan (6) bagaimana mengemukkan simpulan akhir.

Pengumpulan data dilakukan dengan cara merekam atau mencatat kembali apa apa yang diucapkan penutur. Maksudnya adalah, ujaran tutur derekam dengan menggunakan daya dengar dari yang diucapkan sumber data sehingga tuturan tersebut dilanjutkan dengan mencatat sebagai data penelitian.

Pelaksanaan metode observasi meliputi metode obsevasi langsung (participant obeservation), yang dilaksanakan dengan teknik rekam dan tulis. Dalam pengamatan terbuka yang akan dilakukan adalah (mengingat penulis sendiri adalah penutur BMDP yang tingal di lingkungan terseut) berbaur dengan responden sasaran untuk menggali lebih dalam. Dalam kondisi itu, data akan diperoleh secara langsung dan dapat dikategorikan mudah dilakukan. Pada saat wawancara dengan responden yang akan dilakukan adalah dengan cara open-ended interviewing atau indepth interview artinya peneliti akan aktif mengadakan wawancara dan bahkab mengdakan triangulasi dengan sumber data. Penggunaan metode ini dilakukan dengan wawancara bebas dan tidak mengikat dengan tujuan untuk menambah kesahihan data.

Metode introspeksi—refleksi juga dilakukan dengan tujuan untuk menunjang perolehan pengujian perolehan data agar sahih dan benar. Dengan metode ini diharapkan peneliti akan mampu mengadakan pengevaluasian kembali tentang data-data yang telah diperoleh, proses penganalisisan, dan hasil-hasil data metafora yang telah dicapai. Teori pancingan ditujukan pada beberapa sumber


(59)

data tanpa mengikat. Tujuannya adalah agar data yang diperoleh menjadi lebih lengkap dan mengena sasaran, yang dalam pelaksanaannya tetap memperhitungkan keaslian perolehan data di lapangan.

3.8 Data dan Sumber Data 3.8.1 Data Penelitian

Jenis data penelitian metafora ini adalah data primer, yaitu data metafora BMDP yang dalam bentuk lisan yang diperoleh dari wawancara percakapan lisan penutur secara langsung dan alami, jadi bukan berupa data sekunder seperti yang terdapat dalam bentuk teks tulis. Data primer ini yang kemudian dipilah-pilah sebagai bahan analisis penelitian disesuaikan dengan analisis bentuk, fungsi, dan makna. Dalam kegiatan memproses analisis data kemungkinan sebuah data tertentu digunakan kembali pada bentuk, fungsi, atau makna metafora.

Data dalam penelitian ini diperoleh dari penggunaan bahasa sehari-hari oleh penutur masyarakat Minang yang berdomisili di lokasi yang disebutkan sebelumnya yang melibatkan banyak orang atau minimal dua orang. Jumlah data yang ingin diperoleh tidak ditentukan kriterianya, tetapi lebih dari pada didasarkan atas pengumpulan data secara acak yang disesuaikan dengan keperluan peneliti. Pengumpulan data dianggap selesai ketika data metafora yang diinginkan telah memenuhi sarat untuk dianalisis. Dari hasil seleksi seluruh percakapan yang didapatkan di lapangan, diperoleh data metafora sebanyak 34 buah metafora yang kemudian metafora tersebut dikelompokkan berdasarkan bentuknya.


(60)

3.8.2 Sumber Data

Populasi penelitian ini adalah masyarakat Minangkabau yang berdomisili di wilayah penelitian yang disasar yaitu di Lingkungan 20 Kelurahan Banjai Kecamatan Medan Denai Kota Medan. Ditentukannya Lingkungan 20 berdasarkan atas kepadatan populasi masyarakat penutur BMDP dibanding lingkungan lain di kecamatan itu. Informan ditentukan secara acak selama masih berdomisili di lingkungan yang dimaksud. Dengan cara mendatangi secara langsung lokasi penelitian dan bersifat aksidental, rajin menyimak, mendengar, dan mencatat serta mengamati situasi peristiwa tutur.

3.9 Analisis Data

Sudaryanto (1992:24—25) menyatakan bahwa cara kerja metode penelitian meliputi dua hal, yaitu prosedur dan teknik, yang dilengkapi dengan tahapan. Langkah awal yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menganalisis data, yang dianggap bersifat seperti potret atau paparan apa adanya. Hal itu berarti penekanan analisis bentuk, fungsi daan makna data metafora BMDP bertumpu pada cara memandang temuan data metafora BMDP sebagai ciri utamanya dan tidak mempertimbangkan benar atasu salah struktur bahasanya.

Langkah kedua adalah bahwa data yang telah diperoleh selanjutnya dicatat dalam bentuk kartu. Teknik pencatatan data dilakukan dengan sistem penulisan data yang pola kerjanya seperti sistem pengkartuan berupa (1) sistem catatan pinggir dan (2) sistem catatan refleksi (Miles & Huberman, 1992:108).

Penganalisisan data metafora yang telah dicatat di lokasi penelitian kemudian dilakukan dengan beberapa langkah kerja. Langkah kerja menganalisis


(61)

dilakukan dengan teknik (1) memilih dan menentukan data penelitian yang sesuai dari sejumlah data yang sudah dikumpulkan untuk dijadikan objek penelitian, (2) menentukan jumlah data metafora BMDP untuk dianalisis, (3) mentranskripsikan data, (4) menerjemahkan BS ke BT secara harafiah, (5) menemukan identifikasi fitur simbol lingual metafora BMDP yang dijadikan pembanding (Pb) metafora, (6) menentukan data metafora untuk bahan analisisnya, data manakah untuk analisis bentuk, fungsi, dan makna, (7) menganalisis data sesuai dengan tujuan, serta (8) menyimpulkan hasil temuan. Bilamana jumlah data sumber terbatas dimungkinkan sebuah data digunakan sebagai objek pada dua analisis, baik pada bentuk, fungsi, dan makna maupun untuk analisis makna.

3.10 Pemeriksaan dan Pengecekan Keabsahan Data

Data mentah berupa hasil perekaman percakapan bebas oleh penutur BMDP, pencatatan, dan wawancara langsung akan diperiksa untuk menentukan kebenaran data. Data tersebut diklasifikasi sesuai dengan jenisnya agar memudahkan penulis dalam menganalisisnya. Keabsahan data juga akan dicek ulang agar keabsahannya tidak diragukan lagi. Dengan cara pemeriksaan dan pengecekan keabsahan data dengan seksama dan ilmiah maka hasil penelitian yang dilakukan ini akan memperoleh hasil penelitian yang memenuhi klasifikasi standard ilmiah.

Dari uraian kerangka teori dan metodologi penelitian di atas, dapat dibuat ancangan kerangka kerja analisis penelitian dan pelaksanaannya yang digambarkan sebagai berikut:


(62)

1. Teori Terjemahan 2. Teori morfologi

(morfem) (kategori) 3. Teori sintaksis (komponen konstituen) 4. Teori komparasi 5. Teori fungsi Bahasa 6. Teori makna asosiasi

Bagan 3: Penerapan Metode Penelitian (Teori Ekletik)

MENERJEMAHKAN Tuturan MBMDP dari BS ke BT

secara harafiah

BENTUK METAFORA

Struktur membangun Metafora atas unsur morfologi

Struktur kalimat metafora BMDP

Penentuan pola metafora BMDP

Klasifikasi kategori nomina sebagai Tb dan Pb dalam perbandingan A:B

Penentuan metafora BMDP berdasarkan fungsinya FUNGSI METAFORA

MAKNA METAFORA

Menentukan makna symbol (penanda) metafora BMDP Menentukan maksud tuturan

metafora BMDP TEORI


(63)

BAB IV

TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Temuan Penelitian

Setelah data terkumpul dan dianalisis, ditemukan bentuk struktur, fungsi dan makna yang tersirat di dalam metafora BMDP pada masyarakat Kelurahan Banjai Kecamatan Medan Denai Kota Medan.

Analisis bentuk struktur metafora BMDP pada masyarakat Kelurahan Banjai Kecamatan Medan Denai Kota Medan ini terdiri atas dua bagian, yaitu analisis secara morfologis dan sintaksis. Analisis morfologis tuturan BMDP menandai bentuk metafora BMDP yang menekankan unsur – unsur leksikal dan nonleksikal. Berdasarkan fungsi sintaksis, kalimat BMDP terdiri atas Subjek dan Predikat atau frasa nomina dan frasa verba.

Seperti yang dipaparkan pada subbab 3.5, yakni berkaitan dengan teori dan metodologi yang digunakan dalam analisis, untuk mendapatkan hasil penelitian metafora yang dikaitkan dengan bentuk diperlukan dua teori, yaitu (1) teori morfologi untuk melihat morfem dan kategorisasi yang membentuk metafora, (2) teori sintaksi untuk melihat komponen konstituen dalam pembentukan metafora. Kedua teori ini yang bertanggung jawab dalam menelisik dan mengurai struktur bahasa: struktur yang membangun metafora atas unsur morfologi dan struktur kalimat metafora BMDP.

Proses analisis bentuk ini mengedepankan cara kerjanya secara induktif. Yang dimaksud dengan induktif di sini adalah berupa metode pemikiran yang berangkat dari peristiwa tertentu untuk menentukan kaidah umum berdasarkan


(64)

keadaan-keasaan tertentu untuk dapat diperlakukan secara umum. Cara kerja induktif berkaitan dengan metafora BMDP adalah berupa metode untuk menganalisis fenomena kebahasaan dan hal-hal lain yang bersifat khusus untuk dijadikan ketentuan umum.

Konsep dan teori relevan yang dimaksud berupa teori ekletik, khususnya mengacu pada teori linguistik struktural yaitu Kridalaksana (1988:130) menyebutnya sebagai ’pendekatan dalam penyelidikan bahasa yang menganggap bahasa sebagai sistem yang bebas’.

Masalah pertama penelitian tesis ini adalah mengenai bentuk-bentuk metafora dalam BMDP pada masyarakat Minangkabau di Kelurahan Banjai Kecamatan Medan Denai Kota Medan. Bentuk metafora yang dimaksudkan dalam tesis ini adalah (1) bentuk morfologi yang terdiri atas morfem bebas dan morfem terikat. Pengertian morfem dalam hal ini mengikuti pendapat yang dikemukakan Bloomfield (1970) adalah satuan bahasa terkecil yang memiliki makna secara relatif stabil dan tidak dapat dibagi menjadi bagian makna yang lebih kecil lagi. Analisis bentuk ini didasari oleh teori linguistik struktural. Kridalaksana (1988:130) menyebutkan bahwa teori linguistik struktural berupa pendekatan dalam penyelidikan bahasa yang menganggap bahasa sebagai sistem yang bebas.

4.1.1 Terjemahan Tuturan Metafora BMDP secara Harafiah

Tabel 1 di bawah ini memberikan kejelasan terjemahan secara harafiah tuturan BMDP sebagai bahasa sumber (BS) ke dalam bahasa Indonesia sebagai


(65)

bahasa target (BT). Terjemahan dimaksud sangatlah dibutuhkan untuk mengetahui

format struktur BS yang sebenarnya.

Tabel 1 : Terjemahan Tuturan Metafora BMDP secara Harafiah

No. BMDP (BS) BI (BT)

1. Satalah bapisah Upiak bak ayam lapeh malam.

Setelah berpisah Upik seperti ayam lepas malam.

2. Sa urang kapalo keluargo handaknyo tageh, jan bak kabau dicucuak iduangnyo.

Seorang kepala keluarga hendaknya tegas, jangan seperti kerbau dicucuk hidungnya.

3. Mak Atek bak manggadangkan anak ula.

Ibu Atek seperti membesarkan anak ular.

4. Makonyo, janganlah awak bak tapijak baro angek.

Makanya, janganlah kami seperti terpijak bara panas.

5. Hidupnyo bak bagantuang di aka lapuak.

Hidupnya seperti bergantung di akar lapuk.

6. Manantu mak Tageh yo bana-bana bak gadih julong basubang.

Menantu mak Tageh benar-benar seperti gadis baru bersubang..

7. Baralek maundang orgen tunggal, atau ingin bahonda nan bak urang balaia sawah salupak.

Pesta mengundang orgen tunggal, atau ingin berhonda seperti orang berlayar disawah yang sepetak.

8. Alasan bacari-cari bak pipi ditembak jo mariam nan parahnyo.

Alasan becari-cari seperti Pipi ditembak dengan meriam.

9. Cepat-epat meneken surat biar mendapek.

Cepat—cepat menekan surat biar mendapat.

10. Nampak suka tarisaram-siram yo mak...

Nampak suka tersiram-siram ya mak...


(66)

baitu sajo mambuliak pintu pagang gadai yo mak.

begitu saja membuka pintu pegadaian ya mak.

12. ....pintu gawat darurat, nan hanyo dipakai dima tasasak, bukan jalan umum malenggang panjang.

....pintu pintu darurat yang hanya dipakai dimana tersesak, bukan jalan umum melenggang panjang.

13. Nyo dijua indak dimakan balik digadai indak dimakan sando kan baitu mak?

Dia dijual tidak dimakan balik digadai tidak dimakan sandera.

14. Musti bapikia realistis. Basiang ateh tumbuah, batimbang ateh nan lalu liek sikonnyo.

Musti berpikir realistis. Besiang di atas tumbuh, bertimbang atas yang lalu lihat sikonnya

15. Pagang gadai disilang ampek nagari ko.

Penggadaian disilang empat di negeri ini.

16. Sadangkan papatah lain nan babunyi “sakalia aie gadang, sakali tapian berubah”

sedangkan pepatah lain yang berbunyi “sekali air besar, sekali tepian berubah”

17. Nan sakan-akan adat barat batu nan tak dipengaruhi cuaca.

Yang akan adat ibarat batu yang tak dipengaruhi cuaca.

18. Kalau inyo dipanggang kemudian disiram mako batu akan pacah.

Kalau dia dipanggang kemudian disiram maka batu akan pecah

19. Inyo basutan di atinyo, inyo barajo di matonyo inilah ulah anak samato-mato yang dimanjo.

Dia bersutan di hatinya, dia beraja di matanya inilah tingkah anak semata-mata yang dimanja.

20. Bulu baraso sogo jantan, si upiak batuka roman baitulah panilaian ninik mamaknyo.

Bulu terasa saga jantan, si upik bertukar wajah begitulah penilaian ninik mamaknya.

21. Anak kanduang Kulindan Suto, ambo disuruah tuan muda maminjam suri, inyo kapai kabalai.

Anak kandung Kulindan Suto, saya disuruh tuan muda meminjam istri, akan pergi ke kota.

22. Kamanampuah gulanggang rami

muluik manih kucindan murah, baso elok paroman jumbang pacikkan panggaja ibu, latakkan di dalam hati.

Kalau mau menempuh gelanggang ramai mulut manis, basa-basi ramah, bahasa baik peganglah pesan ibu, camkan dalam hati.


(1)

indak dimakan sando kan baitu mak? tidak dimakan sandera. 14. Musti bapikia realistis. Basiang ateh

tumbuah, batimbang ateh nan lalu liek sikonnyo.

Musti berpikir realistis. Besiang di atas tumbuh, bertimbang atas yang lalu lihat sikonnya

15. Pagang gadai disilang ampek nagari ko.

Penggadaian disilang empat di negeri ini.

16. Sadangkan papatah lain nan babunyi “sakalia aie gadang, sakali tapian berubah”

sedangkan pepatah lain yang berbunyi “sekali air besar, sekali tepian berubah”

17. Nan sakan-akan adat barat batu nan tak dipengaruhi cuaca.

Yang akan adat ibarat batu yang tak dipengaruhi cuaca.

18. Kalau inyo dipanggang kemudian disiram mako batu akan pacah.

Kalau dia dipanggang kemudian disiram maka batu akan pecah

19. Inyo basutan di atinyo, inyo barajo di matonyo inilah ulah anak samato-mato yang dimanjo.

Dia bersutan di hatinya, dia beraja di matanya inilah tingkah anak semata-mata yang dimanja.

20. Bulu baraso sogo jantan, si upiak batuka roman baitulah panilaian ninik mamaknyo.

Bulu terasa saga jantan, si upik bertukar wajah begitulah penilaian ninik mamaknya.

21. Anak kanduang Kulindan Suto, ambo disuruah tuan muda maminjam suri, inyo kapai kabalai.

Anak kandung Kulindan Suto, saya disuruh tuan muda meminjam istri, akan pergi ke kota.

22. Kamanampuah gulanggang rami muluik manih kucindan murah, baso elok paroman jumbang pacikkan panggaja ibu, latakkan di dalam hati.

Kalau mau menempuh gelanggang ramai mulut manis, basa-basi ramah, bahasa baik peganglah pesan ibu, camkan dalam hati.

23. ampu lauik ampu laut

24. hiduang tajam hidung tajam 25. suaro tarang suara terang 26. daging panjek daging panjat

27. baruak bagak beruk bagak


(2)

30. putri malam putri malam

31. aka banyak akar banyak

32. Tapi sungguahpun baitu jaan

malakak kuciang di dapur, manahan jerek di pintu.

Tapi sungguhpun begitu jangan memukul kucing di dapur, menahan jerat di pintu

33. Itu nan batua mak... sasuai jo hukum yang lah ado dikambalikan ke nan asal bak jungguik pulang ka duguik.

Itu yang benar mak... sesuai dengan hukum yang telah ada dikembalikan ke asal seperti jenggot pulang ke dagu

34. Dek anggaran lah tasisip tapakso aset dilego

Karena anggaran sudah tersisip terpaksa aset dijual murah’


(3)

(4)

Lampiran 6 : Data Informan

1. Nama : Herman Piliang Umur : 46 tahun

Pekerjaan : Wiraswasta

Alamat : Jl.bromo,Lrg. Mujur 34 Medan 2. Nama : Suniarti Chaniago

Umur : 38 tahun Pekerjaan : Pegawai

Alamat : Jl. Bromo, Gg. Pukat 86 Medan 3. Nama : Rusman Piliang

Umur : 47 tahun Pekerjaan : wiraswasta

Alamat : Jl. Bromo, Dg. Pukat 82 Medan 4. Nama : Eka Sari

Umur : 47 tahun

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Alamat : Jl. Bromo, Gg. Pukat 84 Medan 5. Nama : Muli Chaniago

Umur : 60 tahun Pekerjaan : Pensiun

Alamat : Jl. Bromo, Lrg, Mujur 34 tahun 6. Nama : Kahafiz Koto

Umur : 60 tahun Pekerjaan : wiraswasta

Alamat : Jl. Bromo, Lrg, Mujur 34 Medan 7. Nama : Herman Piliang

Umur : 46 tahun Pekerjaan : wiraswasta

Alamat : Jl. Bromo, Lrg, Mujur 34 Medan 8. Nama : Sharil Koto

Umur : 46 tahun Pekerjaan : wiraswasta


(5)

9. Nama : Yunita Chaniago Umur : 37 tahun

Pekerjaan : wiraswasta

Alamat : Jl. Bromo Gg. Aman No. 53 Medan 10. Nama : Edaningsih Koto

Umur : 53 tahun

Pekerjaan : Ibu rumahtangga

Alamat : Jl. Bromo Ujung Gg. Satia 54 Medan 11. Nama : Nurlia Jambak

Umur : 35 tahun Pekerjaan : Ibu RT

Alamat : Jl. Pancasila 233 Medan 12. Nama : Samsina Sikumbang

Umur : 54 tahun Pekerjaan : Pedagang

Alamat : Jl. Bromo, Gg. Tarimo 10 Medan 13. Nama : Herman

Umur : 48 tahun Pekerjaan : wiraswasta

Alamat : Jl. Bromo, Gg. M. Sakato 3 Medan 14. Nama : Kasmir Siminsinang

Umur : 58 tahun Pekerjaan : Pedagang

Alamat : Jl. Bromo, Gg. M. Sakato 14 Medan 15. Nama : Erwin Tanjung

Umur : 54 tahun Pekerjaan : Pedagang

Alamat : Jl. Rawa Cangkuk III Medan 16. Nama : Rubiah Melayu

Umur : 63 tahun

Pekerjaan : Ibu rumahtangga Alamat : Jl. Bromo 325 Medan 17. Nama : Amanda chaniago

Umur : 37 tahun Pekerjaan : wiraswasta Alamat : Jl. Bromo, 302 Medan


(6)

18. Nama : Surya Sikumbang Umur : 43 tahun

Pekerjaan : wiraswasta

Alamat : Jl. Pancasila 235 Medan 19. Nama : Muthia Koto

Umur : 50 tahun Pekerjaan : wiraswasta

Alamat : Jl. Pancasila 240 Medan 20. Nama : Rina Chaniago

Umur : 35 tahun Pekerjaan : wiraswasta

Alamat : Jl. Bromo, Gg. Tarimo 4 Medan 21. Nama : Tina Tanjung

Umur : 32 tahun

Pekerjaan : ibu rumahtangga

Alamat : Jl. Bromo Ujung Gg. Satia 60 Medan 22. Nama : Desi Jambak

Umur : 45 tahun

Pekerjaan : ibu rumahtangga Alamat : Jl. Pancasila 5 Medan 23. Nama : Atun Piliang

Umur : 25 tahun Pekerjaan : Pedagang

Alamat : Jl. Pancasila 240 Medan 24. Nama : Etis Chaniago

Umur : 35 tahun Pekerjaan : Pedagang

Alamat : Jl. Bromo, Gg. Ozon 38 Medan 25. Nama : Imam Tanjung

Umur : 45 tahun Pekerjaan : wiraswasta

Alamat : Jl. Bromo, Lrg. Mujur 34 Medan 26. Nama : Neni Piliang

Umur : 40 tahun

Pekerjaan : Ibu rumahtangga