Tipologi Tata Kelola Penegakan Sanksi Pelanggaran Peraturan Daerah Di Kabupaten Tabanan dalam perspektif Governance.

(1)

Kode/Nama Bidang Ilmu : 591/Ilmu Politik

LAPORAN AKHIR

HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

TIPOLOGI TATA KELOLA PENEGAKAN SANKSI

PELANGGARAN PERATURAN DAERAH DI KABUPATEN TABANAN

DALAM PERSPEKTIF GOVERNANCE

Tahun ke Satu dari Rencana Satu Tahun

Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan Penelitian PNBP Tahun Anggaran 2015 Nomor : 246-33/UN14.2/PNL.01.03.00/2015 Tanggal 21 April 2015.

KETUA DAN ANGGOTA TIM

Tedi Erviantono, S.IP, M.Si / NIDN. 0002057608

Ni Nyoman Dewi Pascarani, S.S, M.Si / NIDN. 0010108207

I Dewa Ayu Sugiarica Joni, S.Sos, M.A / NIDN. 0017018502

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS UDAYANA


(2)

RINGKASAN

Penelitian ini memetakan model pengelolaan penegakan sanksi peraturan daerah yang dilaksanakan oleh aparatur Satuan Polisi Pamong Praja di Kabupaten Tabanan. Selama ini, kondisi penegakan sanksi atas pelanggaran peraturan daerah cenderung tebang pilih dan meniadakan aspek good governance. Temuan beberapa penelitian menunjukkan aspek penegakan peraturan daerah oleh pemangku kepentingan birokrasi cenderung bias dan memiliki indeks di bawah rata-rata nasional 3,41%. Perolehan indeks ini dikontribusikan dari rendahnya kualitas penegakan peraturan daerah secara nasional yang selama ini jauh dari pertimbangan prinsip tata kelola (governance) terutama keadilan dan efisiensi. Pemasalahan inilah yang akan dieksplorasi dalam penelitian ini. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif yang mengklasfifikasikan tindak penertiban aparat Satuan Polisi Pamong Praja atas pelanggaran peraturan daerah di Kabupaten Tabanan berdasarkan tinjauan parameter governance. Hasil temuan penelitian mengungkapkan bahwa intensitas pelanggaran penegakan Peraturan Daerah di Kabupaten Tabanan yang tertinggi adalah jenis pelanggaran penyelenggaran administrasi kependudukan, yaitu kepemilikan kartu identitas musiman (KIPEM), disusul pelanggaran perjinan usaha. Pada proses pengelolaan pelanggaran ini Badan Kesatuan Polisi Pamongpraja Kabupaten Tabanan menerapkan prinsip governance, khususnya aspek keadilan, akuntabilitas dan transparansi. Pada aspek keadilan tercermin pada penerapan mekanisme penegakan Perda melalui tahapan yang diberlakukan sama atas semua jenis pelanggaran. Aspek akuntabilitas teraktualisasi melalui penanganan pelanggaran Peraturan Daerah secara lintas sektor serta monitoring periodik dengan kepala desa. Pelaksanaan aspek transparansi teraktualisasi pada tindakan pelaporan pertanggungjawaban disertai dokumentasi foto penindakan yang dapat diakses publik.


(3)

BAB I PENDAHULUAN

A. Pendahuluan

Hakikat pembuatan peraturan adalah untuk menciptakan keteraturan atau tertib sosial di masyarakat. Begitu pula dengan ide dasar peraturan di level daerah yang disebut sebagai Peraturan Daerah. Peraturan Daerah merupakan muara fungsi legislasi yang dihasilkan

political office, dalam hal ini eksekutif dan legislatif daerah level Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten / Kota.

Setelah Rancangan Peraturan Daerah ditetapkan DPRD bersama Kepala Daerah menjadi Peraturan Daerah maka implementasinya diberlakukan sesuai obyek regulasi bersangkutan. Hanya saja, sebagai konsekuensi produk hukum, saat peraturan daerah diimplementasikan tentu diikuti potensi terjadinya pelanggaran. Mengenai kondisi ini, Zuhro (2013) mencatat sekitar 5054 produk legislasi berupa Perda sepanjang tahun 2009-2012, 930 diantaranya kontra produktif. Tidak hanya memberikan banyak ruang sanksi akibat pasal sarat yang beragam interpretasi (multitafsir), melainkan berpotensi pula merusak iklim investasi di daerah, menyertakan deskriminasi kelompok minoritas berbasis gender maupun agama termasuk Perda yang berujung pembatalan oleh Pemerintah Pusat. Pada konteks ini upaya penegakan Perda yang dihasilkan Pemerintah Daerah cenderung abai atau justru tebang pilih dalam pengenaan sanksinya.

Konsekuensi digulirkannya otonomi daerah memang membawa keleluasaan bagi Pemerintah Daerah dalam menyusun Peraturan Daerah. Kompas (16 Maret 2014) mencatat kurun 2001 hingga 2013 saja Pemerintah Daerah di level Provinsi maupun Kabupaten/Kota telah mampu menyusun 10.285 Perda. Peningkatan secara kuantitatif ini merupakan konsekuensi pergeseran pendulum kekuasaan sentralistik ke arah sistem desentralistik. Meski seringkali tidak selalu inheren dengan kebutuhan masyarakat dan lebih banyak merpresentasikan kepentingan politis, kenaikan kuantitif ini memperlihatkan penyusunan produk legislasi daerah, -- dalam hal ini Peraturan Daerah--, telah menjadi ukuran efektif tidaknya kinerja Pemerintah Daerah.

Hakikat digulirkannya kebijakan desentralisasi oleh Pemerintah Pusat adalah agar terdapatnya ruang bagi para pemangku kepentingan di tingkat daerah untuk berpartisipasi pada proses pembuatan kebijakan maupun pengawasan atas pelanggarannya secara intensif. Hanya saja harapan ini tidak senantiasa inheren terwujud dengan realitas tingkat keberhasilan desentralisasi yang beragam. Hal ini lebih banyak disandarkan pada variasi kualitas tata


(4)

kelola pemerintah maupun kapasitas para pemangku kepentingan di setiap daerah. Kajian Indeks Governance Indonesia (IGI) Tahun 2014 menghasilan temuan aspek penegakan peraturan daerah oleh pemangku kepentingan birokrasi cenderung bias. Temuan IGI (2014) ini menggarisbawahi aspek penegakan peraturan daerah memperoleh indeks di bawah rata-rata nasional 3,41%. Perolehan indeks ini dikontribusikan dari rendahnya kualitas penegakan peraturan daerah secara nasional yang selama ini masih jauh dari pertimbangan prinsip tata kelola (governance) terutama aspek keadilan dan efisiensi.

Penegakan implementasi peraturan daerah masih disandarkan pada pengenaan sanksi atas ragam asumsi yang cenderung multitafsir atas pasal yang ada pada Peraturan Daerah bersangkutan. Satuan Kerja Perangkat Daerah pada perangkat birokrasi yang menjalankan tugas pokok dan fungsi penegakan Peraturan Daerah adalah Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol-PP). Satpol PP pada salah satu bidang tugas utamanya melakukan penertiban Perda bersifat represif non yustisial sehingga pada level organisasi, upaya tugas penegakan Perda dari perangkat daerah ini bisa dikaji mengenai mekanisme penertiban dan pengaduan publik atas sanksi implementasi peraturan daerah tertentu. Studi Zuhro (2013) dan IGI (2014) menegaskan bahwa efektifitas penegakan perda bisa dikaji melalui identifikasi atas pelembagaan pengaduan masyarakat serta laporan kegiatan razia dan penertiban atas Peraturan Daerah tertentu oleh organisasi perangkat daerah pada Pemerintah Daerah bersangkutan.

Hasil yang akan diperoleh dari penelitian ini adalah menguji kualitas Peraturan Daerah yang dikaji melalui tipologi pengelolaan sanksi yang dilaksanakan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol-PP). Derajat kepatuhan obyek atas Peraturan Daerah akan bisa tercermin dari intensitas atau volume pelanggaran yang terjadi sekaligus model pengelolaan yang dilaksanakan oleh aparatur terkait, dalam hal ini Satuan Polisi Pamong Praja.

Tinjauan analisa model pengelolaan disandarkan pada konsep governance mengingat terkait dua aspek penting di dalamnya, terutama aspek keadilan dan transparansi. Studi Indeks Governance Indonesia (2014) mencatat kurun tahun 2012-2014 sekitar 46% upaya penegakan perda di Indonesia abai terhadap prinsip keadilan dan transparansi. Mengingat dalam menjalankan tugasnya Satuan Polisi Pamong Praja cenderung bersifat represif non yustisial maka kondisi ini memicu terjadinya potensi tindak negatif aparatur birokrasi yang kontraproduktif bagi berlangsungnya iklim good governance. Hal ini terlebih apabila pada upaya penegakannya tindakan Satpol PP tanpa disertai dengan Standar Operasional Procedure (SOP), sosialisasi termasuk perimbangan perangkat birokrasi penegakan Perda yang ada.


(5)

Alasan pemilihan penelitian pada penegakan Peraturan Daerah di level pemerintah kabupaten mengingat jenis produk legislasinya lebih beragam di bandingkan pemerintah provinsi. Hal ini tentunya berangkat dari konsekuensi berjalannya otonomi daerah yang diletakkan pada wilayah kabupaten/kota. Sedangkan, pilihan lokasi penelitian di Kabupaten Tabanan dilatarbelakangi alasan kabupaten ini memiliki peraturan daerah yang beragam termasuk kadar kepatuhan (penyikapan) subyek Perda bersangkutan, seperti Rencana Tata Ruang Wilayah, Retribusi Ijin Trayek, Pajak Restoran, Ketertiban Umum, atau Kawasan Tanpa Rokok sehingga tentu memiliki kadar pemahaman berbeda pada obyek peraturan daerah yang dihasilkannya. Selain itu, kabupaten ini memiliki nilai baik untuk evaluasi kinerja penyelenggaraan pemerintah daerah (EKPPD) dalam urusan wajib dan urusan pilihan yang diterbitkan Kementerian Dalam Negeri diantara Kabupaten/Kota yang ada di provinsi Bali, dimana salah satu indikatornya adalah efektifitas kepemimpinan daerah (Kepala Daerah dan DPRD). Berdasarkan atas pertimbangan inilah tentu menarik mengkaji komitmen penegakan peraturan daerah di Kabupaten Tabanan sehingga akan dihasilkan tipologi atau model pengelolaannya ditinjau dari perspektif governance.

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimanakah tipologi tata kelola penegakan sanksi pelanggaran peraturan daerah yang dilaksanakan Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Tabanan dalam perpektif

governance?

2. Dukungan dan hambatan umum apa sajakah yang mempengaruhi tata kelola penegakan sanksi pelanggaran Peraturan Daerah di Kabupaten Tabanan?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui tipologi tata kelola penegakan sanksi pelanggaran peraturan daerah di Kabupaten Tabanan Tahun 2012-2014;

2. Untuk mengetahui bentuk dukungan dan hambatan aparatur birokrasi Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Tabanan dalam upaya penegakan sanksi pelanggaran peraturan daerah ditinjau dari perspektif governance.

D. Manfaat Penelitian


(6)

1. Hasil penelitian ini diharapkan menambah khasanah pengetahuan baru di bidang politik, khususnya memberikan kontribusi pada mata kuliah yang diajarkan di Program Studi Ilmu Politik FISIP Universitas Udayana, yaitu Teori dan Konsep Governance, Proses Legislasi dan Keterwakilan Politik serta mata kuliah Desentralisasi dan Otonomi Daerah (Mata Kuliah Wajib Program Studi Ilmu Politik Semester VI dan IV);

2. Hasil penelitian ini sekaligus dijadikan studi pendukung pengembangan Laboratorium Program Studi Ilmu Politik yang salah satu visinya diproyeksikan bagi pengembangan studi kebijakan, legislasi dan governance di Provinsi Bali.

b. Manfaat Praktis

1. Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan rekomendasi bagi Pemerintah Daerah terkait permodelan / tipologi penegakan sanksi pelanggaran peraturan daerah di level kabupaten/kota ditinjau dari perspektif governance;

2. Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Kabupaten Tabanan terkait tingkat hambatan dan dorongan dalam tugas penegakan sanksi pelanggaran peraturan daerah yang dijalankan Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Tabanan ditinjau dari perspektif governance.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian terkait penegakan sanksi peraturan daerah masih terbatas. Kajian ilmiah mengenai tema ini kebanyakan sebatas bidang kajian administrasi dan hukum. Konteks kajiannya hanya seputar tugas pokok dan fungsi organisasional aparatur penegak peraturan daerah sampai kajian substansi atas pasal-pasal yang memuat sanksi atas peraturan daerah itu sendiri. Tercatat penelitian Andika (2012) dari Prodi Administrasi Negara Universitas Lampung dengan judul Profesionalitas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol-PP) dalam Penegakan Produk Hukum Daerah (Studi Kasus di Kota Bandar Lampung). Pada kajiannya ini, Andika lebih banyak mengupas tentang tupoksi organisasional Satpol PP, dan tidak


(7)

mengaitkan relasi antar arena dalam governance. Pada penelitian ini, Andika menjelaskan kinerja Sapol PP dalam penegakan peraturan daerah dipengaruhi visi misi dan tujuan organisasi.

Penelitian senada dilakukan pula Hasibuan (2013) dari Prodi Ilmu Hukum Universitas Muslim Nusantara dengan judul Peranan Satpol PP dalam Penegakan Peraturan Daerah di Kota Medan. Pada kajiannya ini, Arwin menegaskan tentang kedudukan, pelaksanaan dan faktor penghambat penegakan peraturan daerah. Kedudukan Satuan Polisi Pamong Praja Kota Medan di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Daerah melalui Sekretariat Daerah. Pelaksanaan penegakan peraturan daerah yang dilakukan Satpol PP dilakukan dengan cara melakukan kegiatan operasi teknis lapangan serta penyuluhan masyarakat. Sedangkan hambatannya banyak bersumber pada sisi kelembagaan, sumber daya manusia, jaringan kerja, serta lingkungan.

Kedua penelitian diatas pendekatannya masih sebatas kajian fungsi organisasional dan tidak menggambarkan pola relasi dan interaksi sosial politik dalam usaha penegakan peraturan daerah. Untuk itulah, penelitian ini bersifat baru karena akan lebih mengkaji relasi interaksi politis penegakan peraturan daerah khususnya dalam aspek tata kelola (governance). Kebaruan penelitian ini melengkapi dua penelitian sebelumnya, yaitu Zuhro (2013) dan IGI (2014). Studi Zuhro hanya mendasarkan pada kompilasi perda yang dihimpun secara nasional oleh Kemendagri tanpa disertai tinjauan lapangan. Sedangkan penelitian IGI, studinya lebih difokuskan pada pengelolaan penegakan pelanggaran sanksi Peraturan Daerah di level pemerintah provinsi dimana selain upaya penegakannya tidak menampilkan interaksi langsung dengan arena governance lainnya, kajiannya juga masih sebatas wilayah provinsi di luar Bali.

Mengingat kajian penelitian tentang tata kelola penegakan peraturan daerah dari dimensi politik masih jarang dilakukan, maka penulis menyandarkan kerangka teori maupun konsep berasal dari studi Rhodes (1996) dan Finer (1970) mengenai governance. Mereka menekankan aspek politik pada konteks governance lebih mengarah pada pola kekuasaan yang melaksanakan tata pengaturan baru dalam memerintah. Terdapat otoritas tugas yang diberikan pada orang-orang tertentu untuk menjalankan perintah. Pada saat menjalankan perintah inilah pihak yang diberikan otoritas ini menggunakan cara, metode serta sistem tertentu.

Stoker (1998:24) meletakkan governance dalam kajian teori ilmu politik, dimana tata kelola governance merujuk pada seperangkat institusi dan aktor yang berasal dari dalam maupun luar birokrasi pemerintah. Sesuai konsepsi World Bank (1992) dan UNDP (1997)


(8)

terdapat tiga domain utama dalam governance antara lain arena negara (state), swasta (private sector), dan masyarakat sipil (civil society). Negara pada konteks ini memiliki tugas penting sebagai political office yang eksistensinya lahir dari pilihan rakyat sekaligus pengemban amanat rakyat. Arena ini ditempatkan oleh rakyat untuk menjalankan fungsi pemerintahan di Kabupaten/Kota. Secara spesifik, fungsi fundamentalnya antara lain pembuat kerangka kebijakan yang menjawab kepentingan publik, penganggaran kepemimpinan dan pengawasan pembangunan. Di kabupaten/kota arena ini mencakup eksekutif yang merujuk pada Bupati atau Walikota beserta wakilnya yang memiliki otoritas selevel dengan badan legislatif (DPRD) dalam membuat kerangka kebijakan serta penganggaran di tingkat kabupaten/kota. Bedanya, Bupati/Walikota sebagai pemegang kewenangan eksekutif ditunjukkan oleh kepemimpinanannya di daerah tersebut.

Sedangkan DPRD memiliki hak-hak eksekutif untuk mengawasi proses pembangunan yang dijalankan oleh eksekutif dan birokrasi. Masih pada arena ini terdapat pula birokrasi yang merupakan pelaksana kebijakan yang memiliki peran melayani maupun sebagai jembatan antara pejabat politik dengan masyarakat. Birokrasi mencakup secretariat daerah dan kantor dinas-dinas (SKPD) di tingkat kabupaten/kota. Fungsi yang memiliki tipologi atau permodelan governance adalah pelayanan publik, fungsi sebagai pengumpul pendapatan daerah (revenue collection), fungsi pengaturan ekonomi daerah dan fungsi penegakan daerah.

Arena masyarakat sipil terdiri dari organisasi, asosiasi, yayasan, forum (formal dan informal), serikat buruh, asosiasi professional dan lembaga pendidikanmaupun riset yang bersifat non pemerintah dan non profit. Fungsi utama masyarakat sipil adalah advokasi kebijakan publik dan fungsi pemberdayaan sebagai fungsi yang paling penting. Masyarakat ekonomi mencakup entitas bisnis dan asosiasi yang bertujuan mencari keuntungan (profit). Fungsi utama yang diukur adalah kemampuan mereka dalam melindungi kepentingan bisnis dan memberdayakan ekonomi lokal melaluai kegiatan ekonomi dan produksi mereka.

Arena dan Fungsi Governance

Arena Fungsi

Negara - Kerangka Kebijakan - Penganggaran - Kepemimpinan

- Pengawasan Pembangunan - Pengumpul Pendapatan Daerah - Pelayanan Publik

- Pengaturan Kegiatan Ekonomi - Penegakan Peraturan Daerah Masyarakat Sipil - Advokasi


(9)

- Pemberdayaan Masyarakat Masyarakat Ekonomi - Perlindungan Kepentingan

Bisnis

- Pemberdayaan Ekonomi Lokal Sumber : UNDP (1997)

Studi IGI (2014) menegaskan tata kelola pemerintahan merupakan proses formulasi, pelaksanaan dan penegakan kebijakan maupun peraturan, termasuk prioritas pembangunan melalui interaksi antara eksekutif, legislatif dan birokrasi dengan partisipasi masyarakat masyarakat sipil dan masyarakat ekonomi (bisnis). Berggruen dan Gardels (2013) menegaskan tata kelola lebih merujuk pada kebiasaan budaya, institusi politik dan sistem ekonomi masyarakat yang bisa berjalan selaras terutama dalam menciptakan kehidupan masyarakat yang diinginkan. Tata kelola yang baik adalah ketika struktur-struktur ini bertautan secara seimbang sehingga mampu memproduksi hasil-hasil efektif dan berlanjut pada bingkai kepentingan yang sama.

Berangkat dari kondisi ini, maka setiap arena tata kelola pemerintahan dapat diukur berdasarkan sejauh mana fungsi-fungsi utama dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. Beberapa prinsip ini mengacu definisi prinsip yang ditegaskan UNDP (1996) antara lain :

1. Partisipasi (participation), merupakan tingkat keterlibatan para pemangku kepentingan (stakeholders) dalam proses pembuatan kebijakan dalam setiap arena dan sub arena;

2. Keadilan (fairness), kondisi dimana kebijakan dan program diberlakukan secara adil kepada seluruh siapapun (tanpa diskriminatif ) terhadap status, ras, agama maupun jenis kelamin. 3. Akuntabilitas (accountability), kondisi dimana pejabat, lembaga dan organisasi publik di

setiap arena bertanggungjawab atas tindakannya serta responsif terhadap publik

4. Transparansi (transparency), kondisi dimana keputusan yang diambil oleh pejabat publik, lembaga non pemerintah serta lembaga bisnis di setiap arena dan sub arena terbuka kepada publik untuk member masukan, memonitor dan mengavulasi serta kondisi dimana informasi

publik tersebut tersedia maupun dapat diakses oleh publik’

5. Efisiensi (efficiency), kondisi dimana kebijakan dan program yang dijalankan telah menggunakan sumberdaya manusia, keuangan dan waktu secara optimal

6. Efektifitas (effectiveness), kondidi dimana tujuan kebijakan dan hasil program telah dicapai sesuai dengan tujuan yang diharapkan yaitu merujuk pada mandate konstitusi rakyat cerdas, makmur adil dan beradab menjadi parameter utama.


(10)

Pada penelitian ini, tentunya domain atau arena yang menjadi kajian adalah Negara (state) yang mengarah pada peran birokrasi dalam penegakan peraturan daerah sesuai prinsip keadilan (fairness) dan efisiensi (efficiency). Kajian awal IGI (2014) dan Zuhro (2013) yang berbasis tata kelola (governance) dalam lembaga birokrasi menyatakan bahwa penelitian ini akan lebih tepat apabila diarahkan pada pencarian permodelan (tipologi). Tipologi ini diarahkan pada kasus-kasus penegakan peraturan daerah yang terukur melalui parameter pada prinsip keadilan dan efisiensi.

Pada prinsip keadilan parameternya antara lain adalah pelembagaan pelayanan pengaduan masyarakat di KantorSatpol PP, akses terhadap laporan operasi penertiban atas pelanggaran peraturan daerah serta distribusi frekuensi razia atas berbagai pelanggaran perda (razia). Sedangkan untuk prinsip efisiensi parameternya antara lain adalah rasio satpol PP per 1000 penduduk, belanja langsung satpol PP per kapita, rasio penertiban perda terhadap satpol PP dan rasio penertiban perda terhadap total penduduk. Unit birokrasi yang dijadikan fokus penelitian ini adalah Satuan Polisi Pamong Praja. Sesuai tugas pokok fungsinya, Satpol PP membantu Kepala Daerah menjalankan penegakan peraturan Daerah dan pembinaan ketentraman serta ketertiban (Pasal 148 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah).

Peraturan Daerah pada konteks ini merupakan regulasi di tingkat Kabupaten yang dibuat DPRD Kabupaten dengan persetujuan bersama Bupati serta berlaku bagi masyarakat bersangkutan. Pilihan lokasi penelitian di Kabupaten Tabanan mengingat di Kabupaten ini kuantitas Peraturan Daerah yang dihasilkan kurun tahun 2013-2014 beragam. Hal ini tentu membawa konsukuensi atas ragam tafsir dari subyek peraturan daerah yang ada. Selain itu pertimbangan perolehan nilai Kabupaten Tabanan yang relatif baik dalam evaluasi kinerja penyelenggaraan pemerintah daerah (EKPPD) versi Kementerian Dalam Negeri-RI dibandingkan perolehan kabupaten/kota lain di Provinsi Bali tentu akan menyertakan tipologi / bentuk permodelan yang bisa dijadikan contoh ideal atas usaha penegakan peraturan daerah.


(11)

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian terkait Tipologi Tata Kelola Penegakan Sanksi Pelanggaran Peraturan Daerah di Kabupaten Tabanan ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Metode kualitatif mengikuti prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif, yaitu berupa kata-kata tertulis dari perilaku yang diamati (Moleong, 2005:16). Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah dimensi politis untuk mengkaji dan membahas tipologi tata kelola penegakan sanksi pelanggaran peraturan daerah dalam perspektif governance, sekaligus permasalahan dan tantangan yang dihadapi di dalamnya.

A. Jenis Data Penelitian

Penelitian ini diarahkan pada penggambaran obyek penelitian secara holistik (menyeluruh) dengan memanfaatkan dua jenis data, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh melalui wawancara mendalam. Data sekunder yaitu data yang diperoleh melalui sumber pustaka, antara lain peraturan daerah dan pedoman regulasi daerah lainnya, seperti standar operasional prosedur (SOP) dan statistik daerah.

Terdapat dua bahan data pada penelitian ini. Pertama, bahan data primer diperoleh dari wawancara terkait tipologi tata kelola penegakan sanksi pelanggaran peraturan daerah di Kabupaten Tabanan; dan laporan operasi penertiban/penegakan Peraturan Daerah Kabupaten Tabanan Tahun 2012-2014. Kedua, bahan data sekunder, antara lain: dokumen yang diperoleh di Satpol PP antara lain terkait dokumen pelembagaan pelayanan pengaduan masyarakat di KantorSatpol PP, distribusi frekuensi razia atas berbagai pelanggaran perda (razia); rasio satpol PP per 1000 penduduk, serta belanja langsung satpol PP per kapita, dokumen Tabanan dalam


(12)

Angka, pemberitaan media terkait topik penelitian serta sumber data lain yang relevan.

B. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data penelitian, dilakukan dengan beberapa langkah.

Pertama, teknik wawancara mendalam. Wawancara adalah teknik pengumpulan data melalui tanya jawab secara langsung dimana pihak penanya (interviewer) berhadapan langsung secara fisik dengan pihak yang ditanyai (interviewee). Metode wawancara yang digunakan pada penelitian ini adalah metode wawancara mendalam (in-depth interview) dengan berpedoman pada daftar wawancara yang sudah dibuat / dipersiapkan sebelumnya (interview guide). Penggunaan teknik wawancara ini dimaksudkan mendapatkan data primer mengenai tipologi tata kelola penegakan sanksi pelanggaran peraturan daerah di Kabupaten Tabanan.

Pada teknik wawancara ditentukan key informant yang dipilih dan dikontak berdasarkan kesesuaian dengan topik penelitian. Teknik penentuan informan dilakukan secara purposive sampling, yaitu mereka yang dipandang memiliki pengetahuan sesuai dengan topik penelitian (Moleong, 2005:16). Para key informant

yang direncanakan pada penelitian ini adalah para pihak yang terlibat dalam penegakan sanksi pelanggaran peraturan daerah di Kabupaten Tabanan, seperti Kepala Kantor Satpol PP Pemerintah Kabupaten Tabanan, Kepala Biro Hukum Sekretariat Daerah, serta pihak lain yang dianggap berkompeten. Pada proses wawancara tetap dilakukan verifikasi dan cross check dari data sekunder dengan keterangan narasumber (key informant).

Kedua, dokumentasi. Teknik dokumentasi adalah teknik pengumpulan data dengan menggunakan dokumen sebagai data pendukung penelitian. Menurut Surachmat (dalam Moleong, 2005:19) dokumen adalah laporan tertulis dari suatu peristiwa berisi penjelasan yang ditulis dengan sengaja untuk meneruskan keterangan mengenai peristiwa itu sendiri. Dokumen penelitian dapat berupa semua jenis rekaman atau catatan, seperti surat, memo, pidato, buku harian, foto, kliping koran, hasil penelitian, atau agenda kegiatan. Pada penelitian ini, dokumen yang dibutuhkan dan dianalisis terkait tata kelola penegakan sanksi pelanggaran peraturan daerah.


(13)

Kebutuhan dokumen adalah dokumen yang dihasilkan dalam rentang waktu tahun 2012-2014. Pilihan atas rentang waktu ini didasarkan atas pelaporan atas tugas pokok dan fungsi yang diharapkan sudah terkompilasi pada dokumen di masing-masing unit kerja pemerintahan daerah. Beberapa dokumen tersebut adalah laporan penegakan peraturan daerah, SOP serta pemberitaan media massa setempat.

C. Teknik Pengolahan dan Penyajian Data

Setelah data terkumpul, maka selanjutnya adalah tahapan pengolahan dan analisa data. Pada tahap ini analisis data dilakukan dengan menggunakan teknik deskriptif analisis. Pada tahap ini data-data primer yang berupa hasil wawancara digabungkan dengan data-data sekunder yang berasal dari dokumen pendukung. Masing-masing data yang diolah harus diverifikasi dan dicross-check satu sama lain sehingga dalam proses analisis hanya data yang memiliki relevansi kebutuhan penelitianlah yang akan dipakai. Analisis data menggunakan kerangka teoritik terkait tipologi tata kelola penegakan sanksi pelanggaran peraturan daerah yang selanjutnya hasil analisis ini akan disajikan secara kualitatif.

Melalui hasil ini dimaksudkan agar pengukuran terhadap fenomena sosial tertentu akan memunculkan deskripsi (gambaran) secara sistematis mengenai fakta tipologi tata kelola penegakan sanksi pelanggaran peraturan daerah di Kabupaten Tabanan. Analisis terhadap data sekaligus diinterpretasikan dengan proyeksi ke depan sehingga diharapkan bisa menghasilkan informasi bagi pembentukan pengetahuan baru atau kebenaran ilmiah yang bisa dipertanggung jawabkan.

D. Alasan Pemilihan Lokasi

Pilihan lokasi penelitian di Kabupaten Tabanan didasarkan atas dua pertimbangan. Pertama, Peraturan Daerah yang dihasilkan oleh Pemerintah Kabupaten Tabanan pada kurun tahun 2013-2014 sangat beragam. Hal ini tentu membawa konsukuensi atas ragam tafsir dari subyek peraturan daerah yang ada. Kedua, diddasarkan pertimbangan perolehan nilai Kabupaten Tabanan yang relatif baik dalam evaluasi kinerja penyelenggaraan pemerintah daerah (EKPPD) versi Kementerian Dalam Negeri-RI dibandingkan perolehan kabupaten/kota lain di Provinsi Bali tentu akan menyertakan tipologi / bentuk permodelan yang bisa dijadikan contoh ideal atas usaha penegakan peraturan daerah. Latar belakang pertimbangan inilah yang diharapkan akan memunculkan fakta menarik untuk


(14)

menganalisis tipologi tata kelola penegakan sanksi pelanggaran peraturan daerah ditinjau dari perspektif governance.


(15)

BAB IV PEMBAHASAN

Badan Kesatuan Polisi Pamongpraja Kabupaten Tabanan menjalankan tugas pokok dan fungsinya sesuai dengan visi organisasi yang dimilikinya, yaitu terdepan dalam penegakan peraturan daerah yang aman, nyaman, dan tertib menuju Tabanan serasi. Aktualisasi atas visi ini memiliki tujuan mewujudkan keamanan, kenyamanan serta ketertiban Tabanan melalui penegakan peraturan daerah menuju Tabanan yang sejahtera, aman dan berprestasi dengan berlandaskan pada Tri Hita Karana.

Berlandasakan pada visi inilah, Badan Kesatuan Polisi Pamongpraja Kabupaten Tabanan merealisasikan visi ini melalui misi yang tertuang pada lima aspek. Aspek tersebut antara lain mewujudkan tertib hukum di wilayah Kabupaten Tabanan; menumbuhkembangkan kesadaran masyarakat untuk taat terhadap pelaksanaan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah; melaksanakan penertiban pelanggaran perda dan keputusan kepala daerah yang mengakibatkan terganggunya kenyamanan dan ketertiban masyarakat; meningkatkan koordinasi dengan instansi yang terkait dan komponen masyarakat dalam melaksanakan ketertiban umum dan penegakan perda; serta meningkatkan sumber daya manusia Polisi Pamong Praja dan PPNS dalam upaya peningkatan pelayanan pada masyarakat

Salah satu aspek dari misi yang dijalankan Badan Kesatuan Polisi Pamongpraja Kabupaten Tabanan yaitu melaksanakan penertiban pelanggaran peraturan daerah. Pada konteks penegakan peraturan daerah ini pihak Badan Kesatuan Polisi Pamongpraja Kabupaten Tabanan mendasarkan pelaksanaan kegiatan pada Standar Operasional Prosedur (SOP) yang mengatur ruang lingkup penegakan Peraturan Daerah. Ruang lingkup penegakan perda ini mencakup antara lain ; melakukan pengarahan kepada masyarakat dan badan hukum yang melanggar Perda; melakukan pembinaan dan atau sosialisasi kepada masyarakat dan badan hukum; melaksanakan upaya preventif non yustisial baik berupa pemanggilan dan sosialisasi; serta upaya penindakan secara yustisial atau persidangan.

Mekanisme penegakan sanksi terhadap pelanggaran Peraturan Daerah yang dilaksanakan oleh Badan Kesatuan Polisi Pamongpraja Kabupaten Tabanan dilaksanakan secara khusus oleh Bagian Penegakan Perundang-undangan atau Tim Yustisi. Bagian ini memiliki tugas melakukan sosialisasi atas penegakan Perda dengan memanggil tokoh masyarakat, agama, adat, dengan melibatkan instansi kecamatan dan desa. Sosialisasi ini dilaksanakan apabila Rancangan Peraturan


(16)

Daerah sudah disahkan menjadi Peraturan Daerah. Sosialisasi ini dilaksanakan sebanyak satu kali pada setiap kecamatan yang ada di wilayah Kabupaten Tabanan.

Pada kasus penegakan atas Peraturan Daerah yang menyertakan pelanggaran, pihak Badan Kesatuan Polisi Pamongpraja Kabupaten Tabanan menyertakan upaya pemanggilan oleh pihak penyidik melalui tiga tahapan. Tahap pertama, mengadakan pendekatan kepada pelanggar dengan cara mendatangi pelanggar sekaligus melakukan pendataan. Pemanggilan pelanggar melalui surat resmi dan di panggil ke PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil). Apabila terdapat pemanggilan atas pelanggar yang menyertakan alat bukti pelanggaran maka persidangan atas kasusnya dilaksanakan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dengan dibuatkan Berita Acara Perkara (BAP). Tahap kedua, melalui penegakan preventif non yustisial yaitu melalui teguran lisan serta turun langsung ke masyarakat. Tahap ketiga, melalui penindakan yustisial atau pendekatan persuasif termasuk menyertakan upaya pemanggilan.

Mekanisme penegakan ini berlaku bagi semua jenis pelanggaran Peraturan Daerah. Hal ini mencerminkan porsi atas aspek keadilan sesuai prinsip governance. Selain itu Badan Kesatuan Polisi Pamongpraja Kabupaten Tabanan juga menjalankan aspek akuntabilitas. Hal ini seperti pelaksanaan penyidikan atas pelangaran Peraturan Daerah ini dijadwalkan setiap Hari Senin dan Kamis yang bertempat di Kantor Badan Kesatuan Polisi Pamongpraja Kabupaten Tabanan bagian PPNS. Selain itu, ketercakupan pelaksanaan aspek akuntabilitas juga tercermin pada upaya pelibatan lintas sektor, dimana Tim Yustisi PPNS Badan Kesatuan Polisi Pamongpraja Kabupaten Tabanan bekerjasama dengan instansi terkait dalam pengelolaan kasus pelanggaran Peraturan Daerah. Terkait dengan pelanggaran perijinan usaha, dagang dan kegiatan lain, pihak Badan Kesatuan Polisi Pamongpraja Kabupaten Tabanan berkoordinasi dengan Dinas Perijinan. Terkait dengan lingkungan hidup pihak Badan Kesatuan Polisi Pamongpraja Kabupaten Tabanan bekerjasama dengan Dinas Lingkungan Hidup. Terkait dengan penertiban gelandangan dan pengemis, Badan Kesatuan Polisi Pamongpraja Kabupaten Tabanan bekerjasama dengan Dinas Sosial. Terkait temuan yang berpotensi melanggar hukum, maka Badan Kesatuan Polisi Pamongpraja Kabupaten Tabanan melakukan koordinasi dengan Polres Tabanan.

Untuk menjamin pelaksanaan akuntabilitas dalam kinerjanya, Badan Kesatuan Polisi Pamongpraja Kabupaten Tabanan juga melaksanakan monitoring secara periodik. Hanya saja kegiatan ini menyesuaikan klasifikasi bentuk pelanggarannya. Pelaksanaan monitoring pihak Badan Kesatuan Polisi Pamongpraja Kabupaten Tabanan bekerjasama dengan Kepala Desa terkait. Kepala Desa juga diberikan kewajiban untuk memberikan laporan tertulis setiap bulan sekali atas keadaan yang terpantau pada wilayahnya masing-masing ke Badan Kesatuan Polisi Pamongpraja Kabupaten


(17)

Tabanan. Laporan ini di serahkan langsung oleh para kepala desa ke Bagian Pengaduan dan kemudian ditindaklanjuti ke Bagian Operasional Badan Kesatuan Polisi Pamongpraja Kabupaten Tabanan. Laporan yang telah diterima oleh Bagian Operasional ditindaklanjuti dengan memberikan peringatan kepada pihak pelanggar sebanyak tiga kali. Apabila tidak terdapat respon maka kasus ini diajukan ke tim PPNS dan akan diberikan penindakan. Pelaporan atas pelanggaran Peraturan Daerah ini diwujudkan dalam bentuk Laporan Pertanggung Jawaban yang disertai dengan dokumentasi foto untuk menjamin aspek transparansi atas penindakan yang dilaksanakan oleh Badan Kesatuan Polisi Pamongpraja Kabupaten Tabanan.

Kendala yang dihadapi dalam upaya penegakan Peraturan Daerah yang dijalankan Badan Kesatuan Polisi Pamongpraja Kabupaten Tabanan lebih banyak diakibatkan perilaku warga yang bersifat menentang kebijakan Perda tertentu hingga pengabaian atas pemanggilan. Atas kondisi ini dilakukan penindakan apabila pada proses pemanggilan sebanyak tiga kali dengan pemberian rentang waktu. Pemangilan pertama diberikan batasan waktu selama tujuh hari. Pemanggilan kedua diberikan batasan selama empat belas hari. Pemanggilan ketiga diberikan batasan selama tiga puluh hari. Apabila tidak terdapat tanggapan pihak bersangkutan, maka terdapat pemanggilan paksa hingga didatangi langsung ke tempat kejadian perkara. Penindakan atas hal ini seringkali terjadi pada pelanggaran sektor perijinan pendirian pembangunan (IMB) serta penertiban atas pedagang kaki lima (PKL).

Selama rentang waktu lima bulan, pelanggaran tertinggi atas Peraturan Daerah yang ada di wilayah Kabupaten Tabanan terjadi pada bulan Februari. Jenis pelanggaran yang dilakukan terkait Kependudukan terutama terkait penegakan atas Peraturan Daerah Kabupaten Tabanan No. 5 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan. Atas penindakan ini, Badan Kesatuan Polisi Pamongpraja Kabupaten Tabanan menjaring sebanyak 363 warga yang meliputi pelanggaran warga tanpa Kartu Penduduk Musiman (Kipem), warga tanpa KTP, serta warga yang Kipemnya sudah tidak berlaku. Tindakan atas pelanggaran Peraturan Daerah ini dilakukan dengan pembinaan

372

17 30 45 38

0 200 400

Februari Maret April Mei Juni

Jumlah Pelanggaran Bulan Februari - Juni 2015 di Kabupaten Tabanan


(18)

serta layanan pembuatan Kipem ditempat. Pemetaan atas jenis pelanggaran Peraturan Daerah yang berpotensi sering terjadi di Kabupaten Tabanan digambarkan sebagi berikut :

Intensitas pelanggaran Peraturan Daerah terkait kependudukan sangat tinggi terutama terkait kepemilikan Kartu Identitas Musiman (Kipem) bagi penduduk pendatang. Untuk jenis pelanggaran terhadap kegiatan usaha tertinggi lainnya meliputi bangunan rumah, rumah usaha toko (ruko), tanah kapling serta perumahan. Sedangkan untuk pelanggaran terkait ijin usaha, meliputi ijin usaha kepariwisataan, usaha peternakan, pertambangan Galian C, pelanggaran kawasan jalur hijau, serta pendirian usaha Café. Total selama lima bulan, pihak Badan Kesatuan Polisi Pamongpraja Kabupaten Tabanan menertibkan 47 pelaku pelanggaran atas ijin usaha.

Pada upaya penegakan atas pelanggaran Peraturan Daerah yang ada di Kabupaten Tabanan ini, perangkat pelaksana dari Badan Kesatuan Polisi Pamongpraja Kabupaten Tabanan senantiasa membawa Buku Saku Kumpulan Peraturan Daerah Kabupaten Tabanan. Buku saku ini berisi kumpulan himpunan Peraturan Daerah Kabupaten Tabanan tentang Ketertiban Umum, Pemberantasan Pelacuran, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Penanggulangan HIV AIDS, Pembangunan dan Pengoperasian Menara Telekomunikasi, Kepariwisataan, Surat Ijin Tempat Usaha, Surat Ijin Usaha Perdagangan, Ijin Usaha Industri, Tanda Daftar Gudang dan Tanda Daftar Perusahaan, Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangg, Bangunan Gedung, Kawasasan Jalur Hijau, Perijinan Bidang Kesehatan, Kawasan Tanpa Rokok, Retribusi Ijin Gangguan dan Retribusi Tempat Penjualan Minuman Bealkohol. Pada Peraturan Daerah yang terjabar dalam buku saku ini memuat bentuk sanksi dari administratif hingga ke pidana. Tentunya dengan panduan ini bisa memudahkan aparat pelaksana untuk menentukan tindakan

Februari Maret April Mei Juni

Kependudukan 363 1

Kegiatan Usaha 9 15 15 33 21

Pajak Air Tanah 14 8 2

Menara Telekomunikasi 1 5

Perda KTR 2

Ketertiban Umum 3 10

0 50 100 150 200 250 300 350 400

Jenis Pelanggaran Perda di Kabupaten Tabanan Februari-Juni 2015


(19)

tertepat dalam melaksanakan penegakan atas pelanggaran Peraturan Daerah yang ada di wilayah Kabupaten Tabanan.

BAB V PENUTUP

Intensitas pelanggaran penegakan Peraturan Daerah di Kabupaten Tabanan yang tertinggi adalah jenis pelanggaran penyelenggaran administrasi kependudukan, yaitu terkait kepemilikan kartu identitas musiman (KIPEM). Pada proses pengelolaan pelanggaran ini Badan Kesatuan Polisi Pamongpraja Kabupaten Tabanan menerapkan prinsip governance, khususnya aspek keadilan, akuntabilitas dan transparansi. Pada aspek keadilan tercermin pada penerapan mekanisme penegakan perda melalui tiga tahapan yang diberlakukan sama atas semua jenis pelanggaran. Aspek akuntabilitas teraktualisasi melalui upaya penanganan pelanggaran Peraturan Daerah secara lintas sektor serta monitoring secara periodik dengan kepala desa.

Pelaksanaan aspek transparansi teraktualisasi pada tindakan pelaporan pertanggungjawaban yang dibuat oleh Badan Kesatuan Polisi Pamongpraja Kabupaten Tabanan disertai dengan dokumentasi foto serta bisa diakses oleh publik. Tentunya kondisi terbaik yang didealkan dalam penyusunan Peraturan Daerah adalah kepatuhan warga atas Peraturan Daerah bersangkutan. Perlu sosialisasi intensif atas bentuk sanksi dari setiap peraturan daerah yang ada selain juga terpublikasi dan bisa diakses oleh publik secara luas.


(20)

(1)

BAB IV PEMBAHASAN

Badan Kesatuan Polisi Pamongpraja Kabupaten Tabanan menjalankan tugas pokok dan fungsinya sesuai dengan visi organisasi yang dimilikinya, yaitu terdepan dalam penegakan peraturan daerah yang aman, nyaman, dan tertib menuju Tabanan serasi. Aktualisasi atas visi ini memiliki tujuan mewujudkan keamanan, kenyamanan serta ketertiban Tabanan melalui penegakan peraturan daerah menuju Tabanan yang sejahtera, aman dan berprestasi dengan berlandaskan pada Tri Hita Karana.

Berlandasakan pada visi inilah, Badan Kesatuan Polisi Pamongpraja Kabupaten Tabanan merealisasikan visi ini melalui misi yang tertuang pada lima aspek. Aspek tersebut antara lain mewujudkan tertib hukum di wilayah Kabupaten Tabanan; menumbuhkembangkan kesadaran masyarakat untuk taat terhadap pelaksanaan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah; melaksanakan penertiban pelanggaran perda dan keputusan kepala daerah yang mengakibatkan terganggunya kenyamanan dan ketertiban masyarakat; meningkatkan koordinasi dengan instansi yang terkait dan komponen masyarakat dalam melaksanakan ketertiban umum dan penegakan perda; serta meningkatkan sumber daya manusia Polisi Pamong Praja dan PPNS dalam upaya peningkatan pelayanan pada masyarakat

Salah satu aspek dari misi yang dijalankan Badan Kesatuan Polisi Pamongpraja Kabupaten Tabanan yaitu melaksanakan penertiban pelanggaran peraturan daerah. Pada konteks penegakan peraturan daerah ini pihak Badan Kesatuan Polisi Pamongpraja Kabupaten Tabanan mendasarkan pelaksanaan kegiatan pada Standar Operasional Prosedur (SOP) yang mengatur ruang lingkup penegakan Peraturan Daerah. Ruang lingkup penegakan perda ini mencakup antara lain ; melakukan pengarahan kepada masyarakat dan badan hukum yang melanggar Perda; melakukan pembinaan dan atau sosialisasi kepada masyarakat dan badan hukum; melaksanakan upaya preventif non yustisial baik berupa pemanggilan dan sosialisasi; serta upaya penindakan secara yustisial atau persidangan.

Mekanisme penegakan sanksi terhadap pelanggaran Peraturan Daerah yang dilaksanakan oleh Badan Kesatuan Polisi Pamongpraja Kabupaten Tabanan dilaksanakan secara khusus oleh Bagian Penegakan Perundang-undangan atau Tim Yustisi. Bagian ini memiliki tugas melakukan sosialisasi atas penegakan Perda dengan memanggil tokoh masyarakat, agama, adat, dengan melibatkan instansi kecamatan dan desa. Sosialisasi ini dilaksanakan apabila Rancangan Peraturan


(2)

Daerah sudah disahkan menjadi Peraturan Daerah. Sosialisasi ini dilaksanakan sebanyak satu kali pada setiap kecamatan yang ada di wilayah Kabupaten Tabanan.

Pada kasus penegakan atas Peraturan Daerah yang menyertakan pelanggaran, pihak Badan Kesatuan Polisi Pamongpraja Kabupaten Tabanan menyertakan upaya pemanggilan oleh pihak penyidik melalui tiga tahapan. Tahap pertama, mengadakan pendekatan kepada pelanggar dengan cara mendatangi pelanggar sekaligus melakukan pendataan. Pemanggilan pelanggar melalui surat resmi dan di panggil ke PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil). Apabila terdapat pemanggilan atas pelanggar yang menyertakan alat bukti pelanggaran maka persidangan atas kasusnya dilaksanakan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dengan dibuatkan Berita Acara Perkara (BAP). Tahap kedua, melalui penegakan preventif non yustisial yaitu melalui teguran lisan serta turun langsung ke masyarakat. Tahap ketiga, melalui penindakan yustisial atau pendekatan persuasif termasuk menyertakan upaya pemanggilan.

Mekanisme penegakan ini berlaku bagi semua jenis pelanggaran Peraturan Daerah. Hal ini mencerminkan porsi atas aspek keadilan sesuai prinsip governance. Selain itu Badan Kesatuan Polisi Pamongpraja Kabupaten Tabanan juga menjalankan aspek akuntabilitas. Hal ini seperti pelaksanaan penyidikan atas pelangaran Peraturan Daerah ini dijadwalkan setiap Hari Senin dan Kamis yang bertempat di Kantor Badan Kesatuan Polisi Pamongpraja Kabupaten Tabanan bagian PPNS. Selain itu, ketercakupan pelaksanaan aspek akuntabilitas juga tercermin pada upaya pelibatan lintas sektor, dimana Tim Yustisi PPNS Badan Kesatuan Polisi Pamongpraja Kabupaten Tabanan bekerjasama dengan instansi terkait dalam pengelolaan kasus pelanggaran Peraturan Daerah. Terkait dengan pelanggaran perijinan usaha, dagang dan kegiatan lain, pihak Badan Kesatuan Polisi Pamongpraja Kabupaten Tabanan berkoordinasi dengan Dinas Perijinan. Terkait dengan lingkungan hidup pihak Badan Kesatuan Polisi Pamongpraja Kabupaten Tabanan bekerjasama dengan Dinas Lingkungan Hidup. Terkait dengan penertiban gelandangan dan pengemis, Badan Kesatuan Polisi Pamongpraja Kabupaten Tabanan bekerjasama dengan Dinas Sosial. Terkait temuan yang berpotensi melanggar hukum, maka Badan Kesatuan Polisi Pamongpraja Kabupaten Tabanan melakukan koordinasi dengan Polres Tabanan.

Untuk menjamin pelaksanaan akuntabilitas dalam kinerjanya, Badan Kesatuan Polisi Pamongpraja Kabupaten Tabanan juga melaksanakan monitoring secara periodik. Hanya saja kegiatan ini menyesuaikan klasifikasi bentuk pelanggarannya. Pelaksanaan monitoring pihak Badan Kesatuan Polisi Pamongpraja Kabupaten Tabanan bekerjasama dengan Kepala Desa terkait. Kepala Desa juga diberikan kewajiban untuk memberikan laporan tertulis setiap bulan sekali atas keadaan yang terpantau pada wilayahnya masing-masing ke Badan Kesatuan Polisi Pamongpraja Kabupaten


(3)

Tabanan. Laporan ini di serahkan langsung oleh para kepala desa ke Bagian Pengaduan dan kemudian ditindaklanjuti ke Bagian Operasional Badan Kesatuan Polisi Pamongpraja Kabupaten Tabanan. Laporan yang telah diterima oleh Bagian Operasional ditindaklanjuti dengan memberikan peringatan kepada pihak pelanggar sebanyak tiga kali. Apabila tidak terdapat respon maka kasus ini diajukan ke tim PPNS dan akan diberikan penindakan. Pelaporan atas pelanggaran Peraturan Daerah ini diwujudkan dalam bentuk Laporan Pertanggung Jawaban yang disertai dengan dokumentasi foto untuk menjamin aspek transparansi atas penindakan yang dilaksanakan oleh Badan Kesatuan Polisi Pamongpraja Kabupaten Tabanan.

Kendala yang dihadapi dalam upaya penegakan Peraturan Daerah yang dijalankan Badan Kesatuan Polisi Pamongpraja Kabupaten Tabanan lebih banyak diakibatkan perilaku warga yang bersifat menentang kebijakan Perda tertentu hingga pengabaian atas pemanggilan. Atas kondisi ini dilakukan penindakan apabila pada proses pemanggilan sebanyak tiga kali dengan pemberian rentang waktu. Pemangilan pertama diberikan batasan waktu selama tujuh hari. Pemanggilan kedua diberikan batasan selama empat belas hari. Pemanggilan ketiga diberikan batasan selama tiga puluh hari. Apabila tidak terdapat tanggapan pihak bersangkutan, maka terdapat pemanggilan paksa hingga didatangi langsung ke tempat kejadian perkara. Penindakan atas hal ini seringkali terjadi pada pelanggaran sektor perijinan pendirian pembangunan (IMB) serta penertiban atas pedagang kaki lima (PKL).

Selama rentang waktu lima bulan, pelanggaran tertinggi atas Peraturan Daerah yang ada di wilayah Kabupaten Tabanan terjadi pada bulan Februari. Jenis pelanggaran yang dilakukan terkait Kependudukan terutama terkait penegakan atas Peraturan Daerah Kabupaten Tabanan No. 5 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan. Atas penindakan ini, Badan Kesatuan Polisi Pamongpraja Kabupaten Tabanan menjaring sebanyak 363 warga yang meliputi pelanggaran warga tanpa Kartu Penduduk Musiman (Kipem), warga tanpa KTP, serta warga yang Kipemnya sudah tidak berlaku. Tindakan atas pelanggaran Peraturan Daerah ini dilakukan dengan pembinaan

372

17 30 45 38

0 200 400

Februari Maret April Mei Juni

Jumlah Pelanggaran Bulan Februari - Juni 2015 di Kabupaten Tabanan


(4)

serta layanan pembuatan Kipem ditempat. Pemetaan atas jenis pelanggaran Peraturan Daerah yang berpotensi sering terjadi di Kabupaten Tabanan digambarkan sebagi berikut :

Intensitas pelanggaran Peraturan Daerah terkait kependudukan sangat tinggi terutama terkait kepemilikan Kartu Identitas Musiman (Kipem) bagi penduduk pendatang. Untuk jenis pelanggaran terhadap kegiatan usaha tertinggi lainnya meliputi bangunan rumah, rumah usaha toko (ruko), tanah kapling serta perumahan. Sedangkan untuk pelanggaran terkait ijin usaha, meliputi ijin usaha kepariwisataan, usaha peternakan, pertambangan Galian C, pelanggaran kawasan jalur hijau, serta pendirian usaha Café. Total selama lima bulan, pihak Badan Kesatuan Polisi Pamongpraja Kabupaten Tabanan menertibkan 47 pelaku pelanggaran atas ijin usaha.

Pada upaya penegakan atas pelanggaran Peraturan Daerah yang ada di Kabupaten Tabanan ini, perangkat pelaksana dari Badan Kesatuan Polisi Pamongpraja Kabupaten Tabanan senantiasa membawa Buku Saku Kumpulan Peraturan Daerah Kabupaten Tabanan. Buku saku ini berisi kumpulan himpunan Peraturan Daerah Kabupaten Tabanan tentang Ketertiban Umum, Pemberantasan Pelacuran, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Penanggulangan HIV AIDS, Pembangunan dan Pengoperasian Menara Telekomunikasi, Kepariwisataan, Surat Ijin Tempat Usaha, Surat Ijin Usaha Perdagangan, Ijin Usaha Industri, Tanda Daftar Gudang dan Tanda Daftar Perusahaan, Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangg, Bangunan Gedung, Kawasasan Jalur Hijau, Perijinan Bidang Kesehatan, Kawasan Tanpa Rokok, Retribusi Ijin Gangguan dan Retribusi Tempat Penjualan Minuman Bealkohol. Pada Peraturan Daerah yang terjabar dalam buku saku ini memuat bentuk sanksi dari administratif hingga ke pidana. Tentunya dengan panduan ini bisa memudahkan aparat pelaksana untuk menentukan tindakan

Februari Maret April Mei Juni

Kependudukan 363 1

Kegiatan Usaha 9 15 15 33 21

Pajak Air Tanah 14 8 2

Menara Telekomunikasi 1 5

Perda KTR 2

Ketertiban Umum 3 10

0 50 100 150 200 250 300 350 400

Jenis Pelanggaran Perda di Kabupaten Tabanan Februari-Juni 2015


(5)

tertepat dalam melaksanakan penegakan atas pelanggaran Peraturan Daerah yang ada di wilayah Kabupaten Tabanan.

BAB V PENUTUP

Intensitas pelanggaran penegakan Peraturan Daerah di Kabupaten Tabanan yang tertinggi adalah jenis pelanggaran penyelenggaran administrasi kependudukan, yaitu terkait kepemilikan kartu identitas musiman (KIPEM). Pada proses pengelolaan pelanggaran ini Badan Kesatuan Polisi Pamongpraja Kabupaten Tabanan menerapkan prinsip governance, khususnya aspek keadilan, akuntabilitas dan transparansi. Pada aspek keadilan tercermin pada penerapan mekanisme penegakan perda melalui tiga tahapan yang diberlakukan sama atas semua jenis pelanggaran. Aspek akuntabilitas teraktualisasi melalui upaya penanganan pelanggaran Peraturan Daerah secara lintas sektor serta monitoring secara periodik dengan kepala desa.

Pelaksanaan aspek transparansi teraktualisasi pada tindakan pelaporan pertanggungjawaban yang dibuat oleh Badan Kesatuan Polisi Pamongpraja Kabupaten Tabanan disertai dengan dokumentasi foto serta bisa diakses oleh publik. Tentunya kondisi terbaik yang didealkan dalam penyusunan Peraturan Daerah adalah kepatuhan warga atas Peraturan Daerah bersangkutan. Perlu sosialisasi intensif atas bentuk sanksi dari setiap peraturan daerah yang ada selain juga terpublikasi dan bisa diakses oleh publik secara luas.


(6)