MODEL BIMBINGAN DAN KONSELING KESEHATAN MENTAL BERDASARKAN TEORI TRANSFORMASI RUHANI IBN. QAYYIM AL-JAUZIYAH UNTUK PENGEMBANGAN KARAKTER MUTH’MAINAH MAHASISWA.

(1)

AL-JAUZIYAH UNTUK PENGEMBANGAN KARAKTER

MUTH’MAINAH

MAHASISWA

Pembimbing

Prof. Dr. Sunaryo Kartadinata, M.Pd (Promotor)

Prof. Dr. H. Ahman, M.Pd (Ko-Promotor)

Prof. Dr. Syamsyu Yusuf, LN, M.Pd (Anggota)

OLEH: AHMAD WAKI

NIM: 0800818

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)

BANDUNG


(2)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah……….…..1

B. Masalah Penelitian………...11

C. Identifikasi Pertanyaan Penelitian………...15

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian...………..……15

E. Asumsi Penelitian………..16

F. Kerangka Konseptual………...17

G. Lokasi dan Sampel Penelitian………...34 BAB II KERANGKA KONSEPTUAL BIMBINGAN DAN KONSELING KESEHATAN MENTAL BERDASARKAN TEORI TRANFORMASI RUHANI IBN. QAYYIM AL-JAUZIYAHI DAN KARAKTER MUTH’MAINAH MAHASISWA A. Konsepsi Bimbingan dan Konseling Kesehatan Mental…………..……….36

B. Konseling Kesehatan Mental Perspektif Ibn. Qayyim al-Jauziyah………...71

C. Konsepsi Karakter Muth’mainah Mahasiswa………...90

D. Eksistensi Ruhani, Daya-Daya Ruhani, dan Problematika Ruhani……….102

E. Kerangka Berpikir Dan Hipotesis………...198

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian..………...……….204

B. Definisi Operasional……….………….207

C. Subjak Penelitian.………….………...227

D. Prosedur Penelitian..……….……..229

E. Analisis Data.………...………..………..233

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian………..235


(3)

1. Gambaran Umum Pencapaian Aspek karakter Muth’mainah Mahasiswa Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidyatullah

Jakarta………238

2. Kebutuhan Penyelenggaraan Model Konseling Kesehatan Mental Berdasarkan Teori Transformasi Ruhani Ibn. Qayyim al-Jauziyah untuk Pengembangan Kaarakter Muth’mainah Mahasiswa………263 B. Pembahasan

a. Pelaksanaan Model Konseling Kesehatan Mental Berdasarkan Teori Transformasi Ruhani Ibn. Qayyim al-Jauziyah untuk Pengembangan Karakter Muth’mainah Mahasiswa………..264 b. Uji Efektivitas Model Konseling Kesehatan Mental Berdasarkan Teori

Transformasi Ruhani Ibn. Qayyim al-Jauziyah untuk Pengembangan Kaarakter Muth’mainah Mahasiswa

1. Peningkatan Karakter Muth’mainah Kelompok Eksperimen………278 2. Peningkatan Karakter Muth’mainah Kelompok Kontrol……….279 3. Perbandingan Peningkatan Karakter Muth’mainah Kelompok Eksperimen dan

Kelompok Kontrol……….………281 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan………282

B. Rekomendasi………..284


(4)

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini disajikan latar belakang masalah, masalah penelitian, identifikasi pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka konseptual, lokasi dan sampel penelitian. Uraian tersebut merupakan penjelasan tentang kerangka dasar yang menjadi acuan pada pelaksanaan penelitian ini. A. Latar Belakang Masalah

Penelitian tentang kesehatan mental yang dilakukan oleh Disability

Adjusted Life Year (DALY) tahun 1990 menemukan bahwa masalah kesehatan

mental menempati urutan ketiga yaitu sebesar 10, 5 %, setelah masalah penyakit infeksi dan farasit 22, 9 %, dan kecelakan sebesar 11, 0 %. Karena tingginya beban masyarakat sebagai akibat masalah kesehatan mental, telah mendorong WHO untuk menetapkan kesehatan mental sebagai tema peringatan hari

kesehatan sedunia (HKS) pada tahun 2002. Tema yang dicanangkan adalah “Stop exclusion, Dare to Care” (hentikan pengucilan, pedulikan dan rawat penderita

gangguan mental). WHO didukung oleh berbagai Negara, bahkan mengangkat masalah kesehatan mental sebagai pokok bahasan utama dalam World Health

Assembly Meeting, Mei 2002 di Geneva.

Pada tahun 1984 WHO memasukkan dimensi spiritual keagamaan sama pentingnya dengan dimensi fisik, psikologis dan psikososial. Seiring dengan itu, terapi terapi yang dilakukan pun mulai menggunakan dimensi spiritual keagamaan, terapi yang demikian disebut dengan terapi holistik artinya terapi yang melibatkan fisik, psikologis, psikososial dan spiritual (Ariyanto, 2006).


(5)

The American Psychiatric Association (APA) mengadopsi gabungan dari

empat dimensi di atas dengan istilah paradigma pendekatan biopsikososispiritual (Hawari, 2002). Lokakarya yang diselenggarakan APA pada tahun 1993 dengan judul Religion and Psychiatry Model of Partnership memberikan suatu anjuran untuk menambahkan terapi keagamaan di samping terapi psikis dan medis (Hawari,2002).

Larson (1992) dan beberapa pakar lainnya dalam berbagai penelitian yang berjudul Religious Commitment and Health, menyimpulkan bahwa di dalam memandu kesehatan manusia yang serba kompleks ini dengan segala keterkaitannya, hendaknya komitmen agama sebagai suatu kekuatan (spiritual power) jangan diabaikan begitu saja. Agama dapat berperan sebagai pelindung lebih dari pada sebagai penyebab masalah.

Pentingnya agama sebagai kelengkapan pemeriksaan psikiatrik dapat dilihat dalam textbook of psychiatry yang berjudul Synopsis of Psichiatry,

Behavioral Sciences and Clinical Psychiatry karangan Kaplan dan Sadock

(1991). Di dalam buku tersebut disebutkan bahwa dalam wawancara psikiatri (psikiater) hendaknya dapat menggali latar belakang kehidupan beragama dari pasien dan kedua orangtuanya, serta secara rinci mengeksplorasi sejauh mana mereka mengamalkan ajaran agama, yang dianutnya.

Dalam kontek pendidikan di Indonesia yang secara mayoritas Stakeholdernya beridentitas muslim, secara normatif diyakini bahwa al-Qur‟an adalah pedoman hidup manusia, al-Qur‟an tidak hanya berbicara kehidupan spiritual saja, akan tetapi mengandung ajaran yang komprehensif, holistik, dan


(6)

universal. Bahkan al-Qur‟an juga mengandung isyarat-isyarat ilmiah yang tetap relevan sepanjang zaman sehingga tatanan kehidupan masyarakat memiliki peradaban yang tinggi. Hanya saja perlu pengembangan metodologi dan riset dalam pemahaman al-Qur‟an sehingga ia lebih “membumi” dan mampu menjawab tantangan dan kebutuhan umat. Jadi, jika muncul anggapan dewasa ini umat Islam terbelakang bukan berarti al-Qur‟an yang bermasalah, akan tetapi manusia itu sendirilah yang tidak mampu memahami pesan al-Qur‟an.

Di dalam al-Qur‟an setidaknya ada dua puluh tujuh ayat yang berkenaan dan kesehatan mental, di samping masalah-masalah yang berkenaan dengan zakat dalam bentuk fisik. Dalam ayat-ayat tersebut ditegaskan bahwa kesehatan mental merupakan misi atau tugas pokok dari risalah para nabi dan rasul Allah, tujuan hidup orang yang bertaqwa, dan padanya tergantung keselamatan dan kesengsaraan manusia dalam pandangan Allah. Kesehatan mental sebagi misi nabi dan rasul, sekaligus menjadi fakta sejarah ditegaskan dalam al-Qur‟an Surah: Ali-Imran: 164:

“Sesungguhnya Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Ia mengutus kepada mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, menyucikan jiwa mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah. Sesungguhnya sebelum kedatangan rasul mereka benar-benar

berada dalam kesesatan yang nyata”. (QS:Ali-Imran:164).

Salah satu isyarat yang muncul terkait dengan permasalahan kesehatan mental seperti pernyataan Ibn Taimiyah dalam tafsirnya yang mengatakan bahwa solusi terbaik dalam mengungkap permasalahan kesehatan mental adalah


(7)

terhadap mereka yang mengalami gangguan mental adalah dengan membaca

al-Qur‟an. (HR.Bukhari Muslim).

Mental yang sehat memiliki kontribusi langsung dengan tubuh yang sehat, hal ini disinyalir melalui hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Ubaidillah

bin Mukhsan Khutmi, Rasulullah saw, bersabda:” Barang siapa yang merasa

aman di dalam jiwanya, maka tubuhnya pun akan sehat. Ia akan memiliki semua

kebutuhannya setiap harinya seolah dunia dipersiapkan untuknya”. (HR.

Turmudzi).

Ibn. Qayyim Al-Jauziyah sebagai salah satu ulama regenarasi Ibnu. Taimiyah tak ketinggalan concern terhadap permasalah kejiwaan, dinamika kejiwaan, hakikat kejiwaan, dan terapi-terapi terkait dengan permasalahan kejiwaan/mental. Dan ia tuangkan dalam berbagai karya monumental seperti kitab Qutul Qulub (obat hati), Ar-Ruh, Tazkiyatun al-Nafs, Al-Furuqun-Nafiisah

Baina Shifatinafsi at-Thayyibah wal Khobitsyah, Idghasah al-Lahfan,

Madarijusalikin yang di dalamnya membahas perbedaan-perbedaan mental yang

sehat dan mental yang tidak sehat, dan terapi mental sehat melalui terapi tranformasi ruhani.

Di dalam kitab al-Fawaid (1987:40), Ibn Qayyim menjelaskan, bahwa banyak manusia yang enggan menggunakan al-Qur'an dan al-Sunnah sebagai undang-undang dalam hidupnya dan mereka menganggap tidak cukup dengan keduanya, sehingga mereka mengambil pendapat (ra'yu), qiyas, istihsan, dan pendapat para syekh, akibatnya fithrah mereka menjadi rusak, hati mereka gelap, pemahaman mereka keruh.


(8)

Terkait dengan permasalahan kejiwaan, ia menggunakan kata-kata yang berbeda, terkadang ia menggunakan kata Ar-Ruh, al-Nafs, dan al-Qolb, sangat jarang ia menyebutkan kata aq‟l dalam makna spiritual. Dalam kitab Quth al-Qulub, beliau menjelaskan bahwa jasmani manusia adalah aksiden („arad) sedang

subtansinya (jauhar) adalah ruhani. Badan adalah perangkat ruhani. Ruhanilah yang sesungguhnya menerima beban syariah (taklif), yang menerima titah syar‟i (khitab), ganjaran dan siksa, menerima kesenangan dan kesedihan. Jiwa inilah yang disebut ruh sebagai hakikat manusia. (Ibn.Qayyim, al-Fawaid, 145).

Sejalan dengan Ibn. Sina terkait permasalahan kejiwaan, Ibn Qayyim menyebut tiga jiwa dengan Nafs nabatiyah, Nafs Hayawaniyah, dan al-Nafs al-natiqah/ al-insaniyah. Manusia sesungghunya adalah makhluk integrasi antara fenomena materi (al-nafs al-nabatiyah), dan immateri (al-nafs al-natiqah), sedangkan al-nafs al-hayawaniyah adalah subtansi pengantara antara keduanya. Jika tumbuh kembang asfek fisiologis ditentukan oleh al-nafs al-nabatiyah, maka perkembangan aspek kejiwaan manusia sangat ditentukan oleh kesucian dan ketajaman al-nafs al-natiqoh.

Dalam kontek kekuatan-kekuatan ruhani manusia, para ulama yang mengkaji masalah kejiwaan secara mayoritas membagi struktur ruhani manusia pada lima bagian yaitu: al-nafs, al-aql, al-qalb, al-ruh, dan al-sirr. Al-nafs adalah wadah dari syahwat dan ghadab, sedangkan al-aql (rasio) merupakan standar kebenaran. Imam al-Qusyairy (w. 465/1072) dalam risalah al-Qusyairiyah menyatakan bahwa al-Qalb adalah tempat ma‟rifat, al-Ruh adalah tempat cinta kasih (al-mahabbah) dan al-sirr adalah tempat musyahadah.


(9)

Terkait dengan masalah jiwa yang sehat dalam salah satu kitabnya Ibn. Qayyim al-Jauziyah (1996), mengungkapkan : “annal I‟tidala fii al-akhlak hua shihat an-nafs walmaili an- I‟tidal saqamun wa maradun fihaa kama ana al

-„tidala fii maja al-badani hua shihat lah. (Sesungguhnya proporsional perilaku

itu adalah sehat mental, dan tergesernya kondisi mental dari dari batas keadilan

(I‟tidal) adalah gangguan mental. Sebagaimana seimbangnya keadaanya fisik

merupakan kesehatan bagi tubuh. Keadaan tidak seimbang dalam jiwa harus dikembalikan pada kondisi yang semestinya).

Hal senada diperkuat oleh Zakiah Daradjat bahwa obat yang paling mujarab agar terhindar dari gangguan jiwa adalah percaya dengan total kepada Tuhan, dan komitmen mengamalkan ajarannya berdasarkan al-Qur‟an, sebagai kebutuhan jiwa, bukan sebuah paksaan.

Bimbingan dan konseling termasuk konseling kesehatan mental yang selama ini dipahami oleh beberapa fakar cenderung hanya bertopang pada pada isu-isu psikososial, kultural sentris, tidak tuntas pada hal-hal yang lebih normatif dan universal dengan menggali nilai-nilai subtantif dalam agama (Dahlan: 25), menyatakan:

”bimbingan dan konseling mau turut bicara dalam pembinaan manusia

taqwa (seperti diantaranya tercantum dalam GBHN), dalam rangka mencapai tujuan pendidikan dan tujuan hidup manusia, maka hendaknya bimbingan dan konseling tidak berpandangan sempit dan tidak hanya bertopang pada kaidah-kaidah psikologis belaka. Hendaknya bimbingan dan konseling memperluas cakrawala pandangannya dan memperpanjang jangkauannya, memperdalam tilikan yang semata-mata tidak psikososial, kultural sentris, melainkan mampu menangkap eksistensi manusia di dunia ini dan di akhirat kelak sebagai makhluk Allah. Dengan kata lain bimbingan dan konseling tidak mungkin melepaskan diri dari dasar-dasar normatif yang sesuai dengan bimbingan illahi. Hanya dalam arti

ini kita dapat berbicara tentang bimbingan dan konseling secara tuntas”.

Dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, pasal 4, misalnya disebutkan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan


(10)

menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Kata-kata iman dan taqwa jelas terinspirasi dari isi al-Qur‟an . Dalam perspektif Islam, mustahil seorang mampu beriman dan bertakwa tanpa mengamalkan kandungan al-Qur‟an. Karenanya, mempelajari al-Qur‟an merupakan keniscayaan bagi yang ingin mengamalkan al-Qur‟an secara baik.

Untuk memperkuat usaha membangun pendidikan karakter di samping yang termuat dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan penjelasannya, tertuang juga dalam:

1. Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJPN 2002-2025 2. Intruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 2010 tentang Percepatan

Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional tahun 2010

3. Arahan Presiden RI dalam Sidang Kabinet Terbatas Bidang Kesra tanggal 18 Maret 2010

4. Arahan Presiden RI pada Rapat Kerja Nasional di Tampak Siring, Bali tanggal 19-20 April 2010

5. Arahan Presiden RI pada puncak peringatan Hari Pendidikan Nasional di Istana Negara tanggal 11 Mei 2010.

Namun demikian, kenyataan yang masih ada adalah permasalahan remaja semakin hari semakin meningkat. Masalah remaja yang semakin memprihatinkan ini apabila dibiarkan terus-menerus, maka akan mengarah pada kehancuran generasi penerus bangsa. Dikatakan oleh Lickona (1991) dalam bukunya Educating for

Character bahwa ada sepuluh tanda-tanda kehancuran suatu bangsa yang

meliputi meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, penggunaan bahasa dan kata-kata kotor, pengaruh kelompok teman yang kuat dalam tindakan kejahatan, meningkatnya perilaku merusak diri seperti narkoba, seks bebas dan alkohol, semakin kaburnya pedoman moral antara hal-hal yang baik dan buruk, penurunan etos kerja, semakin rendahnya rasa hormat kepada orangtua dan dosen, rendahnya rasa tanggungjawab sebagai individu dan sebagai warga negara, semakin


(11)

membudayanya nilai ketidakjujuran, dan semakin meningkatnya rasa kebencian dan saling curiga. Merujuk tanda-tanda tersebut, maka telah nyata bukti di lapangan bahwa keadaan remaja, khususnya di kota-kota besar, menghadapi kerusakan yang signifikan.

Defisit karakter mahasiswa adalah suatu outcome dari suatu proses yang dialami oleh individu remaja yang menunjukkan perilaku mental yang tidak sehat, dengan tidak mampu beradaptasi dengan norma-norma yang ada (antara lain norma-norma sosial, norma-norma hukum dan norma-norma kelompok, dan agama), mengganggu ketentraman umum, bersifat anti sosi al yang d apat merugikan di ri sendiri dan m enim bulkan keresahan masyarakat (Willis 1994; Scneiders 1955; Sudarsono 1991; Sarlito 1991).

Pangkahila (2004) mengamati bahwa moralitas bangsa Indonesia kini sedang sakit. Ada sepuluh indikator dia kemukakan, yakni bangsa Indonesia mudah melakukan kecurangan, menganggap diri paling benar dan hebat, bersikap dan bertindak tidak rasional, emosional dan mudah menggunakan kekerasan, cenderung bertindak seenaknya dan melanggar aturan, cenderung hidup dalam kelompok dengan wawasan sempit, berpendirian tidak konsisten, mengalami konflik identitas, bersikap dan bertindak munafik, serta ingin m endapat kan has i l t anpa kerja keras ( Harian Kompas, 05 April 2004). Karakt er anak -anak dan remaj a Indonesia urnumnya juga mengkhawatirkan, terutarna bila dilihat dari sembilan indikator tentang defisit karakter sebagai berikut:


(12)

1. Meningkatnya tindak kekerasan, seperti tawuran antar mahasiswa. 2. Meningkatnya penggunaan kata-kata tak santun dalam tutur wicara.

3. Meningkatnya pengaruh negatif peer group.

4. Meningkatnya perilaku merusak diri, seperti merokok dan penggunaan narkoba.

5. Makin kaburnya acuan moralitas yang tergantikan oleh moralitas "gaul."

6. Menurunya etos kerja, seperti malas mengerjakan pekerjaan rumah. 7. Merosotnya sikap respek kepada orang tua.

8. Meningkatnya sikap menghindar tanggung jawab.

9. Meningkatnya perilaku tak jujur, seperti "nyontek" dan berbohong kepada orangtua (Lickona dalam Megawangi, 2003). Kondisi pergaulan yang terjadi dikalangan mahasiswa pada saat ini sudah berada pada tahap ketidakwajaran, dimana batasan-batasan pergaulan yang ada antara pria dan wanita sudah tidak terkontol. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya kasus-kasus aborsi dikalangan mahasiswa dikarenakan pergaulan layaknya suami isteri yang menyebabkan terjadinya kehamilan, dan tentunya ini semua akan berdampak pada mentalitas dan karakter sehat mahasiswa.

Kondisi tersebut diperkuat dalam penelitian (Wahyuni: 2008), bahwa kasus aborsi di wilayah Jakarta Selatan berdasarkan data yang diperoleh dari sebuah klinik yang menangani masalah aborsi mendapatkan data dalam 5 bulan terakhir sebesar 65%. Dari pasien yang melakukan aborsi tersebut berstatus sebagai mahasiswi.

Berdasarkan penelitian (Armando: 2007), dari survey yang dilakukan terhadap dua juta kasus aborsi diIndonesia 750 adalah mahasiswi. Juga hasil penelitian yang dilakukan Jaringan Epidemologi Nasional bahwa 15 % dari 2.224 mahasiswa di sepuluh Universitas Negeri dan swasta di Jakarta, Semarang dan Surabaya, telah biasa melakukan hubungan seks di luar nikah.


(13)

Dalam penelitian pendahuluan terhadap mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta terkait dengan karakter muth‟mainah mahasiswa yang melibatkan sekitar 10% responden atau sekitar 120 mahasiswa dari 1200 jumlah polulasi yang ada, karakter muth‟mainah mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang memiliki karakter muth‟mainah tinggi sebanyak 57 %, dan sisanya 43 % kondisi karakter muth‟mainah mahasiswa masih dalam kategori rendah.. Hal ini mejadi bagian penting bagi pengembangan model konseling kesehatan mental berdasarkan teori transformasi ruhani Ibn. Qayyim al-Jauziyah untuk pengembangan karakter muth‟mainah mahasiswa berdasarkan data yang diperoleh hampir sebagian mahasiswa yang masih rendah karakter muth‟mainahnya

Studi ini menawarkan suatu model pelayanan sebagai suatu cara untuk meningkatkan pengembangan karakter sehat mahasiswa di Perguruan Tinggi. Cara yang ditawarkan adalah Model Konseling Kesehatan Mental berdasarkan

teori Tranformasi Ruhani Ibn, Qayyim al-Jauziyah untuk pengembangan karakter muth’mainah mahasiswa ( 18 H/13 M: 1996 ). Karakteristik khas dari

model layanan konseling kesehatan mental Ibn. Qayyim al-Jauziyah bertopang pada nilai-nilai normatif al-Qur‟an dan al-Hadits, dan tidak terpengerauh dengan aliran-aliran filsafat seperti ulama-ulama sufistik lainnya seperti al-Ghazali dan Ibn. Miskawih.


(14)

B. Masalah Penelitian

Hawari (1997) memandang bahwa dalam kehidupan masyarakat modern dan industri dengan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai tulang punggungnya, seringkali menimbulkan ketidakpastian di bidang hukum, moral, norma, nilai, dan etika kehidupan, yang pada gilirannya manusia kehilangan pegangan, hanyut terbawa arus globalisasi dan lepas dari tali agama Allah

(al-Qur‟an) serta terjerumus ke dalam kebinasaan. Orang-orang yang mengalami masalah dibidang kesehatan mental, tidak mampu melakukan penyesuaian diri terhadap berbagai perubahan yang terjadi di lingkungannya. Mereka menghadapi stress, terlibat dalam berbagai bentuk perilaku menyimpang. Mereka ini dari perspektif ajaran Islam dipandang sebagai orang-orang yang membutuhkan layanan bantuan khususnya layanan konseling kesehatan mental berdasarkan nilai-nilai ajaran Islam yaitu al-Qur‟an, supaya mereka dapat hidup secara bermartabat dan mampu kembali kepada jalan yang benar.

Pangkahila (2004) mengamati bahwa moralitas bangsa Indonesia terutama remaja kini sedang sakit. Ada sepuluh indikator dia kemukakan, yakni bangsa Indonesia mudah melakukan kecurangan, menganggap diri paling benar dan hebat, bersikap dan bertindak tidak rasional, emosional dan mudah menggunakan kekerasan, cenderung bertindak seenaknya dan melanggar aturan, cenderung hidup dalam kelompok dengan wawasan sempit, berpendirian tidak konsisten, mengalami konflik identitas, bersikap dan bertindak munafik, serta ingin m endapat kan hasi l t anpa kerj a keras


(15)

Dalam agama-agama samawi seperti Islam misalnya, anak termasuk remaja dianggap sebagai amanat. Orang tua diingatkan bahwa mereka memiliki kewajiban moral untuk menunaikan amanat tersebut, sehingga anak-anak tidak menjadi generasi lemah, yakni generasi yang khawatir akan masa depannya. Tuhan menegaskan bahwa salah satu ciri dari manusia yang bertanggungjawab

atau takwa kepada-Nya adalah mereka yang tidak meninggalkan generasi lemah

(QS: 4: 9).

Dalam hadits muttafaqun „alaih dinyatakan bahwa setiap bayi terlahir dalam keadaan fitrah, suci dan utuh secara potensial tanpa adanya kecacatan mental. Namun kondisi suci secara potensial ini segera dihadapkan pada persoalan serius, karena secara potensial kemampuan-kemampuan secara psikologis belum dapat difungsikan. Kematangan (maturation) mental terjadi secara bertahap. Hanya nafsu syahwat yang matang semenjak bayi dilahirkan. Ini artinya titik awal aktualitas potensi jiwa manusia, sejak post natal, adalah cenderung negatif, karena nature syahwat adalah negatif. Sebagaimana penegasan al-Qur‟an bahwa : Artinya:” Sesungguhnya kecenderung jiwa manusia adalah negatif, kecuali orang-orang yang diberi rahmat Allah”.

Inilah kemungkinan titik awal setelah kesempurnaan potensial, sebagaimana dijelaskan dalam ayat At-Tiin: 4-6 .Artinya:” Sungguh Kami telah ciptakan manusia dalam sebaik-baiknya rupa (bentuk)”.

Pada proses selanjutnya tidak ada lagi konidisi jiwa yang bersih, kecuali yang terjadi pada para nabi dan rasul Allah. Fitrah suci ruhani dikontaminasi nafsu manusia. Pemihakan terhadap nafsu tersebut menjadi niscaya mengingat


(16)

daya ruhani ini merupakan satu-satunya daya yang mendominasi sejak bayi dilahirkan. Menjelang usia selanjutnya bagian nafsu yang lain al-ghadab mulai menyusul matang. Kematangan al-ghadab menjadikan anak mernasuki masa egosentrisnavis. Masa di mana keakuan anak muncul yang biasanya diekspresikan dengan sikap tidak mau mengalah dan keras kepala. Pada fase ini kemungkinan negatif lebih dominan. Kematangan al-ghadab ini berikutnya segera diikuti dengan kematangan akal (al-aq‟l), sedangkan daya

al-qalb baru fungsional setelah masa baligh. Masa setelah baligh inilah

s e s u n g g u n ya m a s a b e r f u n g s i n ya s e c a r a u t u h d a ya - d a ya r u h a n i . Perkembangan ruhani seperti ini membuat hipotesis bahwa tidak ada

ruhani yang bersih kecuali mereka yang di ma‟sum. Dan

ketidakseimbangan ruhani menyebabkan gangguan mental bahkan sakit mental.

J i k a k e a d a a n n ya s e p e r t i d i a t a s , l a n t a s b a g a i m a n a c a r a n ya mengembalikan kesucian ruhani setelah ternodai dosa dan salah? Bagaimana menjadikan pribadi yang tidak sehat secara mental menjadi sehat mental? Seperti apakah konsep transformasi (penyucian dan pemberdayaan ruhani) yang ditawarkan oleh Ibn. Qayyim untuk mengantarkan ruhani menjadi ruhani yang rabbani? Model mujahadah seperti apa yang efektif mentransformasikan nafsu dari titik negatif menjadi positif, bahkan menjadi manusia yang insan kamil.


(17)

Kajian terhadap panorama konseling kesehatan mental (mental-hygiene) semakin menguatkan pemikiran dan keyakinan bahwa layanan konseling kesehatan mental (mental-hygiene) yang didukung oleh sistem manajemen yang efektif akan memberikan sumbangan yang strategis bagi upaya peningkatan mutu pendidikan. Cony Semiawan (1994: 1) mendukung keyakinan ini dengan menyatakan bahwa agar pengakuan terhadap sumbangannya semakin mantap, pengembangan konseling kesehatan mental (mental-hygiene) hendaknya diarahkan kepada upaya untuk meningkatkan kesiagaan mengantisipasi situasi kehidupan yang diwarnai oleh semakin pesatnya perkembangan iptek dan derasnya hujan informasi.

Analisis ini menggulirkan persoalan perlunya pengembangan model layanan kesehatan mental (mental-hygiene) yang utuh dan aplikatif untuk diterapkan pada berbagai setting pendidikan. Berbagai upaya pengembangan model yang telah dilaksanakan selama ini belum didasarkan kepada kondisi objektif di lapangan dan belum diupayakan secara kolaboratif sehingga hasilnya masih dihayati sebagai kegiatan yang bersifat instruktif-adminstratif serta belum memacu motivasi personil kesehatan mental (mental-hygiene) di lapangan untuk mengembangkanya secara terus menerus dan berkesinambungan.

Mengacu dan mencermati upaya dan persoalan-persoaan di atas, maka studi ini berada dalam kerangka upaya menemukan konseptual dan model konseling kesehatan mental berbasis nilai-nilai qur‟ani melalui pendekatan tranformasi ruhani menurut Ibn. Qayyim Al-Jauziyah.


(18)

C. Identifikasi Pertanyaan Penelitian

Dengan menetapkan kerangka kerja penelitian di atas, sebagai upaya untuk mendekati masalah penelitian ini, maka pertanyaan penelitian pada konteksnya dipertajam sebagai berikut:

1. Bagaimana profil karakter muth‟mainah mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ?

2. Bagaimana model penyelenggaran konseling kesehatan mental berdasarkan teori transformasi ruhani Ibn.Qayyim al-Jauziyah ?

3. Bagaimana tahapan pengembangan model konseling kesehatan mental berdasarkan teori transformasi ruhani Ibn.Qayyim al-Jauziyah untuk membantu menumbuhkembangkan karakter muth‟mainah mahasiswa ?

4. Bagaimana rumusan akhir revisi model konseling kesehatan mental berdasarkan teori transformasi ruhani Ibn. Qayyim al-Jauziyah untuk membantu menumbuhkembangkan karakter muth‟mainah mahasiswa ? 5. Apakah Skor pengembangan karakter muth‟mainah konseli dapat

meningkat secara signifikan setelah menerima layanan konseling kesehatan mental berdasarkan teori transformasi ruhani Ibn Qayyim al-Jauziyah?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menemukan model layanan konseling kesehatan mental berdasarkan teori tranformasi ruhani Ibn. Qayyim al-Jauziyah untuk pengembangan karakter muth‟mainah mahasiswa. Berdasarkan rumusan tujuan ini ditetapkan tujuan-tujuan khusus penelitian sebagai berikut:


(19)

1. Ingin mengetahui profil karekter muth‟mainah mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ? 2. Mengetahui model penyelenggaran konseling kesehatan mental

berdasarkan teori transformasi ruhani Ibn.Qayyim al-Jauziyah ?

3. Mengetahui tahapan pengembangan model konseling kesehatan mental berdasarkan teori transformasi ruhani Ibn.Qayyim al-Jauziyah untuk membantu menumbuhkembangkan karakter muth‟mainah mahasiswa ? 4. Menemukan rumusan akhir revisi model konseling kesehatan mental

berdasarkan teori transformasi ruhani Ibn.Qayyim al-Jauziyah untuk membantu menumbuhkembangkan karakter sehat mahasiswa ?

5. Mengetahui besarnya skor pengembangan karakter sehat konseli dapat meningkat secara signifikan setelah menerima layanan konseling kesehatan mental berdasarkan teori transformasi ruhani Ibn Qayyim al-Jauziyah ?

6. Mengetahui besarnya perbedaan skor pengembangan karakter

muth‟mainah konseli yang menerima layanan konseling kesehatan mental

berdasarkan teori transformasi ruhani Ibn Qayyim al-Jauziyah lebih tinggi daripada konseli yang menerima bantuan melalui konseling kesehatan mental secara konvensional.


(20)

E. AsumsiPenelitian

Penelitian model konseling kesehatan mental berdasarkan teori transformasi ruhani Ibn. Qayyim al-Jauziyah untuk pengembangan karakter muth‟mainah mahasiswa ini dilandasi oleh beberapa asumsi:

1. Manusia dilahirkan dengan membawa potensi, sifat dan bakat spiritual (spiritual trait) yang perlu dikembangkan secara menyeluruh dan berkelanjutan agar hidup lebih bermakna, mampu meraih kebahagiaan saat ini dan masa mendatang, dan akhirnya mampu menyikapi segala sesuatu secara lebih jernih dan benar sesuai hati nurani (Sinetar: 2000:23; Sukidi, 2002: 41; Muslihuddin, 2010: 13).

2. Teori transformasi ruhani yang dilandasi oleh fundamental pemikiran dinamika ruhani, yaitu al-Qalb selalu positif, al-'aql netral dan al-nafs cenderung negatif. Menariknya dalam dinamika ruhani ini adalah karena kedudukan awal dari 'pertempuran batin' adalah berimbang. Allah telah menyediakan satu potensi positif, satu potensi negatif dan s atu potensi netral sebagai penimbang (standarisasi), yaitu al-aql (Ibn Qayyim al-Jauziyah: 691-751H: 83).

3. Dinamika ruhanilah yang akan menentukan baik buruknya sebuah perilaku secara hakiki. Jika dinamika ruhani tersebut dikendalikan oleh nafsu, maka sudah pasti yang akan muncul adalah karakter ammarah/defisit karakter. Sebaliknya jika kendali dalam dinamika ruhani itu berada dalam

al-ruh/al-qalb yang merupakan wadah hidayah, maka perilaku yang muncul adalah


(21)

4. Untuk mengembalikan karakter ammarah menjadi karakter muth‟mainah bukanlah persoalan mudah, diperlukan model konseling kesehatan mental yang bertopang pada nilai nilai spiritual dan uapaya sungguh-sungguh berupa mujahadah, riyadah, dan tazkiyah an-Nafs.

F. Kerangka Konseptual

1. Konseling Kesehatan Mental Berdasarkan Teori Tranformasi Ibn. Qayyim

Al-Jauziyah

Konseling berasal dari istilah bahasa Inggris counseling yang kemudian diindonesiakan menjadi konseling. Sedangkan secara etimologi istilah konseling berasal dari bahasa Latin yaitu consilium yang berarti dengan menerima atau memahami (Prayitno, 1994:100).

Pengertian konseling secara formulatif, dapat dikaji dari banyak sisi.

Pertama, konseling merupakan suatu hubungan helping (helping

relationship). Oleh karena itu, istilah konseling (counseling) sering

dipertukarkan dengan istilah lain yang ekuivalen maknanya, yaitu bantuan (helping). Kemudian istilah konselor (counselor) dengan helper (helper), sedangkan klien (dieno dengan helpi (helpee). Jadi, konseling sebagai helping merupakan sebuah proses pertolongan yaitu proses pemberian bantuan kemampuan kepada seseorang sesuai dengan arah yang dipilihnya. Kedua, konseling merupakan upaya profesional, karena kegiatan konseling dilaksanakan oleh seorang penyuluh yang telah memiliki kualifikasi profesional dalam pengetahuan, keterampilan, pengalaman, dan kualitas pribadi. Oleh karena itu, konseling merupakan


(22)

salah satu bantuan profesional seharusnya memiliki kepercayaan yang sejajar dengan psikiatris, psikoterapi, kedokteran, dan penyuluhan sosial.

Konseling dalam perspektif Kartadinata (2011: 23) merupakan teknik bantuan yang secara langsung memfasilitasi konseli dalam mengatasi masalah dan mengambil keputusan secara konstruktif, konseling bisa dilakukan sesudah maupun sebelum konseli memperoleh layanan bimbingan, sehingga upaya bimbingan tidak serta merta harus diikuti dengan layanan konseling. Konseling bukanlah teknik eklusif karena istilah konseling tidak hanya digunakan di dalam pendidikan, tetapi banyak digunakan juga di dalam bidang keilmuan dan profesi lain. Oleh karena itu penggunaan konseling dalam pendidikan tidak bisa dilepaskan dari layanan bimbingan sebagai bentuk upaya pedagogis.

Dalam perspektif Dahlan (2005:5) konseling merupakan upaya bantuan yang diberikan kepada klien supaya dapat memperoleh konsep diri dan kepercayaan pada diri sendiri, untuk.dimanfaatkan olehnya dalam

memperbaki tingkah lakunya pada masa yang akan datang.

Definisi konseling mengacu juga pada Nelson Richard-Jones (1995:2-3), dalam (Asep Saepudin dan Rina R., 2004:9(1995:2-3), konseling dapat diartikan sebagai upaya yang dilakukan untuk membantu seseorang agar dapat menolong dirinya sendiri. Untuk dapat menolong diri sendiri, klien dibimbing agar dapat membuat keputusan sendiri sehingga ia merasa senang dan bertanggung jawab dalam melakukan tindakannya. Dalam proses konseling diciptakan suatu kondisi yang memungkinkan klien dapat menyatakan


(23)

keinginan tanpa diliputi ketegangan emosional yang tinggi. Untuk terciptanya komunikasi yang interaktif, konselor harus mampu memberikan pemahaman dan keyakinan, bahwa diri klienlah yang paling mengetahui tentang permasalahan yang dihadapi dan konselor berperan sebagai fasilitator dalam membantu pemecahan masalah tersebut. Semua proses interaktif tersebut dipandang sebagai persahabatan jangka pendek dengan tujuan yang disadari, dan selama ini konselor dengan klien menunjukkan perubahan kemampuan intelektual, kematangan emosional dan tilikan spiritual.

Dari deskripsi tentang definisi konseling di atas, penulis berpendapat bahwa konseling adalah bantuan seorang profesional (konselor) terhadap orang lain (klien), untuk menyadarkan klien agar dapat mengatasi konflik-konflik yang dialaminya, dan dia bisa kembali kepada kehidupan yang normal, nyata dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolah, masyarakat dengan penuh kesadaran.

Sementara kesehatan mental secara etimologi berasal dari kata

hygiene berasal dari hygea yaitu nama dewi yunani, sehingga hygiene berarti

suatu kegiatan yang bertujuan mencapai kesehatan. Sementara itu, mental (dari bahasa Latin mens, mentis) berarti nyawa, sukma, roh, semangat. Ilmu kesehatan mental (mental hygiene) merujuk kepada pengembangan dan aplikasi seperangkat prinsif-prinsif praktis yang diarahkan kepada pencapaian dan pemeliharaan psikologis manusia yang sehat dan pencegahan dari kemungkinan timbulnya kerusakan mental atau maladjustment (Yusuf, 2004).


(24)

Kesehatan mental dapat diartikan sebagai suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual, dan emosional yang optimal dari seseorang da perkembangan itu selaras dengan perkembangan orang lain.

Ada beberapa ciri orang yang sehat mental menurut Maslow dan Mittelmann, antara lain: (1) memiliki rasa aman yang tepat (sense of

security), (2) memiliki penilaian diri (self-evaluation), dan wawasan diri yang

rasional, (3) mempunyai spontanitas dan emosionalitas yang tepat (4) mempunyai kontak dengan realitas secara efisien (5) mempunyai pengetahuan diri yang cukup, (6) mempunyai dorongan dan nafsu-nafsu jasmaniah yang sehat, (7) memiliki tujuan hidup yang tepat, (8) memiliki kemampuan belajar dari pengalaman hidupnya, (9) ada kesanggupan untuk memuaskan tuntutan-tuntutan dan kebutuhan-kebutuhan dari kelompoknya, sebab ia conform dengan yang lain, (10) ada sikap emansipasi yang sehat terhadap kelompoknya dan terhadap kebudayaan, namun tetap memiliki originalitas dan individualitas yang khas, (11) ada integrasi dalam kepribadiannya, yaitu kebulatan jasmani dan rohani.

Selanjutnya dijelaskan pula bahwa normalitas ditandai oleh (a) integrasi kejiwaan, (b) kesesuaian tingkah laku sendiri dengan tingkah laku sosial, (c) adanya kesanggupan melaksankan tugas-tugas, dan (d) efisien dalam menanggapi realitas hidup.

Sementara itu, ciri-ciri mental orang yang tidak sehat menurut Thorpe dalam Schneider, 1964, antara lain: (1) perasaan tidak nyaman (inadequacy), (2) perasaan tidak nyaman (insecurity), (3) kurang memiliki rasa percaya diri


(25)

(self-confidence), (4) kurang memahami diri (self-understanding), (5) kurang mendapatkan kepuasan dalam berhubungan sosial, (6) ketidakmatangan emosi, (7) kepribadiannya terganggu, (8) mengalami patologi dalam struktur sistem syaraf.

Sementara konseling kesehatan mental dipahami sebagai suatu kumpulan yang berhubungan dengan pendidikan yang spesifik, ilmiah dan memberikan sumbangan professional terhadap disiplin ilmu pendidikan, psikologi dan konseling. Konseling kesehatan mental merupakan suatu profesi dimana individu dikonseptualisasikan secara holistik dan lebih mengacu ke arah perkembangan dengan memperhatikan pengaruh-pengaruh kontekstual dalam hidup individu. Dari perspektif sistem, klien dipengaruhi oleh keluarga, masyarakat, sejarah, budaya, dan konteks sosio ekonomi, yang berarti daya masyarakat dan pendekatan inter-disipliner dapat bermanfaat dalam treatmen ini. Sementara dari perspektif individual dijelaskan bahwa individu dapat dipandang sebagai suatu gestalt dari banyak domain yaitu emosi, fisik, sosial, vokasional, dan spiritual, menuju gaya hidup sehat. Sebagai bagian dari layanan, konselor memusatkan diri pada filosofi kesehatan mental secara holistik dan kurang memusatkan pada isu-isu penyakit klinis dan perawatan beberapa jenis penyakit mental.

Konseling kesehatan mental membatasi diri pada konseling profesional dalam perspektif konseptual dan filosofis yang lebih menekankan pada pendidikan, pengembangan dan preventif (pencegahan) daripada klinis, remedial, dan medis.


(26)

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa konseling kesehatan mental, merupakan profesi penyedia layanan masyarakat yang didasarkan pada pengetahuan tentang ilmu-ilmu tingkah laku dan dipusatkan pada kekuatan, pengembangan, dan aspek-aspek holistik dan multi-segi dari kesehatan mental. Konselor-konselor kesehatan mental menggunakan proses-proses ilmiah untuk memperkuat dan memelihara kembali kesehatan mental klien. Kerangka kerjanya adalah untuk menyatukan konseptualisasi antara: (a) individu sebagai suatu gestalt dalam berbagai domain, dengan (b) posisi individu dalam keluarga dan acuan kultur sosial. Fokus ini meluas pada lingkungan dan karakteristik macro-sistemik seperti halnya keluarga atau dinamika pribadi. Konseling kesehatan mental bukan berarti membantu orang yang menderita sakit ingatan untuk menyesuaikan hidup secara efektif, melainkan hal-hal yang terkait dengan kesehatan dengan variasi keadaan yang luas, baik secara sosial maupun individual. Konseling kesehatan mental dibentuk dalam peranannya bagi tenaga, vitalitas, dan kesehatan badan, pikiran, spirit, dan koneksi sosial yang mendukung kesejahteraan atau kesehatan.

Konseling Kesehatan Mental berdasarkan teori Transformasi Ruhani adalah proses pemberian bantuan kepada individu atau kelompok agar memiliki kei‟tidalan (keseimbangan) dalam berperilaku melalui pemberdayaan ruhani dengan cara riyadah, mujahadah, dan tazkiah an-Nafs.

Secara ekplisit Ibn. Qayyim tidak menyebutkan istilah kesehatan mental (shihatun-nafs), tetapi secara imlisit beliau menyebutnya dengan


(27)

istilah qalbun salim, dan makna kesehatan mental terfokus pada kesehatan yang berwawasan agama, khususnya yang dikaitkan dengan ruh. Dari beberapa kitab karangan Ibn. Qayyim seperti qutt al-Qulub, madarij

as-salikin, ighasatulhfan, thib an-Nabawi, tidak ditemukan istilah kesehatan

mental (shihah al-nafs) atau mental yang sehat (al-nafs al-shahih), tetapi ditemukan istilah qalbu yang selamat (qalb Salim) atau keselamatan qalbu (salamat al-qalb)." Qalbu merupakan struktur manusia yang paling dekat dengan ruh, sehingga penggunaan kesehatan qalbiah sesungguhnya telah mewakili istilah kesehatan ruhaniah. Dengan demikian, terminologi kesehatan mental dalam pemikiran Ibn Qayyim diidentikkan dengan kesehatan qalbiah atau kesehatan ruhaniah, yang wilayahnya lebih mengarah kepada kesehatan spiritual Islarni.

Merujuk pada perbedaan makna tersebut, kesehatan mental dalam pemikiran Ibn Qayyim memiliki keunikan tersendiri dibanding dengan kesehatan mental dalam psikologi modern. Kesehatan mental di sini lebih menekankan pada sehat dari sudut bagaimana seharusnya yang di dalamnya terdapat nilai baik dan buruk atau pahala dan dosa, sementara kesehatan mental dalam psikologi modem lebih menekankan pada sehat dari sudut apa adanya, tanpa mengkaitkan nilai baik-buruk dalam perilaku batiniahnya.


(28)

Menurut Ibn Qayyim, Kesehatan mental dalam kaitannya dengan ruh identik dengan kesehatan ruhaniah atau qalbiah. Maksud Kesehatan ruhaniah atau qalbiah adalah hati yang selamat dari syahwat yang mengajak menyalahi perintah Allah; selamat dari hal-hal yang syubhat; selamat beribadah selain pada-Nya; dan selamat dari keingkaran hukum rasul-Nya. Karena itulah maka hati menjadi penuh cinta, takut dan berharap kepada Allah, serta bertawakkal, kembali, menghinakan diri dan mencari keridhaan-Nya. Kesehatan hati menjauhkan seseorang pada perilaku syirik, bid'ah, pembangkangan dan kebatilan. kesehatan qalbiah adalah qalbu yang selamat yang dapat menghadap kehadiran Allah Swt di hari kiarnat kelak. Firman Allah Swt dalam QS. al-Syu'ara' ayat 89 " Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang

bersih (qalb Salim). " Pengertian ini diasumsikan dari citra awal manusia

sebagai mahluk yang suci, bersih dan fitri, yang citra awal ini diberikan oleh Allah Swt kepadanya sejak awal penciptaannya, agar ia mudah dan gampang melaksanakan ibadah kepada-Nya.

Konseling kesehatan mental berdasarkan teori tranformasi ruhani Ibn. Qayyim al-Jauziyah, secara garis besar sebagai proses pemberian bantuan kepada individu agar memiliki kesadaran sebagai hamba dan khalifah Allah yang bertanggungjawab atas dasar norma dalam al

-Qur‟an, dan al-Hadits, dan tranformasi ruhani sebagai model yang ditawarkan oleh Ibn. Qayyim al-Jauziyah sebagai upaya pembentukan karakter manusia yang paripurna atau insan kamil.


(29)

Adapun proses terapeutik yang efektif menurutnya ditempuh melalui

ilmu syari‟at (agama), di samping ilmu-ilmu akal. Tetapi ilmu akal itu hanya berfungsi sebagai makanan bagi jiwa, sedangkan fungsi obat yang sebenarnya bagi jiwa hanya pada ilmu agama. Diantara bentuk terapeutik yang ditawarkan al-Qur‟an adalah melalui pengembangkan ruhani/spiritual melalui ibadah dan membentuk akhlak dan mentalitas yang sehat sebagaimana diajarkan oleh para nabi-nabi, dan rasul Allah.

Proses perkembangan ruhani tidak sekedar melibatkan daya-daya ruhani dalam diri manusia semata, tetapi ada kekuatan di luar diri yang terlibat bahkan berfungsi sebagai stimulan dan motivator bagi pembentukan keputusan ruhani (niat) yang akhirnya terwujud dalam bentuk prilaku. Jika daya internal ruhani itu ada al-qalb, al-'aql dan al-nafs, maka daya eksternalnya adalah malaikat dan setan. Hebatnya adalah komposisi daya ini begitu berimbang. Kekuatan positif sesungguhnya ada dua yaitu

al-qalb (daya internal) dan malaikat (daya eksternal), sedangkan

kekuatan negatif juga ada dua yaitu al-nafs (daya internal) dan setan (daya eksternal). Al-Aql sebagai standarisasi kebenaran (mizan Allah fi al-ard) merupakan kekuatan netral yang dapat berpihak kemanapun. Munculnya sebuah keputusan ruhani dalam bentuk niat sesungguhnya merupakan buah dari dinamika atau lebih tepatnya pertempuran batin dari daya-daya yang saling bertentangan ini.


(30)

Dua faktor eksternal lain yang juga sangat signifikan keterlibatannya dalam dinamika ruhani adalah Allah dan lingkungan (milieu). Peran Allah sebagai penguasa hakiki segala realitas dijelaskan oleh Ibn. Qayyim. Tetapi kontribusi lingkungan dalam hal ini seperti terlepas dari analisis sistemik dalam dinamika ruhani ini. Padahal dalam hadis tentang fitrah, Rasulullah SAW. justru meletakkan lingkungan keluarga (baca orang tua) sebagai penentu keberagamaan anak. Seharusnya faktor lingkungan ini menjadi pertimbangan penting.

Dengan demikian jika dua faktor terakhir dilibatkan dalam analisis terhadap dinamika ruhani, maka pembentukan keputusan ruhani akan semakin kompleks. Di sinilah perlunya doa sebagai bentuk permohonan intervensi Allah agar tetap dalam kebaikan dan kebenaran, dan di sinilah pentingnya menyiapkan lingkungan yang positif, sehingga dapat menjadi referensi positif bagi ruhani saat menghadapi keraguan dalam pengambilan keputusan batin dalam bentuk niat. Secara skematik dinamika ruhan i tersebut dapat digambar pada gambar 1.1 sebagai berikut:


(31)

Gambar 1.1:Dinamika Ruhani

Musfir bin Said Az-Zahrani dalam bukunya” konseling terapi berdasarkan al-Qur‟an dan al-Hadits”, mengatakan indikasi manusia yang sehat berdasarkan nilai-nilai qur‟ani adalah sebagai berikut:

Qalb Ruh

Aql

Lingkungan setan

Karakter Muth‟mainah

Karakter Ammarah

Allah

Malaikat


(32)

1. Memiliki prinsif (tauhid) yang kuat terhadap eksistensi Tuhan, Malaikat, kitabullah, hari akhir, para rasul, serta takdir dan ketetapan-Nya.

2. Mengetahui hakikat jati diri; mengenal dirinya disertai kodrat-Nya, dan mampu menyeimbangkan ambisisnya sesuai dengan kemampuannya.

3. Sensitif terhadap lingkungan sekitar, apa yang menjadi masalah orang lain menjadi masalah baginya, bermanfaat untuk kepentingan orang banyak.

4. Akrab dengan ciptaan-Nya, sikap pemelihara terhadap alam semesta, dan berpikir terhadap keagungan ciptaan-Nya.

Sementara teori yang ditawarkan dari model konseling kesehatan mental adalah teori tranformasi ruhani Ibn. Qayyim al -Jauziyah yang yang mencoba memberdayakan potensi ruh sebagai potensi yang memiliki natur positif dibanding dengan akal, nafs, dan hati melalui mujahadah, riyadah, dan tazkiayah an-nafs.

Transformasi berasal dari kata transform yang artinya change

completely the appereance or character of....(perubahan secara lengkap

penampilan atau sifat dari...). Martin H. Manser (chief compiler), Oxford

learner's Pocket Dictionary, (Oxford University Press: 1995), dalam Kamus

Inggris-Indonesia, transform diartikan sebagai (1) mengubah (bentuk) dan (2)

merubah seperti merubah panas menjadi tenaga. Sedangkan kata


(33)

(John M. Echols,1990). Dengan demikian yang dimaksud dengan transformasi ruhani dalam disertasi ini adalah perubahan ruhani menjadi ruhani yang sempurna meliputi tazkiyat al-nafs, mujahadah, riyadah, khalwah,

maqamat-ahwal hingga wusul.

Transformasi ruhani dalam perspektif Ibn.Qayyim al-Jauziyah seperti halnya al-Ghazali berawal dari penyucian nafsu (tazkiyat al-nafs) melalui

mujahadah dan riyadah. Rangkaian mujahadah dan riyadah harus

dilakukan guna menundukkan nafsu syahwat dan ghadabnya dibatas i'tidal sesuai syara'. Jika telah selesai dari mujahadah dan ri.yadah, maka ia diharapkan memiliki karakter yang sehat dan menjadi manusia yang paripurna.

Jadi yang dimaksud dengan konseling kesehatan mental berdasarkan teori tranformasi ruhani adalah proses pemberian bantuan kepada individu atau kelompok agar memiliki ke I‟tidalan (keseimbangan) dalam berperilaku melalui mujahadah dan riyadah (latihan) dan tazkiyah an-nafs dengan beberapa tahapan yaitu: penyadaran, pembiasaan, internalisasi, dan istiqamah. 2. Definisi Karakter Muth‟mainah

Secara harfiah, karakter berarti mengukir sifat-sifat kebajikan (Megawangi, 2003). Bila arti-arti ini dirangkai, maka ia berarti uasaha terus menerus menanamkan dan melembagakan pada diri sendiri dan orang lain sifat-sifat kebajikan. Unell & Wyckoff (1995) dan Papov et al (1997), menggunakan istilah virtues untuk menyebut sifat-sifat kebajikan. Rich (1997) menggunakan istilah mega skill, sedangkan Tillman dan Hsu (2004) menggunakan istilah living


(34)

values. Tiga istilah asing ini digunakan untuk: (1) membedakan keterampilan instrumental seperti membaca, menghitung, dan menulis dari keterampilan fundamental, yakni kemampuan, kapasitas-kapasitas bawaan dan fitrah (gift within) yang berupa kecenderungan manusia pada kebaikan seperti amanah (trush), adil, cinta kebaikan (hanif), jujur, empati, menghargai orang lain, peduli sesama, dan toleransi, dan (2) dimana dan siapa yang paling bertanggungjawab menanamkan atau melembagakan keterampilan fundamental tersebut, terutama pada anak-anak.

Josephen et al (2001) mengajukan enam pilar karakter, yakni dapat dipercaya, menghargai orang lain, bertanggungjawab, adil, penuh kasih sayang, dan peduli sesama. Megawangi (2003) mengajukan Sembilan karakter, yakni cinta kepada Tuhan dan kebenaran, tanggungjawab, kedisiplinan dan kemandirian, amanah, hormat dan santun, kasih sayang, kepedulian, dan kerjasama, percaya diri, kreatif, dan pantang menyerah, adil dan kepemimpinan baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai.

Megawangi mengemukakan bahwa ada dua paradigm dominan karakter dibangun, yakni paradigm nature uyang menekankan faktor alami atau fitrah, dan paradigm nurture, yang menekankan faktor lingkungan atau sosialisasi (Mafriana, 2003). Ada dua varian dominan dalam paradigm nature, yakni paradigm moral relativs dan liberal. Tesus moral relativis mengemukakan bahwa karakter seseorang akan terbentuk dengan sendirinya secara alamiah. Intervensi baik dalam keluarga maupun lembaga pendidikan (conditioning) justeru akan menghambat perkembangannya. Kilpatrick mengecam tesis ini dan menganggap ia


(35)

bertanggungjawab atas terjadinya dekadensi moral remaja di AS (Megawangi, 2003).

Paradigma liberal mengemukakan bahwa baku moral tidak perlu dikembangkan asalkan anak-anak merasa okey, maka perkembangan anak akan normal. Ryan dan Bohlin menilai pandangan kelompok liberal membuat anak-anak tidak terdorong berkomitmen terhadap norma sosial. Inilah yang kemudian memicu munculnya perilaku anti-sosial seperti perilaku seks bebas, penggunaan alcohol dan obat bius (Megawangi, 2003).

Tesis paradigm nurture mengmukakan bahwa fitrah (gift within) manusia hanyalah sebuh kecenderungan atau potensi belaka. Pengembangan potensi ini melalui pembiasaan, conditioning, atau pendidikan karakter baik oleh orang tua di rumah, maupun oleh guru di sekolah sangat dibutuhkan agar kecenderungan itu mengarah pada kebaikan, sehingga anak-anak memiliki sebuah pegangan moral atau moral absolute. Pegangan moral ini menjadi pemberi dasar pendidikan karakter. Salkind (1985) dan Lickona (Megawangi, 2003) menilai, tesis paradigm nurture cocok untuk pendidikan karakter anak-anak atau pengembangan SDM pada umumnya.

Menurut Ibn. Qayyim karakter muthmainnah adalah karakter yang telah diberi kesempurnaan nur kalbu, sehingga dapat meninggalkan sifat-sifat tercela dan tumbuh sifat-sifat yang baik. Kepribadian ini selalu berorientasi ke kompenen kalbu untuk mendapatkan kesucain dan menghilangkan segal a kotoran, sehingga dirinya menjadi tenang. Al -Qur'an menginformasikan bahwa manusia nanti yang akan dipanggil memasuki surga-Nya dengan panggilan kepada


(36)

jiwanya yang muthmainnah (tenteram), sehingga terkesan kuat bahwa manusia yang sukses dan menurut al-Qur'an adalah mereka yang berjiwa muthmainnah itu."' Firman Allah:

"Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi di ridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku. Dan masuklah ke dalam surga-Ku" (QS al-Fajr {89} : 27-30).

Adapun bentuk-bentuk karakter muthmainnah adalah sebagai berikut:

1. Memilih harga diri (hamiyah)

2. Rendah hati (tawadhu)

3. Dermawan(jud)

4. Kewibawaan (mahabbat)

5. Memelihara diri (syiyanah)

6. Berani (syaja'ah)

7. Ekonomis (iqtishad)

8. Waspada (ihtiraz)

9. Fisarat (farasat)

10. Memberi peringatan (nasihat)

11. Memberi hadiah (hadiyat)

12. Sabar (shabr)

13. Pemaaf (afw)

14. Mengetahui dan berilmu (ma'rifah wa 'ilm)

15. Dapat dipercaya (siqqat)

16. Pengharapan (raja)

17. Menceritakan nikmat dari Allah (tahaddus)

18. Hati lembut (riqqah al-Qalb)

19. Iri hati atas kebaikan (mawjadat)

20. Berlomba demi kebaikan (munafasat)

21. Menyintai Allah (hubb fi Allah)

22. Menyerahkan diri setelah berusaha. (tawakkal)

23. Hati-hati (ihtiyyat)

24. Inspirasi dari malaikat (ilham min malaki) 25. C e k a t a n d a l a m b e k e r j a ( m u b a d a r a h )


(37)

kalbu yang mampu merasakan thuma'ninah (QS al-Ra'd: 28). Sebagai komponen yang bernatur ilahiyah, kalbu selalu cenderung pada kesenangan dalam beribadah, menyintai, bertaubat, bertawakkal clan mencari ridha Allah Swt. Orientasi kepribadian ini adalah teosentris.

G. Lokasi dan Sampel Penelitian

Mendasarkan kepada konsep tersebut, maka penelitian ini menetapkan Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai populasinya. Dasar penetapan fakultas tersebut dilatar belakangi oleh tiga alasan: (1), Secara historis, fakultas Psikologi sebagai salah satu fakultas di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, memiliki karakter tersendiri terkait dengan visi dan misi Universitas, yaitu riset yang berbasis

al-Qur‟an. (2), Mahasiswa Fakultas Psikologi dianggap mahasiswa yang harus memiliki karakter muth‟mainah yang lebih tinggi dibanding dengan fakultas lain,

karena mereka dianggap sebagai orang yang kompeten dan memiliki integritas tinggi baik pada saat menjadi mahasiswa atau kelak setelah menyelesaikan studinya. (3), secara objektif Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta telah melaksanakan layanan konseling tetapi dalam mengembangkannya masih mengalami berbagai kendala. Subjek yang menjadi peserta penelitian in terdiri atas: (1) dosen petugas bimbingan dan konseling, (2) mahasiswa.

Berdasarkan informasi dari Pembantu dekan Bagian Akademik Dr. Bambang Suryadi jumlah mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebanyak 1300 orang. Adapun responden yang dijadikan sampel pada


(38)

penelitian ini adalah mahasiswa semester VI tahun ajaran 2011-2012, sebanyak 288 orang yang terbagi pada lima kelas. Adapun alasan peneliti menjadikan sampel semester VI, karena penulis menganggap bahwa mereka sudah mengalami akumulasi dari lingkungan, baik itu lingkungan internal kampus sendiri atau di lingkungan luar kampus. Dan pengembangan karakter

muth‟mainah, menjadi bagian penting dari akumulasi lingkungan dan perkembangan mahasiswa itu sendiri. Mahasiswa semester VI diasumsikan tingkat perkembangan karakternya lebih baik dibanding semester di bawahnya karena secara usia dan penyesuaian dirinya dianggap lebih adaptif di banding dengan mahasiswa di bawahnya . Adapun gambaran sampel semester VI secara jelas tertera dalam tabel 1.2 berikut ini:

Tabel 1.2 Sampel Penelitian

NO KELAS JUMLAH MAHASISWA

1 Kelas- A 47

2 Kelas- B 47

3 Kelas- C 47

4 Kelas- D 47

5 Kelas- E 50


(39)

BAB III

METODE PENELITIAN

Pada bab ini diuraikan secara rinci, pendekatan penelitian, definisi operasional variabel, pengembangan instrumen, subjek penelitian, prosedur penelitian, dan analisis data.

A. Pendekatan Penelitian

Tujuan akhir dari penelitian ini ini, yaitu merumuskan model konseling kesehatan mental berdasarkan teori tranformasi ruhani Ibn. Qayyim al-Jauziyah untuk pengembangan karakter muth’mainah mahasiswa. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian dan pengembangan (research and

development), sedangkan metode dalam penelitian ini menggunakan metode

campuran (mixed methods design), yaitu metode kualitatif dan kuantitatif yang digunakan secara terpadu dan saling melengkapi.

Menurut Creswell, J.W (2008: 552), mixed methods design adalah suatu prosedur untuk megumpulkan data, menganalisis, dan “mixing” kedua metode

kualitatif dan kuantitatif dalam satu penelitian tunggal untuk memahami masalah penelitian. Sedangkan jenis design dalam penelitian ini adalah exploratory mixed

design, yaitu prosedur pengumpulan data kualitatif untuk mengeksplorasi suatu

gejala, dan kemudian mengumpulkan data kuantitatif yang berkaitan dengan data kualitatif. Metode kualitatif dilakukan untuk memaknai deskripsi kondisi objektif tentang kebutuhan layanan konseling kesehatan mental berdasarkan teori transformasi ruhani Ibn. Qayyim al-Jauziyah untuk pengembangan karakter muth’mainah mahasiswa, serta mendeskripsikan pelaksanaan aktual layanan


(40)

konseling kesehatan mental berdasarkan teori transformasi ruhani Ibn. Qayyim al-Jauziyah untuk pengembangan karakter muth’mainah mahasiswa di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Hasil analisis dari pendekatan kualitatif sebagai dasar untuk merumuskana model hipotetik konseling kesehatan mental berdasarkan teori transformasi Ibn. Qayyim al-Jauziyah untuk pengembangan karakter muth’mainah mahasiswa. Pendekatan kuanitatif digunakan untuk menganlisis keefektifan model konseling kesehatan mental berdasarkan teori transformasi Ibn. Qayyim al-Jauziyah untuk pengembangan karakter muth’mainah mahasiswa berdasarkan teori transformasi ruhani.

Tahap pengembangan desain model, dengan menggunakan analisis deskriptif, metode partisipatif kolaboratif, dan metode eksperimen. Metode analisis deskriptif digunakan dalam penelitian ini untuk menganalisis secara faktual kondisi perkembangan mahasiswa, lingkungan perkembangan mahasiswa, dan karakter muth’mainah mahasiswa.

Metode partisipatif kolaboratif dilakukan untuk uji kelayakan dan uji lapangan model hipotetik konseling kesehatan mental berdasarkan teori transformasi ruhani Ibn. Qayyim al-Jauziyah untuk pengembangan karakter muth’mainah mahasiswa. Uji kelayakan model hipotetik dilakukan melalui diskusi terbatas dengan cakupan bahasan meliputi uji rasional, uji keterbacaan, uji kepraktisan, dan uji coba terbatas. Dalam uji rasional melibatkan tiga orang pakar konseling, uji keterbacaan melibatkan 10 orang dosen bimbingan dan konseling, sedangkan untuk uji kepraktisan melalui diskusi dengan melibatkan konselor, unsur pimpinan perguruan tinggi, dan para nara sumber. Dalam uji lapangan,


(41)

partisipasi dan kerjasama dilakukan oleh peneliti, bersama nara sumber, konselor dan pihak perguruan tinggi dalam mengimplementasikan model hipotetik konseling kesehatan mental berdasarkan teori tranformasi ruhani Ibn. Qayyim Al-Jauziyah untuk pengembangan karakter muth’mainah mahasiswa.

Pengujian efektivitas model konseling kesehatan mental berdasakan teori transformasi ruhani Ibn. Qayyim al-Jauziyah untuk pengembangan karakter muth’mainah mahasiswa, menerapkan teknik eksperimen semu (quasi-experimental design) yang menggunakan rancangan pre-tests-pos-test

Non-equivalent Group Design (Hepner, Wampold, dan Kivlighan, 2008: 183-184).

Rancangan penelitian ini dapat di formulasikan pada gambar 3.1 sebagai berikut:

Experiment Group Non R 01 X 02

Control Group Non R 0 3 04

Gambar 3.1: Rancangan penelitian

Keterangan:

Non R = penempatan subyek dalam kelompok tanpa acak

01 X 03 = Pengamatan prates pada kelompok eksperimen dan kontrol 0 2 04 = pengamatan pascates pada kelompok eksperimen dan kontrol


(42)

B. Definisi Operasional Variabel

1. Model Bimbingan Konseling Kesehatan Mental Berdasarkan Teori Transformasi Ibn. Qayyim al- Jauziyah

Menurut Kartadinata (2008: 7), model adalah “perangkat asumsi, proposisi, atau prinsip yang terverifikasi secara empirik, diorganisasikan ke dalam sebuah struktur kerja (kerja) untuk menjelaskan, memprediksi, dan mengendalikan perilaku atau arah tindakan. Natawidjaya (2007: 6) mengemukakan bahwa “pemodelan merupakan bidang kegiatan baru yang melibatkan perkawinan gagasan dari berbagai disiplin ilmu, dan merupakan bagian yang esensial dan tidak terpisahkan dari semua kegiatan ilmiah. Law and Kelton (Wibowo: 2006: 14) berpendapat bahwa model adalah bentuk representasi akurat, sebagai proses aktual yang memungkinkan seseorang atau sekelompok orang mencoba bertindak berdasarkan pijakan yang terpresentasikan oleh model itu.

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan model adalah visualisasi dari suatu konsep, berupa cara berpikir (way of thinking) tertentu untuk melakukan konkretisasi atas fenomena abstrak.

konseling kesehatan mental dipahami sebagai suatu kumpulan yang berhubungan dengan pendidikan yang spesifik, ilmiah dan memberikan sumbangan profesional terhadap disiplin ilmu pendidikan, psikologi dan konseling. Konseling kesehatan mental merupakan suatu profesi dimana individu dikonseptualisasikan secara holistik dan lebih mengacu ke arah perkembangan dengan memperhatikan pengaruh-pengaruh kontekstual dalam hidup individu.


(43)

Dari perspektif sistem, klien dipengaruhi oleh keluarga, masyarakat, sejarah, budaya, dan konteks sosio ekonomi, yang berarti daya masyarakat dan pendekatan inter-disipliner dapat bermanfaat dalam treatmen ini. Sementara dari perspektif individual dijelaskan bahwa individu dapat dipandang sebagai suatu gestalt dari banyak domain yaitu emosi, fisik, sosial, vokasional, dan spiritual, menuju gaya hidup sehat. Sebagai bagian dari layanan, konselor memusatkan diri pada filosofi kesehatan mental secara holistik dan kurang memusatkan pada isu-isu penyakit klinis dan perawatan beberapa jenis penyakit mental.

Konseling Kesehatan Mental berdasarkan teori Transformasi R uhani adalah proses pemberian bantuan kepada individu atau kelompok agar

memiliki kei’tidalan (keseimbangan) dalam berperilaku melalui

pemberdayaan ruhani dengan cara riyadah, mujahadah, dan tazkiah an-Nafs. Secara ekplisit Ibn. Qayyim tidak menyebutkan istilah kesehatan mental (shihatun-nafs), tetapi secara imlisit beliau menyebutnya dengan istilah qalbun

salim, dan makna kesehatan mental terfokus pada kesehatan yang berwawasan

agama, khususnya yang dikaitkan dengan ruh. Dari beberapa kitab karangan Ibn. Qayyim seperti qutt al-Qulub, madarij as-salikin, ighasatulhfan, thib

an-Nabawi, tidak ditemukan istilah kesehatan mental (shihah al-nafs) atau mental

yang sehat (al-nafs al-shahih), tetapi ditemukan istilah qalbu yang selamat (qalb Salim) atau keselamatan qalbu (salamat al-qalb)." Qalbu merupakan struktur manusia yang paling dekat dengan ruh, sehingga penggunaan kesehatan qalbiah sesungguhnya telah mewakili istilah kesehatan ruhaniah. Dengan demikian, terminologi kesehatan mental dalam


(44)

pemikiran Ibn Qayyim diidentikkan dengan kesehatan qalbiah atau kesehatan ruhaniah, yang wilayahnya lebih mengarah kepada kesehatan spiritual Islarni.

Merujuk pada perbedaan makna tersebut, kesehatan mental dalam pemikiran Ibn Qayyim memiliki keunikan tersendiri dibanding dengan kesehatan mental dalam psikologi modern. Kesehatan mental di sini lebih menekankan pada sehat dari sudut bagaimana seharusnya yang di dalamnya terdapat nilai baik dan buruk atau pahala dan dosa, sementara kesehatan mental dalam psikologi modem lebih menekankan pada sehat dari sudut apa adanya, tanpa mengkaitkan nilai baik-buruk dalam perilaku batiniahnya.

Menurut Ibn Qayyim, Kesehatan mental dalam kaitannya dengan ruh identik dengan kesehatan ruhaniah atau qalbiah. Maksud Kesehatan ruhaniah atau qalbiah adalah hati yang selamat dari syahwat yang mengajak menyalahi perintah Allah; selamat dari hal-hal yang syubhat; selamat beribadah selain pada-Nya; dan selamat dari keingkaran hukum rasul-Nya. Karena itulah maka hati menjadi penuh cinta, takut dan berharap kepada Allah, serta bertawakkal, kembali, menghinakan diri dan mencari keridhaan-Nya. Kesehatan hati menjauhkan seseorang pada perilaku syirik, bid'ah, pembangkangan dan kebatilan. kesehatan qalbiah adalah qalbu yang selamat yang dapat menghadap kehadiran Allah Swt di hari kiamat kelak. Firman Allah Swt dalam QS. al-Syu'ara' ayat 89 " Kecuali orang-orang yang menghadap

Allah dengan hati yang bersih (qalb Salim). " Pengertian ini diasumsikan dari


(45)

diberikan oleh Allah Swt kepadanya sejak awal penciptaannya, agar ia mudah dan gampang melaksanakan ibadah kepada-Nya.

Konseling kesehatan mental berdasarkan teori tranformasi ruhani Ibn. Qayyim al-Jauziyah, secara garis besar sebagai proses pemberian bantuan kepada individu agar memiliki kesadaran sebagai hamba dan khalifah Allah yang bertanggungjawab atas dasar norma dalam al-Qur’an, dan al-Hadits, dan transformasi ruhani sebagai model yang ditawarkan oleh Ibn. Qayyim

al-Jauziyah sebagai upaya pembentukan karakter manusia yang

muth’mainah.

2. Karakter Muth’mainah Mahasiswa

Secara harfiah, karakter berarti mengukir sifat-sifat kebajikan (Megawangi, 2003). Bila arti-arti ini dirangkai, maka ia berarti usaha terus menerus menanamkan dan melembagakan pada diri sendiri dan orang lain sifat-sifat kebajikan. Unell & Wyckoff (1995) dan Papov et al (1997), menggunakan istilah virtues untuk menyebut sifat-sifat kebajikan. Rich (1997) menggunakan istilah mega skill, sedangkan Tillman dan Hsu (2004) menggunakan istilah living values. Tiga istilah asing ini digunakan untuk: (1) membedakan keterampilan instrumental seperti membaca, menghitung, dan menulis dari keterampilan fundamental, yakni kemampuan, kapasitas-kapasitas bawaan dan fitrah (gift within) yang berupa kecenderungan manusia pada kebaikan seperti amanah (trush), adil, cinta kebaikan (hanif), jujur, empati, menghargai orang lain, peduli sesama, dan toleransi, dan (2) dimana dan siapa yang paling bertanggungjawab menanamkan atau melembagakan keterampilan fundamental tersebut, terutama pada anak-anak.


(46)

Josephen et al (2001) mengajukan enam pilar karakter, yakni dapat dipercaya, menghargai orang lain, bertanggungjawab, adil, penuh kasih sayang, dan peduli sesama. Megawangi (2003) mengajukan sembilan karakter, yakni cinta kepada Tuhan dan kebenaran, tanggungjawab, kedisiplinan dan kemandirian, amanah, hormat dan santun, kasih sayang, kepedulian, dan kerjasama, percaya diri, kreatif, dan pantang menyerah, adil dan kepemimpinan baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai.

Sementara Slighment( 1996) menyebutkan 24 aspek karakter manusia, yaitu kreatif (creative), teguh hati (curiosity), terbuka (open-mindedness), mencintai belajar (love of learning), berpikir jangka panjang (perspective), berani (bravery), tekun (persistence), integritas (integrity), memiliki kekuatan (vitality), sikap mencintai (love), baik hati (kindness), kemampuan sosial yang baik (social

intelligence), bersahabat (citizenship), adil (fairness), berjiwa pemimpin

(leadership), pemaaf (forgivness and mercy), rendah hati (humility), hati-hati dan bijaksana (prudence), disiplin (self-regulation), senang pada keindahan dan prestasi (appreciation of beauty and excellence), bersyukur (gratitude), optimis (hope), humor, dan memiliki spiritualitas yang baik (spirituality).

Secara operasional assesmen atau penilaian karakter muth’mainah menurut Ibn Qayyim al-Jauziyah dalam kitab Al-Ruh terdiri dari beberapa aspek atau dimensi, yaitu: Hamiyah (memiliki harga diri), Tawadhu (Rendah hati), Jud (dermawan), Mahabbat (kewibawaan), Syiyanat (memelihara diri), Syaja’ah (

berani), Iqtisad (hemat), ihtiraz (waspada), firasat (firasat), nasihat (mudah memberi nasehat), hadiyat, Shabr (sabar), afw (pemaaf), Ma’rifat dan ilm


(47)

(mengetahui dan berilmu, Siqqat (dapat dipercaya), Raja (memiliki harapan),

Tahaddus (menceritakan nikmat dari Allah, Riqqah al-Qalb (Lembut hati,

Mawjudat (iri hati atas kebajikan), Munafasat (berlomba demi kebajikan, Hubb fi

Allah (mencintai Allah), Tawakal (menyerahkan diri setelah berusaha, Ihtiyat

(hati-hati/cermat), Ilham min malaki (Inspirasi dari malaikat), Mubadarah (cekatan dalam bekerja).

3. Pengembangan Instrumen

Jenis instrument pengumpul data yang digunakan adalah inventori. Instrumen dikontruksi untuk memperoleh data tentang karakter muth’mainah mahasiswa. Bentuk laporan diri dalam penelitian ini adalah sebuah pernyataan dengan kemungkinan jawaban sangat sesuai (SS), sesuai (S), ragu-ragu (R), tidak sesuai (TS), sangat tidak sesuai (STS), dengan penetapan skala terentang 1-5.

Instrumen dikembangkan berdasarkan prosedur dan kebakuan alat ukur, yaitu (a) menyusun kisi-kisi, (b) merumuskan butir-butir pernyataan, (c) menimbang (judgment) butir-butir pernyataan oleh pakar, dan (d) uji coba di lapangan, sebagi dasar penentu tingkat kebakuan pernyataan-pernyataan yang akan digunakan dalam penelitian.

a. Menyusun kisi-kisi

Karakter muth’mainah mahasiswa secara operasional dapat diukur melalui beberapa aspek atau dimensi, dan indikator. Karakter muth’mainah menurut Ibn Qayyim al-Jauziyah dalam kitab Al-Ruh terdiri dari 25 aspek atau dimensi, yaitu:

Hamiyah (memiliki harga diri), Tawadhu (Rendah hati), Jud (dermawan),


(48)

(hemat), ihtiraz (waspada), firasat (firasat), nasihat (mudah memberi nasehat),

hadiyah (mengedepankan prinsip reward), Shabr (sabar), afw (pemaaf), Ma’rifat dan ilm (mengetahui dan berilmu), Siqqat (dapat dipercaya), Raja (memiliki

harapan), Tahadduts (menceritakan nikmat dari Allah, Riqqah al-Qalb (Lembut hati), Mawjudat (iri hati atas kebajikan), Munafasat (berlomba demi kebajikan),

Hubb fi Allah (mencintai Allah), Tawakal (menyerahkan diri setelah berusaha),

Ihtiyat (hati-hati/cermat), Ilham min malaki (Inspirasi dari malaikat), Mubadarah

(cekatan dalam bekerja). 4. Kisi-Kisi Instrumen

Berikut ini disajikan kisi-kisi instrumen pengumpul data tentang karakter muth’mainah mahasiswa (sebelum uji coba) dijabarkan dalam tabel 3.2

berikut ini :

Tabel 3.2 Kisi-Kisi Instrumen Karakter Muth’mainah

NO DIMENSI INDIKATOR NOMOR ITEM JUMLAH (+) (-)

1 Hamiyah

(memiliki harga diri)

1. Menjaga diri dari perkataan dan perbuatan yang tidak berguna 2. memiliki prinsif yang

tegas 1, 2 5,6 3, 7 7

2 Tawadhu

(Rendah hati)

1. Memiliki mental yang stabil

2. Memiliki sikap toleransi yang tinggi, tanpa memandang status apapun 8 10 9 11 4

3 Jud (dermawan) 1. Memiliki empati yang tinggi terhadap orang lain

2. Memiliki persepsi bahwa kebahagiaan orang lain sebagai

12

14

13

15


(49)

bagian dari kebahagian dirinya

4 Mahabbat

(kewibawaan)

1. Memiliki kekuatan dalam mempengaruhi orang lain

2. Memiliki karisma sebagai orang yang komitmen terhadap qur’an dan sunnah

16

18

17

19 4

5 Syiyanat

(memelihara diri)

1. mampu mengontrol diri dengan lingkungannya 2. Memiliki komitmen

terhadap pengembangan jatidirinya 20 22 21 23,24,25 6

6 Syaja’ah (berani) 1. Merasa nyaman

terhadap kondisi yang menantang dan dinamis 2. Berani menyatakan

pendapat 26 28 27 29 4

7 Iqtisad (hemat) 1. Tidak menyukai hal-hal yang berlebihan dan boros

2. memiliki pemikiran jangka panjang 30 32 31 33 4

8 Ihtiraz (waspada) 1. Pandai menjaga lisan, pikiran dan

perbuatannya.

2. Memiliki kemampuan adaptif yang tinggi

34

36

35

37

4

9 Farasat (firasat) 1. memelihara dan melatih pemkiran dengan mendekatkan diri kepada khaliknya 2. Melatih daya

sensitivitas emosi yang positif

38

40

39

41 4

10 Nasihat

(memberi peringatan)

1. memiliki kepekaan terhadap masalah di sekitarnya.

2. Senang memberi dan menerima kritikan dari orang lain

42

44

43

45 4

11 Hadiyah (memberi hadiyah)

1. Mengedepankan prinsip

reward daripada funishment

2. Melihat hadiah sebagai


(50)

pengembangan potensi peserta didik

48 49 4

12 Shabr (sabar) 1. Berpikir teliti dan berdimensi jangka panjang

2. Tidak terlalu tertarik terhadap hal-hal yang temporer 50 52 51 53 4

13 Afw (pemaaf) 1. memiliki jiwa pemaaf

2. Melihat orang lain secara proporsional, tidak husnudzhan

54 56

55

57 4

14 Ma’rifat dan ilm

(mengetahui dan berilmu)

1. Memiliki komitmen terhadap pendidikan baik yang bersifat normatif atau filosofis 2. Tidak malu untuk

bertanya pada ahlinya

58 60

59

61 4

15 Siqqat (dapat

dipercaya)

1. Memiliki komitmen tinggi terhadap waktu dan janji

2. terpelihara dari prilaku-prilaku yang merugikan orang lain

62

64

63

65 4

16 Raja (memiliki

harapan)

1. Optimis dalam meraih masa depan

2. Memiliki pemikiran yang realistis

66 68

67

69 4

17 Tahadduts

(menceritakan nikmat dari Allah)

1. Senang berbagi dengan orang lain walaupun yang bersifat immaterial 2. Peduli terhadap

lingkungan sekitar sebagai tanda syukur kepada Tuhan 70 72 71 73 4

18 Riqqah al-Qalb

(Lembut hati)

1. Memelihara kebersihan hati.

2. Setiap perbuatannya selalu dilandasi rasa cinta

74 76

75

77 4

19 Mawjudat (iri

hati atas kebajikan)

1. Memiliki motivasi untuk melakukan perubahan kepada hal yang lebih baik. 2. Menyukai hal-hal yang

dinamis dan konstruktif

78

80

79


(51)

20 Munafasat

(berlomba demi kebajikan)

1. Memiliki kemauan belajar yang tinggi. 2. Memiliki kebanggaan

kalau prestasi diperoleh hasil kerja keras sendiri.

82 84

83

85 4

21 Hubb fi Allah

(mencintai Allah)

1. Memprioritaskan segala potensi untuk

menghamba terhadap sang Khalik.

2. Mencintai Allah dimanifestasikan lewat cinta dan kasih sayang sesama manusia 86 88 87 89 4

22 Tawakal

(menyerahkan diri setelah berusaha)

1. Berorientasi pada proses, bukan pada hasil.

2. Menyerahkan hasilnya kepada Tuhan. 90 92 91 93 4

23 Ihtiyat

(hati-hati/cermat)

1. Setiap tindakan selalu dipikirkan konsekuensi logisnya

2. cermat dalam menanggapi masalah

94

96

95

97 4

24 Ilham min malaki

(Inspirasi dari malaikat)

1. Berpikir selektif, analisis, tidak tergesa-gesa.

2. Mengembangkan inspirasi melalui taqarub kepada Allah

98

100

99

101 4

25 Mubadarah

(cekatan dalam bekerja)

1. Fokus dalam bekerja sebagai bagian dari penghambaan kepada Allah.

2. Tidak menunda-nunda pekerjaan

102

104

103

105 4

105

b. Merumuskan Butir-Butir Pernyataan

Berdasarkan kisi-kisi tersebut di atas disusun pernyataan-pernyataan yang terdiri dari pernyataan posistif (+) sebanyak 52 pernyataan dan pernyataan negative (-) sebanyak 53 pernyataan. Pernyataan-pernyataan tersebut disusun berdasarkan


(1)

Tahap kelima uji lapangan. Dalam uji lapangan ada dua kegiatan

yang dilakukan yaitu uji efektivitas dan revisi model. Pengujian keefektifaan model konseling kesehatan mental berdasarkan teori transformasi ruhani Ibn. Qayyim al-Jauziyah untuk pengembangan karakter muth’mainah mahasiswa, menerapkan metode quasi experimental design dengan melibatkan dua kelompok yaitu kelompok kontrol dan kelompok eksperimen, yaitu membandingkan kelompok kontrol dan eksperimen sebelum dan sesudah perlakuan. Hasil uji keefektifan model sebagai dasar untuk merevisi dan menyempurnakan model operasional menjadi model teruji.

Tahap keenam revisi hasil uji coba. Berdasarkan hasil pelaksanaan,

observasi, dan monitoring kegiatan uji coba, selanjutnya diadakan revisi model hipotetik. Penyempurnaan ini dilakukan baik dari aspek materi, konstruksi, maupun pelaksanaan konseling.

Tahap ketujuh merancang model akhir. Agenda kegiatan yang

dilakukan pada tahap ini adalah mengevaluasi dan menganalisis hasil pengujian lapangan. Selanjutnya dari hasil evaluasi dan analisis dimaksud, dirancang kembali model konseling kesehatan mental berdasarkan teori transformasi ruhani Ibn. Qayyim al-Jauziyah untuk pengembangan karakter muth’mainah mahasiswa dari hasil uji lapangan. Selanjutnya dari hasil evaluasi dan analisis dimaksud, dirancang kembalimodel konseling kesehatan mental berdasarkan teori transformasi ruhani Ibn. Qayyim al-Jauziyah untuk pengembangan karakter muth’mainah mahasiswa. Rangkaian tahapan penelitian dapat divisualisasikan pada gambar berikut:


(2)

Gambar

Alur Proses Perkembangan Model F. Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan adalah deskriptif dan uji t, Analisis deskriptif digunakan untuk menganalisis gambaran karakter muth’mainah mahasiswa Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta baik aspek maupun indikatornya. Uji –t digunakan untuk menganalisis kondisi sebelum perlakuan dan kondisi sesudah perlakuan, baik pada kelas kontol maupun pada kelas eksperimen. Proses uji-t menggunakan bantuan perangkat lunak SPSS version 17.0 for windows.

Uji efektivitas model melalui teknik eksperimen semu (quasi-experimental design) yang menggunakan rancangan pre-tests-pos-test Non-equivalent Group Design, yang dilakukan dengan membandingkan hasil observasi 01 dan 03

Tahap 1

Studi Pendahuluan 1. Kondisi Objketif di

lapangan 2. kajian Teoritis 3. Kajian Hasil

Tahap II Merancang Model Hipotetik Tahap III Validasi Model Hipotetik Tahap V Uji Coba lapangan Tahap IV Revisi Model Hipotetik Tahap VI Revisi Hasil Uji coba Tahap VII Merancang Model Akhir


(3)

observasi/pengamatan pascates pada kelompok eksperimen dan kontrol. Hasil uji efektivitas model yaitu dengan membandingkan antara kondisi sebelum perlakuan baik kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol dan kondisi setelah perlakuan baik pada kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol. Bila hasil nilai post-test kelas eksperimen dan kelas kontrol lebih besar dibanding dengan pre-test kelas eksperimen dan kelas kontrol, maka model bimbingan dan konseling kesehatan mental berdasarkan teori transformasi ruhani Ibn. Qayyim al-Jauziyah untuk pengembangan karakter muth’mainah mahasiswa dinilai efektif. Kemudian hasil uji keefektifan model digunakan sebagai dasar peneliti melakukan revisi model operasional menjadi rumusan akhir atau model teruji II. Model akhir ini dapat diimplementasikan kepada mahasiswa baik yang mengalami deficit karakter, ataupun mahasiswa yang masih rendah kualifikasi karakter muth’mainahnya.


(4)

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan

Berdasarkan temuan penelitian dan pembahasannya maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Karakter muth’mainah mahasiswa sebelum diadakan layanan konseling kesehatan mental berdasarkan teori transformasi ruhani Ibn. Qayyim al-Jauziyah, baik secara keseluruhan, aspek maupun indikatornya berada pada skala sedang.

2. Karakter muth’mainah mahasiswa setelah diadakan layanan konseling kesehatan mental berdasarkan teori transformasi ruhani Ibn. Qayyim al-Jauziyah, baik secara keseluruhan, aspek maupun indikatornya pada umumnya tinggi. Meningkatnya karakter muth’mainah mahasiswa ditandai oleh : (a) kemampuan kualitas mental individu yang kuat, (2) sikap sosial yang positif, (3) hubungan spiritual dengan Tuhan semakin meningkat.

3. Model hipotetik konseling kesehatan mental berdasarkan teori transformasi ruhani Ibn. Qayyim al-Jauziyah dituangkan dalam panduan teknis operasional yang berisi rumusan tentang deskripsi model, karakteristik hubungan, norma kelompok, peran konselor, anggota kelompok, dan adegan layanan.


(5)

berdasarkan teori transformasi ruhani Ibn. Qayyim al-Jauziyah menunjukan bahwa model yang dikembangkan dinilai layak sebagai suatu model intervensi konseling kesehatan mental berdasarkan teori transformasi ruhani Ibn. Qayyim al-Jauziyah.

5. Model konseling kesehatan mental berdasarkan teori transformasi ruhani Ibn. Qayyim al-Jauziyah efektif untuk mengembangkan karakter muth’mainah mahasiswa, baik secara keseluruhan, aspek, maupun indikatornya, antara sebelum dan setelah perlakuan. Dalam hal ini rata-rata skor setiap aspek dan indikatornya yang diperoleh setelah diberikan layanan konseling kesehatan mental berdasarkan teori transformasi ruhani Ibn. Qayyim al-Jauziyah lebih besar dibanding rata-rata skor setiap aspek dan indikatornya sebelum konseling.

B. Rekomendasi

Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka diajukan beberapa rekomendasi sebagai berikut:

1. Model konseling kesehatan mental berdasarkan teori transformasi ruhani Ibn. Qayyim al-Jauziyah efektif untuk mengembangkan karakter muth’mainah mahasiswa, baik secara keseluruhan, aspek, maupun indikatornya, antara sebelum dan setelah perlakuan. Oleh karena itu model konseling kesehatan mental berdasarkan teori transformasi ruhani Ibn. Qayyim al-Jauziyah direkomendasikan untuk


(6)

digunakan konselor dalam membantu untuk mengembangkan karakter muth’mainah mahasiswa.

2. Model konseling kesehatan mental berdasarkan teori transformasi ruhani Ibn. Qayyim al-Jauziyah untuk mengembangkan karakter muth’mainah mahasiswa, dapat memperkaya khazanah keterampilan para konselor dalam pelayanan peningkatan/pengembangan karakter

muth’mainah mahasiswa. Model konseling tersebut direkomendasikan

untuk dijadikan salah satu bahan peningkatan kompetensi konselor professional dalam memberikan layanan konseling bagi mahasiswa. 3. Setelah penelitian model konseling kesehatan mental berdasarkan teori

transformasi ruhani Ibn. Qayyim al-Jauziyah untuk mengembangkan

karakter muth’mainah mahasiswa, maka penelitian ini

direkomendasikan agar dilaksanakan penelitian sebagai berikut:

a). Subjek penelitian ini adalah mahasiswa. Peneliti selanjutnya dapat memperluas subjek penelitian meliputi, dewasa muda, kaum dewasa, dan masa lansia.

b) Peneliti selanjutnya dapat menggunakan pendekatan konseling kesehatan mental yang lebih spesifik untuk mengembangkan karakter muth’mainah, misalnya menggunakan pendekatan behavioral, rational emotif-therapy, dan lain sebagainya.