Zuhud dalam pandangan IBN Qayyim Al-Jawziyyah

(1)

ZUHUD DALAM PANDANGAN IBN QAYYIM

AL-JAWZIYYAH

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I)

Oleh:

TRI NURHAENI

NIM: 103033127771

JURUSAN AQIDAH-FILSAFAT

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

ZUHUD DALAM PANDANGAN IBN QAYYIM

AL-JAWZIYYAH

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I)

Oleh

TRI NURHAENI

NIM: 103033127771

Di Bawah Bimbingan

Dr. SRI MULYATI, MA.

NIP: 150 227 564

JURUSAN AQIDAH-FILSAFAT

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul: ZUHUD DALAM PANDANGAN IBN QAYYIM AL-JAWZIYYAH telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 20 Februari 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I) pada Program Studi Aqidah Filsafat.

Jakarta, 26 Maret 2008

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Dra. Hermawati, MA. Drs. Ramlan A. Gani, M.Ag NIP: 150 227 408 NIP: 150 254 185

Anggota,

Drs. Syamsuri, M.A Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.Ag. NIP: 150240089 NIP: 150 270 808

Dr. Sri Mulyati, MA. NIP: 150 227 564


(4)

KATA PENGANTAR

ِﻢْﺴِﺑ

ِﻪﱠ ا

ِﻦَﻤْﺣﱠﺮ ا

ِﻢﻴِﺣﱠﺮ ا

Segenap potensi rasa, pikir dan gerakku bersimpuh di haribaan Allah SWT seraya berucap syukur kepada-Nya. Dia telah mewahyukan teks kauniyah dan tanziliyyah untuk segenap alam, sehingga pena sejarah telah mengabadikan ilmu-ilmu untuk menggali al-hikmah yang tersimpan di dalamnya.

Shalawat serta salam senantiasa tercurah untuk baginda Rasulullah SAW yang telah mengangkat derajat umat manusia dari alam kejahiliyahan ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan. Berkat perjuangan beliau lah sampai detik ini kita masih bisa berkelana dalam pengetahuan dan mencicipi manisnya Iman dan nikmatnya Islam.

Selanjutnya, adalah suatu keharusan bagi setiap mahasiswa yang akan menyelesaikan perkuliahan dan mencari gelar sarjana pada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta untuk menyusun skripsi. Sehubungan dengan hal tersebut, penulis menulis skripsi yang berjudul: Zuhud Dalam Pandangan Ibn Qayyim al-Jawziyyah

Dalam pengembaraan yang panjang untuk mencari jati diri di Universitas hingga kemudian dapat menyusun karya ilmiah yang berupa skripsi, penulis banyak mendapatkan hambatan dan tantangan baik yang bersifat internal atau eksternal. Namun berkat usaha dan bantuan dari berbagai pihak akhirnya penulis dapat juga menyelesaikan studi dan skripsi ini.

Karena itu, tak lupa saya haturkan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:


(5)

1. Ibu Dr.Sri Mulyati, M.A. Selaku Dosen Pembimbing yang telah sabar membimbingku dalam proses penulisan skripsi ini.

2. Bapak Dr. M. Amin Nurdin, M.A. Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filasafat beserta para pembantu dekan.

3. Bapak Drs. Agus Darmaji, M.Fils. dan Drs. Ramlan Abdul Gani, M.Ag. selaku ketua dan sekertaris jurusan Aqidah-Filsafat.

4. Seluruh dosen, staf akademik dan staf Perpustakaan Utama UIN maupun Fakultas Ushuluddin.

5. Kedua orang tuaku, Bapak Daryono dan Ibu Kaidah tercinta atas segala kasih sayang dan dukungannya selama ini, baik berupa moril maupun materil. Tak tergambarkan betapa berharganya beliau. Tiada ungkapan dan hadiah yang dapatku berikan untuk menggambarkan betapa berharganya dan berartinya beliau dihatiku. Ku hanya bisa berdo’a kepada Allah SWT, semoga kesehatan dan keberkahan selalu bersamamu. Amiin. Terima kasih ibu, terima kasih bapak, Kau membanting tulang, menguras keringat, tak kenal lelah hanya untuk menyekolahkan ku hingga sampai keperguruan tinggi. Begitu besar jasamu dan takkan pernah terganti dengan apapun. Terima kasih kepada kakakku Mila tercinta yang selalu membimbingku dalam setiap langkahku dan kepada adik-adikku (Ria, Fitri, Rahmat, Iik) tersayang atas curahan kasih sayang dan perhatian yang diberikan kepadaku.

6. Untuk Sahabat-sahabat ku tercinta, Muni, Yanti, Tutto, Nissa ”PA” terima kasih atas segala dukungannya. Semangat yang kalian berikan menghilangkan segala kejenuhan dalam menyusun skripsi ini. Tanpa


(6)

kalian skripsi ini tak berarti apa-apa. Tuk ka Sofa, ka Janah terima kasih atas segala pengertiannya selama ini.

7. Sahabat sekaligus teman seperjuangan Aqidah-Filsafat angkatan 2003, Nadia, Latifah, Elly, Ujang, Udin, Ali, Mawardi, Dedi, Pei, Tatang, setiawan, fakhru dan semua yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Kebersamaan selama ini takkan pernah terlupakan.

`Akhirnya, segala kebenaran hanya milik-Nya, semoga skripsi ini membawa manfaat bagi khalayak ramai dan akademisi, dan semoga Allah membalas jasa kebaikan mereka di atas dengan balasan yang setimpal. Âmîn yâ Rabb al-‘Âlamîn.

Jakarta, Desember 2008 M. Dzulhijjah 1429 H.

Penulis


(7)

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING……… KATA PENGANTAR……… DAFTAR ISI……….. PEDOMAN TRANSLITERASI……… BAB 1 . PENDAHULUAN………

A. Latar Belakang Masalah……… B. Perumusan Masalah……….. C. Tujuan Penelitian……… D. Tinjauan Pustaka……… E. Metode Penelitian……… F. Sistematika Penulisan……… BAB II. BIOGRAFI IBN QAYYIM AL-JAWZIYYAH ………..

A. Riwayat Hidup……… B. Kondisi Sosial Masyarakat ………

C. Karya-karya Ibn Qayyim………

BAB III. LATAR BELAKANG PERKEMBANGAN ZUHUD…… A. Pengertian Zuhud Menurut Para Pakar ……… B. Asal-usul Zuhud……….

C. Maqam Zuhud Dalam Tasawuf ……….. BAB IV. ZUHUD DALAM PANDANGAN IBN QAYYIM

AL-JAWZIYYAH………

A. Hakikat Zuhud………

B. Tingkatan Zuhud ………. i iii vi viii 1 1 4 4 4 6 67 9 9 10 18 22 22 28 33 37 37 47


(8)

1. Zuhud Orang Awam ……… 2. Zuhud Orang khusus ……… 3. Zuhud Orang Ma’rifat ………... BAB V. PENUTUP………

A. Kesimpulan……….

B. Saran-saran……….

DAFTAR PUSTAKA……….. 49 50 52 56 56 57 59


(9)

BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakang Masalah

Tasawuf merupakan salah satu aspek (esoteris) Islam, sebagian perwujudan dari ihsan, yang berarti kesadaran adanya komunikasi dari dialog langsung seorang hamba dengan Tuhannya. Dalam dunia tasawuf seseorang yang ingin bertemu dengan-Nya harus melakukan perjalanan (suluk) dan menghilangkan antara dirinya dengan Tuhan-Nya, yaitu dunia materi.

Hidup zuhud oleh para sufi dianggap suatu martabat yang tinggi. Memang harus diakui, bahwa ajaran zuhud dalam tasawuf, dipahami oleh orang–orang sebagai apriori terhadap dunia dan hanya mementingkan akhirat. Dalam tasawuf zuhud dikenal sebagai station (maqâm) untuk menuju jenjang kehidupan tasawuf. Namun di sisi lain ia merupakan moral Islam. Dalam posisi ini ia tidak berarti suatu tindakan pelarian dari kehidupan dunia nyata (riil), akan tetapi ia adalah suatu usaha memepersenjatai diri dengan nilai-nilai rohaniah yang baru yang akan menegakkannya saat menghadapi problema hidup dan kehidupan yang serba materialistik dan berusaha merealisasikan keseimbangan jiwanya. Kehidupan ini hanya sekedar sarana bukan tujuan. Seorang zahid mengambil dunia atau materi secukupnya dan tidak terjerat cinta padanya.1

Zuhud sebagai salah satu tahapan (maqâm) dalam tasawuf sering kali mendapat arti sebagai anti kemajuan dan pro kemunduran. Menekuni dan mengamalkan zuhud dituduh menjauhi realitas kehidupan dunia dan membangun jalan kemunduran umat.

1

Amin Syukur, Zuhud Di Abad Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), cet. 1,h. 122


(10)

Memang ada pandangan keliru2 dari masyarakat tentang pengertian zuhud. Pandangan seseorang yang bertindak zuhud bagi mereka adalah seorang yang berpakaian kumel, tidak peduli dengan orang lain dan asyik berzikir mengingat Tuhan-Nya. Islam tidak mengharuskan manusia menolak sama sekali dan tidak mengharuskan manusia hidup menderita. Apabila nikmat itu diberikan Allah, maka hendaklah diterima dengan segala kesyukuran, tidak rakus dan tidak meremehkannya. Nikmat-nikmat Allah hendaklah diterima denga mengarahkannya pada taqarrub. Kehidupan dunia mempunyai nilai khas yang patut disyukuri dan bagai ladang untuk mempersiapkan bekal di alam baqa. Karena itu, maka zuhud bila diartikan sesuai dengan semangat syari’at Islam adalah menghindari penghambaan harta benda, tidak rakus terhadap kemewahan dunia, menerima nikmat Allah dengan keadaan qana’ah dan memilih hidup sederhana.3

Sejalan dengan hal itu Ibn Qayyim al-Jawziyah berpendapat bahwa kecintaan kepada akhirat tidak akan sempurna kecuali dengan berzuhud di dunia. Orang yang mencintai dunia, tamak dan mengutamakannya akan percaya bahwa ada dunia yang lebih mulia. Lebih utama dan lebih kekal, namun bisa juga tidak percaya. Namun jika tidak percaya, maka sebab utamanya adalah tidak beriman. Namun jika ia percaya dengan akhirat tetapi tidak mengutamakannya, maka penyebabnya adalah kerusakan akal dalam memilih untuk dirinya sendiri.4

2

Pandangan orang-orang awam yang kurang pengetahuan akan kezuhudan yang sebenarnya.

3

Hamzah Ya’qub, Tingkat ketenangan dan Kebahagiaan M’u’min, (Jakarta: Av Arisa, 1992), h. 288

4 Ibn Al-Qayyim Al-Jawziyah, Al-Fawai’id: menuju Pribadi Taqwa, (Jakarta; Pustaka Al-Kautsar , 2005), cet. 1, h. 100,101


(11)

Dalam pandangannya ini, Ibn Qayyim melihat manusia yang cinta dunia kepada dua hal; percaya kepada akhirat namun mengabaikannya.. Kepercayaannya ini sia-sia karena hanya ada dalam ucapannya saja tidak diiringi dengan perbuatannya. Sehingga ini merupakan kelemahan akal. Selanjutnya orang yang cinta dunia tetapi tidak mempercayai akan kehidupan akhirat, disebabkan kurangnya iman dalam diri seseorang sehingga rasa percaya tidak ditanamkan dalam dirinya.

Sejalan dengan tujuan para sufi, mereka berkeyakinan bahwa kebahagiaan yang paripurna dan abadi adalah bersifat spiritual. Mereka sependapat bahwa kenikmatan hidup dunia bukanlah tujuan akan tetapi dunia hanya sekedar jembatan.

Dalam pandangan kaum sufi, manusia cenderung mengikuti hawa nafsu. Manusia dikendalikan oleh dorongan-dorongan nafsu pribadi, bukan manusia yang mengendalikan hawa nafsunya. Ia cenderung ingin menguasai dunia atau berusaha agar berkuasa di dunia. Pandangan hidup seperti ini menjurus ke arah pertentangan manusia dengan sesamanya, sehingga ia lupa akan wujud dirinya sebagai hamba Allah yang harus berjalan di atas aturan-aturan-Nya. Karena sebagian besar waktu dihabiskan untuk persoalan-persoalan duniawi, ingatan dan perhatiannya pun jauh dari Tuhan.5

Berdasarkan pemikiran di atas maka penulis merasa tertarik untuk mengkaji lebuh dalam tentang konsep zuhud yang dikemukakan oleh Ibn Qayyim. Maka dari itu pula penulis ingin mencoba menulis skripsi ini dengan judul KONSEP ZUHUD DALAM PANDANGAN IBN QAYYIM AL-JAWZIYAH.

5


(12)

B. Perumusan Masalah

Pembahasan mengenai Ibn Qayyim sebenarnya sangatlah luas. Sehingga penulis melihat perlunya memberikan batasan pada studi ini. Tulisan ini secara khusus menyajikan pandangan Ibn Qayyim yang berkaitan tentang zuhud.

Agar penulisan skripsi ini terarah dan mencapai tujuan yang diinginkan, maka dalam skripsi ini penulis merumuskan permasalahanya sebagai berikut: Bagaimana pandngan Ibn Qayyim tentang zuhud, dan apa sebenarnya hakikat zuhud itu sendiri.

C. Tujuan Penelitian

1. Mengenal lebih dekat sejarah kehidupan dan karya-karya Ibn Qayyim. 2. Mengetahui dan memahami pandangan Ibn Qayyim tentang konsep

zuhud.

3. Menunjukkan seperti apa definisi zuhud yang dikemukakan oleh para pemikir Islam.

4. Menambah pengetahuan tentang makna dan hakikat zuhud yang dikemukakan oleh Ibn Qayyim.

5. Mengetahui tingkatan-tingkatan zuhud yang dikemukakan oleh Ibn Qayyim.

D. Tinjauan Pustaka

Berkaitan dengan kajian pemikiran atau pun ajaran Ibn Qayyim yang hendak penulis ungkapkan dalam skripsi ini, dalam kazanah perpustakaan UIN


(13)

Syarif Hidayatullah telah ada beberapa kajian yang berkaitan dengan pemikiran dan ajaran Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Ada beberapa studi penelitian yang membahas pemikiran beliau, di antaranya:

1. Konsep Isti’âdzah Pada Tafsir Al-Falaq dan An-nas Ibn Qayyim al-Jawziyyah. Disusun oleh Irami Fajriani, sarjana dari Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin dan Filsafat 2006. Dalam tilsannya ini ia membahas konsep isti’âdzah diataranya mengenai: pengertian dan urgensi isti’âdzah dan isti’âdzah dalam Al-Qur’an.

2. Nuralaila, jurusan Aqidah Filsafat 2005. Dalam judulnya Iblis dan Pengaruhnya Pada Kehidupan Manusia Menurut Ibn Qayyim, ia memaparkan mengenai refleksi umum tentang jin, setan dan iblis. Dalam tulisannya ini ia lebih kepada pengertian jin dan iblis jugapengaruhnya iblis pada manusia.

3. Siti Khomariah, jurusan Tafsir Hadits tahun 2004. Dalam judulnya Kehidupan Hadits Ahad Studi Komperatif Antara Pendapat Imam al-Syafi’i dan Imam Ibnu Qayyim. Dalam tulisannya, Siti Komariah membahas mengenai pandangannya terhadap hadits ahad, pengertian hadits dan klasifikasi hadits.

4. Nursusilawati, jurusan Aqidah Filasafat tahun 2005. Dalam judulnya Ruh Dalam Pandangan Ibn Qayyim. Ia mengomentari seputar pengertian ruh, penciptaan hakikat ruh dan macam-macamnya.

5. Suparman, jurusan Tafsir Hadits 2005. Dalam judulnya Sumpah Allah Dalam Waktu Perapektif Ibnu Qayyim. Dalam tulisannya ia membahas mengenai definisi sumpah, faidah sumpah, unsur-unsur sumpah.


(14)

Dari skripsi yang telah ada seputar pemikiran Ibn Qayyim jelas berbeda. Karena penulis sendiri membahas mengenai zuhud yang dipaparkan oleh Ibn Qayyim.

E. Metode Penelitian

Penulisan skripsi ini termasuk penelitian kepustakaan (library research), suatu metode dengan pengumpulan data-data dan informasi, baik berupa buku-buku maupun artikel-artikel yang kemudian diidentifikasikan secara sistematis dan analisis dengan bantuan dari berbagai macam sarana yang terdapat di ruang pustaka.

Sedangkan data-data yang diperlukan dapat dicari dari sumber-sumber kepustakaan yang bersifat primer, yaitu sebagai sumber utama, dalam kitabnya Ibn Qayyim al-Jawziyyah: Tahdzib Madarijus Salikin, Bairut Manar al-Islamiyyah,1997, dan data skundernya adalah karya ilmiah yang membahas tentang Ibn Qayyim al-Jawziyyah, yang ada kaitannya dengan permasalahan yang dibahas dan penulis jadikan rujukan.

Metode pembahasan yang digunakan dalam penulisan ini sendiri adalah metode analisis deskriptif, suatu pembahasan yang bermaksud untuk menggambarkan mengenai data-data dalam rangka menguji perbandingan dengan tokoh-tokoh yang lain.

Sedangkan teknis penulisannya berdasarkan pedoman penulisan skripsi, tesis dan desertasi FUF yang termuat dalam buku pedoman Akademik 2003-2004 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sebagai buku panduan dalam menyusun penulisan ini dengan baik dan benar.


(15)

F. Sistematika Penulisan

Secara garis besar, sistematika yang dipakai dalam skripsi ini adalah: Bab I Pendahuluan, yang dimulai dengan latar belakang masalah untuk mengemukakan alasan penulis membahas topik ini, dilanjutkan dengan studi kepustakaan untuk mengetahui bahwa topik yang penulis bahas tidak sama dengan tulisa-tulisan yang lain. Kemudian perumusan masalah, hal ini dilakukan supaya pembahasannya lebih terfokus dan dapat menjawab masalah-masalah yang dihadapi. Setelah itu tujuan penelitian, dilanjutkan dengan metodologi penelitian untuk menjelaskan bagaimana cara melakukan penelitian dan melalui pendekatan apa yang dilakukan oleh penulis. Terakhir sitematika penulisan, dalam hal ini penulis akan menjelaskan pembagian bab secara keseluruhan, disertai uraian singkat tentang isi masing-masing bab tersebut.

Bab II penulis akan menjelaskan biografi Ibn Qayyim al-Jawziyyah yang bertujuan untuk mengetahui kepribadiannya, yang meliputi riwayat hidup, kondisi sosial masyarakat dan karya-karyanya

Bab III penulis akan menjelaskan pengertian zuhud menurut parapakar, selanjutnya akan menguraikan asal-usul zuhud sehingga berkembang dikalangan para sufi dan pengikutnya. Terakhir penulis akan menjelaskan maqâm zuhud dalam tasawuf yang memiliki posisi yang sangat penting bagi para sufi.

Bab IV penulis akan membahas khusus zuhud dalam pandangan Ibn Qayyim al-Jawziyyah, yang meliputi hakekat zuhud, tingkatan zuhud yang diawali dengan zuhud orang awam, dilanjutkan dengan zuhud orang khusus, dan pada tingkatan yang terakhir adalah zuhud orang ma’rifat.


(16)

Bab V pada bab ini penulis akan menjelaskan kesimpulan yang mengulas isi pembahasan yang telah dijelaskan sebelumya desertai saran-saran agar penulisan seperti ini dapat dilakukan lebih baik dimasa-masa yang akan datang

BAB II

BIOGRAFI IBN QAYYIM AL-JAWZIYYAH

A. Riwayat Hidup Ibn-Qayyim

Nama lengkap beliau adalah Muhammad bin Abī Bakr bin Ayyūb bin Sa’d bin H ris al-Zar’î al-Dimasyqī al-Faqīh al-Ushūlī al-Nahwi al-H ris Syams al-Dīn abū Ábd All h ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Beliau dilahirkan dari keluarga yang bernuansa keilmuan dan keutamaan pada 7 Shafar 691 H/1292 M, di desa Zar’i wilayah Harran, kira-kira lima puluh mil sebelah tenggara kota Damaskus.6

Ayahnya; Syaikh As-Sholeh Al-Abid-an-Nasik Abu Bakar bin Ayyub Az-Zurai adalah seorang ulama besar dan merupakan direktur madrasah al-Jauziah di Damaskus untuk beberapa periode. Oleh karenanya ia dikenal dengan sebutan “Qayyim al-Jauziyyah”. Ayah Ibn Qayyim memang merupakan sosok yang cukup mulia, tampil apa adanya, memiliki peran penting dalam mengembangkan ilmu fara’idh. Sang ayah meninggal di madrasah al-Jauziyyah, malam Ahad tanggal 10 Dzulhijjah.7

Semua kitab biografi sepakat memberi beliau julukan dengan Ibn Qayyim al-Jawziyyah (putra laki-laki dari seorang kepala sekolah al-Jawziyyah). Dan sebutan itu juga diberikan kepada semua keturunan dan keluarga beliau. Sehingga

6

Ibn Qayyim Al-Jawziyyah, Al-Fawa’id Pesona Keindahan, terj. Hadi Mulyo, (Jakarta: Pustaka Azzam,1999), cet, ke-1, h. 165

7

Syaikh M.Hasan Al-Jamal, Biografi 10 Imam Besar, terj. M.Khalid Muslih, Imam Awaluddin, (Jakarta: Pustaka Al- Kautsar, 2005), cet.ke-1, h. 227-228


(17)

anak cucu Qayyim al-Jawziyyah menjadi terkenal dengan julukan “Ibn Qayyim al-Jawziyyah.8

Adapun gelar “Ibn Jawzi” sebenarnya tidak benar disandarkan kepada Imam Ibn Qayyim al-Jawziyyah secara mutlak. Sebutan itu muncul dan populer dikarenakan keteledoran para penulis atau dimunculkan oleh orang-orang yang memendam rasa dengki terhadap Ibn Qayyim. Nama asli yang dimliki Ibn Jawzi adalah: ‘Abd ar-Rahmân bin ‘Alî al-Qurasyî yang wafat pada tahun 597 H.

Berulang kali terjadi kesalahan dalam pencantuman nama pada kitab Daf’u Syubh al-Tasybîh yang ditulis secara sewenang-wenang dengan memakai nasab Ibn Jawzi sebagai pengarang dalam salah satu terbitan kepada Ibn Qayyim. Kesimpulan dari uraian di atas ialah bahwa penyebutan nama Ibnul-Jawzi kepada beliau adalalah fatal, dan wajib bagi kita untuk menyebut beliau dengan nama Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Karena itu adalah gelar yang popular dimiliki beliau, atau kita sebut saja Ibn Qayyim untuk lebih mudah dan ringkasnya.9

B. Kondisi sosial Masyarakat

Ibn Qayyim tumbuh dan berkembang di lingkungan intelektual dan ningrat, ia berkecimpung di dunia ilmu pengetahuan semenjak ia masih usia belia. Ia tumbuh besar dalam lingkungan masyarakat intelektual yang cemerlang, sehingga sangat mempengaruhi berbagai ide dan gagasan yang muncul dalam pemikirannya.10

8

Muhammad Al-Anwar Al-Shanhuti, Ibnu Qayim Berbicara tentang Tuhan, (Jakata: Mustaqim, 2001, cet. Ke-1, h.18

9

Al-Sanhuti, Ibn Qayyim Berbicara tentang Tuhan, h. 19-20

10


(18)

Ibn Qayyim memiliki akhlak yang mulia, memiliki perangai lembut dalam pergaulan, mempunyai semangat tinggi, wawasan luas, termasuk orang besar dalam sisi karakteristik, kebaikan, keilmuan, keutamaan, beribadah. Bahkan salah satu muridnya yang bernama Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata: “Bacaan dan etikanya sangat baik, lemah lembut, tidak pernah hasat dan dengki kepada siapapun, tidak pula menyakiti dan mencela. Secara umum kepribadiannya dipenuhi oleh kebaikan dan akhlak yang mulia.11

Beliau tipe anak yang tidak mudah puas dengan ilmu yang didapat dari orang tuanya. Ini karena ia memiliki prinsip ilmu adalah segalanya. Walaupun ia masih kanak-kanak, tanpa rasa takut dan malu ia duduk bersama beberapa orang yang usianya jauh di atasnya. Ia juga menimba ilmu dari imam-imam terkemuka pada masanya tanpa mengenal lelah ia berusaha meraih berbagai macam ilmu pengetahuan, hingga tercapailah impian dengan baik dan jadilah sebagai sosok yang sangat kompeten dengan setiap cabang ilmu agama.12

Ibn Qayyim mempunyai potensi sebagai penggerak dengan akal yang luas dan pemikiran yang subur, serta daya hafal yang cukup menakjubkan. Sejak kecil ia memiliki obsesi yang jujur dalam menuntut ilmu. Ia sangat ulet dalam meneliti dan menganalisa serta memiliki kebebasan dalam menimba ilmu.13 Karena begitu gemar menuntut ilmu, sehingga masa kecilnya tidak seperti anak-anak lainnya yang sedang bermain dan hal-hal lainnya yang sifatnya hiburan.

Dalam segala bidang ilmu pengetahuan, beliau mempelajari secara istimewa dari para ulama di zamannya. Dan karena itu beliau menjadi tersohor karena keluhuran ilmu dan kebesaran namanya. Al Imam Ibn Qayyim banyak

11

Al-Jamal, Biografi 10 Imam Besar, h. 229

12

al-Sanhuti, Ibnu Qayyim Berbicara Tentang Tuhan, h. 22

13


(19)

membaca atau menelaah kitab yang ada dan beliau sangat luas pengetahuannya disebabkan memiliki guru yang banyak. Di mana beliau belajar dari mereka akan bermacam disiplin ilmu, kemampuan dan spesialisasi yang mereka miliki. Terlebih lagi dengan guru beliau, dimana beliau banyak sekali belajar ilmu darinya. Yakni Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.14

Beliau adalah seorang budayawan yang berwawasan luas banyak berkembangn di saentero Mesir dan Syria (Syâm) kala itu. Dapat disimpulkan bahwa beliau telah mempelajari seluruh cabang ilmu Syari’as seperti: ilmu tauhid, ilmu kalam, tafsir, hadits, fiqh, fara’id, bahasa arab dan nahwu, serta masih banyak lagi ilmu-ilmu utama lainnya yang beliau pelajari dari para imam semasanya. Sehingga beliau pun menjadi pakar seperti mereka, bahkan sering kali melebihi kapasitas keilmuan mereka. Sehingga pamornya menjadi naik secara perlahan.15

Adapun guru-guru Ibn Qayyim lainnya adalah sebagai berikut:

1. Abu ‘Abbas Ahmad bin ‘Abdurrahaman bin ‘Abdul Mun’im bin Na’mah An N bilisi al Hanbali, yang lebih dikenal dengan nama Asy Syih b Al ‘ biri, wafat pada tahun 697 H.

2. Isma’il Majiduddin bin Muhammad Al-Farr Al-Harr ni, wafat pada tahun 729 H. Beliau belajar ilmu Al-Fara’idh dan fiqh darinya.

3. Muhammad Syamsuddin Abu ‘Abdullah bin Abi Al-Fath Al- Ba’labaki Al-Hanbali, wafat pada tahun 709 H. Guru beliau inilah yang mengajarkan bahasa arab dan membacakan kepada beliau kitab Al Mulakhhash karya Abi Al- Baq .

14

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Shalawat Nabi Saw, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2000), cet.ke-1, h. 31

15


(20)

4. Muhammad Shafiyuddin bin ‘Abdurrahim bin Muhammad Al arwami Asy Sy fi’i, wafat pada tahun 715 H. Beliau belajar dua ilmu ushuldarinya yaitu ilmu ushul fiqh dan tauhid.16

5. Beliau pun belajar hadits pada al-Qadh Taqiy al-Dīn bin Sulaim n, Abu Bakr bin ‘Abd al-Dīn, F thimah binti Jauh r dan lain-lain.17

Ibn Qayyim al-Jawziyyah lebih banyak mengabdikan dirinya dalam hhal yang terkait dengan ilmu pengetahuan karena memiliki tetap di madrasah al-Jawziyyah sekaligus sebagai pengajar. Di samping itu ia juga pengajar di madrasah As-Sadriyyah yang didirikan oleh Sadr ad-Din As’ad Ibn Usman Ibn Qaimaz Az-Zahabi al-Tukmani Asy-Syafi’i (w.748 H) yang merupakan seorang muhadits terkenal yang mengarang buku di bidang hadits dan yang lainnya, Ibn Abd al-Hadi Ibn Qudamah Al-Maqdisy al-Sahili Al-Hanbali (w. 744 H), al-Fairuz al-Abadi (w. 817 H) serta beberapa ulama termashur lainnya.18

Di antara sekian banyak gurunya yang paling banyak berpengaruh adalah guru besarnya Syaikhul Islam Ibn Taimiyah. Ia mengikuti metode sang guru untuk memerangi orang-orang yang menyimpang dari agama, dan sebagaimana gurunya iapun sangat gencar menyeranga kaum filsuf, Kristen dan Yahudi. Beliau beserta gurunya (Ibn Taimiyah) berpendirian bahwa pintu ijtihad tetap terbuka sejauh yang bersangkutan memiliki kesanggupan untuk melakukannya.19 Awal mulanya ibn Qayyim menjadi pengikut Ibnu Taimiyah adalah di saat kedatangan

16

Al-Jauziyyah, Shalawat Nabi Saw, h.34

17

Al-Sanhuti, Ibnu Qayyim Berbicara tentang Tuhan, h.22

18

Ica Purba Nur Hendra, Konsep Elastisitas Fatwa Menurut Ibn Qayyim Al-Jawziyyah,

(Tesis, S2 Fakultas Syari’ah, UIN Jakarta, 2007), h. 23

19


(21)

Ibn Taimiyah ke Damaskus pada sekitar tahun 712 H hingga wafatnya tahun 728 H.20

Beliau pernah ditahan bersama Syaikhul Ibn Taymiyah di al-Q l’ah. Dan pada masa-masa akhirnya beliau dipisahkan dari Syaikhul Ibn Taymiyah. Beliau baru dikeluarkan dari tahanan setelah Syaikhul Ibn Taymiyah wafat. Selama ditahan, beliau menyibukkan diri dengan membaca Al-Qur’ n dengan tabadur dan tafakur. Dan Allah membuka banyak kebaikkan untuknya; beliau memeperoleh insting dan perasaan yang lurus. Dari situ beliau kemudian menguasai ilmu orang-orang ahli ma’rifat.21

Ajaran gururnya yang terpenting adalah berpegang teguh pada Al-Qur’ân dan al-Sunnah serta memahaminya seperti pemahaman para Salafus Shaleh, membuang ajaran yang bertentangan dengan al-Kitab dan al-Sunnah, memperbaharui kajian ilmu agama yang benar, membersihkannya dari ajaran bid’ah yang diciptakan dari kaum muslimin sendiri terutama dalam hal manhaj palsu yang mereka temukan sendiri sekitar di abad-abad lampau, yakni abad kemunduran, kejumudan dan taklid buta.22

Sebagai ulama besar, beliau sering dijadikan sebagai sorotan dan menganggap bahwa beliau sangat fanatik dengan mazhab Hanbali dan taklid dalam segala hal, sesungguhnya itu tidak benar, karena bermazhabnya beliau pada mazhab Hanbali merupakan ittiba’ (mengikuti pendapat-pendapat) yang dikuatkan

20

Al-Jauziyyah, Shalawat Nabi Saw,h. 31

21 Al-Jauziyyah, Melumpuhkan Senjata Syetan, terj. Ainul H ris Umar ArifinThayyib, Lc, (Jakarta: Darul Falah, 1998), Cet. Ke-1, h.6


(22)

oleh dalil dan menolak taklid yang tercela. Sebab bagaimana mungkin beliau fanatik penuh terhadap mazhab Hanbali, sedangkan beliau menentang taklid.23

Beliau tidak berpedoman atau condong pada suatu mazhab saja, akan tetapi dalam memandang dan mempelajari suatu masalah beliau akan berpedoman pada jalan yang ditempuh ulama salaf yang dibarengi dengan tunduk pada dalil yang menolak taklid buta. Demikianlah cara yang digunakan para ahli hadis dan sunah yang sampai pada derajat Imamah dan ijtihad.

Ibn Qayyim hidup pada masa kejumudan berpikir dan merajalelanya taklid buta terhadap suatu mazhab. Taklid telah melampaui batas dan fanatik mazhab telah melumpuhkan pemikiran seta membunuh kreativitas masyarakat, dan ini membuat Ibn Qayyim merasa khawatir dan ketakutan. Namun ironisnya, para ulama di zamannya tanpa mereka sadari, tergolong orang yang fanatik padasuatu mazhab.24

Beliau pun tampil di depan orang-orang yang bertaklid untuk menyeru pada kebebasan berpikir dan berpegang pada al-Qur’ n dan al-Sunnah, atu dengan jalan ijtihad jika tidak ditemukan pada al-Qur’ n dan al-Sunnah. Salah satu masalah dimana beliau tidak sepaham dengan mazhab Hamb li adalah pada masalah menggauli budak perempuan yang menjadi tawananan. Beliau sependapat dengan Imam Sy fi’ī bahwa menggauli tawanan budak perempuan setelah pembebasannya adalah boleh, walaupun budak tersebut memiliki suami. Sedangkan pengikut Imam Ahmad berpendapat bahwa sesungguhnya

23 Al-Sanhuti, Ibnu Qayyim Berbicara tentang Tuhan, h. 39 24 Al-Sanhuti, Ibnu Qayyim Berbicara tentang Tuhan, h. 39


(23)

diperbolehkan menggauli budak perempuan yang ditawan jika ia sendiri (tidak bersuami).25

Ibn Qayyim telah banyak mengupas habis berbagai masalah ijtihad dan taklid. Menurutnya ijtihad harus dikembalikan kepada Allah Swt maupun Rasul-Nya Saw, dan taklid hukumnya haram. Orang yang bertaklid buta telah keluar dari golongan ’ulama.26

Sedangkan dalam masalah fiqih, ia mengikuti jalan yang ditempuh oleh para ’ulama salaf, yaitu pengambilan (istinbath) hukum dari nash tanpa rasa fanatik pada suatu mazhab. Beliau beristinbath dengan menyandarkan kepada nash-nash dan penjelasan dalilnya di dalam menjelaskan hokum-hukum syari’at yang diambilnya.27

Dari sini tampak jelas, Ibn Qayyim sangat konsisten dalam mewujudkan tujuan-tujuannya, sehingga sasaran dan metodenya berjalan selaras dengan mantap menuju satu tujuan. Dan tujuan itu adalah menyerukan ijtihad dan menolak taklid. Karena itu beliau mengedepankan dalil-dali aqli dan naqli, mengemukakan pendapat para ’ulama, meniskusikannya, dan bersikap netral.28

Konon, Ibn Qayyim memilki banyak kesamaan dengan sang guru, Ibnu Taimiyah. Semenjak Ibn Qayyim berguru kepadanya, mereka selalu bersama-sama dalam kurun waktu yang sangat lama, yakni sejak tahun 712 H, tahun dimana Ibnu Taimiyah kembali dari mesir ke Damaskus sampai wafatnya tahun 728 H, dan selama enam belastahun itu Ibn Qayyim kerap menyerap beerbagai

25 Al-Sanhuti, Ibnu Qayyim Bebicara tentang Tuhan, h. 40-41 26 Al-Sanhuti, Ibnu Qayyim Berbicara tentang Tuhan, h. 41 27 Al-Sanhuti, Ibnu Qayyim Berbicara tentang Tuhan, h. 42 28 Al-Sanhuti, Ibnu Qayyim Berbicara tentang Tuhan, h. 42


(24)

macam ilmu pengetahuan, dan keterampilan sehingga beliau menjadi murid terpandai dan unggul.29

Karena Ibn Taymiyyah melihat bahwa di dalam muridnya terdapat kesungguhan dan kejujuran yang luar biasa dalam mengabdi kepada ilmunya, maka beliau selalu memberikan nasehat serta pengarahan yang berharga. Ini semua membantu dalam mengembangkan potensi serta menambah kekokohan dan ketegarannya.

Untuk memenuhi hak-hak gurunya (Ibn Taimiyah), Ibn Qayyim selalu berbakti kepadanya baik di saat senang maupun disaat susah. Ini merupakan bagian dari balas budi atas kebaikan gurunya serta penghargaan bagi jasanya yang besar buat dirinya.

Beliau pernah merasakan cobaan seperti yang dialami gurunya. Beliau dipenjara bersama gurunya, dalam satu benteng setelah sebelumnya disiksa dan diarak di atas pungung onta serta di pukuli dengan cemeti. Siksaan itu mereka terima karena mengingkari ziarah ke makam orang-orang pilihan (wali).30

Sebagaimana Ibn Qayyim sangat berbakti kepada gurunya di masa hidupnya serta mencintainya dengan penuh ketulusan, ia pun menjadi penerusyang baik setelah wafatnya. Ia segera mengambil estafet pembaruan serta tetap konsisten dalam jalan yang lurus; melalui penebaran ilmu, mengembalikan manusia kepada akidah yang benar, kepada prinsip-prinsip agama yang lurus, serta mematikan bias racun yang ditebarkan oleh musuh-musuh Islam dalam akidah umatnya.31

29

Ibid, h. 49

30

Ibid, h. 45

31


(25)

Beliaupun menutup lembaran hidupnya pada malam kamis, tanggal 13 Rajab tahun 751 H/ 1352 M, di usia 60 tahun. Kemudian beliau disholatkan keesokan harinya padahari kamis di Masjid Agung Damaskus, dan ba’da zhuhur disholatkan lagi di Masjid J mi al-Jirrah dekat pemakaman al-B b al-Sh gir. Dan sampai sekarang makamnya dikenal dengan al-B b al-Jadīd.32

Ibn Qayyim telah mendapatkan rahmat dari Allah Swt dengan limpahan rahmat yang luas. Dan semoga Allah Swt menempatkan beliau bersama orang-orang yang mendapat nikmat. Amin.

Sebagai ulama besar, bukan berarti sumbangan pemikirannya berhenti sampai disini, sebab beliau mempunyai sumbangan pemikiran yang tidak sedikit. Bahkan di antara mereka ada yang menjadi ulama kenamaan, seperti Ibnu Katsīr (w. 774 H) dan Ibnu Rajab (w. 795 H). Selain kedua ulama tersebut masih ada lagi kedua putranya yang bernama Ibr hīm (w. 767 H) dan Syarīf al- Dīn ‘Abd Allah.33

Selain terkenal sebagai seorang guru, pengarang dan pengajar, terkenal juga sebagai seorang mufti dan ahli dalam berdialog yang selalu mengangkat bendera kemenangan bagi kitab suci al-Qur’an dan Sunnah. Maka sering kali beliau memberikan fatwa, berdialog serta berdebat dengan cara yang baik untuk menumbangkan argumentasi-argumentasi kebatilan. Walaupun di penjara maupun disiksa ,semua itu beliau lakukan dengan penuh kesabaran serta penyerahan diri kepada Allah dengan melalui tulisan pena dan perkataan.34

32

Al-Jauziyyah, Pesona Keindahan, h.178

33

Ibid, h. 174-175

34


(26)

Walaupun beliau telah menemui Sang Khalik, namun karya-karyanya masih banyak dibaca dan dibicarakan bahkan ditulis oleh beberapa ilmuan yang mengaguminya.

C. Karya-Karyanya

Karya-karya yang begitu banyak merupakan tanda yang sangat jelas perihal keluasan ma’rifat ilmu pengetahuannya, kejernihan otak serta penguasaannya yang mendalam. Adapun karya-karyanya merupakan refleksi yang sesungguhnya dari sisi kekuatan, keindahan serta daya tarik yang luar biasa dari sisi intelektual Ibnu Qayyim al-Jauziyyah.

Tulisan-tulisan Ibn Qayyim merupakan hasil pemikiran yang mendalam, perenungan yang kuat, memiliki susunan yang baik. Tulisan-tulisannya itu merupakan kumpulan antara kedalaman berfikir dan jauh jangkauannya.35 Inilah yang kemudian sebab keterkaguman kawan maupun lawannya.

Ibn Qayyim telah pergi meninggalkan dunia fana ini menemui Sang Khalik Allah ‘Azza wa Jalla beberapa abad yang lalu, akan tetapi kebesaran dan keagungannya sampai saat ini masih dikenang.

Beliau menulis buku dengan tulisan tangannya sendiri dalam jumlah yang sangat banyak. Dalam bukunya yang berjudul Shifatu Ahli Nār terjemahan Qodirun Nur dijelaskan bahwa karya-karyanya hampir seratus judul dalam berbagai ilmu pengetahuan. Adapun diantara karya-karya beliau, yaitu:

1. “Zâd al-Ma’âd fi Khir al- Hudâ al-‘ibâd.” Yaitu sebuah ensiklopedi besar ang memuat disiplin ilmu, seperti: Sirah, fiqih, tauhid, ilmu

35

Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Al-Fawaid, Menuju Pribadi Takwa, terj. Munirul Abidin, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2000), cet. Ke-1, h. xvi


(27)

kalam, selekta dalam tafsir dan hadits, bahasa, nahwu dan yang lainnya.

2. “I’lâmu Al-Muwaqqi’în ‘an Rabb al-Âlamîn.” Dalam buku ini Ibn Qayyim menjelaskan dengan panjang lebar hukum perbuatan hamba dalam bab agama dan berbagai permasalahannya.

3. “Ighatsul Lahfan min Mashayid Asy-Syaitan.” Ini merupakan buku terpenting Ibn Qayyim sehingga banyak ulama yang meresum buku ini serta memilih beberapa bab untuk dicetak secara terpisah.

4. “Ad-daa’ wa Ad-Dawaa’ atau “Al-Jawaul Kafi Liman Saala’an Dawaa’ Asy-Syai.” Dua nama dalam satu buku. Buku ini memuat jawaban-jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan keoadanya. Buku ini juga informasi yang bermanfaat, pembahasan tentang muhasabah dan pengendalian jiwa..

5. “Ar-Ruh.” Dalam buku ini Ibn Qayyim berbicara tentang ruh dan seluruh seluk-beluknya, yang diikuti oleh penjelasan-penjelasan dan nasehat-nasehat yang sangat bermanfaat, sebagai bekal manusia.

6. “Al-Kalim At-Tayyibu wa Al-Amal Ash-Shalih” atau “Al-wabil Ash-Shayyibu min Al-klaim Ath-Thayyib.” Buku yang sangat besar faedahnya mencakup faedah dzikrullah.

7. “Jila’ul Afhâm Fi Shalatiwa Salam ala Kairil Anam. Dalam kitrab ini Ibn Qayyim menjelaskan beberapa hadits yang berkenaan dengan shalat dan salam Kepada Rasulullah, sekaligus menyeleksi hadits sahih dari yang tidak sahih, tempat dan waktu yang tepat untuk bershalawat dan juga rahasia do’adan hikmah yang terkandung di dalamnya.


(28)

8. “Miftâh Dâr Al-Sa’âdah.” Buku ini memuat informasi dan keutamaannya, tentang hikmatullah dalam penciptaan makhluk dan penurunan syari’atnya, serta tentang kenabian dan urgensinya. Serta pembahasan-pembahasan lainnya seputar masalah ini.

9. “Madārij al-Sâlikîn Baina Manazila Iyyaka Na’budfu wa Iyyaka Nasta’in.” Ini merupakan buku terbaik dari karya Ibn Qayyim untuk membina jiwa dan akhlak, agar berperilaku seperti orang-orang bertakwa yang jujur, yang bersih jiwanya dengan takwa dan bersinar hatinya dengan hidayah Allah Swt.36

BAB III

LATAR BELAKANG PERKEMBANGAN ZUHUD

A. Pengertian Zuhud Menurut Para Pakar

Secara etimologi zuhud (arab; berasal dari akar kata

الزﻩادة

-

الزﻩذ

)yang berarti meninggalkan, menjauhi, tidak memperhatikan, tidak menyukai dan

36


(29)

memandang hina, remeh, rendah. Sedangkan makna kata dari

زﻩد

-

يذﻩد

-

زﻩدا

adalah

ترك

لدنيا

للعبادة

: meninggalkan kesenangan dunia untuk beribadah.37

Kata zuhud (z,h dan d) sendiri, menurut Abû Bakr Muhammad al-Warrâq (w.290 H/903 M), mengandung arti tiga hal yang mesti ditinggalkan. Huruf z berarti zinah (perhiasan, kehormatan) huruf h berati hawa (keinginan) dan huruf d menuju kepada dunia (dunia materi).38

Zuhud pada hakikatnya ialah menjauhkan dunia dari hati dan pikiran sehingga ia tampak kecil dan tak berarti. Ketika itu seorang hamba akan merasakan ketiadaan dunia, ia hanya mencintai dan mengutamakan yang sedikit saja daripadanya, dan hal ini apabila ditinjau dari aspek batiniahnya. Adapun apabila ditinjau dari segi lahiriahnya, maka seorang yang berzuhud hendaknya berpaling dari urusan harta benda dunia, meski ia mampu dan kuasa mengumpulkannya. Apa yang diambilnya dari harta benda hanyalah sekedar pencukupan kebutuhan dirinya.39

Dalam tasawuf, zuhud dijadikan maqam dalam upaya melatih diri dan menyucikan hati untuk melepaskan ikatan hati dengan dunia. Maka di dalam tasawuf zuhud diberi pengertian dan diamalkan secara bertingkat. Pada dasarnya zuhud dibedakan pada tingkat awal (biasa) dan zuhud bagi ajaran sufi. Misalnya Abu Sulaiman al-Darani mengatakan bahwa “sufi itu suatu ilmu dari ilmu-ilmu

37

A.W Munawir, Kamus Al-Munawir Arab Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif,1997), cet. ke-14, h. 588

38

Media Zainul Bahri, Menembus Tirai Kesendirian-Nya; Mengurai Maqâmat dan Akhwal Dalanm Tradisi Sufi, (Jakarta; Prenada, 2005), cet. Ke-1, h.60.

39

Habib Abdullah Haded, Nasehat Agama dan Wasiat Islam, (Bandung: Gema Risalah Press,1993), hal.457.


(30)

tentang zuhud. Maka tidak pantas mengenakan kain Suff dengan uang tiga dirham ditangannya tetapi di dalam hatinya menginginkan lima dirham.40

Pada tempat lain Abu Sulaiman al-Darani mengatakan bahwa “ zuhud adalah meninggalkan segala sesuatu yang melalaikan hati dari Allah”. Menurut al-Junaidi zuhud ialah “mengosongkan tangan dari harta dan mengosongkan hati dari pencarian (mencari sesuatu). Sejalan dengan itu pula Ruwaim Ibn Ahmad mengatakan bahwa “zuhud adalah memandang kecil arti dunia dan menghapus pengaruhnya dari hati.41

Syibli mengatakan bahwa: “zuhud itu engkau berzuhud terhadap apa selain Allah.” Dan Malik bin Dinar berkata: “kebanyakan manusia mengatakan bahwa Malik bin Dinar adalah seorang zahid , sedangkan zahid yang sebenarnya adalah Umar bin Abdul Aziz, dimana dunia ada di tangannya tapi tidak mempedulikannya.” Akan tetapi Syibli kembali berpandangan dan mengatakan: “zuhud yang sebenarnya tidak ada, lantaran adakalanya dia berzuhud karena tidak punya sesuatu, itu bukan zuhud. Atau adakalanya dia zuhud sedangkan dunia ada padanya. Bagaimana mungkin bisa berzuhud kalau seandainya dunia ada padanya.42

Tampak sekali dari cuplikan pengertian zuhud tersebut, ada sedikit perbedaan kesan yang dikandungnya. Pendapat Malik bin Dinar nampaknya lebih “moderat” dibanding dengan pendapat yang lainnya, karena bisa saja orang yang dilimpahi kekayaan (dunia di tangannya) bisa disebut seorang zahid. Tapi dengan syarat dia tidak terlena dengan kemewahan dunia. Tidak merasa bangga atas

40

simuh, Tasawuf dan Perkembangan Dalam Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), cet. Ke-1, h.58

41

Amin Syukur, Zuhud Di Abad Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), cet. Ke-1, h.2

42


(31)

kemewahan dunia yang telah ada di tangannya dan tidak merasa bersedih karena hilangnya kemewahan di tangannya. Hartanya digunakan sebagai alat untuk lebih taat istiqomah dalam beribadah kepada Allah, semakin rajin menolong sesama dan akhlaqnya semakin mulia.

Pandangan tersebut kelihatannya sejalan dengan pandangan Abu al-Wafa al-Taftazani, yang berpendapat bahwa: “zuhud bukanlah kependetaan terputusnya kehidupan duniawi, akan tetapi merupakan hikmah pemahaman yang membuat seseorang memiliki pandangan khusus terhadap kehidupan duniawi. Mereka tetap bekerja dan berusaha. Namun kehidupan duniawi tidak

menguasai kecendrungan kalbunya dan tidak membuat mereka mengingkari Tuhan.43

Kaum Sufi yang lain memandang zuhud sebagai sebuah sikap yang tidak dikuasai dunia, bukannya memusuhi dunia. Secara lebih luas, zuhud dalam pandangan al-Syiblî berarti menjauhkan diri dari segala susuatu selain Allah. Jadi dalam pandangan kaum sufi ini, zuhud adalah sebuah hikmah pemahaman yang membuat mereka memiliki pandangan khusus terhadap kehidupan duniawi. Mereka tetap bekerja dan berusaha, akan tetapi kehidupan duniawi itu tidak menguasai kecenderungan kalbu mereka serta membuat mereka lalai apalagi ingkar kepada Allah.44

Menurut Abû Hasan al-Syâdzili (w.658 H/1258 M), meninggalkan dunia yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa syukur, dan berlebihan dalam memanfaatkan dunia akan membawa kepada kezaliman. Manusia sebaiknya

43

Amin Syukur, Zuhud Di Abad Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1997), cet. ke-1, h. 3

44


(32)

menggunakan nikmat Allah SWT dengan sebaiki-baiknya sesuai petunjul Allah dan rasul-Nya.45

Secara eksplisit kata zuhud hanya disebut sekali dalam al-Qur’an yaitu dalam surat Yusuf ayat 20:

Adapun penjelasan ayat-ayat yang lain di dalam al-Qur’an tentang zuhud diantaranya adalah sebagai berikut :

Firman Allah dalam surat Asy-Syura ayat 20:

“ Barang siapa menghendaki keuntungan di akhirat akan kami tambah keuntungan itu baginyadan barangsiapa menghendaki keuntungan di dunia kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bagian pun di akhirat.”

Dalam surat al-Anfal ayat: 28,

“Dan ketahuilah hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allahlah pahala yang besar.”

Kemudian dalam surat Yunus ayat: 7

45

Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarak di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2005), cet. Ke-2, h.74.


(33)

“Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) pertemuan dengan kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tentram dengan kehidupan itu an orang-orang yang melalaikan ayat-ayat kami.”

Di lanjutkan dengan ayat:8

“Mereka itu tempatnya ialah neraka, disebabkan apa yang selalu mereka kerjakan.”

Masih dalam pemahaman tentang zuhud, Imam al-Ghazali berpendapat bahwa “zuhud merupakan kesimpulan menghindarkan diri dari segala keinginan jiwa yang tidak patut apalagi terlarang dan beralih kepada sesuatu yang lebih baik dan lebih utama, karena menyadari bahwa yang harus ditinggalkan tadi adalah sesuatu yang hina dan tercela sedang yang dipakai adalah yang mulia dan terpuji.46

Riwayat At-Turmudzi menjelaskan bahwa: Berzuhud di dunia bukanlah dengan cara mengharamkan segala yang halal atau menyi-nyiakan harta kekayaan. Tetapi berzuhud di dunia artinya, kamu mengencangkan genggaman tangan terhadap apa-apa yang dikuasai Allah, dan menjadikan balasan musibah jika kamu ditimpanya lebih kamu sukai, sekalipun musibah itu datang terus menerus.47

46

Imam al-Ghazali, Bimbingan Untuk Mencapai Tingkat Mu’min,terj. Abdai Rathomy, (Bandung: CV Dipongoro, 1996), h.965

47

Syaikh Zainuddin Al-Malibary, Irsyadul ‘Ibad; Panduan Kejalan Kebenaran, terj. Muhammad Zuhri, Ibnu Muchtar (Semarang: Cv Asy-Syifa, TT), h. 155


(34)

Sementara itu Hamzah Ya’qub juga berpendapat bahwa: “zuhud bila diartikan sesuai dengan syariat semangat Islam dapat diformulasikan sebagai berikut: Menghindari perbudakan harta benda, menerima nikmat Allah dengan qana’ah, cenderung dan mengutamakan ganjaran pahala akhirat, memilih hidup sederhana karena percaya bahwa khazanah rezeki yang tidak terkira ada di tangan Allah, rajin bekerja, dan berderma, sabar , menjauhi syubhat dan tidak meminta-minta.48

Imam Ahmad bin Hambali, yang terkenal sebagai faqih yang “formalistis” beranggapan bahwa: “Zuhud bukan asketisisme dalam artian keadaan atau corak kehidupan yang dijalani oleh orang yang menolak masalah-masalah duniawi atau mazhab pemikiran yang meletakkan semua tekanan pada segi-segi bendawi kehidupan manusia. Tetapi zuhud adalah asketisisme dalam artian hidup sederhana berdasarkan motif keagamaan.49

Itulah berbagai macam pandangan dan pengertian zuhud menurut para pakar (pakar tasawuf). Jadi jelas hidup zuhud bukan berarti hidup miskin atau enggan bekerja, sehingga hidup melarat. Hidup zuhud harus dipahami secara benar dan mendalam. Sehingga zuhud tidak melemahkan etos kerja. Seorang zahid boleh saja kaya raya asalkan hatinya tidak terlena dan tejerat oleh kemewahan dunia. Tegasnya seorang zahid baik itu dalam keadaan kaya atau dalam keadan miskin, hatinya tetap terpaut kepada Allah, kekayaan ataupun kemiskinan tidak menjadi halangan untuk tetap taat dan mengabdi pada Allah SWT.

48

Hamzah Ya’qub, Tingkat Ketenangan dan Kebahagiaan Mu’min, (Jakarta: AV. Atisa, 1992), cet. Ke-4, h.288

49

Jalaluddin Rahmat, Islam Al-Ternatif; Ceramah-Ceramah Di Kampus, (Bandung: Mizan, 1991), cet. Ke-4, h. 99


(35)

B. Asal-Usul Zuhud

Para peneliti baik dari kalangan orientalis ataupun lainnya, berbeda pendapat tentang faktor-faktor yang menyebabkan munculnya gerakan zuhud. Zuhud bermula sebagai reaksi rohaniah sebagaian kaum Muslimin terhadap sistem politik dan ekonomi di kalangan muslim sendiri. Gerakan zuhud telah muncul pada akhir abad pertama dan awal abad kedua Hijriyah.

R.A.Nicholson misalnya, menganggap zuhud dalam Islam berkembang secara Islam, sekalipun memang agak terkena dampak Nasrani. Dan Ignez Goldziher sementara itu berpendapat bahwa tasawuf mempunyai dua aliran. Pertama zuhud, dan ini mendekati semangat Islam serta Ahlus Sunnah. Kedua, tasawuf dalam pengertiannya yang luas maupun segala ucapannya yang berkaitan dengan pengenalan terhadap Allah(ma’rifat), keadaan rohaniah (hal), dan rasa (dzauq). Menurutnya, yang kedua ini terkena dampak Neo Platonisme dan ajaran-ajaran Budha ataupun Hindu dan karena itu tambah Goldziher, tasawuf jenis ini begitu terpengaruh dampak agama Masehi.

Kesimpulannya kedua orientalis di atas menganggap zuhud (asketisisme) dalam islam muncul dikarenakan dua faktor utama, yaitu Islam itu sendiri dan kependetaan Nasrani. Sekalipun keduanya berbeda pendapat tentang sejauh mana dampak faktor yang terakhir.50

Sementara itu. Abu al-‘Ala ‘Afifi berpendapat bahwa ada empat factor yang mengembangkn zuhud dalan Islam, yaitu:

“ pertama, ajaran-ajaran Islam itu sendiri

50

Abu al-Wafa’ al-Ghanami al-Taftazani, Sufi Dari Zaman Ke zaman, terj. Ahmad Rofi’ Utsmani, (Bandung: Pustaka, 1985), cet. Ke-1, h. 56-57


(36)

kedua, revolusi rohaniah kaum muslim terhadap system sosio-politik yang berlaku.

Ketiga, dampak asketisisme Masehi.

Keempat, penentangan terhadap fiqh dan kalam.51

Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftzani sependapat dengan Abu al-A’la ‘Affifi mengenai kedua faktor yang pertama, yaitu zuhud bersumber dari ajaran-ajaran Islam serta revolusi kaum muslimin terhadap sistem sosio-politik yang berlangsung di zaman dinasti Umayyah dan ‘Abbasiyah yang sangat bergelimang dengan harta kekayaan dan kemewahan dunia serta lalai terhadap ajaran agama, menjadi faktor-faktor yang mengembangkan zuud dalam Islam. Akan tetapi tentang pendapatnya yang ketiga dan keempat, menurut al-Taftazani Kependetaan Nasrani bukanlah salah satu faktor yang mengembangkan asketisisme Islam. Begitu juga halnya dengan penentangan terhadap fiqih dan kalam, tidaklah berkaitan dengan perkembangan asketisisme Islam, sekalipun faktor ini begitu erat dengan perkembangan tasawuf sejak abad ketiga hijriyah dan seterusnya.52

Lebih jauh lagi al-Taftazani menguraikan pendapatnya tentang dua faktor utama yang membuat berkembangnya gerakan zuhud, yaitu al-Quran dan as-Sunnah serta kondisi-kondisi sosio-polotik pada dua abad pertama hijriyah. Pertama, faktor awal dan utama yang mengembangkan gerakan zuhud dalam Islam ialah ajaran Islam sendiri yang terkandung dalam al-Quran dan as-Sunnah yang berkaitan dengan uraian tentang ketidak artian dunia maupun hiasannya, dan perlunya berusaha secara sunguh-sungguh demi akhirat untuk memperoleh pahala surga ataupun selamat dari azab neraka. Kedua, factor kedua yang mengembangkan gerakan zuhud ialah kondisi-kondisi sosio-politik. Konflik-konflik politik yang terjadi, sejak akhir masa khalifah Utsman bin ‘Affan ra.,

51

Amin Syukur, Zuhud Di Abad Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997) h. 5

52


(37)

mempunyai dampak yang sangat religius, sosial dan politik kaum muslim. Dalam kalangan kaum muslim sekali lagi timbul fanatisme. Konflik-konflik politik itu terus berlangsung sampai masa khalifah ‘Ali bin Abi Thalib. Setelah itu kaum muslimin terpecah-pecah menjadi beberapa kelompok, yaitu kelompok-kelompok Umayyah, Syiah, khawarij dan kaum Zahid.53

Kemudian gerakan zuhud menyebar ke berbagai pelosok negeri, dengan di bawa oleh para sufi dengan ajarannya. Masing-masing yang mempunyai ciri khas tersendiri. Dan di antara zahid (orang zuhud) yang terkenal adalah Hasan al-Basri (W.110 H). Dasar-dasar kezuhudan yang dianutnya adalah “al-khauf” senantiasa bersedih hati karena merasa takut tidak bisa melaksanakan perintah Allah sepenuhnya. Oleh karena itu pula ia merasa takut kepada Allah. Zuhud menurutnya adalah barometer kehidupan. Hal ini dapat disimpulkan dari ucapannya: Seorang faqih (ahli fiqh) adalah yang zuhud terhadap dunia dan waspada terhadap agamanya, serta langgeng dalm beribadah kepada Tuhan.54

Dalam sejarah, sikap zuhud merupaka praktek keseharian dan jalan hidup yang ditempuh oleh Nabi Muhammad SAW dan sahabt-sahabatnya. Di Madinah ada sekelompok umat yang papah dan miskin namun tidak mengurangi kesalehan mereka dalam beribadah, merekalah kaum al-Qurrâh dan ahl al-Suffah.55 Sikap hidup yang zuhud dari Nabi, sahabat-sahabat dan ahl al-Suffah ini merupakan

53

Al-Taftazani,Sufi Dari Zaman Ke Zaman, h. 59-64

54

Syukur, Zuhud Di Abad Modern, h. 69

55

Mengenai ahl al-Suffah ini mereka sebagai kelompok yang terjaga dengan kebenaran dari kecenderungan duniawi terpelihara dari kelalaian terhadap kewajiban, dan panutan kaum miskin yang menjauhi duniawi. Mereka tidak memiliki keluarga ataupun harta. Bahkan perdagangan ataupun peristiwa yang berlangsung di sekitarnya tidak melelikan mereka darimengingat Allah.


(38)

embrio bagi lahirnya gerakan tasawuf sebagai sebuah amal dan ilmu yang mapan.56

Pandangan Hasan al-Basri yang lain tentang dunia antara lain nasihat yang didengarnya oleh Abu Sa’id al-Khuzani: Sesungguhnya dunia adalah rumah amal. Barang siapa yang mengelutinya atas dasar senang dan cinta kepadanya, akan celaka dengannya, dan Allah akan menghanyutkan baginya, kemudian dunia menyerahkan kepada sesuatu yang tak mampu bersabar dan menanggung siksa.57

Menurut Harun Nasution, zahid-zahid yang muncul pada masa Bani Umayah (sekitar tahun 661 M), pergi mengikuti jejak Nabi Muhammad saw. Dan para sahabat dekatnya dalam kenyataannya bercabang dua. Zahid-zahid seperti Hasan al-Basri, Sufyan al-sauri dan Ja’far al-Sidiq, di samping banyak beribadah, mereka juga mencurahkan perhatian pada dunia ilmu. Dengan demikian perkembangan ilmu dalam islam tidak terbatas hanya kepada ilmu agama saja, melainkan mencakup juga ilmu pengetahuan yang sekarang dikenal dengan nama sains. Salah seorang zahid yang memusatkan pada sains adalah Jabir ibn Hayyan. Selain itu ada juga yang memusatkan seluruh perhatiannya kepada ibadah serta bertaubat dan mendekatkan diri kepada Allah.58

Selain zahid-zahid yang telah disebutkan di atas, ada juga zahid perempuan (zahidah), ia adalah Rabi’ah `Adawiyah (w.135 H). Dalam posisinya sebagai zahidah, ia mempunyai karakteristik sendiri yang membedakannya dengan zahid-zahid yang telah disebutkan. Kalau diperhatikan zuhud Rabi’ah `Adawiyah akan terlihat bahwa zuhudnya mempunyai corak lain dari zuhud

56

Bahri, Menembus Tirai Kesendirian-Nya, h.60

57

Syukur, Zuhud Di Abad Modern,, h.67

58

Harun Nasution, Islam di Tinjau Dari Berbagai Aspek, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h. 6-7


(39)

Hasan al-Basri yang bercorak rasa takut. Rabiah `Adawiyah melengkapi corak zuhud dengan unsur baru yaitu cinta “al-mahabbah” yang menjadi sarana dalam merenungkan cinta terhadap Allah.59

Banyak sekali ungkapan-ungkapan Rabi’ah adawiyah yang menyatakan rasa cintanya kepada Allah, diantaranya:

“Aku mencintaimu dengan dua cinta, cinta karena diri-Mu dan cinta karena diriku…., Cinta karena diriku adalah keadaanku senantiasa mengingat-Mu, cinta karena diri-Mu adalah keadaan-Mu mengungkapkan tabirsehingga ku mengenal-Mu….. untuk kedua cinta itu pujian bukanlah bagiku, melainkan bagi-Mu pujian itu semua.”

Ketika Rabi’ah Adawiyah ditanya oleh Sufyan al-Sauri mengenai hakikat keimanan, ia menjawab: “Aku mengabdi kepada Tuhan bukan karena takut kepada neraka dan bukan pula ingin masuk surga, tetapi aku mengabdi karena cintaku kepada-Nya.60

Agaknya gerakan zuhud yang dikemukakan di atas, bisa dipandang sebagai fase pendahuluan tasawuf, sebab hubungan antara sufi dan zahid tidak dapat dipisahkan, sebab setiap sufi harus seorang zahid. Harun Nasution mengatakan bahwa, tiap-tiap sufi adalah zahid, tetapi tidak sebaliknya, sebab sebelum menjadi sufi ia harus menjadi zahid terlebih dahulu.61

Itulah sejarah singkat tentang asal-usul dan perkembangan zuhud. Jadi pandangan islam tentang masalah zuhud ini, jelas berbeda dengan kerahiban Kristen. Islam jelas-jelas menentang kerahiban Kristen. Konsepsi zuhud dalam Islam bukan mengarah kepada asketisisme. Karena suatu perbedaan tajam antara dunia dan akhirat tidak kemana-mana. Dalam perspektif Islam, dunia dan akhirat tidaklah terpisah dan tidak asing satu sama lainnya.

59

Harun Nasution, Falsafah Dan Mistisisme Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), h. 25

60

Nasution, Falsafah Dan Mistisisme Dalam Islam, h. 25

61


(40)

C. Maqam Zuhud Dalam Tasawuf

Zuhud merupakan salah satu maqâm yang sangat penting dalam tasawuf. Untuk dapat berada dengan Allah sedekat-dekatnya, seorang muslim harus menempuh perjalanan panjang yang berisi stasion-stasion. Dan stasion-stasion ini disebut dengan maqâm.

Sebelum mengetahui lebih jauh mengenai maqâm zuhud, adakalanya kita mengenal terlebih dahulu akan tanda-tanda bagi seorang zahid. Karena dengan tanda-tanda ini, seorang zahid akan lebih mudah untuk mencapai ke dalam maqâm zuhudnya. Adapun tanda-tanda tersebut ada tiga macam, yaitu:

1. Seorang zahid itu tidak menjadi gembira jikalau sesuatu yang diinginkan atau diharapkan itu maujud atau ada, tetapi juga tidak akan bersedih hati manakala tidak ada atau hilang.

2. Seorang zahid sama saja kesannya dalam jiwa, apabila menerima celaan ataupun pujian. Yang berkaitan dalam celaan itu adalah zuhud dalam harta, sedangkan yang berkaitan dengan pujian itu adalah zuhud dalam pangkat atau kedudukan.

3. Seorang zuhud itu merasa mendapatkan ketenangan jiwa dan hatinya dalam hubungannya dengan Allah.62

Al-Sarrâj memandang zuhud sebagai maqâm yang mulia. Berkaitan dengan kemulian zuhud ini, Nabi pernah menyampaikan ”Jika kalian melihat seseorang yang telah dianugerahi zuhud berkenaan dengan dunia dan ucapan, maka ikutilah ia, karena ia dibimbing oleh hikmah. Zuhud merupakan fondasi kondisi-kondisi spiritual (ahwâl) yang disukai Allah. Ia merupakan langkah awal bagi orang-orang yang bermaksud menuju Allah, memutuskan hubungan selain kepada Allah, rela dan berpasrah diri hanya kepada Allah. Jika ia tidak paham dan

62


(41)

mengamalkan zuhud beserta hikmahnya, maka menurut al-Sarrâj tidak sah baginya untuk naik ke maqâm selanjutnya.63

Zuhud menurut al-Sarrâj, membutuhkan maqâmfaqr. Zuhud yang berarti sebuah sikap rohani yang tidak dikuasai dunia materi hanya bisa sempurna dengan sikap faqr, yakni sebuah sikap mental yang senantiasa merasa butuh kepada Allah, hanya kepada Allah tidak kepada yang lainnya. Seseorang yang mempunyai sikap zuhud berarti ia sudah membebaskan dirinya dari jeratan dan kungkungan dunia materi yang bisa mencelakakannya. Kebutuhan terhadap dunia materi hanya sekedar untuk memenuhi hajat hidupnya semata tidak lebih, kebutuhannya yang hakiki hanya kepada Allah semata.64

Dalam pada itu, tokoh-tokoh sufi mempunyai perbedaan masing-masing dalam menempuh jalan “Thariqah” atau sistem dalam melakukan riyadhah atau latihan. “Sufinya yaitu mencari hubungan dengan Tuhan untuk mencapai hakikat ketuhanan. Maka tumbuh bermuncullah institusi-institusi tarekat.” Mereka mulai merasa perlu menentukan tarekat atau sistem pelajaran yang diterima oleh murid dari gurunya dengan gelar Syekh (ketua) atau mursyid (penunjuk jalan). Tarekat-tarekat suluk itu laksana “pesantren” pada masa-masa sebelum terbentuknya madrasah.65

Maka dengan melihat dan memperhatikan kaum sufi , sampai-sampai Imam al-Ghazali berani mengatakan bahwa: “Aku yakin dengan sebenar-benarnya, kaum sufiyah itulah yang mampu menempuh jalan yang dicontohkan Nabi dan yang dikehendaki Allah.” Kemudian selanjutnya Imam al-Ghazali

63

Bahri, Menembus Tirai Kesendirian-Nya, h.60-61.

64

Bahri, Menembus Tirai Kesendirian-Nya, h.62-63

65

Mustafa Zahri, Kunci Memahami Tasawuf, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1995), cet. Ke-2, h. 26


(42)

berpendapat bahwa: “Mendekati Allah, merasakan kehadiran Allahdan ma’rifatullah, hanya dapat dicapai dengan menempuh satu jalan yakni jalan yang ditempuh oleh kaum sufi.66

Walaupun demikian namun perbedaan itu saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Al-Tusi mendefinisikan maqam dengan tingkatan seorang hamba di hadapan Allah, dalam hal ibadah dan latihan jiwa yang dilakukannya. Adapun maqâm itu ialah, taubah, wara, zuhud, faqr, sabr, tawakkal dan ridha.

Al-Ghazali menempatkan zuhud dalam sistematika: al-Taubah, al-Sabr, al-Faqr, al-Zuhud, al-Tawakkul, al-Mahabbah, al-Ma΄rifah dan al-Ridha.

Muhammad al-Kalabazi menempatkan zuhud dalam urutan sebagai berikut: Taubah, Zuhd,Sabr, Faqr, Tawadhu, Takwa, al-Tawakkal, al-Ridha, al-Mahabbah dan al-Ma’rifah.

Sedangkan al-Qusyairi menempatkan zuhud dalam urutan maqam: al-Taubah, al-Wara; al-Zuhud, al-Tawakkul dan al-Ridha.67

Melihat sistematika yang dikemukakan para ulama sufi tersebut, bahwa bahwa maqâm zuhud tidaklah sama dalam posisinya. Zuhud dijadikan sebaagia maqam dalam upaya melatih diri dan menyucikan hati untuk melepaskan hati dengan dunia. Dalam pandangan sufi dunia tidak bisa berada dalam kalbu secara bersamaan dengan Tuhan.68

Inti zuhud adalah kesadaran jiwa akan rendahnya nilai dunia. Ia bagaikan bangkai. Seseorang boleh memilikinya sekedar untuk mencapai kebaikan dan untuk beribadah kepada Allah Swt. Wujud zuhud ini adalah kehidupan yang

66

Zahri, Kunci Memahami Tasawuf ,h. 30

67

Syukur, Zuhud Di Abad Modern, h.63

68


(43)

sederhana, wajar, integratif dan aktif dalam berbagai kehidupan di dunia ini, sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah dan sahabat-sahabatnya.69

Zuhud merupakan dasar dari segala ajaran yang terkandung dalam ajaran sufisme yang diyakini oleh para sufi yang merupakan langkah awal dari mereka yang menekuni tasawuf dalam usahanya untuk berada sedekat mungkin dengan Tuhan. Sehingga siapa saja yang tidak berhasil melalui tahap ini, maka niscaya tidak akan pernah berhasil mencapai hal dan maqam sesudahnya. Maka untuk menjadi sufi , maka seseorang harus mengawalinya dengan menjadi zahid.

Maqâm zuhud merupakan maqâm yamg sangat mulia. Hanya dengan perjuangan yang keras seseorang bisa mencapai maqâm zuhud. Tetapi perjuangan dan riyādhah yang dilakukan oleh seseorang untuk mencapai maqâm zuhud jangan sampai tercemari oleh rasa ujub dan takabur serta riya yang hanya ingin mendapat pujian dari manusia (makhluk) dan jangan pula merasa malu atau putus asa. Serahkanlah semuanya itu hanya kepada Allah semata.

69


(44)

BAB IV

ZUHUD DALAM PANDANGAN IBN QAYYIM AL-JAWZIYYAH

A. HAKIKAT ZUHUD

Ibn Qayyim al-Jawziyyah memiliki kemampuan untuk memakmurkan hatinya dengan keyakinannya kepada Allah, selalu merasa fakir dan di hadapan Allah kembali dan bersimpuh. Di samping itu ia memiliki kekayaan yang cukup besar, serta kedudukan yang cukup tinggi di antara para ulama yang berkomitmen.

Ia memiliki kerinduan dan cinta yang memenuhi seluruh hatinya, ia memakmurkan hatinya dengan ketergantungan kepada Allah baik dalam kondisi sepi ataupun ramai, dengan berdzikir sehingga ibadahnya menduduki posisi sebagai pengobatan dan penyembuhan serta olah raga bagi jiwa.

Maka tidak terlalu mengherankan jika beliau hidup zuhud di dunia serta rendah hati. Baginya fenomena dunia yang menipu telah sirna dalam dirinya setelah nyata bahwa hakekatnya adalah kebinasaan.70

70

Syaikh M. Hasan Al-Jamal, Biografi 10 Besar Imam, terj. Khalid Musleh, Imam Awaluddin, (Jaakarta: Pustaka Al-Kautsar 2005), cet. ke-1, h. 230


(45)

Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Katsir; Salah satu muridnya berkata, ”Bacaan dan etikanya sangat baik, banyak berlemah lembut, tidak pernah hasad dan dengki kepada siapapun, tidak pula menyakiti dan mencela mereka. Secara umum kepribadiannya dipenuhi oleh kebaikan dan akhlak yang mulia.” Al-Imam Ibn Katsir juga sangat bangga bisa bergaul sdengan beliau, dan dapat mencintainya, hingga suatu ketika ia berkata, ”saya termasuk teman beliau yang paling akrab dan paling ia senangi.”71

Makna zuhud menurut Ibn Qayyim adalah ungkapan tentang pengalihan keinginan dari sesuatu kepada sesuatu yang lain yang lebih baik darinya. Syarat sesuatu yang tidak disukai haruslah berupa sesuatu yang memang tidak disukai dengan pertimbangan tertentu. Sehingga zuhud bukanlah sekedar meninggalkan harta dan mengeluarkannya, tetapi zuhud ialah meninggalkan dunia karena didasarkan pada pengetahuan tentang kehinaannya.72

Beliau berpandangan bahwa cinta kepada akhirat tidak akan murni kecuali dengan zuhud terhadap dunia, dan zuhud terhadap dunia tidak akan terwujud kecuali setelah memiliki dua pandangan sebagai berikut:

1. Memandang dunia sebagai sesuatu yang rendah, cepat sirna dan fana. Selain dunia adalah tempat berbagai keletihan dan perjuangan sehingga si pencari dunia selalu dikungkung kesusahan.

2. Memandang akhirat sebagai suatu yang abadi dan mengandung aneka ragam kebaikan dan kenikmatan.73

71

Al-Jamal, Biografi 10 Imam Besar, h. 229

72

Imam Ahmad bin Hanbal, Zuhud Cahaya Kalbu, terj. Kathur Suhardi, (Jakarta: Darul Falaf,2003), cet. Ke-2, h. xvi.

73

Ibn Qayyim Al-Jawziyyah, Al-Fawa’id; Menuju Pribadi Takwa, terj. Munirul Abidin, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2000), cet. ke-3, h.102


(46)

Pembagian yang ada ini bersifat keharusan, seorang hamba tidak akan terlepas dari pembagian tersebut. Memilih dunia daripada akhirat jelas berasal dari iman yang rusak. Ibn Qayyim berkata: ”bahwa Rasul dan para sahabt meletakkan dunia di belakang punggung, mereka tidak antusias padanya, lalu dilemparkannya dan tidak disenanginya lagi dan mereka tidak condong padanya.

Bila kedua pandangan ini telah dimiliki oleh seorang hamba, maka ia akan mendahulukan apa yang di prioritaskan oleh akalnya dan akan bersikap zuhud terhadap sesuatu (dunia) yang memang semestinya ia harus berzuhud terhadapnya. Setiap orang cenderung untuk mengambil kehidupan dunia dan kesenangan hari ini yang bersifat temporer dan tidak mempedulikan kehidupan akhirat dan kesenangan hari esok yang kekal. Kecuali jika ia mengetahui bahwa kehidupan akhirat lebuh baik daripada kehidupan dunia dan kecendrungan (cintanya) terhadap kesenangan abadi lebih kuat daripada cintanya kepada kesenangan sementara.74

Manakala seseorang mengutamakan dunia atas akhirat, berarti ia tidak mengetahui hakikat keduanya mungkin juga ia mengetahui hakikat keduanya, namun kecintaannya kepada dunia telah mendominasinya. Jika demikian berarti iman dan akalnya lemah. Malah orang yang tidak meyakini bahwa akhirat itu lebih baik dan lebih afdal daripada dunia dapat dikatakan pula bahwa orang yang demikian itu tidak memiliki Iman.75

Orang-orang yang paling terpedaya adalah mereka yang tertipu oleh kesenangan hidup di dunia yang mereka rasakan, sehingga mereka lebih

74

Ibn Qayyim Al-Jawziyyah, Pesan-Pesan Spiritual Ibn Qayyim, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), cet. ke-2, h. 85

75


(47)

mementingkan kehidupan dunia daripada kesenangan akhirat. Mereka merasa lebih senang di dunia daripada di akhirat.

Dengan tutur katanya yang baik lagi bijak, Ibn Qayyim berkata dengan perkataan yang hikmah, “Seseorang yang mencintai dunia, maka dunia akan menjadi tuan baginya sehingga ia akan dijadikannya sebagai budak dan hambanya serta dihinakannya. Sebaliknya, jika seseorang memusuhi dunia akan melihat kebesarannya, sehingga dunia akan mengabdikan diri dan tunduk kepadanya.76 Jika hati berzuhud terhadap kenikmatan dunia, maka ia akan mencari kenikmatan akhirat. Dan jika ridha terjadap kenikmatan dunia ia akan meninggalkan akhirat.77

Dari pada itu, sehingga sebagian mereka ada yang mengatakan, “Kesenangan dunia adalah sekarang, sedangkan kesenangan akhirat ditangguhkan. Yang sekarang itu lebih baik daripada yang ditangguhkan. Sebagian lagi mengatakan, “Kenikmatan di dunia itu suatu yang pasti, sedangkan kenikmatan di akhirat itu masih diragukan.78

Jika orang-orang merasa kaya dengan dunia, maka hendaklah merasa kaya dengan Allah, dan kalau orang lain bangga denga harta yang melimpah, maka hendaklah bangga dengan Tuhanmu. Jika manusia tenang dengan kekasih mereka, maka hendaklah tenang dengan Allah. Seorang zahid berpesan; ”Tinggalkanlah dunia sebagaimana mereka telah meninggalkan akhirat, dan jadilah engkau di dunia ini laksana lebah yang hanya memakan yang baik-baik dan hanya memberi

76

Al-Jawziyyah, Al-Fawa’id; Menuju Pribadi Takwa, h. 109

77

Al-Jawziyyah Al-Fawa’I; Menuju Pribadi Takwa, h. 107

78

Ibn Qayyim Al-Jawziyah, Siraman Rohani Bagi yang mendambakan Ketenangan Hati,


(48)

yang baik-baik, jika hinggap pada sesuatu, ia tidak merusak atau menghancurkannya.79

Berbeda dengan orang-orang yang bertakwa. Mereka tidak tergoda oleh cinta kedudukan dan dunia sehingga mereka tidak memprioritaskan atas akhirat. Mereka tetap berpegang teguh pada al-Qur’an dan sunah. Selain beristi’anah (meminta bantuan) dengan sholat dan kesabaran serta selalu berpikir tentang kefanaan dunia serta kerendahannya.80

Inilah gambaran terhadap lemah dan kuatnya iman. Dalam hal berzuhud, seorang zahid haruslah terlebih dahulu menanamkan dalam dirinya akan keimanan yang kuat. Sehingga dalam melaksanakannya tidak akan ragu.

Seseorang yang dapat dikatakan zahid sebenarnya bukanlah yang meninggalkan seluruh hartanya. Melainkan bagaimana seseorang dapat bersikap balance di antara dunia dan juga akhirat. Inilah hakikat zuhud yang sesungguhnya menurut beliau.

Tidaklah benar seseorang yang hanya mementingkan akhiratnya saja lebih-lebih mementingkan keduniawiannya. Dalam hal ini memang sangatlah di perlukan keimanan dan juga ketakwaan kita. Sebenarnya, dunia diciptakan sebagai tempat cobaan bagi manusia. Sehingga akal manusia amatlah diperlukan. Ibn Qayyim pun berkata: “Akhirnya aku menyadari bahwa yang paling baik adalah yang di tengah-tengah. Lebih tidak, kurang pun tidak.”81

Ibn Qayyim beranggapan bahwa tidaklah baik terlalu berlebih-lebihan dalam berzuhud. Karena sikap yang demikian ini hanya akan membawanya

79

Al-Jawziyyah, Al-Fawaaid, Pesan-pesan Spiritual Ibn Qayyim, h.109

80

Al-Jawziyyah, Pesan-Pesan Spiritual Ibn Qayyim, h. 85

81

Ibn Qayyim Al-Jawziyyah, Shaidul Khathir; Cara Manusia Cerdas Menag Dalam Hidup, (Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2005), cet. ke-2, h. 86


(49)

kepada sifat yang riya. Di mana sikap seperti ini adalah suatu kesalahan dan telah keluar dari jalan yang telah dituntunkan oleh Rasulullah saw dan para sahabat beliau baik secara nagli maupun secara akal sehat.

Dalam melakukan kezuhudannya, di antara orang-orang zuhud ada yang merasa kuat baik berada di masjid atau hanya duduk-duduk dan berdzikir di zawiyyah ‘tempat persemedian’. Mungkin juga mereka beralasan tentang kesendiriannya itu, “ia khawatir jika keluar akan melihat berbagai kemunkaran.” Sebagian dari mereka ada juga yang tidak pernah mengunjungi orang lain atau pun teman-temannya.82

Sebagian dari mereka pun ada yang tidak mau memakan makanan adonan segar. Yang lainlagi hanya memakan makanan yang sedikit sehingga ia tidak memperdulikan kondisi badannya, dan juga ada yang memakai pakaian yang seadanya dengan menggunakan pakaian yang sudah kumel dan lain sebagainya.

Dalam hal ini ada sebuah kisah, di mana ketika Farqad as-Sabkhi datang ke rumah Hasan al-Bashri yang pada saat itu sedang makan ‘faludzaj’.83 Hasan kemudian berkata, “Bagaimana pendapatmu tentang makanan ini? Aku tidak makan karena aku tidak menyukainya.” Hasan al-Bashri berkata: apakah makanan yang seperti ini tidak disukai oleh seorang muslim (diharamkan)?”

Ada pula seorang pria yang datang menemui Hasan al-Bashri, kemudian berkata: Aku mempunyai seorang tetangga yang tidak mau makan ‘faludzaj’. Hasan bertanya kenapa? Ia menjawab, “Tetanggaku mengatakan ia tidak mampu mensyukuri kenikmatan dari makanan mewah seperti itu.” Lalu Hasan

82

Al-Jawziyyah, Shaidul Khathir; Cara Manusia Cerdas Menag Dalam Hidup, h. 458

83

Sejenis makanan yang istimewa. Makanan ini berasal dari campuran madu dengan gandum dan ditambah minyak sapi.


(50)

berkomentar, “Tetanggamu itu adalah orang yang bodoh dan tidak tahu. Jika demikian apakah ia juga tidak mampu untuk mensyukuri nikmat yang didapatnya dari segelas air yang dingin.?84

Ibn Qayyim menanggapi kejadian tersebut dengan mengatakan bahwa sebenarnya, bagi orang yang seperti itu telah tertutup jalan kebenaran bagi dua arah. Sebab utamanya adalah kebodohan mereka sendiri. Mereka tidak mengetahui bahwa Nabi saw dan para sahabatnya tidak pernah melakukan hal yang seperti itu. Rasulullah ,makan daging ayam, menyukai yang manis-manis dan madu.85

Jika hal-hal tersebut dianggap sebagai cara hidup zuhud. Maka sesungguhnya semua itu sangat bertentangan dengan cara hidup Rasulullah dan para sahabatnya. Pertentangan terjadi secara sisi syari’at dan cara hidup bijak. Jika ada sebagian orang yang hendak memprotes dan mengatakan: “Bahwa sikap seperti ini menentang kebaikan dan sifat zuhud itu sendiri.” Padahal tidaklah demikian adanya. Karena, sikap zuhud mereka itu sudah melampaui batas. Di mana Rasulullah saw sendiri pernah bersabda:

“Setiap amal yang tidak dilandaskan pada perintah kami (syari’at), maka amalan itu tersebut tertolak.”

Ibn Qayyim pun menegaskan janganlah terpesona dengan cara ibadah yang dilakukan oleh banyak orang yang mengaku zahid, namun sebenarnya amalan mereka jauh menyimpang dari jalan yang digariskan Rasulullah dan tidak juga para sahabatnya. Misalnya dengan cara berpura-pura khusyuk yang berlebihan, berpura-pura menjalani hidup dengan amat sederhana yang luar biasa

84

Ibn Qayyim Al-Jawziyyah, Shaidul Khathir; Bisikan Hati Ibnu Jauzi, terj. Ibnu Ibrahim, (Jakarta: Pustaka Azzam, 1998), cet. ke-1, h. 78

85


(51)

dan hal-hal yang mungkin dianggap oleh orang-orang awam sebagai sesuatu yang sangat baik.86

Hal yang demikian inilah yang ditakutkan oleh Ibnu Qayyim. Beliau khawatir dengan berzuhud yang terlalu over atau berlebihan hanya akan mendatangkan sikap takabur dan menjadi riya. Sehingga seorang zahid harus lebih mengetahui lagi makna apa yang terkandung atau hakikat yang bagaimana sebenarnya yang terkandug di dalam kezuhudan itu sendiri.

Sikap zuhud yang demikian itu muncul karena kurangnya ilmu pengetahuan yang mereka miliki. Sehingga mereka merasa benar dengan apa yang dilakukannya. Maka dari itu menurutnya, memohonlah kepada Allah akan ilmu yang bermanfaat. Sebab, ilmu itu adalah dasar. Apabila ilmu itu dapat diraih, maka dengan ilmu kita dapat mengenal Allah dengan sebaik-baiknya dan berbakti kepada-Nya sesuai dengan apa yang diajarkan dan disenangi-Nya. Dan dengan ilmu pun kita dapat merasakan suatu keikhlasan dalam menjalani hidup.

Dalam ungkapan bijaknya beliau berkata: “Beberapa keinginan dunia laksana permainan dan hayalan saja. Sedangkan pandangan orang awam terbatas hanya pada lahiriahnya dan orang yang berakal akan melihat dari balik tabir.87

Ibn Qayyim pun pernah menjalani kehidupan zuhud yang pada waktu itu beliau hampir meninggalkan keluarganya. Ibn Qayyim mulai menjauh dari dunia dan beliau pun mulai mengganti pakaiannya dengan pakaian lusuh dan makan dengan cara yang sangat sederhana. Namun yang terjadi adalah beliau merasakan tubuhnya tak berdaya.

86

Al-Jawziyyah, Shaidul Khathir; Cara Manusia Cerdas Menang Dalam Hidup, h. 89-90

87

Ibn Qayyim Al-Jawziyyah, AlFawa’id, terj. Mahrus A’li, (Jakarta: Cendekia Sentra Muslim, 2000), cet. ke-1, h.48


(52)

Ibn Qayyim kembali larut dalam khalwatnya. Beliau pun berkata: ”Saya ingin seperti para ulama, namun badanku tak kuasa untuk menuntut ilmu. Aku ingin seperti para zahid, namun badan tak lagi mampu untuk berzuhud.” Beliau merasa hal yang demikian hanyalah bisikan setan. Kemudian beliau berkata: ”Jika aku berzuhud dalam caramu, maka habislah apa yang ada dalam genggamku dan apapun yang menjadi hajat keluargaku.” Uzlah yang benar adalah menghindarkan diri dari keburukan bukan dari hal-hal yang baik. Kisah ini diambil dari karya beliau yang berjudul Shaidul Khathir; cara manusia cerdas menang dalam hidup.

Menurut Ibn Qayyim al-Jawziyyah, banyak sekali orang berbicara tentang zuhud. Semua berbicara tentang pengalamannya, kondidi dan keadaannya. Orang-orang lebih mengunggulkan berbicara mengenai kondisi pengalamannya. Padahal, berbicara atas dasar ilmu lebih luas dan lebih tepat daripada berbicara dengan dasar pengalaman. Selain itu, lebih tepat dari sisi penjelasan.

Sebenarnya bukanlah dunia itu yang harus kita hindari. Melainkan yang layak dihindari adalah segala hal yang tidak dihalalkan dan segala sesuatu yang sifatnya berlebihan. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa seorang zahid bukanlah meninggalkan segala hal yang mubah dalam arti baik melainkan dapat meninggalkan segala hal yang merugikan dan seorang zahid haruslah bisa membedakan di antara keduanya.

Pada hakikatnya bukanlah dunia yang tercela, tetapi yang tercela adalah perbuatan hambanya. Dunia adalah jembatan yang akan menghantarkan hamba menuju surga atau neraka. Namun ketika kehidupan dunia ini didominasi oleh hawa nafsu, keinginan untuk meraih keberuntungan, kelalaian, kehidupan jauh dari Allah dan juga kehidupan akhirat. Sehingga keadaan yang seperti inilah yang


(53)

akan meliputi para penghuni dunia dan kehidupannya di sana, dengan demikian dunia akan tercela dalam keadaan bagaimanapun.88

Riwayat Ad Dailami menegaskan, “Tinggalkanlah dunia untuk ahli-ahlinya, karena barangsiapa menambil dunia melebihi kapasitas kegunaannya, maka ia telah mengambil kematiannya tanpa ia sadari.”89

Apabila ada seseorang yang mengaku dirinya sebagai orang yang zahid, kemudian ia menolak untuk berusaha dan mengatakan, “Aku tidak akan makan, tidak akan minum dan tidak akan menghindar dari panas matahari disaat terik dan tidak akan menghangatkan disaat dingin menggigil, maka orang semacam ini secara ijma’ sudah dianggap berbuat maksiat atau membuat kesalahan kepada Allah dan dirinya sendiri.”90

Begitu pula jika ia mengatakan, “Aku tidak akan mencari rizki dan aku serahkan rizki keluargaku kepada Allah semata, lalu keluarganya ditimpa musibah kelaparan seperti sakit dan lainnya, maka ia telah berbuat dosa kepadaAllah.”91

Janganlah tergoda dengan omongan kacau mereka yang berpura-pura zuhud yang selalu mengurangi makan secara tidak wajar. Hal itu dapat mengakibatkan dirinya tidak mampu melakukan pekerjaan yang wajib. Sebenarnya hal yang demikian itu tak pernah dicontohkan Rasulullah dan para sahabat-sahabatnya. Jika Rasulullah tidak makan dan mereka lapar itu seringkali

88

Al-Jawziyyah, Uddatu Ash-Shabiriin Wa Dzakiratu asy-Syakiriin; Indahnya Sabar, (Jakarta: Magfirah Pustaka,2007), cet. Ke-2, hal.257

89

Syaikh Zainuddin Al-Malibary, Irsyadul ‘Ibad; Panduan Ke Jalan Kebenaran, terj. Moh. Zuhri, Ibnu Muchtar, (Semaramg: Cv Asy-Syifa, TT ), h.155

90

Al-Jawziyyah, Shaidul Khathir; Bisikan Ibnu Jauzi, h.77

91


(54)

disebabkan mereka selalu mendahulukan orang lain, kemudian mereka bersabar karena darurat.92

Ibn Qayyim menegaskan bahwa generasi Islam yang pertama itu adalah para sahabat Rasulullah, dimana mereka itu bekerja dan mencari nafkah serta cenderung untuk meninggalkan harta benda yang banyak bagi ahli waris mereka. Oleh karena itu kembalilah kepada generasi Islam pertama yang masih murni. Dan hendaknya kita tidak mengikuti ajaran-ajaran yang didasarkan pada pandangan yang salah.

Sebenarnya anjuran untuk zuhud di dunia merupakan teguran agar tidak selalu mementingkan kehidupan duniawi, sehingga mengabaikan urusan akhirat. Semua itu dimaksudkan agar manusia berada pada derajat yang terbaik di sisi Allah sebagai balasan dari apa yang telah mereka kerjakan di dunia.

Sungguh amatlah disayangkan jika seorang zahid, demi kezuhudannya harus menelantarkan keluarganya dan menyiksa dirinya sendiri. Karena yang demikian itu hanya akan membuat kerugian pada dirinya.

Memang berzuhud itu di haruskan tapi tidak dengan hal yang berlebihan. Adakalanya sebelum berzuhud terlebih dahulu memahami akan hakikat zuhud itu sendiri. Yang mana Ibn Qayyim telah menjelaskan, pada hakikatnya zuhud itu adalah yang dapat mengimbangi antara kehidupan dunia dan akhirat. Berlebihan dalam hal kehidupan dunia tidak dibenarkan, lebih mementingkan akhirat pun adalah tidak benar.

92


(55)

B. TINGKATAN ZUHUD

Di dalam al-Qur’an penuh dengan ajaran-ajaran zuhud tehadap dunia, informasi-informasi tentang rendahnya, sedikitnya dan ketidak kekalan dunia, dan cepat sirnanya dunia, juga ajaran yang mendorong terhadap akhirta, informasi-informasi tentang kemulyaan akhirta dan kekekalan akhirat. Jika Allah menghendaki sesorang hamba itu baik, maka Allah memberi pertunjuk dalam hatinya, sehingga ia dapat menentukan hakikat dunia dan akhirta dan menentukan mana diantara keduanya yang lebih utama untuk kepentingan orang lain.93

Kezuhudan bukanlah suatu masalah mudah yang bisa diperoleh tanpa bersusah-payah dan tidak semua orang mampu menjadi seorang zahid. Kezuhudan merupakan langka-langkah untuk melatih perilaku. Di mana dalam kezuhudan ini ada pencapaian-pencapaian tertentu sehingga seorang bisa dikatakan sebagai seorang zahid dan dalam pencapaiannya dibutuhkan keimanan yang kuat.

Dalam masalah pencapaian zuhud ini, Ibn Qayyim mengemukakan bahwa ada tiga tingkatan yang harus dilaluinya. Tentang pendapatnya ini, beliau mengutipnya dari sebagian Imam. Diantara mereka adalah Imam Ahmad yang berkata ”Zuhud itu memiliki tiga tingkatan yang pertama, meninggalkan yang haram dan ini zuhudnya orang awam. Kedua, meninggalkan nikmat yang lebih dari rezeki yang halal dan ini adalah zuhudnya orang-orang khusus. Ketiga, meninggalkan apa yang dapat melalaikan dari Allah dan inilah zuhudnya orang-orang ma’rifat.94

93

Ibn Qayyim Al-Jawziyyah, Tahdzib Madarij Salikin, (Bairut: al-Manar al-Islamiyyah, 1997), h. 257

94

Sa’id bin Musfir, Itiqadiah Asy-Syaikh Abdul Qadir Jailani Wa Arauhu Al-Itiqadiah Wa Ash-Shufiah; Buku Putih Syaikh Abdul Qadir Al-JailaniI, terj. Munirul Abidin, (Jakarta: Darul Falah, 2003), Cet.Ke-1, h.491.


(56)

Perkataan Imam Ahmad ini selaras dengan perkataan Imam-imam terdahulu dengan tambahan pada rinciannya dan penjelasan tentang tingkatan-tingkatannya. Ini merupakan pendapat yang paling disepakati dan ini menunjukan bahwa beliau dalam hal ini berada pada tingkatan tertinggi.

Dalam masalah urutan maqâm penulis tidak menemukan secara spesifik ada dalam posisi keberapa maqâm zuhud itu sendiri. Hanya saja mengemukakan bahwa zuhud berada pada tingkatan tertinggi dan ketika kita berzuhud dibarengi dengan sikap qana’ah dan sikap ketakwaan.

Sebelum lebih jauh mengetahui tingkatan zuhud tersebut adakalanya kita mengetahui beberapa macam zuhud menurut Ibn Qayyim, yaitu:

1. Zuhud dalam hal yang haram, yaitu fardhu ain.

2. Zuhud dalam masalah syubhat, yang tergantung pada tingkat syubhat. Jika kuat akan menjurus kepada wajib dan jika melemah menjadi sunah.

3. Zuhud dalam masalah-masalah yang lebih.

4. Zuhud dalam masalah yang tidak perlu dilakukan, dipandang, ditanyakan, ditemui dan lain-lain.

5. Zuhud di tengah manusia.

6. Zuhud dalam kaitannya dengan diri, yaitu merendahkan diri Karena Allah.

7. Zuhud yang meliputi semua itu, yaitu zuhud dalam hal-hal selain Allah dan apapun yang membuat lalai terhadap Allah.95

95

Ibn Qayyim Al-Jawziyyah, Mendulang Faidah Dari Lautan Ilmu, terj. Kathur Suhardi, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998), cet. ke-2, h.179


(1)

melainkan meninggalkan dunia karena kehinaannya. Mengetahui kebaikan dunia dan juga keburukannya, tidak terlalu memprioritaskan kehidupan dunia dan meyakini akan kehidupan akhirat itu lebih baik ketimbang kehidupan dunia.

Orang yang zuhud hanya akan mencintai dunia dan mengambil keperluannya saja. Ia tidak akan menjadikan dunia sebagai tujuan hidup, melainkan hanya sebagai sarana untuk mencapai kebahagiaan hidup, di akhirat. Mereka menyadari bahwa kenikmatan dan kehidupan dunia hanyalah permainan dan tipuan belaka.

Ibn Qayyim pun menjelaskan bahwa seorang zahid yang sesungguhnya adalah tidak merasa senang ataupun bangga terhadap apa yang dicapainya. Dia tetap zuhud saat mengambil keduniaan dan tetap zuhud dalam meninggalkannya. Sebaik-baiknya zuhud adalah yang tidak keluar dari ajaran Rasulullah saw.

B. Saran-saran

Diakui oleh penulis, bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan. Diperlukan kajian dan penulisan yang lebih mendalam lagi tentang masalah ini.

Selanjutnya, Ibn Qayyim sebagai seorang pemikir, yang banyak menghasilkan karya besar sangat layak diberikan perhatian dan kajian yang lebih terhadap pemikirannya. Penulis yakin bahwa masih banyak persoalan-persoalan zuhud yang belum terangkat dan terungkap di sini. Untuk itu penulis memberikan saran kepadapara akademisi dan pembaca pada khususnya, yaitu:

1. Secara umum perlu dikembangkan kajian yang lebih intensif mengenai pemikiran zuhud, karena hal tersebut merupakan permasalahan yang penting bagi umat muslim, sehingga dapat mengaplikasikannya di


(2)

dalam kehidupan dan manfaatnya pun dapat dirasakan oleh umat manusia dan umat Islam pada khususnya.

2. Melakukan penelitian lebih dalam tentang pemikiran Ibn Qayyim al-Jawziyyah khususnya dalam bidang zuhud.

3. Yang tak kalah pentingnya adalah penelitian tentang pengaruh zuhuz relevansinya terhadap kehidupan masa sekarang.

Ini semua menjadi pekerjaan rumah bagi para ilmun. Semoga tulisan ini menjadi gambaran yang sederhana walau dalam batas yang minim


(3)

DAFTAR PUSTAKA As, Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta: LSIK, 1994

Bahri, Media Zainul, Menembus Tirai Kesendirian-Nya; Mengurai Maqâmat dan Ahwâl Dalam Tradisi Sufi, Jakarta: Prenada 2005.

Dewan Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, jilid II, Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve, 1995.

Ghazali, Imam al-, Bimbingan untuk mencapai Tingkatan Mu’mini, terj. Abdai Rathomy, Bandung: Cv Diponegoro, 1996.

Jamal, M. Hasan al-, Biografi 10 Imam Besar, terj. M. Khalied Muslih dan Awaluddin, Jakarta: Pustaka al-Kautsar,2000.

Jawziyyah, Ibn Qayyim al-, al-Fawa’id; Menuju Pribadi Takwa, terj. Munirul Abidin, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2000.

---, Pesona keindahan, Jakarta: Pustaka Azzam, 1990.

---, Shalawat Nabi Saw, terj. Ibn Ibrahim, Jakarta: Pustaka Azzam, 2000.

---, Melumpuhkan Senjata Syetan, terj. Haris Umar dan Arifin Thayyib, Jakarta: Darul Fallah, 1998.

---, Siraman Rohani Bagi Yang Mendambakan Ketenangan Hati, terj. Arif Iskandar, Jakarta: Lentera Basritama, 2000.

---, Shaidul Khathir; Cara Manusia Cerdas Menang Dalam Hidup, Jakarta:Maghfirah Pustaka, 2005.

---, Shaidul Khathir; Bisikan Hati Ibn Jawzi, terj. Ibn Ibrahim, Jakarta: Pustaka Azzam, 1998.

---, Mendulang Faidah Dari Lautan Ilmu, terj. Kathur Suhardi, Jakarta: pustaka al-Kautsar, 1998.

---, Tahdzib Madarijus Salikin, Bairut: al-Manar al-Islamiyyah, 1997.

Malibary, Syaikh Zainuddin al. Irsyadul ‘Ibad; Panduan kejalan Kebenaran, terj. Muhammad Zuhn dan Ibn Muchtar, Semarang: Cv As-Syifa,TT


(4)

Munawir, Aw, Kamus al-Munawir Arab Indonesia, Surabaya: Pustaka Progresif, 1997.

Mulyati, Sri, et, all, Tarekat-Tarekat Muktabarah Di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2005

Nasution, Harun, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek, Jakarta: Bulan Bintang, 1990.

---, Falsafah Dan Mistisisme Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1985. Qahtani, Sa’id Bin Musfi al-, Asy-Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani Wa Arauhu

Al-I’tiqadiyah Wa Ash-Shufiyah; Buku Putih Syaikh Abdul Qadir Al-Jaelani, Jakarta: Darul Falah, 2003.

Rahmat, Jalaluddin, Islam Alternatif Ceramah-Ceramah Di Kampus, Bandung: Mizan, 1991.

Sanhuti, al-, Muhammad al-Anwar, Ibn Qayyim Berbicara tentang Tuhan, Jakarta: Mustaqim, 2001.

Simuh, Tasawuf dan Perkembangan Dalam Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.

Syukur, Amin, Zuhud di Abad Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.

Taftazani, al-, Abu al-Wafa’ al-Ghanami, Sufi Dari Zaman Ke Zaman, terj. Ahmad Rofi’ Utsmani, Bandung: Pustaka, 1995.

Ya’qub, Hamzah, Tingkat Ketenangan dan Kebahagiaan Mu’min, Jakarta, AV Atisa, 1992


(5)

Pedoman Translitrasi

ا a خ kh ش sy غ g

ب b د d ص s ف f

ت t ذ dz ض d ق Q

ث ts ر R ط zh ك k

ج J ز z ظ z ل L

ح h س s ع ‘ م M

ن n و w ﻩ h ي y

â = a panjang î = i panjang û = u panjang او = aw

او = uw اي = ay اي = iy


(6)