Pengembangan Program Muatan Lokal Kimia Berbasis Budaya Orang Laut Untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep, Keterampilan Generik Sains, Dan Pengetahuan Budaya Siswa SMP.

(1)

DAFTAR ISI

halaman

JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN ... ii

PERNYATAAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

UCAPAN TERIMA KASIH ... v

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 2

B. Rumusan Masalah ... 16

C. Tujuan Penelitian ... 17

D. Manfaat Penelitian ... 18

E. Definisi Operasional ... 18

F. Sistematika Penulisan ... 20

BAB II BUDAYA ORANG LAUT, SAINS, DAN PEMBELAJARAN KIMIA ... 21

A. Sains dan Kimia sebagai Subudaya ... 22

B. Indigenous Science ”Sains Asli” Orang Laut ... 26

C. Peran Budaya dalam Pencapaian Tujuan Pembelajaran Sains (Kimia) ... 31

D. Program Muatan Lokal (Mulok) dan Tujuan Pembelajarannya ...…...……. 41

1. Penguasaan konsep sebagai tujuan pembelajaran ... 45

2. Keterampilan generik sains dan indikatornya ... 48


(2)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ………....……..….……… 60

A. Paradigma Penelitian ... 61

B. Prosedur Penelitian ………...………… 63

C. Sasaran dan Subjek Penelitian ...… 74

D. Data dan Teknik Pengolahan Data ………...…. 75

1. Metode pengumpulan data ... 75

2. Teknik analisis data ... 76

3. Instrumen Penelitian ... 80

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……… 82

A. Hasil Penelitian …………...………. 83

1. Hasil Studi Pendahluan ... 83

a. Gambaran Umum Orang Laut di Desa Air Kelubi .. 83

b. Tradisi Orang Laut yang bermuatan Kimia ... 87

c. Proses pembelajaran kimia di SMP ... 94

2. Deskripsi Hasil Uji Coba Terbatas ... 99

3. Deskripsi Hasil Uji Coba Luas atau Implementasi ... 101

a. Deskripsi dan analisis penguasaan konsep siswa .. 102

b. Deskripsi dan analisis penguasaan pengetahuan budaya ... 110

c. Deskripsi dan analisis penguasaan KGS ... 118

d. Deskripsi sikap siswa dan tanggapan guru pada proses pembelajaran MKBO ... 127

B. Pembahasan ... 129

1. Muatan kimia dalan tradisi budaya Orang Laut ... 129

2. Potensi dan tantangan pembelajaran kimia di SMP ... 136

3. Peningkatan penguasaan konsep melalui penerapan program MKBO ... 141

4. Peningkatan pengetahuan budaya melalui penerapan program MKBO ... 145

5. Peningkatan penguasaan KGS siswa melalui penerapan program MKBO ... 147


(3)

6. Sikap siswa setelah proses pembelajaran MKBO ... 150

7. Tanggapan guru dan siswa terhadap penerapan program MKBO ... 152

8. Karekteristik program MKBO ... 154

9. Keunggulan dan keleterbatasan penerapan program MKBO ... 155

BAB V KESIMPULAN, SARAN, DAN REKOMENDASI ... 157

A. Kesimpulan ………..……….………….. 157

B. Saran-saran ………..……….……... 159

C. Rekomendasi ... 160

DAFTAR PUSTAKA ……….. 163


(4)

BAB I PENDAHULUAN

Wilayah Nusantara sebagaian besar merupakan daerah maritim dengan sumberdaya alam (SDA) dan sumberdaya manusia (SDM) yang potensial dalam mendukung pembangunan. Pembangunan manusia seutuhnya semestinya bertumpu pada eksitensi wilayah maritim dengan peran bidang pendidikan sebagai ujung tombak. Upaya pembangunan manusia Indonesia sebagai negara kepulauan ini hendaknya dilaksanakan secara menyeluruh dan berkesinambungan agar dihasilkan generasi penerus yang menguasai ilmu pengetahuan, teknologi dan juga peduli terhadap kelestarian lingkungan hidupnya.

Pendidikan sains dapat berperan penting dalam upaya pembangunan manusia Indonesia seutuhnya melalui pencapaian berbagai tujuan proses pembelajarannya. Pendidikan sains yang mempertimbangkan konteks budaya keseharian siswa menjadi pilihan strategis dalam pencapaian tujuan pendidikan. Pendidikan sains, terutama pembelajaran kimia yang menggali potensi lokal dengan tujuan penguasaan materi, dan juga pemahaman budaya maritim, serta penguasaan keterampilan generik sains sangat penting untuk diupayakan.

Budaya Orang Laut yang merupakan salah satu budaya masyarakat maritim yang ada dapat digunakan untuk mengembangkan program Muatan Lokal pada bidang studi kimia di sekolah. Pengembangan program dapat dilakukan untuk meningkatkan sumberdaya manusia Indonesia, pewarisan budaya, dan pelestarian sumberdaya wilayah pesisir, maupun peningkatan pengetahuan kimia.


(5)

2

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara maritim, sebagian besar wilayah terdiri dari laut yang menempati 61 persen dari seluruh wilayah dengan batas 12 mil laut dengan luas 5 juta km2. Wilayah Nusantara terdiri dari 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Perairan pedalaman atau kepulauan seluas 2,8 juta km2, landas kontinen dengan kedalaman 200 meter seluas 1,5 juta km2, dan laut teritorial berdasarkan jalur 12 mil memiliki luas 0,3 juta km2 (Nontji, 1987). Wilayah perairan dan pantai, terutama daerah pesisir mengandung berbagai sumberdaya yang melimpah.

Sumberdaya kelautan yang melimpah terdiri atas sumberdaya dapat pulih

(renewable resources), sumberdaya tidak dapat pulih (non-renewable resources),

dan jasa-jasa lingkungan kelautan (environmental services). Sumberdaya dapat pulih terdiri dari berbagai jenis ikan, udang, rumput laut, termasuk kegiatan budidaya pantai dan budidaya laut (mariculture). Sumberdaya tidak dapat pulih meliputi mineral, bahan tambang atau galian, minyak bumi dan gas. Jasa-jasa lingkungan kelautan adalah pariwisata dan perhubungan laut (Dahuri et al., 1996). Potensi sumberdaya kelautan ini belum banyak ditangani secara optimal, karena selama ini upaya pembangunan dilakukan tertumpu pada pengelolaan sumberdaya di daratan yang hanya sepertiga dari seluruh luas wilayah. Potensi sumberdaya wilayah pesisir sering diabaikan dalam upaya pelestarian dan pemanfaatannya untuk mendukung pembangunan. Masyarakat terasing di wilayah laut, pesisir, dan pantai sebagai salah satu sumberdaya manusia potensial juga belum cukup diperhatikan dalam rangka menyukseskan pembangunan.


(6)

3

Orang Laut merupakan salah satu kelompok masyarakat terasing di perairan Nusantara. Orang Laut memiliki kebiasaan hidup keseharian yang telah akrab dengan laut semenjak abad ke 16 (Bellwood et al., 2006). Masyarakat Orang laut memiliki tradisi budaya kebaharian yang mampu bertahan dalam tantangan hidup di laut. Fenomena budaya masyarakat pesisir pada umumnya sangat bervariasi dalam aspek-aspek sistem-sistem pengetahuan, gagasan, kepercayaan, nilai, norma, bahasa, organisasi sosial, ekonomi, teknologi, pola pemukiman, kesenian dalam berbagai wilayah di Indonesia (Lampe, 2007). Fenomena budaya dimaksud di antaranya adalah budaya yang terdapat pada masyarakat Orang Laut.

Orang Laut merupakan salah satu dari beberapa etnik kecil yang ada di kawasan Asia Tenggara. Mereka bermukim di gugusan pulau terpencil atau berpindah-pindah tempat di perairan sebagai pengembara laut, mereka terdapat juga di wilayah Kepulauan Riau. Sebutan sebagai Orang Laut tersebut, karena kehidupannya yang berorientasi kepada laut dan mempunyai kebiasaan berumah tangga atau berkeluarga dalam sampan sehingga disebut juga Orang Sampan (Lenhart, 1994; Zen, 1993; Lapian, 2009; Zacot, 2008). Orang Laut di pulau Butun, desa Air Kelubi Kepulauan Riau merupakan salah satu komunitas suku terasing yang ada di kepulauan Nusantara. Orang laut secara tradisional dan turun-temurun, mampu mengembangkan kemampuan bertahan hidup di lingkungan bahari. Kesederhanaan dalam usaha penangkapan hasil laut dan teknologi yang digunakan tidak merusak sumberdaya laut (Cooper, 1997) sehingga dapat menjaga kelestarian hasil perikanan. Kemampuan tersebut di antaranya


(7)

4

kemampuan mengenal alam laut lingkungan hidupnya, menghadapi tantangan hidup di laut, menggali kekayaan laut serta melestarikan sumberdaya yang ada di laut. Kemampuan lainnya adalah dalam mengenali dan menangani jenis hewan laut yang berbisa atau beracun (Hwang et al., 2007) untuk dikonsumsi.

Orang Laut di pulau Butun, desa Air Kelubi merupakan sekelompok masyarakat yang sebelumnya tersebar di pulau-pulau sekitarnya dengan tradisi kehidupan asli Orang Laut yang berpindah-pindah. Pemukiman Orang Laut di desa Air Kelubi merupakan salah satu program pemerintah di Kepulauan Riau pada tahun 1989 yang dilaksanakan oleh Camat Pembantu Bupati Wilayah IV Bintan. Orang Laut desa Air Kelubi yang telah dimukimkan dan meninggalkan kehidupan berpindah-pindah tersebut memiliki tradisi atau cara hidup yang belum banyak berubah (Lenhart, 1994; Lenhart, 1997).

Sains dalam tradisi budaya Orang Laut (Etnosains) merupakan suatu sistem pengetahuan “ilmu” yang memiliki aspek pengetahuan, sains dan magis yang saling berkaitan (Cynthia, 1997). Etnosains pada masyarakat Orang Laut, merupakan tradisi masyarakat secara turun temurun, diajarkan, diwarisi dari generasi ke generasi berikutnya dalam suatu sistem pembelajaran asli masyarakat Orang Laut (Zen, 2002). Survei pendahuluan yang telah dilakukan di masyarakat Orang Laut desa Air Kelubi mengungkap bahwa Orang Laut memiliki pengetahuan sains yang bermuatan kimia. Pengetahuan kimia dimaksud dalam hal menggunakan campuran zat tertentu untuk menetralkan racun sengatan ikan berbisa seperti lepu “Scorpaena guttata” dan berbagai kemampuan hidup lainnya yang memiliki muatan sains (Kimia) asli (indigenous science) atau etnosains.


(8)

5

Pengetahuan kimia lainnya yaitu pengetahuan tentang pemilihan jenis bahan logam yang digunakan ditinjau dari sifat ketahanannya terhadap proses perkaratan bila terkena air laut. Pengetahuan Orang laut diperoleh berdasarkan pewarisan tradisi secara turun-temurun dari generasi ke gerarsi selanjutnya.

Sumberdaya kelautan sangat penting dalam mendukung pembangunan, khususnya masyarakat wilayah pesisir maupun masyarakat Nusantara pada umumnya. Sumberdaya yang terdapat pada wilayah perairan pantai dan laut tersebut membutuhkan pengelolaan yang bijaksana, bukan sekedar mengeksploitasinya. Eksploitasi berlebihan hasil laut yang telah dilakukan serta secara serampangan terhadap sumberdaya perairan mengakibatkan kerusakan dan mengancam kelestarian, kelangsungan hidup masyarakat. Eksploitasi terjadi disebabkan oleh peningkatan usaha dan teknologi yang dapat menghabiskan sejumlah persediaan sumberdaya laut (Cooper, 1997). Pencegahan eksploitasi sumberdaya laut secara berlebihan perlu dilakukan dengan keterlibatan secara efektif berbagai pihak melalui pengembangan alternatif aktivitas perikanan dan membentuk jaringan sosial-ekonomi bagi nelayan sehingga akses dan keuntungan berkembang (Vermonden, 2006).

Eksploitasi berlebihan sumberdaya juga harus dihindari dan pengelolaan sumberdaya laut secara bijaksana perlu dimasyarakatkan melalui peran pendidikan yang berkualitas seiring dengan penguatan nilai-nilai budaya setempat. Penguatan berbagai aspek praktek tradisi budaya masyarakat perlu dilakukan dalam pengelolaan sumberdaya perairan. Pemanfaatan kekayaan perairan secara luhur berdasarkan warisan nilai budaya dan pengembangannya bagi generasi


(9)

6

muda untuk mencapai kemakmuran rakyat dapat dilakukan melalui proses pembelajaran asli maupun pembelajaran di sekolah secara berkesinambungan. Proses pembelajaran dimaksud dapat diupayakan dalam lingkup sistem pembelajaran asli (Indigenous learning) berupa pembelajaran sains asli (Indigenous science) khususnya bagi masyarakat nelayan wilayah pesisir (Hickey, 2006).

Pemerintah Indonesia telah berupaya melestarikan sumberdaya laut dengan membentuk enam taman nasional laut ”Marine Protected Area” (MPA) seluas 41.129 km2. Taman nasional dimaksud adalah taman nasional Kepulauan Seribu seluas 1.080 km2, Karimun Jawa seluas 1.116 km2, Taka Bone Rate seluas 5.308 km2, Wakatobi seluas 13.900 km2, Bunaken Manado Tua seluas 891 km2, dan taman nasional laut Teluk Cenderawasih seluas 14.530 km2 (Julian, 2003). Pengelolaan taman nasional melibatkan berbagai komponen yaitu pemerintah daerah, tokoh masyarakat, nelayan hingga masyarakat lokal sehingga bermanfaat dalam pendidikan masyarakat setempat. Luas taman nasional dibanding luas wilayah perairan pedalaman dan kepulauan Indonesia hanya sebesar sekitar 1,5%, serta manfaat pendidikan bagi masyarakat dalam pelestarian sumberdaya laut bersifat lokal. Eksploitasi berlebihan atas sumberdaya perairan untuk wilayah-wilayah di luar taman nasional sangat potensial terjadi bila pengelolaan yang mempertimbangan penyediaan sumberdaya yang berkesinambungan diabaikan.

Pemerintah beserta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tahun 2007 telah meloloskan undang-undang tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam upaya mengatur proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan,


(10)

7

dan pengendalian sumberdaya maritim. Pengelolaan diupayakan melibatkan pihak pemerintah pusat, daerah, masyarakat dan dunia usaha, antar sektor, meninjau ekosistem darat dan laut serta ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Undang-Undang RI No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil ini memiliki salah satu tujuan yaitu meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat melalui peran serta masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya (Tunggal, 2007). Undang-Undang ini menyiratkan peran penting pendidikan yang menggali nilai-nilai budaya setempat dalam hal pengelolaan wilayah perairan. Hal ini menunjukkan peran penting pendidikan yang berdimensi luas. Pendidikan harus dilangsungkan secara menyeluruh bagi masyarakat terutama generasi muda. Pendidikan dibutuhkan dalam upaya membentuk generasi yang memiliki pengetahuan, keluhuran sikap, budi pekerti dalam pengelolaan wilayah secara bijaksana ketika memanfaatkan sumberdaya maritim secara berkesinambungan.

Pendidikan berorientasi kemaritiman bagi sebagian besar masyarakat, terutama yang kehidupannya bergantung pada sumberdaya laut sangat penting. Upaya pendidikan dilakukan dengan mempertimbangkan wawasan kelautan yang telah dibakukan dalam sistem belajar asli sehingga mendapatkan nilai tambah dan bermakna dalam sistem sosialnya (Zen, 2002). Pendidikan yang dapat meningkatkan nilai tambah terkait dengan peran pendidikan pada lingkup sekolah maupun masyarakat. Nilai tambah pendidikan terhadap generasi muda maupun masyarakat yang kehidupannya sangat tergantung dengan laut berupa peningkatan pengetahuan, keterampilan dalam meningkatkan kualitas hidup. Hal tersebut


(11)

8

diharapkan dapat diwujudkan melalui salah satu bidang kajian pendidikan yaitu pendidikan sains dalam berbagai aspek pembelajarannya.

Pendidikan sains (kimia) yang telah dilangsungkan dan berlangsung saat ini cenderung menekankan penguasaan materi sains bagi siswa sekolah menengah (Depdiknas, 2007a). Siswa merasa kesulitan menguasai hukum maupun konsep-konsep penting saat mengikuti pembelajaran dan bertanggapan negatif terhadap kimia maupun pembelajaranya (Jong, 2000). Meskipun diberikan keleluasaan bagi guru untuk menyusun muatan materi pembelajaran sains yang dapat menggali dan memanfaatkan potensi daerah namun terbentur pada keterbatasan kemampuan guru untuk melakukannya. Guru sains terjebak pada penyajian materi sains yang terlepas dari pengalaman, latar belakang, kebutuhan kehidupan keseharian, serta mengabaikan kebutuhan siswa bila kelak menjadi anggota masyarakat.

Pembelajaran sains di sekolah yang dilangsungkan saat ini berlandaskan pada pengembangan sains Barat. Pembelajaran sains yang merupakan hasil pengembangan budaya barat menempatkan siswa yang berasal dari budaya non-barat pada batas wilayah budaya dengan cara pandang berbeda. Hal ini menuntut siswa untuk dapat melintasi batas budaya “border crossing” agar dapat menerima sains barat sebagai cara pandang dunia siswa di sekolah. Upaya melintasi batas budaya ini menyulitkan bagi siswa dalam belajar sains (Jegede & Aikenhead, 1999). Pembelajaran tersebut terlepas dari konteks lingkungan budaya keseharian siswa di Indonesia. Pembelajaran sains yang tidak memberikan bekal kehidupan


(12)

9

bagi siswa dalam hidup bermasyarakat, kelak dapat menghasilkan generasi-generasi pembentuk masyarakat yang mengabaikan lingkungan hidupnya.

Pendidikan sains yang bermuatan budaya agraris penting bagi siswa di wilayah masayarakat berbudaya agraris, demikian juga bagi siswa yang berasal dari masyarakat berbudaya bahari daerah pesisir, sains berbasis budaya bahari akan lebih bermakna serta bermanfaat bila kelak ia berkecimpung di masyarakat. Pernyataan tersebut sejalan dengan penyeimbangan pendekatan budaya, sebagaimana pendapat Cobern dan Aikenhead (1996) yaitu suatu subkultur sains modern (Barat) yang diajarkan di sekolah secara terintegrasi dengan subkultur kehidupan keseharian siswa berakibat pada pengajaran sains memiliki kecenderungan memperkuat pandangan siswa tentang alam lingkungan hidupnya sebagai suatu pembudayaan (enculturation). Pendidikan sains yang berbasis budaya bahari bagi sebagian besar siswa yang berada dan berasal dari masyarakat Indonesia di wilayah pesisir amat penting untuk dikembangkan.

Pendidikan sains bagi siswa yang berasal dari masyarakat nelayan pesisir, dapat diisi dengan pengetahuan kemaritiman terutama dalam mengelola sumberdaya kelautan yaitu bidang kajian biologi, kimia, fisika maupun geografi. Ilmu kimia beserta ilmu sains lainnya dapat dilaksanakan dalam bentuk program pembelajaran yang mengupayakan siswa untuk dapat berpikir sains, menguasai konsep kimia (Beer & Whitlock, 2009; Elkins et al, 2009; Riggs et al., 2007; Nuangchalerm, 2007). Pembelajaran kimia bagi siswa di wilayah pesisir, khususnya untuk masyarakat terasing hendaknya juga dapat berperan dalam meningkatkan sumberdaya manusianya. Hasil laut yang dapat diperoleh dengan


(13)

10

cara-cara tradisional pada masyarakat dengan pengetahuan serta keterampilan pengolahannya sehingga dapat menghasilkan produk yang bersaing serta dijual untuk menambah penghasilan, pada akhirnya aktivitas perikanan secara sosial-ekonomi bagi nelayan dan memiliki keuntungan yang semakin berkembang (Vermonden, 2006). Pendidikan sains, khususnya ilmu kimia di sekolah harus dapat menjawab tantangan pengembangan sumberdaya manusia masyarakat pesisir tersebut.

Peran pendidikan sains di sekolah memiliki posisi strategis dalam peningkatan sumberdaya manusia wilayah pesisir. Masyarakat Indonesia yang sebagian besar memiliki tingkat pendidikan yang masih rendah, menjadi alasan kuat untuk mengembangkan program pembelajaran yang bermuatan pembekalan keterampilan berpikir, bertindak maupun bersikap bagi siswa di tingkat satuan pendidikan dasar hingga pendidikan menengah. Salah satu kemampuan berpikir yang diperlukan tersebut dapat dicapai melalui keterampilan generik kimia. Oleh karena itu, keterampilan generik kimia perlu dibekalkan bagi siswa. Keterampilan generik kimia dapat digunakan untuk memahami konsep, fenomena kimia, dan dapat dikembangkan dalam pembelajaran kimia.

Keterampilan generik memiliki karakteristik yang membedakan dan menyerupai kelompok keterampilan terkait, namun memenuhi kebutuhan dan tantangan yang meningkat di tempat kerja pada waktu yang berbeda sebagai kemajuan perubahan teknologi, sosial, dan perubahan konteks (Salganik dan Stephens, 2003). Tujuan generic skill adalah agar pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dari hasil belajar akan dapat diaplikasikan pada bidang kehidupan


(14)

11

sosial, teknologi atau pada setiap perubahan konteks, namun yang lebih utama adalah menghasilkan efisiensi yang lebih besar melalui pengetahuan dan penggunaan keterampilan yang lebih efektif (Down, 2000; Hills, 2004). Keterampilan generik juga diartikan sebagai keterampilan dasar yang dapat dikembangkan dalam pembelajaran tertentu. Pengembangan keterampilan generik pada materi pembelajaran sains (kimia) akan menghasilkan keterampilan generik kimia tertentu sesuai karakteristik materi pembelajaran kimia.

Pengembangan keterampilan generik sains siswa dapat dilakukan melalui pembelajaran muatan lokal kimia yang berbasis budaya. Pembelajaran ini jauh lebih baik dibanding hanya dengan proses pembelajaran konvensional melalui ceramah dan tanya jawab. Keterampilan generik sains siswa yang berkembang memudahkan siswa dalam menguasai konsep-konsep sains. Keterampilan generik sains yang dapat dikembangkan juga tergantung pada disiplin ilmu yang diberikan melalui penerapan proses pembelajaranya. Pembelajaran fisika dan kimia lebih mengembangkan keterampilan generik sains dibanding pembelajaran biologi (Liliasari, 2009).

Sains, tanpa terkecuali kimia terutama dalam proses pembelajaran kimia yang sarat dengan kegiatan menggunakan kemampuan berpikir dapat mengupayakan pembiasaan menerapkan keterampilan generik kimia. Pembelajaran kimia dapat digunakan sebagai wahana meningkatkan kualitas sumberdaya manusia (SDM) Indonesia, terutama dalam membangun keterampilan berpikirnya. Pembentukan keterampilan berpikir siswa melalui pelaksanaan proses pembelajaran kimia yang mengupayakan keterampilan generik sains


(15)

12

sangat menentukan dalam membangun kepribadian dan pola tindakan dalam kehidupan setiap manusia Indonesia, oleh sebab itu pembelajaran sains tanpa terkecuali pembelajaran kimia perlu diberdayakan (Liliasari, 2005).

Program Muatan Lokal (Mulok) salah satu alternatif yang dapat digunakan karena pelajaran muatan lokal bertujuan untuk memberikan bekal pengetahuan, keterampilan berpikir dan perilaku kepada peserta didik agar mereka memiliki wawasan yang mantap tentang keadaan lingkungan dan kebutuhan masyarakat sesuai dengan nilai-nilai/aturan yang berlaku di daerahnya dan mendukung kelangsungan pembangunan daerah serta pembangunan nasional. Program Mulok, secara khusus bertujuan mengupayakan siswa agar: mengenal dan menjadi lebih akrab dengan lingkungan alam, sosial, dan budayanya; memiliki bekal kemampuan dan keterampilan serta pengetahuan mengenai daerahnya yang berguna bagi dirinya maupun lingkungan masyarakat pada umumnya; memiliki sikap dan perilaku yang selaras dengan nilai-nilai/aturan-aturan yang berlaku di daerahnya, serta melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai luhur budaya setempat dalam rangka menunjang pembangunan nasional; menyadari lingkungan dan masalah-masalah yang ada di masyarakat serta dapat membantu mencari pemecahannya (Depdiknas, 2006).

Pembelajaran sains di sekolah yang berlandaskan pada praktek budaya sangat disarankan dan dapat lebih membelajarkan siswa melalui suatu pendekatan konsep dalam kerangka konteks sistem holistik seperti bidang kajian ilmu kelautan (Lambert, 2005). Pembelajaran sains yang berlandaskan budaya pada


(16)

13

berbagai kajian ilmu lainnya telah diketahui kemanfaatannya berdasarkan hasil studi seperti diperlihatkan pada Tabel 1.1.

Tabel 1.1 Hasil penelitian pendidikan sains yang berkaitan dengan budaya Tahun Fokus Penelitian Hasil dan Peneliti

2002 Interpretasi dampak aktivitas budaya dan tradisi pada belajar dan mengajar sains, melintasi batas budaya dalam belajar sains dan pembelajaran kolateral siswa sekolah dasar di Jepang

Bahasa dan informasi dalam buku teks secara kultural sangat

berorientasi budaya barat, demikian juga suasana kelas dan sumber belajar mengajar tidak cukup banyak memuat mainan dan permainan tradisi Jepang.

Pembelajaran sains mengakibatkan siswa termasuk pada kelompok sebagai petualang berbahaya “hazardously adventurous” dan siswa “managed” saat belajar sains barat modern dan pengetahuan asli yang diparalelkan (Omoifo & Ogawa).

2002 Pengungkapan pandangan siswa sekolah menengah di Jepang dan Nigeria terhadap manfaat dan pentingnya sains, serta pola transisi antar budaya “sains barat dan sains asli” selama belajar sains

Pandangan siswa tentang

pentingnya sains untuk karir masa depan bervariasi antara siswa di kedua negara. Sulit mengklasifikasi siswa dalam hal pola sebagai saintis masa depan dan transisinya. Latar belakang pandangan siswa

berpengaruh penting pada belajar sains dan kemampuan melintasi batas budaya dalam belajar sains. Sebagian besar siswa dekat dengan karateristik siswa sebagai ”Other

Smart Kids dan ”I Don’t Know”

(Ogawa & Omoifo). 2006 Pengembangan pola dasar

integrasi pengetahuan tradisi orang asli Hawai dengan pendidikan sains kebumian

Program pembelajaran “Kaha Ki’i

‘Aina” yang mengintegrasikan sains

barat dan pengetahuan tradisional paling disukai dan menarik bagi siswa asli Hawai (Gibson & Puniwai).


(17)

14

Tabel 1.1 Hasil penelitian pendidikan sains yang berkaitan dengan budaya (lanjutan)

Tahun Fokus Penelitian Hasil dan Peneliti 2007 Pengembangan program intensif

yang menyiapkan potensi siswa sekolah menengah pedesaan di Alaska dalam menghadapi tantangan sosial dan akademik saat melanjutkan ke perguruan tinggi bidang sains kebumian

Program intensif RAHI “Rural

Alaska Honours Institte” efektif

menyiapkan potensi siswa sekolah menengah pedesaan di Alaska dalam bidang sains kebumian (Hanks et al.).

2007 Pengembangan model pembelajaran sains asli

Model LADDA (Learning,

Analyzing, Deciding, Doing, and Application) dalam pembelajaran

sains yang dapat mengupayakan siswa meningkatkan: kemampuan, sikap terhadap keselarasan sains-budaya, sikap terhadap pelestarian lingkungan melalui integrasi pembelajaran sains dengan budaya lokal (Nuangchalerm).

2007 Penerapan model program mentor siswa yang melibatkan masyarakat asli dan ahli geosains

Program mentor siswa yang

melibatkan masyarakat asli dan ahli geosains dapat meningkatkan gain pemahaman sains dan tanggapan serta sudut pandang yang positif (Riggs et al.).

2008 Pengungkapan integrasi sains asli pada kurikulum sains sekolah menengah di Malawi

Guru menghadapi berbagai tantangan disain kurikulum, latar belakang akadmik sains,

pengeteahuan pedagogi, dan landasan budaya. Hasil

pembelajaran dipengaruhi secara negatif oleh disain kurikulum, pengetahuan guru sains yang minim, dan pandangan negatif terhadap beberapa pengetahuan asli (Phiri).

2008 Peningkatan penguasaan konsep sains melalui pogram ”Field trip

GeoJourney” yang memadukan

disiplin studi budaya asli Amerika dan studi lingkungan pada pembelajaran geologi untuk siswa tingkat awal di perguruan tinggi.

Program ”GeoJourney” dapat meningkakan penguasaan konsep geosains oleh siswa secara

signifikan dalam kerangka konteks kelas geosains tradisional (Elkins et


(18)

15

Tabel 1.1 Hasil penelitian pendidikan sains yang berkaitan dengan budaya (lanjutan)

Tahun Fokus Penelitian Hasil dan Peneliti 2009 Pendidikan geografi yang

fokus pada pengalaman sehari-hari masyarakat yang sesuai dengan integrasi pengetahuan asli dan teknologi

Integrasi materi dan metode secara pedagogi penting untuk meningkatkan ketertanggapan sosial,

kewarganegaraan, patriotisme, dan relevansi sosial di antara tujuan utama pembelajaran geografi (Kagoda). 2009 Strategi pembelajaran

biologi yang mengintegrasikan

pengetahuan asli dan sains barat di kelas

Siswa memberi tanggapan yang sangat positif terhadap pendekatan

pembelajaran, terinspirasi untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi pada studi etnobotani, meningkatkan hasil belajar secara efektif, dan pendekatan pembelajaran menyenangkan bagi siswa (Beer & Whitlock).

2009 Disain program yang dapat meningkatkan jumlah siswa asli Amerika dalam

memasuki disiplin ilmu geosains

Disain pembelajaran utama

mengintegrasikan proses alamiah bumi, pengalaman penting siswa melalui eksplorasi studi kasus yang

menggambarkan keterkaitan antara pengetahuan asli dan proses bumi, dan menunjukkan proses praktis sains. Pendekatan disain pembelajaran sangat bermanfaat memberikan informasi bagi siswa, integrasi geosains dan budaya asli berhasil dengan baik (Palmer, et al.).

Ilmu kimia sebagai kajian sains merupakan suatu sistem pengetahuan yang mencerminkan praktek-praktek budaya. Siswa berpikir dan mengemukakan hasil pikirannya sesuai dengan praktek budaya asal keseharianya (Aikenhead, 2005). Pembelajaran ilmu kimia di sekolah harus mempertimbangkan aspek latar belakang budaya siswa. Pembelajaran sains (kimia) di sekolah yang memperhatikan budaya anak didik (Baker, 1995; Klos, 2006) dapat berperan


(19)

16

dalam pembudayaan sains bagi siswa. Pendekatan lintas budaya ini dapat dilakukan dengan cara menyelaraskan sains barat dan sains asli (Stanley & Brickhouse, 2001).

Program dan proses pembelajaran kimia yang berlangsung saat ini pada tingkat pendidikan dasar maupun menengah belum memanfaatkan aspek tradisi budaya setempat dalam bentuk pembelajaran muatan lokal. Penggalian sains asli pada masyarakat Orang Laut yang dapat digunakan untuk mengembangkan program Mulok kimia di Sekolah Menengah Pertama (SMP) dipandang penting untuk dilakukan. Pengembangan program diupayakan untuk meningkatkan sumberdaya manusia Indonesia dan pewarisan budaya dan pelestarian sumberdaya wilayah pesisir. Pengungkapan muatan sains asli di masyarakat Orang Laut, selanjutnya dapat digunakan sebagai pedoman pengembangan program pembelajaran sains di sekolah khusunya pembelajaran Mulok kimia yang dapat meningkatkan penguasaan konsep, pengetahuan budaya, keterampilan generik kimia, menumbuhkan sikap peduli lingkungan, maupun sikap positif siswa SMP terhadap pembelajaran kimia.

B. Rumusan Masalah

Permasalahan penting yang perlu dikaji berdasarkan latar belakang masalah di atas adalah: ”Bagaimana program muatan lokal kimia berbasis budaya Orang Laut (MKBO) yang dapat meningkatkan penguasaan konsep, aspek pengetahuan budaya, keterampilan generik sains, dan penumbuhan sikap


(20)

17

kepedulian siswa SMP terhadap lingkungan ?”. Permasalahan penelitian diuraikan dalam beberapa pertanyaan penelitian berikut:

1. Bagaimana keterkaitan aspek budaya Orang Laut dengan ilmu kimia?

2. Bagaimana peningkatan pemahaman konsep siswa SMP melalui proses pembelajaran MKBO?

3. Bagaimana peningkatan pengetahuan budaya Orang Laut oleh siswa SMP melalui proses pembelajaran MKBO?

4. Bagaimana peningkatan keterampilan generik sains siswa SMP melalui proses pembelajaran MKBO?

5. Bagaimana sikap siswa setelah pembelajaran, tanggapan siswa dan guru terhadap MKBO yang dikembangkan?

6. Apa karakteristik program MKBO?

7. Apa keunggulan dan keterbatasan program MKBO?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian tentang pegembangan program muatan lokal kimia yang bermuatan sains asli (Indigenous Science) Orang Laut bertujuan:

1. Mengungkapkan tradisi Orang Laut yang bermuatan kimia dan dapat digunakan sebagai isi materi pembelajaran kimia di SMP.

2. Mengembangkan program MKBO yang tepat bagi siswa SMP dan dapat meningkatkan keterampilan generik sains, penguasaan konsep, dan pemahaman budaya, serta penumbuhan sikap peduli lingkungan bagi siswa. 3. Implementasi program MKBO yang tepat bagi siswa SMP.


(21)

18

4. Meningkatkan keterampilan generik sains, penguasaan konsep, dan pengetahuan budaya, serta penumbuhan sikap peduli lingkungan siswa SMP. 5. Mengungkap karekteristik, kelebihan, dan kelemahan program MKBO hasil

pengembangan.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan bermanfaat untuk:

1. Pelestarian nilai-nilai budaya masyarakat wilayah pesisir khususnya budaya bahari Orang Laut.

2. Masukan bagi guru kimia dalam pelaksanaan proses pembelajaran kimia di sekolah khususnya di SMP.

3. Masukan bagi pengambil kebijakan dan para pendidik pembelajaran kimia dalam penyusunan kurikulum, perancangan model pembelajaran yang berbasis pada potensi budaya Orang Laut.

E. Definisi Operasional

Penelitian pengembangan program muatan lokal kimia berbasis budaya Orang Laut (MKBO) ini menggunakan definisi operasional sebagai berikut: 1. Program muatan lokal kimia berbais budaya Orang Laut (MKBO) merupakan

serangkaian kegiatan pembelajaran kimia bagi siswa SMP untuk mengembangkan keterampilan generik sains, penguasaan konsep, pengetahuan budaya Orang Laut, dan penumbuhan sikap peduli lingkungan yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi wilayah kepulauan atau pesisir,


(22)

19

dengan keunggulan budaya bahari Orang Laut, dengan isi materi kimia yang merupakan muatan tradisi Orang Laut. Program MKBO terdiri dari deskripsi program yang memuat rasional, deskripsi muatan lokal kimia, tujuan, Standar Kompetensi (SK), Kompetensi Dasar (KD), dan perangkat pembelajaran berupa silabus, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Lembar Kerja Siswa (LKS), dan instrumen evaluasi dalam bentuk tes dan non-tes.

2. Keterampilan generik sains adalah keterampilan dasar dalam bidang sains (kimia) yang dapat diaplikasikan atau diadaptasikan pada situasi yang baru dan berbeda, berupa keterampilan dalam hal pengamatan langsung dan tak langsung, kesadaran tentang skala besaran, bahasa simbolik, kerangka logis, inferensi logika, hukum sebab akibat, pemodelan matematik, dan membangun konsep.

3. Penguasaan konsep adalah kemampuan memahami sebagian atau keseluruhan atribut-atribut atau karakteristik umum yang terkait dengan objek, peristiwa, atau ide-ide yang dikelompokkan berdasarkan tipe, jenis, atau kategori serta kepastian karakteristik berdasarkan contoh dan bukan contoh tentang perubahan materi; komposisi materi; partikel materi; sifat materi; lambang unsur dan senyawa; campuran dan larutan; dan pemisahan campuran.

4. Pengetahuan budaya adalah pengetahuan tentang beberapa fakta pada tradisi budaya Orang Laut yang berkaitan dengan mencari nafkah dan mengolah hasil laut, pengobatan tradisional, pantang larang, pandangan terhadap lingkungan. 5. Sikap kepedulian terhadap lingkungan merupakan suatu sikap yang


(23)

20

terhadap kerusakan lingkungan, serta perhatian dan penghargaan terhadap lingkungan, khususnya lingkungan pesisir.

F. Sistematika Penulisan

Disertasi ini terdiri atas lima bab disertai daftar pustaka dan lampiran. Pendahuluan dalam BAB I menguraikan tentang latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi operasional, hingga sistematika penulisan ini. BAB II memuat uraian tentang budaya Orang Laut, sains, dan pembelajaran kimia. Sains dan kimia sebagai subbudaya, sains asli Orang Laut, peran pembelajaran berbasis budaya dalam upaya pencapaian tujuan pembelajaran sains, program muatan lokal kimia dan tujuan pembelajarannya merupakan subab yang termuat dalam BAB II. Metodologi penelitian yang termuat dalam BAB III terdiri atas uraian subab tentang paradigma penelitian, prosedur penelitian, sasaran dan subjek penelitian, serta data dan teknik pengolahan data. Hasil penelitian dan pembahasan pada BAB IV mengurai tentang hasil studi pendahuluan dan pengembangan program muatan lokal kimia. BAB V memuat kesimpulan yang diperoleh dalam menjawab pertanyaan penelitian, saran-saran yang diberikan agar program muatan lokal kimia hasil pengembangan dapat lebih baik saat diimplementasikan serta rekomendasi yang penting bagi berbagai pihak terkait dengan penerapan program muatan lokal kimia di SMP.


(24)

BAB V

KESIMPULAN, SARAN, DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan

Peningkatan kualitas proses pembelajaran kimia di SMP telah dilakukan melalui pengembangan program muatan lokal kimia berbasis budaya Orang Laut (MKBO). Kesimpulan yang dapat ditarik berdasarkan analisis data hasil penelitian, temuan, dan pembahasan adalah sebagai berikut:

1. Tradisi budaya Orang Laut memiliki muatan kimia dalam aspek konten dan konteks terkait pandangan tentang lingkungan kehidupan di laut, sistem tabu “pantang larang” yang berlaku di masyarakat, kegiatan mencari nafkah di laut dan pengolahan hasil laut, serta cara-cara pengobatan tradisional.

2. Program pembelajaran MKBO sangat efektif meningkatkan penguasaan konsep siswa dibanding pembelajaran konvensional. Pembelajaran MKBO dapat meningkatkan penguasaan konsep siswa pada setiap kategori meskipun masih menunjukkan pemeringkatan sesuai dengan kategori sekolah. Penguasaan konsep dengan rata-rata %N-gain yang diperoleh siswa pada pembelajaran MKBO, tertinggi pada konsep sifat materi (44) dan terendah pada konsep partikel materi (26).

3. Program pembelajaran MKBO sangat efektif meningkatkan pengetahuan budaya siswa dibanding pembelajaran konvensional. Pembelajaran MKBO dapat meningkatkan pengetahuan budaya siswa pada setiap kategori meskipun masih menunjukkan pemeringkatan sesuai dengan kategori sekolah.


(25)

158

Penguasaan pengetahuan budaya dengan rata-rata %N-gain yang diperoleh siswa pada pembelajaran MKBO, tertinggi pada aspek pengobatan tradisional (47) dan terendah pada aspek pengolahan hasil laut (32).

4. Program pembelajaran MKBO sangat efektif meningkatkan keterampilan generik sains siswa dibanding pembelajaran konvensional. Pembelajaran MKBO dapat meningkatkan keterampilan generik sains siswa pada setiap kategori meskipun masih menunjukkan pemeringkatan sesuai dengan kategori sekolah. Penguasaan keterampilan generik sains dengan rata-rata %N-gain yang diperoleh siswa pada pembelajaran MKBO, tertinggi pada keterampilan bahasa simbolik (43) dan terendah pada keterampilan pengamatan langsung dan tak langsung (36).

5. Pembelajaran MKBO dapat menumbuhkan sikap positif terhadap kimia dan sikap kepedulian terhadap lingkungan. Siswa merasa senang, mudah memahami, terpacu minat belajarnya dalam mengikuti proses pembelajaran MKBO karena terkait dengan pengalaman keseharian. Guru memberikan tanggapan positif terhadap proses pembelajaran MKBO karena mengaitkan budaya, menarik, memudahkan guru dalam menyajikan materi, mudah mengarahkan siswa, dan terkait dengan kegiatan keseharian guru.

6. Karakteristik program MKBO adalah: a) berpusat pada siswa “student

centered” dengan berbagai latar belakang kemampuan; b) menciptakan

interaksi awal dua konflik skemata melalui upaya pengungkapan konsep awal siswa yang berkaitan dengan budaya; c) menghadapkan fenomena budaya, melakukan penyelidikan untuk mengarahkan pembentukan struktur


(26)

159

pengetahuan baru; d) beraktifitas fisik secara langsung “hands-on” dan berpikir secara langsung “minds -on”; e) mengajukan fenomena budaya untuk memfasilitasi konflik skemata melalui proses pembelajaran kolateral simultan; f) pemantapan pembentukan struktur pengetahuan baru dan penumbuhan sikap siswa.

7. Program MKBO memiliki keunggulan: a) menyenangkan bagi siswa sehingga dapat membangkitkan dan meningkatkan minat serta motivasi belajar sehingga terbentuk proses belajar kolateral simultan, b) isi dan muatan materi mengaitkan kehidupan sehari-hari masyarakat wilayah pesisir dan terkait dengan kegiatan keseharian siswa, c) praktikum yang dilakukan mengupayakan peningkatan keterampilan berpikir, d) mempertimbangkan kemampuan awal siswa terkait latar belakang budaya keseharian masyarakat pesisir, e) dapat diterapkan untuk siswa pada berbagai kategori sekolah, e) tugas-tugas yang diberikan tidak membebani siswa, f) alat dan bahan percobaan mudah diupayakan guru. Keterbatasan program MKBO yang dikembangkan adalah: kurang tepat diimplementasikan pada siswa pendatang yang budaya kesehariannya belum mengenal lingkungan pesisir dan proses pembelajaran dengan praktikum membutuhkan lebih banyak waktu dalam persiapannya.

B. Saran-saran

Saran-saran yang diajukan untuk memperbaiki keterbatasan yang ditemui pada implementasi program MKBO adalah sebagai berikut:


(27)

160

1. Pelatihan guru sebelum implementasi program hendaknya diupayakan agar benar-benar menguasai pengetahuan aspek budaya dan konten materi kimia yang termuat.

2. Program MKBO perlu dipertimbangkan untuk dimanfaatkan dalam upaya menaikkan peringkat sekolah

3. Pelaksanaan program MKBO harus menerapkan disiplin waktu yang ketat hingga tidak menganggu proses pembelajaran pada mata pelajaran lainnya. 4. Pemahaman awal siswa tentang budaya berperan penting dan terkait dengan

keberhasilan penguasaan konsep. Pemilihan konteks budaya Orang Laut penting untuk dipertimbangkan pada pembelajaran sains di daerah pesisir.

C. Rekomendasi

Hasil-hasil penelitian tentang pengembangan dan implementasi program MKBO pada proses pembelajaran kimia dapat diformulasikan dan menjadi beberapa rekomendasi. Rekomendasi diajukan untuk berbagai pihak yang terkait dengan pembelajaran kimia dan peneliti selanjutnya adalah sebagai berikut:

1. Pembelajaran MKBO hendaknya diterapkan di sekolah sebagai suatu upaya pelestarian kearifan lokal budaya masyarakat pesisir dan menanamkan sikap peduli lingkungan serta menumbuhkan sikap positif siswa terhadap sains. 2. Pembelajaran kimia melalui implementasi program MKBO hendaknya

dimanfaatkan oleh guru dalam mengupayakan penguasaan konsep, peningkatan pengetahuan budaya, dan peningkatan KGS siswa SMP.


(28)

161

3. Guru hendaknya menggunakan strategi, pendekatan, dan metode pembelajaran yang telah dikembangkan dalam program MKBO, sehingga memungkinkan munculnya aktivitas belajar kolateral simultan oleh siswa melalui pelaksanaan kegiatan eksperimen, diskusi, dan peyelesaian masalah yang diajukandalam penyajian materi kimia di SMP.

4. Tahapan pengembangan program MKBO hendaknya digunakan sebagai model pengembangan program pembelajaran sains terutama pembelajaran kimia yang berbasis budaya lokal dalam upaya penguasaan konsep, peningkatan pengetahuan budaya, dan peningkatan KGS serta pelestarian kearifan lokal budaya masyarakat pesisir dan menanamkan sikap peduli lingkungan serta menumbuhkan sikap positif siswa terhadap sains.

5. Penggalian tradisi budaya Orang Laut yang bermuatan kimia, perancangan program pembelajaran, hingga implementasi program dapat mengungkap konsep pengawetan ikan dengan asap dan merangkai suatu alat sederhana pembuatan asap cair. Asap cair sangat bermanfaat sebagai pengganti formalin yang digunakan untuk zat pengawet hasil laut atau bahan makanan lain yang dapat membahayakan kesehatan. Perangkaian alat pirolisis dalam pembuatan asap cair telah diuji coba dalam penelitian. Metode perangkaian alat pirolisis ini hendaknya digunakan sebagai bahan pengembangan pendidikan atau pelatihan keterampilan kecakapan hidup “Life Skills” bagi siswa SMP seiring dengan penguasaan konsep kimia.

6. Riset lanjutan yang dapat dilakukan berdasarkan hasil penelitian ini antara lain tentang: a) bagaimana pola transisi siswa SMP dalam melintasi batas budaya


(29)

162

keseharian ke budaya sains, b) efetivitas penerapan program muatan lokal kimia berbasis budaya Orang Laut pada materi pokok lain ataupun satuan pendidikan lainnya, c) pengembangan muatan materi pelajaran kimia berbasis budaya Orang Laut.


(30)

163

DAFTAR PUSTAKA

Adesoji, A.F & Ibraheem, L.T. (2009). Effects of Student Teams-Achievement Divisions Strategy And Mathematics Knowlegde on Learning Outcomes in Chemical Kinetics. The Journal of International Social Research. Vol. 2(6). pp-15-25.

Agboghoromai, E.T. (2009). Interaction Effects of Instructional Mode and School Setting on Students’ Knowledge of Integrated Science. International

Journal of Scientific Research in Education. Vol. 2(2). pp. 67-75.

Aikenhead, G. S. (2005). Cultural Influences on the Dicipline of Chemistry. Saskatoon: University of Saskatchewan.

Aikenhead, G. S. (2001). Students’ Ease in Crossing Cultural Borders into School Science. Science Education. Vol. 85. pp 180-188.

Aikenhead, G.S & Jegede, O.J. (1999). Cross-Cultural Science Education: A Cognitive Explanation of a Cultural Phenomenon. Journal of Researh in

Science Teaching. Vol. 36(3). pp 269-287.

Aminrad, Z., Azizi, M., Wahab, M., Huron, R., Nawawi, M. (2010).

Environmental Awareness and Attitude among Iranian Students in

Malaysian Universities.Environment Asia. Vol. 3. pp 1-10.

Ali, M. (2007). Filsafat Pendidikan. Ali, M., Ibrahim, R., Sukmadinata, N.S., Sudjana, D., Rasjidin, W (Penyunting). Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Bandung: Pedagogiana Press (halaman 1-32).

Anderson, W. L & Krathwohl, R. D. (2001). A Taxonomy for Learning, Teaching

and Assessing: A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives.

New York: Addison Wesley Longman, Inc.

Arybowo, S. (2007). Kehidupan Anak Negeri: Tradisi Orang Laut di Riau Lingga. [on-line]. Tersedia. http://www.kompas.co.id. (24 Nopember 2007).

Baker, D. (1995). The Effect of Culture on Learning of Science in non-Western Countries: The Results of a Integrated Research Review. International

Journal Science Education. Vol. 17(6).

Basuki, A & Liliasari. (2009). Upaya Guru dan Pemahaman Siswa Pada Pembelajaran Kimia di SMP. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan. LEMLIT Dan FKIP UNILA. Bandar Lampung.


(31)

164

Basuki, A & Zen, M. (2008). Identifikasi Pengetahuan Asli Masyarakat Orang Suku Laut untuk Pembelajaran Kimia.Prosiding Seminar Nasional Kimia dan Pendidikan Kimia. FMIPA UNS-UNDIP-UNNES. Surakarta.

Beer, D. J & Whitlock, E. (2009). Indigenous Knowledge in the Life Science Classroom: Put on Your de Bono Hats!. The American Biology Teacher. Vol. 71(4). pp.209-216.

Bellwood, P; Fox, J.J; Tryon, D (Eds). (2006). The Austronesians: Historical and

Comparative Perspectives. Canberra: The Australian National University

Press.

Biehler, F.R. & Snowman J. (1990). Psychology Applied to Teaching (Sixth

edition). Boston: Houghton Mifflin Company.

Boyd, J. (1994). Understanding the Primary Curriculum. London: Hutchinson & Co. Ltd.

Brotosiswoyo, B.S, (2000). Kiat Pembelajaran MIPA dan Kiat Pembelajaran Fisika di Perguruan Tinggi, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Buntod, C.P., Suksringam, P., Singseevo, A. (2010). Effects of Learning

Environmental Education on Science Process Skills and Critical Thinking of Mathayomsuksa 3 Students with Different Learning Achievements. Journal

of Social Sciences. Vol. 6(1). pp 60-63.

Canning, R. D & Cox, R. J. (2001). Teaching The Structural Nature of Biological Molecules: Molecular Visualization In Theclassroom And In The Hands of Students. Journal Chemistry Education Research and Practice.

Vol.2(2).p.109-122.

Carpecken, P. F. (1996). Critical Ethnography in Educational Researh. A

Theoretical and Practical Guide. New York: Routldge.

Cobern, W. W & Aikenhead, G. S. (1996). Cultural Aspect of Learning Science. SLCSP Working paper#121. Tersedia. [on-line]

http://www.wmich.edu/slcsp/121.htm (11 Februari 2007).

Cokelez, A & Dumon, A. (2005). Atom and molecule: upper secondary school French students’ representations in long-term memory. Journal Chemistry

Education Research and Practice. Vol.6(3).p.119-179.

Cooper, N.R. (1997). Kebijakan Lingkungan dan Sumber Daya bagi Ekonomi


(32)

165

Cornford, I. R. (2002). Two Models for Promoting Transfer: A Comparison and Critical Analysis. Journal of Vocational Education and Training. Vol. 21: pp. 357-368

Cornford, I. R. (2005). Challenging Current Policies and Policy Makers’ Thinking on Generic Skills. Journal of Vocational Education and Training. Vol. 30: pp. 257-267.

Cox, B.D, (1997). The Rediscovery of the Active Learner in Adaptive Contexts: A Developmental-Historical Analysis Of The Transfer Of Training.

Educational Psychologist. Vol. 32: pp. 41-55.

Cynthia, C. (1997). Contesting the Tenure of Territoriality The Orang Suku Laut.

Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Riau in transition. Vol.153

(4). pp. 605-629.

Dahuri, R., J Rais, S.P. Ginting dan M.J. Sitepu. (1996). Pengelolaan Sumberda

Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.

Depdikbud. (1997). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Depdiknas. (2006). Model Pengembangan Mata Pelajaran Muatan Lokal.

Tersedia [on-line]. http://www.puskur.net. (3 April 2008).

Depdiknas. (2007a). Naskah Akademik: Kajian Kebijakan Kurikulum Mata

Pelajaran IPA. Tersedia [on-line]. http://www.puskur.net. (3 April 2008).

Depdiknas. (2007b). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun

2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan. Jakarta: Novindo Pustaka

Mandiri.

De Jong,O, dan Van Driel, (2005). Teachers’. Exploring The Development of Student PCK of The Multiple Meanings of Chemistry Topics. International

Journal of Science and Mathematics Education. Vol. 2: pp 477–491.

D. Dimitriadou D., Zotos A., Petridis D., Taylor, A.K.D. (2008).Improvement in the Production of Smoked Trout Fillets (Salmo Gairdnerii) Steamed with Liquid Smoke. Food Science and Technology International; Vol. 14; pp. 67-77.

Dobbert, M. L. (1982). Ethnographic research: Theory and Application for

Modern School and Societies. New York: Praeger Publishers.

Down, C, (2000). Key Competencies in Training Packages, in Conference

Proceedings, 8th Annual International Conference on Post-compulsory Education and Training, v. 2, 132-139. Brisbane: Griffith University


(33)

166

Ehrenberg, D.S. (1981). Concept Learning: How To Make It Happen In The Calssroom. Educational Leadership. Vol. 39(1). pp 36-43.

Engelhardt, P. V and Beichner, R. J. (2004). “Students’ Understanding of Direct Current Resistive Electrical Circuit”. American Journal Physics. Vol. 72, (1), 98-15.

Elkins, J., Elkins, M.L.N., Hemmings, N.J.S. (2008). GeoJourney: A Field-Based Interdiciplinary Approach to Teaching Geology, Native American Culture, and Environmental Studies. Journal of College Science Teaching. Vol. 37(3). Pp. 18-28.

Evawarni & Galba, S. (2005). Kearifan Lokal Masyarakat Adat Orang Laut di

Kepulauan Riau. Jakarta: Departemen Kebudayaan Dan Pariwisata.

Ezeife, N.A. (2003). The Pervading Influence of Cultural Border Crossing and Collateral Learning on the Learner of Science and Mathematics. Canadian

Journal of Native Education. Vol. 27(2). pp 179-194.

Gall D.M., Gall P.J., Borg R.W. (2003). Educational Research: An Introduction. Boston: Allyn and Bacon.

Gibson, A.B & Puniwai, N. (2006). Developing an Archetype for Integrating Native Hawaiian Traditional Knowledge with Earth System Science Education. Journal of Geoscince Education. Vol.54. No.3. pp 287-294. Goatz, J. P & LaComte, M. D. (1984). Ethnography and Qualitative Design in

Educational Research. Orlando Florida: Academic Press. Inc.

Goldberg, E.D. (2005). Theory and Problems of Beginning Chemistry. New York: McGraw-Hill Company.

Gredler, E.M. (1992). Learning and Instruction: Theory into Practice (Second

edition). New York: Macmillan Publishing Company.

Guba, E.G. (1978). Menuju Metodologi Inkuiri Naturalistik dalam Evaluasi

Pendidikan. Terjemahan Sultan Santi Arbi. Jakarta: Penerbit Djambatan.

Hake, R. R. (1999). Analyzing Change/Gain Score. Tersedia. [online].

http://lists.asu.edu/cgi-bin/wa?A2=ind9903&L=aera-d&P=R6855.[22 April 2008].

Hanks, L.C., Wartes, D., Levine, R., Gonzales, R., Fowel, S., Owens, G. (2007). Introducing the Geoscience to Alaska Native via the Rural Alaska Honor Institute (RAHI). Journal of Geoscince Education. Vol.55. No.6. pp 507-513.


(34)

167

Haskell, R. E, (2001). Transfer of Learning. San Diego: Academic Press

Haviland, A.W. (1988). Anthropology. Alih bahasa oleh R. G. Soekadijo. Jakarta: Erlangga.

Heckler, A. F. (2004). Measuring Student Learning by Pre and Post testing: absolute gain vs nornalized gain. American Journal of Physics. Vol. 72. pp 742-761.

Heddy Shri, A.P. (1985). Etnosains dan Etnometodologi: Sebuah Perbandingan.

Masyarakat Indonesia. Tahun ke-XII. No.2.

Hickey, R. F. (2006). Traditional Marine Resources Management in Vanuatu: Acknowledging, supporting, and strengthening indigenous management system. SPC Traditional Marine Resources Management and Knowledge

Information Bulletin. Vol 20. pp.11-23.

Hills, G, (2004). In from The Cold – The Rise of Vocational Education, RSA

Journal, pp 22-25.

Hunter, C., Mccsoh, R., Wilkins, H. (2003). Integrating Learning and Assessment in Laboratory Work. Journal Chemistry Education Research and Practice. Vol.4(1).p.67-75.

Hwang, P., Noguchi T., Hwang, D. (2007). Paralytic shellfish poison as an attractant for toxic snails. Fisheries Science. No.73 p.202-207.

Jaya, IK., Darmadji, P., Suhardi. (1997). Penurunan Kandungan Benzo(A)Pyrene Asap Cair Dengan Zeolit Dalam Upaya Meningkatkan Keamanan Pangan.

Prosiding Seminar Teknologi Pangan. Yogyakarta: PPS, UGM.

Jegede, J. O & Aikenhead, S. G. (1999). Transcending Culural Border: Implication for Science Teaching. Journal for Science & Technology

Education. Vol 17 (1). pp 45-66.

Jeronen, E & Kaikkonen, M. (2002). Thoughts of Children and Adults about the Environment and Enviromental Education. International Research in

Geographical and Environmental Education. Vol. 11(4). pp 341-350.

Johnson, B.E. (2002). Contextual Teaching and Learning: what it is and why it’s

here to stay. California: Corwin Press Inc.

Johnson, D. P.(1986). Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta: P.T. Gramedia. Johnstone, H.A & Selepeng D. (2001). A Language Problem Revisited. Journal


(35)

168

Jong, de Onno. (2000). Crossing the borders: Chemical education research and teaching practice. University Chemistry Education. Vol. 4(1). Pp.31-34. Joyce, B., Weil, M., Calhoun, E. (2000). Models of Teaching. Boston: Allyn and

Bacon.

Julian, C. (2003). Prospects for co-management in Indonesia’s marine protected areas. Marine Policy. Vol. 27. pp. 389–395.

Kagoda, M.A. (2009). Integrating Appropriate Indigenous Knowledge in the Geography Lessons in Secondary Schools of Uganda. Research Journal of

Social Sciences. Vol 1 (3). pp 117-122.

Kajiura S.M & Holland K.M. (2002). Electroreception in juvenile scalloped hammerhead and sandbar sharks. Journal of Experimental Biology.Vol. 205. pp. 3609–3621.

Kammeyer C.W.K., Ritzer G., Yetmen R.N. (1990). Sociology: Experiencing

Changing Societies. Boston: Allyn and Bacon.

Kemeny, G.J. (1959). A Philosopher Looks at Science. New York: D. Van Nostrand Company.

Klemke, D., Hollinger, R., Rudge, W. D., Kline, D. A. (1998). Introductory

Readings in The Philosophy of Science. New York: Prometheus Books.

Klos, L.M. (2006). Using Cultural Identity to Improve Learning. The Educational

Forum. Vol. 70. pp.363-370.

Knight, J. (2002). Science Of Everyday Things: Real-Life Chemistry. Michigan: Gale Group.

Lambert, J. (2005). Students’ Conceptual Understandings of Science After Participating in a Hight School Marine Science Course. Journal of

Geoscience Education. Vol 53 (5). Pp 531-539.

Lampe, M. (2007). Budaya Bahari dalam Konteks Global dan Modern: Kasus komuniti-komuniti Nelayan di Indonesia. [on-line]. Tersedia:

http://www.Melayonline.com. (9 Januari 2008).

Lapian, A.B., (2009). Orang Laut Bajak Laut Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut


(36)

169

Lee, L. K. (1999). A comparison of university lecturers' and pre-service teachers' understanding of a Chemical Reaction at the Particulate Level. Journal of

Chemical Education. Vol. 76(7): pp. 1008 – 1012.

Lenhart, L. (1994). Orang Suku Laut: Konsep Etnik – Basis Konstruksi dan Identitas Situasional. Dawat Jurnal Kebudayaan. Vol. 1. pp 11-21.

Lenhart, L. (1997). Orang Suku Laut Ethnicity and Acculturation. Bijdragen tot

de Taal-, Land- en Volkenkunde, Riau in transition. Vol. 153(4). Pp

577-604.

Liliasari. (2005). Membangun Keterampilan Berpikir Manusia Indonesia Melalui

Pendidikan Sains. Naskah pidato pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu

Pendidikan IPA. Bandung: UPI.

Liliasari. (2009). The Effect of Interactive Multimedia Function to Enhance Students’ Generic Science Skills. Proceedings The 3rd International Seminar on Science Education. Science Education Program, Graduate School

Indonesia University of Education (IUE). Bandung.

Lumsden, L. (1999). Student Motivation. Cultivating a Love of Learning. Oregon University: ERIC Clearinghouse on Educational Management.

Masel, I.R. (2001). Chemical Kinetics and Catalysis. Canada: John Wiley & Sons, Inc.

Michie, M. (2002). Why indigenous science should be included in the school science curriculum. Australian Science Teachers Journal. Vol. 48(2): pp. 36-40.

McMillan, J,H, & Schumacher, S, (2001), Research in Education: A Conceptual

Introduction (Fiveth ed), New York: Addision Wesley Longman, Inc,

Miles, B. M dan Huberman, M. A. (1992). Analisis Data Kualitatif: Buku sumber tentang metode-metode baru. Jakarta: UI-Press.

Minium, W. E., King, M. B., Bear, G. (1993). Statistical Reasoning In Psychology

and Education. New York: John Wiley and Sons Inc.

Moleong, L. J. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi revisi. Bandung: Remadja Rosdakarya.

Nasution.(1990). Pengembangan Kurikulum. Bandung: Alumni.

Nelson, L. D & Cox, M. M. (2006). Lehninger: Principles of Biochemistry. Wisconsin: W. H. Freeman.


(37)

170

Nontji, A. (1987). Laut Nusantara. Jakarta: Penerbit Djambatan.

Nuangchalerm, P. (2007). Development of Indigenous Science Instructional Model. The 1st, International Conference on Educational Reform 2007.

Mahasarakham University. Thailand.

Ogawa, M & Omoifo, C.N. (2002). Students’ Perception and Pattern of Trantition in Science Learning in Two Non-Western Cultures. Paper Presentation at

the Annual Meeting of the National Assosiation for Research in Science Teaching (NARST). New Orleans: USA.

Omoifo, C.N & Ogawa, M. (2002). Cultural Orientations and Science Teaching-Learning Process in Japanese Elementry School. Paper Presentation at the

Annual Meeting of the National Assosiation for Research in Science Teaching (NARST). New Orleans: USA.

Palmer, H.M., Elmore, D. R., Watson, J.M., Kloesel, K., Palmer, K. (2009).

Xoa:dau to Maunkaui: Integrating Indigenous Knowledge into an

Undergraduate Earth Systems Science Course. Journal of Geoscience

Education. Vol. 57 (2). pp 137-144.

Patrick, O.A., Kpangban, E., Chibue, O.O. (2007). Motivation Effects on Test Scores of Senior Secondary School Science Students. Stud. Home Comm. Sci., Vol. 1(1). pp 57-64.

Patton, M. Q. (1882). Qualitative Evaluation Methods. Baverly Hills: Sage Publications.

Phiri, D.K.A. (2008). Exploring the Integration of Indienous Science in the

Primary School Science Curriculum in Malawi. Doctor Dissertation.

Virginia Polytechnic Institute and State University, Blacksburg Virginia. Poedjiadi, A. (2005). Pendidkan Sains dan Pembangunan Moral Bangsa.

Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Quanounou, G., Malo, M., Stinnakre, J., Kreger S.A., and Molgo, J. (2002). Trachynilysin, a Neurosecretory Protein Isolated from Stonefish (Synanceia

trachynis) Venom, Forms Nonselective Pores in the Membrane of

NG108-15 Cells. Journal Of Biological Chemistry. Vol. 277, No. 42, pp. 39119– 39127.

Rayner-Canham, G. (2000). Descriptive Inorganic Chemistry. (Second Edition). New York: W. H. Freeman and Company.


(38)

171

Riggs, M.E., Robbins, E., Darner, R. (2007). Sharing the Land: Attracting Native American Students to the Geosciences. Journal of Geoscience Education. Vol 55 (6). pp 478-485.

Rist, S & Dahdouh-Guebas, F. (2006). Ethnosciences – A step towards the integration of scientific and indigenous forms og knowledge in the

management of natural resources for the future. Environment Development

Sustainnable. Vol. 8. pp 467-493.

Ritzer, D & Goodman, J.D. (2005). Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Gramedia. Ruseffendi, E.T. (1998). Statistik Dasar untuk Penelitian Pendidikan. Bandung:

IKIP Bandung Press.

Salganik, L.H dan Stephens, M, (2003). Competence Priorities in Policy and Practice, in D.S. Rychen and L.H. Salganik (Eds) Key Competencies. Gottingen: Hogrefe and Huber.

Saputra, T.S & Setiati, D. (2000). Masyarakat dan Kebudayaan Ameng Sewang. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan.

Saputra, T.S. (1995). Kehidupan Sosial Ekonomi Suku Laut: Kasus Desa Berakit

Kecamatan Bintan Utara. Jakarta: Depdikbud.

Sarantopoulos, P & Tsaparlis, G.(2004). Analogies In Chemistry Teaching As A Means of Attainment of Cognitive and Affective Objectives: A Longitudinal Study In A Naturalistic Setting, Using Analogies With A Strong Social Content. Journal Chemistry Education Research and Practice. Vol.5(1). p.33-50.

Schummer, J. (1998). The Chemical Core of Chemistry I: A Conceptual Approach. HYLE – International Journal for Philosophy Chemistry. Vol.4(2). pp 129-162.

Seddigi, S.Z.,Capretz, F.L., House, D. (2009). A Multicultural Comparison of Engineering Students: Implications to Teaching and Learning. Journal of

Social Sciences. Vol 5(2). pp. 117-122.

Seiger-Ehrenberg, S. (1985). Concept Development. Dalam Costa, L. Arthur. (Penyunting). Developing Minds: A Resource Book for Teaching Thinking. Virginia: ASCD. (hal 161-165).

Shobeiri, S.M., Omidvar, B., Prahallada, N. N.(2007). A Comperative Study of Environmental Awareness among Secondary School Students in Iran and India. International Journal Environmental Research.Vol. 1 (1). pp 28-34.


(39)

172

Skrok, K. (2007). Formations of pupils' attitudes and behaviours in chemistry teaching. Journal of Science Education. Vol. 8(2): pp. 107-110.

Snively, G & Corsiglia, J. (2001). Discovering Indigenous Science: Implication for Science Education. Science Education. Vol 85. (1). Pp. 6-34.

Spradley, J.P. (1980). Participant Observation. New York: Holt Rinerhart and Winston.

Stanley, W. B & Brickhouse, N. W. (2001). The Multicultural Question Revisited.

Science Education. Vol 85 (1). Pp.35-48.

Stephens, S. (2003). Handbook for Culturally Responsive Science Curriculum. Alaska: Alaska Native Knowledge Network. Tersedia [on-line]

www.ankn.uaf.edu. Akses. [29 Mei 2008].

Sumarmo, U. (1988). Menyusun dan Menganalisis Skala Sikap. Makalah Seminar Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA IKIP Bandung, Rabu 14

Desember 1988. Tidak dipublikasikan.

Swami, S.R. (2003). Mantras: Words of Power. Mumbai: Jaico Publishing House. Talbot, M. (2002). Mistisisme & Fisika Baru. (Alih bahasa Agung Prihantoro).

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tan, K. S., Goh, K., Chia, L. S, (2006). Bridging the Cognitive-Affective Gap: Teaching Chemistry while Advancing Affective Objectives. The Singapore Curricular Experience. Journal of Chemical Education. Vol. 83(1).

Thiagarajan, S., Semmel, D. S., & Semmel, M. L. (1974). Instructional,

Development for Trainning Teacher of Exceptional Children. Minnesota:

Indiana University.

Tunggal, S.H. (2007). Undang-undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan

Pulau-pulau Kecil. Jakarta: Harvarindo.

Varughese, K.V & Fehring, H. (2009). Effects of Students’ Approaches to Learning on Performance in Two Pedagogical Environments. International

Education Studies. Vol. 2(4): pp. 10-14.

Vermonden, D. (2006). Making a living from the sea: fishery activities

development and local perspective on sustainability in Bahari village (Buton islans, Southeast Sulawesi, Indonesia. Environment Development


(40)

173

Wilthshire, J.C., Sutherland, K.S., Fenner, J.P., Young, R.A. (2000). Optimzation and preliminary characterization of venom isolated from 3 medically

important jellyfish: the box (Chironex fleckeri), Irukandji (Carukia barnesi), and blubber (Catostylus mosaicus) jellyfish. Wilderness and Enviromental

Medicine. No. 11. pp-241-250.

Wongsri, P & Nuangchalerm, P. (2010). Learning outcomes between Socioscientific Issues-Based Learning and Conventional Learning Activities. Journal of Social Sciences. Vol. 6 (2): pp. 240-243.

Zacot, F (2008). Orang Bajo Suku Pengembara Laut: Pengalaman Seorang

Antropolog. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Zais, R.S. (1976). Curriculum Principles and Foundation. New York; Harper & Row Publishers.

Zen, M. (2002). Orang Laut. Studi Etnopedagogi. Jakarta: Yayasan Bahari Nusantara.

Zen, M. (1993). Dinamika Pendidikan ”Orang Laut”. Sebagai Suatu Profil

Operasionalisasi Pendidikan Nasional. . Disertasi. PPS IKIP Bandung:

Tidak dipublikasian.


(1)

168

Jong, de Onno. (2000). Crossing the borders: Chemical education research and teaching practice. University Chemistry Education. Vol. 4(1). Pp.31-34. Joyce, B., Weil, M., Calhoun, E. (2000). Models of Teaching. Boston: Allyn and

Bacon.

Julian, C. (2003). Prospects for co-management in Indonesia’s marine protected areas. Marine Policy. Vol. 27. pp. 389–395.

Kagoda, M.A. (2009). Integrating Appropriate Indigenous Knowledge in the Geography Lessons in Secondary Schools of Uganda. Research Journal of Social Sciences. Vol 1 (3). pp 117-122.

Kajiura S.M & Holland K.M. (2002). Electroreception in juvenile scalloped hammerhead and sandbar sharks. Journal of Experimental Biology.Vol. 205. pp. 3609–3621.

Kammeyer C.W.K., Ritzer G., Yetmen R.N. (1990). Sociology: Experiencing Changing Societies. Boston: Allyn and Bacon.

Kemeny, G.J. (1959). A Philosopher Looks at Science. New York: D. Van Nostrand Company.

Klemke, D., Hollinger, R., Rudge, W. D., Kline, D. A. (1998). Introductory Readings in The Philosophy of Science. New York: Prometheus Books. Klos, L.M. (2006). Using Cultural Identity to Improve Learning. The Educational

Forum. Vol. 70. pp.363-370.

Knight, J. (2002). Science Of Everyday Things: Real-Life Chemistry. Michigan: Gale Group.

Lambert, J. (2005). Students’ Conceptual Understandings of Science After Participating in a Hight School Marine Science Course. Journal of Geoscience Education. Vol 53 (5). Pp 531-539.

Lampe, M. (2007). Budaya Bahari dalam Konteks Global dan Modern: Kasus komuniti-komuniti Nelayan di Indonesia. [on-line]. Tersedia:

http://www.Melayonline.com. (9 Januari 2008).

Lapian, A.B., (2009). Orang Laut Bajak Laut Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX. Jakata: Komunitas Bambu.


(2)

169

Lee, L. K. (1999). A comparison of university lecturers' and pre-service teachers' understanding of a Chemical Reaction at the Particulate Level. Journal of Chemical Education. Vol. 76(7): pp. 1008 – 1012.

Lenhart, L. (1994). Orang Suku Laut: Konsep Etnik – Basis Konstruksi dan Identitas Situasional. Dawat Jurnal Kebudayaan. Vol. 1. pp 11-21.

Lenhart, L. (1997). Orang Suku Laut Ethnicity and Acculturation. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Riau in transition. Vol. 153(4). Pp 577-604.

Liliasari. (2005). Membangun Keterampilan Berpikir Manusia Indonesia Melalui Pendidikan Sains. Naskah pidato pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Pendidikan IPA. Bandung: UPI.

Liliasari. (2009). The Effect of Interactive Multimedia Function to Enhance Students’ Generic Science Skills. Proceedings The 3rd International Seminar on Science Education. Science Education Program, Graduate School

Indonesia University of Education (IUE). Bandung.

Lumsden, L. (1999). Student Motivation. Cultivating a Love of Learning. Oregon University: ERIC Clearinghouse on Educational Management.

Masel, I.R. (2001). Chemical Kinetics and Catalysis. Canada: John Wiley & Sons, Inc.

Michie, M. (2002). Why indigenous science should be included in the school science curriculum. Australian Science Teachers Journal. Vol. 48(2): pp. 36-40.

McMillan, J,H, & Schumacher, S, (2001), Research in Education: A Conceptual Introduction (Fiveth ed), New York: Addision Wesley Longman, Inc, Miles, B. M dan Huberman, M. A. (1992). Analisis Data Kualitatif: Buku sumber

tentang metode-metode baru. Jakarta: UI-Press.

Minium, W. E., King, M. B., Bear, G. (1993). Statistical Reasoning In Psychology and Education. New York: John Wiley and Sons Inc.

Moleong, L. J. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi revisi. Bandung: Remadja Rosdakarya.

Nasution.(1990). Pengembangan Kurikulum. Bandung: Alumni.

Nelson, L. D & Cox, M. M. (2006). Lehninger: Principles of Biochemistry. Wisconsin: W. H. Freeman.


(3)

170

Nontji, A. (1987). Laut Nusantara. Jakarta: Penerbit Djambatan.

Nuangchalerm, P. (2007). Development of Indigenous Science Instructional Model. The 1st, International Conference on Educational Reform 2007. Mahasarakham University. Thailand.

Ogawa, M & Omoifo, C.N. (2002). Students’ Perception and Pattern of Trantition in Science Learning in Two Non-Western Cultures. Paper Presentation at the Annual Meeting of the National Assosiation for Research in Science Teaching (NARST). New Orleans: USA.

Omoifo, C.N & Ogawa, M. (2002). Cultural Orientations and Science Teaching-Learning Process in Japanese Elementry School. Paper Presentation at the Annual Meeting of the National Assosiation for Research in Science Teaching (NARST). New Orleans: USA.

Palmer, H.M., Elmore, D. R., Watson, J.M., Kloesel, K., Palmer, K. (2009). Xoa:dau to Maunkaui: Integrating Indigenous Knowledge into an Undergraduate Earth Systems Science Course. Journal of Geoscience Education. Vol. 57 (2). pp 137-144.

Patrick, O.A., Kpangban, E., Chibue, O.O. (2007). Motivation Effects on Test Scores of Senior Secondary School Science Students. Stud. Home Comm.

Sci., Vol. 1(1). pp 57-64.

Patton, M. Q. (1882). Qualitative Evaluation Methods. Baverly Hills: Sage Publications.

Phiri, D.K.A. (2008). Exploring the Integration of Indienous Science in the Primary School Science Curriculum in Malawi. Doctor Dissertation. Virginia Polytechnic Institute and State University, Blacksburg Virginia. Poedjiadi, A. (2005). Pendidkan Sains dan Pembangunan Moral Bangsa.

Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Quanounou, G., Malo, M., Stinnakre, J., Kreger S.A., and Molgo, J. (2002). Trachynilysin, a Neurosecretory Protein Isolated from Stonefish (Synanceia trachynis) Venom, Forms Nonselective Pores in the Membrane of NG108-15 Cells. Journal Of Biological Chemistry. Vol. 277, No. 42, pp. 39119– 39127.

Rayner-Canham, G. (2000). Descriptive Inorganic Chemistry. (Second Edition). New York: W. H. Freeman and Company.


(4)

171

Riggs, M.E., Robbins, E., Darner, R. (2007). Sharing the Land: Attracting Native American Students to the Geosciences. Journal of Geoscience Education. Vol 55 (6). pp 478-485.

Rist, S & Dahdouh-Guebas, F. (2006). Ethnosciences – A step towards the integration of scientific and indigenous forms og knowledge in the

management of natural resources for the future. Environment Development Sustainnable. Vol. 8. pp 467-493.

Ritzer, D & Goodman, J.D. (2005). Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Gramedia. Ruseffendi, E.T. (1998). Statistik Dasar untuk Penelitian Pendidikan. Bandung:

IKIP Bandung Press.

Salganik, L.H dan Stephens, M, (2003). Competence Priorities in Policy and Practice, in D.S. Rychen and L.H. Salganik (Eds) Key Competencies. Gottingen: Hogrefe and Huber.

Saputra, T.S & Setiati, D. (2000). Masyarakat dan Kebudayaan Ameng Sewang. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan.

Saputra, T.S. (1995). Kehidupan Sosial Ekonomi Suku Laut: Kasus Desa Berakit Kecamatan Bintan Utara. Jakarta: Depdikbud.

Sarantopoulos, P & Tsaparlis, G.(2004). Analogies In Chemistry Teaching As A Means of Attainment of Cognitive and Affective Objectives: A Longitudinal Study In A Naturalistic Setting, Using Analogies With A Strong Social Content. Journal Chemistry Education Research and Practice. Vol.5(1). p.33-50.

Schummer, J. (1998). The Chemical Core of Chemistry I: A Conceptual Approach. HYLE – International Journal for Philosophy Chemistry. Vol.4(2). pp 129-162.

Seddigi, S.Z.,Capretz, F.L., House, D. (2009). A Multicultural Comparison of Engineering Students: Implications to Teaching and Learning. Journal of Social Sciences. Vol 5(2). pp. 117-122.

Seiger-Ehrenberg, S. (1985). Concept Development. Dalam Costa, L. Arthur. (Penyunting). Developing Minds: A Resource Book for Teaching Thinking. Virginia: ASCD. (hal 161-165).

Shobeiri, S.M., Omidvar, B., Prahallada, N. N.(2007). A Comperative Study of Environmental Awareness among Secondary School Students in Iran and India. International Journal Environmental Research.Vol. 1 (1). pp 28-34.


(5)

172

Skrok, K. (2007). Formations of pupils' attitudes and behaviours in chemistry teaching. Journal of Science Education. Vol. 8(2): pp. 107-110.

Snively, G & Corsiglia, J. (2001). Discovering Indigenous Science: Implication for Science Education. Science Education. Vol 85. (1). Pp. 6-34.

Spradley, J.P. (1980). Participant Observation. New York: Holt Rinerhart and Winston.

Stanley, W. B & Brickhouse, N. W. (2001). The Multicultural Question Revisited. Science Education. Vol 85 (1). Pp.35-48.

Stephens, S. (2003). Handbook for Culturally Responsive Science Curriculum. Alaska: Alaska Native Knowledge Network. Tersedia [on-line]

www.ankn.uaf.edu. Akses. [29 Mei 2008].

Sumarmo, U. (1988). Menyusun dan Menganalisis Skala Sikap. Makalah Seminar Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA IKIP Bandung, Rabu 14

Desember 1988. Tidak dipublikasikan.

Swami, S.R. (2003). Mantras: Words of Power. Mumbai: Jaico Publishing House. Talbot, M. (2002). Mistisisme & Fisika Baru. (Alih bahasa Agung Prihantoro).

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tan, K. S., Goh, K., Chia, L. S, (2006). Bridging the Cognitive-Affective Gap: Teaching Chemistry while Advancing Affective Objectives. The Singapore Curricular Experience. Journal of Chemical Education. Vol. 83(1).

Thiagarajan, S., Semmel, D. S., & Semmel, M. L. (1974). Instructional,

Development for Trainning Teacher of Exceptional Children. Minnesota: Indiana University.

Tunggal, S.H. (2007). Undang-undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Jakarta: Harvarindo.

Varughese, K.V & Fehring, H. (2009). Effects of Students’ Approaches to Learning on Performance in Two Pedagogical Environments. International Education Studies. Vol. 2(4): pp. 10-14.

Vermonden, D. (2006). Making a living from the sea: fishery activities

development and local perspective on sustainability in Bahari village (Buton islans, Southeast Sulawesi, Indonesia. Environment Development


(6)

173

Wilthshire, J.C., Sutherland, K.S., Fenner, J.P., Young, R.A. (2000). Optimzation and preliminary characterization of venom isolated from 3 medically

important jellyfish: the box (Chironex fleckeri), Irukandji (Carukia barnesi), and blubber (Catostylus mosaicus) jellyfish. Wilderness and Enviromental Medicine. No. 11. pp-241-250.

Wongsri, P & Nuangchalerm, P. (2010). Learning outcomes between Socioscientific Issues-Based Learning and Conventional Learning Activities. Journal of Social Sciences. Vol. 6 (2): pp. 240-243.

Zacot, F (2008). Orang Bajo Suku Pengembara Laut: Pengalaman Seorang Antropolog. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Zais, R.S. (1976). Curriculum Principles and Foundation. New York; Harper & Row Publishers.

Zen, M. (2002). Orang Laut. Studi Etnopedagogi. Jakarta: Yayasan Bahari Nusantara.

Zen, M. (1993). Dinamika Pendidikan ”Orang Laut”. Sebagai Suatu Profil Operasionalisasi Pendidikan Nasional. . Disertasi. PPS IKIP Bandung: Tidak dipublikasian.