PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN DENGAN MEDIA HIPERTEKS BERDASARKAN SKEMA PEMECAHAN MASALAH BERINTIKAN ARGUMENTASI TOULMIN: Suatu Studi Penerapan pada Topik Kinematika.
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PERSETUJUAN (PEMBIMBING) ii
PERNYATAAN iii
KATA PENGANTAR iv
UCAPAN TERIMA KASIH v
ABSTRAK viii
ABSTRACT ix
DAFTAR ISI x
DAFTAR TABELxii
DAFTAR GAMBAR xiv
DAFTAR LAMPIRAN xvi
BAB I PENDAHULUAN 1
A. LatarBelakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 11
C. Tujuan Penelitian 12
D. Manfaat Penelitian 13
E. Asumsi Penelitian 14
F. Hipotesis Dan Variabel Penelitian 15
G. Definisi Operasional 16
BAB II PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN DENGAN MEDIA
HIPERTEKS BERDASARKAN SKEMA PEMECAHAN MASALAH BERINTIKAN ARGUMENTASI TOULMIN
A. Hiperteks Sebagai Media Belajar Dan Mengajar 21
B. Hiperteks Argumentatif 30
C. Non-linearitasPpembelajaran dari Hiperteks Argumentatif 42
D. Argumentasi Toulmin 49
E. Skema Pemecahan Masalah 59
F. Pemahaman Konsep 69
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 77
A. Paradigma Penelitian 77
B. Metode Penelitian 84
C. Desain Penelitian 87
D. Lokasi Penelitian 90
E. Subyek Penelitian 90
F. Instrumen Penelitian 91
(2)
BAB IV ANALISIS, TEMUAN, DAN PEMBAHASAN 109
A. Analisis Data 109
1. Gambaran Media Hiperteks 110
2. Studi Pendahuluan dan Perancangan Program Hiperteks 113
B. Temuan 118
C. Pembahasan 140
BAB V PENUTUP 162
A. Kesimpulan 162
B. Saran 165
(3)
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 2.1 Jenis dan Indikator Pemahaman Konsep yang Dapat
Dikembangkan dalam Pembelajaran Fisika Dasar
74
Tabel 3.1 Kategori Validitas Butir Soal 79
Tabel 3.2 Kriteria Derajat Keandalan 82
Tabel 3.3 Kategori Tingkat Kemudahan 86
Tabel 3.4 Kategori Daya Pembeda 88
Tabel 3.5 Pedoman Skoring Pemecahan Masalah dan keterampilan argumentasi
94
Tabel 3.6 Rekapitulasi uji coba tes 96
Tabel 3.7 Kategori Tingkat N-gain 102
Tabel 4.1 Karakteristik Penilaian terhadap Sistem Pembelajaran Fisika Dasar
110 Tabel 4.2 Tahapan Pembelajaran dalam Program P4MAH 112 Tabel 4.3 Perhitungan Deskriptif Tes Pemehaman Konsep 115 Tabel 4.4 Perhitungan Deskriptif Tes Pemehaman Konsep
berdasarkan Tes Grafik dan Non-Grafik
116 Tabel 4.5 Perhitungan Deskriptif Tes Pemehaman Konsep
berdasarkan Kelas Interval
118 Tabel 4.6 Perhitungan Deskriptif Tes Grafik dan Non- Grafi
berdasarkan Kelas Interval
120 Tabel 4.7 Perhitungan Uji Wilcoxon Kemampuan Pemecahan
Masalah
122 Tabel 4.8 Perhitungan Deskriptif Tes Pemecahan Masalah. 124 Tabel 4.9 Perhitungan Deskriptif Tes Pemecahan
Masalahberdasarkan Indikatornya
(4)
Tabel 4.10 Perhitungan Deskriptif Tes Pemecahan Masalahberdasarkan Kelas Interval
126 Tabel 4.11 Perhitungan Korelasi antara Tes Pemahaman Konsep
dengan Pemahaman Grafik, Non-Grafik, dan pemecahan Masalah
128 Tabel 4.12 Perhitungan Uji Wilcoxon pada Kondisi Pretes dan Postes
Tes Pemecahan Masalah
129 Tabel 4.13 Perhitungan ANCOVA pada Skor Postes Pemahaman
Konsep dengan 1 covariat
132 Tabel 4.14 Perhitungan ANCOVA Pada Skor Postes Pemahaman
Konsep dengan 2 covariat
133 Tabel 4.15 Perhitungan ANOVA Pada Skor Postes Pemecahan
Masalah
134 Tabel 4.17 Resume Tanggapan Mahasiswa tentang Kualitas program
Hiperteks
(5)
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1.1 Fenomena Bandul menurut Komponen-komponen
Representai Pengetahun yang Membentuk Pengetahuan Bandul Sederhana
9 Gambar 2.1 Prosessing Informasi Hiperteks- Simpul Sederhana 26 Gambar 2.2 Hiperteks Non-Sequential dan Hiperteks Pre-structured 27 Gambar 2.3 Diagram Jaringan Sebelum dan Sesudah
Pengorganisasian Elektronik
29 Gambar 2.4 Proses Membangun Pengetahuan oleh Pelaku-pelaku
dalam Hiperteks
34
Gambar 2.5 Struktur Wacana Pengetahuan 36
Gambar 2.6 Rancangan Hiperteks berbasis Wacana Argumentatif 39
Gambar 2.7 Diagram “A model of Knowing” 44
Gambar 2.8 Skema Komponen utama TAP 51
Gambar 2.9 Skema TAP dalam Masalah Fisika 53
Gambar 2.10 Alur Pemikiran dalam Diskusi untuk Memecahkan Masalah Fisika
55
Gambar 2.11 Skema Pemecahan Masalah 61
Gambar 2.12 Konstruksi Pemecahan Masalah 62
Gambar 2.13 Gambaran Fisis dari Permasalahan. 63
Gambar 2.14 Komponen Argumentasi Toulmin dalam Gambaran Fisis 64 Gambar 2.15 Identifikasi 2 Gerakan dengan Variabelnya 65 Gambar 3.1 Paradigma Penelitian berdasarkan Asumsi Filosofis 79 Gambar 3.2 Paradigma Penelitian Berdasarkan Pendekatan
Kuantitatif dan Pendekatan Kualitatif
82 Gambar 3.3 Tahapan-tahapan Pelaksanaan Pengembangan Program 86 Gambar 3.4 Image Visual Pelaksanaan Penelitian Kualitatif 88 Gambar 4.1 Grafik Persentase Karakteristik Penilaian terhadap
Mahasiswa Studi Pendahuluan
113 Gambar 4.2 Perbedaan Mean pada Kondisi Pretes dan Postes 123
(6)
Gambar 4.3 Perbedaan Mean pada Kondisi Pretes dan Postes dalam masing-masing kelas Interval
124 Gambar 4.4 Grafik Rerata Skor Pretes, Postes, dan N-Gain
Pemahaman Grafik dan Non-Grafik
125 Gambar 4.5 Perbedaan Mean pada Kondisi Pretes dan Postes dalam
masing-masing kelas Intervalberdasarkan Jenis Tes
126 Gambar 4.6 Perbedaan Mean pada kondisi Pretes dan Postes dalam
masing-masing kelas Interval.
131 Gambar 4.7 Analisis Wacana terhadap PermasalahanಯMobil
denganLampu RemರKelompok A
143 Gambar 4.8 Struktur Makro Diskusi Kelompok B untuk Masalah
Mobil dengan Lampu Rem
145 Gambar 4.9 Struktur Makro Diskusi Kelompok C untuk Masalah
“Loncatan Pemeran Pengganti” 148
Gambar 4.10 Analisis Wacana Diskusi Proposisi Mikro dan Makro kelompok D masalah “Loncatan Pemeran Pengganti
150 Gambar 4.11 Masalah Kinematika dan Skema Fisis 151 Gambar 4.12 Skema Pemahaman Fisis dari Masalah Kinematika 152 Gambar 4.13 Skema Pemecahan Masalah Menemukan Jarak Lintasan Mobil 152 Gambar 4.14 Skema Pemecahan Masalah Menemukan Waktu Mobil
Bergerak
153 Gambar 4.15 Skema Pemecahan Masalah Menemukan Jarak Lintasan
Mobil Setelah Dilakukan Pengereman Sampai Berhenti
153 Gambar 4.16 Skema Pemecahan Masalah Menemukan Jarak Lintasan
Mobil Mulai Dilihat Nyala Mobil Sampai Berhenti
154 Gambar 4.17 Skema Pemecahan Masalah dalam Memecahkan Masalah
Mobil dengan Lampu Rem
155 Gambar 4.18 Skema Pemecahan Masalah dalam Memecahkan Masalah
Loncatan Pemeran pengganti
(7)
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Tampilan Hiperteks 173
Lampiran 2 Tes Pemahaman Konsep Kinematika dalam Hiperteks 181
Lampiran 3 Tes Kemampuan Pemecahan Masalah 205
Lampiran 4 Tes Kemampuan Berpikir Logik 208
Lampiran5 Penurunan Proposisi Mikro dan Makro Dialog Pemecahan Masalah Fisika
214 Lampiran 6 Analisis Tanggapan Mahasiswa terhadap Pembelajaran 227
Lampiran 7 Hasil Analisis Instrumen 231
Lampiran 8 Tampilan Analisis Statistik 234
(8)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kinematika dipelajari dalam Fisika Umum semester I dan dalam Fisika Dasar I semester II pada mahasiswa Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pendidikan Alam di LPTK. Topik ini membahas tentang bagaimana benda bergerak, konsep posisi, kecepatan, dan percepatan dalam satu dimensi dan dua dimensi, serta bagaimana menginterpretasinya dalam kehidupan nyata. Mahasiswa calon guru fisika diharapkan kompeten dalam menghubungkan dan mengintegrasikan konsep-konsep, ide-ide penting dan aplikasinya di lapangan serta mampu melakukan penyelidikan ilmiah (Kurikulum, 2006). Oleh karena itu diperlukan cara pembelajaran yang dapat menyiapkan peserta didik untuk “melek fisika dan teknologi”, mampu berpikir logis, memecahkan masalah, kritis, kreatif, serta dapat berargumentasi secara benar.
Topik Kinematika diperkenalkan pertama kali pada sebagian besar kelas Fisika Dasar, karena berkaitan dengan sebagian besar topik fisika lainnya. Tanpa pemahaman yang kuat tentang konsep-konsep Kinematika, siswa mengalami kekurangan fundasi yang diperlukan untuk berhasil memahami konsep-konsep fisika lanjutan yang lebih abstrak. Karena sifat dasar Kinematika terdapat pada seluruh konsep fisika, setiap peningkatan pemahaman siswa tentang konsep-konsep ini menciptakan kemungkinan meningkatkan pemahaman pada hampir seluruh konsep fisika lain yang akan dihadapi. Disamping itu topik ini terdapat dalam bidang studi lain seperti Biologi dan Kimia. Banyak kemajuan profil mata
(9)
kuliah Biologi dan Kimia yang berakar pada Kinematika yang berkaitan dengan teknologi yang dikembangkan pada dekade yang lalu. Sebagai contoh, aliran darah manusia dapat dijelaskan melalui pemahaman Kinematika.
Hasil pengamatan penulis (Manurung & Rustaman, 2011) pada guru yang mengajar fisika di SMA menunjukkan bahwa materi mekanika belum diajarkan sebagai “pengalaman” tetapi hanya sebagai “hafalan” (recitation, Kennedy, 1998). Kegiatan eksperimen hanya berkisar pada 10% dari kegiatan proses pembelajaran, karena kesulitan guru merancang dan melakukan ujicoba eksperimen. Studi yang dilakukan dalam analisis materi mengungkapakan bahwa mekanika banyak menampilkan diagram, grafik, dan rumus matematika (Manurung, 2010). Studi yang sama dilakukan pada pembelajaran Fisika Dasar di salah satu LPTK di Medan (Manurung & Rustaman, 2011) menunjukkan bahwa pada umumnya dosen-dosen masih mendominasi pembelajaran, terlihat dari penyampaian yang terbatas pada metode ceramah dan tanya jawab. Pelaksanaan praktikum Fisika Dasar masih bersifat verifikatif, sehingga terkesan hanya melaksanakan setiap langkah dalam prosedur seperti praktikum model resep yang bertujuan untuk membuktikan teori yang sudah ada, yang kurang mendorong mahasiswa untuk mengembangkan pemikirannya dalam bereksperimen dan menemukan hal-hal yang baru.
Metode ceramah yang digunakan dalam perkuliahan Fisika Dasar selama ini, membuat mahasiswa terpaku hanya mendengarkan dan merasa membosankan, karena situasi pembelajaran diarahkan pada sebatas resitasi, dan soal-soal yang disampaikan cenderung bersifat mekanistis. Mahasiswa kurang memiliki
(10)
pengalaman memecahkan soal-soal mengacu pada permasalahan kontekstual yang dekat dengan kehidupan mahasiswa sehari-hari sehingga pembelajaran fisika kurang bermakna. Hal ini tampak pada rendahnya partisipasi mahasiswa dalam kegiatan diskusi selama belajar mengajar dan pada prestasi belajar mereka yang juga kurang memuaskan.
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh Manurung & Rustaman (2011) selanjutnya mengungkapkan beberapa kelemahan pembelajaran Fisika Dasar selama ini, yaitu: (a) proses pembelajaran tidak dapat menghadirkan fenomena, (b) kurangnya proses discovery, (c) kurangnya media pembelajaran dan cenderung tidak ada sama sekali, dan (d) pemahaman konsep lemah. Hal ini menyebabkan mahasiswa kesulitan untuk memahami konsep-konsep Fisika Dasar dan grafik-grafik yang disajikan dalam pembelajaran fisika, khususnya Kinematika.
Kesulitan mahasiswa dalam memahami grafik Kinematika dapat dibagi atas dua kategori, yaitu kesulitan menghubungkan grafik ke dalam konsep fisik dan kesulitan menghubungkan grafik ke dalam dunia nyata. Kesulitan dalam menghubungkan grafik ke dalam konsep fisik adalah: (a) membedakan antara kemiringan dengan ketinggian grafik; (b) menginterpretasikan perubahan tinggi dan perubahan kemiringan grafik; (c) menghubungkan satu jenis ke jenis grafik yang lain; (d) mencocokkan informasi naratif dari fitur grafik yang relevan; dan (e) menafsirkan luas daerah di bawah grafik. Kesulitan dalam menghubungkan grafik dengan dunia nyata adalah: (a) merepresentasikan gerak kontinu sehari- hari ke dalam bentuk garis kontinu grafik, (b) memisahkan pemahaman bentuk
(11)
grafik dari lintasan gerak, (c) merepresentasikan kecepatan negatif pada grafik kecepatan terhadap waktu, (d) merepresentasikan percepatan negatif pada grafik percepatan terhadap waktu, dan (e) menunjukkan percepatan konstan pada grafik kecepatan terhadap waktu.
Khusus dalam menafsirkan grafik Kinematika siswa juga mengalami kesulitan dalam memahami area yang berada di bawah grafik Kinematika. Walaupun siswa berhasil menemukan kemiringan garis yang ditarik melalui titik asal, tetapi mereka kesulitan dalam menentukan kemiringan tersebut jika garis ditarik tidak melalui melalui titik asal. Salah satu kesulitan lain adalah membedakan bentuk grafik dari posisi, kecepatan, dan grafik dari percepatan terhadap waktu. Mereka menganggap bahwa grafik dari variabel-variabel ini harus identik dan tampaknya mudah beralih dari label sumbu variabel tertentu ke sumbu variabel lain tanpa menyadari bahwa grafiknya juga harus berubah. Diperlukan serangkaian langkah-langkah yang dapat meningkatkan keterampilan siswa untuk memahami kesulitan grafik ini dan memecahkan masalah yang diberikan. Faktor-faktor lain yang dianggap mampu memberikan kontribusi positif terhadap keterampilan menginterpretasi grafik adalah kemampuan visuospasial, dan kemampuan matematis.
Analisis terhadap tanggapan-tanggapan, menunjukkan bahwa pola pikir siswa tentang Kinematika, ternyata bersifat luas, umum, berubah-ubah, kurang sistematik, dan kesalahan interpretasi. Dalam kondisi pembelajaran seperti ini, peranan materi subjek diperlukan sebagai basis pengetahuan mengajar (Shulman, 1986). Shulman membagi pengetahuan tersebut menjadi empat area pengetahuan
(12)
guru, termasuk: subject matter knowledge, general pedagogical knowledge, knowledge of context, dan pedagogical content knowledge (PCK). Terhadap PCK sendiri, komponen terdiri atas: (1) pengetahuan dan keyakinan tentang tujuan dan tujuan pengajaran sains; (2) pengetahuan tentang pemahaman sains siswa; (3) pengetahuan tentang sains dan kurikulum; dan (4) pengetahuan tentang representasi dan strategi instruksional. Pengembangan lebih lanjut dari perkerjaan Shulman, menyangkut pengalihan pengetahuan konten knowledge menjadi struktur pengetahuan berdasarkan analisis wacana. Tugas mengajar perlu dilihat sebagai tugas membangun pengetahuan menggunakan ketrampilan intelektual agar proses ini tampak lebih transparan dan dilaksanakan secara di dalam kelas (Siregar & Dahar, 1999).
Peran penting argumentasi dalam pendidikan sains mempunyai kegunaan, bukan saja dalam membangun pengetahuan, melainkan dalam menampilkan hubungan hubungan substantif antara model teoretis dan argumen pengukuhannya. Argumen lebih jauh perlu dibuat selaras dengan lingkungan wacananya; berarti ini memerlukan bentuk wacana tertentu dan perlu diajarkan melalui tugas pengajaran yang tepat dan terstruktur dalam bentuk model. Model yang dimaksud adalah model yang memberikan kemudahan untuk menganalisis kemampuan, pengukuran yang ternyata dimiliki model argumentasi Toulmin. . Hollabaugh (1995), contohnya telah menerapkan model ini dalam menganalisis kemampuan memecahkan masalah ill-structured mahasiswa fisika.
Salah satu tujuan pendidikan fisika adalah menghasilkan calon guru fisika yang handal dalam memecahkan masalah. Penelitian terkait dengan tujuan ini
(13)
telah mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat meningkatkan keterampilan pemecahan masalah. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah keterampilan intelektual sebagai ketrampilan penting yang dapat dilatihkan melalui pedagogi tersebut. Pedagogi ini dioperasikan sebagai Skema Pemecahan Masalah yang intinya adalah model Toulmin, tetapi dikemas sebagai wacana (diskusi) untuk membuat ketrampilan-ketrampilan yang dilibatkan tampil lebih eksplisit (Siregar & Dahar, 1999)
Dasar pedagogi dari Skema Pemecahan Masalah adalah wacana argumentatif dengan pandangan epistemologikal pengalihan eksplanasi ilmiah menjadi eksplanasi pedagogi dijembatani oleh materi-subyek. Pengalihan ini berasumsikan perbedaan mendasar dari khalayak target dari masing-masing eksplanasi ini. Sementara khalayak dari eksplanasi ilmiah adalah sesama pakar disiplin, khalayak dari eksplanasi pedagogi adalah pemula yang berbeda secara mendasar tingkat kedewasaan dalam disiplin keiluannya.
Dampak dari perbedaan adalah bahwa pengalihan eksplanasi ilmiah perlu melibatkan kriteria mudah diajarkan bagi guru, dan kriteria mudah dijangkau bagi pemula yang adalah pembelajar. Inilah dasar epistemologi dari Pedagogi Materi Subyek yang secara paralel juga perlu diterapkan pada argumentasi pakar, yaitu perlunya pengalihan Argumentasi Tolmin menjadi Skema Pemecahan Masalah. Pengalihan dimaksud tidak memerlukan dasar epistemologi baru, karena Argumentasi Tolmin sebenarnya juga merupakan pengalihan dari argumentasi formalistik (deduksi) menjadi argumentasi praktis yang tidak membedakan khalayak target pakar atau pemula.
(14)
Perbedaan antara Argumentasi Toulmin dan Skema Pemecahan masalah terletak pada konteks pedagogi dari kahlayak target penelitian ini. Jika Toulmin tidak mensyarat wacana tertentu, Skema Pemecahan Masalah melibatkan analisis wacana untuk memudahkan tugas menganalisis rekaman dari diskusi kelompok mahasiswa yang dikemas sebagai tugas membangun pengetahuan. Keluaran dari analisis ini adalah struktur global dari diskusi kelompok yang kemudian dapat dialihkan menjadi Skema Pemecahah Masalah untuk memisahkan ketrampilan intelektual ke dalam komponen-komponen Argumentasi Tolmin.
Permasalahan mendasar dalam pengembangan hiperteks terletak pada bagaimana antar-hubungan simpul yang diasumsikan harus non-linera, sementara kondisi yang acak dengan jumlahnya besar akan berdampak negatif terhadap pemrosesannya secara kognitif. Dampak negatif ini dapat berupa disorietasi dan beban kognitif pada pengguna; yaitu, kehilangan posisi penavigasian dan kurang pasti dalam menentukan simpul-simpul informasi yang dikunjugni. Oleh sementara pakar ini diatasi dengan strategi macro chunking (Carter, 1997), yaitu, bahwa pengetahuan pengguna mengenai struktu yang membawahi suatu pengetahuan memungkinkannya untuk menentuk simpul yang akan dikunjugni. Jika pengguna memahami Argumentasi Toulmin, ini akan memberikan arah penavigasian. Skema Pemecahan Masalah mengatasi kendala tersebut melalui aturan logis dengan menerapkan penavigasian yang pre-structured, dengan menyediakan peta penavigasian yang tidak lain adalah struktur pengetahuan yang mendasari konten dari hiperteks. Wacana argumentatif menyediakan aturan logis
(15)
penavigasian melalui kerangka tertentu yang mendasari wacana ilmiah materi subyek (Siregar, 2008).
Pembelajaran dengan media hiperteks berbasis wacana argumentatif, merupakan pengajaran berbasis eksplanasi pedagogi yang diharapkan mampu mengatasi kesulitan merepresentasikan konsep-konsep rumit Fisika. Kondisi ill-structured knowledge, seperti Pengetahuan Konten Pedagogikal, kurang mendapat perhatian dalam merancang suatu pembelajaran. Asumsi linear yang diberlakukan terhadap pengetahuan materi-subyek kiranya bertentangan dengan kondisi non-linearnya. Akibatnya sistim pembelajaran yang dikembangkan juga bersifat linear yang kemudian perlu dibuat non-linear guru dalam tugas mengajar untk memenuhi kondisi mengajar yang pada dasarnya adalah tugas wacana membangun pengetahuan.
Untuk mengatasi kekeliruan asumsi di atas, pakar-pakar pembelajaran kognitif (terutama, Spiro et al. (1991) mengambil hiperteks sebagai media pembelajaran yang sifat dasarnya adalah non-linear Sifat dasar ini memugkinkan pembelajaran yang fleksibel sesuai dengan struktur pengetahuan untuk kemudian disimpan sesuai dengan struktur ini. Gerakan besar hiperteks adalah pengubah pembelajaran linear menjadi pembelajaran non-linear. Perubahan ini menyangkut paradigma linearitas menjadi paradigma non-lenearitas. Perubahan ini kiranya cukup mendasar mengingat media instuksional utama adalah buku-cetak yang sifatnya sekuensial menjadi buku electronik non-sekuensial dengan halaman-halaman yang acak, Dengan demikian, terjadi kesinambungan anrara struktur pengetahuan formal, sistim instruksional, dan proses belajar-mengajar, yang
(16)
selama ini tidak sinambung, karena adalah gejala bottle neck pada sistim instruksional linear.
Hiperteks memungkinkan pengguna merealisasi potensinya yang bukan lagi sebagai khalayak pembaca pasif, melainkan sebagai co-author, karena juga menentukan sendiri sekuensi dari pembacaannya. Potensi yang dimaksud adalah kemampuan dalam menyusunan kembali pengetahuannya sehubungan dengan kondisi pengetahuan yang kompleks. Contohnya fenomena gerakan harmonic dari bandul yang lazimnya dianggap sederhana, sebenarnya tidak demikian, karena menyangkut sejumlah representasi: (1) dari objek dari fenomena, (2) reperentasi pengukuruan, umpamanya posisi bandul pada siklus tertentu dari osilasi, (3) representasi grafikal dari fenomena bandul menurut waktu dan kecepatan. Gambar 1.1. menampilkan keseluruhan antar-hubungan dari representasi-representasi tersebut sebagai suatu fenomena kompleks (non-linear).
Gambar 1.1. Fenomena Bandul menurut komponenen- komponen representasi pengetahuan yanng membentuk pengetahuan bandul
(17)
Ilustrasi di atas memperlihatkan proses membangun pengatahuan menurut kompleksitas dari fenomena yang dapat dilakukan menurut penavigasian pengguna. Simulasi memberikan kesempatan bagi pengguna untuk mengkonstruks dan mekonstruksi kembali yang diperlukan untuk meningkatkan keyakinannya. Kemampuan rekonstruksi dan transfer atau aplikasi konsep-konsep yang rumit tersebut disebut sebagai advanced knowledge (pengetahuan lanjut, Spiro et al., 1991) yang melalui pembelajaran simulasi menjadi berkurang kerumitannya.
Konstruksi dan rekonstruksi konsep-konsep fisika dengan demikian memungkinkan peningkatan pemahaman hampir semua konsep fisika. Guru atau calon guru perlu menguasai penggunaan hiperteks berbasis argumentatif yang dapat mengatasi pemahaman konsep-konsep yang rumit. Pembelajaran yang berdasarkan pemecahan masalah berpusat pada siswa sudah banyak dikembangkan akhir-akhir ini dan memberikan sumbangan yang cukup berarti terhadap keberhasilan pendidikan.
Skema pemecahan masalah merupakan salah satu cara untuk mengetahui struktur kognitif siswa dalam memecahkan masalah yang diberikan secara wajar apa adanya dan tidak melibatkan secara eksplisit aspek algoritma tertentu, melainkan aspek logika dan aspek kognitif siswa. Berdasarkan pandangan tersebut, analisis wacana diperlukan untuk mendalami proses konitif maupun logis dari pemecahan masalah SPM dirancang terutama untuk mendeskripsikan strategi kognitif yang dilakukan mengikuti garis penalaran mahasiswa.
(18)
Berdasarkan uraian di atas, perlulah dilakukan pengembangan pembelajaran fisika untuk melihat kemampuan menerima atau menolak hubungan bukti dengan justifikasi yang rasional. Kemampuan argumen merupakan aspek penting dari kemampuan membaca ilmiah yang menuntut pertimbangan-pertimbangan epistemologikal seperti yang diperlihatkan dalam Gambar 1.1. Sepengetahuan penulis, kajian seperti ini belum dikembangkan dengan pendekatan yang lebih kompleks untuk mengimbangi kompleksitas masalah. Dengan demikian, originalitas penelitian ini terletak pada temuan teori yang terdapat pada pengembangan program pembelajaran dengan kemampuan mengungkapkan kemampuan-kemampuan mahasiswa dalam memecahkan masalah yang ill-structured. Penelitian ini dirancang sebagai program pembelajaran P4MAH yang merupakan singkatan dari Pengembangan Program Pembelajaran Pemecahan Masalah dengan Argumentasi Hiperteks).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, pertanyaan mendasar dari penelitian adalah: “Bagaimana mengembangkan pembelajaran, yang menggunakan pendekatan pemecahan masalah argumentatif dan yang menggunakan hiperteks sebagai, media pembelajaran untuk memecahkan soal-soal ill-structured bagi calon guru fisika?” Penelitian ini diawali dengan tugas pengalihan teks non-linear ke bentuk non-linear (hiperteks) dengan mengambil topik pembelajaran Kinematika sebagai materi penelitian. Ini kemudian diikuti dengan analisis wacana argumentatif, menggunakan analisis struktur materi subjek untuk mengembangkan hiperteks pembelajaran Kinematika. Melalui konstruksi materi subjek Kinematika tersebut,
(19)
diharapkan bahwa pihak pembelajar dapat menguasai topik ini baik. Agar permasalahan dapat dijaga tidak meluas, pokok permasalahan di atas diuraikan menjadi pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana karakteristik P4MAH yang dikembangkan?
2. Bagaimana pemahaman konsep Kinematika mahasiswa calon guru fisika setelah melalui pembelajaran P4MAH?
3. Bagaimana kemampuan pemecahan masalah mahasiswa calon guru fisika setelah melalui pembelajaran P4MAH?
4. Adakah hubungan antara kemampuan berpikir logis dengan pemahaman konsep dan kemampuan pemecahan masalah mahasiswa calon guru fisika? 5. Adakah hubungan antara pemahaman konsep dengan kemampuan
pemecahan masalah mahasiswa calon guru fisika?
6. Bagaimana membuat hiperteks yang mewadahi tugas memecahkan soal-soal yang ill-structured?
7. Apakah penerapan wacana argumentatif berlangsung secara wajar dalam diskusi.
8. Apa tanggapan mahasiswa terhadap implementasi P4MAH 9. Bagaimana deskripsi keunggulan dan keterbatasan P4MAH C. Tujuan Penelitian
Mengingat pentingnya peningkatan pembelajaran yang dapat lebih mudah diakses (accessible) oleh mahasiswa dan lebih mudah diajarkan (teachable) oleh dosen, sudah selayaknya P4MAH dilakukan secara eksplisit. Disamping itu
(20)
program pembelajaran ini dapat meningkatkan berpikir mahasiswa yang dilatihkan melalui pedagogi pemecahan masalah berbasis wacana argumentatif. Secara global penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menghasilkan program pembelajaran berdasarkan pedagogi pemecahan masalah yang argumentatif dalam tampilan hiperteks (P4MAH) pada topik Kinematika untuk meningkatkan pemahaman konsep dan kemampuan pemecahan masalah ill-structured.
2. Menemukan cara meningkatkan kualitas perkuliahan fisika dasar yang dapat meningkatkan ketrampilan berargumentasi untuk memecahkan masalah yang ill-structured.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat atau kegunaan penelitian ini dapat dibedakan menjadi manfaat teoretis dan manfaat praktis seperti disajikan dalam uraian-uraian di bawah ini. 1. Manfaat Teoretis
Pemanfaatan temuan-temuan ini dapat dijadikan sebagai dasar kajian dan analisis teoretis sejauh mana PMS sebagai hasil pengembangan P4MAH dapat diaplikasikan untuk memudahkan pembelajaran konsep-konsep yang rumit seperti dalam topik Kinematika, yang menuntun mahasiswa menguasai dan turut mengembangkannya dalam bentuk-bentuk pembelajaran non-linear agar terdapat kesinambungan proses berfikir mulai dari materi-subyek sebagai sumber
(21)
pengetahuan, dan pengajar sebagai pengendali dari wacana membangun pengetahuan.
2. Manfaat Praktis
Berdasarkan temuan-temuan penelitian ini, manfaat-manfaat praktis antara lain adalah: (1) untuk dosen dalam melakukan rancangan perkuliahan Fisika Dasar dan mata kuliah lainnya, (2) untuk memberikan pengalaman kepada dosen meningkatkan berpikir logis dan sistematis melalui penugasan dalam pendekatan pemecahan masalah dan tindakan argumentatif, (3) untuk pengembangan penelitian berikutnya dan peningkatan kualitas pembelajaran fisika di tingkat pendidikan terendah maupun tertinggi, (4) bagi LPTK yang mengelola program pendidikan calon guru karena hasil penelitian ini merupakan bentuk akuntabilitas LPTK terhadap masyarakat untuk menghasilkan guru yang profesional.
E. Asumsi Penelitian
Asumsi yang mendasari penelitian ini adalah bahwa analisis argumentasi PMS sebagai dasar pengembangan hiperteks dapat difungsikan sebagai kriteia untuk menyeleksi bagian-bagian tertentu dari simpul-simpul teks sesuai dengan kepentingan interpretasi, pengorganisasian hiperteks, generalisasi secara global makna dan fakta sesuai dengan konteks dari tugas membangun pengetahuan.
Asumsi lain yang mendasari penelitian ini adalah pentingnya menggunakan pendekatan kualitatif, tidak hanya kuantitatif, karena kemampuan argumentasi akan sangat terungkapkan menurut konteks dan prosesnya.
(22)
Kuantitatif hanya akan menghitung “berapa kali jenis kalimat tertentu keluar,”sedangkan dalam berargumentasi dibutuhkan juga penggambaran dan pemahaman sebuah konteks dan prosesnya. Ditambahkan, kualitatif juga dapat melihat respon yang dikeluarkan oleh responden dalam diskusi grup. Persoalan seperti, bagaimana sebuah grup mencapai kesepakatan dan menghasilkan solusi dapat digambarkan melalui pendekatan kualitatif.
F. Hipotesis dan Variabel Penelitian
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini dapat dirumuskan hipotesis nol (Ho) dan hipotesis kerja atau hipotesis alternatif (Ha), yakni sebagai berikut:
Ho: Tidak ada perbedaan kemampuan antara mahasiswa dalam memahami konsep Kinematika dan kemampuan memecahkan masalah sebelum dan sesudah diajar dengan P4MAH.
Ha: Terdapat perbedaan yang signifikan dalam memahami konsep Kinematika dan kemampuan memecahkan masalah sebelum dan sesudah diajar dengan P4MAH.
Sesuai dengan rumusan hipotesis tersebut, maka dapat dirumuskan dua variabel dalam penelitian ini, yakni variabel bebas atau independent variabel (X) dan variabel tak bebas atau dependent variabel (Y). Variabel bebas adalah faktor yang memberikan pengaruh, dalam penelitian ini adalah program P4MAH dalam pengajaran konsep Kinematika pada mahasiswa, sedangkan variabel tak bebas adalah faktor yang dipengaruhi, yakni pemahaman konsep Kinematika dan kemampuan memecahkan masalah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana terjadinya perubahan pada pemahaman konsep
(23)
Kinematika dan kemampuan memecahkan masalah akibat adanya perlakuan, yakni penggunaan P4MAH dalam pengajaran konsep Kinematika.
G. Definisi Operasional
1. Hiperteks: jenis teks yang dianggap memenuhi kriteria sebagai bentuk wacana argumentatif yang teachable dan accessible sehingga dapat digunakan sebagai fasilitas pengembangan intelektual tingkat tinggi melalui proses belajar-mengajar.
2. Pedagogik materi subjek (PMS): merupakan analisis wacana penurunan struktur keilmuan dari materi subjek, pengetahuan materi-subjek (subject matter knowledge). Pengetahuan dilihat sebagai bangunan yang disebut struktur substantif yang bagian-bagiannya adalah struktur konten dan bangunan tersebut benar dijamin oleh struktur sintaktikal. Tugas membangun tersebut diwujudkan oleh dasar wacana agar sejalan dengan kondisi komunitas pengguna dan oleh dasar argumentatif agar hasil dari proses membangun tersebut dapat dijamin benar. Dalam konteks keseharian, struktur sintaktikal diwujudkan menggunakan keterampilan intelektual, berupa keterampilan menggunakan teori, teorema, hukum, aturan, prosedur, dan sebagainya.
3. Wacana Argumentatif: tuntutan yang memberikan dasar dengan contoh dan bukti yang kuat dan meyakinkan sehingga pembaca menjadi terpengaruh dan membenarkan pendapat orang lain untuk menerima suatu kebenaran berdasarkan bukti-bukti mengenai objek yang diargumentasikan.
(24)
4. Struktur Makro-Mikro: dibangun sejalan dengan proposisi-proposisi yang disarankan oleh struktur permukaan suatu teks sebagai dasar pembentukan struktur global.
5. Struktur global: mendasari pengembangan hiperteks berbasis analisis argumentasi (konten, substansi, dan sintaktikal) sesuai dengan fungsi-fungsi menginformasikan (informing), menjelaskan (eliciting), dan mengarahkan (directing) sehingga pengajaran konsep-konsep rumit menjadi dapat dengan mudah dipahami (intelligible), realistik (plausible), dan berguna’ (fruitful).
6. Argumentasi Toulmin: Argumentasi yang meliputi klaim, ground/data, warrant, kualifikasi, backing/ pendukung, rebuttal/ Sanggahan. (Toulmin, 1958): (1) Penjelasan tentang komponen argumentasi adalah:
Ground/ Data : bukti- bukti yang digunakan mendukung klaim.
Warrant : adalah pertimbangan yang menjelaskan hubungan antara data dan klaim.
Klaim : pernyataan tentang apa atau apa bukti-bukti nilai yang dianut orang.
Kualifikasi : kondisi-kondisi khusus yang mendukung bahwa klaim itu benar yang mewakili keterbatasan klaim.
Backing/ Pendukung: asumsi-asumsi dasar yang seringkali tidak dimunculkan secara eksplisit, tetapi dianggap memberikan pembenaran pada alasan (warrant) tertentu.
(25)
Rebuttal: sanggahan terhadap -pernyataan yang kontradiksi (keberatan) terhadap kesimpulan.
7. Kemampuan pemahaman konsep: Kemampuan mengkonstruk makna atau pengertian suatu konsep berdasarkan pengetahuan awal yang dimiliki, atau mengintegrasikan pengetahuan yang baru ke dalam skema yang telah ada dalam pemikiran siswa. Adapun indikator tes pemahaman konsep dalam penelitian ini antara lain:
Menafsirkan permasalahan berdasarkan hukum Fisika
Menyimpulkan keadaan gerak partikel
Membandingkan kondisi gerak dua mobil
Menginterpretasi tampilan grafik kecepatan sebagai fungsi dari waktu untuk menemukan jarak tempuh benda bergerak
Menterjemahkan tampilan grafik kecepatan sebagai fungsi dari waktu kedalam kalimat
Menyimpulkan tampilan grafik
Menginterpretasi tampilan grafik
Mengabstraksikan permasalahan fisik dari tampilan grafik
Menafsirkan tampilan grafik jarak sebagai fungsi dari waktu
Menyimpulkan sifat gerak benda dari tampilan grafik
Menyimpulkan resultan perpindahan
Menyimpulkan gejala fisik berdasarkan tampilan grafik
(26)
Menginterpretasi grafik kecepatan sebagai fungsi dari waktu untuk menentukan percepatan negatif
Mengkategorikan sifat sesuatu gejala fisis
Mengabstraksikan permasalahan fisis berdasarkan hukum dan ketentuan fisis
Menafsirkan pemahaman fisis berdasarkan tampilan diagram
Membandingkan gerak 2 proyektil
Menjelaskan pengertian gerak melingkar beraturan
8. Kemampuan pemecahan masalah: Kemampuan untuk membentuk suatu strategi yang mengacu pada lima langkah pemecahan masalah meliputi memfokuskan masalah, menguraikan secara konsep fisika, merencanakan solusi, melaksanakan rencana pemecahan masalah, dan memberikan evaluasi pada solusi. Adapun indicator yang digunakan dalam tes kemampuan pemecahan masalah antara lain:
Memahami masalah (Fokus Masalah)
Mendeskripsikan konsep-konsep fisika dengan menyertakan spesifikasi variabel sasaran dengan melengkapi tampilan gambar dan label informasi (Penjelasan Fisika)
Menetapkan hukum, aturan dan definisi sebagai alternatif penyelesaian (Perencanaan Pemecahan)
Mengikuti rencana dan aturan-aturan pelaksanaan (Pelaksanaan Perencanaan)
(27)
Mengevaluasi hasil dengan memperhatikan tanda, satuan atau besaran (Evaluasi)
Masalah ill-structured: merupakan masalah yang tidak bisa diselesaikan dengan penerapan langsung suatu algorima
(28)
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN A. Paradigma Penelitian
Paradigma adalah pola berpikir, berdasarkan seperangkat asumsi filosofis (ontologi, epistemologi, dan metodologi). Paradigma penelitian ini berdasarkan kajian filosofis terbangun melalui pertanyaan filosofis. Pertanyaan ontologikal berhubungan dengan bentuk dan dasar realitas dari fenomena sebagai sumber data untuk mengkaji apa yang dapat diketahui; yaitu, dasar pendeskripsian dari Ill-Structured Problem. Pertanyaan epistemologi berhubungan dengan sifat dasar dari hubungan antara teori-teori (peneliti) dan apa yang dapat diketahui dari fenomena Ill-Structured problem; yaitu, dasar dari hubungan PMS dan Hiperteks di satu pihak dan Ill-structured Problem di lain pihak. Pertanyaan metodologikal berhubungan dengan bagaimana peneliti menentukan jalan yang ditempuh untuk mengetahuinya, yaitu, dasar bagi metoda-metoda yang akan digunakan untuk menentukan jalan yang ditempuh untuk meneliti Ill-structured Problem.
Fenomena bandul sederhana yang melibatkan sejumlah representasi untuk mengungkapkannya lebih tuntas menimbulkan isu kompleksitas epistemologikal. Isu ini muncul sebagai akibat kriteria parsimoni yang diterapkan terhadap fenomena agar dapat direpresentasikan sebagai model matematika (Pernapes, 2010). Berdasarkan pertimbangan metodologikal, kondisi ini perlu diatasi pada tingkat paradigmatik yang dapat di tampilkan sebagai upaya menemukan suatu pandangan yang diperlukan untuk menyeimbangkan isu non-linear dan isu non-linear dari media pembelajaran.
(29)
Pertentangan paradigma metodologi kuantitatif dan paradigma kualitatif nampaknya sudah mulai mereda dengan diterimanya mixed method oleh sebagian besar peneliti. Tetapi penting bagi peneliti agar dapat meyakinkan bahwa penggunaan mixed method dilakukan dengan cukup kritis sejalan dengan agar fungsinya pengungkapannya optimal dalam penerpannya terhadap permaslahan yang kompleks. Dalam penelitian ini, penggunaan mixed method diperlukan untuk menghadapi isu pelik dari paradigma linear dan paradigma non-linear dari media pembelajaran. Penanganan isu ini menjadi kompleks karena menjadi menjadi kontroversial.
Contohnya adanya kubu yang meginginkan agar pembelajaran sains tetap konisten sebagai menjaga keutuhan metoda ilmiah di dalam melalui pendekatan data driven dalam bentuk hands on disatu pihak dan di pihak lain agar dialougical driven dalam bentuk minds on (Kennedy, 1998). Masing-masing kubu ini dapat disejajarkan dengan paradigma linear dan paradigma non-linear dilihat dari pengadopsian dari hands on dan minds on masing-masing kelompok.
Sebagaai upaya eksploratif, tujuan utama penelitian adalah meningkatkan pemahaman mengenai isu media pembelajaran nonlinear, tetapi juga tidak mengabaikan pentingnya metoda kuantitatif untuk maksud konfirmasi pendahulua mengenai manfaat hiperteks. Jadi penggunaan mixed method kiranya tepat karena memberikan keleluasaan dalam penggunaan metoda baik kualitatif maupun kuantitatif sejalan dengan jenis data yang diperlukan dalam penelitian
(30)
ini. Secara diagramatik, kerangka berpikir penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.1.
Gambar 3.1. Paradigma Penelitian berdasarkan Asumsi Filosofis Landasan
epistemologi materi subjek
Teori PMS, analisis wacana yang menghasilkan Struktur Makro materi subjek Pemahaman Konsep, Grafik, Non-Grafik
Pengembangan
Model Pembelajaran
dengan Media
Hiperteks
Berdasarkan Skema
Pemecahan Masalah
Berintikan
Argumentasi
Toulmin
Analisis Argumentasi Toulmin dalam dialog Kelompok Kemampuan Pemecahan Masalah Skema Pemecahan Masalah, Model Argumentasi ToulminFenomena Ill-Structured problem dalam materi sujek Kinematik Media yang menampilkan teks non-linear Kualitatif Kuantitatif Pengajaran berlandasakan pemecahan masalah dan argumentasi Permasalahan pembelajaran Kinematika di lapangan
(31)
1. Pelaksanaan dan Desain Penelitian
Wujud dari mixed methods adalah proses penelitian yang melibatkan aspek kualitatif yang ditampilkan sebagai langkah-langkah penelitian, dan aspek kuantiatif berupa desain pre dan post test.
Pelaksanaan dan desain penelitian dari Gambar 3.2, memperlihatkan 3 perangkat utama:
Daerah A, berintikan komponen Teks Dasar, merupakan materi dasar penelitan yang ahirnya menghasilkan Struktur Global setelah terlebih mengalami Penghalusan, Generalisasi, dan Konstrukis, untuk memisahkan teks pengetahuan menjadi proposisi Mikor, dan Makro.Bersama-sama dengan Teks dan File Pendukung, Struktur Global ini merupakan masukan untuk Pembelajaran Hiperteks.
Daerah B, berintikan Studi Pendahuluan yang hasilnya menjadi masukan penting untuk merevisi Pembelajaran Hipertteks (C). Jadi hiperteks yang digunakan sudah memenuhi kriteria realibilitas. Pembelajaran Hiperteks dirancang berdasarkan Argumentasi Toulmin dan Skema Pemecahan Masalah.
.Daerah C yang diwakili oleh Pembelajaran Hiperteks merupakan komponen inti penelitian yang akan memperkirakan kemampuan hiperteks ini untuk meningkatkan pemahaman mahasiswa, hasil belajar, dan kemampuan memecahkan masalah ill-structured
(32)
Daerah D merupakan komponen penelitian kuantitatif dengan desain pre-pos tes. Dengan tujuan untuk mengukuhkan kemampuan hiperteks meningkat pemahaman dan ketrampilan menyelesaikan soal-soal ill-structured.
Daerah E merupakan komponen penelitian kualitatif untuk mengungkapkan secara lebih rinci proses penyelesaian soal-soal fisika ioleh mahasiswa dengan melihat bagaimana argumentasi toulmin diguanakan untuk mengkonstruksi pengetahuan.
(33)
Gambar 3.2 Paradigma Penelitian Berdasarkan Pendekatan Kuantitaitf dan Pendekatan Kualitatif
2. Deskripsi Penelitian .
Dengan mengacu pada areat-area di atas, Gambar 3.2. dapat dideskirpsikan secara bebas menurut letak komponen-komponen penelitian dimulai dari paling atas hingga yang paling bawah.
(34)
Pekerjaan menganalisis dimulai dengan penurunan proposisi makro dan mikro dari dari teks dasar untuk topik Kinematika yang diambil dari buku teks Fundamental of Physics Halliday & Resnick. Seluruh proposisi makro dan mikro yang dihasilkan dipetakan kedalam struktur makro dengan menjaga hubungan hirarkinya. Struktur makro sebagai dasar navigasi logis program pembelajaran media hiperteks, dan tautan yang berdasarkan proposisi-proposisi yang jelas aturan argumentatif Toulmin. Analisis berdasarkan tinjauan pustaka tentang pedagogi materi subjek (PMS). Penurunan teks dasar menjadi proposisi yang diwujudkan melalui aturan makro yaitu penghapusan, generalisasi, dan konstruksi.
Selanjutnya adalah mengkaji isi silabus mata kuliah Fisika Dasar, hand out dan buku teks mata kuliah Fisika Dasar pada kurikulum program studi pendidikan fisika di LPTK/FMIPA salah satu perguruan tinggi yang ada di Medan. Tujuan kajian ini untuk mempelajari bagaimana hakikat dan tujuan perkuliahan Fisika Dasar, Berdasarkan kajian tersebut dikembangkan program pembelajaran media hiperteks yang memuat aktivitas dan tugas-tugas pembelajaran sebagaimana layaknya program pembelajaran. Tugas-tugas tersebut berupa: pengamatan simulasi interaktif, pemecahan masalah dan kemampuan argumentasi Toulmin yang dkembangkan berfdasarkan studi pendahuluan di lapangan.
Penekanan tindakan pedagogi pada bagian-bagain tautan proposisi teks yang terdapat dalam program disesuaikan berdasarkan hasil observasi mengajar
(35)
dosen pada studi pendahuluan. Dengan demikian pengembangan program ini membantu mahasiswa memahami tindakan pedagogi yang sesuai dengan proposisi teks.
Kemampuan yang diukur sebelum implementasi adalah pemahaman konsep dan pemecahan masalah. Sedangkan kemampuan yang diukur setelah implementasi adalah: pemahaman konsep, pemecahan masalah, berpikir logik, dan kemampuan argumentasi dalam memecahkan masalah secara kelompok. Pentingnya pemahaman konsep, kemampuan argumentatif dan kemampuan pemecahan masalah yang dibutuhkan calon guru fisika sehingga mampu mengasah keterampilan mereka menjadi guru yang professional. Kemampuan berpikir logik bukan sebagai dasar pengembangan media hiperteks, sehingga tidak ada tugas-tugas atau perlakuan secara langsung dalam tugas-tugas atau aktivitas berpikir logik. Tetapi kemampuan berpikir logik perlu diperhitungkan sebagai variabel iringan bersama-sama dengan program hiperteks mampu meningkatkan pemahaman konsep dan pemecahan masalah. Secara jelas dapat dilihat dalam analisa kovariat, kemampuan berpikir logik sebagai variabel kovariat untuk melihat pengaruh media hiperteks terhadap pemahaman konsep.
B. Metode-metoda Penelitian
Metode-metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah gabungan metode kualitatif dan metode kuantitatif (mixed methods). Dalam hal ini, digunakan data kualitatif untuk mengembangkan media hiperteks dalam
(36)
pembelajaran kinematika, dan selanjutnya diimplementasikan. Metode kualitatif dalam penelitian ini digunakan sebelum metode kuantitatif. Selain itu metode kualitatif juga digunakan untuk menganalis kemampuan argumentasi dalam pemecahan masalah melalui analisis PMS. Studi ini juga menggunakan metode kuantitatif yang digunakan untuk mengukur pemahaman konsep, kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan berpikir logik. Selanjutnya, pengujian efektifitas media hiperteks dilakukan dengan desain pretes-postes.
Sumber data diperoleh dari hasil rekaman PBM yang disusun dalam bentuk transkrip dan teks kinematika dari buku teks. Transkrip diubah menjadi teks dasar melalui penghalusan yang merupakan hasil penurunan proposisi yang disusun suatu representasi teks berupa struktur makro dan struktur global dari teks dan ditentukan tindakan pedagogi, menjadi sumber data bagi suatu pengembangan model representase eksplanasi.
Subjek penelitian adalah buku teks Fundamental of Physics yang ditulis oleh David Halliday, Robert Resnick, & Jearl Walker dan dosen yang mengajar Fisika Dasar khususnya pada topik kinematika. Gejala-gejala pembelajaran yang dikendalikan oleh logika-internal penting diperhatikan. Dalam pandangan wacana, sifat interaksi kelas merupakan wacana verbal dalam menunjukkan implikasi metodologi dalam penelitian ini. Metode utama yang digunakan dalam perancangan dan pengembangan program pembelajaran media hiperteks adalah metode observasi dan interview. Gejala pembelajaran dapat dilihat dalam kegiatan berikut: (a) analisis buku teks (melihat kelayakan hirarki materi dengan proposisi makro bermuatan struktur argumen Toulmin), (b) analisis pembelajaran dosen
(37)
(mempertimbangkan tindakan pedagogi sebagai dasar pengembangan media hiperteks), dan (c) analisis silabus Fisika Dasar (sasaran capaian sebagai dasar mempertimbangkan muatan materi kinematik dalam program pembelajaran yang dikembangkan). Tahapan pengembangan program pembelajaran media hiperteks ditunjukkan pada Gambar 3.3.
Gambar 3.3 Tahapan-tahapan Pelaksanaan Pengembangan Pembelajaran
Analisis buku Teks
Analisis pembelajaran dosen
Analisis silabus Fisika Dasar
Studi pendahuluan: Observasi PBM dengan cara merekam dan mengamati, dan melakukan
wawancara kepada dosen dan mahasiswa
Analisis Data Rekaman dan Pengamatan
Mengembangkan Media hiperteks pembelajaran berdasarkan analisis buku teks dan analisis transkrip
pembelajaran di kelas
Mengimplementasikan Media hiperteks pembelajaran berdasarkan analisis buku teks dan analisis transkrip pembelajaran di
(38)
C. Desain
Disain penelitian kuantitati yang digunakan adalah one group pre-test dan post-test, yaitu penelitian eksperimen yang dilakukan hanya pada satu grup saja dan tidak dilakukan tes kestabilan dan kejelasan keadaan kelompok sebelum diberikan perlakuan (Fraenkel & Wallen, 2003). Disain ini digunakan agar peneliti dapat memahami perbedaan yang terjadi pada setiap pengukuran yang ada. Ada pun dua pengukuran yang terjadi pada penelitian ini, yang pertama pada saat sebelum diberikan perlakuan atau pre-test dan yang terakhir pada saat sesudah diberikan perlakuan atau post-test. Peneliti sengaja tidak menggunakan kelompok pembanding atau kontrol, karena setiap mahasiswa/i memiliki latar belakang yang berbeda-beda, sehingga akan menghasilkan tingkat pemahaman yang berbeda-beda pula (Fraenkel & Wallen, 2003).
Untuk metode kualitatif, peneliti memfokuskan desain analisis buku teks termasuk dokumen-dokumen pembelajaran sampai pada pengembangan hiperteks. Tradisi penelitian kualitatif memiliki tipe yang banyak, namun Creswell (2003) dalam buku yang dilaporkan menggolongkannya menjadi lima tradisi. Ada sebagian penulis mengklasifikasikan tradisi kualitatif, namun sebagian yang lainnya hanya menyebutkan tradisi yang menjadi favorit mereka. Dalam kaitan ini, tidak kalah juga pentingnya mencermati perspektif tentang pandangan-pandangan filosofis, teoretis, dan ideologis. Esensi dari suatu studi kualitatif yang baik terdiri atas tiga siklus yang saling berhubungan, yaitu tradisi inkuiri, prosedur-prosedur disain penelitian, dan kerangka-kerangka dan asumsi-asumsi
(39)
filosofis dan teoretis. Sifat saling mempengaruhi diantara ketiga faktor ini tentu saja memberikan kontribusi yang membuat suatu studi kualitatif menjadi kompleks dan harus dilakukan dengan prosedur yang ketat. Gambaran visual pelaksanaan penelitian kualitatif ditunjukkan Gambar 3.4.
Gambar 3.4 Gambaran Visual Pelaksanaan Penelitian Kualitatif (Creswell, 2003). Dari uraian-uraian di atas, akhirnya dapat disimpulkan bahwa para peneliti kualitatif dituntut untuk menyadari prosedur-prosedur penelitian kualitatif dan perbedaan-perbedaan dalam tradisi inkuiri kualitatif. Paling sedikit ada dua track yang paralel dalam suatu studi kualitatif, yakni konten substantif studi dan metodologi. Seiring dengan semakin meningkatnya minat terhadap penelitian kualitatif, maka penting dicermati agar studi-studi kualitatif dilakukan sesuai dengan prosedur-prosedur yang biasa dikembangkan dalam tradisi-tradisi inkuiri.
Asumsi-asumsi Kerangka
Tradisi-tradisi
Disain Penelitian Rancangan
Studi Kualitatif
(40)
Untuk implementasi hiperteks dalam pembelajaran konsep kinematika tersebut berikut bagan one group pre-test post-test di bawah ini:
O1 X O2
O1: tes awal sebelum diberikan perlakuan X : perlakuan diberikan
O2: tes terakhir setelah diberikan perlakuan
Tes awal atau pre-test yang diberikan berupa instrumen tes berbentuk pilihan ganda untuk melihat kemampuan pemahaman konsep dan essay untuk melihat kemampuan pemecahan masalah mahasiswa calon guru fisika sebelum diberi perlakuan. Tes akhir atau post-test yang diberikan berupa tes keterampilan argumentasi yang berbentuk wacana, tes kemampuan berpikir logis, instrumen tes berbentuk pilihan ganda untuk melihat kemampuan pemahaman konsep dan essay untuk melihat kemampuan pemecahan masalah mahasiswa calon guru fisika setelah diberi perlakuan.
Dalam analisis data, khususnya untuk analisis “gain” atau perubahan sebagai akibat dilakukannya perlakukan–penggunaan media hiperteks dalam pembelajaran kinematika, maka skor pretes setiap individu pembelajar dibandingkan dengan skor postes. Selanjutnya dilakukan analisis statistik untuk mengetahui sejauh mana signifikansi perbedaannya dalam perubahan perilaku pembelajar, yakni prestasi berupa kemampuannya memahami skills berpikir tingkat tinggi dalam pelajaran konsep kinematika.
(41)
D. Lokasi Penelitian
Studi pendahuluan dilaksanakan pada sebuah LPTK di Bandung dan di Medan. Selanjutnya untuk pelaksanaan implementasi pembelajaran dilakukan pada sebuah LPTK di Medan.
E. Subyek Penelitian
Subyek penelitian untuk observasi PBM keperluan studi pendahuluan adalah dua orang dosen Fisika disalah satu LPTK di Bandung dan di Medan. Subyek penelitian untuk data eksplorasi PBM adalah dosen yang mengajar topik kinematik, memberikan gambaran fungsi representasi pengajaran. Subyek penelitian untuk implementasi adalah mahasiswa calon guru pendidikan fisika di salah satu LPTK di Medan sebanyak 36 mahasiswa yang terdiri dari 10 mahasiswa laki-laki dan 26 mahasiswa perempuan pada mata kuliah Fisika Dasar. Subjek penelitian dipilih berdasarkan hasil observasi yang menunjukkan bahwa PBM pada salah satu LPTK di Medan pada umumnya didominasi dosen-dosen, pembelajaran kurang mendorong mahasiswa untuk mengembangkan pemikirannya dalam bereksperimen dan menemukan hal-hal yang baru. Teknik pengambilan sampel tidak secara acak tetapi teknik purposive sampling, dengan memperhitungkan pertimbangan tertentu dan sudah menargetkan sekelompok orang untuk menjadi sampel. Teknik sampling ini pun tentunya telah memertimbangkan kriteria-kriteria tertentu yang telah dibuat agar sesuai dengan tujuan penelitian (Meltzer, 2002)
(42)
F. Instrumen Penelitian
Dalam bagian ini menjelaskan instrumen penelitian, yaitu (1) instrumen dan pengembangannya, dan (2) validasi program pembelajaran media hiperteks. 1. Instrumen Penelitian dan Pengembangannya
Sebagai alat pengumpul data, instrumen dalam penelitian ini terdiri dari dua bagian yaitu intrumen tes dan instrumen non-tes. Instrumen tes berupa tes berbentuk uraian dan tes pilihan ganda. Tes berbentuk uraian adalah untuk mengukur kemampuan mahasiswa dalam pemecahan masalah sekaligus kemampuan argumentasi Toulmin. Tes berbentuk pilihan ganda adalah pemahaman konsep. Instrumen non-tes adalah lembaran observasi aktivitas pembelajaran P4MAH dan lembaran angket tertutup untuk mengukur tanggapan mahasiswa terhadap implementasi P4MAH.
Dalam menyusun dan mengembangkan instrumen, langkah awal yang dilakukan adalah membuat kisi-kisi lalu kemudian mengkonstruksi instrumen. Untuk memeriksa validitas isi dilakukan sebelum dilaksanakan ujicoba instrumen. Dalam hal ini peneliti melibatkan pihak yang berkompeten untuk memeriksa validitasnya yakni pembimbing dan pakar pendidikan fisika. Setelah instrumen selesai divalidasi, selanjutnya dilakukan ujicoba.
1.a.Tes Pemahaman Konsep
Instrumen tes pemahaman konsep digunakan untuk mengukur peningkatan pemahaman mahasiswa sebelum dan sesudah pembelajaran berdasarkan hiperteks melalui pendekatan pedagogi pemecahan masalah berbasiskan argumentasi.
(43)
Instrumen tes terdiri dari 31 soal berbentuk pilihan ganda untuk pemahaman konsep mencakup ranah kognitif yang terdiri atas aspek-aspek: menafsirkan, mencontohkan, mengklasifikasi, meringkas, menyimpulkan, membandingkan, dan menjelaskan. Tes ini dapat mengukur pemahaman menginterpretasi grafik sebagai out put program, yang merupakan keresahan yang terjaring dalam studi pendahuluan sebagai dasar pengembangan program. Tes pemahaman konsep ini dapat dilihat dalam Lampiran 2. Instrumen tes tertulis ini berbentuk tes objektif (pilihan ganda) mengenai konsep kinematika. Untuk memperoleh data hasil tes yang dipercaya, diperlukan tes yang mempunyai validitas, reliabilitas dan analisis lain yang dapat dipercaya. Uji coba dilakukan untuk mengecek keterbacaan soal dan untuk mengetahui derajat validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran dan daya pembeda instrumen. Kriteria yang mendasar dari suatu tes yang tangguh adalah tes mengukur hasil-hasil yang konsisten sesuai dengan tujuan dari tes itu sendiri. Uji validasi yang dilakukan adalah validasi empiris, karena ujicoba dilaksanakan satu kali (single test) maka validasi instrumen tes dilakukan dengan menghitung korelasi antara skor item dengan skor total butir tes dengan menggunakan rumus Koefisien Korelasi Pearson:
(Matlock-Hetzel, 1997)
Keterangan : = koefisien korelasi antara variabel X dan Y = jumlah peserta tes
= skor item tes = skor total
(44)
Penafsiran terhadap besarnya koefisien korelasi skor tiap item dengan skor total dilakukan dengan membandingkan nilai dengan nilai kritis . Kategori validitas butir soal ditunjukkan oleh Tabel 3.1 dan derajat keandalan Tabel 3.2.
Tabel 3.1. Kategori Validitas Butir Soal (Matlock- Hetzel, 1997)
Batasan Kategori
0,90 < rxy 1,00 Sangat tinggi (sangat baik) 0,70 < rxy 0,80 Tinggi (baik)
0,50 < rxy 0,60 Cukup (sedang) 0,30 < rxy 0,40 Rendah (kurang)
0,00 < rxy 0,20 Sangat rendah (sangat kurang)
Reliabilitas suatu instrumen ialah keajegan atau kekonsistenan instrumen tersebut. Suatu tes yang reliabel bila diberikan pada subjek yang sama meskipun oleh orang yang berbeda dan pada waktu yang berbeda pula, maka akan memberikan hasil yang sama atau relatif sama. Keandalan suatu tes dinyatakan sebagai derajat suatu tes dan skornya dipengaruhi faktor yang non-sistematik. Makin sedikit faktor yang non-sistematik, makin tinggi keandalannya.
Derajat reliabilitas instrumen ini ditentukan dengan menggunakan rumus Cronbach-Alpha:
(45)
dan
Keterangan: = koefisien reliabilitas tes = banyaknya butir soal
= jumlah varians skor tiap butir soal = varians skor total
Xi = skor tiap butir soal, dengan i = 1, 2,……..17
Yi = jumlah skor tiap butir soal, dengan i = 1, 2, …..17 N = jumlah sampel = 17 mahasiswa
Tabel 32. Kriteria Derajat Keandalan
Nilai Derajat Keandalan
Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi
(46)
Tingkat kemudahan adalah bilangan yang menunjukkan sukar atau mudahnya suatu soal. Tingkat kemudahan digunakan untuk mengklasifikasikan setiap butir instrumen tes ke dalam tiga kelompok tingkat kemudahan untuk mengetahui apakah sebuah instrumen tergolong mudah, sedang atau sukar. Besarnya indeks kesukaran berkisar antara 0,00 sampai 1,00. Rumus yang digunakan untuk menentukan tingkat kemudahan dapat ditentukan dengan persamaan:
(Matlock & Hetzel, 1997) Keterangan: P = indeks kemudahan
B = jumlah skor yang diperoleh seluruh siswa pada satu butir soal JS = jumlah skor ideal/maksimum pada butir soal
Kategori tingkat kemudahan soal ditunjukkan pada Tabel 3.3 Tabel 3.3. Kategori Tingkat Kemudahan
Batasan Kategori
Soal Sukar Soal Sedang Soal Mudah
Daya pembeda adalah kemampuan butir soal untuk membedakan antara siswa yang berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan rendah. Angka yang menunjukkan besarnya daya pembeda disebut indeks diskriminasi (DP). Untuk menentukan indeks diskriminasi soal pilihan ganda digunakan persamaan:
(47)
DP = - = PA - PB (Matlock - Hetzel, 1997) Keterangan: J = jumlah peserta tes
JA = JB = 1/3 J
BA = Jumlah kelompok atas yang menjawab benar BB = Jumlah kelompok bawah yang menjawab benar PA = proporsi kelompok atas yang menjawab benar PB = proporsi kelompok bawah yang menjawab benar DP = indeks diskriminasi
Kategori daya pembeda ditunjukkan pada Tabel 3.4. Tabel 3.4. Kategori Daya Pembeda
Batasan Kategori
0,70 DP Sangat baik
0,40 Baik
0,20 Cukup
DP 0,20 Jelek
1.b. Tes Kemampuan Pemecahan Masalah dan Kemampuan Argumentasi Instrumen tes kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan argumentasi pola Toulmin dikembangkan dari materi atau bahan ajar pada topik kinematika. Tes kemampuan pemecahan masalah digunakan untuk mengukur kemampuan mahasiswa dalam memecahkan masalah dengan mengikuti langkah-langkah dan merupakan indicator instrumen ini, yang meliputi: (a) kemampuan
(48)
memahami masalah, (b) kemampuan interpretasi fisis dari masalah, (c) kemampuan menyusun dan merencanakan strategi pemecahan, (d) melaksanakan perencanaan pemecahan masalah, dan (e) mengevaluasi hasil pemecahan. Strategi pemecahan masalah secara pedagogi menerapkan informasi yang diberikan terhadap hukum dasar untuk menemukan informasi yang ditanyakan. Langkah ini menunjukkan bekerja dengan langkah maju (forward working).
Tes pemecahan masalah ada dua soal berbentuk essay, yaitu: (1) mobil dengan lampu rem dan (2) lompatan pemeran pengganti. Tes pemecahan masalah ditunjukkan dalam Lampiran 3. Hasil uji coba tes ini ditunjukkan Lampiran 7. Untuk menentukan skor jawaban mahasiswa, peneliti menetapkan suatu pedoman pensekoran tes pemecahan masalah dan kemampuan argumentasi Toulmin. Pedoman ini dibuat agar ada keseragaman dalam memberi skor terhadap setiap jawaban mahasiswa. Pedoman pensekoran tes kemampuan pemecahan masalah kinematika dan kemampuan argumentasi Toulmin disajikan pada Tabel 3.5. Pedoman ini diadaptasi dari pedoman pensekoran pemecahan masalah yang dibuat oleh Heller (2010) dan pedoman pensekoran yang dibuat oleh Chicago Public Schools Bureau of Student Assessment sebagai berikut:
(49)
Tabel 3.5 Pedoman Skoring Pemecahan Masalah dan keterampilan argumentasi ASPEK PEMECAHAN MASALAH DAN KOMPONEN
ARGUMENTASI Skor Fokus
Masalah Penjelasan Fisika Perencanaan Pemecahan Pelaksanaan Perencanaan Evaluasi Atau Cek
Data (Warrant) (Backing) (Klaim)
0
Tidak ada gambaran dan label informasi informasi dari permasala han yang ditampilka n.
Tidak ada deskripsi fisika sama sekali. Perencanaan pemecahan dengan menetapkan hukum,
aturan, definisi sebagai alternatif penyelesaian tidak ada. Pelaksanaan perencanaan tidak ada Evaluasi tidak ada sama sekali
1
Gambaran dan label informasi yang ditampilka n tidak memadai Deskripsi fisika hampir tidak ada. Perencanaan pemecahan dengan menetapkan hukum,
aturan, definisi sebagai
alternatif penyelesaian hamper tidak ada Pelaksanaan tidak mengikuti rencana Evaluasi hasil tidak akurat 2 Hanya sebagian kecil tampilan Gambaran dan label informasi yang memadai Hanya sebagian kecil deskripsi fisika yang lengkap. Perencanaan pemecahan dengan menetapkan hukum,
aturan, definisi sebagai
alternatif penyelesaian tidak dimulai dengan persamaan umum Pelaksanaan tidak sepenuhnya mengikuti rencana, tetapi banyak kesalahan tertentu. Misalnya tidak mengikuti aturan-aturan yang direncanakan. Evaluasi hasil tidak memadai
(50)
ASPEK PEMECAHAN MASALAH DAN KOMPONEN ARGUMENTASI
Skor Fokus Masalah Penjelasan Fisika Perencanaan Pemecahan Pelaksanaan Perencanaan Evaluasi Atau Cek
Data (Warrant) (Backing) (Klaim)
3
Sebagian besar Gambaran dan label informasi kondisi permasala han sudah memadai Deskripsi fisika tidak menyertak an spesifikasi variabel sasaran. Pelaksanaan sudah mengikuti rencana, ada beberapa kesalahan tertentu.
Evaluasi hasil sudah memadai, tetapi ada beberapa factor tidak diperhatika n. 4 Tampilan gambaran dan label informasi ada beberapa yang tidak lengkap tetapi sudah memuaska n Deskripsi fisika lengkap tetapi ada kelalaian kecil. Perencanaan pemecahan dengan menetapkan hukum,
aturan, definisi sebagai
alternatif penyelesaian selesai, tetapi ada kesalahan
Pelaksanaan sudah sepenuhnya mengikuti rencana, tetapi masih ada beberapa kesalahan kecil tertentu. Evaluasi hasil sudah lengkap, tetapi ada satu faktor tidak diperhatika n. Misalnya tanda, satuan, atau besar. Skor maksimal = 4 Skor maksimal = 4
Skor maks = 4 Skor maksimal = 4
Skor maks= 4
Antara indikator pemecahan masalah dengan argumentasi Toulmin ada kesamaan karena prinsip yang sama. Misalnya komponen data pada argumentasi Toumin merupakan fokus masalah dan penjelasan fisis dalam pemecahan masalah, dan seterusnya.
Ujicoba tes pemahaman konsep dan tes pemecahan masalah mengikuti pedoman penskoran, validitas, reliabilitas, tingkat kemudahan dan daya pembeda.
(51)
Ujicoba tes dilakukan pada mahasiswa Pendidikan Fisika Tahun kedua di salah satu LPTK di Medan sejumlah 17 orang. Ujicoba instrumen tes pemahaman konsep dan tes kemampuan pemecahan masalah dilakukan agar tes yang digunakan dapat mengukur variabel penelitian. Setelah diujicoba, instrumen tes pemahaman konsep yang digunakan sejumlah 31 item dalam bentuk pilihan ganda. Instrumen tes kemampuan pemecahan masalah sejumlah 2 item dalam bentuk essay. Hasil analisis uji coba instrumen tes pemahaman konsep dan pemecahan masalah ditunjukkan pada Lampiran 11. Rekapitulasi uji coba tes dinyatakan dalam jumlah item berdasarkan taraf kemudahan, daya beda, validitas ditunjukkan pada Tabel 3.6.
Tabel 3.6. Rekapitulasi uji coba tes
No Jenis Tes
Taraf Kemudahan Daya Beda
Valid S u k ar S ed an g M u d ah S an gat b aik B aik Cuk u p Je lek
1. Pemahaman
Konsep 4 20 7 7 7 17 0 31
2. Kemampuan pemecahan masalah
0 2 0 0 2 0 0 2
Berdasarkan hasil uji coba tes pemahaman konsep dan kemampuan pemecahan maslah di atas, tes termasuk dalam kategori baik. Dari penilaian tersebut instrumen tes pada pemahaman konsep dinyatakan valid dan layak digunakan dalam penelitian ini sebanyak 31 butir dan instrumen tes pada kemampuan pemecahan masalah dinyatakan valid dan layak digunakan sebanyak 2 butir.
(52)
1.c. Lembaran Observasi Aktivitas Pembelajaran P4MAH
Lembar pengamatan ini digunakan untuk menilai kualitas keterlaksanaan aktivitas pembelajaran P4MAH. Kegiatan perkuliahan meliputi kegiatan pendahuluan (penyampaian petunjuk penggunaan media hiperteks dan penyampaian tujuan pembelajaran), kegiatan inti (mengorientasikan mahasiswa pada masalah, mempelajari konsep-konsep fisika berbasis problem solving dengan bantuan media hiperteks), mengorganisasikan mahasiswa untuk belajar, membimbing mahasiswa dalam penyelidikan individual dan kelompok, dan mengembangkan dan menyajikan hasil penyelidikan), dan penutup (memberikan penguatan konsep yang perlu penekanan dan merangkum dan penugasan terstruktur). Dalam melakukan penilaian, pengamat dipandu dengan menggunakan kriteria penilaian. Reliabilitas instrumen lembar pengamatan aktivitas pembelajaran dicari dengan menggunakan interobserver agreement, dengan persamaan (Grinnel, 1988)
% 100 ) ( ) ( ) ( ) ( A Agreements D nt Disagreeme A Agreements R agreement of percentage
Instrumen pengamatan menggunakan kriteria reliabilitas Borich (dalam Widodo, 2010), yakni instrumen lembar pengamatan dikatakan reliabel jika R≥ 0,75, Lembaran observasi dapat dilihat dalam Lampiran 7.
1,d, Lembar Pengamatan Aktivitas Pembelajaran
Lembar pengamatan ini digunakan untuk mengamati aktivitas mahasiswa dalam pelaksanaan program media hiperteks. Dalam instrumen ini, pengamat
(53)
mengobservasi beberapa mahasiswa secara acak dengan interval waktu 5 menit, selanjutnya pengamat menentukan kegiatan mahasiswa yang paling dominan dalam selang waktu tersebut. Pemilihan selang waktu 5 menit ini dengan pertimbangan setiap aktivitas mahasiswa yang relevan dengan model pembelajaran media hiperteks (P4MAH) dalam rangka pencapaian tujuan meningkatkan pemahaman konsep, pemahaman grafik, non-grafik, dan pemecahan masalah. Instrumen Lembar Pengamatan Aktivitas Pembelajaran dapat dilihat dalam Lampiran 7.
Dua orang pengamat secara independen mengamati mahasiswa yang sama, kemudian mencocokkan perilaku paling dominan untuk setiap interval 5 menit dengan panduan. Agreement ditulis jika hasil perilaku yang dipilih pengamat sama, sebaliknya disagreement ditulis jika hasil perilaku yang dipilih pengamat berbeda. Tabel 3.7. menunjukkan rekapitulasi hasil pengamatan selama ujicoba untuk dua mahasiswa yang diamati.
Tabel 3.7. Rekapitulasi Hasil Ujicoba untuk Menentukan Reliabilitas pengamatan Aktivitas Pembelajaran
Pengamatan I Pengamatan II Total
Maha-siswa Jumlah Agree-ment Jumlah Disagree-ment Maha-siswa Jumlah Agree-ment Jumlah Disagree-ment Agree-ment Disagree-ment
“A” 15 5 “C” 14 3
62 12
“B” 16 4 “D” 17 0
(54)
% 78 , 83 % 100 74 21 % 100 ) ( ) ( ) ( ) ( A Agreements D nt Disagreeme A Agreements R agreement of percentage
Hasil tersebut menunjukkan bahwa harga reliabilitas instrumen Lembar Pengamatan Aktivitas mahasiswa ebesar 83,78%, yang menunjukkan instrumen tersebut reliabel menurut kriteria Borich (dalam Widodo, 2010).
1.e. Angket Tanggapan Mahasiswa
Angket tanggapan mahasiswa digunakan untuk menjaring kecenderungan sikap atau pandangan mahasiswa terhadap setiap pernyataan yang diajukan yang berkaitan dengan pembelajaran fisika dan kegunaannya dalam kehidupan, pembelajaran melalui hiperteks berdasarkan pedagogi pemecahan masalah yang argumentatif. Angket tanggapan mahasiswa mengacu pada fitur-fitur hiperteks, ketrampilan argumentasi dan pemecahan masalah sebagai acuan merumuskan butir-butir pernyataannya.
Agar pernyataan dalam angket ini memenuhi persyaratan yang baik, maka terlebih dahulu meminta pertimbangan pakar pendidikan fisika untuk memvalidasi isi setiap itemnya. Angket yang digunakan terdiri dari 14 pernyataan dengan pernyataan tertutup. Pengolahan tanggapan didahului dengan penentuan skor setiap pilihan jawaban pada setiap pernyataan, selanjutnya ditentukan proporsi frekwensi jawaban mahasiswa. Hasil analisis respon mahasiswa ditunjukkan dalam Lampiran 8.
(55)
2. Validasi Program Pembelajaran Media Hiperteks
Deskripsi pembelajaran, story board dan rancangan teoretik pembelajaran e-learning dikonsultasikan kepada ahli (validator) untuk divalidasi. Pengujian validasi perangkat program hiperteks dan kelengkapan fitur-fiturnya dilakukan oleh tiga orang pakar dalam bidang fisika, pembelajaran fisika dan ahli IT. Skor terentang mulai dari 1 (tidak baik) sampai 4 (sangat baik) dengan menggunakan skala Likert, sehingga skor 4 dianggap sebagai skor ideal. Validasi program hiperteks dilakukan dengan menghitung korelasi antara skor aspek dengan skor total butir aspek dengan menggunakan rumus Koefisien Korelasi Pearson.
Aspek yang diukur dalam validasi program hiperteks adalah: 1. Materi dalam Media Hiperteks, meliputi:
Tingkat kesesuaian materi dengan silabus
Cakupan dan kedalaman materi dalam program hiperteks Urutan dan sistematika materi kinematika
Melatihkan cara pemecahan masalah Materi mudah dipahami
Kebahasaan tulisan
3. Teknis
Kemudahan penavigasian tautan
Keteraturan hubungan antara simpul (nodes) dengan tautan (link) antar
(56)
Kualitas tampilan gambar
Animasi yang ditampilkan dapat diakses dengan baik Simulasi mudah diakses
2. Penyajian, meliputi:
Kemudahan mahasiswa mengakses tugas dan memecahkan masalah
Kemenarikan program berdasarkan tampilan gambar dan warna yang sesuai
Kepuasan mahasiswa menikmati program hiperteks
G. Teknik Pengolahan Data
Pengolahan data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan dua pendekatan, yaitu statistik dan kualitatif. Pengolahan data untuk melihat peningkatan skor tes sesudah dan sebelum pembelajaran menggunakan rumus gain ternormalisasi (N-gain) (Meltzer, 2002) dengan criteria N-gain pada tabel 3.10.
(Meltzer, 2002)
Keterangan:
= skor tes akhir = skor tes awal
(57)
Tabel 3.7. Kategori Tingkat N-gain (Meltzer, 2002)
Batasan Kategori
g > 0,7 Tinggi
0,3 g 0,7 Sedang
g < 0,3 Rendah
Setelah N-gain rata-rata kelompok pretes dan postes diperoleh, maka selanjutnya dibandingkan untuk melihat perbedaan peningkatan pemahaman konsep dan kemampuan pemecahan masalah. Jika rata-rata gain ternormalisasi dari suatu pembelajaran lebih tinggi dari N-gain rata-rata dari pembelajaran lainnya, maka dikatakan pembelajaran tersebut lebih efektif dalam peningkatan pemahaman konsep dan kemampuan pemecahan masalah dibandingkan dengan pembelajaran lain. Untuk pengolahan data statistik, peneliti menggunakan Paired-Sample t test dengan menggunakan SPSS versi-6.
Dalam penelitian ini, uji sampel berpasangan dapat dilakukan untuk melihat perbedaan nilai post test dan pre test pada aspek pemahaman konsep. Rumus yang digunakan untuk mencari nilai t dalam uji-t berpasangan adalah:
(58)
rerata skor postes dan rerata skor postes = Selisih
= standar deviasi
n = jumla sampel = 36 orang
Uji-t berpasangan menggunakan derajat kebebasan n-1, dimana n adalah jumlah sampel.
Hipotesis yang akan diuji dengan menggunakan uji ini adalah: H0 :x-y = 0 (Selisih adalah nol)
Ha :x-y 0 ((Selisih berbeda dari nol)
Kriteria pengujiannya adalah:
Ho diterima jika - t/2 < thitung < t/2 dengan dk = (Nx + Ny -2) dan tingkat kepercayaan = 0,05.
Selain t-test, peneliti juga menggunakan teknik statistik analysis of covariate (ANCOVA). Teknik ini digunakan untuk melihat seberapa besar pengaruh variabel tertentu terhadap variabel terikat, setelah mengontrol satu atau beberapa covariat yang ada.
(1)
Kelly, G. (2008). “Inquiry, Activity and Epistemic Practice”, dalam R. A. Duschl.,& R. E. Grandy (Eds.), Teaching Scientific Inquiry: Recommendations for Research and Implementation, 99-117. Rotterdam: Sense Publishers
Kolbs, D. (1995). Socrates in the Labyrinth: Hypertext, Argument, Philosophy, Eastgate Systems, Cambridge. Tersedia: http://www.acm.com [6 Januari 2012]
Kuhn, D. (2010). “Teaching and Learning Science as Argument”.Science Education, 4(5), 810-824.
Lawson, A.E., Lawson, D. I., Lawson, C. A. (1984). Proportional Reasoning and The Linguistic Abilities Required for Hypothetico-Deductive Reasoning. Journal of Research in Science Teaching, 21 (2), 119–131.
Lawson, A.E. (1995). Science Teaching and the Develpment of Thinking.Belmont, California: Wadsworth Publishing Company.
Lorenzo, M. (2005). “The Development, Implementation, and Evaluation of a
Problem Solving Heuristic”. International Journal of Science and Mathematics Education, 3, 33-58
Magnusson, S., Krajcik , J. & Borko, H. (2002). “Nature, Sources, and Development of PCK for Science Teaching”, dalamJ. Gess-Newsome & N.G. Lederman (Eds), Examining PCK: The Construct and Its Implications for Science Education, 95 - 132. New York: Kluwer Academic Press.
Mallia, G. (2009). “Hypertextual Processing and Institutional Change:Speculations on the Effects of Immersed New Media Users on the Future of Educational Institutions”.The University of the Fraser Valley Research Review2(3), 80- 97.
MacKay, R.S. (2008). Nonlinearity in Complexity Science. Mathematics Institute and Centre for Complexity Science. University of Warwick, Coventry CV4 7AL, U.K.
Maloney, D.P. (1994). “Research on Problem Solving: Physics”, dalam D.L. Gabel (Ed.)Handbook of Research on Science Teaching and Learning,327-354. NewYork: Macmillan.
Manurung, S.R. (2010), Pengembangan Pembelajaran Fisika Dasar untuk meluruskan kesalahan konsep Mahasiswa jurusan Fisika Universitas Negeri Medan. Laporan penelitian didanai P3M Dikti Depdiknas. Tidak dipubikasikan.
(2)
Manurung, S.R., & Rustaman, N.Y. (2011). Laporan Field Study. Tugas Mata Kuliah Pengembangan Program Pedidikan IPA. Tidak dipublikasikan. Martinez, M. E. (1998). “What is Problem Solving?, Phi Delta Kappan, 79,
605-609.
Matlock- Hetzel, S (1997). “Basic Concepts in Item and Test Analysis”. Makalah pada the Annual Meeting of the Southwest Educational Research Association, Austin.
McDermott, L.C., Rosenquist, M.L&., van Zee, E.H. (1987). “Student Difficulties in Connecting Graphs and Physics: Examples from Kinematics”. American Journal of Physics, 55 (6), 503 513
McDermott, L.C. (1990). “A Perspective on Teacher Preparation in Physics and
Other Science: The Need for Special Science Course for Teachers”.
American Journal of Physics.58 (8), 734-742
McCloskey, M., Caramazza, A., & Green, B. (1980). “Curvilinear Motion in the Absence of External Forces: Naive Beliefs About the Motion of Objects”. Science, 210(4474), 1139-1141
Meltzer, D. E. (2002). “ The Relationship between Mathematics Preparation and
Conceptual Learning Gain in Physics: „ hidden variable‟ in Diagnostic
Pretest Scores”.American Journal Physics. 70(12), 1259 -1267.
Meskill, C. (1996). Computers, Creativity and Communivative Competence: An Association Machine. Computer Assisted Language Learning, 9(2-3), 115 – 123
Nelson, T.H. (1987) Literary Machines.N.p.: Theodore Nelson.
Newmann, S. E. & Marshal, C. C. (1998). Pushing Toulmin Too Far: Learning from an Argument RepresentationScheme. Tersedia: http://www.csdl.tamu.edu/~marshall/toulmin.pdf [5 April2012].
Nguyen, T-H.(2002). Hypertext Structure and Student’s Learning StrategiesTersedia: http//:www. acm.com. [5 April 2010].
National Research Council. (1996). National Science Education Standards. Washington DC: National Academic Press.
OECD, PISA 2006.Tersedia:
http://www.aapt.org/Conferences/newfaculty/upload/Coop-Problem-Solving-Book-2.pdf. [ 10 Maret 2010]
(3)
Piaget, J. (1964) The Development of Thought: The Equilibrtion of cognitive Structures, New York: Viking
Reif, F., Larkin, H., Brackett, C. (1976). “Teaching general learning and problem
-solving skills”. American Journal of Physics,44, 212-217.
Rollnick, M., Bennett, J., Rhemtula, M., Dharsey, N., & Ndlovu. T (2008)
“ThePlace of Subject Matter Knowledge in Pedagogical Content Knowledge: A Case Study of South African Teachers Teaching the Amount of Substance and Chemical Equilibrium”. International Journal of Science Education 30(10), 1365–1387
Sadler, T.D.,& Zeidler, D.L. (2005). “Patterns of Informal Reasoning in the Context of Socioscientific Decision- Making”.Journal of Research in Science Education, 42 , 112-138.
Santyasa, I. W. (2006). Pengembangan Pemahaman Konsep dan Kemampuan Pemecahan Masalah Fisika bagi Siswa SMA dengan Pemberdayaan Model Perubahan Konseptual Berseting Investigasi Kelompok.
Sampson, V., & Clark, D. (2008). “Assessment of the Ways Students Generate Arguments in Science Education: Current Perspectives and Recommendations for Future Directions”. Science Education, 92(3), 447-472.
Sanders, L.R., Borko, H., & Lockard, J.D. (1993). “Secondary Science Teachers‟ Knowledge Base when Teaching Science Courses in and Out of Their Area of Certification”. Journal of Research inScience Teaching, 30(7), 723–736.
Schommer – Aikin, M. (2004). “Explaining the Epistemological Belief of System Introducing the Embeded systemic Model and Coordinated Research Approach”. Educational Psychologist, 39(1).19-28.
Schwab, J. J. (1978). Education and the Structure of the Disciplines dalam I. Westbury & N. Wilkof (Eds.), Science, curriculum, and Liberal Education: Selected Essays, 229-272. Chicago: University of Chicago Press.
Seroto, J.(2012). “Student Teachers‟ Presentations of Science Lessons inSouth African Primary Schools: Ideal and Practice”. International Journal Education of Science, 4(2), 107-115.
Shapiro, A. M. and Niederhauser, D. (2004). “Learning from hypertext: research issues and findings”, dalam D. H. Jonassen (Ed)Handbook of Research
(4)
on Educational Communications and Technology, (2nd ed), 605–620. Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates
Shapiro, A. M., & Niederhauser, D.S. (in press). Learning from Hypertext: Research Issues and Findings, dalam D. Jonassen (Ed.)Handbook of Research for Educational Communications and Technology, (2nd ed), MacMillon
Shulman, L.S. (1986). “Those Who Understand: Knowledge Growth in Teaching. Educational Researcher, 15 (2), 4-14.
Simon, S., Erduran, S., & Osborne, J. (2006). “Learning to Teach Argumentation; Research and Development in the Science Classroom. International Journal of Science Education, 28(2-3), 235-260
Siregar, N., Rustaman, N. Y. & Hidayat, E.M. (1995).Studi Penerapan Pedagogi Materi Subjek dalam Penulisan Buku Teks MIPA untuk Mengembangkan Keterampilan Intelektual Mahasiswa FPMIPA IKIP Bandung.Penelitian IKIP Bandung: Tidak dipublikasikan.
Siregar, N. (1998). Penelitian Kelas: Teori, Metodologi, dan Analisis. Bandung: IKIP Bandung Press
Siregar, N. (2000). Penelitian Kelas dan Penelitian Pendidikan: Suatu Tinjauan Epistemologi. Mimbar Pendidikan
Siregar, N., & Dahar, R.W. (2000). “Pedagogi Materi Subyek: Suatu Upaya untuk Meletakkan Dasar keilmuan dari PBM”. Makalah pada Seminar Staf Dosen FPMIPA UPI.
Siregar, N., Kurnia., & Setiawan, Setiawan, W. (2009) . Pedagogi E-Learning: Antar-Muka Pembaca Sebagai Dasar. Penelitian FPMIPA UPI. Tidak dipublikasikan.
Smith, D. C.,& Neale, D. (1991). “The Construction of Subject Matter Knowledge in Primary Science Teaching”, dalam J. Brophy (Ed.) Advances in Research on Teaching, 2. London: JAI Press.
Smith, J. B., Weiss, S. F., & Ferguson, G. J. (1987). “A Hypertext Writing Environment and Its Cognitive Basis”, dalam Proceedings of Association forComputing Machinery‟s Hypertext.Tersedia: http//:www.acm.com. [10 Mei 2010]
Spillane, J. P. (2000).“A Fifth Grade Teacher‟s Reconstruction of Mathematics and Literacy Teaching: Exploring Interactions among Identity, Learning, and Subject Matter”, Elementary School Journal , 100(4), 273-307.
(5)
Spiro, R., & Jehng, J. (1990). “Cognitive Flexibility and Hypertext: Theory and Technology for The Non-Linear and Multi-Dimensional Traversal of Complex Subject Matter”, dalam Nix,D &Spiro, R. (Eds.), Cognition, Education, Multimedia: Exploring Ideas in High Technology, 163-205. Hillsdale, NJ: Erlbaum.
Spiro, R. J., Feltovich, P. J., Jacobson, M. J., & Coulson, R. L. (1991). “Cognitive Flexibility, Constructivism and Hypertext:Random Access Instruction for Advanced Knowledge Acquisitionin Ill-Structured Domains”. Tersedia: http://phoenix.sce.fct.unl.pt/simposio/Rand_Spiro.htm. [23 April 2012] Tobin, Kenneth G.; Capie, William (1981) The Development and Validation of a
Group Test of Logical Thinking. Educational and Psychological Measurement, 41 (2), 413-423
Toulmin, S. E. (1958). The Uses of Argument.Cambridge: Cambridge University Press.
Van Dijk,T. & Kintsch,M. (1984). Strategis of Discourse Comprehension.New York: Academic Press
Van Driel, J. H.,& Verloop, N. (2002). “Experienced Teachers Knowledge of Teaching and Learning of Models and Modelling in Science Education”. International Journal of Science Education, 24, 1255-1272.
Walton, D., & Reed, C. (2005). “Argumentation Schemes and Enthymemes”, Synthese: An International Journal for Epistemology, Methodology and Philosophy of Science, 145: 339-370.
Wenning, C. J. & Wenning, R. E. (2006). “A generic model for inquiry-oriented lab inpostsecondary introductory physics”. Journal of Physics Teacher Education Online.3(3). 24-33. Available at: http://www.phy.ilstu. edu/jpteo Whitaker, R. J. (1983). “Aristotle is not dead: Student Understanding of
Trajectory Motion”. American Journal of Physics, 51(4), 352-357.
Widodo, W. (2010). Pengembangan Model Pembelajaran ‘MiKiR” pada Perkuliahan Fisika Dasar untuk Meningkatkan Keterampilan Generik Sains dan Pemecahan Mahasiswa Calon Guru SMK Program Keahlian Tata Boga. Disertasi pada SPs UPI. Tidak dipublikasikan.
(6)
Zohar, A.,& Nemet, F. (2002). “Fostering Students‟ Knowledge and Argumentation Skills through Dilemmas in Human Genetics”.Journal of Research in Science Teaching, 25, 689–725.