Model Pengembangan Budaya Demokrasi Konstitusional Melalui Pendidikan Kewarganegaraan Dalam Perspektif Pendidikan Demokrasi Berbasis Sekolah : Studi Kasus Di SMA Terpadu Krida Nusantara Kota Bandung.

(1)

ii DAFTAR ISI

PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

UCAPAN TERIMA KASIH ... vii

ABSTRAK ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR BAGAN ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian ... 1

B. Rumusan Masalah... 13

C. Definisi Konsep ... 14

D. Tujuan Penelitian ... 15

E. Manfaat Penelitian ... 16

F. Metode Penelitian ... 17

G. Unit Penelitian dan Sumber Data ... 22

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Paradigma Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) 1. Konsep Dasar Pendidikan Kewarganegaraan ... 24

2. Paradigma Pendidikan Kewarganegaraan Baru (New Civic Education Paradigm) ... 29


(2)

iii

3. Visi, Misi, Fungsi dan Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan 33 B. Paradigma Pendidikan Demokrasi

1. Konsep dan Hakikat Pendidikan Demokrasi ... 38

2. Visi, Misi, Strategi, dan Model Pendidikan Demokrasi ... 40

3. Pendidikan Demokrasi Berbasis Sekolah (School-Based Democracy Education) ... 43

4. Civic Culture dalam Pendidikan Demokrasi ... 46

C. Budaya Demokrasi Konstitusional dan Masyarakat Madani 1. Makna Budaya ... 49

2. Sinergi Budaya dan Pendidikan ... 53

3. Hakikat Nilai Demokrasi ... 55

4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Demokrasi ... 58

5. Unsur Utama Penopang Tegaknya Demokrasi ... 60

6. Konsepsi Demokrasi Konstitusional ... 63

7. Pilar-Pilar Demokrasi Konstitusional ... 65

8. Urgensi Membangun Budaya Demokrasi Konstitusional Menuju Masyarakat Madani di Indonesia ... 69

D. Membangun Budaya Demokrasi Konstitusional Di Sekolah 1. Materi Pembelajaran Demokrasi dan Konstitusi Di Sekolah . 75 2. Membangun Sekolah Sebagai Laboratorium Demokrasi ... 77

3. Kajian Penelitian Terdahulu ... 79

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan, Metode, dan Teknik Pengumpul Data ... 83


(3)

iv

1. Pendekatan Penelitian ... 83

2. Metode Penelitian ... 84

3. Teknik Pengumpul Data ... 86

B. Unit Penelitian dan Sumber Data 1. Unit Penelitian ... 90

2. Sumber Data ... 91

C. Teknik Analisis Data ... 92

D. Kriteria Keabsahan Data ... 94

E. Tahap-Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 95

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Umum SMAT Krida Nusantara Bandung 1. Sistem Pendidikan Terpadu Sekolah ... 98

2. Visi, Misi dan Strategi Sekolah ... 99

3. Peserta Didik dan Tenaga Pendidik ... 100

4. Sarana Pendukung Pendidikan ... 101

5. Program Pendidikan Terpadu Sekolah ... 103

6. Pengorganisasian Personal ... 106

B. Deskripsi Hasil Penelitian ... 108

1. Persepsi Kepala Sekolah, Guru, dan Siswa Terhadap Konsepsi Pendidikan Demokrasi dan Masyarakat Sekolah Demokratis 109 a. Pendidikan demokrasi... 109


(4)

v

2. Implementasi Pembelajaran PKn Dalam Pengembangan Budaya Demokrasi Konstitusional

a. Perencanaan Pembelajaran PKn ... 112 b. Pelaksanaan Pembelajaran PKn... 115 3. Pengembangan budaya sekolah yang berimplikasi pada pengembangan budaya demokrasi konstitusional siswa dalam perspektif ”school-based democratic education” ... 120 4. Kendala dan UpayaPendidikan Demokrasi Melalui Kegiatan

OSIS, Ekstra-Kurikuler dan Asrama

a. Kegiatan OSIS dan Ektra-Kurikuler ... 138 b. Sosio-Kultur Boarding School... 141 C. Pembahasan Hasil Penelitian

1. Persepsi Kepala Sekolah, Guru, dan Siswa Terhadap Konsepsi Pendidikan Demokrasi dan Masyarakat Sekolah Demokratis c. Pendidikan demokrasi... 144 d. Masyarakat Sekolah Demokratis ... 148 2. Implementasi Pembelajaran PKn Dalam Pengembangan Budaya

Demokrasi Konstitusional

c. Perencanaan Pembelajaran PKn ... 155 d. Pelaksanaan Pembelajaran PKn... 161 3. Pengembangan budaya sekolah yang berimplikasi pada pengembangan budaya demokrasi konstitusional siswa dalam perspektif ”school-based democratic education” ... 166


(5)

vi

4. Kendala dan UpayaPendidikan Demokrasi Melalui Kegiatan OSIS, Ekstra-Kurikuler dan Asrama

a. Kegiatan OSIS dan Ektra-Kurikuler ... 188

b. Sosio-Kultur Boarding School... 190

D. Temuan (Dalil-Dalil) Hasil Penelitian ... 195

E. Keterbatasan Penelitian ... 198

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan ... 200

B. Rekomendasi ... 208

DAFTAR PUSTAKA ... 212

RIWAYAT HIDUP PENULIS ... 221


(6)

vii

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 : Subjek Penelitian Minimal ... 91 Tabel 4.1 : Profil Sarana Pendukung Pendidikan SMAT KN ... 102 Tabel 4.2 : Substansi dan Muatan Konsep, Nilai dan Norma Materi

Pendidikan Kewarganegaraan (Standar Isi:Permendiknas RI No 22 Tahun 2006) ... 112 Tabel 4.3 : SK/KD Materi Pendidikan Demokrasi dan Konstitusi SMA/MA/

SMK (Standar Isi:Permendiknas RI No 22 Tahun 2006)... 113 Tabel 4.4 : Persepsi Kepala Sekolah, Guru dan Siswa SMAT KN Terhadap

Konsep Masyarakat Sekolah Demokratis ... 148 Tabel 4.5 : Ruang Lingkup dan Pengembangan Materi, Metode, Media dan

Penilaian Pendidikan Kewarganegaraan di SMAT KN ... 156 Tabel 4.6 : Karakteristik Model Pembelajaran PKn Untuk Pembelajaran

Demokratis di SMAT KN ... 162 Tabel 4.7 : Kontinum Pendidikan Kewarganegaraan (Citizenship Education


(7)

viii

DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1 : Level of Culture & Their Interaction (From Schein, by Ralf

Maslowski, 2001) ... 51 Bagan 3.1 : Komponen-Komponen Analisis Data (Miles & Huberman,2007)... 92 Bagan 3.2 : Paradigma Penelitian ... 94 Bagan 4.1 : Struktur Organisasi Sekolah ... 107 Bagan 4.2 : Struktur Organisasi Personal ... 107


(8)

ix

DAFTAR LAMPIRAN

1. Kisi-Kisi Instrumen Penelitian ... 222

2. Pedoman dan Hasil Wawancara Kepala Sekolah ... 227

3. Pedoman dan Hasil Wawancara Wakasek Kurikulum ... 234

4. Pedoman dan Hasil Wawancara Wakasek Kesiswaan ... 237

5. Pedoman dan Hasil Wawancara Wakasek Hubungan Masyarakat ... 241

6. Pedoman dan Hasil Wawancara Guru PKn ... 244

7. Pedoman dan Hasil Wawancara Pamong Asrama ... 245

8. Pedoman dan Hasil Wawancara Ketua Osis dan Siswa ... 247

9. Hasil Observasi dan Kajian Dokumentasi PBM PKn ... 250

10. Hasil Obesrvasi dan Kajian Dokumentasi Budaya Sekolah dalam Pengembangan Budaya Demokrasi Konstitusional ... 254

11. Hasil Obesrvasi dan Kajian Dokumentasi Melalui OSIS, Ekstra dan Asrama dalam Pengembangan Budaya Demokrasi Konstitusional ... 258

12. Matrik Hasil Penelitian ... 261

13. Kegiatan Harian Siswa SMAT Krida Nusantara ... 274

14. Daftar Guru SMAT Krida Nusantara ... 278

15. Tata Tertib Siswa SMAT Krida Nusantara ... 280

16. Jenis dan Klasifikasi Pelanggaran ... 292

17. Photo-Photo Fasilitas dan Kegiatan Siswa SMAT Krida Nusantara ... 296 18. Surat Permohonan Izin Penelitian dari SPS UPI Bandung

19. Surat Pemberitahuan Izin Penelitian dari KESBANG Kota Bandung


(9)

(10)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Peristiwa kehidupan sosial politik bangsa dalam bingkai demokrasi konstitusional Indonesia sejak reformasi bergulir di negeri ini, belum sepenuhnya sesuai dengan idealitas demokrasi konstitusional yang sebenarnya. Nilai, prinsip dan kaidah demokrasi belum dapat dilaksanakan oleh segenap komponen bangsa dengan benar dan penuh kesadaran. Baik secara formal atau pun tidak, disengaja atau pun tidak, telah terjadi penyimpangan-penyimpangan yang merusak sendi-sendi kehidupan demokratisasi bangsa. Realitas ini, dalam bahasa Sumantri (1998:4) disebut “undemocratic democracy,” yakni suatu tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang struktur (institusi) demokrasinya sudah ada, tetapi semangat dan perwujudannya masih jauh dari cita-cita demokrasi. Kondisi yang dirasakan paradoksal antara realitas dengan nilai dan norma yang diajarkan atau dipidatokan.

Selama ini, tampaknya atmosfir demokrasi belum diimbangi dengan kecerdasan, kematangan, dan kearifan bangsa, sehingga arah reformasi seringkali menimbulkan “euforia” demokrasi yang tanpa arah. Fakta-fakta sikap dan perilaku yang “undemocratic” dan “inconstitutional” yang teramati saat ini adalah masifnya berbagai aksi anarkhi dalam perhelatan pemilukada di berbagai daerah. Menerima kekalahan dengan sikap lapang dada bagi pihak yang kalah menjadi sebuah idiom yang amat mahal harganya dan sulit diwujudkan. Selain itu,


(11)

perilaku kaum elit politik cenderung masih konservatif dan berorientasi pada politik kekuasaan dengan pijakan semangat primordialisme, baik berbaju simbol-simbol kultural maupun keagamaan. Mainstream perilaku kalangan elit ini pun pada akhirnya mudah berimbas kepada perilaku politik massa, semisal, sering terjadinya tawuran antar suku atau kampung, antar pelajar, demonstrasi anarkhis, yang jelas-jelas bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi.

Mencermati hiruk-pikuk atmosfir demokratisasi kehidupan berbangsa yang “undemocratic-inconstitusional” di atas, maka agenda penting dan urgen dilakukan adalah membangun budaya demokrasi yang “genuine” (mengakar). Budaya demokrasi ini menunjuk pada berlakunya nilai-nilai, prinsip dan kaidah demokrasi di masyarakat yang terinternalisasikan dalam sikap dan perilaku hidup keseharian maupun kehidupan kenegaraan.

Membangun budaya demokratis ini tidak dapat dilakukan sekali jadi, tetapi memerlukan proses pembelajaran dan pengamalan (learning by experiences) berdemokrasi. Sebagaimana ditegaskan Gandal and Finn (1992:2) bahwa “Democracy does not teach itself. If the strengths, benefits, and responsibilities of democracy are not made clear to citizens, they will be ill-equipped to defend it”. Dengan kata lain, demokrasi tidak bisa mengajarkannya sendiri. Jika kekuatan, kemanfaaatan, dan tanggung jawab demokrasi tidak dipahami dan dihayati dengan baik oleh warga negara, sukar diharapkan mereka mau berjuang untuk mempertahankannya. Semakna dengan itu, Alexis de Toqueville (Branson, 1998:2) mengemukakan ”democracy is not a machine that would go on itself, but must be consciously reproduced, one generation after another”, bahwa demokrasi


(12)

bukanlah mesin yang akan berfungsi dengan sendirinya, tetapi harus secara sadar direproduksi dari satu generasi ke generasi berikutnya. Untuk itu, secara substantif dalam dimensi jangka panjang, yakni untuk mambangun karakter bangsa yang demokratis, pendidikan demokrasi (education for democracy) mutlak diperlukan. Seyogianya hal itu tidak dilaksanakan secara ”trial and error” atau ”taken for granted”, tetapi didesain secara sistemik dan sistematis untuk membina dan mengembangkan prinsip-prinsip, nilai dan budaya warga negara demokratis, partisipatif dan berkeadaban dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara Indonesia.

Ada dua alasan menurut Azra (2001:3), mengapa pendidikan demokrasi merupakan kebutuhan mendesak dan penting dalam membangun budaya demokratik (democratic culture). Pertama, meningkatnya gejala dan kecenderungan ”political illiteracy”, yakni tidak melek politik dan tidak mengetahui cara kerja demokrasi dan lembaga-lembaganya di kalangan warga negara. Kedua, meningkatnya apatisme politik (political apathism) yang ditunjukkan dengan sedikitnya keterlibatan warga negara dalam proses-proses politik. Atas argumentasi tersebut, maka pendidikan kewarganegaraan adalah salah satu upaya sistemik penyemaian konsep, prinsip, nilai-nilai dan perilaku budaya demokrasi.

Analisis kritis Azra di atas, memperkuat hasil ”National Survey of Voter Education” (Asia Fondation, 1998) yang menggambarkan data bahwa lebih 60% dari sampel nasional mengindikasikan belum mengerti tentang “apa, mengapa, dan bagaimana demokrasi.” Hal ini, menunjukkan bahwa kecerdasan yang


(13)

dibutuhkan untuk mematuhi tatanan dan budaya demokrasi belum pula dimiliki secara cukup oleh mayoritas bangsa. Padahal, menurut analisis Urbaningrum (2004:2), tanpa kecerdasan, disiplin, dan kesadaran yang tinggi akan hak dan kewajiban serta penghormatan terhadap pribadi-pribadi, penciptaan kehidupan demokratis hanyalah utopia semata.

Pendidikan demokrasi untuk membangun karakter dan budaya demokrasi dalam kehidupan politik bangsa, di negara Indonesia telah dilaksanakan, khususnya sejak berakhirnya era orde baru dan lahirnya era reformasi. Namun, perlu direkonseptualisasi, sehingga lahir paradigma pendidikan demokrasi yang bukan hanya secara konstitusional ada, tetapi secara instrumental dan praksis benar-benar terjadi dan memberikan dampak pedagogis dan sosial-kultural kumulatif bagi peningkatan kualitas kehidupan berdemokrasi dan ber-HAM di Indonesia.

Pendidikan demokrasi ini menurut Azra (2002:166) secara substantif menyangkut sosialisasi, internalisasi dan aktualisasi konsep, sistem, nilai, budaya dan praktek demokrasi bagi warga negara, sehingga menjadi warga negara yang kritis, partisipatif, demokratis dan beradab. Hal senada dikatakan Zamroni (2002:21) bahwa Pendidikan Kewarganegaraan sebagai pendidikan demokrasi adalah suatu proses yang dilakukan oleh lembaga pendidikan di mana seseorang mempelajari orientasi, sikap dan perilaku politik sehingga yang bersangkutan memiliki political knowledge, awareness, attitude, political efficacy, social trust dan political participation serta kemampuan mengambil keputusan politik secara rasional dan menguntungkan bagi dirinya, juga bagi masyarakat.


(14)

Pandangan terakhir Zamroni di atas, menguatkan bahwa pendidikan demokrasi secara inheren merupakan substantif dan sub-ordinatif pendidikan kewarganegaraan dalam persekolahan (school civics). Dalam konteks ini, Winataputra (2005:12; 2008:9) berpendapat bahwa pendidikan kewarganegaraan di persekolahan (school civics) memiliki peranan strategis dalam mewujudkan pengembangan budaya kewarganegaraan demokratis, karena pendidikan kewarganegaraan merupakan salah satu modal dasar dalam mewujudkan kehidupan bermasyarakat yang berbudaya dan beradab. Untuk tujuan itu, maka kurikulum dan proses pembelajaran perlu diupayakan agar lebih mengarah pada tujuan pembangunan karakter bangsa yang diwujudkan dalam bentuk transformasi pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge), perilaku kewarganegaraan (civic disposition), dan kemampuan kewarganegaraan (civic skills) yang dapat mendukung berkembangnya budaya kewarganegaraan (civic culture).

Dalam konteks di atas, maka pendidikan kewarganegaraan berperan sebagai wahana sistemik pendidikan demokrasi (Winataputra, 2001), yang secara praksis-kurikuler semestinya tidak hanya dalam kerangka “learning to know” (belajar memahami konsep, prinsip, dan nilai-nilai demokrasi), tetapi harus merupakan proses berperilaku demokratis (learning to do), serta sebagai proses hidup dan berkehidupan demokratis dalam masyarakat majemuk di Indonesia (learning to be and learning to live together), hari ini dan mendatang. Oleh karena itu, menurut Gandal dan Finn (1992:4), pendidikan kewarganegaraan juga tidak dilihat sebagai “isolated subject” (pelajaran yang terisolasi), yang diajarkan hanya


(15)

dalam waktu terjadwal saja, tetapi harus dikaitkan dengan banyak hal yang dipelajari siswa, termasuk banyak hal yang terjadi di luar sekolah.

Pendidikan Kewarganegaraan demokratis di Indonesia, secara historis kurikuler telah mengalami pasang surut (Winataputra,2005:5-6).Dalam kurikulum sekolah, dikenal mulai dari Civics tahun 1962 yang bernuansa indoktrinasi politik; Civics tahun 1968 sebagai unsur Pendidikan Kewargaan Negara yang bernuansa pendidikan IPS; PKN tahun 1969 yang berbentuk pengajaran konstitusi dan ketetapan MPRS; PKN tahun 1973 yang diidentikan dengan pengajaran IPS; PMP tahun 1975 dan 1984 dengan isi pembahasan P4; PPKn tahun 1994-2003 sebagai penggabungan pengajaran konsep nilai yang disaripatikan dari Pancasila dan P4; PKn (Pendidikan Kewarganegaraan) tahun 2004 sampai sekarang yang bercirikan struktur keilmuan yang berbasis ilmu politik, hukum dan filsafat moral/Pancasila.

Kini, pendidikan kewaranegaraan direkonseptualisasi dalam paradigma baru (new civic education paradigm). Dalam konteks paradigma baru ini, Sapriya dan Winataputra (2004:2) mengatakan bahwa pendidikan kewarganegaraan sebagai pendidikan demokrasi mengemban tiga fungsi pokok; yakni mengembangkan kecerdasan warga negara (civic intelligence), membina tanggung jawab warga negara (civic responsibility), dan mendorong partisipasi warga negara (civic participation); bercirikan multidimenasional (Cogan, 1998:117; Winataputra, 2001; Sapriya, 2004:14), yakni dimensi yang berinterelasi “the personal, social, spatial dan temporal dimension”; mengembangkan seperangkat kompetensi, yakni “civic knowledge” (pengetahuan kewarganegaraan), “civic


(16)

skills” (keterampilan kewarganegaraan), dan “civic dispositions” (karakter/watak kewarganegaraan) (Branson, 1998:5).

Substansi PKn baru di atas, secara praksis-metodologis menuntut model pembelajaran demokratis untuk menopang akselerasi pembangunan budaya demokrasi dalam pendidikan persekolahan. Hal ini penting, sebab Tacman (2006) dalam penelitiannya menyatakan, “…the democratic attitudes of classroom teachers which is important for improving people’s democratic behavior”, atau sikap-sikap demokratik guru dalam pembelajaran di kelas, adalah hal penting untuk meningkatkan perilaku demokratik siswa. Senada dengan itu, dikatakan Davis dan Blair (Karahan, 2009:1), ‘…development of democratic life culture depends on the democratic education sistem’, maksudnya bahwa pengembangan budaya kehidupan demokratik bergantung pada sistem pendidikan yang demokratis.

Berdasarkan kajian penelitian di atas, maka dibutuhkan model pendidikan demokrasi yang baru dalam dunia persekolahan kita. Idealnya, upaya membumikan nilai-nilai demokrasi tidak hanya dibebankan kepada mata pelajaran tertentu, yakni pendidikan kewarganegaraan (PKn). Akan tetapi, perlu ada kesamaan visi untuk menjadikan prinsip-prinsip demokrasi sebagai “ruh” yang mewarnai kegiatan pembelajaran dengan mata pelajaran apa pun. Substansi pembumian nilai-nilai demokrasi bukan lagi dilakukan secara dogmatis dan indoktrinasi melalui ceramah, melainkan sudah dalam bentuk perilaku nyata sebagai perwujudan budaya demokrasi yang sesungguhnya.


(17)

Tujuan yang hendak dicapai melalui model pendidikan demokrasi semacam itu adalah tumbuhnya kecerdasan warga sekolah, baik secara spiritual, emosional, sosial, rasa tanggung jawab, dan peran serta segenap komponen dunia persekolahan. Melalui upaya model pendidikan ini diharapkan akan terlahir kualitas generasi masa depan yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga cerdas secara emosional, spiritual, dan sosial sehingga pada gilirannya kelak mampu menopang tumbuhnya iklim civil society (masyarakat madani) di Indonesia.

Untuk tujuan itu, Gandal dan Finn (1992:5-6) menyarankan dikembangkannya pendidikan demokrasi dalam dua seting besar. Pertama, “school-based democracy education model”, yakni model pendidikan demokrasi berbasis sekolah dalam konteks pendidikan formal. Model ini menurut Polma (Suhartono, dkk.,2008) dikembangkan untuk mendekatkan materi pembelajaran dengan objek sesungguhnya atas pengkajian fenomena sosial secara langsung. Pengembangan model ini dilaksanakan melalui bentuk kegiatan pembelajaran intra dan ekstra kurikuler yang bernuansa demokratis. Kedua, “society-based democracy education model”, yakni pendidikan demokrasi dalam konteks kehidupan masyarakat.

Praksis model school-based democracy education ini menurut Gandal dan Finn di atas, dapat dikembangkan dalam empat alternatif bentuk, yakni : pertama, memberikan perhatian yang cermat dan usaha yang sungguh-sungguh pada pengembangan pengertian tentang “…the root and branches of democratic ideas”, yakni hakikat dan karakteristik aneka ragam demokrasi, bukan hanya yang


(18)

berkembang di Indonesia. Kedua, mengembangkan kurikulum atau paket pendidikan yang sengaja dirancang untuk memfasilitasi siswa agar mampu mengeksplorasi “…how the ideas of democracy have been translated into institutions and practices around the world and through the ages”, yakni bagaimana cita-cita demokrasi telah diterjemahkan ke dalam kelembagaan dan praktek di berbagai belahan bumi dan dalam berbagai kurun waktu. Ketiga, tersedianya sumber belajar yang memungkinkan siswa mampu mengeksplorasi sejarah demokrasi dinegaranya untuk dapat menjawab persoalan apakah kekuatan dan kelemahan demokrasi yang diterapkan di negaranya itu secara jernih. Keempat, tersedianya sumber belajar yang dapat memfasilitasi siswa untuk memahami penerapan demokrasi di negara lain sehingga mereka memiliki wawasan yang luas tentang ragam ide dan sisten demokrasi dalam berbagai konteks.

Kedua model pendidikan demokratis tersebut di atas, harus dirancang secara sistemik dalam sistem pendidikan nasional secara keseluruhan. Dan diciptakan interaksi fungsional-pedagogis dalam iklim sosial budaya di sekolah dan di luar sekolah. Pembelajaran di kelas dikembangkan sebagai ”democratic laboratory”, lingkungan sekolah sebagai ”micro cosmos of democracy”, dan masyarakat luas sebagai ”open global democracy” (Winataputra, 2001; 2005:17; 2007:226). Sehingga, siswa akan terlibat langsung sebagai subjek dan objek untuk tujuan berdemokrasi. Inilah makna yang oleh Winataputra dan Budimansyah (2007:219; Winataputra, 2005:17) disebut sebagai “learning democracy, throught/in democracy and for democracy”.


(19)

Selama ini, beberapa hal yang dianggap merupakan kegagalan pendidikan demokrasi di sekolah adalah lemahnya upaya pengakaran nilai-nilai demokrasi. Kegagalan itu, menurut Azra (2001:3) dapat dilihat dalam tiga aspek yang saling terkait satu sama lainnya. Pertama, secara substantif, pelajaran PKn, tidak dipersiapkan sebagai materi pendidikan demokrasi dan kewarganegaraan. Kedua, secara metodologi pembelajarannya bersifat indoktrinatif, regimentif, monologis, dan tidak partisipatoris. Ketiga, subjek material lebih bersifat teoretis dari pada praksis

Analisis lain dikemukakan Winataputra (2001:14); yang menyatakan bahwa pembelajaran PKn kini baru “teaching about democracy”, belum “how to build democracy”; proses pembelajaran masih berorientasi pada penguasaan teori dan hapalan (knowledge oriented) (Suryadi, 2003:4; Budimansyah, 2009:7); tidak demokratis berbasis gender, monolitik dan bersifat top down (Zuriah dan Sunaryo, 2008:93); didominasi oleh sistem konvensional dan tidak pada proses “contextualized multiple intelligence” (Komalasari, 2008:77); dominannya penerapan metode pembelajaran konvensional seperti “ground covering technique, indoktrinative, and narrative technique” dalam pembelajaran sehari-hari (Somantri, 2001:245); proses belajar mengajar dengan menekankan pada siswa untuk menghafal pelajaran dengan mengorbankan pengembangan “critical thinking” (Zamroni, 2002:16).

Kajian yang mengungkap beberapa kegagalan di atas, perlu rekonseptualisasi pendidikan demokrasi untuk menciptakan sistem dan budaya sekolah demokratis. Membangun budaya demokrasi di sekolah adalah menjadikan


(20)

sekolah menjadi media inseminasi dan pemekaran nilai-nilai demokrasi bagi kehidupan individu dan peran publiknya. Untuk itu, maka secara teoretis dan praktis, ada tiga hal yang harus diwujudnyatakan untuk membangun sekolah demokratis, yakni proses belajar mengajar, kepemimpinan dan manajemen sekolah, dan budaya sekolah demokratis. Dalam konteks sekolah demokratis, aspek yang ketiga, yakni kultur sekolah menjadi kekuatan penting. Kultur sekolah perlu menjiwai dan membingkai segenap aktivitas, inovasi pembelajaran, dan pengelolaan sekolah.

Kultur sekolah dapat dideskripsikan sebagai pola nilai-nilai, norma-norma, sikap, ritual, mitos, dan kebiasaan-kebiasaan yang dibentuk dalam perjalanan panjang sekolah. Kultur sekolah ini dikonsepsi dan diwujudkan melalui pembelajaran dan rancangan aktivitas sekolah yang melibatkan kepala sekolah, guru, staf administrasi, siswa didik, dan stakeholders. Keterlibatan bersama mereka sebagai dasar dalam memahami dan memecahkan berbagai persoalan pendidikan (Zamroni, 2002:21).

Berkaitan dengan membangun budaya demokrasi di sekolah maka sikap mental dan perilaku individu sebagai warga sekolah harus mencerminkan konsep wawasan, nilai, norma dan prinsip demokrasi dalam diri individu warga sekolah itu sendiri. Ada sepuluh indikator budaya kewarganegaraan demokratis yang dapat dijelaskan berikut ini, menurut Winataputra dan Tim CCE (2007:11-13), yakni :

1. Pro bono publico yaitu sikap mengutamakan kepentingan publik diatas kepentingan pribadi atau golongan.

2. Pro patricia primus patrialis yaitu sikap mengutamakan kepentingan negara.


(21)

3. Toleran atau menghargai dan menghormati pendapat orang lain yang berbeda.

4. Terbuka menerima pendapat orang lain.

5. Tanggap dan berani mengemukakan pendapat dengan baik dan benar. 6. Bersikap kritis terhadap informasi atau pandangan sehingga tidak

mudah menerima dan menolak pandangan orang lain.

7. Cerdas dan penuh pertimbangan dalam mengambil keputusan. 8. Menghormati hak orang lain; Menghormati kekuasaan yang sah. 9. Bersikap adil dan tidak diskriminatif.

10. Menjaga dan melaksanakan amanah dengan penuh tanggung jawab. Selain itu, sinergi membangun atmosfir kultur sekolah demokratis harus berprinsipkan pada pilar-pilar demokrasi konstitusional yang berlandaskan filsafat Pancasila dan UUD 1945, yang menurut Sanusi (2006:193-205) ada sepuluh (The Ten Pillars of Indonesian Constitutional Democracy), yakni : Demokrasi yang Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, Demokrasi dengan Kecerdasan, Demokrasi yang Berkedaulatan Rakyat, Demokrasi dengan “Rule of Law”, Demokrasi dengan Pembagian Kekuasaan Negara, Demokrasi dengan Hak Azasi manusia, Demokrasi dengan Pengadilan yang Merdeka, Demokrasi dengan Otonomi Daerah, Demokrasi dengan Kemakmuran, dan Demokrasi yang Berkeadilan Sosial.

Kesepuluh sikap mental dan perilaku budaya demokrasi dengan berprinsipkan sepuluh pilar demokrasi konstitusional di atas, dijadikan suatu acuan kajian penelitian model pengembangan budaya demokrasi konstitusional melalui pendidikan kewarganegaraan dalam perspektif “school-based democracy education” di SMA Terpadu (SMAT) Krida Nusantara (KN) Bandung. SMAT KN menjadi unit penelitian kasus ini dikarenakan sekolah ini mengembangkan tiga pilar pendidikan, yakni akademik, agama dan life skill, yang implementasinya


(22)

dalam kultur sekolah, menggunakan empat pendekatan disiplin, yaitu : Depdiknas, militer, keagamaan, dan wali asuh.

Selain itu, sekolah ini adalah sekolah boarding yang merepresentasikan siswa-siswa yang multikultur, multi etnis dan multi agama, yakni : (7,75%) siswa yang berasal dari Bandung, selebihnya (92,25%) datang dari berbagai daerah di Indonesia; beragama Islam (87,60%), Protestan (7,56%), Katolik (2,33%), Hindu (2,33%), Budha (0,19%) (Profil SMAT KN 2009/2010).

Untuk tujuan penelitianya, maka orientasi penelitian kasus ini adalah : (1) persepsi kepala sekolah, guru, dan siswa terhadap pengembangan pendidikan demokrasi di sekolah; (2) implementasi pembelajaran PKn demokratis; (3) sosio-kultur sekolah berasrama yang menggambarkan gagasan, nilai-nilai dan perilaku budaya demokrasi konstitusional dalam perspektif pendidikan demokrasi berbasis sekolah (school-based democracy education), baik di sekolah maupun dalam sosio-kultur kehidupan asrama.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, maka fokus masalah penelitian ini yakni, ”Bagaimanakah model pengembangan budaya demokrasi konstitusional melalui pendidikan kewarganegaraan dalam perspektif school-based democracy education di SMA Terpadu Krida Nusantara Kota Bandung?” Agar lebih terarah, maka fokus masalah di atas dirinci dalam beberapa sub-masalah yang sekaligus menjadi pertanyaan penelitian, yakni sebagai berikut : 1. Bagaimana persepsi kepala sekolah, guru, dan siswa SMAT KN Bandung


(23)

2. Bagaimana implementasi pembelajaran PKn yang meliputi perencanaan, pelaksanaan dan pengembangan materi, metode, media dan evaluasi dalam mengembangkan budaya demokrasi konstitusional ditinjau dari : dasar filosofis, dasar yuridis, karakteristik model pembelajaran PKn berbasis demokrasi?

3. Bagaimana budaya sekolah berasrama (boarding-school culture) yang berimplikasi pada pengembangan budaya demokrasi konstitusional dalam perspektif pendidikan demokrasi berbasis sekolah (school-based democracy education)?”

4. Bagaimana kendala dan upaya pendidikan demokrasi untuk pengembangan budaya demokrasi konstitusional dalam konteks : (a) kegiatan OSIS dan ekstra kurikuler?; (b) sosio-kultur program boarding school?

C. Definisi Konsep

Konsep-konsep pokok dalam penelitian ini adalah budaya demokrasi konstitusional, pendidikan kewarganegaraan, dan school-based democracy education.

1. Budaya Demokrasi Konstitusional

Budaya demokrasi konstitusional adalah seperangkat gagasan, nilai dan perilaku demokrasi yang berlandaskan konstitusi. Konstitusi tertulis negara Indonesia adalah UUD 1945. Budaya demokrasi yang diisyaratkan dalam UUD 1945 adalah demokrasi berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Asshiddiqie (2005:244) menegaskan bahwa demokrasi konstitusional adalah gagasan demokrasi yang berdasarkan hukum.


(24)

2. Pendidikan Kewarganegaraan

Pendidikan kewarganegaraan dimaknai oleh Cogan (1999:4) adalah sebagai “…the foundation course work in school designed to prepare young citizens for an active role in their communities in their adult lives.” Dalam hal ini, pendidikan kewarganegaraan adalah suatu mata pelajaran dasar di sekolah yang dirancang untuk mempersiapkan warga negara muda, agar kelak setelah dewasa dapat berperan aktif dalam masyarakat.

Sementara dalam kurikulum tahun 2006, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan diri yang beragam dari segi agama, sosio kultural, bahasa, usia dan suku bangsa untuk menjadi warganegara Indonesia yang cerdas, terampil dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945.

3. Pendidikan Demokrasi Berbasis Sekolah (School-Based Democracy Education)

Pendidikan Demokrasi Berbasis Sekolah (School-Based Democracy Education), yakni model pendidikan demokrasi dalam konteks atau berbasis pendidikan formal (sekolah). Model ini disarankan oleh Gandal dan Finn (1992) untuk mengembangkan kelas sebagai ”democratic laboratorium”, dan sosio kultur sekolah sebagai ”micro cosmos of democracy”.

D. Tujuan Penelitian

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk melakukan kajian tentang model pengembangan budaya demokrasi konstitusional melalui pendidikan


(25)

kewarganegaraan dalam perspektif pendidikan demokrasi berbasis sekolah di SMA Terpadu Krida Nusantara Kota Bandung.

Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk menggali, mengkaji, dan mengorganisasikan informasi-argumentatif tentang :

1. persepsi kepala sekolah, guru, dan siswa SMA Terpadu Krida Nusantara Kota Bandung tentang konsepsi pendidikan demokrasi serta masyarakat sekolah demokratis.

2. implementasi pembelajaran PKn demokratis yang meliputi perencanaan, pelaksanaan dan pengembangan materi, metode, media dan evaluasi dalam mengembangkan budaya demokrasi ditinjau dari : dasar filosofis, dasar yuridis, karakteristik model pembelajaran PKn berbasis demokrasi.

3. Budaya sekolah yang berimplikasi pada pengembangan budaya demokrasi konstitusional dalam perspektif ”school-based democratic education”.

4. kendala dan upaya pendidikan demokrasi untuk pengembangan budaya demokrasi konstitusional, dalam konteks : (a) kegiatan OSIS dan ekstra kurikuler; (b) sosio-kultur program boarding school.

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat baik secara keilmuan (teoretik) maupun secara empirik (praktis). Secara teoretik, penelitian ini akan menggali dan mengkaji model pengembangan gagasan, nilai-nilai dan perilaku budaya demokrasi konstitusional melalui pendidikan kewarganegaraan dalam perspektif school-based democracy education di SMAT KN Kota Bandung.


(26)

bagi beberapa pihak, yakni:

1. Para siswa : memahami konsep, nilai-nilai dan prinsip-prinsip demokrasi dan memberikan pembelajaran dan pengalaman nyata tentang demokrasi, sehingga siswa mampu menjadi objek dan subjek dalam mengaktualisasikan budaya demokrasi yang beradab dan konstitusional.

2. Para akademisi : khususnya guru Pendidikan Kewarganegaraan, diharapkan dapat mengoptimalkan pembelajaran PKN berbasis demokrasi dan HAM yang sesuai dengan tuntutan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang diinginkan.

3. Bagi sekolah : diharapkan akan memberikan sumbangan konsepsi dan kerangka praksis-kurikuler dan sosio kultural pembelajaran demokrasi dalam konteks school-based democratic education untuk membudayakan perilaku demokrasi berkeadaban dan konstitusional.

4. Bagi Dinas Pendidikan : sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan bagi pengembangan kurikulum pendidikan berbasis demokratisasi dan HAM untuk akselerasi pembangunan budaya demokrasi yang berkeadaban dan konstitusional di persekolahan.

F. Metode Penelitian 1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yakni kajian yang dalam pengolahan data, sejak mereduksi, menyajikan dan memverifikasi serta menyimpulkan data, tidak menggunakan perhitungan-perhitungan secara matematis dan statistik, melainkan lebih menekankan pada kajian interpretatif.


(27)

Berkait dengan penelitian kualitataif ini Creswell (1998:15) mengemukakan bahwa :

Qualitative research is an inquiry process of understanding based on distinct methodological traditions of inquiry that explore a social or human problem. The researcher builds a complex, holistic picture, analyses words, reports detailed views of informants, and conducts the study in a natural setting.

Makna bahwa penelitian kualitatif adalah proses penelitian untuk memahami berdasarkan tradisi metodologi penelitian tertentu dengan cara menyelidiki masalah sosial atau manusia. Peneliti membuat gambaran kompleks bersifat holistik, menganalisis kata-kata, melaporkan pandangan-pandangan para informan secara rinci, dan melakukan penelitian dalam situasi alamiah.

Pendekatan kualitatif ini disebut juga penelitian “naturalistik” (Nasution (1996:18). Sebab, situasi lapangan penelitian bersifat natural atau wajar, sebagaimana adanya. Untuk memahami makna dari fenomena yang terjadi secara alamiah itu, maka peneliti berperan sebagai key instrumen, yang harus mengumpulkan data dengan mendatangi langsung sumber data.

2. Metode Penelitian

Tradisi penelitian ini adalah studi kasus (case study). Studi ini dimaksudkan untuk mengungkapkan dan memahami kenyataan-kenyataan yang terjadi di lapangan sebagaimana adanya, secara intensif, mendalam, mendetail dan komprehensif (Faisal, 2008:22); sehingga dapat memberikan gambaran secara mendetail tentang latar belakang, sifat-sifat serta karakter-karakter yang khas dari kasus, yang kemudian dari sifat-sifat khas di atas akan dijadikan suatu hal yang bersifat umum.


(28)

Dengan menggunakan studi kasus ini peneliti berharap dapat mengidentifikasi budaya demokrasi konstitusional dalam sebuah komunitas kewarganegaraan (community civic) di lingkungan SMAT Krida Nusantara Kota Bandung. Dengan demikian penelitian ini diharapkan mampu menjawab pertanyaan: (1) Bagaimana persepsi para stakeholder sekolah (Kepala Sekolah, Guru PKn, Pembantu Kepala Sekolah, dan siswa) tentang pembelajaran demokrasi di sekolah; (2) Bagaimanakah implementasi pembelajaran PKn; (3) Bagaimana iklim budaya sekolah yang diciptakan untuk pengembangan budaya demokrasi konstitusional; (4) Bagaimana sosio-kultural siswa dalam pola kehidupan berasrama (boarding school).

Beberapa argumentasi dipilihnya metode studi kasus dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Studi ini diharapkan dapat memberikan keleluasaan dalam menggunakan beragam teknik pengumpulan data sebagai sarana untuk menjangkau dimensi otentik dari permasalahan yang diteliti.

b. Memungkinkan peneliti dapat menggali dan mengkaji proses model pengembangan budaya demokrasi konstitusional melalui pendidikan kewarganegaraan dalam perspektif school-based democracy education secara mendalam dan menyeluruh.

3. Teknik Pengumpul Data

Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data dan informasi yang digunakan adalah studi literatur , wawancara, observasi, dan studi dokumentasi.


(29)

a. Studi Literatur

Studi literatur ini dimaksudkan untuk mengungkapkan berbagai teori-teori yang relevan dengan permasalahan yang sedang diteliti. Mengacu pada kajian Straus dan Corbin (2009:39) bahwa ada lietratur teknis dan literatur non-teknis. Literatur teknis, seperti laporan tentang kajian penelitian dan karya tulis profesional atau disipliner dalam bentuk makalah teoretik atau filosofis. Sedangkan literatur nonteknis seperti biografi, buku harian, dokumen, naskah, catatan, katalog, dan materi lainnya yang dapat digunakan sebagai data utama atau sebagai pendukung wawancara.

Teknik kajiannya dilakukan dengan cara membaca, mempelajari dan mengkaji literatur-literatur yang berhubungan dengan budaya demokrasi konstitusional, pendidikan kewarganegaraan, dan model school-based democracy education. Hasil studi literatur ini dapat dijadikan masukan dan landasan dalam menjelaskan dan merinci masalah-masalah yang akan diteliti; termasuk juga memberi latar belakang mengapa masalah tadi penting diteliti.

b. Wawancara

Wawancara dilakukan untuk tujuan menggali konsepsi, persepsi, ide/gagasan, perasaan, motivasi, tuntutan, harapan dan kepedulian para subjek penelitian tentang pengembangan budaya demokrasi melalui pendidikan kewarganegaraan dalam perspektif school-based democracy education di SMAT KN Kota Bandung.

Jenis wawancara yang digunakan adalah pertama, wawancara informal (the informal conversation interview), dilakukan secara spontan pada proses


(30)

observasi dan narasumber tidak diberitahu sedang diwawancarai. Kedua, wawancara umum dengan pendekatan terarah (the general interview guide approach), ialah jenis wawancara yang menggariskan sejumlah isu yang harus digali dari setiap responden sebelum wawancara dimulai. Ketiga, wawancara terbuka yang baku (the standardized open-ended interview), meliputi seperangkat pertanyaan yang secara seksama disusun dengan maksud untuk menjaring informasi mengenai isu-isu yang sesuai dengan urutan dan kata-kata yang sudah dipersiapkan sebelumnya.

c. Observasi

Observasi ini dilakukan untuk mendapatkan data dan fakta tentang pengembangan budaya demokrasi konstitusional. Orientasinya adalah implementasi PBM PKn; dan pola-pola pengembangan budaya demokrasi konstitusional melalui potret iklim budaya sekolah, kegiatan ekstrakurikuler dan aktivitas soio-kultural dalam kehidupan berasrama.

Observasi partisipan dan non-partisipan dilakukan peneliti secara berulang sesuai konteks permasalahan yang dikaji di atas. Observasi yang dilakukan secara berulang ini pun bertujuan agar responden terbiasa, sehingga dapat berperilaku sewajarnya dan mengungkap budaya yang sesungguhnya (tidak dibuat-buat). Untuk kepentingan dalam penelitian ini, maka observasi ini dilakukan perekaman dan pemotretan yang akan dijadikan bahan analisis lebih lanjut.


(31)

d. Studi Dokumentasi

Peneliti memanfaatkan sumber-sumber berupa catatan dan dokumen (non human resources) untuk pengembangan analisis kajian. Sebagaimana Lincoln dan Guba (1985:276-277) menjelaskan bahwa catatan dan dokumen ini dapat dimanfaatkan sebagai saksi dari kejadian-kejadian tertentu atau sebagai bentuk pertanggungjawaban.

Kajian dokumen difokuskan pada aspek materi dan substansi yang terkait dengan model pengembangan budaya demokrasi konstitusional melalui pendidikan kewarganegaraan dalam perspektif school-based democracy education. Dokumen-dokumen itu adalah Kurikulum SMAT Krida Nusantara, Dokumen Pembelajaran PKn, Jurnal, Profil Sekolah, Tata Tertib Sekolah, Program Pola Asuh Boarding School, dan sebagainya yang mendukung informasi dan data kajian.

G. Unit Penelitian dan Sumber Data 1. Unit Penelitian

Unit penelitian ini adalah SMAT Krida Nusantara, yang terletak di Jalan Cipadung, Cibiru Kota Bandung. Beberapa argumentasi pemilihan SMAT Krida Nusantara sebagai unit penelitian yang terkaitan dengan kajian penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Menerapkan pembinaan siswa (sekolah) dan pola pengasuhan (asrama) dengan berlandaskan kedisplinan tinggi;


(32)

b. Merepresentasikan siswa yang beragam dalam hal agama, etnis, budaya dan latar belakang pendidikan dan pekerjaan orang tua dari seluruh wilayah Indonesia;

c. Menerapkan pola sekolah berasrama (boarding school) sebagai micro cosmos komunitas kewarganegaraan (community civic);

d. Sekolah Berstandar Internasional (SBI by School) yang memadukan tiga pilar utama, yakni akademis, agama, dan life skill.

2. Sumber Data / Subjek Penelitian

Sumber data untuk kepentingan analisis dalam penelitian ini dibagi dalam dua kategori, yakni : pertama, sumber bahan cetak (kepustakaan), meliputi buku teks, dokumen-dokumen kurikulum, makalah, klipping, jurnal, surat kabar, situs internet, dan lain-lain, yang menjelaskan model pengembangan budaya demokrasi konstitusional di SMAT Krida Nusantara Kota Bandung.

Kedua, sumber responden (human resources), dipilih secara purposive sampling, yang didasarkan pada : (a) memainkan peran penting di sekolah; (b) memiliki pengetahuan yang berharga sesuai dengan kajian penelitian; (c) memiliki keinginan bekerja sama dan berbagi informasi tentang kajian penelitian. Selain itu, peneliti juga menggunakan snowball technique, yakni dengan menghubungi beberapa narasumber, yang kemudian ditanya tentang narasumber lain yang potensi, begitu seterusnya, sampai semua data yang dibutuhkan untuk mengetahui konsepsi dan implementasi model pengembangan budaya demokrasi konstitusional dalam perspektif school-based democracy education terkumpul.


(33)

83 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan, Metode, dan Teknik Pengumpul Data 1. Pendekatan Penelitian

Kajian penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yakni pendekatan yang dalam pengolahan data sejak mereduksi, menyajikan dan memverifikasi serta menyimpulkan data, tidak menggunakan perhitungan-perhitungan secara matematis dan statistik, melainkan lebih menekankan pada kajian interpretatif. Sebagaimana Creswell (1998:15) memaparkan bahwa penelitian kualitatif adalah :

Qualitative research is an inquiry process of understanding based on distinct methodological traditions of inquiry that explore a social or human problem. The researcher builds a complex, holistic picture, analyses words, reports detailed views of informants, and conducts the study in a natural setting.

Memaknai paparan di atas, bahwa penelitian kualitatif adalah proses penelitian untuk memahami berdasarkan tradisi metodologi penelitian tertentu dengan cara menyelidiki masalah sosial atau manusia. Peneliti membuat gambaran kompleks bersifat holistik, menganalisis kata-kata, melaporkan pandangan-pandangan para informan secara rinci, dan melakukan penelitian dalam situasi alamiah.

Pemahaman lain tentang pendekatan kualitatif, Nasution (1996:18) menyebutnya sebagai penelitian naturalistik. Sebab, situasi lapangan penelitian bersifat natural atau wajar, sebagaimana adanya, tanpa dimanipulasi, diatur


(34)

dengan eksperimen atau tes. Oleh karena itu, data yang diperoleh adalah peristiwa dari situasi yang alamiah tentang persepsi para stakeholder sekolah, proses pembelajaran PKn demokratis, program kurikuler-akademik sekolah (intra dan ekstra) dan sosio kultural kehidupan asrama di SMAT Krida Nusantara Kota Bandung, untuk pengembangan budaya demokrasi konstitusional.

Untuk memahami makna dari fenomena yang terjadi secara alamiah yang berkaitan dengan kajian di atas, maka peneliti berperan sebagai key instrumen, yang harus mengumpulkan data dengan mendatangi langsung sumber data (Bogdan dan Biklen, 1990:27); perspektif emic berperan sebagai instrumen untuk memahami dan menjelaskan situasi dan perilaku komunitas akademika SMAT Krida Nusantara Kota Bandung dalam mengembangkan budaya demokrasi konstitusional melalui model school-based democracy education.

Penguatan argumentasi di atas disampaikan oleh Lincoln dan Guba (1985:199) menyatakan bahwa ...the human-as-instrument is inclined toward methods that are extensions of normal human activities: looking, listening, speaing, reading, and the like; hanya manusia sebagai instrumen dapat memahami makna interaksi antar manusia, membaca gerak muka, menyelami perasaan dan nilai yang terkandung dalam ucapan atau perbuatan responden (Nasution, 1996:9; Moleong, 2005:9).

2. Metode Penelitian

Penelitian kualitatif ini menggunakan metode studi kasus (case study). Studi ini dimaksudkan untuk mengungkapkan dan memahami kenyataan-kenyataan yang terjadi di lapangan sebagaimana adanya, secara intensif,


(35)

mendalam, mendetail dan komprehensif (Faisal, 2008:22); sehingga dapat memberikan gambaran secara mendetail tentang latar belakang, sifat-sifat serta karakter-karakter yang khas dari kasus, yang kemudian dari sifat-sifat khas di atas akan dijadikan suatu hal yang bersifat umum (Nazir, 2007:65).

Semua data, secara langsung atau tidak langsung yang relevan dengan kasus tersebut dikumpulkan. Data yang telah diperoleh tersebut disusun sedemikian rupa sehingga mencerminkan coraknya sebagai sebuah kasus. Metode penelitian kasus menghasilkan suatu corak atau karakter tunggal yang menandai kasus tersebut. Metode ini juga menyajikan suatu kesempatan untuk melakukan suatu analisa yang intensif dan mendalam mengenai unsur-unsur yang khusus dan terperinci yang tercakup dalam kasus tersebut.

Dengan menggunakan studi kasus ini peneliti berharap dapat mengidentifikasi budaya demokrasi konstitusional melaui Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dalam sebuah komunitas kewarganegaraan (community civic) di lingkungan SMAT Krida Nusantara Kota Bandung. Dengan demikian penelitian ini diharapkan mampu menjawab pertanyaan: (1) Bagaimana persepsi para stakeholder sekolah (Kepala Sekolah, Guru PKn, Pembantu Kepala Sekolah, dan siswa) tentang pembelajaran demokrasi di sekolah; (2) Bagaimanakah implementasi pembelajaran PKn; (3) Bagaimana iklim budaya sekolah diciptakan dalam program kurikuler dan ekstra kurikuler untuk pengembangan budaya demokrasi konstitusional; (4) Bagaimana kehidupan sosio-kultural siswa dalam pola kehidupan berasrama (boarding school).


(36)

Beberapa arguemtasi dipilihnya metode studi kasus dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Studi ini diharapkan dapat memberikan keleluasaan dalam menggunakan beragam teknik pengumpulan data sebagai sarana untuk menjangkau dimensi otentik dari permasalahan yang diteliti.

b. Memungkinkan peneliti dapat menggali dan mengkaji proses model pengembangan budaya demokrasi konstitusional melalui pendidikan kewarganegaraan dalam perspektif school-based democracy education secara mendalam dan menyeluruh.

Untuk memaksimalkan kualitas desain studi kasus ini, mengacu analisis Yin (2009:25), peneliti berusaha melakukan pengujian dalam aspek; (1) validitas konstruk, yaitu menetapkan ukuran operasional untuk konsep-konsep yang akan diteiliti; (2) validitas eksternal, yaitu dalam menetapkan wilayah suatu temuan penelitian divisualisasikan, dan (3) reliabilitas, yaitu membuat suatu prosedur pengumpulan data yang dapat diinterpretasikan dengan hasil yang sama.

3. Teknik Pengumpul Data

Pengumpulan data dan informasi dalam penelitian ini dilakukan dengan berbagai cara dan teknik yang berasal dari berbagai sumber. Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data dan informasi yang digunakan adalah studi literatur, wawancara, observasi, dan studi dokumentasi.

a. Studi Literatur


(37)

teori yang relevan dengan permasalahan yang sedang diteliti. Teknik ini dilakukan dengan cara membaca, mempelajari dan mengkaji literatur-literatur yang berhubungan dengan budaya demokrasi konstitusional, pendidikan kewarganegaraan, dan model school-based democracy education.

Pengkajian literatur untuk kepentingan penelitian ini adalah berupa lietratur teknis dan literatur non-teknis (Straus dan Corbin, 2009:39). Literatur teknis, seperti laporan tentang kajian penelitian dan karya tulis profesional atau disipliner dalam bentuk makalah teoretik atau filosofis. Sedangkan literatur non-teknis seperti : biografi, buku harian, dokumen, naskah, catatan, katalog, dan materi lainnya yang dapat digunakan sebagai data utama atau sebagai pendukung wawancara. Faisal (2008:30) mengemukakan bahwa hasil studi literatur bisa dijadikan masukan dan landasan dalam menjelaskan dan merinci masalah-masalah yang akan diteliti; termasuk juga memberi latar belakang mengapa masalah tadi penting diteliti.

b. Wawancara

Wawancara dilakukan untuk tujuan menggali konsepsi, persepsi, ide/gagasan, perasaan, motivasi, tuntutan, harapan dan kepedulian para subjek penelitian tentang pengembangan budaya demokrasi melalui pendidikan kewarganegaraan dalam perspektif school-based democracy education di SMAT KN Kota Bandung.

Bersandar pada klasifikasi Patton (Moleong, 2008:187-188) bahwa pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:


(38)

Pertama, wawancara percakapan informal (the informal conversation interview), ialah wawancara yang sepenuhnya didasarkan pada susunan pertanyaan spontan ketika interaksi berlangsung khususnya pada proses observasi partisipatif di lapangan - terkadang orang yang diwawancarai tidak diberitahu bahwa mereka sedang diwawancarai.

Kedua, wawancara umum dengan pendekatan terarah (the general interview guide approach), ialah jenis wawancara yang menggariskan sejumlah isu yang harus digali dari setiap responden sebelum wawancara dimulai. Pertanyaan yang diajukan tidak perlu dalam urutan yang diatur terlebih dahulu atau dengan kata-kata yang dipersiapkan. Panduan wawancara memberikan checklist selama wawancara untuk meyakinkan bahwa topik-topik yang sesuai telah terakomodasi. Peneliti menyesuaikan baik urutan pertanyaan maupun kata-kata untuk responden tertentu.

Ketiga, wawancara terbuka yang baku (the standardized open-ended interview), meliputi seperangkat pertanyaan yang secara seksama disusun dengan maksud untuk menjaring informasi mengenai isu-isu yang sesuai dengan urutan dan kata-kata yang sudah dipersiapkan sebelumnya.

Jenis wawancara yang dijelaskan di atas digunakan oleh peneliti untuk memperoleh informasi dari subjek penelitian, sesuai dengan permasalahan yang dirumuskan. Seringkali peneliti sendiri melakukan intervensi dan mendesakkan pendapat para narasumber agar informasi yang diperoleh terjamin reliabilitasnya.

c. Observasi


(39)

pengembangan budaya demokrasi konstitusional. Orientasinya menyangkut pengembangan materi, metode, media, evaluasi dan semua fenomena aktivitas yang berkait dengan pembelajaran PKn demokratis di SMA Kota Bandung; dan pola-pola pengembangan budaya demokrasi konstitusional melalui potret iklim budaya sekolah, kegiatan ekstrakurikuler dan aktivitas sosio-kultural dalam kehidupan berasrama.

Observasi partisipan dan non-partisipan dilakukan peneliti secara berulang sesuai konteks permasalahan yang dikaji di atas. Observasi yang dilakukan secara berulang ini pun bertujuan agar responden terbiasa, sehingga dapat berperilaku sewajarnya dan mengungkap budaya yang sesungguhnya (tidak dibuat-buat). Untuk kepentingan dalam penelitian ini, maka observasi ini dilakukan perekaman dan pemotretan yang akan dijadikan bahan analisis lebih lanjut.

d. Studi Dokumentasi

Peneliti memanfaatkan sumber-sumber berupa catatan dan dokumen (non human resources) untuk pengembangan analisis kajian. Sebagaimana Lincoln dan Guba (1985:276-277) menjelaskan bahwa catatan dan dokumen ini dapat dimanfaatkan sebagai saksi dari kejadian-kejadian tertentu atau sebagai bentuk pertanggungjawaban.

Kajian dokumen difokuskan pada aspek materi dan substansi yang terkait dengan model pengembangan budaya demokrasi konstitusional melalui pendidikan kewarganegaraan dalam perspektif school-based democracy education. Dokumen-dokumen itu adalah Kurikulum SMAT Krida Nusantara,


(40)

Dokumen Pembelajaran PKn, Jurnal, Profil Sekolah, Tata Tertib Sekolah, Program Pola Asuh Boarding School, dan sebagainya yang mendukung informasi dan data kajian.

B. Unit Penelitian dan Sumber Data 1. Unit Penelitian

Unit penelitian ini adalah SMAT Krida Nusantara, yang terletak di Jalan Cipadung, Cibiru Kota Bandung. Unit analisisnya adalah (1) Persepsi (konsepsi, gagasan dan pengetahuan dasar) kepala sekolah, guru PKn, pembantu kepala sekolah, pembina asrama, dan siswa terhadap konsepsi pendidikan demokrasi dan masyarakat sekolah demokratis; (2) implementasi pembelajaran PKn demokratis; (3) budaya sekolah yang berimplikasi pengembangan budaya demokrasi; (4) kendala dan upaya pendidikan demokrasi dalam ekstra kurikuler dan pola pengasuhan berasrama.

Beberapa argumentasi pemilihan SMAT Krida Nusantara sebagai unit penelitian yang terkaitan dengan kajian penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Menerapkan pembinaan siswa dengan berlandaskan kedisplinan Depdiknas (UUSPN), kebiasaan militer, agama dan pola asuh asrama;

b. Merepresentasikan siswa yang multi kultur dalam hal agama, etnis, budaya dan latar belakang pendidikan dan pekerjaan orang tua dari seluruh wilayah Indonesia;

c. Menerapkan pola sekolah berasrama (boarding school) sebagai micro cosmos komunitas kewarganegaraan (community civic).


(41)

akademis, agama, dan life skill.

2. Sumber Data / Subjek Penelitian

Sumber data untuk kepentingan analisis dalam penelitian ini dibagi dalam dua kategori, yakni : pertama, sumber bahan cetak (kepustakaan), meliputi buku teks, dokumen-dokumen kurikulum, makalah, klipping, jurnal, surat kabar, situs internet, dan lain-lain, yang menjelaskan model pengembangan budaya demokrasi konstitusional di SMAT Krida Nusantara Kota Bandung.

Kedua, sumber responden (human resources), dipilih secara purposive sampling, yang didasarkan pada : (a) memainkan peran penting di sekolah; (b) memiliki pengetahuan yang berharga sesuai dengan kajian penelitian; (c) memiliki keinginan bekerja sama dan berbagi informasi tentang kajian penelitian. Selain itu, peneliti juga menggunakan snowball technique, yakni dengan menghubungi beberapa narasumber, yang kemudian ditanya tentang narasumber lain yang potensi, begitu seterusnya, sampai semua data yang dibutuhkan untuk mengetahui konsepsi dan implementasi model pengembangan budaya demokrasi konstitusional dalam perspektif school-based democracy education terkumpul.

Tabel 3.1

Subjek Penelitian Minimal

No Subjek Penelitian Jabatan Jumlah Kode

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Drs.H.Nuryana Saepudin,M.Si. H.Zaenal Haris, S.S.

Efa Nasripa, S.Pd. Betty Rahmawati, S.Pd Lilis Yeni Silihayati, S.Pd. Ai Wiwin Widiansyah, S.Pd. Johanes Raymond Hasiholan Siswa Kepala Sekolah Wakasek Kurikulum Wakasek Kesiswaan Wakasek Humas Guru PKn Pamong Asrama Ketua Osis Kelas IPS-3 1 1 1 1 1 1 1 10 A 1 A 2 A 3 A 4 A 5 A 6 A 7 A 8


(42)

C. Teknik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan analisis induktif, artinya bahwa proses pembahasannya meliputi pola-pola, tema-tema dan kategori-kategori yang berasal dari data; bukan ditentukan sebelum pengumpulan dan analisis data (Sapriya, 2007). Jadi, analisis data dilakukan dengan tahapan pembahasan terhadap data dan informasi yang telah terkumpul agar bermakna baik berupa pola-pola, tema-tema maupun kategori. Kegiatannya antara lain adalah menyusun data, memasukkannya ke dalam unit-unit secara teratur, mensintesiskannya, mencari pola-pola, menemukan apa yang penting dan apayang harus dipelajari, dan memutuskan apa yang akan dikemukakan kepada orang lain.

Dalam penelitian ini analisis data mengacu pada langkah-langkah yang dipakai oleh Miles dan Huberman (2007:20) yang terdiri atas tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu: reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/vervikasi. Kegiatan reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan merupakan rangkaian kegiatan analisis yang saling susul menyusul atau suatu proses siklus interaktif. Berikut adalah bagan dari sikluler teknik analisis data tersebut.

Bagan 3.1 Komponen-komponen Analisis Data (Miles dan Huberman, 2007:20)

Pengumpulan data

Reduksi data

Kesimpulan: Penarikan/verifikasi

Penyajian data


(43)

Keterangan :

1. Reduksi Data (Data Reduction)

Reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Data yang diperoleh di lapangan jumlahnya yang cukup banyak, memerlukan pencatatan secara teliti dan rinci. Untuk itu data dirangkum dan dipilih hanya hal-hal yang pokok dan penting. 2. Penyajian Data (Data Display)

Dalam tahap ini, peneliti menyajikan data-data dalam bentuk deskripsi berdasarkan aspek-aspek yang diteliti sesuai rumusan penelitian.

3. Pengambilan Kesimpulan/Verifikasi (Conclusion/Verification)

Kesimpulan diambil secara bertahap, diawali dengan pengambilan kesimpulan sementara. Namun dengan bertambahnya data kemudian dilakukan verifikasi data yaitu dengan mempelajari kembali data-data yang ada (yang direduksi maupun disajikan). Untuk penguatan keputuan yang dibuat, peneliti juga meminta pertimbangan dengan pihak-pihak yang terkait dengan penelitian ini. Setelah hal itu dilakukan, peneliti mengambil keputusan akhir.

Langkah-langkah di atas diterapkan dalam proses analisis data penelitian ini hingga tercapainya deskripsi temuan penelitian sebagaimana disajikan dalam Bab IV. Paradigma penelitian model pengembangan budaya demokrasi konstitusional melalui pendidikan kewarganegaraan dalam perspektif school-based democracy education dapat digambarkan sebagai berikut:


(44)

Bagan 3.2. Paradigma Penelitian

D. Kriteria Keabsahan Data

Ada empat kriteria yang digunakan untuk menetapkan keabsahan data (trust-worthiness) dalam penelitian ini, seperti yang dijelaskan Moleong (2008:324-336), yakni :

1. Derajat Kepercayaan (credibility); peneliti melakukan 7 (tujuh) teknik pemeriksaan keabsahan data yang meliputi, yakni :

a) Perpanjangan keikutsertaan peneliti di lokasi penelitian; Analisis Model Pendidikan Demokrasi di SMAT Krida Nusantara Kota Bandung • Wawancara • Observasi • Studi Dokumentasi

1. Persepsi, pengetahuan dasar, konsepsi SBDE 2. Implementasi PBM

PKn

3. Program budaya sekolah

4. Kegiatan Ekstra Kurikuler

5. Pola sosio kultural asrama

1. Kepala Sekolah 2. Guru

3. Siswa

Studi Literatur : Teoritis, Temuan Terdahulu, Dokumen Model Pengembangan Budaya Demokrasi Konstitusional Melalui Pendidikan Kewarganegaraan dalam Perspektif School-Based

Democracy Education di

SMAT Krida Nusantara Kota Bandung

HIPOTESIS SEMENTARA


(45)

b) Ketekunan dan keajegan pengamatan peneliti di lapangan;

c) Triangulasi, dilakukan dengan mencek ulang temuan antar sumber data, metode pengumpul data dan teori yang relevan dengan fokus penelitian (teori belajar dan pembelajaran);

d) Pengecekan teman sejawat dilakukan melalui diskusi dengan rekan guru, kepala sekolah dan pengawas pendidikan dinas pendidikan;

e) Kecukupan referensial; melakukan cek terhadap referensi dan pustaka dan sumber-sumber yang relevan;

f) Kajian kasus negatif; mengumpulkan contoh dan kasus yang tidak sesuai dengan pola dan kecenderungan informasi yang telah dikumpulkan dan digunakan sebagai bahan pembanding;

2. Derajat Keteralihan (transferability); dilakukan dengan uraian rinci yang mengacu pada fokus permasalahan penelitian;

3. Derajat Kebergantungan (dependability); dilakukan dengan audit kebergantungan;

4. Derajat Kepastian (confirmability); dilakukan dengan memeriksa (audit) kepastian.

E. Tahap-Tahap Pelaksanaan Penelitian

Dalam setiap proses penelitian kualitatif batas antara satu tahapan dengan tahapan berikutnya sulit dinyatakan secara tegas. Hal itu sejalan dengan sifat ”emergent” dari penelitian kualitatif yaitu sifat yang senantiasa mengalami


(46)

perubahan sepanjang penelitian dilaksanakan. Mengenai tahap penelitian, yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi tahap-tahap penelitian sebagai berikut.

1. Tahap Pra-Lapangan:

Tahap ini meliputi berbagai studi kepustakaan, membuat desain penelitian, melaksanakan bimbingan intensif, menentukkan lokasi penelitian, mengurus perizinan, dan menyiapkan kelengkapan kegiatan penelitian lapangan.

2. Tahap Pekerjaan Lapangan:

Tahap ini diawali dengan survey pendahuluan ke lokasi penelitian untuk memperoleh gambaran awal yang sesuai dengan fokus kajian penelitian. Setelah itu, peneliti mempelajari latar lokasi (setting) subjek yang diteliti, melakukan pengamatan, wawancara, membuat catatan lapangan, mengambil pola kejadian secara langsung, dan mengumpulkan berbagai dokumen yang relevan. Dalam kegiatan ini juga peneliti melakukan kegiatan analisis data secara bertahap.

3. Tahap Pengolahan dan Analisis Data

Tahap ini terdiri dari kegiatan-kegiatan mencari dan merumuskan tema, membuat hipotesis kerja, bekerja dengan hipotesis kerja, menafsirkan hasil analisis data serta memverifikasi kredibilitasnya (credibility), keteralihannya (transferability), kebergantungannya (dependability), dan kepastiannya (confirmability) dan diakhiri dengan kegiatan merumuskan temuan dan teori. 4. Tahap Penyajian Laporan Hasil Penelitian

Tahap ini berbentuk kegiatan pengetikan naskah laporan, penyuntingan, penyusunan naskah akhir, pengesahan pembimbing, penggandaan dan


(47)

pencetakan naskah jadi, penyerahan naskah kepada Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia – dan siap untuk diujisidangkan dihadapan penguji dan pembimbing.


(48)

200 BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Dalam bagian ini akan dikemukakan kesimpulan dan rekomendasi penelitian yang dirumuskan dari deskripsi temuan penelitian dan pembahasan hasil-hasil penelitian dalam Bab IV.

A. Kesimpulan

Merujuk pada hasil temuan dan pembahasan penelitian yang telah diuraikan pada bab IV, maka dapat dirumuskan beberapa kesimpulan sesuai pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Kesimpulan Umum

Kesimpulan umum penelitian ini adalah bahwa model pengembangan budaya demokrasi konstitusional melalui pendidikan kewarganegaraan dalam perspektif “school-based democracy education” di SMAT KN mengadopsi pola pendidikan dengan penerapan kedisiplinan yang mengacu pada Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN), pendidikan agama, disiplin otoriter (militer), dan pola pengasuhan asrama. Model pengembangan budaya demokrasi konstitusional ini dibangun dalam hal : (a) penguatan persepsi kepala sekolah, guru dan siswa tentang pendidikan demokrasi dan masyarakat sekolah demokratis; (b) perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran PKn yang mengacu Standar Isi (Permendiknas RI No 22 tahun 2006) dan Standar Proses (Permendiknas RI No 41 tahun 2007), dan dalam batas-batas tertentu mengacu pada sintakmatik pembelajaran demokratis (Joyce dan Weil, 2009); (c) penciptaan kultur sekolah


(49)

yang efektif dengan kedisiplinan tinggi, yang diimplementasikan dalam budaya demokrasi yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, budaya demokrasi dengan kecerdasan, budaya demokrasi yang berkedaulatan, budaya demokrasi dengan “rule of law”, budaya demokrasi dengan pembagian kerja, budaya demokrasi dengan hak azasi manusia, budaya demokrasi dengan pengadilan pelanggaran, budaya demokrasi dengan otonomi tugas, budaya demokrasi dengan kemakmuran, dan budaya demokrasi yang berkeadilan sosial. Pendidikan demokrasi juga dikembangkan di luar kelas dalam bentuk kegiatan OSIS dan ekstra-kurikuler. Selain itu, hal unggulnya adalah pengembangan budaya demokratis dalam sosio-kultur asrama dengan membangun komunikasi antarbudaya dalam keragaman agama, etnis, bahasa, budaya dan latar belakang orang tua siswa, sehingga mampu membentuk harmoni hidup memiliki jiwa “korsa” dan nasionalisme.

2. Kesimpulan Khusus

a. Pendidikan demokrasi menurut persepsi kepala sekolah, guru dan siswa SMAT KN adalah sebagai pemberian ruang kebebasan bagi siswa dalam mengetahui, memahami dan menggunakan hak-hak serta melaksanakan kewajibannya dalam bingkai penerapan kedisiplinan untuk tujuan mencapai visi dan misi sekolah, yakni pilar prestasi akademik, religius dan terampil. Pendidikan demokrasi yang dibangun di sekolah secara konsisten dan kontinyu ini dapat mewujudkan pranata atau tatanan sosial-pedagogis yang kondusif atau memberi suasana bagi tumbuh kembangnya berbagai kualitas pribadi demokratis.


(50)

Sedangkan masyarakat sekolah demokratis menurut persepsi kepala sekolah, guru dan siswa SMAT KN merupakan komunitas sekolah yang menerapkan nilai-nilai demokratis. Masyarakat sekolah demokratis dapat dibangun dalam dua aspek strategis, yakni : Pertama, managemen sekolah ditandai oleh: (a) Peraturan sekolah dibuat bersama; (b) Kebijakan berproses bottom up; (c) Adanya keterbukaan dan sosialisasi program sekolah; (d) Kebebasan mengemukkan pendapat; (e) Memperbanyak keterlibatan orang dalam kegiatan sekolah (warga sekolah); (f) Memberi keleluasaan peserta didik dalam mengeksplor kemampuan; (g) Sekolah responsif terhadap usulan dan kritik siswa. Kedua, dalam proses pembelajaran, demokratisasi dilakukan dengan cara : orientasi siswa (student centered); nyaman/menyenangkan, mengangkat permasalahan nyata, guru sebagai fasilitator dan mediator, adanya keleluasaan siswa diskusi, bertanya, dan mengomentari, materi mengacu pada SK/KD yang tepat, metode yang memberi ruang keaktifan siswa (mengurangi ceramah), penilaian dilakukan secara transparan (proses dan hasil).

b. Implementasi Pembelajaran PKn dalam Pengembangan Budaya Demokrasi Konstitusional

1) Perencanaan pembelajaran PKn untuk tujuan pengembangan budaya demokrasi di SMAT KN Bandung, yakni pengembangan materi, media, metode dan penilaian pada silabus dan RPP mengacu pada standar kompetensi dan kompetensi dasar yang terumus dalam Standar Isi (Permendiknas No 22 tahun 2006), dan Standar Penilaian (Permendiknas


(51)

No 20 tahun 2007). Aspek kompetensi kewarganegaraan yang dikembangkan meliputi “civic knowledge, civic skill dan civic disposition”.

2) Pelaksanaan pembelajaran PKn di SMAT KN dalam batas-batas tertentu telah mengikuti Standar Proses (Permendiknas No 41 tahun 2007), dan karakteristik model pembelajaran demokratis Joyce dan Weil, yakni mencakup struktur, yakni meliputi : pengkondisian awal, pembentukan konseptual, pembentuk kelompok multikultur, kerja kelompok, refleksi dan reinforcement, dan penutup. Pembelajaran telah menciptakan sistem sosial yang demokratis, prinsip pengelolaan yang menunjukkan peran guru sebagai fasilitator, mediator dan pemberi kritik yang baik, ditunjang sistem pendukun yang lengkap, dan dampak instruksional dan pengiring yang baik. Akan tetapi, pembelajaran dan penilaian belum mengeksplor kompetensi siswa dalam mengembangkan berpikir kritis untuk memecahkan isu-isu kewarganegaraan yang kompleks, kontroversial dan nyata, yang dibangun konseptualnya melalui pelibatan siswa dalam kerja sama kelompok. Dengan demikian pembelajaran masih berkutat pada titik “education about citizenship”. Perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran PKn yang berbasis demokrasi akan melahirkan dan membetuk sikap dan perilaku siswa yang demokratis.


(52)

c. Budaya sekolah dalam pengembangan budaya demokrasi konstitusional di SMAT KN.

1) Pengembangan budaya demokrasi yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa di SMAT KN dikembangkan merujuk pada visi dan misi sekolah untuk memberikan ruh pada kegiatan akademik. Pendidikan agama dirancang untuk memberikan rujukan pelaksanaan ajaran agama yang diyakini siswa. Nilai-nilai religius dan spiritualitas menjadi landasan penguat (hujah) bagi penerapan kedisiplinan di sekolah dan sosio-kultural asrama dalam mewujudkan budaya tertib dan disiplin. Sehingga outcome-nya, siswa dapat menjadi muslim yang taat, mampu mengaji dengan baik, sholatnya benar dan khusuk, serta faham akan nilai dan norma agama. 2) Pengembangan budaya demokrasi dengan kecerdasan di SMAT KN

ditumbuhkembangkan secara multi kecerdasan yang meliputi intelektual, emosional, kinestetik, sosial dan spiritual. Kecerdasan-kecerdasan itu dikembangkan secara secara formal-kurikuler di sekolah, pengembangan diri pendidikan agama, dan sosio-kultur kehidupan asrama, yang dibangun dengan dasar kedisiplinan yang tinggi sepanjang hari (full days). 3) Pengembangan budaya demokrasi dengan kedaulatan di SMAT KN diwujudkan dalam : (1) manajerial umum dan keuangan oleh Yayasan Krida Nusantara (YKN); (2) manejerial teknis kependidikan dilakukan oleh sekolah. Kepala sekolah adalah “top manajerial”, yang dapat memberikan masukan kebijakan kepada yayasan dalam hal pengembangan sekolah. Prose pengambilan keputusan dilakukan “bottom


(53)

up”, seperti dalam perumusan visi dan misi sekolah. Mekanisme “staffing” dilakukan melalui “polling” guru, dan kepala sekolah mensyahkan setelah ada persetujuan “mutlak” dari yayasan. Sekolah memiliki komite sekolah, yang pengurusnya dirangkat oleh yayasan, sehingga tersamarkan antara kebijakan komite atau yayasan.

4) Pengembangan budaya demokrasi dengan “rule of law” di SMAT KN adalah penerapan pola kedisiplinan yang membingkai sistem pendidikan sekolah. Kedisiplinan diciptakan dengan melandaskan pada Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN), model disiplin otoriter (militer), ajaran agama dan pola pengasuhan asrama. Berbagai tata tertib dibuat secara detail dan lengkap dengan seperangkat sanksi-sanksi. Siswa berkewajiban mentaati aturan dan konsekuensi ketidaktaatan adalah sanksi.

5) Pengembangan budaya demokrasi dengan pembagian tugas di SMAT KN mengacu pada tugas pokok dan fungsi masing-masing jabatan di sekolah. Struktur dan rincian tugas pokok dan fungsi dirumuskan secara lengkap dalam panduan sekolah, yang terdiri dari bidang kesiswaan, bidang kurikulum dan bidang humas, kecuali bidang sarana dan prasarana yang masih dikelola oleh yayasan.

6) Pengembangan budaya demokrasi dengan hak-hak asasi di SMAT KN dilakukan dengan menghargai dan memperlakukan semua siswa tanpa diskriminasi atas perbedaan agama, etnis, budaya dan latar belakang orang tua siswa. Jaminan dan perlakuan yang menjunjung hak-hak asasi ini dilakukan sekolah pada saat awal seleksi masuk, saat pembelajaran


(54)

dan di asrama. Semua diposisikan sama dalam melaksanakan aturan, dan dikenai sanksi yang sama pula. Walau dalam batas-batas tertentu siswa tidak diperkenankan beragumentasi atas aturan yang dilanggarnya. Namun tetap siswa difasilitasi kotak saran untuk menampung kritik dan saran siswa atas kehidupan sekolah.

7) Pengembangan budaya demokrasi dengan sistem pengadilan di SMAT KN dilakukan sesuai konteks, yakni tingkat manajemen sekolah, maka konflik dan pengambil keputusan atas pelanggaran guru dilakukan oleh kepala sekolah sebagai pemegang hak prerogatif. Dalam tingkatan siswa, dilakukan oleh masing-masing bidang tugas, yakni di asrama ada wali asuh, binsis, dan lurah; di kelas adalah wewenang guru dan BP; dan binsis pada unit-unit kegiatan siswa; kesemuanya menjadi tanggung jawab wakasek kesiswaan.

8) Pengembangan budaya demokrasi dengan otonomi tugas di SMAT KN peneliti dapat menyimpulkan bahwa otonomi tugas adalah pendelegasian tugas-tugas kepala sekolah kepada pembantu-pembantunya, yakni wakasek kurikulum, membawahi unit bimbingan belajar, unit pendidikan agama, unit keterampilan, unit perpustakaan, dan unit pengembangan kurikulum; wakasek kesiswaan bertanggung jawab atas unit asrama, unit ruang makan, dan OSIS serta ekstra-kurikuler; wakasek humas tidak membawahi unit-unit kegiatan. Dan yang berkaitan dengan siswa dalam pembelajaran, ada guru mata pelajaran, wali asuh (di sekolah dan asrama), dan BP/BK.


(55)

9) Pengembangan budaya demokrasi dengan kemakmuran di SMAT KN peneliti dapat menyimpulkan bahwa kesejahteraan guru telah layak yang sebanding dengan tugas profesinya di sekolah, dan kondisi latar belakang pekerjaan orang tua siswa pun menunjukkan kemapanan. Kesejahteraan yang layak ini membantu guru dalam meningkatkan profesionalismenya dalam menciptakan struktur dan kultur belajar mengajar yang demokratis. 10) Pengembangan budaya demokrasi yang berkeadilan sosial di SMAT KN

adalah bentuk penghargaan dan perlakuan sekolah yang tidak diskriminatif terhadap siswa yang beragam agama, etnis, budaya dan latar belakang orang tua (equal opportunity for all). Hak-hak siswa dipenuhi sesuai ketentuan yang ditetapkan, dan siswa dikenai sanksi atas pelanggaran aturan yang ditetapkan.

d. Kendala dan upaya pendidikan demokrasi dalam sosio-kultural di luar kelas

1) Kegiatan belajar berdemokrasi di luar kelas, di SMAT KN difasilitasi melalui kegiatan OSIS dan Ekstra-kurikuler. Kegiatan-kegiatan itu diwujudkan dalam memberikan bekal nyata bagi siswa. Pluralitas siswa dalam kegiatan tersebut dapat dijadikan tantangan sekaligus peluang dalam membangun harmoni komunikasi antarbudaya, antaragama, dan antaraetnis. Selain itu, kelompok kesenian tradisional (KAG) adalah wahana berdemokrasi dalam kesenian untuk membangun jiwa nasionalisme siswa.


(1)

Zuriah, N. dan Sunaryo, H. (2008). Inovasi Model Pembelajaran Demokratis Berperspektif Gender. Malang : UMM Press.

Sumber Jurnal :

Almond, G. (1996). The Civic Culture: Prehistory, Retrospect and Prospect, Center for the Study of Democracy, UC Irvine: Research Paper Series in Empirical Democratic Theory, No. 1.

Bahmueller, C.F. (1997). A Frame for Teaching Democratic Citizenship : An International Project. In The International Journal of Social Education, 12, (2), 216-221.

Budimansyah, D. (2008). Revitalisasi PKn Melalui Praktek Belajar Kewarganegaraan. Acta Civicus, 1, (2) 179-198.

Cholisin (2000). Reorientasi dan Rekonstruksi Paradigma Lama PKN Menuju Indonesia Baru. Cakrawala Pendidikan Th XIX No. 4, (1-18).

Gandal, M. And Finn, Jr.C.E. (1992). Teaching Democracy. Freedom Paper USA, (2) 1-28.

Kerr, D. (1999). Citizenship Education : An International Comparison. London: National Fondation For Education Research-NFER.

Komalasari, K. dan Budimansyah, D. (2008). Pengaruh Pembelajaran PKn Kontekstual terhadap Kompetensi Kewarganegaraan SMP. Acta Civicus. 2, (1), 76-97.

Nasution, A.B. (2008). Visi Pembangunan Hukum Tahun 2005 : Akses Terhadap Keadilan Dalam Negara Demokrasi Konstitusional. Buah Pena, V, (4), 12-16.

Print, M., Ornstrom, S., Nelson (2002). Education For Democracy in School and Classroom. European Journal of Education. 37, (2).

Sapriya. (2008). Perspektif Pemikiran Pakar tentang Pendidikan Kewarganegaraan dalam Pembangunan Karakter Bangsa (Sebuah Kajian Konseptual-Filosofis Pendidikan Kewarganegaraan dalam Konteks Pendidikan IPS). Acta Civicus, 1, (2) 199-214.

Setiawan, D. (2009). Paradigma Pendidikan Kewarganegaraan Demokratis di Era Global. Acta Civicus, 2, (2), 127-144.


(2)

Suryadi, A. (2003). Tantangan Pendidikan di Era Desentralisasi. Buletin Pusat Perbukuan Depdiknas. 2, 4-6.

Winataputra, U.S. (2008). Multikulturalisme Bhinneka Tunggal Ika dalam Perspektif Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Wahana Pembangunan Karakter Bangsa Indonesia. Acta Civicus. 2, (1), 1-16.

Tesis, Desertasi, Pengukuhan Guru Besar dan Penelitian :

Budimansyah, D. (2009). Membangun Kultur Bangsa di Tengah Arus Globalisasi dan Gerakan Demokratisasi. Pidato Pengukuhan Guru Besar pada FPIPS UPI Bandung : tidak diterbitkan.

Djahiri, A.K. (1998). Analisis Temuan Penelitian Pandangan Guru PPKn SLTP dan SMU serta Implikasinya terhadap Pembaharuan Kurikulum PPKn 1994. Bandung : Lab. PPKn FPIPS UPI.

Ibnu, S. (2005). Membangun Tradisi Demokrasi Lewat Kelas-Kelas Sains. Pidato Pengukuhan Guru Besar pada FPMIPA Universitas Negeri Malang : Tidak diterbitkan.

Komalasari, K. (2007). Pengaruh Pembelajaran PKn Kontekstual terhadap Kompetensi Kewarganegaraan SMP. Desertasi Doktor pada FPS UPI Bandung : tidak diterbitkan.

Maslowski, R. (2001). School Culture and School Performance. Ph.D, Netherland, University of Twente Press. Tersedia di http://www.tup.utwente.nl. Diakses tanggal 20 Juli 2010.

Suhartono, et al. (2008). Tingkat Kesadaran Politik Pemilih Pemula dalam Pilkada: Suatu Refleksi School-Based Democracy Education Model (Studi Kasus Pilkada banten dan Jawa Barat). Hasil Penelitian pada SPs UPI. The Asian Fondation. (1998). Indonesia National Voter Education Survey.

Jakarta.

Winataputra, U.S. (2001). Jatidiri Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Wahana Sistemik Pendidikan Demokrasi. Ringkasan Desertasi Doktor pada FPS UPI Bandung : tidak diterbitkan.

Zamroni. (2002). Demokrasi dan Pendidikan Dalam Transisi : Perlunya Reorientasi Pengajaran Ilmu-Ilmu Sosial di Sekolah Menengah. Pidato Pengukuhan Guru Besar pada FIS UNY Yogyakarta : tidak diterbitkan.


(3)

Sumber Makalah/Artikel :

Abdullah, T. (2009). Pendidikan Untuk Keadilan dan Kesejahteraan Bangsa. Jakarta : Harian Seputar Indonesia, 2 Februari 2009.

Azra, A. (2001). “Pendidikan Kewargaan untuk Demokrasi di Indonesia”. Makalah Seminar Nasional II Civic Education di Perguruan Tinggi, Mataram, 22-23 April.

Brown, R. (2004). School Culture and Organization. Tersedia di http://www.dspk12.org. Diakses tanggal 20 Juli 2010.

Fadl, K.A.E. (2003). Islam and The Challenge of Democracy. Bonton Review Books. Tersedia di http://bostonreview.net/BR28.2/Abou.html, diakses tanggal 13 Juni 2010.

Jalal, F. (2007). “Sertifikasi Guru Untuk Meningkatkan Guru Bermutu?” Makalah disampaikan pada seminar pendidikan yang diselenggarakan oleh Program Pasca Sarjana UNAIR, tanggal 28 April 2007 di Surabaya.

Karahan, T.F., et al. (2009). Democratic Attitude, Neurotic, Tendencies and Self Actualization In Prospektif-Teachers. Tersedia di : http://www.efdorgi.hacettepe.edu.tr/journalinfo/30/a17.htm diakses tanggal 27 Oktober 2009.

McNamara, C. (2007). Organizational Culture.

http://managementhelp.org/org_thry/culture/culture.htm. Diakses tanggal 20 Juli 2010.

Madjid, Nurcholis (2000). ”Asas-Asas Pluralisme dan Toleransi dalam Masyarakat Madani”. Makalah lokakarya Islam dan Pengembangan Civil Society di Indonesia, kerja sama IRIS Bandung-PPIM Jakarta-The Asia Foundation.

Muslimin, S. (2008). Problem dan Solusi Sekolah Berasram (Boarding School). Tersedia di : http://sutris02.wordpress.com/2008/09/08/problem-dan-solusi-pendidikan-berasrama-boarding-school/. Diakses tanggal 17 Mei 2010.

Nasih, M. (2009). “Membangun Budaya Demokrasi”. Republika (11 Mei 2009). Pabottinggi M, (2002) Demokrasi: Dimana Berkiprah Dimana Sekarat, Jakarta:


(4)

Rosyada, D. (2007). “Arah Kebijakan Pengembangan Pendidikan di Indonesia”. Makalah Seminar Nasional Pendidikan: Reposisi Peran Pendidikan Menuju Negeri Mandiri, Berharga Diri.

Sumantri, S. (1998). ”Pembahasan Konsep dan Nilai Demokrasi”. Bandung: Panitia Seminar Jurusan PPKN IKIP.

Suryadi, K. (2009). Peran Strategis Pendidikan Politik : Bagaimana Membuat Partisipasi Politik Warga Bermakna? Makalah pada Seminar Pemilu 2009 dan Pendidikan Politik. Bandung : Panitia Seminar FPIPS Jurusan PMPKN.

Tacman, M. (2006). Democratic Attitude of Elementary School Teachers.

Tersedia di :

http://www.world.education-entre.org/cjes/summary/2006no1summary/2006no/summary4.pdf diakses tanggal 27 Oktober 2009.

Urbaningrum, A. (2004). Islam-Demokrasi, Pemikiran Nurcholis Madjid. Jakarta : Republika.

Widoyoko, E.P. (2008). Peranan Sertifikasi Guru dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan. Disampaikan pada Seminar Nasional Peningkatan Mutu Pendidikan, melalui sertifikasi guru di Universitas Muhammadiyah Purwerejo, tanggal 5 Juli 2008. Tersedia di : http://www.um-

pwr.ac.id/web/download/publikasi-ilmiah/Peranan%20Sertifikasi%20Guru%20dalam%20Meningkatkan%20 Mutu%20Pendidikan.pdf. Diakses tanggal 24 Juni 2010.

Winataputra, U.S. (2005). “Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Membangun Masyarakat Demokratis Berkeadaban : Tinjauan Filosofis-Pedagogis”. Makalah pada Seminar dan Lokakarya Dosen PKn PTN dan PTS, Medan, 22 September.

Sumber Perundang-Undangan :

Undang-Undang Dasar NKRI Tahun 1945 Hasil Amandemen

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional RI Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional


(5)

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian.


(6)

RIWAYAT HIDUP PENULIS

CUCU RUSKANDI, lahir di Sumedang, 20 Juni 1970, anak keempat dari empat bersaudara dari pasangan Bapak E. Juarta (alm) dan Ibu Isah.

Menyelesaikan pendidikan di SDN Marongge Kabupaten Sumedang tahun 1984, lulus SMPN 1 Tomo tahun 1987, kemudian melanjutkan ke SPGN 1 Sumedang dan lulus tahun 1990. Gelar Sarjana Pendidikan diraih dari Jurusan PMPKN IKIP Bandung tahun 1995 (D3), dan tahun 1997 (S1), dengan yudisium Cum Laude. Skripsi yang diselesaikannya berjudul “Peranan Ulama dalam Politik Orde Baru: Studi Kasus di Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Perwakilan Jawa Barat.

Sejak tahun 1999 bekerja menjadi guru (PNS) di SMPN 1 Pamulihan Kabupaten Sumedang. Selama menjadi pendidik, penulis pernah aktif sebagai Instruktur Provinsi Jawa Barat dalam Pelatihan Terintegrasi Berbasis Kompetensi (PTBK) Mapel PKn tahun 2004-2005, juri lomba Inovasi Pembelajaran Tingkat Propinsi Jawa Barat (2005-2006), Instruktur dalam Implementasi KTSP Mapel PKn Propinsi Jawa Barat tahun 2006, dan Tim Pengembang Kurikulum Mapel PKn Kabupaten Sumedang tahun 2007 sampai sekarang.

Di samping itu, penulis aktif dalam kegiatan MGMP PKn, dan menjabat sebagai Ketua MGMP PKn Provinsi Jawa Barat tahun 2006-2010, dan Ketua MGMP PKn Kabupaten Sumedang tahun 2008-2012.

Prestasi dalam bidang keguruannya yang pernah diraih penulis adalah : Guru Berprestasi Tingkat Kabupaten Sumedang tahun 2006, Finalis Lomba Keberhasilan Guru dalam Pembelajaran Tingkat Nasional tahun 2007, dan Finalis Lomba Inovasi dan Kreasi Media Pembelajaran Tingkat Nasional tahun 2009.