Pembatalan Hak Sewa Bangunan oleh Ahli Waris Terhadap Ruko yang Dibangun di Atas Tanah Milik Orang Lain (Studi Putusan : Pengadilan Negeri Medan No. 227 Pdt.G 2012 PN MEDAN)

BAB II
SEWA MENYEWA RUMAH / BANGUNAN

A. Sejarah, Pengeretian, Subjek dan Objek Serta Dasar Hukum Sewa
Menyewa
1. Sejarah Sewa Menyewa
Sejarah terbentuknya sewa-menyewa di Belanda, pemerintah Belanda
mencurahkan perhatian yang cukup besar untuk kesejahteraan masyarakat, antara
lain mengenai masalah sewa-menyewa rumah tinggal. Kesejahteraan manusia itu
tidak hanya mengenai kesejahteraan dalam hal pangan saja tetapi masalah rumah
tinggal (papan) juga merupakan suatu masalah yang tidak kurang artinya. Untuk
kepastian hukum dari hubungan sewa-menyewa rumah tinggal itu, negara telah
menerbitkan berbagai peraturan 7.
Oleh karena itu kurangnya perumahan setelah perang dunia II dan demi
untuk melindungi masyarakat yang kurang mampu, maka pada tahun 1941
diterbitkan surat keputusan untuk melindungi para penyewa rumah tinggal dan
barang tidak bergerak lainnya yang disebut huubescherningsbesluit (perlindungan
persewaan). Hal ini disebabkan oleh karena bertambah banyaknya pendatangpendatang baru, baik sebagai pekerja atau pun sebagai pengusaha kecil, maka
pemerintah terpaksa ikut campur dalam bidang perdata ini, yaitu pada bidang
sewa menyewa bangunan pada umumnya. Untuk mengatasi sewa menyewa
barang tidak bergerak, antara lain sewa menyewa rumah tinggal, maka pada tahun

1950 UU yang terkenal dengan sebutan huurwet yang diundangkan pada tanggal
7

Mursila Bustama, Sewa Menyewa Di Nederland, Mahkamah Agung-RI, Jakarta, 1993,

hal 7.

14
Universitas Sumatera Utara

15

13 Oktober 1950 Stb.K 452. Pada tahun 1960 ada beberapa kotapraja merasa
bahwa huurwet itu tidak dapat dipertahankan lagi karena terlalu menguntungkan
si penyewa dan kembali untuk memperlakukan peraturan di dalam BW yang
disebut “liberisasi”. Harga sewa tidak ditentukan oleh pemerintah, tetapi
ditentukan oleh persetujuan kedua belah pihak, yaitu si penyewa dan yang
menyewakan 8.
Pada waktu diadakan perubahan BW tahun 1972, maka Pasal 1623a BW
dan peraturan yang telah diliberalisasi itu berlaku bersamaan dengan huurwet

tersebut di atas. Di dalam huurwet

itu ada pula peraturan sewa menyewa

bangunan yang menentukan plafon sewa dari setiap macam bangunan. Pasal yang
terkenal dalam huurwet itu adalah Pasal 18 yang menentukan bahwa setelah
berakhirnya suatu hubungan sewa menyewa, maka si penyewa masih berhak
menempati tempat itu demi untuk perlindungan sewa (huurbescherming).
Peraturan ini sekarang hanya berlaku untuk sewa menyewa bangunan-bangunan
perusahaan yang tidak diliberalisasikan. Pada tahun 1979 terbitlah tiga serangkai
peraturan mengenai:
1. Huurprizenwet woonruimte (UU sewa menyewa mengenai tempat tinggal)
2. Wet op de huurcommisse (UU tentang Badan Komisi Sewa Menyewa
mengenai tempat tinggal)
3. Wet houdende berpalingen met betrekking tot huur en verhuur
vanwoonruimte (UU yang berkenaan dengan peraturan sewa menyewa
tempat tinggal)
Sehingga sewa menyewa tempat tinggal/woonruimte diatur oleh ketiga aturan ini 9.
Sedangkan sejarah sewa menyewa menurut hukum Islam, sewa menyewa
itu dikenal dengan sebutan ijarah. Menurut etimologi, ijarah adalah menjual

8
9

Ibid
Ibid, hal 8.

Universitas Sumatera Utara

16

manfaat. Ijarah merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah dalam
memenuhi keperluan manusia, seperti sewa-menyewa, kontrak atau menjual jasa
perhotelan dan lain-lain 10. Demikian pula artinya menurut terminologi syara.
Hampir semua ulama fiqih sepakat bahwa ijarah disyari’atkan dalam
Islam. Namun ada sebagian yang tidak menyepakati dengan alasan bahwa ijarah
adalah jual-beli barang yang tidak dapat dipegang (tidak ada). Sesuatu yang tidak
ada tidak dapat dikategorikan jual beli. Dalam menjawab pandangan ulama yang
tidak menyepakati ijarah tersebut, Ibnu Rusyd berpendapat bahwa kemanfaatan
walaupun tidak berbentuk, dapat dijadikan alat pembayaran menurut kebiasan
(adat). Mengenai hal ini dapat dikatakan bahwa meski tidak terdapat manfaat pada

saat terjadinya akad, tetapi pada dasarnya akan dapat dipenuhi. Sedang dari
manfaat-manfaat tersebut, hukum syara’ hanya memperhatikan apa yang ada pada
dasarnya yang akan dapat dipenuhi, atau adanya keseimbangan antara dapat
dipenuhi dan tidak dapat dipenuhi 11.
Sebagai sebuah transaksi umum, ijarah dianggap sah apabila telah
memenuhi rukun dan syaratnya, sebagaimana yang berlaku secara umum dalam
transaksi lainnya. Adapun syarat-syarat ijarah adalah sebagai berikut:
a. Al-muta’aqidain (kedua orang yang berakad) 12.
1)

Menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah: baligh dan berakal.

2)

Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah: tidak harus mencapai baligh,
anak yang telah mumayyiz pun boleh melakukan akad ijarah dan dianggap
sah apabila disetujui oleh walinya.

10


Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah. Gaya Media Pratama, Jakarta, 2000, hal 228.
Ibnu Rusyd, Tarjamah Bidayatu’l Mujtahid, Asy-Syifa, Semarang, 1990, hal 196.
12
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, Op.cit., Hal 231.

11

Universitas Sumatera Utara

17

b. Kedua belah pihak yang berakad menyatakan kerelaan untuk melakukan akad
ijarah.
c. Manfaat yang menjadi obyek ijarah harus diketahui secara sempurna, sehingga
tidak muncul perselisihan dikemudian hari.
d. Obyek ijarah boleh diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak
bercacat.
e. Obyek ijarah adalah sesuatu yang dihalalkan oleh syara’.
f. Yang disewakan adalah bukan suatu kewajiban bagi penyewa.
g. Objek ijarah itu merupakan sesuatu yang biasa disewakan, seperti rumah,

mobil, dan hewan tunggangan.
h. Upah/sewa dalam akad ijarah harus jelas, tertentu dan sesuatu yang bernilai
harta.

2. Pengertian Sewa Menyewa
Defenisi dari perjanjian sewa menyewa yang diberikan oleh Pasal 1548
KUHPerdata adalah :
“Sewa menyewa adalah suatu perjanjian dengan mana pihak satu mengikat
dirinya untuk memberikan kepada pihak lainnya kenikmatan dari sesuatu
barang, selama sewaktu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu
harga yang oleh pihak tersebut terakhir disanggupi pembayarannya.”
Menarik juga untuk diperhatikan defenisi yang dirumuskan oleh C.S.T
Kansil mengenai sewa menyewa. Adapun definisi sewa menyewa yang
dikemukakan C.S.T Kansil adalah suatu perjanjian untuk menyerahkan suatu
barang untuk digunakan dalam waktu tertentu dan dengan sewa tertentu 13.

13

C.S.T.Kansil dan Christine S.T.Kansil, Modul Hukum Perdata, PT. Pradnya Paramita,
Jakarta Hal 241.


Universitas Sumatera Utara

18

Sewa menyewa seperti halnya dengan jual beli dan perjanjian lain pada
umumnya, adalah suatu perjanjian konsensual. Yang artinya, ia sudah sah dan
mengikat pada detik tercapainya sepakat mengenai unsur-unsur pokoknya, yaitu
barang dan harga 14.
Dalam buku pokok-pokok hukum Islam, Sudarsono menyebutkan bahwa
penyewa yaitu orang yang mengambil manfaat dengan perjanjian yang ditentukan
oleh syara’ dan mempersewakan adalah akad atas suatu manfaat yang dimaksud
lagi diketahui, dengan imbalan yang diketahui menurut syarat-syarat tertentu
pula 15. Jadi sewa menyewa menurut Sudarsono adalah akad atas manfaat dengan
imbalan yang diketahui dan ditentukan oleh syara’.
Perbedaan pokok antara jual-beli dengan sewa menyewa terletak pada
masalah :
(1). Pada sewa menyewa, hak menikmati barang yang diserahkan kepada si
penyewa, hanya terbatas pada suatu jangka waktu tertentu saja, sesuai
dengan lamanya jangka waktu yang ditentukan dalam persetujuan.

Sedangkan, pada batas waktu tertentu, sekaligus terhadap barang yang
dibeli tadi terjadi penyerahan hak milik kepada pembeli.
(2). Tujuan pembayaran sejumlah uang dalam sewa meyewa, hanya sebagai
imbalan atas hak penikmat benda yang disewakan. Sedangkan, pada jual beli,
tujuan pembayaran harga barang oleh pembeli tiada lain untuk pemilikan
barang yang dibeli 16.

14

R. Subekti, Aneka Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal 39-40.
Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1992, hal 423-424.
16
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Op.cit., hal 221.
15

Universitas Sumatera Utara

19

Sewa menyewa berbeda dengan leasing. Dalam SK Menkeu Republik

Indonesia Nomor 1169/KMK.01/1991, Pasal 1 butir a disebutkan :
“Sewa guna usaha (leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk
penyediaan barang dan modal, baik secara sewa guna usaha dengan
hak opsi (finance lease) maupun sewa guna tanpa opsi (operating
lease) untuk digunakan oleh lessee selama jangka waktu tertentu
berdasarkan pembayaran secara berkala.”
Berdasarkan dengan leasing terdapat 2 (dua) pihak yakni lessor
perusahaan pembiayaan atau perusahaan sewa guna usaha yang telah memperoleh
ijin usaha dari Menteri Keuangan dan melakukan sewa guna usaha serta lessee
yaitu perusahaan atau perorangan yang menggunakan barang modal dengan
pembiayaan lessor. 17
Seperti yang telah dikatakan maksud persetujuan sewa menyewa ialah
menikmati atas suatu barang dengan cara membayar sewa untuk jangka waktu
tertentu. Penikmat inilah sebagai suatu unsur yang ditekankan pada Pasal 1548
KUHPerdata. Penikmat itu tidak terbatas sifatnya, seluruh kenikmatan yang dapat
dikecap dari barang yang disewa harus diperuntukan bagi si penyewa.
Penikmat atas seluruh barang yang disewakan tidak akan menimbulkan
persoalan, jika si penyewa menguasai seluruh bagian barang. Masalah penikmat
bisa menimbulkan persoalan, apabila si penyewa hanya menyewa atas sebahagian
barang saja. Seperti halnya penyewaan atas sebahagian bawah suatu rumah

bertingkat, atau hanya pada bagian pavilion saja 18. Tentu dalam penyewaan atas
bahagian barang, si penyewa hanya berhak untuk menikmati bahagian yang
17
18

Sentosa Sembiring, Hukum Dagang, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2001, hal 116.
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Loc.cit.

Universitas Sumatera Utara

20

disewakan saja, sesuai denga indentifikasi yang telah ditentukan dalam perjanjian
sewa-menyewa.
3. Subjek dan Objek Sewa Menyewa
Istilah subjek hukum berasal dari terjemahan rechtsubject (Belanda) atau
law of subject (Inggris). Pada umumnya rechtsubject diartikan sebagai
pendukung hak dan kewajiban 19.
Menurut C.S.T Kansil yang dimaksud dengan subjek hukum ialah siapa
yang dapat mempunyai hak dan cakap untuk bertindak di dalam hukum, atau

dengan kata lain siapa yang cakap menurut hukum untuk mempunyai hak 20. Pada
definisi yang diberi oleh Kansil, terdapat kata cakap, dimana menurut beliau
subjek hukum adalah mereka yang cakap menurut hukum untuk mempunyai hak.
Subjek hukum mempunyai peranan yang penting di dalam bidang hukum,
khususnya hukum keperdataan karena subjek hukum itulah nantinya yang dapat
mempunyai kewenangan hukum. Didalam berbagai literatur dikenal 2 (dua)
macam subjek hukum, yaitu manusia pribadi (natuurlijke persoon) dan badan
hukum (rechts persoon).
Ada 2 (dua) pengertian manusia yaitu secara biologis dan secara yuridis.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan bahwa manusia adalah
makhluk yang berakal budi (mampu menguasai makhluk lainnya). Chaidir Ali
mengartikan bahwa manusia adalah makhluk yang berwujud dan rohaniah, yang
secara berasa, yang berbuat dan bernilai, berpengetahuan dan berwatak 21.
Kedua pengertian itu difokuskan pada pengertian manusia secara biologis,
dimana manusia mempunyai akal yang membuatnya berbeda dari makhluk
19

Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta 2002, hal 23.
C.S.T.Kansil dan Christine S.T.Kansil, Modul Hukum Perdata,Op.cit., hal 84.
21
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Op.cit., hal 24.
20

Universitas Sumatera Utara

21

lainnya. Namun secara yuridis para ahli berpendapat bahwa manusia sama dengan
orang (persoon) dalam hukum.
Ada dua alasan yang dikemukakan oleh para ahli tersebut, yaitu yang
pertama manusia mempunyai hak-hak subjektif dan yang kedua yaitu kewenangan
hukum. Kewenangan hukum adalah kecakapan untuk menjadi subjek hukum,
yaitu sebagai pendukung hak dan kewajiban.
Pada dasarnya manusia mempunyai hak sejak dilahirkan namun tidak
semua manusia mempunyai kewenangan dan kecakapan untuk melakukan
perbuatan hukum. Setelah diuraikan mengenai manusia pribadi (natuurlijke
persoon) sebagai subjek hukum maka badan hukum (rechts persoon) juga
merupakan subjek hukum. Badan hukum sebagai subjek hukum dapat bertindak
seperti manusia. Badan hukum merupakan kumpulan manusia pribadi dan juga
merupakan kumpulan bagian dari hukum yang mengaturnya sesuai dengan hukum
yang berlaku; umpamanya, badan hukum Perseroan Terbatas menurut Bab III
KUHD dan koperasi menurut Undang-Undang No.17 Tahun 2012 22.
Menurut Soemitro, rechtpersoon adalah suatu badan yang dapat
mempunyai harta kekayaan, hak serta kewajiban seperti orang-orang pribadi.
Sementara Sri Soedewi berpandangan bahwa badan hukum adalah kumpulan
orang-orang yang bersama-sama bertujuan untuk mendirikan suatu badan, yaitu
berwujud himpunan dan harta kekayaan yang disendirikan untuk tujuan tertentu
dan ini dikenal dengan yayasan 23.
Dalam definisi-definisi tersebut, dapat dikemukakan bahwa unsur-unsur
dari badan hukum, yaitu :
22
23

C.S.T. Kansil dan Christine S.T.Kansil, Modul Hukum Perdata, Op.cit., hal 89.
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Op.cit., hal 25.

Universitas Sumatera Utara

22

a. Mempunyai kumpulan;
b. Mempunyai tujuan tertentu;
c. Mempunyai harta kekayaan;
d. Mempunyai hak dan kewajiban;
e. Mempunyai hak untuk digugat dan menggugat 24.
Badan hukum (rechtspersoon) dibedakan dalam 2 bentuk, yaitu :
1). Badan hukum publik atau publiek rechtspersoon
Badan hukum publik adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan
hukum publik atau yang menyangkut kepentingan publik atau orang banyak atau
negara pada umumnya. Badan hukum ini merupakan badan-badan negara dan
mempunyai kekuasaan wilayah atau merupakan lembaga yang dibentuk oleh yang
berkuasa berdasarkan perundang-undangan yang dijalankan secara fungsional
oleh eksekutif atau pemerintah atau badan pengurus yang diberikan tugas untuk
itu.
Contoh badan hukum publik :
Negara Republik Indonesia yang menjadi dasarnya ialah konstitusi tertulis dalam
bentuk Undang-Undang Dasar, yang dalam menjalankan kekuasaan diberikan
tugas kepada Presiden dan pembantu-pembantunya ialah para Menteri.
2). Badan hukum privat (sipil) atau privaat rechts person
Badan hukum privat (sipil) ialah badan hukum yang didirikan berdasarkan
hukum sipil atau perdata yang menyangkut kepentingan pribadi orang di dalam
badan hukum itu. Badan hukum itu merupakan badan hukum swasta yang
didirikan oleh pribadi orang itu untuk tujuan tertentu yaitu mencari keuntungan,
24

Ibid hal 26

Universitas Sumatera Utara

23

sosial, pendidikan, politik, kebudayaan, kesenian, olahraga, dan lainnya, sesuai
menurut hukum yang berlaku.
Contoh badan hukum privat (sipil) :
Perseroan Terbatas (PT) didirikan pada oleh persero-persero untuk mencari
keuntungan dan kekayaan dan dalam kegiatan pelaksanaan dilakukan oleh
direksi, dan pengaturannya terdapat pada Bab III, bagian ketiga Buku I KUHD 25.
Selanjutnya mengenai objek hukum, yang menjadi objek hukum adalah
benda atau zaak; karena yang menjadi objek itu berarti segala sesuatu yang
berguna bagi objek hukum menjadi pokok permasalahan dan kepentingan bagi
para subjek hukum. Pengaturan tentang benda atau zaak terdapat secara luas pada
Buku II KUHPerdata tentang hukum kebendaan atau zaken recht yang berasal
dari hukum barat. Setelah kemerdekaan perubahan pengaturan tentang hukum
benda dalam Buku II KUHPerdata terjadi perubahan mengenai tanah, bumi, air
serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dengan keluarnya UndangUndang Pokok Agraria dan perundang-udangan lainnya 26.
Mariam Darus berpendapat bahwa untuk menjadi subjek hukum ada syarat
yang harus dipenuhi yaitu penguasaan manusia dan mempunyai nilai ekonomis
dan karena itu dapat dijadikan sebagai objek (perbuatan) hukum 27.
Pasal 503; 504; 505 KUHPerdata di dalamnya menguraikan bagian-bagian
besar dari benda.
Pasal 503 KUHPerdata berbunyi :
“Tiap-tiap kebendaan adalah bertubuh dan tidak bertubuh.”
25

C.S.T. Kansil dan Christine S.T.Kansil, Modul Hukum Perdata, Op.cit., hal 90-91.
Ibid, hal 92
27
Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni Bandung,
1997, hal. 35
26

Universitas Sumatera Utara

24

Pasal 504 KUHPerdata berbunyi :
“Tiap-tiap kebendaan adalah bergerak atau tidak bergerak, satu sama lain
menurut ketentuan-ketentuan dalam kedua bagian tersebut.”
Pasal 505 KUHPerdata berbunyi :
“Tiap-tiap kebendaan bergerak adalah dapat dihabiskan atau tak dapat
dihabiskan; kebendaan dapat dikatakan dapat dihabiskan bilamana mereka
dipakai, menjadi habis.”
Seperti yang disampaikan bahwa di dalam suatu perjanjian menimbulkan
hubungan hukum diantara para pihak yang bersepakat atau berjanji. Dalam
perjanjian sewa menyewa, terdapat 2 (dua) pihak yang menjadi hubungan hukum
yaitu pihak penyewa dan pihak yang menyewakan. Di dalam hubungan hukum
yang terjadi antara pihak penyewa dan pihak yang menyewakan, maka
menunjukkan adanya subjek sebagai pelaku yaitu pihak penyewa dan pihak yang
menyewakan.
Sementara benda yang dipersewakan adalah sebagai objek oleh para pihak
di dalam perjanjian sewa-menyewa. Mengenai jenis-jenis benda yang menjadi
objek dalam perjanjian sewa menyewa diatur dalam Pasal 1549 KUHPerdata yang
dari isinya menyatakan objek dalam perjanjian sewa menyewa adalah semua jenis
barang, baik yang tak bergerak maupun yang bergerak yang dapat disewakan.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa yang menjadi subjek dalam
perjanjian sewa menyewa adalah pihak penyewa dan pihak yang menyewakan,
sementara yang menjadi objek sewa menyewa adalah semua jenis barang baik
yang bergerak maupun benda yang tidak bergerak.
4. Dasar Hukum Sewa Menyewa
Dalam perjanjian sewa menyewa ini berlaku ketentuan tentang perjanjian

Universitas Sumatera Utara

25

pada umumnya, sebagaimana yang tercantumkan dalam Bab Kedua dari Buku III
KUH Perdata.
Bab VII dari Buku III KUHPerdata terdiri dari empat (4) bagian, yaitu:
Bagian I : Ketentuan Umum
Bagian I Buku III KUHPerdata ini terdapat pasal yang di dalamnya
merupakan pengertian dari perjanjian, yang terdiri dari para pihak
yang mengikatkan diri karena pihak yang satu memberikan
kenikmatan dan ketentraman kepada pihak lainnya atas suatu barang
dengan pembayaran suatu nilai harga sewa yang disanggupi oleh
pihak yang menyewa.
Bagian II: Tentang aturan-aturan yang sama-sama berlaku terhadap penyewaan
rumah dan penyewaan tanah.
Bagian II Buku III KUHPerdata, mengatur tentang aturan-aturan yang
sama-sama berlaku terhadap penyewaan rumah dan penyewaan tanah.
Maksudnya pada bagian ini ditetapkannya apa yang diwajibkan oleh
masing-masing pihak penyewa dan yang menyewakan.
Bagian III: Tentang aturan-aturan yang khusus berlaku bagi sewa rumah dan
perabot rumah
Bagian III Buku III KUHPerdata, mengatur tentang aturan yang
khusus berlaku bagi sewa rumah dan perabot rumah. Pada bagian ini
terdapat tujuh pasal yang dimulai dari Pasal 1581 sampai Pasal 1587.
Bagian IV: Tentang aturan-aturan yang khusus berlaku bagi

sewa menyewa

tanah.

Universitas Sumatera Utara

26

Buku IV KUHPerdata, mengatur tentang aturan-aturan yang khusus
berlaku bagi sewa menyewa tanah. Pada bagian ini ada sebelas (11)
pasal yang dimulai dari Pasal 1588 samapai pada Pasal 1600.
Pelaksanaan perjanjian sewa menyewa rumah toko, dan sebagainya diatur
di dalam ketentuan-ketentuan BAB VII Buku Ketiga dari KUHPerdata.

B. Jenis Jenis Sewa Menyewa
Perjanjian sewa-menyewa diatur di dalam bab VII Buku III KUHPerdata
yang berjudul “Tentang Sewa-Menyewa” yang meliputi Pasal 1548 sampai
dengan Pasal 1600 KUHPerdata. Definisi perjanjian sewa-menyewa menurut
Pasal 1548 KUHPerdata menyebutkan bahwa: “ Perjanjian sewa-menyewa adalah
suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk
memberikan kepada pihak yang lainya kenikmatan dari suatu barang, selama
waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga, yang oleh pihak tersebut
belakangan telah disanggupi pembayaranya.” Sewa menyewa dalam bahasa
Belanda disebut dengan huurenverhuur dan dalam Bahasa Inggris disebut dengan
rent atau hire. Sewa-menyewa merupakan salah satu perjanjian timbal balik.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sewa berarti pemakaian sesuatu
dengan membayar uang sewa dan menyewa berarti memakai dengan membayar
uang sewa.
Dalam sewa menyewa belum dibuat secara khusus mengenai jenis-jenis
sewa menyewa akan tetapi wawancara secara langsung terhadap beberapa
narasumber

mengenai

tersebut.

Dalam

wawancara

tersebut

Bapak

Suprayitno,SH.Mkn selaku narasumber menyatakan bahwa sewa menyewa
merupakan perjanjian bernama yang termasuk di dalam KUHPerdata yang

Universitas Sumatera Utara

27

memiliki unsur berupa uang yaitu uang sewa, harga sewa dan jangka waktu
sewa. 28 Dalam hal tersebut narasumber mengatakan bahwa jenis sewa menyewa
adalah sewa menyewa dengan jangka waktu, sewa dengan jangka waktu tersebut
diatur di dalam Undang-undang Nomor 44 Tahun 1994 tentang penghuni rumah
oleh bukan pemilik.
Bapak Rustam Idris, SH menyatakan bahwa sewa menyewa dibagi atas 2
(dua) yaitu sewa guna usaha (Leasing) dan sewa dengan hak membeli kembali.29
Sewa guna usaha (Leasing) adalah suatu kegiatan pembiayaan kepada perusahaan
(badan hukum) atau perorangan dalam bentuk pembiayaan barang modal.
Pembayaran kembali oleh peminjam dilakukan oleh peminjam dilakukan secara
berkala, dan dalam jangka waktu menengah atau panjang. Perusahaan yang
menyelenggarakan leasing disebut dengan lessor sedangkan perusahaan yang
mengajukan leasing disebut lessee 30. Sedangkan sewa dengan hak membeli
kembali diatur dalam Pasal 1519 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
berbunyi “kekuasaan untuk membeli kembali barang yang telah dijual diterbitkan
dari suatu janji, dimana si penjual diberikan hak untuk mengambil kembali barang
yang dijual, dengan mengembalikan harga pembeli asal, dengan disertai
penggantian yang disebut dalam Pasal 1532 KUHPerdata. Hampir sama dengan
ketentuan Pasal 1532 ayat (3) KUHPerdata tentang perjanjian sewa yang dibuat
oleh pembeli, Pasal 1577 mengatur tentang pembeli yang dengan janji membeli
kembali tidak dapat menggunakan kekuasaannya untuk memaksa si penyewa
28

Wawancara Langsung Notaris PPAT Medan, Suprayitno, di kantor Notaria PPAT
Suprayitno SH Jalan Tengku Hamir Hamzah No. 11 Medan, tanggal 23 April 2016 pukul 13.30 WIB.
29

Wawancara Langsung Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Medan, Rustam Idris, di
Pengadilan Tinggi Medan Jalan Ngumban Surbakti, tanggal 9 juni 2016, pukul 11.00 WIB.
30
Subagyo, Bank Dan Lembaga Keuangan Lainnya Edisi Ke-2, Penerbitan Sekolah Tinggi
Ilmu Ekonomi, Yogyakarta, 2002, hal 223.

Universitas Sumatera Utara

28

mengosongkan barang yang disewanya, sebelum pembeli dengan lewatnya jangka
waktu yang diperjanjikan dalam jual beli dengan hak membeli kembali menjadi
pemilik mutlak dari barang. Jadi pembeli tidak berhak menghentikan perjanjian
sewa menyewa sebelum jangka waktu untuk kembali daluarsa.
Akan tetapi beliau juga menambahkan bahwa di dalam KUH Perdata
terdapat Pasal yang menyatakan bahwa sewa menyewa di bagi atas 2 yaitu
perjanjian sewa menyewa tertulis dan sewa menyewa lisan sebagaimana diatur di
dalam Pasal 1570 dan Pasal 1571 KUHPerdata. Pasal 1570 KUHPerdata
menyatakan jika sewa di buat dengan tulisan, maka sewa itu berakhir demi
hukum, apabila waktu yang telah di tentukan telah lampau, tanpa diperlukan
sesuatu pemberhentian untuk itu. Sedangkan Pasal 1571 menyatakan jika sewa
tidak di buat dengan tulisan, maka sewa itu tidak berakhir pada waktu yang
ditentukan, melainkan jika pihak lain memberitahukan bahwa ia hendak
menghentikan sewanya, dengan menghindari tenggang-tenggang waktu yang
diharuskan menurut kebiasaan setempat.

C. Risiko Serta Berakhirnya Perjanjian Sewa Menyewa
1. Risiko dalam perjanjian sewa menyewa
Risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian yang disebabkan oleh
suatu peristiwa yang terjadi di luar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa
barang yang menjadi objek perjanjian.
Peraturan mengenai risiko dalam sewa menyewa itu tidaklah begitu jelas
diterangkan oleh Pasal 1553 KUHPerdata tersebut seperti halnya dengan
peraturan tentang risiko dalam jual beli yang diberikan oleh Pasal 1460
KUHPerdata, dimana dengan terang dipakai perkataan tanggungan yang berarti

Universitas Sumatera Utara

29

risiko. Peraturan tentang risiko dalam sewa menyewa itu harus di ambil dari Pasal
1553 tersebut secara mengambil kesimpulan. 31
Jika diperhatikan Pasal 1553 KUHPerdata, menguraikan mengenai kemungkinan
musnahnya barang yang disewa, sebagai akibat suatu kejadian yang tiba-tiba yang
tak dapat dielakkan. Jadi, apabila barang yang disewa musnah dalam jangka
waktu masa perjanjian sewa masih berlangsung, bisa menimbulkan persoalan
sebagai berikut :
a. Musnahnya seluruh barang
Apabila yang musnah itu seluruh barang dengan sendirinya menurut hukum
perjanjian sewa-menyewa gugur. Kalau begitu, akibat musnahnya seluruh barang
yang disewa dengan sendirinya (van rechtswege) menggugurkan sewa menyewa.
Tidak perlu diminta pernyataan batal (nietig verklaring). Risiko kerugian dibagi
dua antara pihak yang menyewakan dengan pihak si penyewa. Segera setelah
musnahnya seluruh barang, pihak yang menyewa tidak lagi dapat menuntut
pembayaran uang sewa. Tegasnya uang sewa dengan sendirinya gugur.
Sebaliknya, dengan musnahnya seluruh barang yang disewa, si penyewa tidak
lagi dapat menuntut penggantian barang maupun ganti rugi. Akan tetapi harus
diingat, kemusnahan barang yang dimaksud dalam pembicaraan ini haruslah
kemusnahan yang terjadi akibat peristiwa overwatch, atau kejadian tiba-tiba yang
tak terhindarkan. Musnahnya bukan karena perbuatan si penyewa, pihak yang
menyewakan atau si penyewa pihak ketiga. Kemusnahan seperti ini berada di
luar jangkauan Pasal 1553 KUHPerdata. Kemusnahan akibat kesalahan
seseorang, berada dalam jangkauan Pasal 1566 KUHPerdata. Yang membebani si

31

R. Subekti, Aneka Perjanjian, Op.cit., hal 44

Universitas Sumatera Utara

30

pelaku suatu kewajiban untuk memikul segala kerugian dan kerusakan. Yang
dimaksud dengan musnahnya seluruh barang adalah secara pasti materi barang
tidak dapat lagi ditunjukkan wujudnya. Misalnya hangusnya seluruh rumah yang
disewa; sehingga wujud materi rumah tidak nampak lagi. Atau kapal yang
terkena bom.
b. Musnahnya sebahagian barang
Apabila yang musnah hanya sebagian saja; si penyewa dapat memilih :
1) Meminta pengurangan harga sewa sebanding dengan bahagian yang
musnah
2) Atau menuntut pembatalan perjanjian sewa menyewa
Sekarang, akan ditinjau apa yang dimaksud dengan musnahnya sebahagian
barang. Suatu hal yang nyata, kadang-kadang sulit sekali menentukan batas antara
musnahnya seluruh barang dengan musnahnya sebahagian barang. Sering
dihadapkan pada kesulitan menentukan, kapan sesuatu kemusnahan dianggap
meliputi seluruh barang atau hanya sebagian saja.
Hal ini bertambah sulit akibat pengertian kemusnahan seluruh barang
seperti yang dirumuskan di atas, bukanlah bersifat absolut. Malah sesuatu barang
sudah dapat dianggap musnah seluruhnya, apabila barang itu sudah tak bisa lagi
dipakai dan dinikmati secara normal, walaupun materi barang masih berwujud.
Memang dapat diakui, bahwa kadang-kadang dalam suatu peristiwa sangat mudah
menetukan kemusnahan barang secara keseluruhan. Sehingga baik dilihat dari
segi material benar-benar musnah tak berwujud lagi. Apakah hal seperti ini
dianggap kemusnahan atas keseluruhan?. Material yang musnah hanya
sebahagian. Tapi dari segi tujuan pemakaian dan penikmatan, nyatanya meliputi

Universitas Sumatera Utara

31

keseluruhan barang. Karena itu untuk melihat batas kemusnahan antara
keseluruhan dan sebahagian dapat dipegang prinsip: jika yang musnah secara
material hanya sebahagian dan akibat kemusnahan barang itu masih dapat dipakai
dan dinikmati untuk bahagian yang masih tinggal, maka kemusnahan seperti itu
adalah meliputi sebahagian saja. Akan tetapi walaupun yang musnah secara
material hanya sebahagian, namun kemusnahan atas sebahagian tadi telah
melenyapkan/menghilangkan kegunaan dan penikmatan atas seluruh barang,
kemusnahan demikian harus dianggap meliputi seluruh barang.
Hal lain yang masuk dalam masalah kemusnahan atas sebahagian ini ialah
persoalan yang berkaitan dengan:
(a). Cara memperhitungkan kerugian yang diderita si penyewa dalam rangka
pengurangan harga sewa yang harus dibayar si penyewa
(b). Juga menyangkut kewajiban pemeliharaan pihak yang menyewakan sesuai
dengan ketentuan Pasal 1552 KUHPerdata, yang mewajibkan pihak
menyewakan

melakukan

reparasi

selama

sewa

menyewa

masih

berlangsung
Menurut Yahya Harahap, suatu pegangan yang mendekati kepatutan dalam
masalah ini adalah bukan semua kemusnahan atau kerusakan harus dikategorikan
ke dalam Pasal 1553 KUHPerdata tersebut. Kemusnahan atau kerusakan atas
sebahagian yang sungguh-sungguh seriuslah, baru dianggap relevan. Kalau hanya
selembar seng saja yang musnah belum dapat dikategorikan sebagai kemusnahan
yang serius. Baru dianggap sebagai kemusnahan yang serius apabila kemusnahan
tadi sudah lenyap (dat essentiele gedeelten verdwenen zijn). Sehingga walaupun
dilakukan rehabilitasi atau rekonstruksi tidak mungkin lagi mengembalikan

Universitas Sumatera Utara

32

barang seperti dalam keadaan semula. Atau tak mungkin lagi mengembalikan
keadaan semula antara bangunan lama dengan rehabilitasi yang baru. Keadaan
seperti inilah yang dimaksud dengan pengertian kemusnahan atas sebahagian
barang. Yang memberi hak kepada si penyewa menuntut pengurangan harga
sewa, berbanding dengan kerusakan yang terjadi. Dalam hal seperti inilah si
penyewa dapat menuntut penetapan harga sewa baru. 32
2. Berakhirnya perjanjian sewa menyewa
Secara umum undang-undang memberi beberapa ketentuan tentang
berakhirnya sewa menyewa dan akibat yang paling jauh dari berakhirnya sewa
ialah pengosongan barang yang disewa. Pada dasarnya sewa menyewa akan
berakhir:
a. Berakhirnya sesuai dengan batas waktu yang ditentukan secara tertulis
(Pasal 1576 KUHPerdata)
Apabila di dalam perjanjian sewa menyewa, masa berakhirnya perjanjian
sewa menyewa tersebut telah ditentukan secara tertulis, maka sewa menyewa
dengan sendirinya berakhir sesuai dengan “batas waktu” yang telah ditentukan
para pihak. Jadi, jika lama sewa menyewa sudah ditentukan dalam persetujuan
secara tertulis, perjanjian sewa berakhir tepat pada saat yang telah ditetapkan dan
pemutusan sewa dalam hal ini tidak perlu lagi diakhiri dengan surat lain. Misalnya
jika sewa kontrak rumah telah ditentukan untuk jangka waktu lima tahun,
persewaan akan berakhir setelah melampaui waktu lima tahun.
Lain halnya ketentuan Pasal 1571 KUHPerdata, yakni lamanya perjanjian
ditentukan tanpa tertulis. Dalam hal ini, berakhirnya sewa tidak sesaat setelah
32

M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Op.cit., hal 234-236

Universitas Sumatera Utara

33

lewatnya batas waktu yang ditentukan, melainkan setelah adanya pemberitahuan
dari salah satu pihak, yang menyatakan kehendak akan mengakhiri sewa
menyewa. Pemberitahuan pengakhiran sewa tersebut, harus memperhatikan
jangka waktu yang layak menurut kebiasaan setempat.
Apabila pada perjanjian sewa tertulis dan masa sewa yang ditentukan telah
berakhir, akan tetapi secara nyata penyewa masih tetap tinggal menduduki barang
yang disewa dan pihak yang menyewakan membiarkan saja kenyataan tersebut.
Atas kejadian seperti ini, telah menerbitkan persewaan baru secara diam-diam.
Akibatnya, persewaan baru tersebut takluk dan diatur sesuai dengan ketentuan
sewa menyewa secara lisan (Pasal 1573 KUHPerdata) 33. Pada kejadian di atas,
telah terjadi sewa menyewa baru secara diam-diam yang didasarkan pada
anggapan (vermoeden). Yang menganggap bahwa kedua belah pihak masih
bersedia melanjutkan sewa menyewa. Hal ini juga sesuai dengan ketentuan Pasal
1587 KUHPerdata, tentang sewa menyewa rumah atau ruangan. Yakni sewa
menyewa lama berakhir, tapi secara diam-diam dilanjutkan dengan persewaan
baru sesuai dengan syarat-syarat persewaan yang lama. Namun cara pengakhiran
sewa selanjutnya dipedomani aturan sewa menyewa secara lisan, dengan begitu si
penyewa tidak boleh meninggalkan atau mengosongkan barang sewa tanpa
adanya pemberitahuan lebih dulu, serta mengindahkan waktu yang layak sesuai
dengan kebiasaan setempat. Sebaliknya pihak yang menyewakan tidak boleh
mengusir si penyewa tanpa didahului surat pemberitahuan dengan mengindahkan
adat kebiasaan. Kalau pemberitahuan pengakhiran telah ada, si penyewa tak dapat
lagi mempergunakan alasan bahwa ia masih berstatus penyewa secara diam-diam,
33

R. Subekti dan R.Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pratnya
Paramita, Jakarta, 2013, hal 385.

Universitas Sumatera Utara

34

kendati pun ia masih menempati atau menduduki barang yang disewa (Pasal 1572
KUHPerdata). 34
Ini berarti asal sudah ada pemberitahuan pengakhiran sewa, si penyewa
tidak bisa lagi mempergunakan anggapan berlangsungnya sewa menyewa secara
diam-diam. Hal ini misalnya dapat dibuktikan dengan adanya tindakan pihak yang
menyewakan menolak pembayaran sewa.
Yahya Harahap berpendapat bahwa asal sudah lewat batas waktu yang
ditentukan dan yang menyewakan tetap membiarkan si penyewa menduduki
barang yang disewa, sudah berlaku anggapan hukum akan lahirnya sewa
menyewa yang baru dan titik berat anggapan hukum tersebut diletakkan pada
kepentingan pihak penyewa 35. Akan tetapi, sesuai dengan ketentuan Pasal 1574
KUHPerdata, jaminan persewaan yang dilakukan oleh pihak ketiga yang melekat
pada perjanjian sewa menyewa yang lama, tidak meliputi kewajiban yang timbul
dari persewaan baru yang terjadi secara diam-diam. Jika sewa menyewa yang
lama dilakukan oleh seorang pihak ketiga yang bertindak sebagai borg, maka
persewaan baru yang terjadi secara diam-diam tadi, pihak ketiga yang bertindak
dulunya sebagai borg, tidak wajib lagi menjadi borg pada persewaan baru
tersebut.
b. Sewa menyewa yang berakhir dalam waktu tertentu yang diperjanjikan
secara lisan.
Tentang hal ini, sedikit banyak sudah disinggung pada waktu membicarakan
Pasal 1571 KUHPerdata, yaitu perjanjian sewa dalam jangka waktu tertentu, tapi
diperbuat secara lisan. Perjanjian seperti ini tidak berakhir tepat pada waktu yang
34
35

Ibid
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Loc.cit.,

Universitas Sumatera Utara

35

diperjanjikan, dia berakhir setelah adanya pemberitahuan dari salah satu pihak
tentang kehendak mengakhiri sewa menyewa dengan memperhatikan jangka
waktu yang layak menurut kebiasaan setempat. Penghentian sewa menyewa
dengan lisan harus memperhatikan jangka waktu penghentian (opzeggingstermijn)
sesuai dengan kebiasaan setempat. Batas waktu antara penghentian dengan
pengakhiran

inilah

yang

disebut

jangka

waktu

penghentian.

Misalnya

pemberitahuan penghentian dilakukan 1 Agustus dan harus diakhiri dalam tempo
4 (empat) bulan. Maka antara 1 Agustus dengan 31 Desember inilah yang
dimaksud jangka waktu penghentian, sedangkan tempo pengakhiran jatuh pada 1
Januari. Jangka waktu penghentian tidak boleh terlampau pendek, tetapi memberi
jangka waktu yang layak memungkinkan si penyewa mempersiapkan segala
sesuatu mengatasi akibat dari pengakhiran sewa. Ukuran jangka waktu yang persis
dianggap patut, tentu agak sulit menetapkannya, namun demikian ukuran yang
mendekati kapastian yang layak tadi harus berpedoman kepada kepatutan dan
kebiasaan setempat.
c. Pengakhiran sewa menyewa, baik tertulis maupun dengan lisan yang tidak
ditentukan batas waktu berakhirnya.
Dalam bentuk perjanjian sewa menyewa seperti ini, secara umum dapat
ditarik suatu pegangan, penghentian, dan berakhirnya berjalan sampai pada saat
yang dianggap pantas oleh kedua belah pihak. Pegangan ini di kemukakan, karena
undang-undang sendiri tidak mengatur cara pengakhiran perjanjian sewa tanpa
batas waktu. Yang diatur dalam undang-undang hanya pengakhiran sewa
menyewa tertulis dan lisan yang mempunyai batas waktu tertentu, karena itu
pengakhiran sewa pada sewa menyewa tanpa batas waktu tertentu, sebaiknya

Universitas Sumatera Utara

36

diserahkan kepada penghentian yang selayaknya bagi kedua belah pihak. Batas
waktu penghentian yang selayaknya ini berpedoman pada kebiasaan setempat,
bisa saja pengakhiran sewa berjangka waktu seminggu seperti pada sewa
menyewa penginapan di tempat rekreasi. Bisa juga jangka waktu sebulan ataupun
setahun tergantung pada pemakaian barang yang bersangkutan.
d. Ketentuan khusus perjanjian sewa
Pasal 1579 KUHPerdata menentukan, pihak yang menyewakan tidak boleh
mengakhiri sewa atas alasan, mau dipakai sendiri barang yang disewakan. Kalau
ketentuan Pasal 1579 tersebut diteliti, berarti pihak yang menyewakan mempunyai
hak untuk mengakhiri sewa menyewa atas alasan untuk dipakai sendiri. Asal hak
ini telah ditentukan lebih dulu dalam persetujuan, pihak yang menyewakan tidak
dapat mempergunakan alasan yang dimaksud.
1). Pasal 1575 KUHPerdata: perjanjian sewa menyewa tidak dihapus atau
tidak berhenti dengan meninggalnya salah satu pihak. Meninggalnya pihak
yang menyewakan tidak menyebabkan hapusnya perjanjian sewa
menyewa. Perjanjian dapat dilanjutkan oleh masing-masing ahli waris.
2). Pasal 1585 KUHPerdata: sewa menyewa perabot rumah yang akan dipakai
pada sebuah rumah atau pada sebuah toko, bengkel maupun dalam suatu
ruangan, harus dianggap berlaku untuk jangka waktu yang sesuai lamanya
dengan perjanjian sewa menyewa atas rumah, toko, bengkel, dan ruangan
itu sendiri.
3). Pasal 1586 KUHPerdata: sewa menyewa kamar beserta perabotnya, jika
sewanya dihitung pertahun, perbulan, perminggu, atau perhari, harus
dianggap berjalan untuk satu tahun, satu bulan, satu minggu, atau satu

Universitas Sumatera Utara

37

hari. Jika tidak nyata harga sewa apakah untuk tahunan, bulanan,
mingguan, atau harian, harga sewa harus dipandang sudah diperjanjikan
sesuai dengan kelaziman setempat. 36
Penting untuk diketahui, bahwa jual beli tidak memutuskan ataupun
mengakhiri sewa menyewa. Hal ini sesuai dengan Pasal 1576 KUHPerdata yang
menyatakan bahwa dengan dijualnya barang yang disewa, suatu persewaan yang
dibuat sebelumnya tidaklah diputuskan, kecuali apabila ia telah diperjanjikan pada
waktu menyewakan barangnya.
Ketentuan ini, undang-undang bermaksud melindungi si penyewa terhadap
si pemilik baru, apabila barang yang sedang disewa itu dipindahkan ke lain
tangan, mengingat akan maksud undang-undang tersebut, perkataan dijual dalam
Pasal 1576 KUHPerdata itu sudah lazim ditafsirkan secara analogis (luas) hinga
tidak terbatas pada jual beli saja, tetapi juga meliputi lain-lain perpindahan milik,
seperti tukar menukar, penghibahan, pewarisan. Pendeknya, perkataan dijual
dalam Pasal 1576 KUHPerdata itu ditafsirkan luas hingga menjadi dipindahkan
miliknya. 37

D. Pengaturan Hukum Tentang Sewa Menyewa Rumah/Bangunan
Secara umum badan hukum, baik badan hukum Indonesia maupun badan
hukum asing dan juga warga negara asing hanya diperbolehkan dan menguasai
tanah, jika hak itu secara tegas dimungkinkan oleh peraturan yang bersangkutaan.
Pasal-pasal dalam UUPA untuk badan-badan hukum yaitu: “hanya badan hukum

36
37

Ibid, hal 238-241
R. Subekti, Aneka Perjanjian, Op.cit, hal. 48

Universitas Sumatera Utara

38

yang didirikan menurut badan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia,
yang boleh menjadi pemegang Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan”.
Sedangkan untuk warga negara asing dan badan-badan hukum asing yang
diberikan hak sesuai yang ditetapkan dalam Pasal 41,42,45 dan Pasal 55 UUPA.
UUPA pasal 42 mengatur bahwa yang dapat mempunyai hak pakai adalah:
1.

Warga Negara Indonesia

2.

Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia

3.

Departemen, Lembaga Pemerintahan Non Departemen dan
Pemerintaan daerah

4.

Badan-badan keagamaan dan sosial

5.

Orang asing yang berkedudukan di Indonesia

6.

Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia

7.

Perwakilan negara asing dan perwakilan negara international

Dalam hal yang sangat khusus orang asing boleh menguasai dan
menggunakan tanah dengan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan,
dan itu pun hanya diperbolehkan selama 1 (satu) tahun, yaitu bagi orang-orang
warga negara Indonesia yang berganti kewarganegaraan, dan orang-orang yang
memperolehnya melalui Ab Instestato.
Warga negara asing yang berkedudukan di Indonesia dapat menguasai
tanah dengan Hak Pakai atau Hak Sewa untuk bangunan yang didirikan di
atasnya. Menurut UUPA Pasal 44 ayat (1) seseorang atau suatu badan hukum
mempunyai hak sewa atas tanah, apabila ia berhak mempergunakan tanah milik
orang lain untuk keperluan bangunan dengan membayar kepada pemiliknya
sejumlah uang sewa sebagai sewa, ayat (2) pembayaran uang sewa dapat

Universitas Sumatera Utara

39

dilakukan, satu kali atau pada tiap-tiap waktu tertentu dan sebelum atau
sesudahnya tanahnya dipergunakan, ayat (3) Perjanjian sewa tanah yang dimaksud
dalam pasal ini tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur
pemerasan.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Tinjauan Hukum Kekuatan Sertifikat Hak Milik Diatas Tanah Yang Dikuasai Pihak Lain (Studi Kasus Atas Putusan Perkara Pengadilan Tata Usaha Negara Medan NO.39/G.TUN/2006/PTUN.MDN)

4 67 127

Pelaksanaan Perubahan Hak Milik Atas Tanah Menjadi Hak Guna Bangunan Pada Yaspendhar Medan (Studi : Kampus I-Jln. Imam Bonjol No. 35 Medan)

4 66 127

Analisis Hukum Putusan Pengadilan Agama Yang Memutuskan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah Tidak Berkekuatan Hukum (Studi Kasus : Putusan Pengadilan Agama Tebing Tinggi No. 52/Pdt.G/2008/PA-TTD jo. Putusan Pengadilan Tinggi Agama Sumatera Utara No. 145/Pdt.G

3 62 135

Kendala Pelaksanaan Pendaftaran Hak Atas Tanah Pertama Kali (Studi Kasus Di Kantor Pertanahan Kota Medan)

6 92 132

Perjanjian Tukar-Menukar (Barter) Tanah Hak Milik (Studi Kasus : Gugatan Perdata NOMOR:06/Pdt.G/2006/PN. Tembilahan-Riau)

23 200 102

Pembatalan Hak Sewa Bangunan oleh Ahli Waris Terhadap Ruko yang Dibangun di Atas Tanah Milik Orang Lain (Studi Putusan : Pengadilan Negeri Medan No. 227/Pdt.G/2012/PN MEDAN)

7 29 102

Pembatalan Hak Sewa Bangunan oleh Ahli Waris Terhadap Ruko yang Dibangun di Atas Tanah Milik Orang Lain (Studi Putusan : Pengadilan Negeri Medan No. 227 Pdt.G 2012 PN MEDAN)

0 0 8

Pembatalan Hak Sewa Bangunan oleh Ahli Waris Terhadap Ruko yang Dibangun di Atas Tanah Milik Orang Lain (Studi Putusan : Pengadilan Negeri Medan No. 227 Pdt.G 2012 PN MEDAN)

0 0 1

Pembatalan Hak Sewa Bangunan oleh Ahli Waris Terhadap Ruko yang Dibangun di Atas Tanah Milik Orang Lain (Studi Putusan : Pengadilan Negeri Medan No. 227 Pdt.G 2012 PN MEDAN)

0 0 13

Pembatalan Hak Sewa Bangunan oleh Ahli Waris Terhadap Ruko yang Dibangun di Atas Tanah Milik Orang Lain (Studi Putusan : Pengadilan Negeri Medan No. 227 Pdt.G 2012 PN MEDAN)

0 0 3