Analisis Hukum Putusan Pengadilan Agama Yang Memutuskan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah Tidak Berkekuatan Hukum (Studi Kasus : Putusan Pengadilan Agama Tebing Tinggi No. 52/Pdt.G/2008/PA-TTD jo. Putusan Pengadilan Tinggi Agama Sumatera Utara No. 145/Pdt.G
52/PDT.G/2008/PA-TTD JO. PUTUSAN PENGADILAN TINGGI
AGAMA SUMATERA UTARA NO. 145/PDT.G/2008 /PTA-MDN)
TESIS
OLEH
CATUR MUHAMMAD SARJONO
097011059/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
(2)
52/PDT.G/2008/PA-TTD JO. PUTUSAN PENGADILAN TINGGI
AGAMA SUMATERA UTARA NO. 145/PDT.G/2008 /PTA-MDN)
T E S I S
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
CATUR MUHAMMAD SARJONO
097011059/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
(3)
TINGGI NO. 52/PDT.G/2008/PA-TTD JO.
PUTUSAN PENGADILAN TINGGI AGAMA
SUMATERA UTARA NO. 145/PDT.G/2008 /PTA-MDN)
Nama Mahasiswa : Catur Muhammad Sarjono
Nomor Pokok : 097011059
Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)
Pembimbing Pembimbing
(Prof. Dr. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD) (Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH MHum)
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
(4)
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN Anggota : 1. Prof. Dr. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD
2. Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH MHum 3. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 4. Dr. Idha Aprilyana, SH, MHum
(5)
Islam mengenai masalah kewarisan. Bidang kewarisan ini meliputi penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan harta peninggalan, penentuan bagian dari masing-masing pihak dan melaksanakan pembagian tersebut. Jika terjadi perselisihan, persengketaan mengenai harta peninggalan, harta warisan atau harta warisan yang dikuasai orang lain yang bukan haknya, ahli waris dapat dan berhak mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama. Pembatalan hak atas tanah yang menjadi objek sengketa waris dapat dikarenakan cacat administrasi dalam penerbitan surat keputusan pemberian hak atas tanah maupun untuk melaksanakan putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Amar putusan Pengadilan Agama yang menyatakan sertipikat hak milik atas tanah tidak berkekuatan hukum, secara administasi harus ditindaklanjuti oleh Pemerintah, dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional dengan mengeluarkan surat keputusan pembatalan surat keputusan pemberian hak atas tanah yang serta merta membatalkan sertipikat hak atas tanah. Namun kenyataannya, Badan Pertanahan Nasional menolak membatalkan sertipikat hak milik atas tanah atas dasar putusan Pengadilan Agama.
Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu bertujuan untuk menggambarkan serta menganalisis data yang diperoleh secara sistematis, faktual dan akurat mengenai pembatalan hak atas tanah atas dasar putusan Pengadilan Agama. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian kepustakaan dengan pendekatan perundang-undangan terutama untuk mengkaji peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pembatalan hak atas tanah. Metode pengumpulan data yang dipergunakan adalah penelitian kepustakaan dan analisisnya dilakukan secara kualitatif dengan menggunakan metode deduktif.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan bahwa persoalan pembatalan hak atas tanah yang merupakan objek perkara waris terkait dengan kompetensi peradilan. Hal ini disebabkan sulitnya mengidentifikasi yurisdiksi materiil gugatan karena biasanya gabungan antara aspek perdata dengan aspek tata usaha Negara. Masih terdapat kekeliruan Hakim di lingkungan Peradilan Agama dalam memeriksa dan memutus perkara waris yang objek perkaranya berupa tanah yang sudah bersertipikat. Apabila tanah yang menjadi objek perkara waris belum bersertipikat maka hal tersebut merupakan kewenangan mengadili Pengadilan Agama, tetapi apabila tanah yang menjadi objek perkara waris sudah bersertipikat maka menjadi kewenangan dari Pengadilan Tata Usaha Negara. Sertipikat hak atas tanah memiliki sisi ganda, pada satu sisi sebagai Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) dan di sisi lain sebagai Tanda Bukti Hak Keperdataan (kepemilikan) seseorang atau badan hukum atas tanah. Oleh karena itu, ada 2 (dua) badan peradilan yang berwenang memeriksa perkara dengan objek gugatan Sertipikat hak atas tanah, yaitu Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara.
(6)
inheritance. This inheritance case is composed of the rulings about who will be the heirs, about the inheritance, about the parties who will share the inheritance, about the implementation of the allotment, about the potential dispute on the inheritance, and about the real inheritance or the inheritance which is given to the wrong person so that the real heir can have the right to claim a lawsuit to the Religious Court. The revocation of land rights which becomes the dispute among the heirs can be caused by the defect of the administration in issuing the directive of giving the land rights or in implementing the Court’s ruling which has been final and conclusive. The court’s ruling which decides that the land certificate is not final and conclusive will administratively be followed up by the government; in this case, the National Land Board which issues a directive of the revocation of the land certificate will eventually revoke the directive of the land certificate itself. But, in reality, the National Land Board refuses to revoke the land certificate which is based on the Religious Court’s ruling.
This research was descriptive which was aimed to describe and analyze the data which had been collected systematically, factually, and accurately regarding the revocation of the land rights which was based on the Religious Court’s ruling. The type of the research was legal normative; namely, a literature study with legal approach, especially in studying regulations which were related to the revocation of land rights. The method of the research was literature study and the analysis was done qualitatively by using deductive method.
The result of the research showed that the problem of the revocation of land rights which was about the case of inheritance was related to the competence of the judicial administration. This was due to the difficulty in identifying jurisdiction materials of the complaint because usually they comprised the combination of civil aspects and State Administration. Besides that, there was the judge’s error in the Religious Court in investigating and handing down a ruling about an inheritance case when the land had its certificate. If the land which was in dispute did not have any certificate, the Religious Court had the competence to pass the judgment on it. On the other hand, if the land which was in dispute had already had its certificate, the State Administrative Court had the competence to pass the judgment on it. The land rights certificate has two sides: on the one hand, it is the Directive of State Administration; on the other hand, it is an Affidavit of Civil Rights (ownership) of an individual or a legal entity of the land. Therefore, there are two courts which have the competence to investigate the case of the complaint about land certificate: Court of General Jurisdiction and State Administrative Court.
(7)
Penulis dapat menyelesaikan penelitian tesis ini yang berjudul “ANALISIS HUKUM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA YANG MEMUTUSKAN SERTIPIKAT HAK MILIK ATAS TANAH TIDAK BERKEKUATAN HUKUM (Studi Kasus : Putusan Pengadilan Agama Tebing Tinggi No. 52/Pdt.G/2008/PA-TTD jo. Putusan Pengadilan Tinggi Agama Sumatera Utara No. 145/Pdt.G/2008/PTA-MDN).”
Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam menyelesaikan Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Dalam kesempatan ini dengan kerendahan hati, Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada:
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), SpA(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada Penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, MHum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus Pembimbing Utama yang dengan penuh perhatian member bimbingan dan saran kepada Penulis.
4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum, selaku Sekretaris Program Studi Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus Penguji yang telah memberikan masukan serta kritik yang membangun kepada Penulis.
5. Bapak Prof. Dr. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD, selaku dosen pembimbing yang telah memberikan perhatian, dukungan dan masukan kepada Penulis.
(8)
masukan serta kritik yang membangun kepada Penulis.
8. Bapak-bapak dan Ibu-ibu staf pengajar serta para pegawai di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
9. Kepada yang terhormat dan terkasih kedua orang tuaku H. Lopo dan Hj. Sardiyem, yang telah sabar dan ikhlas membesarkan dan memberi dukungan kepada Penulis hingga memperoleh gelar Magister Kenotariatan.
10. Buat Isteriku tersayang Ika Marina Pohan dan anakku yang solehah Shayna Althafunnisa, do’a dan dukungan kalian akan menjadi motivasi bagi Penulis untuk menjadi yang terbaik hari ini dan di hari yang akan datang.
11. Buat keluarga besar Abang-abangku Eko Sukono dan isteri, Dwi Prayitno, SP, dan isteri, Tridhi Hartono, ST, dan isteri, serta keponakan-keponakan yang lucu-lucu dan membanggakan, terima kasih yang tulus buat doa dan semangatnya.
12. Keluarga besar mahasiswa Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Angkatan 2009, terkhusus kelas A, semoga kekeluargan kita terjaga selalu dan abadi sepanjang masa.
Kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan perhatiannya sehingga Penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan penulisan tesis ini. Penulis menyadari tesis ini masih jauh dari sempurna, namun diharapkan semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Medan, Agustus 2011 Penulis,
(9)
Nama : Catur Muhammad Sarjono Tempat/Tanggal lahir : Medan, 24 April 1982 Jenis Kelamin : Laki-Laki
Status : Menikah
Agama : Islam
Alamat : Jl. Teratai No. 42A Medan
II. Keluarga
Nama Ayah : H. Lopo Nama Ibu : Hj. Sardiyem
III. Pendidikan
1. SD Swasta Nurul Huda Medan (1988-1994)
2. SLTP Swasta Tunas Kartika I-1 Medan (1994-1997) 3. SMU Negeri 15 Medan (1997-2000)
4. S-1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (2000-2005)
5. S-2 Program Studi Magister Kenotariatan (MKn)Fakultas HukumUniversitas Sumatera Utara (2009-2011)
(10)
ABSTRAK ... i
ABSTRACT... ii
KATA PENGANTAR... iii
RIWAYAT HIDUP... v
DAFTAR ISI... vi
DAFTAR ISTILAH... ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah... 16
C. Tujuan Penelitian... 16
D. Manfaat Penelitian... 17
E. Keaslian Penelitian ... 18
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 20
1. Kerangka Teori ... 20
2. Konsepsi ... 24
G. Metodologi Penelitian ... 27
1. Sifat Penelitian ... 27
2. Jenis Penelitian ... 27
3. Metode Pengumpulan Data ... 28
4. Alat Pengumpulan Data ... 30
5. Analisis Data ... 30
BAB II KEWENANGAN MENGADILI PENGADILAN AGAMA DALAM SENGKETA WARIS ISLAM A. Jangkauan Kewenangan Mengadili Perkara Warisan ... 32
B. Kewenangan Pengadilan Agama Mengenai Sengketa Milik Menurut UU No. 7 Tahun 1989 ... 43
(11)
Pengadilan Agama Yang Memutuskan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah Tidak Berkekuatan Hukum (Putusan Pengadilan Agama dalam Perkara No.
52/Pdt.G/2008/PA-TTD)... 49
BAB III STATUS HUKUM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA YANG MEMUTUS PERKARA YANG BUKAN KEWENANGANNYA A. Kasus Posisi... 54
B. Duduk Perkara ... 55
C. Pembuktian dalam Putusan Sela... 61
D. Pertimbangan Hakim dalam Putusan Sela... 62
E. Jawaban Tergugat ... 65
F. Replik ... 74
G. Duplik ... 74
H. Pembuktian dalam perkara ... 75
I. Pertimbangan Hukum Hakim Pengadilan Agama dalam Perkara No. 52/Pdt.G/2008/PA-TTD ... 78
J. Pertimbangan Hukum Hakim Pengadilan Tinggi Agama dalam Perkara No. 145/Pdt.G/2008/PTA-MDN ... 91
K. Status Hukum Putusan Pengadilan Agama yang Memutus Perkara Yang Bukan Kewenangannya ... 92
BAB IV PUTUSAN PENGADILAN AGAMA YANG MENJADI DASAR PERMOHONAN PEMBATALAN SERTIPIKAT HAK MILIK ATAS TANAH DI BADAN PERTANAHAN NASIONAL (BPN) A. Kewenangan Pembatalan Hak Atas Tanah ... 100
B. Subjek Pembatalan Sertipikat Hak Atas Tanah... 102
C. Objek Pembatalan Hak Atas Tanah... 103
D. Syarat Permohonan Pembatalan Hak Atas Tanah ... 105
(12)
A. Kesimpulan ... ... 113 B. Saran ... ... 114 DAFTAR PUSTAKA ...117
(13)
ketentuan bagian seorang anak laki-laki adalah sama dengan bagian dua orang anak perempuan.
beschikkingsbevoegd : kewenangan bertindak.
condemnatoir : putusan yang berisi penghukuman.
constitutif : putusan yang meniadakan suatu keadaan hukum atau menimbulkan suatu keadaan hukum baru.
contentiosa : perkara sengketa antara dua pihak dimana pihak Penggugat berhadapan dengan pihak Tergugat.
declaratoir : putusan yang bersifat menerangkan, menegaskan suatu keadaan hukum semata-mata.
directive interview : wawancara yang dilakukan secara terarah.
executionary power : putusan mempunyai kekuatan yang dilaksanakan.
executorial verkoop : penjualan lelang.
executoriale kracht : putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap atau memperoleh kekuatan yang pasti.
fardhu kifayah : harus dikerjakan oleh tiap-tiap orang dalam satu kelompok masyarakat, namun kalau sudah ada satu atau beberapa orang yang mengerjakan (melaksanakan), kewajiban telah terpenuhi.
fundamentum petendi : uraian termasuk fakta-fakta hukum yang menjadi dasar suatu gugatan.
inkracht van gewijsde zaak : putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. legal culture : budaya hukum.
legal structure : struktur hukum.
legal substance : substansi hukum.
mal waris : harta waris.
muamalah : kegiatan antara manusia dalam kehidupan bersama (manusia dengan manusia/manusia dengan masyarakat).
(14)
objektum litis : objek perkara.
obscuur : tidak jelas/kabur.
onrechtmatige overheids daadzaken : perbuatan melawan hukum penguasa.
plaatsvervulling : dalam hal ahli waris lebih dulu meninggal dari pewaris, kedudukannya dapat digantikan anaknya.
plurium litis consortium : kurang pihak dalam gugatan.
rechtsbevoegd : memiliki hak.
res judicata pro veritate habetur : apa yang telah diputus oleh Hakim harus dianggap benar.
tirkah : harta peninggalan.
(15)
Islam mengenai masalah kewarisan. Bidang kewarisan ini meliputi penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan harta peninggalan, penentuan bagian dari masing-masing pihak dan melaksanakan pembagian tersebut. Jika terjadi perselisihan, persengketaan mengenai harta peninggalan, harta warisan atau harta warisan yang dikuasai orang lain yang bukan haknya, ahli waris dapat dan berhak mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama. Pembatalan hak atas tanah yang menjadi objek sengketa waris dapat dikarenakan cacat administrasi dalam penerbitan surat keputusan pemberian hak atas tanah maupun untuk melaksanakan putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Amar putusan Pengadilan Agama yang menyatakan sertipikat hak milik atas tanah tidak berkekuatan hukum, secara administasi harus ditindaklanjuti oleh Pemerintah, dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional dengan mengeluarkan surat keputusan pembatalan surat keputusan pemberian hak atas tanah yang serta merta membatalkan sertipikat hak atas tanah. Namun kenyataannya, Badan Pertanahan Nasional menolak membatalkan sertipikat hak milik atas tanah atas dasar putusan Pengadilan Agama.
Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu bertujuan untuk menggambarkan serta menganalisis data yang diperoleh secara sistematis, faktual dan akurat mengenai pembatalan hak atas tanah atas dasar putusan Pengadilan Agama. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian kepustakaan dengan pendekatan perundang-undangan terutama untuk mengkaji peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pembatalan hak atas tanah. Metode pengumpulan data yang dipergunakan adalah penelitian kepustakaan dan analisisnya dilakukan secara kualitatif dengan menggunakan metode deduktif.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan bahwa persoalan pembatalan hak atas tanah yang merupakan objek perkara waris terkait dengan kompetensi peradilan. Hal ini disebabkan sulitnya mengidentifikasi yurisdiksi materiil gugatan karena biasanya gabungan antara aspek perdata dengan aspek tata usaha Negara. Masih terdapat kekeliruan Hakim di lingkungan Peradilan Agama dalam memeriksa dan memutus perkara waris yang objek perkaranya berupa tanah yang sudah bersertipikat. Apabila tanah yang menjadi objek perkara waris belum bersertipikat maka hal tersebut merupakan kewenangan mengadili Pengadilan Agama, tetapi apabila tanah yang menjadi objek perkara waris sudah bersertipikat maka menjadi kewenangan dari Pengadilan Tata Usaha Negara. Sertipikat hak atas tanah memiliki sisi ganda, pada satu sisi sebagai Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) dan di sisi lain sebagai Tanda Bukti Hak Keperdataan (kepemilikan) seseorang atau badan hukum atas tanah. Oleh karena itu, ada 2 (dua) badan peradilan yang berwenang memeriksa perkara dengan objek gugatan Sertipikat hak atas tanah, yaitu Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara.
(16)
inheritance. This inheritance case is composed of the rulings about who will be the heirs, about the inheritance, about the parties who will share the inheritance, about the implementation of the allotment, about the potential dispute on the inheritance, and about the real inheritance or the inheritance which is given to the wrong person so that the real heir can have the right to claim a lawsuit to the Religious Court. The revocation of land rights which becomes the dispute among the heirs can be caused by the defect of the administration in issuing the directive of giving the land rights or in implementing the Court’s ruling which has been final and conclusive. The court’s ruling which decides that the land certificate is not final and conclusive will administratively be followed up by the government; in this case, the National Land Board which issues a directive of the revocation of the land certificate will eventually revoke the directive of the land certificate itself. But, in reality, the National Land Board refuses to revoke the land certificate which is based on the Religious Court’s ruling.
This research was descriptive which was aimed to describe and analyze the data which had been collected systematically, factually, and accurately regarding the revocation of the land rights which was based on the Religious Court’s ruling. The type of the research was legal normative; namely, a literature study with legal approach, especially in studying regulations which were related to the revocation of land rights. The method of the research was literature study and the analysis was done qualitatively by using deductive method.
The result of the research showed that the problem of the revocation of land rights which was about the case of inheritance was related to the competence of the judicial administration. This was due to the difficulty in identifying jurisdiction materials of the complaint because usually they comprised the combination of civil aspects and State Administration. Besides that, there was the judge’s error in the Religious Court in investigating and handing down a ruling about an inheritance case when the land had its certificate. If the land which was in dispute did not have any certificate, the Religious Court had the competence to pass the judgment on it. On the other hand, if the land which was in dispute had already had its certificate, the State Administrative Court had the competence to pass the judgment on it. The land rights certificate has two sides: on the one hand, it is the Directive of State Administration; on the other hand, it is an Affidavit of Civil Rights (ownership) of an individual or a legal entity of the land. Therefore, there are two courts which have the competence to investigate the case of the complaint about land certificate: Court of General Jurisdiction and State Administrative Court.
(17)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Peradilan Agama telah hadir dalam kehidupan hukum di Indonesia sejak
masuknya agama Islam. Guna memenuhi kebutuhan masyarakat muslim akan
penegakan keadilan, pemerintah mewujudkan dan menegaskan kedudukan Peradilan
Agama sebagai salah satu badan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Dalam Al
Qur’an, Hadits Rasul dan ijtihad para ahli hukum Islam, terdapat aturan-aturan
hukum materiil sebagai pedoman hidup dan aturan dalam hubungan antar manusia
(muamalah) serta hukum formal sebagai pedoman beracara di Pengadilan Agama. Dalam hukum Islam, kegiatan peradilan merupakan kegiatanmuamalah, yaitu kegiatan antara manusia dalam kehidupan bersama (manusia dengan
manusia/manusia dengan masyarakat). Melaksanakan amalan (kegiatan) peradilan
hukumnya adalah fardhu kifayah; harus dikerjakan oleh tiap-tiap orang dalam satu kelompok masyarakat, namun kalau sudah ada satu atau beberapa orang yang
mengerjakan (melaksanakan), kewajiban telah terpenuhi. Al Mawardi di dalam buku
al-Ahkam as Shulthaniyah menegaskan kegiatan peradilan adalah merupakan bagian
pemerintah dalam rangka bernegara.1
1 Imam Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, Prinsip-Prinsip Penyelenggaraan Negara
(18)
Peradilan Agama adalah salah satu dari tiga peradilan khusus di Indonesia.
Sebagai peradilan khusus, Peradilan Agama mengadili perkara-perkara perdata
tertentu dan hanya untuk orang-orang tertentu saja. Dengan perkataan lain, Peradilan
Agama hanya berwenang di bidang perdata Islam tertentu saja dan hanya untuk
orang-orang Islam di Indonesia. Oleh karena itu, Peradilan Agama dapat disebut
sebagai peradilan Islam di Indonesia, yang pelaksanaannya secara limitatif telah
disesuaikan dengan keadaan di Indonesia.2
Dengan adanya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo. Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, secara formal maka keberadaan
Peradilan Agama diakui, namun mengenai susunan dan kekuasaan (wewenang) masih
beragam dan hukum acara yang dipergunakan adalah HIR serta peraturan-peraturan
yang diambil dari hukum acara Peradilan Islam.
Dalam perkembangan selanjutnya, dewasa ini telah dikeluarkan
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang mengatur: susunan,
kekuasaan dan hukum acara Peradilan Agama. Undang-Undang ini kemudian
mengalami perubahan pada Pasal-Pasal tertentu untuk menyesuaikan dengan
perkembangan perundang-undangan yang ada maupun dengan kebutuhan di lapangan
praktis dengan keluarnya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006.3
Tugas dan kewenangan Peradilan menurut Pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989
yaitu memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara perdata bidang:
2Roihan A. Rasjid,Hukum Acara Peradilan Agama, Rajawali Pers, Jakarta, 1991, halaman 6. 3Sulaikin Lubis, Wismar ‘Ain Marzuki dan Gemala Dewi,Hukum Acara Perdata Peradilan
(19)
perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam,
wakaf dan sedekah. Kewenangan Peradilan Agama tersebut berdasar atas asas
personalitas ke-Islaman, yaitu yang dapat ditundukkan ke dalam kekuasaan
lingkungan Peradilan Agama, hanya mereka yang beragama Islam.4
Saat ini dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, salah
satu yang diatur adalah tentang perubahan atau perluasan kewenangan lembaga
Peradilan Agama pada Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006, yang meliputi: perkawinan,
waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, sedekah, dan ekonomi syariah.
Salah satu sentral dalam Undang-Undang ini adalah asas personalitas
keislaman. Asas personalitas ke-Islaman dalam bidang perdata kewarisan, meliputi
seluruh golongan rakyat beragama Islam. Dengan perkataan lain, dalam hal terjadi
sengketa kewarisan bagi setiap orang yang beragama Islam, kewenangan
mengadilinya tunduk dan takluk pada lingkungan Peradilan Agama, bukan ke
lingkungan Peradilan Umum. Jadi, luas jangkauan mengadili lingkungan Peradilan
Agama ditinjau dari subjek pihak yang berperkara, meliputi seluruh golongan rakyat
yang beragama Islam tanpa terkecuali.5
Sengketa keperdataan yang menyangkut hak kebendaan dalam perkara waris,
meliputi sengketa hak milik atas tanah. Kebutuhan akan adanya perlindungan hukum
dan jaminan kepastian hukum dalam bidang pertanahan berarti bahwa setiap warga
4Ibid., halaman 109.
5M. Yahya Harahap,Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, UU No. 7 Tahun
(20)
Negara Indonesia dapat menguasai tanah secara aman dan mantap.6Penguasaan yang
mantap berarti ditinjau dari aspek waktu/lamanya seseorang dapat
mempunyai/menguasai tanah sesuai dengan isi kewenangan dari hak atas tanah
tersebut, sedangkan penguasaan secara aman berarti si pemegang hak atas tanah
dilindungi dari gangguan, baik dari sesama warga negara dalam bentuk misalnya
penguasaan illegal ataupun dari penguasa. Pada asasnya apabila pihak lain
memerlukan tanah untuk keperluan apapun, maka cara untuk memperoleh tanah yang
diperlukan harus ditempuh musyawarah dengan pemegang hak atas tanah hingga
tercapai kata sepakat yang benar-benar keluar dari maksud baik antara kedua belah
pihak.
Hak atas tanah memberikan kewenangan kepada pemegangnya untuk
memakai suatu bidang tanah tertentu dalam rangka memenuhi kebutuhan tertentu.
Sedangkan tujuan pemakaian tanah pada hakekatnya ada 2 (dua), yaitu : pertama, untuk diusahakan, misalnya untuk pertanian, perkebunan, perikanan dan peternakan.
Kedua, tanah dipakai sebagai tempat membangun, misalnya bangunan gedung, lapangan, jalan dan lain-lain.7 Hak atas tanah dapat diberikan kepada dan dipunyai
oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta
badan-badan hukum. Hak-hak atas tanah dimaksud memberi wewenang untuk
mempergunakan tanah yang bersangkutan. Demikian pula tubuh bumi dan air serta
6 Arie Sukanti Hutagalung, Analisa Yuridis Keppres No. 55 Tahun 1993, (Diklat DDN :
Jakarta, 2001), halaman 1.
7Boedi Harsono,Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
(21)
ruang angkasa yang ada di atasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang
langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu, dalam batas-batas menurut
UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.
Terhadap banyaknya kasus-kasus pertanahan yang terjadi di masyarakat maka
sangatlah perlu dicari cara penyelesaiannya yang sangat menguntungkan bagi kedua
belah pihak. Untuk itu penyelesaian sengketa perdata yang berkenaan dengan tanah
diluar lembaga peradilan menjadi ideal bagi penyelesaian sengketa tanah. Karena bila
ditempuh melalui jalur hukum/lembaga peradilan, sering kali tidak hanya
menyangkut aspek hukum, hak-hak penguasaan, kalkulasi ekonomi, tetapi tidak
sedikit yang menyentuh sisi sosio kultural. Penyelesaian melalui lembaga pengadilan
yang lebih berpola menang kalah seringkali justru memicu konflik-konflik non
hukum yang berkepanjangan. Apalagi jika masalah-masalah hukum yang diangkat
hanya berfokus pada satu sebab saja.
Munculnya ketidakpuasan terhadap putusan pengadilan yang berakumulasi
dengan berbagai aspek masalah pertanahan yang tidak terselesaikan melalui
pengadilan, ternyata dapat berkembang sampai kepada kekerasan fisik. Persoalan hak
penguasaan atas tanah dan sumberdaya alam di Indonesia, secara sepintas dapat
digambarkan melalui peta konflik agraria di Indonesia, yang dihasilkan oleh kerja
advokasi Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Dari data tersebut tampak bahwa
konflik agraria terjadi hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Dari tahun 1950-an
sampai akhir dekade 90-an terdapat 1455 kasus yang teridentifikasi oleh KPA; dari
(22)
kasus terutama dalam duapuluhan tahun terakhir. Dari sekian ribu konflik yang
terjadi, tidak ada satu pun yang berakhir dengan kemenangan pihak masyarakat (adat
dan lokal) dalam berhadapan dengan pihak perusahaan dan negara melalui jalur
hukum. Seluruh masyarakat yang terlibat dalam berbagai kasus tersebut adalah
korban yang kalah dalam pengertian yang paling tragis: tergusur, diusir, tidak
mendapat ganti rugi, ditahan, ditembak dan kehilangan lahan untuk waktu yang tak
dapat diperkirakan dan dengan demikian kehilangan sumber hidup dan putusnya
pertalian dengan sumber budaya mereka. Data KPA tersebut menyebutkan bahwa
jumlah keluarga yang menjadi korban dalam kasus tersebut adalah 242.088 KK dan
jumlah korban individu manusia sebesar 533.866. Berarti dalam setiap kasus rata-rata
timbul korban 367 manusia, baik yang kehilangan nyawa, tanah, terusir dan tergusur,
mengalami kekerasan fisik dan berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia
(HAM) lainnya.8
Masalah tanah dilihat dari segi yuridisnya saja merupakan hal yang tidak
sederhana pemecahannya. Kesamaan terhadap konsep sangat diperlukan agar terdapat
kesamaan persepsi yang akan menghasilkan keputusan yang solid dan adil bagi
pihak-pihak yang meminta keadilan. Persamaan yang memerlukan persamaan
persepsi tersebut, misalnya berkenaan antara lain dengan sertipikat sebagai tanda
8 Emil Kleden, Kebijakan-Kebijakan Transnational Institutions Yang Mempengaruhi Peta
Tenurial Security dalam Lingkup Masyarakat Adat di Indonesia, Makalah dipresentasikan dalam Konferensi Internasional tentang Penguasaan Tanah dan Kekayaan Alam di Indonesia yang Sedang Berubah: “Mempertanyakan Kembali Berbagai Jawaban,” 11 – 13 Oktober 2004, Hotel Santika, Jakarta.
(23)
bukti hak atas tanah, berkenaan dengan kedudukan sertipikat tanah, sertipikat yang
mengandung cacat hukum dan cara pembatalan dan atau penyelesaiannya.9
Pengertian pendaftaran menurut Harun Al Rashid, berasal dari kata cadastre
(bahasa Belanda). Kadaster adalah suatu istilah teknis untuk suatu record(rekaman), menunjukkan kepada luas, nilai dan kepemilikan (atau lain-lain atas hak) terhadap
suatu bidang tanah.10 Sedangkan pengertian Pendaftaran Tanah menurut Boedi
Harsono adalah : suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Negara/Pemerintah
secara terus menerus dan teratur, berupa pengumpulan keterangan atau data tertentu
mengenai tanah-tanah tertentu yang ada di wilayah-wilayah tertentu, pengolahan,
penyimpanan, dan penyajiannya bagi kepentingan rakyat, dalam rangka menjamin
jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan, termasuk penerbitan tanda bukti dan
pemeliharaannya.11
Pengertian pendaftaran tanah menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 adalah : Rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
pemerintah secara terus menerus berkesinambungan dan teratur meliputi
pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik
dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah dan
satuan rumah susun termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang tanah
9Maria S.W.Sumardjono,Kebijakan Pertanahan antara Regulasi & Implementasi, Kompas,
Jakarta, 2001, halaman 163.
10Harun Al Rashid, Sekilas Tentang Jual Beli Tanah (berikut peraturan-peraturan), Ghalia
Indonesia, Jakarta,1986, halaman 82.
(24)
yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu
yang membebaninya.
Sertipikat hak atas tanah berisi data fisik (keterangan tentang letak, batas, luas
bidang tanah serta bagian bangunan atau bangunan yang ada di atasnya bila dianggap
perlu) dan data yuridis (keterangan tentang status tanah dan bangunan yang didaftar,
pemegang hak atas tanah dan hak-hak pihak lain, serta beban-beban yang ada di
atasnya). Dengan memiliki sertipikat, maka kepastian hukum berkenaan dengan jenis
hak atas tanahnya, subyek hak dan obyek haknya menjadi nyata. Bagi pemegang hak
atas tanah, memiliki sertipikat mempunyai nilai lebih. Sebab dibandingkan dengan
alat bukti tertulis, sertipikat merupakan tanda bukti hak yang kuat, artinya harus
dianggap benar sampai dibuktikan sebaliknya di pengadilan dengan alat bukti yang
lain.12
Stelsel publikasi yang digunakan dalam UUPA adalah stelsel negatif yang
mengandung unsur positif karena akan menghasilkan surat tanda bukti hak yang
berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, berdasarkan Pasal 19 ayat (2) huruf c,
Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 38 UUPA.13 Sistem publikasi negatif bertendensi positif
artinya walaupun Negara tidak menjamin kebenaran data yang disajikan dalam bukti
hak, namun bukti hak tersebut dikategorikan sebagai bukti hak yang kuat (selama
tidak ada putusan hakim yang menyatakan sebaliknya maka data yang disajikan
dalam bukti hak tersebut merupakan data yang benar, sah dan diakui serta dijamin
12Maria S.W. Soemarjono,Ibid, halaman 182.
13
(25)
menurut hukum). Ketentuan tersebut ditambah lagi dengan adanya proses
pemeriksaan tanah dalam rangka penetapan hak, yakni pengumpulan dan penelitian
data yuridisnya sehingga dengan pemeriksaan tanah tersebut hasilnya diharapkan
dapat mendekati kebenaran materil dari alas hak yang menjadi dasar penetapan
haknya.14
Jaminan kepastian hukum pendaftaran tanah atau kebenaran data fisik dan
data yuridis bidang tanah dalam sertipikat, sangat tergantung pada alat bukti
kepemilikan tanah yang digunakan dasar bagi pendaftaran tanah. Didalam Peraturan
Pemerintah No. 10 tahun 1960 yang telah diganti dengan Peraturan Pemerintah No.
24 Tahun 1997 telah diatur penentuan alat-alat bukti untuk menentukan adanya
hak-hak atas tanah secara jelas dan mudah dilaksanakan serta memberikan kepastian
hukum bagi pemilik hak yang bermaksud mendaftarkan haknya. Alat bukti
pendaftaran tanah dimaksud adalah alat bukti hak baru dan alat bukti hak lama.
Terungkapnya kasus-kasus berkenaan dengan gugatan terhadap pemegang
sertipikat oleh pemegang hak atas tanah semula, telah memunculkan rasa tidak aman
bagi para pemegang sertipikat. Perorangan atau badan hukum yang merasa
kepentingannya dirugikan terhadap hak atas tanah yang terdaftar dan diterbitkan
sertipikatnya, berhak mengajukan gugatan ke Pengadilan. Hak atas tanah dan/atau
sertipikat dapat dibatalkan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap, yang berbunyi amar putusannya menyatakan batal atau tidak
14
Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis,Hukum Pendaftaran Tanah,Edisi Revisi, CV. Mandar Maju, Bandung, 2010, halaman 148.
(26)
mempunyai kekuatan hukum atau yang pada intinya sama dengan itu. Putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut hanya dapat dijadikan dasar
pembatalan sertipikat hak atas tanah. Kewenangan membatalkan sertipikat hak atas
tanah mutlak merupakan kewenangan administrasi Menteri Negara/Kepala Badan
Pertanahan Nasional.
Keputusan penerbitan sertipikat hak atas tanah berhak dikeluarkan oleh Badan
Pertanahan Nasional (BPN), dimana BPN merupakan jabatan tata usaha Negara,
sehingga jika ada sengketa terhadap sertipikat hak atas tanah yang berhak memeriksa
dan mengadili adalah Peradilan Tata Usaha Negara (kompetensi/kewenangan
absolut).15
Sengketa tentang sertipikat hak atas tanah sering terjadi disidangkan di
Pengadilan Negeri. Ada Jurisprudensi tetap HR sejak sebelum tahun Perang Dunia II
diikuti dan dianut oleh badan-badan peradilan di Indonesia. Pasal 2 RO Ind (bunyinya
sama dengan Pasal 2 RO Ned) masih berlaku sampai sekarang walaupun telah ada
Pasal 50 Undang-Undang Nomor 2 tahun 1986 dan berlakunya Undang-Undang
Nomor 14 tahun 1970 dan yang terakhir Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman. Jurisprudensi pada awalnya diikuti oleh Hakim
Pengadilan Negeri untuk memeriksa perkara Tata Usaha Negara terutama
keputusan-keputusan pemerintah atau penguasa yang sering merugikan hak-hak atau
15Suriyati Tanjung,Pembatalan Sertifikat Hak Atas Tanah dan Perlindungan Pihak Ketiga
yang Beri’tikad Baik (Studi pada Pengadilan Tata Usaha Negara Medan), Tesis, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2006, halaman 74.
(27)
kepentingan masyarakat atau sering juga disebut dengan perbuatan melawan hukum
penguasa (onrechtmatige overheids daadzaken/OOD).16
Jurisprudensi tetap tersebut lama kelamaan menjadi pendapat umum sehingga
sampai sekarang sudah tidak asing lagi jika Pengadilan Negeri memeriksa dan
memutus perkara yang seharusnya menjadi kewenangan PTUN. Demikian juga
sengketa tentang sertipikat hak atas tanah yang banyak disidangkan di Pengadilan
Negeri. Perlu diketahui bahwa sebenarnya yang menjadi objek perkara (objektum litis) dalam sengketa tersebut adalah bukan Keputusan Tata Usaha Negara atau bukan sertipikat hak atas tanah tersebut melainkan hak-hak atau kepentingan-kepentingan
masyarakat yang dilanggar sebagai akibat keluarnya Keputusan Tata Usaha Negara
atau keluarnya sertipikat tersebut.17
Dalam hal sengketa hak milik dalam perkara waris Islam, seringkali
pihak-pihak yang berperkara mengajukan permohonan kepada Majelis Hakim di lingkungan
Peradilan Agama untuk memutus perkara yang salah satu objek gugatannya mengenai
status kepemilikan terhadap tanah waris. Hal ini tentunya menjadi kewenangan
mengadili Peradilan Agama untuk memeriksa dan mengadili perkara sengketa hak
milik dalam perkara warisan yang sebelumnya menjadi kewenangan mengadili
Peradilan Umum sebelum keluarnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
16Ibid, halaman 75. 17Ibid.
(28)
Permasalahan semakin kompleks ketika Peradilan Agama memutuskan sertipikat Hak
Milik atas tanah waris tersebut dinyatakan tidak berkekuatan hukum.
Hapusnya hak atas tanah berdasarkan putusan Pengadilan ditentukan dalam
Pasal 52 jo. Pasal 55 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Hapusnya hak
atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun diatur di dalam Pasal 52,
menyatakan bahwa:
(1) Pendaftaran hapusnya suatu hak atas tanah, hak pengelolaan dan hak milik atas satuan rumah susun dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan dengan membubuhkan catatan pada buku tanah dan surat ukur serta memusnahkan sertipikat hak yang bersangkutan, berdasarkan:
a. Data dalam buku tanah yang disimpan di Kantor Pertanahan, jika mengenai hak-hak yang dibatasi masa berlakunya.
b. Salinan surat keputusan pejabat yang berwenang bahwa hak yang bersangkutan telah dibatalkan atau dicabut.
c. Akta yang menyatakan bahwa hak yang bersangkutan telah dilepaskan oleh pemegang haknya.
(2) Dalam hal sertipikat hak atas tanah yang dihapus tidak diserahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan, hal tersebut dicatat pada buku tanah dan surat ukur yang bersangkutan.
Perubahan data pendaftaran tanah berdasarkan putusan atau penetapan
Pengadilan diatur didalam Pasal 55 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, yang
menyatakan bahwa:
(1) Panitera Pengadilan wajib memberitahukan kepada Kepala Kantor Pertanahan mengenai isi semua putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan penetapan Ketua Pengadilan yang mengakibatkan terjadinya perubahan pada data mengenai bidang tanah yang sudah didaftar atau satuan rumah susun untuk dicatat pada buku tanah yang bersangkutan dan sedapat mungkin pada sertipikatnya dan daftar-daftar lainnya.
(2) Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat dilakukan juga atas permintaan pihak yang berkepentingan, berdasarkan salinan resmi putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau salinan penetapan Ketua Pengadilan yang bersangkutan yang diserahkan olehnya kepada Kepala Kantor Pertanahan.
(29)
(3) Pencatatan hapusnya hak atas tanah, hak pengelolaan dan hak milik atas satuan rumah susun berdasarkan putusan Pengadilan dilakukan setelah diperoleh surat keputusan mengenai hapusnya hak yang bersangkutan dari Menteri atau Pejabat yang ditunjuknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1).
Kedua ketentuan di atas, pada pokoknya mengatakan bahwa atas permintaan
yang berkepentingan maka Kepala Kantor Pertanahan segera melaksanakan
pendaftaran hapusnya hak atas tanah dengan membubuhkan catatan pada buku tanah
dan surat ukur serta memusnahkan sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan. Hal
tersebut dilakukan setelah diperoleh Surat Keputusan dari Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional berdasarkan Keputusan Pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Kewenangan membatalkan sertipikat hak atas tanah merupakan kewenangan
administrasi Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional, sesuai
dipertegas Mahkamah Agung dalam putusannya tanggal 3 Nopember 1971 Nomor
383/K/Sip/1971 menyatakan bahwa: “Pengadilan tidak berwenang membatalkan
sertipikat hak atas tanah, karena hal tersebut termasuk kewenangan administrasi,
dalam hal ini adalah Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional.”
Berangkat dari uraian di atas, ada kasus yang terjadi di kabupaten Serdang
Bedagai mengenai sengketa Milik sebidang tanah dalam perkara gugatan waris mal
waris di Pengadilan Agama Tebing Tinggi, dimana putusan Pengadilan Agama No.
52/Pdt.G/2008/PA-TTD jo. 145/Pdt.G/2008/PTA.MDN, dijadikan dasar permohonan
pembatalan sertipikat hak milik atas tanah No. 249/Pematang Ganjang yang semula
(30)
KADIR berdasarkan Akta Jual Beli Nomor 368/19/S.R.H/1997 tanggal 7 Juli 1997
yang dibuat dihadapan H. BADAR selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah di kabupaten
Deli Serdang.
Dalam sengketa tersebut, yang menjadi obyek perkara adalah sengketa
kepemilikan antara ABDI, RAMLAH dan ZAIDAR yang merupakan ahli waris
RAHIM (almarhum) dengan KADIR Bin H. TARMAN (keponakan almarhum
RAHIM) atas sebidang tanah yang dilekati oleh Sertipikat Hak Milik Nomor
249/Pematang Ganjang atas nama KADIR seluas 8.501 m2 yang terletak di desa
Pematang Ganjang, kecamatan Sei Rampah, kabupaten Serdang Bedagai, yang
merupakan harta peninggalan almarhum RAHIM dan almarhumah SARAH yang
meninggal pada tahun 2005 dan 2002. Bidang tanah tersebut pada awalnya
diterbitkan sertipikat Hak Milik atas nama almarhum RAHIM kemudian diserahkan
dan dikuasai oleh KADIR dengan Akta Jual Beli.
Menurut para ahli waris almarhum RAHIM, KADIR tidak berhak atas tanah
tersebut karena tanah tersebut merupakan harta warisan dari kedua orang tua mereka.
Sedang KADIR bukan ahli waris almarhum RAHIM dan almarhumah SARAH. Hal
ini diperkuat dengan Akta Pengakuan No. 42 tanggal 20 Oktober 2006 yang dibuat
dihadapan RALIA, SH, Notaris di kabupaten Serdang Bedagai, KADIR dan istrinya,
yaitu Ramlah Saragih, mengakui Sertipikat Hak Milik Nomor 249/Pematang Ganjang
adalah milik ABDI, RAMLAH dan ZAIDAR (ahli waris almarhum RAHIM dan
almarhumah SARAH) dan menyatakan meminjam sertipikat tersebut selama satu
(31)
Oleh karena sertipikat dimaksud tidak diserahkan kepada ahli waris
sebagaimana kesepakatan awal, ahli waris almarhum RAHIM dan almarhumah
SARAH mengajukan gugatan secara perdata kepada KADIR Bin H. TARMAN
melalui Pengadilan Agama Tebing Tinggi. Kemudian Pengadilan Agama Tebing
Tinggi memutus perkara tersebut dengan putusan No. 52/Pdt.G/2008/PA-TTD Jo.
No. 145/Pdt.G/2008/PTA-MDN, yang amar putusannya mengabulkan gugatan ahli
waris almarhum, yaitu ABDI, RAMLAH dan ZAIDAR. Salah satu amar putusannya
adalah menyatakan bahwa sertipikat tanah Hak Milik atas nama KADIR No.
249/Pematang Ganjang yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN)
kabupaten Serdang Bedagai tanggal 10-03-2006 tidak berkekuatan hukum.
Oleh karena petitum putusan tingkat banding tersebut telah disampaikan
kepada para pihak dan kesempatan para pihak untuk kasasi telah habis, maka
berdasarkan Surat Keterangan Nomor W2-A6/221/HK.05/III/2009 tanggal 10 Maret
2009 yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Tebing Tinggi dijelaskan bahwa
putusan Pengadilan Agama Tebing Tinggi No. 52/Pdt.G/2008/PA-TTD tanggal 25
September 2008 jo. putusan Pengadilan Tinggi Agama Sumatera Utara Nomor
145/Pdt.G/2008/PTA-MDN tanggal 19 Januari 2009 tersebut telah memiliki kekuatan
hukum yang tetap (inkracht van gewisjde).
Ahli waris almarhum kemudian menindaklanjuti putusan Pengadilan Agama
tersebut di atas dengan mengajukan surat permohonan pembatalan sertipikat Hak
(32)
Kepala Kantor Pertanahan kabupaten Serdang Bedagai sebagaimana surat tertanggal
6 September 2010.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengkaji masalah tersebut
dan mengambil judul tesis :“Analisis Hukum Putusan Pengadilan Agama Yang Memutuskan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah Tidak Berkekuatan Hukum. (Studi Kasus : Putusan Pengadilan Agama Tebing Tinggi No. 52/Pdt.G/2008/PA-TTD jo. Putusan Pengadilan Tinggi Agama Sumatera Utara No. 145/Pdt.G/2008/PTA-MDN).”
B. Perumusan Masalah.
Permasalahan yang timbul dan dapat dirumuskan dalam tesis ini adalah:
1. Apakah Pengadilan Agama memiliki kewenangan untuk memutuskan
Sertipikat Hak Milik atas tanah tidak berkekuatan hukum?
2. Bagaimana status hukum putusan Pengadilan Agama yang memutus perkara
yang bukan kewenangannya?
3. Apakah putusan Pengadilan Agama dapat menjadi dasar permohonan
pembatalan sertipikat Hak Milik di Badan Pertanahan Nasional (BPN)?
C. Tujuan Penelitian.
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui kewenangan mengadili Pengadilan Agama yang
(33)
2. Untuk mengetahui status hukum putusan Pengadilan Agama yang memutus
perkara yang bukan kewenangannya.
3. Untuk mengetahui putusan Pengadilan Agama yang menjadi dasar
permohonan pembatalan sertipikat Hak Milik di Badan Pertanahan Nasional
(BPN) Serdang Bedagai.
D. Manfaat Penelitian. 1. Manfaat Teoritis.
Hasil penelitian ini diharapkan mampu menambah dan sebagai masukan bagi
pengetahuan dan perkembangan ilmu hukum, khususnya hukum agraria dan
pendaftaran tanah, yang berkaitan dengan pembatalan sertipikat hak milik atas tanah
dan hukum waris Islam, yang berkaitan dengan kewenangan mengadili Peradilan
Agama.
2. Manfaat Praktis.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi praktisi
Badan Pertanahan Nasional dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya dalam
menyelesaikan permasalahan tentang pembatalan sertipikat hak milik atas tanah dan
bagi kalangan Hakim di lingkungan Peradilan Agama dalam menjalankan tugas
pokok dan fungsinya memutuskan perkara, khususnya mengenai sengketa hak milik
(34)
E. Keaslian Penulisan.
Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang dilakukan Penulis, khususnya di
lingkungan kepustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, menunjukkan
bahwa penelitian dengan judul “Analisis Hukum Putusan Pengadilan Agama Yang Memutuskan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah Tidak Berkekuatan Hukum. (Studi Kasus : Putusan Pengadilan Agama Tebing Tinggi No. 52/Pdt.G/2008/PA-TTD jo. Putusan Pengadilan Tinggi Agama Sumatera Utara No. 145/Pdt.G/2008/PTA-MDN),” belum ada yang membahasnya. Sehingga tesis ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya secara akademis.
Adapun beberapa penelitian yang mengkaji tentang pembatalan sertipikat hak
atas tanah sudah pernah ada, diantaranya adalah:
1. Penelitian yang dilakukan oleh saudari Suriyati Tanjung (NIM. 027011060),
mahasiswa program Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan
judul penelitian “Pembatalan Sertipikat Hak Atas Tanah Dan Perlindungan Pihak
Ketiga Yang Beritikad Baik (Studi Pada Pengadilan Tata Usaha Negara).” Adapun
yang menjadi pokok permasalahan dalam pembahasan tesis ini adalah:
a. Faktor-faktor apa saja yang mengakibatkan sertipikat hak atas tanah sebagai
alat bukti yang kuat dapat dibatalkan?
b. Bagaimanakah mekanisme pembatalan sertipikat hak atas tanah?
c. Bagaimana perlindungan hukum terhadap kepentingan pihak ketiga yang
beritikad baik, dalam hal sertipikat hak atas tanah dibatalkan oleh Pengadilan
(35)
2. Penelitian yang dilakukan oleh saudara Nursuhadi (NIM. 002111035), mahasiswa
program Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul
penelitian “Penyimpangan Pelaksana Peralihan Hak Atas Tanah (Studi Mengenai
Penyimpangan Jual Beli Tanah Bersertipikat Hak Milik di Kecamatan Kota
Kisaran Barat, Kabupaten Asahan).” Adapun yang menjadi pokok permasalahan
dalam pembahasan penelitian ini adalah:
a. Mengapa terjadi penyimpangan pelaksanaan jual beli tanah bersertipikat Hak
Milik di Kecamatan Kota Kisaran Barat.
b. Apa yang menyebabkan terjadinya penyimpangan pelaksanaan jual beli tanah
bersertipikat Hak Milik.
c. Solusi apa yang dilakukan terhadap penyimpangan pelaksanaan jual beli tanah
bersertipikat Hak Milik di Kecamatan Kota Kisaran Barat.
3. Penelitian yang dilakukan oleh saudari Nurcahaya Batubara (NIM. 002111034),
mahasiswa program Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan
judul penelitian “Pelaksanaan Stelsel Negatif Yang Bertendensi Positif Terhadap
Pemberian Sertipikat Hak Milik Atas Tanah (Studi Kota Medan).” Adapun yang
menjadi pokok permasalahan dalam pembahasan tesis ini adalah:
a. Apakah Stelsel Negatif yang Bertendensi Positif dalam pemberian Sertipikat
Hak Milik di Kota Medan telah dilaksanakan?
b. Apakah akibat hukum dari pelaksanaan Stelsel Negatif yang Bertendensi
(36)
c. Bagaimana perlindungan hukum bagi pemegang Sertipikat Hak Milik dari
Stelsel Negatif yang Bertendensi Positif tersebut di Kota Medan?
4. Penelitian yang dilakukan oleh saudari Reno Yanti (NIM. 067011011), mahasiswa
program Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul
penelitian “Peralihan Sertipikat Hak Milik Melalui Hibah Kepada Anak Kandung
Yang Belum Dewasa.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi. 1. Kerangka Teori.
Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik
atau proses tertentu terjadi dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada
fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.18 Kerangka teori adalah
kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau
permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.19 Fungsi teori dalam penelitian tesis ini adalah untuk memberikan arahan atau
petunjuk dan perkiraan serta menjelaskan gejala yang diamati. Penelitian ini
merupakan penelitian hukum yang diarahkan secara khas pada ilmu hukum.
Maksudnya adalah penelitian ini berusaha untuk memahami jalannya penyelesaian
sengketa waris yang diatur dalam undang-undang.
Teori yang dipakai dalam penulisan tesis ini adalah teori sistem hukum dari
Lawrence M. Friedman, menyatakan bahwa sebagai suatu sistem hukum dari sistem
18M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, FE UI, Jakarta, 1996, halaman 203. 19M. Solly Lubis,Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, halaman 80.
(37)
kemasyarakatan, maka hukum mencakup tiga komponen, yaitu legal substance
(substansi hukum), legal structure (struktur hukum) dan legal culture (budaya hukum).
Sistem hukum mempunyai dua pengertian yang penting untuk dikenali,
sekalipun dalam pembicaraan-pembicaraan keduanya sering dipakai secara tercampur
begitu saja.Pertama adalah pengertian sistem sebagai jenis satuan, yang mempunyai tatanan tertentu. Tatanan tertentu menunjuk kepada suatu struktur yang tersusun dari
bagian-bagian. Kedua, sistem sebagian suatu rencana, metoda, atau prosedur untuk mengerjakan sesuatu.
Pemahaman yang umum mengenai sistem menurut Shrode dan Voich yang
dikutip oleh Satjipto Rahardjo mengatakan, bahwa suatu sistem adalah suatu kesatuan
yang bersifat kompleks, yang terdiri dari bagian-bagian yang berhubungan satu sama
lain. Pemahaman yang demikian itu hanya menekankan pada ciri keterhubungan dari
bagian-bagiannya tetapi mengabaikan cirinya yang lain, yaitu bahwa bagian-bagian
tersebut bekerja bersama secara aktif untuk mencapai tujuan pokok dari kesatuan
tersebut. Apabila suatu sistem tersebut ditempatkan pada pusat pengamatan yang
demikian itu maka pengertian-pengertian dasar yang terkandung didalamnya adalah
sebagai berikut : (Satjipto Rahardjo, 2000 : 48-49)
a. Sistem itu berorientasi kepada tujuan.
b. Keseluruhan adalah lebih dari sekedar jumlah dari bagian-bagiannya
(38)
c. Suatu sistem berinteraksi dengan yang lebih besar, yaitu lingkungannya
(keterbukaan sistem).
d. Bekerjanya bagian-bagian dari sistem itu menciptakan sesuatu yang berharga
(transformasi).
e. Masing-masing bagian harus cocok satu sama lain (keterhubungan).
f. Ada kekuatan pemersatu yang mengikat sistem itu (mekanisme kontrol).
Legal substance (substansi hukum) merupakan aturan-aturan, norma-norma dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu termasuk produk yang
dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu, mencakup keputusan
yang mereka keluarkan atau aturan baru yang mereka susun. Legal substance
(substansi hukum) digunakan untuk melihat kewenangan mengadili Peradilan Agama
dan penerapan hukum materiil yang berlaku didalam memeriksa dan memutus
perkara objek yang diteliti.
Legal structure (struktur hukum) merupakan kerangka, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberikan semacam bentuk dan batasan terhadap
keseluruhan instansi-instansi penegak hukum. Di Indonesia yang merupakan struktur
dari sistem hukum antara lain: institusi atau penegak hukum, seperti advokat, polisi,
jaksa dan hakim. Legal structure digunakan untuk melihat Peradilan Agama dari aspek status dan kedudukannya sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman
yang memeriksa dan memutus perkara objek yang diteliti.
Legal culture (budaya hukum) merupakan suasana pikiran sistem dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum itu digunakan, dihindari atau
(39)
disalahgunakan oleh masyarakat. Legal culture (budaya hukum) digunakan untuk melihat peran dan pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara objek yang
diteliti.
Ketiga sub sistem tersebut di atas tidak dapat dipisah-pisahkan dan tidak boleh
bertentangan satu sama lainnya. Ketiganya merupakan suatu kesatuan yang saling
berkait dan saling menopang sehingga pada akhirnya mengarah kepada tujuan
(hukum) yaitu kedamaian. Bilamana ketiga komponen hukum tersebut bersinergi
secara positif,
maka akan mewujudkan tatanan sistem hukum yang ideal seperti yang diinginkan.
Dalam hal ini, hukum tersebut efektif mewujudkan tujuan hukum (keadilan,
kemanfaatan dan kepastian hukum). Sebaliknya, bila ketiga komponen hukum
bersinergi negatif maka akan melahirkan tatanan sistem hukum yang semrawut dan
tidak efektif mewujudkan tujuan hukum.
Hukum, kaidah/norma, perundang-undangan (substansi hukum) yang
merupakan komponen dari sistem hukum memiliki fungsi sebagai alat untuk
melindungi kepentingan manusia atau sebagai perlindungan kepentingan manusia.
Upaya yang semestinya dilakukan guna melindungi kepentingan manusia ialah
hukum harus dilaksanakan secara layak. Pelaksanaan hukum itu sendiri dapat
berlangsung secara damai dan normal, tetapi dapat terjadi pula karena pelanggaran
hukum. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar tersebut haruslah ditegakkan dan
(40)
2. Konsepsi.
Konsepsi merupakan bagian terpenting dalam teori. Dapat diterjemahkan
sebagai usaha membawa dari abstrak menuju konkrit. Konsepsi berperan untuk
menghubungkan teori dengan observasi, antara abstraksi dan kenyataan. Dengan kata
lain, mengandung arti definisi singkat dari kelompok fakta atau gejala yang perlu
diamati dan menentukan antara variabel-variabel adanya hubungan empiris.20 Pada
hakekatnya merupakan pengarah atau pedoman yang lebih konkrit daripada kerangka
teoritis yang kadangkala masih bersifat abstrak, sehingga diperlukan definisi-definisi
operasional menjadi pegangan konkrit dalam proses penelitian. Adapun beberapa
konsepsi yang dipakai dalam penulisan tesis ini adalah:
1. Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde zaak) adalah bahwa putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap, akan
tetapi sudah tidak dapat lagi dilakukan upaya hukum, baik upaya hukum bisaa
(banding dan kasasi) dan upaya hukum luar bisaa (peninjauan kembali).21
2. Peradilan Agama menurut Pasal 1 angka (1) Undang-Undang No. 50 Tahun
2009 Tentang Perubahan Kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam.
3. Pengadilan menurut Pasal 1 angka (2) Undang-Undang No. 50 Tahun 2009
Tentang Perubahan Kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
20 Koentjoroningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Edisi Ketiga, PT. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 1997, halaman 21.
21C.S.T. Kansil,Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,
(41)
Agama adalah pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama di lingkungan
peradilan agama.
4. Pengertian sertipikat menurut UUPA Pasal 19 ayat (2) adalah surat tanda
bukti hak atas tanah yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Sertipikat sebagai surat bukti tanda hak, diterbitkan untuk kepentingan
pemegang hak yang bersangkutan, sesuai dengan data fisik yang ada dalam
surat ukur dan data yuridis yang telah didaftar dalam buku tanah.22Sertipikat,
menurut Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, terdiri atas
salinan buku tanah yang memuat data yuridis dan surat ukur yang memuat
fisik hak yang bersangkutan, yang dijilid menjadi satu dalam suatu sampul
dokumen. Pengertian sertipikat menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997, adalah satu lembar dokumen sebagai surat tanda bukti hak yang
memuat data fisik dan data yuridis obyek yang didaftar untuk hak atas tanah,
hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak
tanggungan yang masing-masing dibukukan dalam buku tanah.
5. Pengertian Hak Milik menurut Pasal 570 BW adalah hak untuk menikmati
kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa dan untuk berbuat bebas terhadap
kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bersalahan dengan
Undang-Undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan
yang berhak menetapkannya dan tidak mengganggu hak-hak orang lain,
kesemuanya itu dengan tak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak
22Boedi Harsono,
(42)
itu demi kepentingan umum berdasar atas ketentuan Undang-Undang dan
dengan pembayaran ganti rugi.
6. Tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi, sedangkan hak atas
tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang berbatas,
berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.23
7. Pengertian pembatalan hak atas tanah tercantum didalam Pasal 1 angka 14
PMNA/KBPN Nomor 9 tahun 1999, yaitu : “Pembatalan keputusan mengenai
pemberian suatu hak atas tanah karena keputusan tersebut mengandung cacat
hukum dalam penerbitannya atau melaksanakan putusan pengadilan yang
telah berkekuatan hukum tetap.” Surat Keputusan pembatalan hak atas tanah
menurut Pasal 104 ayat (2) PMNA/Kepala BPN Nomor 9 tahun 1999,
diterbitkan apabila terdapat :
a. Cacat hukum administratif.
b. Melaksanakan putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
7. Kewenangan mengadili adalah kekuasaan Pengadilan untuk mengadili
berdasarkan materi hukum (hukum materiil). Lebih jelas, dapat ditegaskan
bahwa kewenangan mengadili itu merupakan batasan tentang perkara-perkara
apa saja yang wewenang penyelesaiannya diserahkan kepada suatu
pengadilan.24
23Ibid, halaman 18.
(43)
G. Metodologi Penelitian. 1. Sifat Penelitian.
Spesifikasi penelitian dalam penulisan bersifat deskriptif analitis, yaitu data
hasil penelitian, baik yang berupa data hasil studi dokumen yang menggambarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dan
praktek pelaksanaan hukum in concreto yang menyangkut permasalahan maupun penelitian lapangan yang berupa hasil pengamatan dianalisa secara kualitatif.
2. Jenis Penelitian.
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, yaitu
penelitian hukum kepustakaan. Menggunakan pendekatan yuridis normatif oleh
karena sasaran penelitian ini adalah hukum atau kaedah (norm). Pengertian kaedah meliputi asas hukum, kaedah dalam arti sempit (value), peraturan hukum konkret. Penelitian yang berobjekan hukum normatif berupa asas-asas hukum, sistem hukum,
taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal.25
Penelitian ini sering disebut juga penelitian dokumenter untuk memperoleh
data sekunder dibidang hukum. Penelitian lebih meliputi penelitian asas-asas hukum,
sumber-sumber hukum, peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan yang
berlaku, literatur-literatur yang berkaitan dengan permasalahan. Titik berat penelitian
tertuju pada penelitian dokumenter, yang berarti lebih banyak menelaah dan mengkaji
data sekunder yang diperoleh dari penelitian.
25Soejono Soekanto dan Sri Mamudji,Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
(44)
Dalam penelitian ini yang menjadi obyek penelitian adalah:
1. Putusan Pengadilan Agama Tebing Tinggi No. 52/Pdt.G/2008/PA-TTD
tanggal 25 September 2008 jo. Putusan Pengadilan Tinggi Agama Sumut No.
145/Pdt.G/2008/PTA-MDN tanggal 19 Januari 2009.
2. Surat Keterangan Pengadilan Agama Tebing Tinggi Nomor
W2-A6/221/HK.05/III/2009 yang menerangkan bahwa putusan di atas telah
mempunyai kekuatan hukum tetap.
3. Sertipikat Hak Milik Nomor 249/Pematang Ganjang atas nama KADIR yang
merupakan sertipikat pengganti dari sertipikat Hak Milik Nomor 12/Pematang
Ganjang yang semula atas nama RAHIM (almarhum).
3. Metode Pengumpulan Data.
Sebagai penelitian hukum normatif, penelitian ini menitikberatkan pada studi
kepustakaan. Dalam mencari dan mengumpulkan data yang diperlukan dalam
penulisan tesis ini, penulis menggunakan data sekunder dan data primer. Data
sekunder, yaitu data yang diperoleh dari studi kepustakaan dari arsip-arsip, bahan
pustaka, data resmi pada instansi pemerintah, Undang-Undang, makalah yang ada
kaitannya dengan masalah yang sedang diteliti, yang terdiri dari :
a). Bahan hukum primer,26 yaitu bahan hukum yang mengikat, yaitu :
Undang Dasar 1945, Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo.
Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman,
Undang-26Ronny Hanitijo Soemitro,Metodelogi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia,
(45)
Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo.
Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama,
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah,
Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
3 Tahun 1997, Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 3 Tahun 1999, Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999, putusan Pengadilan Agama
yang telah berkekuatan hukum tetap, surat-surat dan peraturan-peraturan
lainnya yang berkaitan dengan hak atas tanah.
b). Bahan hukum sekunder,27yaitu bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum
primer, yaitu : literatur tentang kewenangan mengadili Pengadilan Agama,
literatur tentang Hukum Agraria, pendaftaran tanah, hak atas tanah dan
pembatalan hak atas tanah, hasil penelitian di bidang Hukum Agraria,
pendaftaran tanah, hak-hak atas tanah dan pembatalan hak atas tanah.
c). Bahan hukum tertier, yaitu bahan-bahan hukum yang sifatnya penunjang
untuk dapat memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum
primer dan sekunder, seperti jurnal hukum, jurnal ilmiah, surat kabar, internet
serta makalah-makalah yang berkaitan dengan objek penelitian.28
27Ibid.
(46)
Selain data sekunder, penulis juga menggunakan data primer, yaitu data yang
diambil langsung dengan wawancara yang dilakukan secara terarah (directive interview),29 yaitu pejabat pada Badan Pertanahan Nasional kabupaten Serdang Bedagai dan Pengacara, yang digunakan sebagai data pembanding.
4. Alat Pengumpulan Data.
Untuk mendapatkan hasil yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya
serta dapat dipertanggungjawabkan hasilnya, maka data dalam penelitian ini
diperoleh melalui alat pengumpulan data yang dilakukan dengan menggunakan cara :
a. Studi dokumen.
Studi dokumen digunakan untuk memperoleh data sekunder dengan
membaca, mempelajari, meneliti, mengidentifikasi dan menganalisis data sekunder
yang berkaitan dengan materi penelitian.30
b. Wawancara.
Wawancara merupakan teknik pengumpulan data dimana penulis melakukan
percakapan atau tatap muka yang terarah kepada pihak yang berkepentingan guna
memperoleh keterangan atau data-data yang diperlukan.
5. Analisis Data.
Penelitian ini bersifat deskriptif. Data hasil penelitian yang berupa data hasil
studi dokumen (data sekunder), data hasil pengamatan dan wawancara dianalisis
29Ronny Hanitijo Soemitro,Op. Cit., halaman 60.
30Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Universitas Indonesia Press,
(47)
dengan metode analisis kualitatif,31 dengan maksud untuk memaparkan apa yang
dianalisis tadi secara sistematis dan menyeluruh untuk menjawab permasalahan yang
diteliti. Penarikan kesimpulan dalam penelitian ini dengan menggunakan metode
deduktif.
(48)
BAB II
KEWENANGAN MENGADILI PENGADILAN AGAMA DALAM SENGKETA WARIS ISLAM
A. Jangkauan Kewenangan Mengadili Perkara Warisan.
Sebagaimana yang tercantum didalam Pasal 49 ayat 1 huruf b UU No. 7 tahun
1989 Tentang Peradilan Agama, salah satu bidang hukum tertentu yang dimasukkan
ke dalam kewenangan mengadili lingkungan Peradilan Agama adalah mengadili
perkara warisan. Perlu untuk meneliti luas jangkauan kewenangan tersebut mengingat
berbagai permasalahan titik singgung perselisihan yurisdiksi mengenai perkara
warisan antara lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama di masa lalu dan di
masa sekarang, berkaitan dengan putusan Pengadilan Agama yang diteliti. Oleh
karena itu, penulisan tesis akan mencoba menjajaki keluasan jangkauan itu melalui
pendekatan ketentuan yang digariskan dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 jo.
Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 jo. Undang-Undang No. 50 tahun 2009 Tentang
Peradilan Agama.
1. Meliputi Asas Personalitas Ke-Islaman dan Wawasan Nusantara.
Pendekatan pertama meneliti luas jangkauan kewenangan Peradilan Agama
mengadili perkara-perkara warisan bertitik tolak dari asas personalitas ke-Islaman dan
asas wawasan nusantara yang digariskan UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama. Sesuai dengan ketentuan Pasal 2, jo. Pasal 49 ayat 1, jo. Penjelasan Umum
angka 2 alinea ketiga UU No. 7 Tahun 1989, telah ditetapkan salah satu asas sentral
(49)
ke-Islaman dipancang sebagai salah satu fundamen menegakkan eksistensi lingkungan
Peradilan Agama, sebagai pelaksanaan dari penjelasan Pasal 10 UU No. 14 Tahun
1970, yang menentukan bahwa salah satu dari ciri eksistensi kekhususan lingkungan
Peradilan Agama digantungkan kepada faktor golongan rakyat tertentu. Golongan
rakyat tertentu tersebut yakni golongan rakyat yang beragama Islam sebagaimana
tercantum di dalam Pasal 2, jo. Pasal 49 ayat 1, jo. Penjelasan Umum angka 2 alinea
ketiga UU No. 7 Tahun 1989.32
Luas jangkauan mengadili lingkungan Peradilan Agama dari segi wawasan
nusantara tidak terlepas dari permasalahan adanya pemisahan berdasar faktor
territorial berlakunya hukum warisan Islam di masa yang lalu. Pemisahan territorial
atas berlakunya hukum warisan Islam bagi mereka yang beragama Islam merupakan
produk kebijaksanaan hukum yang tertuang dalam St. 1937-116 dan PP No. 45 Tahun
1957. Inti pokok kebijaksanaan hukum di bidang warisan yang digariskan dalam St.
1937-116, menentukan untuk daerah Jawa dan Madura, hukum waris yang berlaku
dan diterapkan bagi golongan rakyat bumi putera adalah hukum adat. Begitu pula
kebijaksanaan yang digariskan St. 1937-638 dan 639, menetapkan bahwa untuk
daerah Karesidenan Kalimantan Timur, berlaku waris Islam kecuali onderafdeling. Pulau Laut dan Tanah Bambu, berlaku hukum warisan adat.33
Sedangkan menurut kebijaksanaan yang digariskan dalam PP No. 45 Tahun
1957, sama sekali tidak membawa perubahan. Tetapi lebih bersifat status quo dengan
32
M. Yahya Harahap,Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,Op. Cit., halaman 147.
33
(50)
kecenderungan yang semakin tidak menentu, sebagai akibat rumusan kabur Pasal 4
yang berisi kalimat “sepanjang hal itu merupakan hukum yang hidup.” Dengan
kalimat mengambang tersebut terjadi kegalauan menentukan kewenangan yurisdiksi
perkara warisan bagi mereka yang beragama Islam. Oleh karena itu, boleh dikatakan
tidak ada suatu pegangan yang pasti baik bagi rakyat pencari keadilan maupun bagi
Peradilan Agama apakah di daerah hukum kekuasaannya perkara warisan menjadi
kewenangan yurisdiksinya. Padahal, kalau berpegang pada patokan kebijaksanaan
yang digariskan St. 1937-116, hanya di pulau Jawa-Madura saja perkara warisan yang
tidak menjadi yurisdiksi Peradilan Agama. Tetapi disebabkan rumusan Pasal 4 PP
No. 45 Tahun 1957 mengambang, serta tidak ada petunjuk siapa yang berwenang
menentukan hukum adat atau hukum warisan Islam yang hidup di suatu daerah,
terjadilah selisih pendapat antara berbagai kalangan menafsirkan apa hukum yang
hidup itu.
Kalangan Hakim Peradilan Umum ada yang berpendapat bahwa hukum
warisan yang hidup di masyarakat adalah hukum Adat. Berarti yang berwenang untuk
mengadili sengketa waris adalah Pengadilan Negeri. Tetapi dari kalangan lingkungan
Peradilan Agama mendakwa bahwa hukum warisan yang hidup di tengah-tengah
masyarakat adalah hukum warisan Islam dan yang berwenang mengadili sengketa
waris adalah Pengadilan Agama.34
Menurut Undang-Undang No.7 tahun 1989, masalah sengketa perkara warisan
yang terjadi bagi mereka yang beragama Islam, baik dari sudut hukum materiil
(51)
maupun dari sudut kewenangan yurisdiksi mengadili, ditempatkan dalam suatu gugus
wawasan nusantara. Asas wawasan nusantara sengketa waris ditempatkan di bawah
wewenang yurisdiksi lingkungan Peradilan Agama bagi mereka yang beragama
Islam, dapat dipastikan melalui pendekatan konsideran huruf d, jo. Penjelasan Umum
angka 1 alinea kedua, jo. Pasal 107 ayat 1 UU No. 7 Tahun 1989. Ketiga aturan itu
sama ketentuannya. Terutama ketentuan yang dicantumkan dalam konsideran huruf d,
menegaskan:
“bahwa pengaturan tentang susunan, kekuasaan dan hukum acara pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama yang selama ini masih beraneka karena didasarkan pada:
1. Peraturan tentang Peradilan Agama di Jawa dan Madura (Staatsblad Tahun 1882 Nomor 152 dihubungkan dengan Staatsblad Tahun 1937 Nomor 116 dan 610);
2. Peraturan tentang Kerapatan Qadi dan Kerapatan Qadi Besar untuk sebagian Residensi Kalimantan Selatan dan Timur (Staatsblad Tahun1937 Nomor 638 dan 639).
3. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di luar Jawa dan Madura (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 99), perlu segera diakhiri demi terciptanya kesatuan hukum yang mengatur Peradilan Agama dalam kerangka sistem dan tata hukum nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.”35
Untuk mencapai dan mewujudkan kesatuan sistem dan tata hukum di
lingkungan Peradilan Agama, Pasal 107 menyatakan, pada saat mulai berlaku
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, semua peraturan Peradilan Agama yang lama
dinyatakan tidak berlaku. Apa yang diamanatkan konsideran huruf d dan Pasal 107,
jelas menegaskan asas kesatuan wawasan nusantara. Tidak ada lagi perbedaan
territorial pulau Jawa-Madura dan daerah Seberang atau luar Jawa-Madura. Sehingga
(52)
sejak tanggal 29 Desember 1989, saat diundangkannya UU No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Agama dan tata hukum Islam yang mengatur
perkawinan, warisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah, berlaku secara nasional
berdasar asas personalitas ke-Islaman. Dengan demikian bagi setiap orang yang
beragama Islam diperlakukan dan diterapkan hukum warisan Islam dimana saja dia
berada dan kewenangan mengadili perkara yang timbul dalam bidang warisan tunduk
kepada lingkungan Peradilan Agama.
2. Meliputi Seluruh Bidang Hukum Waris Islam
Jangkauan kewenangan mengadili sengketa perkara warisan ditinjau dari segi
hukum waris Islam dapat dilihat melalui pendekatan ketentuan Pasal 49 ayat 3, jo.
Penjelasan Umum angka 2 alinea keenam UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama. Makna yang terkandung dalam kedua ketentuan tersebut sama. Pasal 49 ayat
3 UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama berbunyi: “Bidang kewarisan
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 huruf b ialah penentuan siapa-siapa yang
menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian
masing-masing ahli waris dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut.”
Jika ketentuan Pasal 49 ayat 3 UU No. 7 Tahun 1989 diurai lebih lanjut,
pokok-pokok hukum waris Islam yang akan diperlakukan dan ditetapkan kepada
golongan rakyat yang beragama Islam di depan lingkungan Peradilan Agama terdiri
(53)
a. Siapa-siapa yang Menjadi Ahli Waris.
Ditinjau dari segi ketentuan hukum warisan Islam, ke dalam pokok masalah
siapa-siapa yang menjadi ahli waris, meliputi segi-segi hukum:
1. Penentuan kelompok ahli waris.
a) Penentuan kelompok ahli waris menurut hubungan darah:
1). Golongan laki-laki yang terdiri dari ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki,
paman dan kakek.
2). Golongan perempuan yang terdiri dari ibu, anak perempuan, saudara
perempuan dan nenek.
b) Penentuan kelompok ahli waris menurut hubungan perkawinan yang terdiri
dari duda atau janda.
2. Penentuan siapa yang berhak mewarisi.
3. Penentuan yang terhalang menjadi ahli waris, karena:
a) Dipersalahkan membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat si
pewaris.
b) Dipersalahkan memfitnah si pewaris.
4. Menentukan hak dan kewajiban ahli waris, terutama kewajiban yang berkenaan
dengan :
a) Mengurus pemakaman.
b) Menyelesaikan utang-piutang si pewaris.
(54)
d) Melakukan pembagian harta warisan (harta peninggalan) diantara para ahli
waris yang berhak.
Selain daripada itu, penentuan siapa ahli waris yang diatur di dalam Pasal 185
Kompilasi Hukum Islam mengenai diakuinya kedudukan ahli waris pengganti atau
plaatsvervulling, yaitu dalam hal ahli waris lebih dulu meninggal dari pewaris, kedudukannya dapat digantikan anaknya.
b. Penentuan Mengenai Harta Peninggalan
Ditinjau dari segi ketentuan hukum waris Islam, hal-hal yang termasuk ke
dalam masalah penentuan harta peninggalan meliputi segi-segi:
1) Penentuan hartatirkahyang dapat diwarisi: a) Semua harta yang ditinggal pewaris.
b) Berupa hak milik kebendaan, atau
c) Hak milik lain yang tidak berupa benda.
2) Penentuan besarnya harta warisan ialah penjumlahan dari harta tirkah ditambah dengan apa yang menjadi haknya dari harta bersama dikurang biaya keperluan
jenazah dan hutang pewaris dan wasiat.
c. Penentuan Bagian Masing-Masing Ahli Waris
Apa yang ditentukan dalam masalah ini meliputi porsi setiap ahli waris dan
secara umum garis besarnya meliputi:
(55)
2) Apabila anak hanya terdiri dari dua anak perempuan saja, bersekutu mendapat 2/3
harta warisan.
3) Apabila anak terdiri dari anak laki-laki dan perempuan, bagian anak laki-laki dua
berbanding satu dengan bagian anak perempuan.
4) Bagian ayah:
a) Kalau pewaris tak meninggalkan anak, ayah mendapat1/3bagian.
b) Apabila pewaris meninggalkan anak, ayah mendapat1/6bagian.
5) Bagian ibu
a) Apabila pewaris tidak meninggalkan anak atau dua orang saudara, ibu
mendapat1/3bagian.
b) Apabila anak ada dan dua orang saudara, ibu mendapat1/6bagian.
6) Bagian duda
a) Apabila tidak ada anak, duda mendapat1/3bagian.
b) Apabila ada anak, duda mendapat1/4bagian.
7) Bagian janda
a) Apabila tidak ada anak, janda mendapat1/4bagian.
b) Apabila ada anak, janda mendapat1/8bagian.
d. Melaksanakan Pembagian Harta Peninggalan
Pokok permasalahan ini menyangkut hukum materiil dan hukum formal. Dari
(1)
Sertipikat yang menjadi objek sengketa. Eksekusi terhadap Putusan Pengadilan Agama tersebut tidak dapat dijalankan (noneksekutabel) karena amar putusan declaratoir tersebut tidak disertai dengan putusan condemnatoir dan pihak BPN kabupaten Serdang Bedagai tidak diikutsertakan sebagai pihak Tergugat dalam perkara.
3. Putusan Pengadilan Agama Tebing Tinggi No. 52/Pdt.G/2008/PA-TTD tanggal 25 September 2008 tidak dapat dijadikan dasar permohonan pembatalan Sertipikat Hak Milik di Badan Pertanahan Nasional (BPN) kabupaten Serdang Bedagai. Pengadilan Agama tidak diberi kewenangan untuk memutus sengketa Tata Usaha Negara. Sertipikat Hak Milik Atas Tanah merupakan suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Pengadilan yang memiliki kewenangan untuk mengadili objek perkara berupa Sertipikat Hak Milik atas tanah adalah Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), bukan Pengadilan Agama. Pengadilan Agama tidak diberikan kewenangan untuk menyatakan Sertipikat Hak Milik atas tanah batal atau tidak mempunyai kekuatan hukum atau yang pada intinya sama dengan itu. Oleh sebab itu, Kepala Kantor Pertanahan Serdang Bedagai menolak permohonan pembatalan Sertipikat Hak Milik tersebut.
B. Saran.
1. Hakim Pengadilan Agama harus teliti dalam memeriksa dan mengadili perkara waris yang didalamnya masih memiliki sengketa kepemilikan antara ahli waris
(2)
dengan Tergugat (pihak ketiga). Objek perkara yang masih memiliki sengketa kepemilikan antara para pihak harus diselesaikan terlebih dahulu di Pengadilan Negeri Tebing Tinggi Deli untuk mengetahui pihak mana yang berhak atas tanah perkara tersebut. Majelis Hakim Pengadilan Agama, sepanjang mengenai objek perkara Sertipikat, seharusnya menyatakan tidak berwenang mengadilinya sampai dengan adanya keputusan yang tetap dari Pengadilan Negeri mengenai siapa yang berhak atas tanah tersebut.
2. Hakim dalam mengambil keputusan perkara contentiosa harus sesuai dengan ketentuan agar Putusan Hakim tersebut eksekusinya dapat dijalankan. Putusan Pengadilan secara administratif dapat ditindaklanjuti pelaksanaannya apabila telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang bersifat menghukum (condemnatoir) dan bersifat constitutif (menciptakan status hukum baru) sedangkan putusan yang bersifat declaratoir tidak dapat ditindaklanjuti pelaksanaannya karena hanya bersifat pernyataan sesuatu yang telah jelas. Jadi, supaya putusan Pengadilan Agama eksekusinya dapat dijalankan, selain memuat amardeclaratoirjuga harus disertai dengan amarcondemnatoir.
3. Penggugat (ahli waris) yang memenangkan perkara harus mengajukan gugatan baru ke Pengadilan Negeri Tebing Tinggi Deli untuk menggugat hak kepemilikan atas objek perkara berupa tanah seluas lebih kurang 8.501 m2(delapan ribu lima ratus satu meter bujur sangkar) yang terletak di dusun V, Desa Pematang Ganjang, kecamatan Sei Rampah, kabupaten Serdang Bedagai dengan batas-batas
(3)
KADIR. Penggugat juga dapat mengajukan gugatan tata usaha Negara terhadap Badan Pertanahan Nasional kabupaten Serdang Bedagai yang telah menerbitkan Sertipikat Hak Milik atas tanah atas nama KADIR di atas tanah almarhum kedua orang tuanya. Putusan Pengadilan Negeri maupun putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat dijadikan dasar pembatalan Sertipikat Hak Milik atas tanah di Badan Pertanahan Nasional (BPN) Serdang Bedagai.
(4)
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku.
A. Rasjid, Roihan,Hukum Acara Peradilan Agama, Rajawali Pers, Jakarta, 1991. Al Rashid, Harun, Sekilas Tentang Jual Beli Tanah (berikut peraturan-peraturan),
Ghalia Indonesia, Jakarta,1986.
Al-Mawardi, Imam, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, Prinsip-Prinsip Penyelenggaraan Negara Islam, Darul Falah, Jakarta, 2000.
Arto, A. Mukti, Konsepsi Ideal Mahkamah Agung, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001.
Ashshofa, Burhan,Metode Penelitian Hukum,Rineka Cipta, Jakarta, 2004.
Dalimunthe, Chadidjah, Pelaksanaan Landreform di Indonesia dan Permasalahannya, FH USU Press, Medan, 2000.
Ediwarman, Perlindungan Hukum Bagi Korban Kasus-Kasus Pertanahan, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2003.
Effendi, Bachtiar, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan Pelaksanaannya, Alumni, Bandung, 1993.
Harahap, M. Yahya,Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, UU No. 7 Tahun 1989, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2009.
Harahap, M. Yahya, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.
Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1, Djambatan, Jakarta, 2003. Hisyam, M., Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, FE UI, Jakarta, 1996.
Kamil, Ahmad dan M. Fauzan, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi, Kencana, Jakarta, 2008.
(5)
Kansil, C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1986.
Kelsen, Hans,Pengantar Teori Hukum, Nusa Media, Bandung, 2008.
Kelsen, Hans, Teori Hukum Murni : Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, Nusa Media, Bandung, 2008.
Koentjoroningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Edisi Ketiga, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997.
Lubis, M. Solly,Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994.
Lubis, Mhd. Yamin dan Lubis, Abd. Rahim,Hukum Pendaftaran Tanah, Edisi Revisi, Mandar Maju, Bandung, 2010.
Lubis, Sulaikin, Wismar ‘Aini Marzuki dan Gemala Dewi, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2008.
M. Hadjon, Philipus,Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2000.
Marzuki, Peter Mahmud,Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2009. Musthofa, Sy.,Kepaniteraan Peradilan Agama, Kencana, Jakarta, 2005.
Parlindungan, AP., Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung, 2002.
Parlindungan, AP.,Pendaftaran Tanah di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1999. Siregar, Tampil Anshari, Metodologi Penelitian Hukum, Pustaka Bangsa Press,
Medan, 2005.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Pers, Jakarta, 1990.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta,1986.
Soemitro, Ronny Hanitijo, Metodelogi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988.
(6)
Soeroso, R., Yurisprudensi Hukum Acara Perdata, Bagian I, Tentang Kompetensi Kewenangan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2010.
Subekti,Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intenusa, Jakarta, 1992.
Sumardjono, Maria S.W., Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi & Implementasi, Kompas, Jakarta, 2001.
Thaib, M. Hasballah,Hukum Islam di Indonesia, Tanpa Penerbit, Medan, 2005. Waluyadi, Pengantar Ilmu Hukum Dalam Perspektif Hukum Posistif, Djambatan,
Jakarta, 2001.
B. Peraturan Perundang-Undangan.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo. Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 Tentang Peradilan Agama.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.
Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997.
Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999.
Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999.