Pembatalan Hak Sewa Bangunan oleh Ahli Waris Terhadap Ruko yang Dibangun di Atas Tanah Milik Orang Lain (Studi Putusan : Pengadilan Negeri Medan No. 227/Pdt.G/2012/PN MEDAN)

(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU:

Artadi, I Ketut dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2010, Implementasi Ketentuan-ketentuan Hukum Perjanjian Kedalam Perancangan Perjanjian, Udayana University Press, Denpasar.

Badrulzaman, Mariam Darus, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Penerbit Alumni, Bandung.

Bustama, Mursila, 1993, Sewa-menyewa Di Nederland, Mahkamah Agung RI. Jakarta.

Fuady, Munir, 2014, Konsep Hukum Perdata, Citra Aditya Bhakti, Jakarta. H.S. Salim, 2002, Pengantar Hukum Perdata Tertulis, Sinar Grafika, Jakarta. Hadjon, Philipus M, 2001, Pengantar hukum administrasi indonesia Gajah Mada

University Press, Yogyakarta.

Harahap, M. Yahya, 1986, Segi-segi Hukum Perjanjian, Penerbit Alumni, Bandung.

, 2006, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta. Haroen, Nasrun, 2000, Fiqh Muamalah, Gaya Media Pratama, Jakarta

Harun, Badriah, 2013, Solusi Sengketa Tanah Dan Bangunan, PT. Pustaka Yustisia, Yogyakarta.

Hutagalung, Arie Sukantie dan Markus Gunawan, 2008, Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Kansil, C.S.T. dan Christine S.T. Kansil, 2006, Modul Hukum Perdata, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.

Kasmir, 2002, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, edisi Ke-6. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.


(2)

Mertokusumo, sudikno, 1985, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta.

Muhammad, Abdulkadir, 2000, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bhakti, Jakarta.

Prodjodikoro, Wirjono, 1964, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu, Sumur Bandung, Bandung.

Rubaie, Achmad, 2002, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum,

Bayu Media Publishing, Malang.

Rusyd, Ibnu, 1990. Tarjamah Bidayatu’i Muhjta, Asy-syfa, Semarang.

Sanusi, Achmad, 1984, Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Tata Hukum Indonesia, cetakan ke-4, Penerbit Tarsito, Bandung.

Sembiring, Sentosa, 2001, Hukum Dagang, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen, Hukum Perdata, cetakan Ke-4. Liberty,

Yogyakarta.

Subagyo, 2002, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, edisi Ke-2, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi, Yogyakarta.

Subekti, R, 1995, Aneka Perjanjian, PT, Citra Aditya Bakti, Bandung. , 1989, Hukum Acara Perdata, PT, Bina Cipta, Bandung.

, 2006, Pokok-pokok Hukum Perdata, cetakan Ke-16, PT Intermasa, Jakarta.

, dan R. Tjitrosudibio, 2013, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,

PT. Pradnya Paramita, Jakarta.

Sudarsono, 1992, Pokok-pokok Hukum Islam, PT. Bineka Cipta, Jakarta.

Sutedi, Adrian, 2006, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta.

Umar, Dzulkifli dan Handoyo, 2010, Kamus Hukum, Kuantum Media Press, Yogyakarta.


(3)

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia NO. 49 Tahun 1963, Hubungan Sewa Menyewa, Tambahan Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 25.

Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1994. Penghuni Rumah Ole Bukan Pemilik, Tambahan Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 3576.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1967, Pkok-Pokok Perkoprasian, Tambahan Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 2833. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,

Tambaan Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 2041.

Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, Hak Guna Usaha Hak Guna Bagunan Dan Hak Pakai Atas Tanah Tambahan Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 3643.


(4)

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG HAK MILIK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

A. Pengertian dan Pengaturan Hukum Tentang Hak Milik

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pengertian hak milik sendiri tercantum di dalam Pasal 570 yang juga berisi tentang pembatasan-pembatasan hak milik. Pasal 570 KUH Perdata menerangkan bahwa hak milik adalah hak untuk menikmati suatu benda dengan sepenuhnya dan untuk menguasai benda itu dengan sebebas-bebasnya, asal tak dipergunakan bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang diadakan oleh kekuasaan yang mempunyai wewenang untuk itu dan asal tidak menimbulkan gangguan terhadap hak-hak orang lain; kesemuanya itu dengan tak mengurangi kemungkinan adanya pencabutan hak itu untuk kepentingan umum, dengan pembayaran pengganti kerugian yang layak dan menurut ketentuan undang-undang.

Pengertian hak milik yang menguasai benda itu dengan sebebas-bebasnya dapat diartikan dalam dua makna, yaitu :

1. Perbuatan hukum – berupa menjual, menyewakan, menghibahkan, dapat memperlainkan “vervreem den” dan lain-lain.

2. Perbuatan materiil – berupa menggunakan, memungut hasil, membongkar, membuang, merusak, memelihara dan lain-lain.

Dulunya hak milik merupakan hak yang mutlak “droit inviolable et sacre”

yang tidak dapat diganggu gugat keberadaanya. Namun dengan berkembangnya jaman dan berkembang pula hukum yang hidup di masyarakat serta timbul


(5)

pengertian tentang asas kemasyarakatan “sociale functie” sehingga sifat hak milik sebagai “droit inviolable et sacre” ini semakin memudar. Banyak sekali terjadi pembatasan-pembatasan terhadap hak milik, seperti yang terdapat dalam pengertian Pasal 570 KUHPerdata di atas. Misalnya saja pembatasan-pembatasan oleh :

a. Hukum tata usaha – terbukti makin banyaknya campur tangan penguasa terhadap hak milik.

b. Pembatasan oleh ketentuan-ketentuan dalam Hukum tetangga.

c. Penggunaannya tidak boleh menimbulkan gangguan (hinder) bagi hak orang lain.

d. Penggunaannya tidak boleh menyalah gunakan hak (misbruik van recht)38.

Lain halnya dengan rumusan yang tercantum dalam Pasal 20 UU Nomor 5 Tahun 1960, di mana di dalam rumusannya itu hanya mengenai benda tidak bergerak, khususnya atas tanah.39

UU membatasi kepemilikan atas tanah dengan memperhatikan fungsi sosialnya. Seperti jika kepentingan umum menginginkan tanah tersebut maka tanah itu dapat dibebaskan dan pemilik mendapat ganti rugi yang setimpal. Jadi pembatasan dalam Pasal 20 UU Nomor 5 Tahun 1960 hanya sebatas pada fungsi sosialnya saja.

Pasal 20 UU Nomor 5 Tahun 1960 mengatakan bahwa hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan yang tercantum dalam Pasal 6 UUPA.

38


(6)

1. Batasan hak milik

Seperti yang telah disinggung di dalam uraian pengertian di atas, hak milik memiliki batasan-batasan tertentu yang harus diingat dalam mempergunakan hak- milik tersebut.

Pasal 570 KUHPerdata menerangkan bahwa batasan hak milik adalah undang-undang, ketertiban umum, dan hak-hak orang lain.

Sementara itu di dalam UUPA batasan hak milik, yaitu :

a) Tidak dipergunakan untuk kepentingan pribadi tapi untuk kepentingan umum.

b) Tidak menimbulkan kerugian bagi orang lain. c) Harus dipelihara baik-baik.

d) Pemerintah mengawasi penyerahan hak atas tanah. e) Pemerintah mengawasi hak monopoli atas tanah.

Terdapat perbedaan dalam batasan hak milik di dalam KUH Perdata dan UUPA. Batasan di dalam UUPA menunjukkan bahwa hak milik bukan merupakan lambang kekuasaan yang tidak terbatas/ hak asasi tidak terbatas, akan tetapi dibatasi oleh kepentingan umum yang diungkapkan oleh hukum publik.40

2. Pembagian hak milik

Ada beberapa macam bentuk pembagian eigendom atau hak milik, yaitu :

1). Eigendom-tunggal, apabila atas sesuatu benda hanya ada satu orang eigenaar saja.

40


(7)

2). Eigendom-serta, apabila ada dua eigenaar atau lebih.41

Kemudian bentuk eigendom-serta tersebut masih dibagi lagi menjadi sebagai berikut :

(a). Eigendom serta terikat (gebonden mede eigendom) adalah apabila benda itu berada di dalam suatu persekutuan atau perseroan yang setiap pemiliknya tidak berkuasa untuk bertindak sendiri-sendiri terhadap benda kepemilikan, misalnya: harta kekayaan bersama suami istri, harta perseroan terbatas.

(b). Eigendom serta bebas (vrije mede eigendom) yaitu terjadi apabila suatu benda menjadi hak kepemilikan untuk dua orang atau lebih, yang bukan karena terjadinya suatu persekutuan atau perseroan seperti eigendom serta terikat. Di sini setiap eigenaar mempunyai bagian yang tidak dapat dibagikan (ondeelbaar), karena dianggap sebagai harta yang berdiri sendiri dan dapat dialihkan.

3. Ciri-ciri hak milik

Menurut Prof. Dr. Ny. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, ciri-ciri hak milik adalah sebagai berikut :

a) Hak milik itu selalu merupakan hak induk terhadap hak-hak kebendaan yang lain. Sedangkan hak-hak yang lain yang bersifat terbatas itu berkedudukan sebagai hak anak terhadap hak milik.

b) Hak milik itu ditinjau dari kuantitetnya merupakan hak yang selengkap-lengkapnya.

41


(8)

c) Hak milik itu tetap sifatnya, artinya tidak akan lenyap terhadap hak kebendaan yang lain, sedang hak kebendaan yang lain dapat lenyap jika menghadapi hak milik.

d) Hak milik itu mengandung inti (benih) dari semua hak kebendaan yang lain. Sedangkan hak kebendaan yang lain hanya merupakan onderdil (bagian) saja dari hak milik.42

Menurut Pasal 574 KUH Perdata tiap pemilik benda, baik bergerak maupun tidak berhak meminta kembali bendanya dari siapa saja yang menguasainya berdasarkan hak miliknya itu.

Permintaan kembali yang didasarkan pada hak eigendom dinamakan “revindicatie”.43

4. Cara memperoleh hak milik

Dapat dilakukan sebelum ataupun saat perkara sedang diperiksa oleh pengadilan. Pemilik dapat meminta benda agar benda yang diminta kembali itu disita “revindicatoir beslag”. Pemilik cukup mengajukan kepada hakim bahwa benda itu hak miliknya tidak perlu membahas bagaimana ia mendapat hak milik tersebut.

Untuk memperoleh hak milik diperlukan beberapa cara salah satu caranya terdapat dalam Pasal 584 KUH Perdata yang isinya sebagai berikut :

a. Pendakuan (toegening/occupatio)

b. Ikutan / perlekatan (natreking)

c. Lampaunya waktu / daluwarsa (verjaring)

d. Pewarisan (erfopvolging)

e. Penyerahan (levering/overdracht)

42

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata, Op.cit., hal 48 43

R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan Keenambelas, PT. Intermasa, Jakarta, 2006, hal 103.


(9)

Pendakuan ini diatur di dalam Pasal 585 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa hak milik atas kebendaan bergerak yang semula bukan milik siapapun juga, adalah pada orang yang pertama-tama mengambilnya dalam kemilikannya. Maksudnya yaitu memperoleh hak milik atas benda yang tidak ada pemiliknya

(res nullius). Misalnya berburu binatang di hutan, menemukan harta karun, dan lain-lain. Ikutan / perlekatan diatur dalam Pasal 588-605 KUH Perdata, yang maksudnya adalah suatu cara memperoleh hak milik, dimana benda itu bertambah besar karena alam atau benda itu mengikuti benda yang lain. Jadi terjadi antara dua benda yang tidak sama tetapi tergabung menjadi satu. Misalnya sekrup pada kursi, tanaman pada tanah, dan lain-lain.Lampaunya waktu / daluwarsa diatur dalam Pasal 610 KUH Perdata yang berisi hak milik atas sesuatu kebendaan diperoleh karena daluwarsa, apabila seseorang telah memegang kedudukan berkuasa atasnya selama waktu yang ditentukan undang-undang dan menurut syarat-syarat beserta cara membeda-bedakannya seperti termaksud dalam bab ke tujuh buku keempat kitab ini. Maksudnya yaitu untuk memperoleh hak milik atau membebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang. Terdapat dua macam daluwarsa, yaitu :

1). Acquisitieve verjaring , cara memperoleh hak milik karena lewatnya waktu (memperoleh hak kebendaan);

2). Extinctieve verjaring , membebaskan seseorang dari penagihan atau tuntutan hukum yang telah lewat waktunya (membebaskan suatu perikatan).44


(10)

Syarat-syarat terjadinya daluwarsa ada 6, yaitu sebagai berikut : (a). Bezitter sebagai pemilik.

(b). Bezitter harus beritikad baik.

(c). Bezit harus terus menerus tidak terputus-putus. (d). Bezit tidak terganggu

(e). Bezit diketahui umum

(f). Bezit itu harus selama 20 tahun atau 30 tahun.

Pewarisan yaitu cara memperoleh hak milik yang diberikan dari pewaris kepada ahli waris berdasar alas hak umum, sehingga tidak hanya haknya saja yang beralih tetapi juga kewajibannya. Pewarisan dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu pewarisan karena undang-undang dan pewarisan karena wasiat, hal ini diatur dalam hukum waris.

Penyerahan yaitu perbuatan hukum memindahkan hak milik dari pemilik kepada pihak lainnya yang dikehendaki sehingga orang lain memperoleh benda itu atas namanya. Menurut Prof. Subekti, penyerahan mempunyai dua arti, yaitu :

1.1 Perbuatan yang berupa penyerahan kekuasaan belaka “feitelijke levering”

1.2 Perbuatan hukum yang bertujuan memindahkan hak milik kepada orang lain “juridische levering”45

Hak milik atas atas suatu benda baru dapat beralih kepada orang lain, apabila telah terjadi penyerahan bendanya. Tetapi, cara untuk melakukan penyerahan atas benda itu dapat dibedakan sesuai dengan sifat benda yang akan diserahkan.

45


(11)

Cara penyerahan dari benda dapat dikategorikan sesuai dengan sifat bendanya, yaitu :

1. Benda bergerak : berwujud dan tidak berwujud. 2. Benda tidak bergerak.

Menurut Pasal 612 ayat (1) KUHPerdata, untuk benda bergerak yang berwujud, penyerahannya dapat dilakukan dengan cara:

a. Penyerahan nyata “feitelijke levering”

b. Penyerahan kunci dari tempat dimana benda itu berada

Sementara itu untuk Pasal 612 ayat (2) KUHPerdata menerangkan tentang bentuk-bentuk penyerahan yaitu:

1). Traditio brevi manu yaitu penyerahan dengan tangan pendek.

2). Constitutum possessorium yaitu penyerahan dengan melanjutkan penguasaan atas bendanya.

Sedangkan penyerahan benda untuk benda bergerak tidak berwujud dikategorikan sebagai berikut:

(a). Penyerahan dari piutang op naam, yaitu penyerahan dari piutang atas nama yang dilakukan dengan cessie yaitu dengan cara membuat akta otentik atau akta di bawah tangan. Diatur dalam Pasal 613 ayat (1) KUH Perdata. (b). Penyerahan dari piutang aan order, yaitu penyerahan dari piutang atas

pengganti yang dilakukan dengan penyerahan surat disertai dengan

endosemen yaitu menuliskan dibalik surat piutang yang berisi kepada siapa piutang itu dipindahkan. Diatur dalam Pasal 613 ayat (3) KUH Perdata.


(12)

(c). Penyerahan dari piutang aan tonder, yaitu penyerahan dari surat piutang atas bawa yang dilakukan dengan penyerahan nyata. Diatur dalam Pasal 613 ayat (3) KUH Perdata.

Untuk benda yang bergerak penyerahan dari tangan ke tangan dan untuk benda tidak bergerak yaitu dilakukan dengan cara balik nama “akte van transport” dalam register eigendom.46

1.1 Harus ada perjanjian yang zakelijk.

Menurut Prof. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, untuk sahnya penyerahan itu harus memenuhi syarat-syarat tertentu:

1.2 Harus ada titel (alas hak).

1.3 Harus dilakukan oleh orang yang wenang menguasai benda-benda tadi (orang yang beschikkingsbevoegd).

1.4 Harus ada penyerahan nyata, perjanjian yang zakelijk adalah perjanjian yang menyebabkan berpindahnya hak-hak kebendaan (zakelijk rechten)

misalnya hak milik, bezit, hipotik, gadai.47

1. Ajaran causaal

Perjanjian yang zakelijk ini tidak dapat menimbulkan verbintenis namun hanya menimbulkan hak-hak

persoonlijk.

Harus ada titel (alas hak) merupakan hubungan hukum yang dapat mengakibatkan penyerahan atau peralihan barang, biasanya perjanjian, misalnya perjanjian jual beli, tukar menukar, dan lain-lain.

Terdapat dua pokok pendapat syarat sahnya penyerahan, yaitu :

46

Ibid 47


(13)

Ajaran yang dikemukakan oleh Diephuis, Scholten ini menyatakan bahwa untuk sahnya penyerahan tergantung pada alas haknya, apabila alas haknya sah maka penyerahannya sah, begitu pula sebaliknya, diperlukan titel yang nyata antara alas hak dan penyerahannya itu terdapat hubungan causaal.

2. Ajaran abstract

Menjelaskan bahwa alas hak dan penyerahan itu terpisah satu sama lain. Penyerahan tidak bergantung pada alas hak nyata, jadi penyerahan itu akan sah walaupun titel tidak sah maupun tanpa titel.

Menurut Pasal 584 KUH Perdata untuk sahnya penyerahan itu harus terdapat title, sehingga untuk ajaran abstract pasal tersebut bahwa untuk penyerahan itu tidak perlu adanya titel yang nyata hanya terdapat titel saja sudah cukup atau putatieve title.

Kewenangan untuk menguasai bendanya (beschikkings bevoegheid)

merupakan pelaksanaan dari azas nemoplus yang artinya bahwa seseorang itu tidak dapat memperalihkan hak melebihi apa yang menjadi haknya, lazimnya

yang berwenang untuk menguasai benda adalah pemiliknya sendiri. Penyerahan nyata dan penyerahan yuridis yaitu penyerahan dari tangan ke tangan, terhadap benda bergerak, penyerahannya jatuh bersamaan yaitu Pasal 1612 KUHPerdata menyatakan bahwa penyerahan itu terjadi dengan overgave

menyerahkan benda itu, sedangkan untuk benda tidak bergerak antara penyerahan yuridis dan penyerahan nyata berpisah. Penyerahan yuridisnya terjadi dengan pendaftaran benda di daftar umum kepada Kepala Seksi Pendaftaran Tanah, sedangkan penyerahan nyatanya dengan penyerahan kunci dari satu rumah ke rumah lainnya. Hak milik atas atas suatu benda baru dapat beralih kepada orang


(14)

lain, apabila telah terjadi penyerahan bendanya. Tetapi, cara untuk melakukan penyerahan atas benda itu dapat dibedakan sesuai dengan sifat benda yang akan diserahkan.

Selain dari Pasal 584 KUH Perdata masih terdapat pula cara memperoleh hak milik lainnya, yaitu :

a. Penjadian benda (zaaksvorming); b. Penarikan buahnya (vruchtttrekking);

c. Persatuan benda (vereniging);

d. Pencabutan hak (onteigening);

e. Perampasan (verbeurdverklaring);

f. Pencampuran harta (boedelmenging); g. Pembubaran dari sebuah badan hukum;

h. Abandonnement ( dalam hukum perdata laut – Pasal 663 KUHD).

Penjadian benda (zaaksvorming) yaitu membuat suatu benda baru dari benda yang sudah ada, diatur dalam Pasal 606 KUHPerdata, misalnya, kayu diubah menjadi kursi. Penarikan buahnya (vruchtttrekking) yaitu seorang bezitter

mendapatkan hasil dari benda yang dibezitnya, diatur dalam Pasal 575 KUH Perdata. Persatuan benda (vereniging) yaitu perolehan hak dari bercampurnya beberapa benda dari beberapa bezitter menjadi satu kesatuan benda, diatur dalam Pasal 607-609 KUH Perdata. Pencabutan hak (onteigening) yaitu untuk memperoleh hak milik dengan pencabutan hak. Pencabutan hak sendiri memiliki tiga syarat, yaitu:

1) Berdasar undang-undang pencabutan hak milik. 2) Adanya kepentingan umum.


(15)

3) Adanya penggantian kerugian yang layak.

Perampasan (verbeurdverklaring) yaitu penguasa memperoleh hak milik dengan cara perampasan. Percampuran harta (boedelmenging) yaitu seperti harta kekayaan bersama antara suami istri setelah menikah, diatur dalam Pasal 119 KUHPerdata. Pembubaran dari suatu badan hukum (ontbinding daripada badan hukum) yaitu jika terjadi pembubaran suatu badan hukum maka semua anggota badan hukum tersebut berhak memperoleh harta kekayaan dari badan hukum tersebut, diatur dalam Pasal 1665 KUHPerdata. Abandonnement yaitu kapal-kapal serta barang-barang yang dipertanggung jawabkan dapat diabandonner atau diserahkan pada si penanggung, jika terjadi hal seperti pecahnya kapal, karamnya kapal, dan lain-lain. Abandonnement diatur dalam Pasal 663 Wvk.

Kansil juga menguraikan tentang bagaimana cara memperoleh hak milik, yaitu sebagai berikut :

(a). Mengambil untuk dimiliki (mendaku);

(b). Penarikan (penggabungan suatu benda yang belum dimiliki orang lain, penggabungan mana secara alam maupun oleh perbuatan manusia dengan maksud untuk memiliki benda tersebut);Lampau waktu (daluwarsa); (c). Warisan, menurut undang-undang maupun menurut testamen;

(d). Penyerahan sebagai akibat dari suatu asas hukum karena peralihan hak milik yang berasal dari orang yang berhak menggunakan hak milik mutlak itu.

Sedangkan, UUPA menyebutkan cara memperoleh hak milik berdasarkan Pasal 22, 26 UUPA, yaitu:


(16)

1.2 Penetapan Pemerintah; 1.3 Ketentuan undang-undang.

Seluruh cara penyerahan hak milik harus memenuhi syarat “pengawasan” oleh pemerintah.48

a. Karena ada seseorang yang mendapatkan hak milik tersebut dengan salah 5. Hilangnya hak milik

Meskipun bezitter dapat berbuat sebebas-bebasnya terhadap benda yang dimilikinya itu tidak berarti bahwa hak milik itu dapat melekat terus pada bezitter

tetapi hak milik itu dapat hilang. Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan hilangnya hak milik, yaitu :

satu cara memperoleh hak milik yang telah diuraikan; b. Karena musnahnya benda yang dimiliki;

c. Karena eigenaar melepaskan benda itu sehingga menghapus hak milik benda tersebut atas dirinya.

B. Hak Milik Atas Tanah Sebagai Hak Guna Bangunan

Hak milik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sangat dilindungi dan dituangkan pada hukum dasar Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memberikan kepastian, jaminan, perlindungan terhadap hak-hak milik untuk setiap warga negaranya. Seperti yang dikatakan oleh Adrian Sutedi dalam bukunya yang berjudul Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, yang menyatakan bahwa Indonesia adalah “negara hukum yang memberikan jaminan dan memberikan perlindungan atas hak-hak warga negara,

48


(17)

antara lain hak warga negara untuk mendapatkan, mempunyai dan menikmati hak milik.”49

Fungsi tanah bagi kehidupan manusia adalah sebagai tempat dimana manusia tinggal, melaksanakan aktivitas sehari-hari, menanam tumbuh-tumbuhan, hingga menjadi tempat peristirahatan terakhir bagi manusia. Seperti pendapat Benhard Limbong dalam bukunya yang berjudul Konflik Pertanahan, tanah bagi kehidupan manusia memiliki arti yang sangat penting, karena sebagian besar dari kehidupannya tergantung pada tanah. Tanah adalah karunia dari Tuhan Yang Maha Esa kepada umat manusia dimuka bumi. Sejak lahir sampai meninggal dunia, manusia membutuhkan tanah untuk tempat tinggal dan sumber kehidupan. Dalam hal ini, tanah mempunyai dimensi ekonomi, sosial, kultural, politik dan ekologis.

Hak milik dalam lingkup kali ini adalah hak milik atas tanah

50

Tanah mempunyai arti penting dalam kehidupan manusia karena mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai social aset dan capital aset. Sebagai

social aset tanah merupakan sarana peningkat kesatuan sosial di kalangan masyarakat Indonesia untuk hidup dan kehidupan, sedangkan sebagai capital aset

tanah telah tumbuh sebagai benda ekonomi yang sangat penting sekaligus sebagai bahan perniagaan dan obyek spekulasi. Di satu sisi tanah harus dipergunakan dan dimanfaatkan untuk sebesar-sebesarnya kesejahteraan rakyat, secara lahir, batin, adil, dan merata, sedangkan disisi lain juga harus dijaga kelestariannya.

Tanah sendiri, menurut Achmad Rubaie, mempunyai fungsi ganda sebagai pengikat kesatuan sosial dan benda ekonomi.

51

49 Adrian Sutedi,

Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika,

Jakarta.2006 hal. 1 50

Benhard Limbong, Konflik Pertanahan, Margaretha Pustaka, Jakarta,2012 hal.2 . 51


(18)

Pendapat Achmad Rubaie dikuatkan dengan pendapat Arie Sukanthi Hutagalung yang menjelaskan bahwa :

“Tanah adalah asset bangsa Indonesia yang merupakan modal dasar pembangunan menuju masyarakat adil dan makmur. Oleh karena itu, pemanfaatannya haruslah didasarkan pada prinsip-prinsip yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Indonesia. Dalam hal ini harus dihindari adanya upaya menjadikan tanah sebagai barang dagangan, objek spekulasi dan hal lain yang bertentangan dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.”52

Penjabaran lebih jauh dari hak menguasai tanah oleh Negara, diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disingkat UUPA) yang menyatakan bahwa bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu Tanah adalah aset yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pengelolaan dan pemanfaatan akan tanah juga harus diperhatikan sehingga sesuai dengan prinsip yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Prinsip yang dimaksud pada Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, adalah “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Jadi apa saja yang ada di bumi dan segala yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan negara dalam hal ini mempergunakannya untuk kesejahteraan rakyat.

52

Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, Kewenangan Pemerintah di Bidang


(19)

pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Hak menguasai dari negara memberi wewenang kepada negara untuk:

1. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa;

2. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa;

3. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.

Dengan demikian hak menguasai dari Negara itu bukanlah hak untuk memiliki bumi dan lain-lain itu. Namun menurut sistem hukum tanah sekarang, tidak seperti asas domein dari negara sebagaimana tersimpul dalam domein verklaring diatur dalam Agrarisch-Besluit Pasal 1 yang menyatakan bahwa: “semua tanah yang tidak terbukti menjadi hak eigendom orang lain adalah domein

negara (eigendom Negara).”53

b. Hak Guna Usaha

Negara dapat memberikan jaminan kepastian hukum atas hak atas tanah kepada setiap warga negaranya. Pemberian jaminan kepastian hukum hak atas tanah, memerlukan tersedianya perangkat hukum yang memadai dan jelas yang dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan jiwa dan isi ketentuan-ketentuan. Hak atas tanah dalam UUPA yang disebutkan dalam Pasal 16 dibedakan menjadi : a. Hak Milik

53


(20)

c. Hak Guna Bangunan d. Hak Pakai

e. Hak Sewa

f. Hak Membuka Hutan

g. Hak Memungut Hasil Hutan

h. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dalam undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53.

Hak–hak atas tanah seperti yang telah disebutkan di atas dalam UUPA dikelompokkan sebagai berikut :

1). Hak atas tanah yang bersifat tetap, terdiri dari : Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, dan Hak Pengelolaan.

2). Hak atas tanah yang bersifat sementara, terdiri dari : Hak Gadai, Bagi Hasil, Hak Menumpang, dan Hak Sewa Tanah Pertanian.

Obyek hukum tanah adalah hak-hak penguasaan atas tanah. Hak-hak penguasan tersebut dibagi dua, yaitu sebagai lembaga hukum dan sebagai hubungan konkret. Hak penguasaan tanah merupakan suatu lembaga hukum jika belum dihubungkan dengan tanah dan orang atau badan hukum tertentu sebagai pemegang haknya Hak atas tanah disini adalah Hak Milik dan Hak Guna Bangunan. Secara umum pengaturan dan pengertian mengenai Hak Milik dan Hak Guna Bangunan ada dalam UUPA. Hak milik di dalam UUPA pengertiannya terdapat dalam Pasal 20, Pasal 20 ayat (1) menyebutkan bahwa “Hak Milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah,


(21)

dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6.” Sedangkan untuk definisi Hak Guna Bangunan terdapat dalam Pasal 35 UUPA ialah:

(a) Hak Guna Bangunan Ialah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun.

(b) Atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunan-bangunannya jangka waktu tersebut dalam ayat (1) dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun.

(c) Hak Guna Bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada orang lain.

Dapat diketahui bahwa yang dinamakan Hak Guna Bangunan ialah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu 30 tahun. Jadi dalam hal ini pemilik bangunan berbeda dari pemilik hak atas tanah dimana bangunan tersebut didirikan. Ini berarti seorang pemegang Hak Guna Bangunan adalah berbeda dari pemegang hak milik atas bidang tanah dimana bangunan tersebut didirikan, atau dalam konotasi yang lebih umum, pemegang Hak Guna Bangunan bukanlah pemegang Hak Milik dari tanah dimana bangunan tersebut didirikan. Sehubungan Hak Guna Bangunan ini, Pasal 37 UUPA menyatakan bahwa Hak Guna Bangunan :

1.1. Mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh negara; karena penetapan pemerintah

2.2. Mengenai tanah milik; karena perjanjian yang berbentuk autentik antara pemilik tanah yang bersangkutan dengan pihak yang akan memperoleh Hak Guna Bangunan itu, yang bermaksud menimbulkan hak tersebut.


(22)

Hak Milik dalam suatu bangsa menjadi sangat penting terutama bagi masyarakat yang sedang membangun ke arah perkembangan industri. Tentu saja yang dimaksudkan adalah Hak Milik atas tanah. Tanah yang merupakan hal pokok bagi manusia menghadapai beberapa macam masalah antara lain:

a. Keterbatasan tanah, baik dalam jumlah maupun kualitas dibanding dengan kebutuhan yang harus dipenuhi;

b. Pergeseran pola hubungan antara pemilik tanah dan tanah sebagai akibat perubahan-perubahan yang ditimbulkan oleh proses pembangunan dan perubahan-perubahan sosial pada umumnya;

c. Tanah disatu pihak telah tumbuh sebagai benda ekonomi yang sangat penting, pada lain pihak telah tumbuh sebagai bahan perniagaan dan objek spekulasi; d. Tanah disatu pihak harus dipergunakan dan dimanfaatkan untuk

sebesar-sebesarnya kesejahteraan rakyat lahir, batin, adil dan merata, sementara di lain pihak harus dijaga kelestariannya.54

a. Memakai barang yang disewa sebagai seorang “bapak rumah yang baik”, sesuai dengan tujuan yang diberikan kepada barang itu menurut perjanjian-sewanya;

C. Kewajiban dan Hak Bagi Pemegang Hak Guna Bangunan Diatas Tanah Hak Milik Atas Tanah yang Diatasnya Diberikan Hak Guna Bangunan

1. Kewajiban Bagi Pemegang Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik R.Subekti dalam bukunya yang berjudul “Aneka Perjanjian” memaparkan mengenai kewajiban-kewajiban si penyewa yang menjelaskan kewajiban utama dari penyewa adalah :

54


(23)

b. Membayar harga sewa pada waktu-waktu yang telah ditentukan menurut perjanjian55

Kewajiban untuk menggunakan atau memakai barang yang disewa sebagai “bapak rumah yang baik” diartikan bahwa pihak penyewa harus memperlakukan tanah yang disewanya sebagaimana tanah tersebut adalah miliknya sendiri. Hal tersebut dikuatkan dengan pendapat Badriyah Harun yang mengatakan bahwa “kewajiban memelihara tanah ini tidak saja dibebankan kepada pemiliknya atau pemegang hak yang bersangkutan, juga menjadi beban pula dari setiap orang, badan hukum, atau instansi yang mempunyai suatu hubungan hukum dengan tanah itu

.

56

“Pasal 1591 KUH Perdata diletakkan kewajiban atas ancaman membayar ganti rugi untuk melaporkan kepada si pemilik tanah tentang segala peristiwa yang dilakukan di atas pekarangan-pekarangan yang disewa.

.” Pihak penyewa juga hanya diperbolehkan mempergunakan tanah yang disewanya tersebut hanya untuk tujuan yang telah disepakati bersama. Jika penggunaan tanah oleh penyewa tidak sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan bersama dan dari penggunaannya itu menimbulkan kerugian pihak yang menyewakan maka pihak yang menyewakan berhak untuk meminta pembatalan atas sewanya tersebut, hal ini diatur dalam Pasal 1561 KUHPerdata.

Selanjutnya R. Subekti menambahkan untuk seorang penyewa tanah,

57

55 R. Subekti

, Aneka Perjanjian, Bandung, 1992, Op.cit., hal.43

56

Badriah Harun, Solusi Sengketa Tanah Dan Bangunan, Pustaka Yustisia,Yogyakarta,2013, hal 8

57

” Melaporkan kepada pemilik tanah diartikan bahwa pemilik tanah juga dapat mengetahui atas apa yang dilakukan oleh pihak penyewa atas tanah yang disewanya.


(24)

Menurut Pasal 30 dan Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang pemberian Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai, pemegang Hak Guna Bangunan berkewajiban :

1). Membayar uang pemasukan yang jumlah dan cara pembayarannya ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya;

2). Menggunakan tanah sesuai dengan peruntukkannya dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan dan perjanjian pemberiannya;

3). Memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada di atasnya serta menjaga kelestarian lingkungan hidup;

4). Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Guna Bangunan kepada negara, pemegang Hak Pengelolaan, atau pemegang Hak Milik sesudah Hak Guna Bangunan itu hapus;

5). Menyerahkan sertipikat Hak Guna Bangunan yang telah hapus kepada Kepala Kantor Pertanahan;

6). Memberikan jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi pekarangan atau bidang tanah yang terkurung oleh tanah Hak Guna Bangunan tersebut.

Ketentuan yang mengatur mengenai kewajiban pemegang Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik ditemukan kewajiban-kewajiban pihak kedua sebagai penyewa adalah:

(a). Membayar uang sewa sebesar yang telah disepakati bersama.

(b). Penyewa berkewajiban untuk menggunakan tanah yang disewanya tersebut untuk mendirikan bangunan dan tempat usaha, dimana usaha tersebut tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku, baik hukum formal maupun hukum adat yang berlaku, di desa setempat, dengan memakai syarat-syarat:


(25)

1.1. Izin yang diperlukan dari instasi yang berwenang untuk mendirikan bangunan yang dimaksud diurus oleh dan atas biaya penyewa sendiri; 1.2. Bentuk, ukuran dan bahan-bahan bangunan tersebut ditetapkan oleh

penyewa sendiri;

1.3. Dan apabila pihak kedua akan menambah, merubah bangunan yang telah ada, tanpa persetujuan pihak pertama

1.4. Bangunan yang telah didirikan penyewa tersebut setelah masa sewa berahkir menjadi milik yang menyewakan tanpa kewajiban membayar ganti kerugian berupa apapun kepada penyewa.

(c). Penyewa juga diwajibkan untuk merawat dan memelihara apa yang disewanya tersebut dengan sebaik-baiknya termasuk bangunan yang didirikan di atas tanah tersebut dan semua biaya untuk itu ditanggung dan dibayar oleh penyewa sendiri.

(d). Membayar beban pajak bumi dan bangunan yang dikenakan atas tanah yang disewanya, selama jangka waktu sewa menyewa berjalan.

(e). Penyewa diwajibkan memenuhi peraturan-peraturan yang ada atau kelak diadakan oleh pihak yang berwajib mengenai pemakaian bangunan-bangunan dan pekarangan dan segala pelanggaran atas peraturan itu menjadi

tanggungan dan pembayaran penyewa sendiri.

(f). Pihak penyewa berkewajiban untuk membayar ongkos akta dan segala ongkos-ongkos yang berhubungan dengan permohonan hak guna bangunan di atas hak milik termasuk penghapusannya apabila sewa berakhir.

(g). Mengenai jangka waktu, apabila berakhir atau batal maka apa yang telah di bangun oleh pihak penyewa maka akan menjadi hak dari pihak yang


(26)

menyewakan. Penyewa diwajibkan mengosongkan bangunan tersebut dari segenap penghuni dan barang-barang perabotannya dalam jangka waktu 1 (satu) bulan, terhitung dari hari berakhirnya atau batalnya sewa-menyewa ini dan menyerahkan tanah berikut bangunan tersebut kepada yang menyewakan dalam keadaan baik.

Dari ketentuan di atas Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik juga mengatur mengenai kewajiban-kewajiban pemegang Hak Guna Bangunan. yaitu: 1. Pihak kedua berkewajiban untuk mengusahakan kelengkapan persyaratan

yang diperlukan oleh pihak kedua sebelum tanggal penandatanganan;

2. Pihak kedua berkewajiban untuk membayar uang ganti kerugian sebagaimana disebutkan dalam salah satu pasal dalam perjanjian ini;

3. Pihak kedua berkewajiban untuk membuat dan menandatangani Akta Pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik bersama-sama dengan pihak pertama atau kuasa-kuasa mereka yang sah di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang berwenang pada tanggal penandatanganan;

4. Pihak kedua berkewajiban menyerahkan bangunan kepada pihak pertama sesuai ketentuan yang telah diatur, apabila jangka waktu dari pada Hak Guna Bangunan ini berakhir beserta perpanjangannya (bilamana ada).

2. Hak Bagi Pemegang Hak Guna Bangunan Di Atas Tanah Hak Milik

Menurut Pasal 32 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah: Pemegang Hak Guna Bangunan berhak menguasai dan mempergunakan tanah yang diberikan dengan Hak Guna Bangunan selama waktu tertentu untuk mendirikan dan mempunyai bangunan untuk keperluan pribadi atau usahanya


(27)

serta untuk mengalihkan hak tersebut kepada pihak lain dan membebaninya dengan Hak Tanggungan.

Apa yang telah diungkapkan di atas adalah hak yang dapat dimiliki oleh pemegang hak guna bangunan secara umum, yang dapat diartikan bahwa apa yang menjadi hak bagi pemegang Hak Guna Bangunan secara umum tidaklah sama dengan apa yang dimiliki oleh pemegang Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik. Hak-hak pemegang Hak Guna Bangunan diatas Hak Milik, dapat ditemukan pada perjanjian sewa menyewa dan perjanjian pendahuluan pemberian hak guna bangunan di atas hak milik.

Akta pemberian Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik juga memuat beberapa hal yang berisikan tentang terhapusnya akta pemberian hak guna bangunan di atas hak milik. Terhapusnya hak guna bangunan tersebut terdapat didalam pasal 35 Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1996, yang menyatakan bahwa:

a. berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangannya atau dalam perjanjian pemberiannya; b. dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang Hak Pengelolaan atau

pemegang Hak Milik sebelum jangka waktunya berakhir, karena : 1) tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan/atau

dilanggarnya ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 31 dan Pasal 32; atau

2) tidak dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam perjanjian pemberian Hak Guna Bangunan antara


(28)

pemegang Hak Guna Bangunan dan pemegang Hak Milik atau perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan; atau

3) putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap; c. dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu

berakhir;

d. dicabut berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961; e. ditelantarkan;

f. tanahnya musnah;

g. ketentuan Pasal 20 ayat (2).

3. Hak bagi pemegang Hak Guna Bagunan dalam perjanjian sewa menyewa dapat ditemukan pada:

a. Pasal yang menyatakan bahwa penyewa dapat menggunakan tanah yang disewanya tersebut untuk mendirikan bangunan dan tempat usaha, di mana usaha tersebut tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku, baik hukum formal maupun hukum adat yang berlaku, di desa setempat, dengan memakai syarat-syarat.

b. Klausul Pasal yang menjadi dasar penyewa untuk mendaftarkan Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik. Pasal ini menyatakan bahwa penyewa dalam hal ini akan memohonkan Hak Guna Bangunan atas tanah yang disewa tersebut di atas sertifikat Hak Milik tersebut. Pihak penyewa juga akan mencarikan dana atas sertifikat Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik tersebut, di mana untuk kedua hal tersebut pihak yang menyewakan menyetujuinya dan memberikan kuasa yang dibuat secara tersendiri untuk mengurus hal-hal tersebut di atas.


(29)

c. Pasal yang menyatakan bahwa penyewa diperbolehkan untuk memindahkan hak sewa ini baik sebagian maupun seluruhnya kepada pihak lain asalkan dalam batas waktu sewa menyewa masih berlangsung dan dengan pemberitahuan kepada pihak pertama, karena pihak penyewa tidak dapat secara sepihak menghentikan perjanjian yang sedang berlangsung di antara pihak penyewa dan yang menyewakan. Pasal 1579 KUH Perdata mengatur bahwa “pihak yang menyewakan tidak dapat mengehentikan sewanya dengan menyatakan hendak memakai sendiri barangnya yang disewakan, kecuali jika telah diperjanjikan sebaliknya”, Pasal tersebut memang mengatur tentang pihak yang menyewakan. Namun dapat juga disimpulkan bahwa pihak penyewa juga tidak diperkenankan menghentikan perjanjian sewa-menyewa yang ada secara sepihak.

Perjanjian pendahuluan pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik tidak secara rinci mengatur mengenai hak-hak yang dimiliki oleh pemegang Hak Guna Bangunan. Hak-hak yang dimiliki oleh pemegang Hak Guna Bangunan dapat dilihat dari kewajiban-kewajiban pihak pertama dimana merupakan hak dari pihak kedua.

Sementara itu dalam akta pemberian Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik, hak-hak yang dimiliki oleh pemegang Hak Guna Bangunan, bahwa mulai pada saat penandatanganan akta objek pemberian hak dapat digunakan dan segala keuntungan yang didapat dari dan segala kerugian/beban atas obyek pemberian hak tersebut di atas menjadi hak/beban pihak kedua.


(30)

D. Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Hak Guna Atas Bangunan Diatas Tanah Hak Milik Pihak Lain

Pendapat Philipus M. Hadjon yang mengemukakan bahwa dalam perlindungan hukum terdapat suatu usaha untuk memberikan hak-hak pihak yang dilindungi sesuai dengan kewajiban yang dilakukan. Pemberian perlindungan disesuaikan dengan kewajiban yang dilakukan masing-masing pihak. Perlindungan hukum dapat dikatakan juga sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan, dan kedamaian. Beberapa unsur kata Perlindungan: 1. Melindungi berarti menutupi supaya tidak terlihat/tampak, menjaga,

memelihara, merawat, menyelamatkan.

2. Perlindungan adalah proses, cara, perbuatan tempat berlindung, hal (perbuatan) memperlindungi (menjadikan atau menyebabkan berlindung ).

3. Pelindung yaitu orang yang melindungi, alat untuk melindungi.

4. Terlindung artinya tertutup oleh sesuatu hingga tidak kelihatan. 5. Lindungan berarti yang dilindungi,

6. Memperlindungi berarti menjadikan atau menyebabkan berlindung. 7. Melindungkan adalah membuat diri terlindungi. 58

Berbicara mengenai perlindungan hukum dan dikaitkan dengan pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik atas tanah maka perlindungan hukum akan diberikan kepada masing-masing pihak dalam hal ini pemegang Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik atas tanah dan pemegang hak milik atas tanah tersebut. Hak bagi pemegang Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik adalah dapat

58

Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2001, hal 289


(31)

menikmati secara maksimal tanah dan bangunan yang didirikannya dengan jaminan dari pemegang Hak Milik.

Pemegang Hak Guna Bangunan mempunyai kewajiban yang harus dilaksanakan terhadap pemegang Hak Milik. Oleh dari itu setelah kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi pemegang Hak Guna Bangunan dilaksanakan maka baru timbullah perlindungan hukum yang menjamin terpenuhinya hak-hak dari pemegang Hak Guna Bangunan.


(32)

BAB IV

PEMBATALAN HAK SEWA BANGUNAN OLEH AHLI WARIS TERHADAP RUKO YANG TELAH DIBANGUN DI ATAS TANAH MILIK

ORANG LAIN (STUDI PUTUSAN: PENGADILAN NEGERI MEDAN NO.227/PDT.G/2012/PN.MEDAN)

A. Pembatalan Sewa Menyewa Tanpa Persetujuan Pihak Penyewa

Menurut ketentuan bahwa sewa menyewa sebagaimana diatur dalam KUHPerdata adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu menyanggupi akan menyerahkan benda untuk dipakai dalam satu jangka waktu tertentu. Sedangkan pihak lainnya menyanggupi akan membayar harga yang telah ditetapkan untuk pemakaian itu pada waktu yang ditentukan. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Pasal 1313, dijelaskan bahwa perjanjian adalah “suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.” Sedangkan menurut Prof. Subekti, “Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.”59

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap. Orang yang dinyatakan tidak cakap oleh undang-undang meliputi

Membuat suatu perjanjian, harus dipenuhi syarat-syarat agar perjanjian tersebut sah dan dapat dimintakan pertanggungjawabannya di depan hukum, KUH Perdata Pasal 1320 dijelaskan syarat-syarat sah perjanjian yaitu :

1. Kata sepakat mereka yang mengikatkan dirinya kata sepakat ini harus bebas dari unsur khilaf, paksaan ataupun penipuan (Pasal 1321)

59


(33)

(Pasal 1330):

a. Orang-orang yang belum dewasa

b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan

Dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang perbuatan perjanjian-perjanjian tertentu.

3. Suatu hal tertentu hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok perjanjian (Pasal 1332)

4. Suatu sebab yang halal yakni sebab yang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan baik atau ketertiban umum.(Pasal 1337)

Pembatalan sepihak atau pembatalan perjanjian tanpa persetujuan pihak lainnya yang membuat perjanjian atas suatu perjanjian dapat diartikan sebagai ketidaksediaan salah satu pihak untuk memenuhi prestasi yang telah disepakati kedua belah pihak dalam perjanjian. Pada saat mana pihak yang lainnya tetap bermaksud untuk memenuhi prestasi yang telah dijanjikannya dan menghendaki untuk tetap memperoleh kontra prestasi dari pihak yang lainnya itu. Seperti yang diketahui bahwa perjanjian yang sah, dalam arti memenuhi syarat sah menurut undang-undang, maka berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Seperti yang tercantum dalam Pasal 1338 (1) KUH Perdata, sedangkan pada ayat (2) menyebutkan bahwa:

“persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu”


(34)

dapat dibatalkan sepihak, karena jika perjanjian tersebut dibatalkan secara sepihak, berarti perjanjian tersebut tak mengikat diantara orang-orang yang membuatnya. Jika dilihat dari Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata, maka jelas diatur mengenai syarat batal jika salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Pembatalan tersebut harus dimintakan ke pengadilan, hal ini dimaksudkan agar nantinya tidak ada para pihak yang dapat membatalkan perjanjian sepihak dengan alasan salah satu pihak lainnya tersebut tidak melaksanakan kewajibannya (wanprestasi).

Menurut Pasal 1266 KUH Perdata, ada tiga hal yang harus diperhatikan sebagai syarat supaya pembatalan itu dapat dilakukan. Tiga syarat itu adalah: 1). perjanjian bersifat timbal balik

2). harus ada wanprestasi 3). harus dengan putusan hakim

Perjanjian timbal balik, seperti yang telah dijelaskan di atas dimana kedua pihak memenuhi kewajibannya masing-masing, yakni prestasi. Jika salah satu pihak ingkar janji atau wanprestasi mengenai syarat pokoknya dari perjanjian, maka dapat diajukan gugatan permintaan pembatalan perjanjian kepada hakim.60

60

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bhakti, Jakarta, 2000, hal 130

Ada beberapa teori hukum yang terkait dengan pembatalan perjanjian secara sepihak, yaitu repudiasi terhadap perjanjian. Repudiasi (repudiation,anticepatory)

adalah pernyataan mengenai ketidaksediaan atau ketidakmampuan untuk melaksanakan perjanjian yang sebelumnya telah disetujui, pernyataan mana disampaikan sebelum tiba waktu melaksanakan perjanjian tersebut. Repudiasi dalam pengertian itu disebut repudiasi anticepatory yang berbeda dengan


(35)

repudiasi biasa (ordinary) yaitu pembatalan yang dinyatakan ketika telah masuk masa pelaksanaan perjanjian.61

Konsekuensi yuridis dari adanya repudiasi atas suatu kontrak adalah dapat menunda atau bahkan membebaskan pihak lain dari kewajiban melaksanakan prestasi dari perjanjian tersebut; dan di sisi lain memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk dapat segera menuntut ganti rugi, sungguhpun kepada pihak yang melakukan repudiasi belum jatuh tempo untuk melaksanakan kewajibannya berdasarkan perjanjian.

62

cara yaitu:

Suatu tindakan repudiasi atas suatu perjanjian dapat diwujudkan dengan 63

61

Munir Fuady, Konsep Hukum Perdata, Citra Aditya Bhakti, Jakarta, 2014, hal 105. 62

Ibid 63

(a). Repudiasi secara tegas maksudnya pihak yang menyatakan repudiasi menyatakan kehendaknya dengan tegas bahwa dia tidak ingin melakukan kewajibannya yang terbit dari perjanjian.

b) Repudiasi secara inklusif di samping secara tegas-tegas, maka tindakan repudiasi dapat juga dilakukan tidak secar tegas, tetapi secara inklusif. Maksudnya dari fakta fakta yang ada dapat diambil kesimpulan bahwa salah satu pihak telah tidak akan melakukan kewajibannya yang terbit berdasarkan perjanjian. Kriteria utama terhadap adanya repudiasi inklusif adalah bahwa pihak yang melakukan repudiasi menunjukkan tindakan atau maksudnya secara logis dan jelas (reasonably clear) bahwa dia tidak akan melaksanakan kewajibannya yang terbit dari perjanjian.


(36)

merupakan salah satu pembatalan perjanjian yang dapat dilakukan oleh si pemberi sewa dengan ketentuan tertentu apabila si penyewa melakukan wanprestasi atau pun jangka waktu dari pada perjanjian sewa menyewa tersebut. Seperti yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1994 dalam Pasal 21 yang menyatakan :

“sewa menyewa rumah baik dengan perjanjian tertulis maupun dengan perjanjian tidak tertulis dan telah berlangsung sebelum berlakunya Undang-Undang No. 4 Tahun 1992, dinyatakan berakhir dalam jangka waktu 3 tahun sejak berlakunya undang-undang tersebut.”64

64

Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 227/ Pdt.G/ 2012/ PN.Mdn., hal 7.

Sehingga apabila sebuah perjanjian sewa menyewa yang tidak mencantum kan waktu tertentu sudah jelas akan berakhir setelah 3 tahun masa perjanjian tersebut dibuat kecuali para pihak sepakat membuat perjanjian kembali untuk memperpanjang sewa terhadap bangunan tersebut.

Jika sewa-menyewa itu diadakan secara tertulis, maka sewa itu berakhir demi hukum (otomatis) apabila waktu yang ditentukan sudah habis, tanpa diperlukannya sesuatu pemberitahuan-pemberhentian untuk itu. Sebaliknya, kalau sewa-menyewa tidak dibuat dengan tulisan, maka sewa itu tidak berakhir pada waktu yang ditentukan, melainkan jika pihak yang menyewakan memberitahukan kepada si penyewa bahwa ia hendak menghentikan sewanya, pemberitahuan mana harus dilakukan dengan mengindahkan jangka waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat. Jika tidak ada pemberitahuan seperti itu, maka dianggaplah bahwa sewa itu diperpanjang untuk waktu yang sama. Perihal sewa tertulis itu diatur dalam Pasal 1570 KUHPerdata dan perihal sewa yang tidak tertulis (lisan)


(37)

diatur dalam Pasal 1571 KUHPerdata.

B. Dasar Pembatalan Perjanjian Sewa Menyewa Oleh Pemilik Tanah dan Ahli Waris Terhadap Si Penyewa Bangunan Ruko

Seperti yang diketahui pada pembahasan sebelumnya sewa menyewa di atur dalam KUHPerdata yang membahas mengenai sebuah perjanjian yang dirumuskan dalam Pasal 1313 KUHPerdata yang hendak memperlihatkan bahwa suatu perjanjian adalah:

1. Suatu perbuatan

2. Sekurangnya dua orang

3. Perbuatan tersebut melahirkan perikatan diantara pihak-pihak yang berjanji tersebut.

Sewa-menyewa menurut Pasal 1548, BabVII Buku III KUH Perdata menyebutkan bahwa:

“Sewa-menyewa adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari sesuatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran sesuatu harga, yang pihak tertentu belakangan itu disanggupi pembayarannya”.

Pembatalan sewa juga sudah diuraikan pada pembahasan sebelumnya dimana pembatalan sewa dapat terjadi diakibatkan hal hal tertentu dan pada kasus putusan Pengadilan Negeri Medan No.227/Pdt.G/2012/PN.Medan dasar dari pembatalan sewa terhadap penyewa bangunan ruko adalah sewa menyewa tanpa tenggang waktu tertentu. Di dalam KUH Perdata jelas disebutkan bahwa sewa menyewa itu terikat dengan jangka waktu tertentu demikian juga dengan


(38)

Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1994 tentang penghuni rumah oleh bukan pemilik. Pasal 21 menyebutkan bahwa sewa menyewa rumah baik perjanjian tertulis maupun perjanjian tidak tertulis yang tidak menyebutkan batas waktu dan telah berlangsung sebelum berlakunya UUNo. 4 tahun 1992 dinyatakan berakhir dalam jangka waktu 3 tahun sejak berlakunya undang-undang tersebut. Ketentuan ini sudah jelas dan tegas menyebutkan bahwa sesungguhnya perikatan hukum tentang sewa menyewa rumah haruslah dengan menyebutkan tenggang waktu, untuk berapa lama sewa menyewa rumah itu berlangsung, sehingga tidak ada dan tidak diperkenankan penyewaan rumah dengan tanpa batas waktu. Jika dikemukakan hal demikian ( sewa rumah) tanpa tenggang waktu maka hal tersebut tentu harus dinilai sebagai berlawanan dengan hukum yang berlaku.

Pada hakekatnya sewa menyewa tidak dimaksud berlangsung terus menerus, melainkan pada saat tertentu pemakaian dari barang tersebut akan berakhir dan barang akan dikembalikan lagi kepada pemilik semula, mengingat hak milik atas barang tersebut tetap berada dalam tangan pemilik semula. Adapun unsur “waktu tertentu” di dalam definisi yang diberikan dalam undang-undang dalam Pasal 1548 KUH Perdata tersebut tidak memberikan penjelasan mengenai sifat mutlaknya atau tidak adanya batas waktu, tetapi ada beberapa pasal lain dalam KUH Perdata yang menyinggung tentang waktu sewa :

Pasal 1570 KUHPerdata.

“Jika sewa dibuat dengan tulisan maka sewa itu berakhir demi hukum, apabila waktu yang ditentukan telah lampau, tanpa diperlukannya sesuatu pemberhentian untuk itu.”


(39)

Pasal 1571 KUHPerdata.

“Jika sewa tidak dibuat dengan tulisan maka sewa itu tidak berakhir pada waktu yang ditentukan, melainkan jika pihak lain hendak menghentikan sewanya, dengan mengindahkan tenggang-tenggang waktu yang

diharuskan menurut kebiasaan setempat.”

Dari dua pasal tersebut, tampak bahwa di dalam perjanjian sewa menyewa batas waktu merupakan hal yang penting, dan meskipun dalam Pasal 1548 KUH Perdata tidak secara tegas dicantumkan adanya batas waktu tetapi undang-undang memerintahkan untuk memperhatikan kebiasaan setempat atau mengindahkan tenggang waktu yang diharuskan berdasarkan kebiasaan setempat.

C. Kajian Dan Analisis Kasus Putusan Pengadilan Negeri Medan No.227/Pdt.G/2012/PN.Mdn

Kasus Posisi:

Kasus Putusan Pengadilan Negeri No.227/Pdt.G/20012/PN.Mdn. :

Amiruddin laki-laki, pekerjaan Wiraswasta, beralamat di jalan H. Zainul Arifin No. 200;C Medan, Kelurahan Petisah Tengah Kecamatan Medan Barat yang disebut sebagai Penggugat yang mengajukan gugatan kembali kepada pihak Yayasan The South Indian Muslim Mosque & Walfare Committee berkedudukan di jalan H. Zainul Arifin No.20 G Medan, Kelurahan Petisah Tengah, Kecamatan Medan Barat yang di sebut sebagai Tergugat I dan Ir. H. Tengku Isma Nurdin selaku ahli waris / anak kandung dari Alm. Tengku Nurdin mantan Direktur CV .Cipta Jaya beralamat di Jalan Pemuda No. 7 Medan/ Jalan H. Zainul Arifin No. 200-B Medan yang disebut sebagai Tergugat II


(40)

Penggugat merupakan rekan kerjasama dari ayah Tergugat II yaitu Alm. Tengku Nurdin Mantan Direktur CV. Cipta Jaya dimana Penggugat bersama sama dengan ayah Tergugat II telah mendirikan perseroan yang bernama CV Cipta Jaya. Penggugat bersama-sama dengan ayah Tergugat II telah menyetorkan modal untuk membangun perseroan tersebut. Kemudian ayah dari Tergugat II selaku Direktur CV Cipta Jaya membuat perjanjian terhadap Tergugat I yang mana Tergugat I memberikan tugas kepada Direktur CV Cipta Jaya untuk membongkar Mesjid yang telah di bangun di tanah milik Tergugat I yang terletak di jalan Zainul Arifin Medan dan kemudian membangun Mesjid yang sesuai dengan gambar yang terdiri dari gedung permanen dan meniadakan sebuah gang dengan ukuran 3 meter. Atas perizinan yang telah disahkan maka sebagai imbalan pembangunan Mesjid baru Tergugat I memberikan hak kepada CV Cipta Jaya untuk membangun gedung di atas tanah Tergugat I yang berukurang 24 m x 16 m dengan hak sewa.

Pada perkara yang diajukan kembali oleh Penggugat ini adalah dimana perjanjian yang sebelumnya telah dibuat oleh para pihak dibatalkan, dan Oleh karena pembatalan perjanjian tersebut Penggugat merasa menjadi pihak yang dirugikan karena Penggugat merasa pembatalan perjanjian sewa menyewa merupakan pembatalan secara sepihak. Dengan hal tersebut, Penggugat menuntut agar Tergugat I menerima kembali uang sewa dari Penggugat dan membatalkan ekseskusi rumah toko (ruko).

Kajian dan Analisis Putusan Pengadilan Negeri Medan dengan Nomor Putusan 227/Pdt.G/PN.Mdn:


(41)

perjanjian di bawah tangan (Onderhands), yang dimaksud dengan perjanjian di bawah tangan adalah akta yang dibuat tidak di hadapan pejabat yang berwenang atau Notaris. Akta yang dibuat dan ditandatangani oleh para pihak yang membuatnya. Apabila suatu akta di bawah tangan tidak disangkal oleh Para Pihak, maka berarti mereka mengakui dan tidak menyangkal kebenaran apa yang tertulis pada akta di bawah tangan tersebut, sehingga sesuai Pasal 1857 KUH Perdata akta di bawah tangan tersebut memperoleh kekuatan pembuktian yang sama dengan suatu Akta Otentik65

No.17 tanggal 11 Agustus 1979 tersebut di atas, jelas secara hukum yang

. Maka untuk menguatkan perjanjian tersebut maka Tergugat I dan CV Cipta Jaya kembali membuat perjanjian dihadapan Notaris Medan dimana Tergugat I menyatakan “ sebidang tanah bekas hak

Eigendom Perpoding No. 1 (seb) seluas 1.313 m2, terletak di Prop SU, Kotamadya Medan. Kec Medan Barat, Kampung Petisah Tengah Jalan H. zainul Arifin No. 200A yaitu yang dimaksud dalam surat pendaftaran tanah tanggal 14-21978 No. 268/II/SKPT/SDA/1978 yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Agraria Kotamadya Medan, berikut segala sesuatu yang ada dan terdapat di atasnya tidak ada yang dikecualikan terutama sebuah bangunan Mesjid dikenal sebagai Mesjid Ghaudiyah dan beberapa rumah toko (Ruko) bertingkat adalah benar hak dan kepunyaan Tergugat I, yang mana berdasarkan Akta Pendirian (Akta Waqaf tanggal 22-10-1953) Harta Benda Tergugat I tidak boleh digadaikan (diagunkan) dan diperjualbelikan, dan Jalan H. Zainul Arifin tersebut telah diperlebar sehingga bangunan Mesjid tersebut terkena, karena ini harus dibongkar.

Dengan adanya surat Perjanjian tanggal 22-02-1978 Jo. Akta Perjanjian

65


(42)

membangun / mendirikan 1 (satu) bangunan Mesjid baru permanen dan 6 (enam) pintu rumah toko (ruko) berlantaai III tersebut adalah Tengku Nurdin selaku Direktur CV. Cipta Jaya untuk dan atas nama CV. Cipta Jaya, secara faktual ke 6 (enam) pintu ruko tersebut adalah hak CV. Cipta Jaya, tetapi secara yuridis, karena Tergugat I berasal dari waqaf (Stichthing), sehingga 6 (enam) pintu ruko tersebut tidak boleh diperjual belikan. Maka secara yuridis tanah beserta 1 (satu) bangunan Mesjid baru permanen dan 6 (enam) pintu rumah toko (ruko) berlantai 3 tersebut tetap dibuat atas nama Tergugat I .

Bangunan-bangunan yang didirikan oleh CV. Cipta Jaya tersebut sekarang dikenal dengan Jalan H. Zainul Arifin No. 200A (Mesjid Ghaudiyah), Ruko No. 200B, Ruko No. 200C , Ruko No.200D, Ruko No. 200E, Ruko No. 200F, dan Ruko No.200G Medan. Oleh karena bangunan-bangunan Mesjid dan Ruko tersebut secara yuridis atas nama Tergugat I, maka Tergugat I menyewakan kepada Penggugat bangunan Ruko yang terletak di Jalan H. Zainul Arifin No. 200- C Medan berdasarkan Akta Perjanjian Sewa Menyewa No.40 tanggal 11 September 1989 dengan uang sewa ditentukan setiap bulan sebesar US$23 (dua puluh tiga Dollar Amerika) atau pertahun = 12 x US$ 23 = US$ 276 (dua ratus tujuh puluh enam dollar Amerika).

Akta Perjanjian No.17 tanggal 11 Agustus 1979 dan Akta Perjanjian Sewa Menyewa No. 40 tanggal 11 September 1989 yang diperbuat di hadapan Notaris di Medan adalah sah demi Hukum, sehingga cukup jelas untuk menyatakan bahwa kedua akta yang di sebutkan di atas adalah sah demi Hukum.

Menurut Pasal 4 huruf a Akta Perjanjian No. 17 tanggal 11 Agustus 1979 tersebut di atas secara tegas dinyatakan bahwasannya sewa menyewa dilakukan


(43)

selama waktu yang tidak ditentukan dengan perkataan lain selama rumah toko tersebut masih tetap tegak berdiri dapat ditempati menurut ketentuan yang berwenang, karena itu sewa menyewa berlaku selain untuk penyewa dan juga keluarganya demikian pula para ahli warisnya.

Jadi terlihat dalam akta tersebut Tergugat I memberikan izin dan kesempatan kepada Tengku Nurdin selaku Direktur CV. Cipta Jaya untuk menempati sendiri sebagai penyewa maupun menunjuk pihak lain untuk menyewa 6 (enam) pintu ruko tersebut selama waktu yang tidak ditentukan. Dalam Pasal 1 Akta Perjanjian No. 17 sesuai dengan Pasal 1 Perjanjian Sewa Menyewa No. 40 tanggal 11 September 1989 yang diperbuat dihadapan Notaris Medan, berarti Tergugat I secara hukum telah memberikan kesempatan kepada Penggugat untuk menyewakan ruko tersebut kepada pihak lain dalam jangka waktu yang tidak ditentukan.

Penggugat memohon semoga Pengadilan Negeri Medan menyatakan Penggugat adalah penyewa yang sah terhadap rumah toko (Ruko) yang terletak di jalan H. Zainul Arifin No. 200C Medan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan lamanya dan hak sewa tersebut otomatis beralih pada ahli waris Penggugat. Dan menghukum Tergugat I untuk menerima pembayaran uang sewa atas rumah toko (Ruko) dan menghukum Tergugat II untuk memenuhi Keputusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dalam perkara ini.

Jadi menurut Penggugat tindakan Tergugat I yang melakukan pembatalan Perjanjian Sewa Menyewa No. 40 tanggal 11 September 1989 telah melanggar perjanjian, yakni melanggar Surat Perjanjian tanggal 22 February 1978 Jo. Akta Perjanjian No. 17 tanggal 11 Agustus 1979, sehingga perbuatan Tergugat I dapat


(44)

dikualifikasikan telah melakukan perbuatan melawan hukum.

Perkara yang diajukan Penggugat dengan daftar No. 227/Pdt.G/2012 /PN.Mdn ini sesungguhnya telah diperiksa dan kemudian dengan segala upaya hukum yang tersedia sesuai undang-undang telah dipergunakan juga sepenuhnya oleh Penggugat yang dahulunya Tergugat / Pembanding / Pemohon kasasi hingga kemudian pada setiap tingkatan Pengadilan telah diputus, bahkan pada tingkat kasasi Mahkamah Agung RI dengan keputusannya No. 1543 K/Pid/2005 tanggal 08 Maret 2006. Demikian juga ketika Penggugat dahulu Pemohon peninjauan kembali mengajukan peninjauan kembali No. 30 PK/Pdt/2009 tanggal 22 Juli 2009 di Mahkamah Agung RI juga telah diputus dan kesemuanya telah berkekuatan hukum tetap. Karena objek yang dipersengketakan baik setelah diputus di tingkat kasasi No. 1543 K/Pdt/2005 tanggal 08 Maret 2006 serta keputusan permohonan Peninjauan Kembali No. 30 PK/Pdt/2009 tangga 22 Juli 2009 adalah sama yakni rumah toko yang terletak di Jl. H. Zainul Arifin No.200C, Kel. Petisah Tengah, Kec. Medan Barat dan kesemua keputusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap dengan objek gugatan dan para pihaknya di dalam perkara No.227/Pdt.G/2012/PN.Mdn. maka secara hukum patut untuk majelis hakim Pengadilan Negeri Medan yang memeriksa perkara ini menyatakan perkara yang diperiksa tersebut tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya. Sesuai dengan pendapat Sudikno Mertokusumo yang menyatakan bahwa, :

“bila terjadi keputusan Pengadilan menolak untuk mengabulkan dalil atau bantahan pihak yang sejak awal dinyatakan bukan sebagai yang berhak atas objek dan keputusannya yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) maka putusan tersebut sudah melekat atau bersifat positif. Oleh karena itu terhadap kasus dan pihak yang sama tidak boleh diajukan perkara untuk kedua kalinya.


(45)

Sehingga kerena itu patutlah perkara ini untuk dinyatakan di tolak.”66

Korelasi atau pertalian hukum diantara kedua akta tersebut tidak saling berhubungan hal itulah yang menyebabkan gugatan ini menjadi kabur (obscour

Jika ditelaah secara seksama dan dengan cermat dimana isi gugatan Pengguat ini sangat tidak jelas dan kabur sama sekali disebabkan sesungguhnya tidak ada kaitan atau korelasi hukumnya antara satu pernyataan dengan pernyataan lainnya. Perjanjian Sewa Menyewa yang tertera pada akta No. 40 tanggal 11 September 1989 dengan akta perjanjian No. 17 tanggal 11 Agustus 1979 sama sekali tidak berkorelasi hukum. Apalagi subjek hukum yang mengikatkan diri antara para pihak berlainan. Pada Akte Perjanjian No. 17 tanggal 11 Agustus 1979 subjek yang mengadakan perikatan adalah antara Tergugat I dan ayah Tergugat II. Sedangkan pada Akta No. 40 tanggal 11 September 1989 yang mengadakan perjanjian adalah Penggugat dengan Tergugat I. Kalaupun ada hubungan hukum antara Penggugat dengan ayah Tergugat II, hal tersebut hanya sebatas pertalian di dalam suatu satu perseroan komanditer. Sebagaimana halnya yang telah diketahuin perseroan komanditer bukanlah badan hukum sehingga karena itu pula bukan merupakan subjek hukum yang dapat bertindak sendiri. Kebijakan dan perbuatan hukum yang dilakukan menjadi tanggungjawab masing-masing personal dan perseroan tidak dapat dimintakan pertanggungjawabnnya. Sehingga tidak ada alasan dan dalil sama sekali untuk menyamakan apa yang diperbuat oleh direktur CV. Cipta Jaya ( ayah Tergugat I) dengan yang diperikatkan oleh Penggugat.

66


(46)

libel), karena tidak adanya kaitan dan korelasi antara isi gugatan Penggugat, disatu sisi Penggugat hendak menyatakan bahwasanya perjanjian sewa yang dibentuk antara Penggugat dengan Tergugat I sebagai sah (posita), karena dalam hal ini Penggugat menggunakan pengertian posita yaitu, disebut juga dengan hubungan yang menjadi dasar atau uraian dari suatu tuntutan. Untuk mengajukan suatu tuntutan, seseorang harus menguraikan dulu alasan-alasan atau dalil sehingga ia bisa mengajukan tuntutan seperti itu. Karenanya, fundamentum petendi berisi uraian tentang kejadian perkara atau duduk persoalan suatu kasus. Menurut M. Yahya Harahap di dalam buku Hukum Acara Perdata, posita/fundamentum petendi yang yang dianggap lengkap memenuhi syarat, memenuhi dua unsur yaitu dasar hukum (rechtelijke grond) dan dasar fakta (feitelijke grond)67

67

M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hal 58

. Akan tetapi dipihak lain penggugat meminta kepada Majelis Hakim untuk membatalkan eksekusi yakni objek sengketa yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht). Maka dapat disimpulkan bahwa sinkronisasi antara posita dengan petitum yang dimajukan Penggugat sama sekali tidak jelas atau dianggap kabur.

Gugatan Penggugat yang mendalilkan dimana perjanjian sewa menyewa antara Penggugat dengan Tergugat I tanpa menentukan batas waktu dapat dinilai menyalahi ketentuan hukum yang berlaku karena itu harus dinyatakan perjanjian tersebut batal demi hukum. Ini karena dapat dilihat di dalam KUH Perdata jelas disebutkan bahwa sewa menyewa itu terikat dengan jangka waktu tertentu, demikian juga dengan Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1994 tentang penghuni


(47)

rumah bukan pemilik, dalam Pasal 21 nya menyebutkan :

“sewa menyewa rumah baik dengan perjanjian tertulis maupun dengan perjanjian tidak tertulis yang tidak menyebutkan batas waktu yang telah berlangsung sebelum berlakunya UU No. 4 Tahun 1992 dinyatakan berakhir dalam jangka waktu 3 tahun sejak berlakunya undang-undang tersebut.”

Ketentuan ini sudah jelas dan tegas menyebutkan bahwa sesungguhnya perikatan hukum tentang sewa menyewa rumah haruslah dengan menyebutkan tenggang waktu, untuk berapa lama sewa menyewa rumah itu berlangsung. Sehingga tidak ada dan tidak diperkenankan penyewaan rumah tanpa batas waktu. Jika ditemukan hal demikian (sewa rumah) tanpa tenggang waktu maka hal tersebut tentu harus dinilai sebagai berlawanan dengan hukum yang berlaku.

Dimasukkannya Tergugat II kedalam arus gugatan oleh Penggugat semata-mata hanya dimaksudkan sebagai penghilang atau pengabur hakekat asas hukum

nebis in idem. Nebis in idem adalah asas hukum yang berlaku dalam hukum perdata maupun pidana. Dalam hukum perdata, asas ini mengandung pengertian bahwa sebuah perkara dengan obyek sama, para pihak sama dan materi pokok perkara yang sama, yang diputus oleh pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang mengabulkan atau menolak, tidak dapat diperiksa kembali untuk kedua kalinya. Pengertian dari kamus hukum tentang nebis in idem adalah asas yang menyatakan bahwa tidak boleh satu perkara yang sama yang sudah diputus, diperiksa, dan diputus lagi untuk kedua kalinya oleh pengadilan68

68

. Penggugat mencoba mengiringi Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan untuk tidak memperhatikan dan melihat kemungkinan memberi keputusan yang mengarah


(48)

kepada nebis in idem. Padahal jelas dan tegas sekali bahwa asas tersebut berlaku terhadap objek perkara yang sama dan sudah diputus oleh pengadilan dan sudah

inkracht (tetap), hubungan hukumnya yang sama serta subjek hukumnya yang juga sama.

Dalam kasus ini sebenarnya sudah tidak ada lagi upaya hukum yang hendak dipergunakan oleh penggugat guna menghindari eksekusi atas keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, baik karena kasasi maupun pemohonan peninjauan kembali yang masing-masing sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht) dan bahkan upaya Tergugat sudah meminta Pengadilan Negeri Medan untuk segera mengeksekusi guna kepastian hukum, tetapi tertunda hanya karena masuknya gugatan Penggugat.

Penundaan pelaksanaan eksekusi justru kontroversial dengan asas hukum

uit voerbaar bij voorraad (keputusan serta merta). Menurut Subekti dalam buku “Hukum Acara Perdata”, putusan serta merta sebenarnya terjemahan dari “uitvoerbaar bij voorraad” yang artinya adalah putusan yang dapat dilaksanakan serta merta, yaitu putusan yang dijatuhkan dapat langsung dieksekusi, meskipun putusan tersebut belum memperoleh kekuatan hukum tetap. Pada sisi lain, dikabulkan dan pelaksanaan putusan tersebut selalu berhadapan dengan ketidakpastian, karena potensial kemungkinan besar putusan itu akan dibatalkan pada tingkat banding atau kasasi69

69

R. Subekti, Hukum Acara Perdata, Bina Cipta, Bandung, 1989, hal 898.

. Hakekat dan makna dari asas keputusan dapat dijalankan dengan serta merta itu dimaksud sebagai keyakinan hakim yang memeriksa perkara bahwa pemohonnya memang diyakini sebagai pemegang hak dan diragukannya pihak lawan / Tergugat akan menghilangkan / menyingkirkan


(49)

harta benda yang menjadi objek gugatan.

Penggugat memohonkan provisi, Yahya Harahap menjelaskan bahwa gugatan provisi merupakan permohonan kepada hakim (dalam hal ini arbiter) agar ada tindakan sementara mengenai hal yang tidak termasuk pokok perkara, misalnya melarang meneruskan pembangunan di atas tanah yang diperkarakan dengan ancaman membayar uang paksa. Apabila dikabulkan, maka disebut putusan provisionil. Putusan provisionil merupakan salah satu jenis putusan sela. Penjelasan Pasal 185 HIR disebutkan putusan provisionil yaitu keputusan atas tuntutan supaya di dalam hubungan pokok perkaranya dan menjelang pemeriksaan pokok perkara itu, sementara diadakan tindakan-tindakan pendahuluan untuk kefaedahan salah satu pihak atau ke dua belah pihak. Keputusan yang demikian itu banyak digunakan di dalam pemeriksaan singkat.70

70

Permohonan provisi dari penggugat pada pokoknya adalah agar pengadilan menunda dan menangguhkan eksekusi Pengadilan Negeri Medan terhadap 1 (satu) bangunan rumah toko yang terletak di jalan H. Zainul Arifin No.200 C Medan untuk dikosongkan dan diserahkan kepada Tergugat I. Dan atas permohonan provisi tersebut Tergugat I di dalam jawabannya memohon agar Majelis Hakim menolak permohonan provisi tersebut oleh karena sudah tidak adanya lagi upaya hukum hendak dipergunakan oleh Penggugat untuk menghindari eksekusi atas keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, baik karena kasasi maupun permohonan peninjauan kembali, yang masing-masing sudah berkekuatan hukum tetap. Secara pasif dan positif telah diputus dan telah berkekuatan hukum tetap sehingga secara hukum sudah ditetapkan siapa yang berhak dan siapa yang berkewajiban untuk memenuhi


(50)

prestasi, karena itu tidak ada lagi yang hendak dipersengketakan antara Penggugat dan Tergugat.

Perkara yang diajukan oleh Penggugat dengan daftar No. 227/Pdt.G /2012/PN.Mdn adalah perkara yang sebelumnya telah diperiksa dan objek yang dipersengketakan baik setelah diputuskan di tingkat kasasi No. 1543 K/Pdt/2005 Tanggal 08 Maret 2006 serta keputusan permohonan Peninjauan Kembali No. 30 PK/Pdt/2009 Tanggal 22 Juli 2009 adalah sama yakni Rumah Toko yang terjetak di Jl. H. Zainul Arifin No.200- C Keluraha Petisah Tengah, Kecamata Medan Barat dan semua telah berkekuatan hukum yang tetap dengan objek Gugatan dan para pihak baik pihak Penggugat dan Pihak Tergugat dalam perkara No. 227/Pdt.G/2012/PN.Mdn. Maka secara hukum perkara ini tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya karena bertentangan dengan asas nebis in indem.

Dengan hal tersebut di atas maka dapat ditarik garis besar bahwasannya gugatan dengan perkara No. 227/Pdt.G/2012/PN.Mdn yang diajukan oleh Penggugat terhadap Tergugat I dan Tergugat II tentang pembatalan Akta Perjanjian Sewa Menyewa No. 40 tanggal 11 September 1989 antara Penggugat Terhadap Tergugat I bukanlah suatu perbuatan yang melawan hukum. Hal tersebut merupakan suatu perbuatan yang tidak melawan hukum dikarenakan menurut ketentuan bahwa sewa menyewa sebagaimana diatur dalam KUH Perdata adalah sebuah perjanjian dimana pihak yang satu menyanggupi dan menyerahkan sesuatu benda untuk dipakai selama jangka waktu tertentu, sedangkan pihak lainnya menyanggupi akan membayar harga yang ditetapkan untuk pemakaian benda itu dalam jangka waktu yang ditentukan. Dalam hal ini maka dapat dilihat bahwa Peraturan Pemerintah No.44 Tahun 1994 yang digunakan sebagai dasar


(51)

oleh Majelis Hakim dalam Putusan Pembatalan Akta Perjanjian Sewa Menyewa No. 40 tanggal 11 September 1989 yang dilakukan sebelumnya oleh Penggugat terhadap Tergugat I dan Alm. Ayah Tergugat II.

Berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1994 dihubungkan dengan bukti yaitu Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 378/Pdt.G/2002/PN.Mdn tertanggal 13 maret 2003 serrta keterangan saksi-saksi yang diajukan Tergugat II maka di dalam Akta Perjanjian Sewa Menyewa No. 40 tanggal 11 September 1989 menjadi tidak memiliki kekuatan hukum lagi. Oleh karena itu hak sewa yang disebutkan dalam Akta Perjanjian Sewa Menyewa No. 40 tanggal 11 September 1989 kepada Tergugat I adalah batal, begitu pula semua perjanjian di dalamnya termasuk perbuatan Penggugat yang menyewakan kembali rumah dan tanah yang terletak di jalan H. Zainal Arifin No. 200 C.

Berdasarkan uraian pertimbangan di atas maka tuntutan Penggugat terhadap Tergugat I yang menyatakan bahwa Tergugat I telah melakukan perbuatan melawan hukum terhadap Penggugat adalah salah atau tidak terbukti. Sehingga pelaksanaan pembatalan ataupun penundaan eksekusi perdata adalah wewenang Ketua Pengadilan maka karenanya tuntutan tentang pembatalan eksekusi dinyatakan ditolak.

Maka dalam hal tersebut Penggugat menurut hukum adalah pihak yang dikalahkan dikarenakan Tergugat I dan Tergugat II telah berhasil membuktikan dalil-dalil sangkalannya terhadap gugatan yang diajukan oleh Penggugat.


(52)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penulisan skripsi ini, dapat disimpulkan beberapa hal mengenai pembatalan sewa menyewa dapat disebutkan sebagai berikut.

1. Pembatalan sewa sepihak tanpa persetujuan dari pihak penyewa merupakan salah satu pembatalan perjanjian yang dapat dilakukan oleh si pemberi sewa dengan ketentuan tertentu apabila si penyewa melakukan wanprestasi dapat dilihat pada Pasal 1266 KUHPerdata yang mengemukakan mengenai syarat pembatalan sewa, atau pun dapat dilihat dari pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1994 yang menyatakan bahwa apabila suatu perjanjian tidak menyebutkankan jangka waktu tertentu maka perjanjian tersebut akan berakhir dalam jangka waktu 3 tahun.

2. Dasar dari pembatalan sewa terhadap penyewa bangunan ruko pada kasus putusan Pengadilan Negeri Medan No.227/Pdt.G/2012/PN.Mdn adalah sewa menyewa tanpa tenggang waktu tertentu. Tergugat membatalkan hak sewa Penggugat berdasarkan dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1994 tentang penghuni rumah oleh bukan pemilik. Pembahasannya terdapat pada Pasal 21 yang menyatakan bahwa “sewa menyewa rumah baik perjanjian tertulis maupun perjanjian tidak tertulis yang tidak menyebutkan batas waktu dan telah berlangsung sebelum berlakunya Undang-Undang No. 4 tahun 1992 tentang perumahan dan pemukiman dinyatakan berakhir dalam jangka waktu 3 tahun sejak berlakunya undang-undang tersebut.”


(53)

3. Gugatan dengan perkara No. 227/Pdt.G/2012/PN.Mdn yang diajukan oleh Penggugat terhadap Tergugat I dan Tergugat II tentang pembatalan Akta Perjanjian Sewa Menyewa No. 40 tanggal 11 September 1989 antara Penggugat Terhadap Tergugat I bukanlah suatu perbuatan yang melawan hukum. Perkara yang diajukan oleh Penggugat adalah perkara yang sebelumnya telah diperiksa dan objek yang dipersengketakan baik setelah diputuskan di tingkat kasasi No. 1543 K/Pdt/2005 Tanggal 08 Maret 2006 serta keputusan permohonan Peninjauan Kembali No. 30 PK/Pdt/2009 Tanggal 22 Juli 2009 adalah sama yakni Rumah Toko yang terjetak di Jl. H. Zainul Arifin No.200- C Kelurahan Petisah Tengah, Kecamatan Medan Barat dan semua telah berkekuatan hukum yang tetap dengan objek gugatan dan para pihak baik pihak Penggugat dan Pihak Tergugat dalam perkara No. 227/Pdt.G/2012/PN.Mdn. Gugatan Penggugat terhadap Tergugat I atas pembatalan sepihak yang dilakukan oleh Tergugat I memang seharusnya ditolak maka dari itu hakim telah memberikan suatu keadilan dalam memberikan putusan yaitu menolak tuntutan Penggugat yang menyatakan bahwa Tergugat I telah melakukan perbuatan melanggar hukum. Tergugat I dan Tergugat II sudah jelas berhasil membuktikan sangkalannya terhadap dalil-dalil gugatan yang diajukan oleh penggugat sehingga Tergugat I dan Tergugat II telah memenangkan dalam perkara ini.

B. SARAN

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka saran yang didapatkan adalah sebagai berikut :


(54)

1. Sehubungan dengan penyewaan tanah dan bangunan yang memiliki arti

penting bagi masyarakat saat ini sebagai sarana penunjang dalam pemenuhan kebutuhan akan tempat tinggal sementara dan sebagai sumber penghasilan maka hendaklah dalam praktek sewa menyewa yang terjadi pada saat ini mencantumkan batas waktu tertentu dalam perjanjian agar tidak terjadi suatu sengketa yang dapat merugikan antara si penyewa dan yang menyewakan, serta hendaklah pemerintah mengatur secara tegas pengaturan tentang sewa menyewa ini agar tercipta suasana nyaman dalam bermasyarakat.

2. Sebelum memulainya suatu sewa menyewa, hendaknya diadakan perjanjian atau kesepakatan secara tertulis antara kedua belah pihak dan disaksikan oleh notaris agar perjanjian atau kesepakatan tersebut memiliki kekuatan hukum, sehingga hak dan kewajiban masing-masing pihak dapat diketahui dengan jelas dan akhirnya tidak menimbulkan ketidakjelasan atau kesalahpahaman dikemudian hari.


(1)

ABSTRAK * Hasim Purba ** Rabiatul Syahriah *** Cristh Dessy Natalia Tarigan

Penelitian ini dilatar belakangi dengan kebutuhan manusia akan suatu bangunan sehingga mendorong satu sama lain untuk melakukan sewa menyewa suatu bangunan baik untuk rumah tinggal maupun bangunan untuk usaha yang di dalamnya terdapat 2 (dua) pihak yang saling membuat janji baik tertulis maupun lisan. Adapun permasalahan yang di tetapkan dalam penulisan skripsi mengenai Pembatalan Hak Sewa Bangunan Oleh Ahli Waris Terhadap Ruko Yang Dibangun Di Atas Tanah Milik Orang Lain (Studi Putusan: Pengadilan Negeri Medan No. 227/Pdt.G/2012/PN MEDAN) ini adalah pembatalan sepihak hak sewa atas bangunan Rumah Ruko yang di bangunan di atas tanah milik orang lain tersebut dan pengkajian mengenai putusan yang telah berkeadilan atau tidak.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yaitu dengan meneliti bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi buku-buku serta norma-norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan, asas-asas hukum, kaidah hukum, sistematika hukum dan studi kasus pada Pengadilan Negeri Medan, serta data lain yang memiliki kaitan dengan skripsi ini.

Pembatalan sewa menyewa yang dilakukan secara sepihak tanpa persetujuan pihak penyewa merupakan salah satu pembatalan perjanjian yang dapat dilakukan oleh si pemberi sewa dengan ketentuan apabila si penyewa melakukan wanprestasi atau apabila dalam perjanjian tidak ditetapkan jangka waktu berakhirnya perjanjian sewa menyewa tersebut. Dalam putusan Pengadilan Negeri Medan No.227/Pdt.G/2012/PN.Medan dasar dari pembatalan sewa terhadap penyewa bangunan ruko adalah sewa menyewa tanpa tenggang waktu tertentu. Perkara yang diajukan oleh Penggugat dengan daftar No.227/Pdt.G/2012/PN.Mdn adalah perkara yang sebelumnya telah diperiksa dan objek yang dipersengketakan baik setelah diputuskan di tingkat kasasi No. 1543 K/Pdt/2005 tanggal 08 Maret 2006 serta keputusan permohonan Peninjauan Kembali No.30 PK/Pdt/2009 Tanggal 22 Juli 2009 adalah sama yakni Rumah Toko yang terletak di Jl. H. Zainul Arifin No.200- C Kelurahan Petisah Tengah, Kecamatan Medan Barat dan semua telah berkekuatan hukum yang tetap dengan objek gugatan dan para pihak baik pihak Penggugat dan Pihak Tergugat dalam perkara No. 227/Pdt.G/2012/PN.Mdn. Maka secara hukum perkara ini tidak dapat di tuntut untuk kedua kalinya karena bertentangan dengan asas Nebis In Indem. Maka tuntutan Penggugat terhadap Tergugat I yang menyatakan bahwa Tergugat I telah melakukan perbuatan melawan hukum terhadap Penggugat adalah salah atau tidak terbukti.Sehingga pelaksana an pembatalan ataupun penundaan eksekusi perdata adalah dinyatakan ditolak.Maka dalam hal tersebut Penggugat menurut hukum adalah pihak yang dikalahkan dikarenakan Tergugat I dan Tergugat II telah berhasil membuktikan dalil-dalil sangkalannya terhadap gugatan yang diajukan oleh Penggugat.

Kata Kunci : Pembatalan Sewa Menyewa, Bangunan Ruko, Tanah Orang Lain

* Pembimbing I Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ** Pembimbing II Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara *** Mahasiswi Fakultas Hukum Sumatera Utara


(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmad dan karunia-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. Adapun judul dari skripsi ini adalah

Pembatalan Hak Sewa Bangunan Oleh Ahli Waris Terhadap Ruko Yang Dibangun Di Atas Tanah Milik Orang Lain (Studi Putusan: Pengadilan Negeri Medan No. 227/Pdt.G/2012/PN MEDAN). Untuk penulisan skripsi ini penulis berusaha agar hasil penulisan skripsi ini mendekati kesempurnaan yang diharapkan, tetapi walaupun demikian penulisan ini belumlah dapat dicapai dengan maksimal, karena ilmu pengetahuan penulis masih terbatas. Oleh karena itu, segala saran dan kritik akan penulis terima dari semua pihak dalam rangka penyempurnaan penulisan skripsi ini.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak sehingga pada kesempatan ini penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih kapada :

1. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dr. OK. Saidin, SH, M.Hum selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Puspa Melati Hasibuan, SH, M.Hum, selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. Jelly Levisa, SH, M.Hum, selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(3)

5. Prof. Dr. H. Hasim Purba, SH., M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan dan selaku Dosen Pembimbing I, yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan petunjuk dan bimbingan pada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Ibu Rabiatul Syahriah, SH., M.Hum selaku Dosen Pembimbing II, yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan petunjuk dan bimbingan pada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Seluruh staf dan pengajar Fakultas Hukum USU yang dengan penuh dedikasi menuntun dan membimbing penulis selama mengikuti perkuliahan sampai dengan menyelesaikan skripsi ini.

8. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kakak dan adik penulis Jesscy Putri Giovana Tarigan S.E dan Yosscy Putra Santiago Tarigan, yang telah banyak memberikan dukungan moril, materil, dan kasih sayang mereka yang tidak pernah putus sampai sekarang dan selamanya.

9. Terima kasih pula kepada papa H. Djumali S.H dan mama Hj. Yeni Indrawati, serta kak Yurista Arini S.H selaku keluarga kedua penulis yang juga telah mendukung penulis dalam penulisan skripsi ini.

10.Terima kasih yang sebesar-besarnya untuk yang terkasih Haryo Kuncoro Jati yang tak henti-hentinya memberi dukungan dan motivasi kepada penulis, dengan sabar mendengarkan keluh kesah penulis serta membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini .

11.Terima kasih buat teman-teman stambuk 012, Satya, Hanna, Judith, Natali, Rio, Monang, Eldbert, Linton, Anthoni, Goklas, Denis, Stefano dan yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu terima kasih atas dukungan dan motivasinya sehingga terselesaikan skripsi ini.


(4)

sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini.

Terkhusus untuk kedua orangtua penulis papi P.E Tarigan dan mami Yusta Karim yang sangat penulis kasihi, terimakasih sebesar-besarnya untuk motivasi, kasih sayang, cinta dan bantuan materil dari awal penulis memulai perkuliahan bahkan dari penulis masih menginjak bangku dasar sampai dengan penulis menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Demikianlah yang dapat saya sampaikan, semoga apa yang telah kita lakukan mendapatkan Balasan dari Tuhan Yang Maha Esa. Penulis memohon maaf kepada Bapak atau Ibu dosen pembimbing, dan dosen penguji atas sikap dan kata yang tidak berkenan selama penulisan skripsi ini.

Medan, Juni 2016 Penulis,

Cristh Dessy Natalia Tarigan 120200490


(5)

DAFTAR ISI

ABSTRAK………...…..…... .i

KATA PENGANTAR... ii

DAFTAR ISI……… v

BAB I : PENDAHULUAN………. 1

A. Latar Belakang………. 1

B. Permasalahan………... 7

C. Tujuan Penulisan………. 8

D. Manfaat Penulisan………... 8

E. Metode Penelitian……….……... 9

F. Keaslian Penulisan……….…. 10

G. Sistematika Penulisan……… 10

BAB II : SEWA MENYEWA RUMAH / BANGUNAN……… 13

A. Sejarah, Pengertian, Subjek dan Objek Serta Dasar Hukum Sewa Menyewa...……….. 13

B. Jenis-jenis Sewa Menyewa……… 25

C. Risiko dan Berakhirnya Perjanjian Sewa Menyewa……….27

D. Pengaturan Hukum Tentang Sewa Menyewa Rumah / Bangunan 36 BAB III : TINJAUAN UMUM TENTANG HAK MILIK ATAS TANAH DAN BANGUNAN………...……… 38

A. Pengertian dan Pengaturan Hukum Tentang Hak Milik………… 38

B. Hak Milik Atas Tanah Sebagai Hak Guna Bangunan……… 50

C. Hak dan Kewajiban Bagi Pemegang Hak Guna Bangunan Diatas Tanah Hak Milik Atas Tanah yang Diatasnya Diberikan Hak Guna Banguna………..…… 56

D. Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Hak Atas Bangunan Diatas Tanah Hak Milik Pihak Lain……….……… 63


(6)

BAB IV : PEMBATALAN HAK SEWA BANGUNAN OLEH AHLI WARIS TERHADAP RUKO YANG DIBANGUN DIATAS TANAH MILIK ORANG LAIN (STUDI PUTUSAN :

PENGADILAN NEGERI MEDAN NO: 227/PDT.G/2012.PN.

MDN)………... 65

A. Pembatalan Sewa Menyewa Tanpa persetujuan Pihak Penyewa 65 B. Dasar Pembatalan Perjanjian Sewa Menyewa Oleh Pemilik Tanah dan Ahli Waris Terhadap Si Penyewa Bangunan Ruko… 70 C. Kajian dan Analisi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 227/Pdt.G/2012/PN.Mdn………72

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN………..………… 85

A. Kesimpulan………..… 85

B. Saran……… 86

DAFTAR PUSTAKA………...……… 88 LAMPIRAN


Dokumen yang terkait

Analisa Hukum Penetapan Ahli Waris (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan No. 1229/Pdt.G/2010/PA/Mdn)

10 177 117

Analisis Hukum Atas Perbuatan Oknum Notaris yang Menerima Penitipan Pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 2601/Pid.B/2003/PN.Mdn)

9 111 123

Analisis Hukum Atas Perbuatan Oknum Notaris Yang Menerima Penitipan Pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (Bphtb) (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 2601/Pid.B/2003/Pn.Mdn)

4 50 123

Tinjauan Hukum Kekuatan Sertifikat Hak Milik Diatas Tanah Yang Dikuasai Pihak Lain (Studi Kasus Atas Putusan Perkara Pengadilan Tata Usaha Negara Medan NO.39/G.TUN/2006/PTUN.MDN)

4 67 127

Hak Mewaris Bagi Ahli Waris Golongan KeDua (Studi Kasus Pada Pengadilan Negeri Medan Nomor Perkara : 127/PDt.G/2008/PN.Mdn)

0 63 127

Pelaksanaan Perubahan Hak Milik Atas Tanah Menjadi Hak Guna Bangunan Pada Yaspendhar Medan (Studi : Kampus I-Jln. Imam Bonjol No. 35 Medan)

4 66 127

Analisis Hukum Putusan Pengadilan Agama Yang Memutuskan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah Tidak Berkekuatan Hukum (Studi Kasus : Putusan Pengadilan Agama Tebing Tinggi No. 52/Pdt.G/2008/PA-TTD jo. Putusan Pengadilan Tinggi Agama Sumatera Utara No. 145/Pdt.G

3 62 135

Analisis Hukum Atas Perbuatan Oknum Notaris yang Menerima Penitipan Pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 2601/Pid.B/2003/PN.Mdn)

0 0 14

Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur atas Pembatalan Sertifikat Hak Milik Atas Tanah yang Sedang Dibebani Hak Tanggungan.(Studi Putusan Mahkamah Agung, No.140 K/TUN/2011)

0 0 15

Analisis Hukum Atas Perbuatan Oknum Notaris Yang Menerima Penitipan Pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (Bphtb) (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 2601/Pid.B/2003/Pn.Mdn)

0 0 14