Perbedaan Hardiness Antara Pria dan Wanita Karo Penyintas Bencana Gunung Sinabung
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Hardiness
II.1.1. Pengertian Hardiness
Menurut Bartone (dalam Ingranurindani, 2008) mengatakan bahwa
hardiness merupakan kepribadian yang menjadi dasar atau disposisi individu yang
memiliki resiliensi yang baik, oleh karena itu Bartone menggunakan istilah
dispositional resiliency untuk menggambarkan hardiness. Papalia (2004)
mengatakan bahwa resiliensi adalah kemampuan untuk tetap berperan secara
maksimal dalam keadaan yang buruk, mampu menghadapi tantangan, dan dalam
hal ini individu memiliki kemampuan untuk kembali bangkit dari pengalaman
buruk yang dialami. Kebangkitan dari individu dari keterpurukannya, membuat
individu lebih kuat dalam proses menghadapi peristiwa yang berat (Henderson,
dalam Ingranurindani, 2008).
Mc.Cubbi
(dalam
Smet,
1994)
mengungkapkan
bahwa
hardiness
merupakan kekuatan dasar individu untuk menemukan kapasitas dalam
menghadap tekanan. Menurut Sheridan dan Radmacher (dalam Smet, 1994)
hardiness merupakan kepercayan bahwa seseorang akan survive dan mampu
tumbuh, belajar dan menghadapi tantangan. Sementara Quick (1997) menyatakan
hardiness sebagai konstruksi kepribadian yang merefleksikan sebuah orientasi
yang lebih optimistis terhadap hal-hal yang menyebabkan stres. Kobasa (1979)
menjelaskan hardiness sebagai variabel kepribadian individu yang berkembang
Universitas Sumatera Utara
14
sejak dini, dan relatif stabil sepanjang waktu, serta berfungsi sebagai sumber
kekuatan bagi individu untuk mampu bertahan dalam kondisi yang kurang
menyenangkan dalam hidupnya.
Menurut
Kobasa
(2002),
individu dengan
hardiness
yang tinggi
menggunakan transformational coping dalam menghadapi situasi yang penuh
tekanan, yakni dengan mengubah pola pikir dan tingkah laku mereka. Tujuannya
untuk menyelesaikan masalah dengan merestruksi kembali pikiran mereka ke
pemikiran yang positif, memperluas perspektif, mencoba untuk memahami
peristiwa tersebut sebaik mungkin, menentukan tindakan apa yang akan diambil,
dan mencari dukungan emosional. Sedangkan, individu dengan hardiness yang
rendah, cenderung menggunakan regressive coping, seperti menghindari atau
mengabaikan pola pikir dan perilaku mereka terhadap peristiwa yang membuat
stres.
Hardiness yang dimiliki oleh individu tidak terlepas dari kepribadian.
Kepribadian adalah perilaku yang dimiliki oleh individu yang bersifat dinamis
yang menentukan tingkah laku, pemikiran, dan tindakan seseorang. Dari beberapa
pengertian yang dikemukakan oleh para ahli dapat disimpulkan bahwa hardiness
pada penelitian ini merupakan variabel kepribadian yang membuat individu
menjadi lebih kuat, survive, dan optimis dalam menghadapi stres akibat
meletusnya Gunung Sinabung.
Universitas Sumatera Utara
15
II.1.2 Aspek Hardiness
Menurut Kobasa (1979) menjelaskan adanya tiga aspek hardiness. Ketiga
aspek itu adalah :
a. Kontrol
Kontrol adalah keyakinan individu bahwa dirinya dapat mempengaruhi
peristiwa-peristiwa yang terjadi atas dirinya, Kobasa dan Maddi (2005).
Aspek ini berisi keyakinan bahwa individu dapat memengaruhi atau
mengendalikan apa saja yang terjadi dalam hidupnya. Individu percaya
bahwa dirinya dapat menentukan terjadinya sesuatu dalam hidupnya,
sehingga tidak mudah menyerah ketika sedang berada dalam keadaan
tertekan. Individu dengan hardiness yang tinggi memiliki pandangan
bahwa semua kejadian dalam lingkungan dapat ditangani oleh dirinya
sendiri dan ia bertanggung jawab terhadap apa yang harus dilakukan
sebagai respon terhadap stres.
b. Komitmen
Komitmen adalah kecenderungan untuk melibatkan diri dalam aktivitas
yang sedang dihadapi, Kobasa dan Maddi (2005). Aspek ini berisi
keyakinan bahwa hidup itu bemakna dan memiliki tujuan. Individu juga
berkeyakinan teguh pada dirinya sendiri walau apapun yang akan
terjadi. Individu dengan hardiness yang tinggi percaya akan nilai-nilai
kebenaran, kepentingan dan nilai-nilai yang menarik tentang siapakah
dirinya dan apa yang mampu ia lakukan. Selain itu, individu dengan
hardiness yang tinggi juga percaya bahwa perubahan akan membantu
Universitas Sumatera Utara
16
dirinya berkernbang dan mendapatkan kebijaksanaan serta belajar
banyak dari pengalaman yang telah didapat.
c. Tantangan
Tantangan adalah kecenderungan untuk memandang suatu perubahan
yang terjadi sebagai kesempatan untuk mengembangkan diri, bukan
sebagai ancarnan terhadap rasa amannya, Kobasa dan Maddi (2005).
Aspek ini berupa pengertian bahwa hal-hal yang sulit dilakukan atau
diwujudkan adalah sesuatu yang umum terjadi dalam kehidupan, yang
pada akhirnya akan datang kesempatan untuk melakukan dan
mewujudkan hal tersebut.
Berdasarkan uraian diatas dapat simpulkan bahwa aspek dari hardiness
adalah kontrol, komitmen, dan tantangan. Individu yang hardiness
memiliki keyakinan untuk dapat mengendalikan kejadian – kejadian
hidupnya dengan keterlibatannya dalam pekerjaan maupun orang –
orang
didalam
hidupnya
(komitmen),
kemampuan
untuk
mengendalikan dirinya (kontrol), serta keyakinan untuk memandang
bahwa kejadian yang terjadi dalam hidup sebagai perubahan untuk
mengembangkan diri menjadi lebih positif (tantangan).
II.1.3 Fungsi Hardiness
Menurut Florian (dalam Heriyanto, 2011) fungsi hardiness adalah :
a. Membantu individu dalam proses adaptasi dan lebih toleransi terhadap
stres.
Universitas Sumatera Utara
17
b. Mengurangi akibat buruk dari stres yang kemungkinan dapat terjadinya
burnout dan penilaian negatif terhadap suatu kejadian yang mengancam
dan meningkatkan pengharapan untuk melakukan coping yang berhasil.
c. Membuat individu tidak mudah jatuh sakit.
d. Membantu individu mengambil keputusan yang baik dalam keadaan
stress.
Dari beberapa penjelasan tentang fungsi hardiness dapat disimpulkan
bahwa hardiness dapat efek negatif dari stres yang dialami oleh individu dan
dapat memberikan penilaian yang lebih positif terhadap suatu peristiwa sehingga
mampu meningkatkan harapan individu sehingga mampu mengambi keputusan
yang baik.
II.1.4 Faktor yang Mempengaruhi Hardiness
Faktor-faktor yang mempengaruhi hardiness adalah :
1. Well-being, menurut Pollachek (2001) dan Noreuil (2002), well-being
yang merupakan suatu konsep kesejahteraan dimana individu mampu
menciptakan kepuasan dalam hidupnya dan
merupakan salah satu
faktor yang dapat membantu mengurangi stres yang dialami oleh
individu, individu yang memiliki well-being yang baik akan membuat
hardiness juga meningkat.
2. Social Support, menurut Pagana (1990) dan Dibartolo (2001),
merupakan bentuk pertolongan yang dapat berupa materi, emosi dan
informasi yang diberikan oleh orang-orang yang memiliki arti seperti
keluarga, sahabat, teman, saudara atau orang yang dicintai ketika
Universitas Sumatera Utara
18
individu yang bersangkutan sedang menghadapi masalah yang dapat
menimbulkan stress sehingga membuat individu lebih kuat dan dapat
mengurangi beban dalam hidupnya, individu yang memiliki sosial
support yang baik akan membuat hardiness juga meningkat.
3. Etnis dan kualitas dari hubungan pasangan, menurut Dibartolo (2001),
individu yang berasal dari etnis yang serupa akan membuat individu
merasa aman, nyaman untuk berbagi cerita dan masalah yang terjadi
dalam hidup begitu juga dengan kualitas dari hubungan pasangan, jika
pasangan dari individu yang memiliki masalah dapat mengerti dan tetap
bersikap hangat kepada pasangannya dapat mengurangi beban dalam
hidupnya.
4. Gender, menurut Belmont (2000), pria dan wanita akan berbeda dalam
menanggapi atau menghadapi masalah yang terjadi dalam hidup.
Wanita sudah terbiasa mengalami rasa sakit mulai dari siklus
menstruasi setiap bulan, mengandung, melahirkan, dan wanita juga
dikatakan sebagai mahkluk yang sabar, mengalah, dan lemah lembut.
Pria lebih menggunakan pemikiran yang logis dan juga pria dikatakan
lebih egois dalam menghadapi suatu hal. Dengan melihat tugas pada
pria dan wanita, membuat gender sebagai prediktor dalam menentukan
hardiness individu. \
Universitas Sumatera Utara
19
II.2 Penyintas Bencana Gunung Sinabung
Istilah “penyintas” muncul pertama kali pada tahun 2005. Kemunculannya
bukan dari kalangan ahli sastra ataupun ahli linguistik. Kata ini muncul dari para
pegiat alias aktivis LSM dalam konteks bencana. Para pegiat ini memerlukan kata
yang lebih pendek untuk menerjemahkan kata “survivor”. Mereka paling tidak
harus menggunakan tiga patah kata, yakni: “korban yang selamat” (Juneman,
2010). Menurut KBBI kata sintas berarti terus bertahan hidup, mampu
mempertahankan keberadaanya. Dalam penelitian ini, istilah penyintas diartikan
sebagai orang yang mampu bertahan atau selamat dari bencana Gunung Sinabung.
Gunung Sinabung merupakan gunung berapi di Sumatera Utara yang
mempunyai ketinggian 2.640 meter diatas permukaan laut . Letaknya cukup dekat
dengan kota Berastagi dan Kabanjahe dan terdapat banyak desa di lerengnya.
Satu-satunya
Gunung
di
Sumatera
Utara
yang
berkakikan
danau
(Widiastuti,,2008). Pada tahun 1600 Gunung Sinabung meletus pertama dan pada
tanggal 28 Agustus 2010. Gunung Sinabung meletus lagi pada tanggal 29 Agustus
2010, sekitar pukul 00.08 WIB. Asap dan debu membumbung sampai ketinggian
1.500 meter dari bibir kawah. Tindakan evakuasi segera dilakukan. 12.000 warga
yang tinggal di sekitar gunung diungsikan.
Letusan-letusan Gunung Sinabung masih terus berlangsung. Sabtu, 3
Januari 2015, Gunung Sinabung kembali mengeluarkan debu vulkanik yang
disertai awan panas dan menjalar empat kilometer ke arah selatan. Jumlah
pengungsi mencapai 2.443 jiwa atau 795 kepala keluarga yang ditempatkan di
tujuh titik pengungsian (Ananda, 2015). Hingga tahun 2013 tercatat tujuh belas
Universitas Sumatera Utara
20
orang warga meninggal dunia dan 30.000 orang kehilangan tempat tinggal mereka
(Leandha, 2015).
Bencana
Gunung
Sinabung
menyisakan
berbagai
kondisi
yang
memprihatinkan. Bencana ini telah menyebabkan kerusakan di desa-desa
sekitarnya dan menyebabkan ribuan penyintas kehilangan tempat tinggalnya.Para
penyintas tidak hanya kehilangan rumah dan tempat tinggal, tetapi juga lahan
pertanian yang menjadi sumber utama lahan pencaharian mereka. Rumah-rumah
penyintas dan lahan pertanian telah rusak karena abu vulkanik dan lahar dingin.
Oleh karena itu, para penyintas terpaksa meninggalkan tempat tinggal mereka dan
harus mengungsi (Damanik,2015).
Bagi para penyintas, kehilangan rumah bukan hanya berarti kehilangan fisik
bangunan semata, akan tetapi juga kehilangan kenangan dan kehidupan lama
mereka. Penyintas bencana Gunung Sinabung menghadapi berbagai masalah
seputar kondisi yang dialami sekarang. Diantaranya mereka harus menerima
kenyataan bahwa desa yang selama ini mereka tinggali tidak dapat dihuni lagi dan
mereka harus meninggalkan desa yang selama ini menjadi tempat mereka tinggal.
Lokasi tempat tinggal mereka yang baru pun masih sangat asing dan jauh dari
pemukiman. Fasilitas-fasilitas umum seperti pasar, tempat ibadah dan sekolah
jauh dari jangkauan. Tidak tersedianya lahan pertanian juga menjadi masalah bagi
mereka karena karena sebagian besar dari mereka berprofesi sebagai petani.
Universitas Sumatera Utara
21
II. 3 Gender
II.3.1 Defenisi Gender
Gender merupakan perbedaan yang tampak antara pria dan wanita dalam
melakukan tugas, tanggung jawab, fungsi, dan perilaku yang dibentuk oleh nilai
sosial dan budaya dan dapat berubah menurut waktu serta kondisi (Fakih, 1999).
Gender adalah perbedaan antara perempuan dan laki- laki yang dibentuk oleh
masyarakat sesuai dengan nilai budaya dan adat istiadat yang berlaku (WHO,
2001).
Kesetaraan gender merupakan gejala alam atau tuntutan yang menghendaki
kesetaraan, yang harus direspon oleh umat manusia dalam rangka adaptasi dengan
alam. Berdasarkan teori ini pembagian tugas dan tanggung jawab antara laki-laki
dan perempuan pada zaman dahulu tidak pernah dipermasalahkan. Sekarang
tuntutan kesetaraan gender menjadi permasalahan yang menjadi perhatian
manusia di seluruh dunia juga karena alam menuntut demikian disebabkan adanya
perubahan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang berlaku di masyarakat yang
memungkinkan fungsi dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan bisa
sama atau dipertukarkan.
Dapat disimpulkan, gender adalah perbedaan antara pria dan wanita terkait
tugas dan tanggung jawabnya sehari – hari.
II.3.2 Gender Dalam Sudut Pandang Budaya Karo
Dalam masyarakat Karo, konsep patriarkhi yang dipakai untuk
menggambarkan sistem gender. Patriarkhi merupakan konsep bahwa pria yang
memegang semua kekuasaan atas peran penting dalam masyarakat dan juga, pria
Universitas Sumatera Utara
22
Karo lebih dominan sehingga mampu untuk mengontrol wanita (Tarigan, 2009).
Proses sosialisasi gender dalam masyarakat Karo, sudah di perkenalkan kepada
anak sejak kecil, diarahkan dan dibedakan sesuai dengan keberadaan status
kewanitaan dan kelelakian. Pria dalam masyarakat Karo mempunyai fungsi sosial
yang sangat luas sebagai pelanjut silsilah keluarga, sebagai penerima harta
warisan, dan sebagai penentu dalam pengambilan keputusan sedangkan wanita
memiliki fungsi untuk mengurus mengurus rumah tangga (Tarigan,2009).
Menurut Tarigan (2009) masyarakat Karo memiliki sifat dan watak yang
tabah, sabar, lemah lembut, jujur, dan mengalah jika dihadapkan dengan suatu
peristiwa. Begitu juga menurut Bangun (2006) yang mengatakan bahwa
masyarakat Karo memiliki sifat dan watak yang berpendirian teguh, memiliki
kepercayaan diri, gigih, tekun dalam melakukan suatu kegiatan.
II.3.2.1 Tugas dan Tanggung Jawab Pria Dalam Budaya Karo
Dalam sistem kebudayaan Karo dapat dilihat bahwa pria merupakan
pihak yang diutamakan dan pihak yang dianggap penting (Tarigan, 2009).
Masyarakat Karo percaya bahwa, pria Karo berfungsi sebagai penjaga nama baik
keluarga dan sebagai pelindung bagi saudara perempuan (Tarigan, 2009). Pria
Karo juga menjadi pemimpin upacara adat, sebagai ketua adat (Tarigan, 2009).
Laki-laki Karo yang menjadi pembicara utama dan pembuat keputusan dalam
suatu musyawarah atau acara adat, pernikahan, hukum, warisan, silsilah keluarga,
tempat tinggal, hak atas kepemilikan harta atau tanah orangtua. Menurut Prinst
(1996), mengatakan bahwa jika dalam keluarga memiliki anak laki–laki, maka
Universitas Sumatera Utara
23
orangtua akan memanjakan dan menomor satukan anak lakinya dibanding dengan
anak perempuan dalam keluarga.
Natar (2006) mengatakan bahwa laki–laki Karo diharuskan untuk
mencari nafkah, tetapi yang ditemukan laki–laki Karo hanya duduk di kedai kopi
menghabiskan waktu bersama teman daripda bekerja membantu istri. Dalam adat,
laki-laki Karo sejak kecil diajarkan untuk mengenai pentingnya melestarikan
kebudayaan dan marganya serta bertanggung jawab sebagai penerus keluarga
(Tarigan, 2009).
II.3.2.2 Tugas dan Tanggung Jawab Wanita Dalam Budaya Karo
Tamboen (1952) mengatakan wanita Karo sebagai tulang punggung
keluarga, menjadi penopang dalam perekonomian keluarga seperti berladang,
bertani, mengurus dan merawat ternak. Jika dalam suatu keluarga, tidak memiliki
anak laki - laki, wanita yang disalahkan dan suami tersebut dapat melakukan
poligami. Begitu juga ketika anak perempuan dalam keluarga melakukan
kesalahan, seorang bapak tidak akan memarahi langsung ke anak perempuannya
melainkan ibu dalam keluarga yang menjadi ”pelampiasan” amarahnya (Tarigan,
2009). Wanita Karo juga tidak berhak memiliki suara dalam memberikan
pendapat, wanita hanya menerima apapun keputusan dari pihak pria (Natar, 2004).
Wanita Karo yang sudah menikah memiliki fungsi ganda yang lebih
berat dalam kehidupannya (Tamboen, 1952). Menurut masyarakat Karo, wanita
Karo yang sudah menikah memiliki tugas yaitu mulai dari pagi, mengurus
kehidupan rumah tangga mulai dari memasak, menyapu, mencuci, mengambil air
ke pancuran (tempat mandi terbuka yang jaraknya jauh dari perkampungan),
Universitas Sumatera Utara
24
mengurus anak dan suami, setelah pekerjaan rumah selesai, ia akan berangkat
untuk berladang, mencari nafkah untuk menghidupi keluarga, bekerja mulai dari
pagi hingga sore atau siang hari. Setelah selesai berladang, ia akan kembali
memasak dirumah untuk keluarga (Natar,2004). Selain berladang, wanita Karo
juga sering juga berjualan atau berdagang di pasar tradisional untuk memenuhi
kebutuhan keluarganya (Bangun, 2006).
II.4 Perbedaan Hardiness Antara Pria dan Wanita Karo Penyintas Bencana
Gunung Sinabung
Hardiness merupakan variabel kepribadian yang membuat individu menjadi
lebih kuat, survive, dan optimis dalam menghadapi peristiwa atau kejadian yang
membuat individu menjadi stres. Aspek dari hardiness adalah kontrol, komitmen,
dan tantangan. Individu yang hardiness memiliki keyakinan untuk dapat
mengendalikan kejadian-kejadian hidupnya dengan keterlibatannya dalam
pekerjaan maupun orang-orang didalam hidupnya (komitmen), kemampuan untuk
mengendalikan dirinya (kontrol), serta keyakinan untuk memandang bahwa
kejadian yang terjadi dalam hidup sebagai perubahan untuk mengembangkan diri
menjadi lebih positif (tantangan).
Individu dengan hardiness yang tinggi dalam menghadapi situasi yang
penuh tekanan mereka akan mengubah pola pikir dan tingkah lakunya. Tujuannya
untuk menyelesaikan masalah dengan merestruksi kembali pikiran mereka ke
pemikiran yang positif, memperluas perspektif, mencoba untuk memahami
peristiwa tersebut sebaik mungkin, menentukan tindakan apa yang akan diambil,
dan mencari dukungan emosional. Sedangkan, individu yang memiliki hardiness
Universitas Sumatera Utara
25
yang rendah, dalam menghadapi situasi penuh dengan tekanan akan cenderung
untuk menghindari bahkan mengabaikan kejadian yang terjadi dalam diri mereka.
Gender memainkan peran dalam hardiness. Gender merupakan perbedaan
yang tampak antara pria dan wanita dalam melakukan tugas, tanggung jawab,
fungsi, dan perilaku yang dibentuk oleh nilai sosial dan budaya. Salah satu budaya
di Indonesia yang mempunyai tugas serta tanggung jawab yang tampak berbeda
pada pria dan wanita adalah Suku Karo.
Pada
masyarakat
Karo,
konsep
patriarkhi
yang
dipakai
untuk
menggambarkan sistem gender. Patriarkhi merupakan konsep bahwa pria yang
memegang semua kekuasaan atas peran penting dalam masyarakat dan juga, pria
Karo lebih dominan sehingga mampu untuk mengontrol wanita. Masyarakat Karo
percaya bahwa pria Karo berfungsi sebagai penjaga nama baik keluarga dan
sebagai pelindung bagi saudara perempuan, menjadi ketua adat, pembicara utama
dan pembuat keputusan dalam suatu musyawarah atau acara adat, pernikahan,
hukum, warisan, silsilah keluarga, tempat tinggal, hak atas kepemilikan harta atau
tanah orangtua.
Jika dalam suatu keluarga memiliki anak laki–laki, maka orangtua akan
memanjakan dan menomor satukan anak lakinya dibanding dengan anak
perempuan dalam keluarga. Pria Karo diharuskan untuk mencari nafkah, tetapi
yang ditemukan pria Karo hanya duduk di kedai kopi menghabiskan waktu
bersama teman daripda bekerja membantu istri. Pria Karo sejak kecil diajarkan
untuk mengenai pentingnya melestarikan kebudayaan dan marganya serta
bertanggung jawab sebagai penerus keluarga.
Universitas Sumatera Utara
26
Wanita Karo dari kecil terbiasa untuk mengurus rumah tangga seperti
membantu ibu menyuci, memasak, membersihkan rumah, mengurus adik. Wanita
Karo yang sudah menikah memiliki tugas yaitu mulai dari pagi, mengurus
kehidupan rumah tangga mulai dari memasak, menyapu, mencuci, mengambil air
ke pancuran (tempat mandi terbuka yang jaraknya jauh dari perkampungan),
mengurus anak dan suami, setelah pekerjaan rumah selesai, ia akan berangkat
untuk berladang, mencari nafkah untuk menghidupi keluarga, bekerja mulai dari
pagi hingga sore atau siang hari. Selain berladang, wanita Karo juga sering juga
berjualan atau berdagang di pasar tradisional untuk memenuhi kebutuhan
keluarganya. Dengan beban berat yang harus dijalani oleh wanita Karo, membuat
wanita Karo dituntut untuk lebih kuat dan tangguh dalam menghadapi masalah.
Akibat meletusnya Gunung Sinabung, membuat masyarakat Karo yang
berada dalam area berbahaya harus mengungsi ke posko pengungsian. Dalam
keseharian yang dilakukan para penyintas tidak jauh berbeda dengan tugas dan
fungsinya antara pria dan wanita Karo sebelum berada di posko pengungsi. Baik
penyintas pria maupun penyintas wanita Karo yang berada di posko pengungsi
sudah mulai bersabar, tetap berusaha keras bekerja untuk memenuhi kebutuhan
keluarga dan sekolah anak, kurang menyenangi kehiudupan selama berada di
posko pengungsian, menyadari ada makna atau hikmah yang didapat akibat
meletusnya Gunung Sinabung, walaupun hanya sebahagian saja dari penyintas
pria Karo yang menyadari adanya hikmah yang didapat.
Universitas Sumatera Utara
27
II.5 Hipotesa Penelitian
Berdasarkan penjabaran di atas, maka dirumuskanlah hipotesis dalam
penelitian ini, sebagai berikut “hardiness penyintas wanita Karo lebih tinggi
daripada hardiness penyintas pria Karo”.
Universitas Sumatera Utara
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Hardiness
II.1.1. Pengertian Hardiness
Menurut Bartone (dalam Ingranurindani, 2008) mengatakan bahwa
hardiness merupakan kepribadian yang menjadi dasar atau disposisi individu yang
memiliki resiliensi yang baik, oleh karena itu Bartone menggunakan istilah
dispositional resiliency untuk menggambarkan hardiness. Papalia (2004)
mengatakan bahwa resiliensi adalah kemampuan untuk tetap berperan secara
maksimal dalam keadaan yang buruk, mampu menghadapi tantangan, dan dalam
hal ini individu memiliki kemampuan untuk kembali bangkit dari pengalaman
buruk yang dialami. Kebangkitan dari individu dari keterpurukannya, membuat
individu lebih kuat dalam proses menghadapi peristiwa yang berat (Henderson,
dalam Ingranurindani, 2008).
Mc.Cubbi
(dalam
Smet,
1994)
mengungkapkan
bahwa
hardiness
merupakan kekuatan dasar individu untuk menemukan kapasitas dalam
menghadap tekanan. Menurut Sheridan dan Radmacher (dalam Smet, 1994)
hardiness merupakan kepercayan bahwa seseorang akan survive dan mampu
tumbuh, belajar dan menghadapi tantangan. Sementara Quick (1997) menyatakan
hardiness sebagai konstruksi kepribadian yang merefleksikan sebuah orientasi
yang lebih optimistis terhadap hal-hal yang menyebabkan stres. Kobasa (1979)
menjelaskan hardiness sebagai variabel kepribadian individu yang berkembang
Universitas Sumatera Utara
14
sejak dini, dan relatif stabil sepanjang waktu, serta berfungsi sebagai sumber
kekuatan bagi individu untuk mampu bertahan dalam kondisi yang kurang
menyenangkan dalam hidupnya.
Menurut
Kobasa
(2002),
individu dengan
hardiness
yang tinggi
menggunakan transformational coping dalam menghadapi situasi yang penuh
tekanan, yakni dengan mengubah pola pikir dan tingkah laku mereka. Tujuannya
untuk menyelesaikan masalah dengan merestruksi kembali pikiran mereka ke
pemikiran yang positif, memperluas perspektif, mencoba untuk memahami
peristiwa tersebut sebaik mungkin, menentukan tindakan apa yang akan diambil,
dan mencari dukungan emosional. Sedangkan, individu dengan hardiness yang
rendah, cenderung menggunakan regressive coping, seperti menghindari atau
mengabaikan pola pikir dan perilaku mereka terhadap peristiwa yang membuat
stres.
Hardiness yang dimiliki oleh individu tidak terlepas dari kepribadian.
Kepribadian adalah perilaku yang dimiliki oleh individu yang bersifat dinamis
yang menentukan tingkah laku, pemikiran, dan tindakan seseorang. Dari beberapa
pengertian yang dikemukakan oleh para ahli dapat disimpulkan bahwa hardiness
pada penelitian ini merupakan variabel kepribadian yang membuat individu
menjadi lebih kuat, survive, dan optimis dalam menghadapi stres akibat
meletusnya Gunung Sinabung.
Universitas Sumatera Utara
15
II.1.2 Aspek Hardiness
Menurut Kobasa (1979) menjelaskan adanya tiga aspek hardiness. Ketiga
aspek itu adalah :
a. Kontrol
Kontrol adalah keyakinan individu bahwa dirinya dapat mempengaruhi
peristiwa-peristiwa yang terjadi atas dirinya, Kobasa dan Maddi (2005).
Aspek ini berisi keyakinan bahwa individu dapat memengaruhi atau
mengendalikan apa saja yang terjadi dalam hidupnya. Individu percaya
bahwa dirinya dapat menentukan terjadinya sesuatu dalam hidupnya,
sehingga tidak mudah menyerah ketika sedang berada dalam keadaan
tertekan. Individu dengan hardiness yang tinggi memiliki pandangan
bahwa semua kejadian dalam lingkungan dapat ditangani oleh dirinya
sendiri dan ia bertanggung jawab terhadap apa yang harus dilakukan
sebagai respon terhadap stres.
b. Komitmen
Komitmen adalah kecenderungan untuk melibatkan diri dalam aktivitas
yang sedang dihadapi, Kobasa dan Maddi (2005). Aspek ini berisi
keyakinan bahwa hidup itu bemakna dan memiliki tujuan. Individu juga
berkeyakinan teguh pada dirinya sendiri walau apapun yang akan
terjadi. Individu dengan hardiness yang tinggi percaya akan nilai-nilai
kebenaran, kepentingan dan nilai-nilai yang menarik tentang siapakah
dirinya dan apa yang mampu ia lakukan. Selain itu, individu dengan
hardiness yang tinggi juga percaya bahwa perubahan akan membantu
Universitas Sumatera Utara
16
dirinya berkernbang dan mendapatkan kebijaksanaan serta belajar
banyak dari pengalaman yang telah didapat.
c. Tantangan
Tantangan adalah kecenderungan untuk memandang suatu perubahan
yang terjadi sebagai kesempatan untuk mengembangkan diri, bukan
sebagai ancarnan terhadap rasa amannya, Kobasa dan Maddi (2005).
Aspek ini berupa pengertian bahwa hal-hal yang sulit dilakukan atau
diwujudkan adalah sesuatu yang umum terjadi dalam kehidupan, yang
pada akhirnya akan datang kesempatan untuk melakukan dan
mewujudkan hal tersebut.
Berdasarkan uraian diatas dapat simpulkan bahwa aspek dari hardiness
adalah kontrol, komitmen, dan tantangan. Individu yang hardiness
memiliki keyakinan untuk dapat mengendalikan kejadian – kejadian
hidupnya dengan keterlibatannya dalam pekerjaan maupun orang –
orang
didalam
hidupnya
(komitmen),
kemampuan
untuk
mengendalikan dirinya (kontrol), serta keyakinan untuk memandang
bahwa kejadian yang terjadi dalam hidup sebagai perubahan untuk
mengembangkan diri menjadi lebih positif (tantangan).
II.1.3 Fungsi Hardiness
Menurut Florian (dalam Heriyanto, 2011) fungsi hardiness adalah :
a. Membantu individu dalam proses adaptasi dan lebih toleransi terhadap
stres.
Universitas Sumatera Utara
17
b. Mengurangi akibat buruk dari stres yang kemungkinan dapat terjadinya
burnout dan penilaian negatif terhadap suatu kejadian yang mengancam
dan meningkatkan pengharapan untuk melakukan coping yang berhasil.
c. Membuat individu tidak mudah jatuh sakit.
d. Membantu individu mengambil keputusan yang baik dalam keadaan
stress.
Dari beberapa penjelasan tentang fungsi hardiness dapat disimpulkan
bahwa hardiness dapat efek negatif dari stres yang dialami oleh individu dan
dapat memberikan penilaian yang lebih positif terhadap suatu peristiwa sehingga
mampu meningkatkan harapan individu sehingga mampu mengambi keputusan
yang baik.
II.1.4 Faktor yang Mempengaruhi Hardiness
Faktor-faktor yang mempengaruhi hardiness adalah :
1. Well-being, menurut Pollachek (2001) dan Noreuil (2002), well-being
yang merupakan suatu konsep kesejahteraan dimana individu mampu
menciptakan kepuasan dalam hidupnya dan
merupakan salah satu
faktor yang dapat membantu mengurangi stres yang dialami oleh
individu, individu yang memiliki well-being yang baik akan membuat
hardiness juga meningkat.
2. Social Support, menurut Pagana (1990) dan Dibartolo (2001),
merupakan bentuk pertolongan yang dapat berupa materi, emosi dan
informasi yang diberikan oleh orang-orang yang memiliki arti seperti
keluarga, sahabat, teman, saudara atau orang yang dicintai ketika
Universitas Sumatera Utara
18
individu yang bersangkutan sedang menghadapi masalah yang dapat
menimbulkan stress sehingga membuat individu lebih kuat dan dapat
mengurangi beban dalam hidupnya, individu yang memiliki sosial
support yang baik akan membuat hardiness juga meningkat.
3. Etnis dan kualitas dari hubungan pasangan, menurut Dibartolo (2001),
individu yang berasal dari etnis yang serupa akan membuat individu
merasa aman, nyaman untuk berbagi cerita dan masalah yang terjadi
dalam hidup begitu juga dengan kualitas dari hubungan pasangan, jika
pasangan dari individu yang memiliki masalah dapat mengerti dan tetap
bersikap hangat kepada pasangannya dapat mengurangi beban dalam
hidupnya.
4. Gender, menurut Belmont (2000), pria dan wanita akan berbeda dalam
menanggapi atau menghadapi masalah yang terjadi dalam hidup.
Wanita sudah terbiasa mengalami rasa sakit mulai dari siklus
menstruasi setiap bulan, mengandung, melahirkan, dan wanita juga
dikatakan sebagai mahkluk yang sabar, mengalah, dan lemah lembut.
Pria lebih menggunakan pemikiran yang logis dan juga pria dikatakan
lebih egois dalam menghadapi suatu hal. Dengan melihat tugas pada
pria dan wanita, membuat gender sebagai prediktor dalam menentukan
hardiness individu. \
Universitas Sumatera Utara
19
II.2 Penyintas Bencana Gunung Sinabung
Istilah “penyintas” muncul pertama kali pada tahun 2005. Kemunculannya
bukan dari kalangan ahli sastra ataupun ahli linguistik. Kata ini muncul dari para
pegiat alias aktivis LSM dalam konteks bencana. Para pegiat ini memerlukan kata
yang lebih pendek untuk menerjemahkan kata “survivor”. Mereka paling tidak
harus menggunakan tiga patah kata, yakni: “korban yang selamat” (Juneman,
2010). Menurut KBBI kata sintas berarti terus bertahan hidup, mampu
mempertahankan keberadaanya. Dalam penelitian ini, istilah penyintas diartikan
sebagai orang yang mampu bertahan atau selamat dari bencana Gunung Sinabung.
Gunung Sinabung merupakan gunung berapi di Sumatera Utara yang
mempunyai ketinggian 2.640 meter diatas permukaan laut . Letaknya cukup dekat
dengan kota Berastagi dan Kabanjahe dan terdapat banyak desa di lerengnya.
Satu-satunya
Gunung
di
Sumatera
Utara
yang
berkakikan
danau
(Widiastuti,,2008). Pada tahun 1600 Gunung Sinabung meletus pertama dan pada
tanggal 28 Agustus 2010. Gunung Sinabung meletus lagi pada tanggal 29 Agustus
2010, sekitar pukul 00.08 WIB. Asap dan debu membumbung sampai ketinggian
1.500 meter dari bibir kawah. Tindakan evakuasi segera dilakukan. 12.000 warga
yang tinggal di sekitar gunung diungsikan.
Letusan-letusan Gunung Sinabung masih terus berlangsung. Sabtu, 3
Januari 2015, Gunung Sinabung kembali mengeluarkan debu vulkanik yang
disertai awan panas dan menjalar empat kilometer ke arah selatan. Jumlah
pengungsi mencapai 2.443 jiwa atau 795 kepala keluarga yang ditempatkan di
tujuh titik pengungsian (Ananda, 2015). Hingga tahun 2013 tercatat tujuh belas
Universitas Sumatera Utara
20
orang warga meninggal dunia dan 30.000 orang kehilangan tempat tinggal mereka
(Leandha, 2015).
Bencana
Gunung
Sinabung
menyisakan
berbagai
kondisi
yang
memprihatinkan. Bencana ini telah menyebabkan kerusakan di desa-desa
sekitarnya dan menyebabkan ribuan penyintas kehilangan tempat tinggalnya.Para
penyintas tidak hanya kehilangan rumah dan tempat tinggal, tetapi juga lahan
pertanian yang menjadi sumber utama lahan pencaharian mereka. Rumah-rumah
penyintas dan lahan pertanian telah rusak karena abu vulkanik dan lahar dingin.
Oleh karena itu, para penyintas terpaksa meninggalkan tempat tinggal mereka dan
harus mengungsi (Damanik,2015).
Bagi para penyintas, kehilangan rumah bukan hanya berarti kehilangan fisik
bangunan semata, akan tetapi juga kehilangan kenangan dan kehidupan lama
mereka. Penyintas bencana Gunung Sinabung menghadapi berbagai masalah
seputar kondisi yang dialami sekarang. Diantaranya mereka harus menerima
kenyataan bahwa desa yang selama ini mereka tinggali tidak dapat dihuni lagi dan
mereka harus meninggalkan desa yang selama ini menjadi tempat mereka tinggal.
Lokasi tempat tinggal mereka yang baru pun masih sangat asing dan jauh dari
pemukiman. Fasilitas-fasilitas umum seperti pasar, tempat ibadah dan sekolah
jauh dari jangkauan. Tidak tersedianya lahan pertanian juga menjadi masalah bagi
mereka karena karena sebagian besar dari mereka berprofesi sebagai petani.
Universitas Sumatera Utara
21
II. 3 Gender
II.3.1 Defenisi Gender
Gender merupakan perbedaan yang tampak antara pria dan wanita dalam
melakukan tugas, tanggung jawab, fungsi, dan perilaku yang dibentuk oleh nilai
sosial dan budaya dan dapat berubah menurut waktu serta kondisi (Fakih, 1999).
Gender adalah perbedaan antara perempuan dan laki- laki yang dibentuk oleh
masyarakat sesuai dengan nilai budaya dan adat istiadat yang berlaku (WHO,
2001).
Kesetaraan gender merupakan gejala alam atau tuntutan yang menghendaki
kesetaraan, yang harus direspon oleh umat manusia dalam rangka adaptasi dengan
alam. Berdasarkan teori ini pembagian tugas dan tanggung jawab antara laki-laki
dan perempuan pada zaman dahulu tidak pernah dipermasalahkan. Sekarang
tuntutan kesetaraan gender menjadi permasalahan yang menjadi perhatian
manusia di seluruh dunia juga karena alam menuntut demikian disebabkan adanya
perubahan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang berlaku di masyarakat yang
memungkinkan fungsi dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan bisa
sama atau dipertukarkan.
Dapat disimpulkan, gender adalah perbedaan antara pria dan wanita terkait
tugas dan tanggung jawabnya sehari – hari.
II.3.2 Gender Dalam Sudut Pandang Budaya Karo
Dalam masyarakat Karo, konsep patriarkhi yang dipakai untuk
menggambarkan sistem gender. Patriarkhi merupakan konsep bahwa pria yang
memegang semua kekuasaan atas peran penting dalam masyarakat dan juga, pria
Universitas Sumatera Utara
22
Karo lebih dominan sehingga mampu untuk mengontrol wanita (Tarigan, 2009).
Proses sosialisasi gender dalam masyarakat Karo, sudah di perkenalkan kepada
anak sejak kecil, diarahkan dan dibedakan sesuai dengan keberadaan status
kewanitaan dan kelelakian. Pria dalam masyarakat Karo mempunyai fungsi sosial
yang sangat luas sebagai pelanjut silsilah keluarga, sebagai penerima harta
warisan, dan sebagai penentu dalam pengambilan keputusan sedangkan wanita
memiliki fungsi untuk mengurus mengurus rumah tangga (Tarigan,2009).
Menurut Tarigan (2009) masyarakat Karo memiliki sifat dan watak yang
tabah, sabar, lemah lembut, jujur, dan mengalah jika dihadapkan dengan suatu
peristiwa. Begitu juga menurut Bangun (2006) yang mengatakan bahwa
masyarakat Karo memiliki sifat dan watak yang berpendirian teguh, memiliki
kepercayaan diri, gigih, tekun dalam melakukan suatu kegiatan.
II.3.2.1 Tugas dan Tanggung Jawab Pria Dalam Budaya Karo
Dalam sistem kebudayaan Karo dapat dilihat bahwa pria merupakan
pihak yang diutamakan dan pihak yang dianggap penting (Tarigan, 2009).
Masyarakat Karo percaya bahwa, pria Karo berfungsi sebagai penjaga nama baik
keluarga dan sebagai pelindung bagi saudara perempuan (Tarigan, 2009). Pria
Karo juga menjadi pemimpin upacara adat, sebagai ketua adat (Tarigan, 2009).
Laki-laki Karo yang menjadi pembicara utama dan pembuat keputusan dalam
suatu musyawarah atau acara adat, pernikahan, hukum, warisan, silsilah keluarga,
tempat tinggal, hak atas kepemilikan harta atau tanah orangtua. Menurut Prinst
(1996), mengatakan bahwa jika dalam keluarga memiliki anak laki–laki, maka
Universitas Sumatera Utara
23
orangtua akan memanjakan dan menomor satukan anak lakinya dibanding dengan
anak perempuan dalam keluarga.
Natar (2006) mengatakan bahwa laki–laki Karo diharuskan untuk
mencari nafkah, tetapi yang ditemukan laki–laki Karo hanya duduk di kedai kopi
menghabiskan waktu bersama teman daripda bekerja membantu istri. Dalam adat,
laki-laki Karo sejak kecil diajarkan untuk mengenai pentingnya melestarikan
kebudayaan dan marganya serta bertanggung jawab sebagai penerus keluarga
(Tarigan, 2009).
II.3.2.2 Tugas dan Tanggung Jawab Wanita Dalam Budaya Karo
Tamboen (1952) mengatakan wanita Karo sebagai tulang punggung
keluarga, menjadi penopang dalam perekonomian keluarga seperti berladang,
bertani, mengurus dan merawat ternak. Jika dalam suatu keluarga, tidak memiliki
anak laki - laki, wanita yang disalahkan dan suami tersebut dapat melakukan
poligami. Begitu juga ketika anak perempuan dalam keluarga melakukan
kesalahan, seorang bapak tidak akan memarahi langsung ke anak perempuannya
melainkan ibu dalam keluarga yang menjadi ”pelampiasan” amarahnya (Tarigan,
2009). Wanita Karo juga tidak berhak memiliki suara dalam memberikan
pendapat, wanita hanya menerima apapun keputusan dari pihak pria (Natar, 2004).
Wanita Karo yang sudah menikah memiliki fungsi ganda yang lebih
berat dalam kehidupannya (Tamboen, 1952). Menurut masyarakat Karo, wanita
Karo yang sudah menikah memiliki tugas yaitu mulai dari pagi, mengurus
kehidupan rumah tangga mulai dari memasak, menyapu, mencuci, mengambil air
ke pancuran (tempat mandi terbuka yang jaraknya jauh dari perkampungan),
Universitas Sumatera Utara
24
mengurus anak dan suami, setelah pekerjaan rumah selesai, ia akan berangkat
untuk berladang, mencari nafkah untuk menghidupi keluarga, bekerja mulai dari
pagi hingga sore atau siang hari. Setelah selesai berladang, ia akan kembali
memasak dirumah untuk keluarga (Natar,2004). Selain berladang, wanita Karo
juga sering juga berjualan atau berdagang di pasar tradisional untuk memenuhi
kebutuhan keluarganya (Bangun, 2006).
II.4 Perbedaan Hardiness Antara Pria dan Wanita Karo Penyintas Bencana
Gunung Sinabung
Hardiness merupakan variabel kepribadian yang membuat individu menjadi
lebih kuat, survive, dan optimis dalam menghadapi peristiwa atau kejadian yang
membuat individu menjadi stres. Aspek dari hardiness adalah kontrol, komitmen,
dan tantangan. Individu yang hardiness memiliki keyakinan untuk dapat
mengendalikan kejadian-kejadian hidupnya dengan keterlibatannya dalam
pekerjaan maupun orang-orang didalam hidupnya (komitmen), kemampuan untuk
mengendalikan dirinya (kontrol), serta keyakinan untuk memandang bahwa
kejadian yang terjadi dalam hidup sebagai perubahan untuk mengembangkan diri
menjadi lebih positif (tantangan).
Individu dengan hardiness yang tinggi dalam menghadapi situasi yang
penuh tekanan mereka akan mengubah pola pikir dan tingkah lakunya. Tujuannya
untuk menyelesaikan masalah dengan merestruksi kembali pikiran mereka ke
pemikiran yang positif, memperluas perspektif, mencoba untuk memahami
peristiwa tersebut sebaik mungkin, menentukan tindakan apa yang akan diambil,
dan mencari dukungan emosional. Sedangkan, individu yang memiliki hardiness
Universitas Sumatera Utara
25
yang rendah, dalam menghadapi situasi penuh dengan tekanan akan cenderung
untuk menghindari bahkan mengabaikan kejadian yang terjadi dalam diri mereka.
Gender memainkan peran dalam hardiness. Gender merupakan perbedaan
yang tampak antara pria dan wanita dalam melakukan tugas, tanggung jawab,
fungsi, dan perilaku yang dibentuk oleh nilai sosial dan budaya. Salah satu budaya
di Indonesia yang mempunyai tugas serta tanggung jawab yang tampak berbeda
pada pria dan wanita adalah Suku Karo.
Pada
masyarakat
Karo,
konsep
patriarkhi
yang
dipakai
untuk
menggambarkan sistem gender. Patriarkhi merupakan konsep bahwa pria yang
memegang semua kekuasaan atas peran penting dalam masyarakat dan juga, pria
Karo lebih dominan sehingga mampu untuk mengontrol wanita. Masyarakat Karo
percaya bahwa pria Karo berfungsi sebagai penjaga nama baik keluarga dan
sebagai pelindung bagi saudara perempuan, menjadi ketua adat, pembicara utama
dan pembuat keputusan dalam suatu musyawarah atau acara adat, pernikahan,
hukum, warisan, silsilah keluarga, tempat tinggal, hak atas kepemilikan harta atau
tanah orangtua.
Jika dalam suatu keluarga memiliki anak laki–laki, maka orangtua akan
memanjakan dan menomor satukan anak lakinya dibanding dengan anak
perempuan dalam keluarga. Pria Karo diharuskan untuk mencari nafkah, tetapi
yang ditemukan pria Karo hanya duduk di kedai kopi menghabiskan waktu
bersama teman daripda bekerja membantu istri. Pria Karo sejak kecil diajarkan
untuk mengenai pentingnya melestarikan kebudayaan dan marganya serta
bertanggung jawab sebagai penerus keluarga.
Universitas Sumatera Utara
26
Wanita Karo dari kecil terbiasa untuk mengurus rumah tangga seperti
membantu ibu menyuci, memasak, membersihkan rumah, mengurus adik. Wanita
Karo yang sudah menikah memiliki tugas yaitu mulai dari pagi, mengurus
kehidupan rumah tangga mulai dari memasak, menyapu, mencuci, mengambil air
ke pancuran (tempat mandi terbuka yang jaraknya jauh dari perkampungan),
mengurus anak dan suami, setelah pekerjaan rumah selesai, ia akan berangkat
untuk berladang, mencari nafkah untuk menghidupi keluarga, bekerja mulai dari
pagi hingga sore atau siang hari. Selain berladang, wanita Karo juga sering juga
berjualan atau berdagang di pasar tradisional untuk memenuhi kebutuhan
keluarganya. Dengan beban berat yang harus dijalani oleh wanita Karo, membuat
wanita Karo dituntut untuk lebih kuat dan tangguh dalam menghadapi masalah.
Akibat meletusnya Gunung Sinabung, membuat masyarakat Karo yang
berada dalam area berbahaya harus mengungsi ke posko pengungsian. Dalam
keseharian yang dilakukan para penyintas tidak jauh berbeda dengan tugas dan
fungsinya antara pria dan wanita Karo sebelum berada di posko pengungsi. Baik
penyintas pria maupun penyintas wanita Karo yang berada di posko pengungsi
sudah mulai bersabar, tetap berusaha keras bekerja untuk memenuhi kebutuhan
keluarga dan sekolah anak, kurang menyenangi kehiudupan selama berada di
posko pengungsian, menyadari ada makna atau hikmah yang didapat akibat
meletusnya Gunung Sinabung, walaupun hanya sebahagian saja dari penyintas
pria Karo yang menyadari adanya hikmah yang didapat.
Universitas Sumatera Utara
27
II.5 Hipotesa Penelitian
Berdasarkan penjabaran di atas, maka dirumuskanlah hipotesis dalam
penelitian ini, sebagai berikut “hardiness penyintas wanita Karo lebih tinggi
daripada hardiness penyintas pria Karo”.
Universitas Sumatera Utara