Hubungan Self Efficacy Dengan Prokrastinasi Akademik Pada Mahasiswa USU yang Sedang Menyusun Skripsi

BAB II
LANDASAN TEORI
A. Self Efficacy
1.

Pengertian Self Efficacy
Self efficacy merupakan salah satu kemampuan pengaturan diri
individu. Konsep self efficacy pertama kali dikemukakan oleh
Bandura. Self efficacy mengacu pada persepsi tentang kemampuan
individu untuk mengorganisasi dan mengimplementasi tindakan
untuk menampilkan kecakapan tertentu (Bandura, 1986). Baron dan
Byrne (2004) mendefinisikan self efficacy sebagai evaluasi seseorang
mengenai kemampuan atau kompetensi diri dalam melakukan suatu
tugas, mencapai tujuan, atau mengatasi suatu masalah.
Alwisol (2007) menyatakan bahwa self efficacy sebagai persepsi
diri sendiri mengenai seberapa bagus diri dapat berfungsi dalam
situasi tertentu, self efficacy berhubungan dengan keyakinan bahwa
diri memiliki kemampuan melakukan tindakan yang diharapkan.
Kreitner dan Kinicki (2005) berpendapat bahwa self efficacy adalah
keyakinan yang dimiliki oleh seseorang akan peluang keberhasilan
dalam mengerjakan sesuatu. Selain itu Pajares & Schunk (2001) juga

mengatakan bahwa self efficacy sangat penting perannya dalam
mempengaruhi usaha yang dilakukan, seberapa kuat usahanya dan
memprediksi keberhasilan yang akan dicapai.

10
Universitas Sumatera Utara

11

Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa
self-efficacy adalah keyakinan individu dan evaluasi terhadap
kemampuannya dalam mengatur, melaksanakan tindakan untuk
mencapai suatu tujuan.
2.

Dimensi Self efficacy
Bandura (1997) membedakan sel fefficacy menjadi tiga dimensi,
yaitu level, generality, dan strength.
a. Dimensi Level
Dimensi ini mengacu pada derajat kesulitan tugas yang

dihadapi. Penerimaan dan keyakinan seeorang terhadap suatu
tugas berbeda-beda. Persepsi setiap individu akan berbeda
dalam memandang tingkat kesulitan dari suatu tugas Persepsi
terhadap tugas yang sulit dipengaruhi oleh kompetensi yang
dimiliki individu. Ada yang menganggap suatu tugas itu sulit
sedangkan orang lain mungkin merasa tidak demikian.
Keyakinan ini didasari oleh pemahamannya terhadap tugas
tersebut.
b. Dimensi Generality
Dimensi ini mengacu sejauh mana individu yakin akan
kemampuannya dalam berbagai situasi tugas, mulai dari dalam
melakukan suatu aktivitas yang biasa dilakukan atau situasi
tertentu yang tidak pernah dilakukan hingga dalam serangkaian
tugas atau situasi sulit dan bervariasi.

Universitas Sumatera Utara

12

c. Dimensi Strength

Dimensi strength merupakan kuatnya keyakinan seseorang
mengenai kemampuan yang dimiliki ketika menghadapi
tuntutan tugas atau permasalahan. Hal ini berkaitan dengan
ketahanan dan keuletan individu dalam pemenuhan tugasnya.
Self efficacy yang lemah dapat dengan mudah menyerah
dengan pengalaman yang sulit ketika menghadapi sebuah tugas
yang sulit. Sedangkan bila self efficacy tinggi maka individu
akan memiliki keyakinan dan kemantapan yang kuat terhadap
kemampuannya untuk mengerjakan suatu tugas dan akan terus
bertahan dalam usahannya meskipun banyak mengalami
kesulitan dan tantangan.
3.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Self efficacy
Menurut

Bandura

(1997)


ada

beberapa

faktor

yang

mempengaruhi self efficacy, antara lain:
a. Jenis Kelamin
Zimmerman (dalam Bandura, 1997) menyebutkan bahwa terdapat
perbedaan pada perkembangan kemampuan dan kompetensi lakilaki

dan

perempuan.

Laki-laki

berusaha


untuk

sangat

membanggakan dirinya, perempuan sering kali menganggap
remeh kemampuan mereka. Hal ini berasal dari pandangan orang
tua terhadap anaknya. Semakin seorang wanita menerima
perlakuan perbedaan gender ini, maka semakin cenderung rendah

Universitas Sumatera Utara

13

penilaian mereka terhadap kemampuan dirinya. Pada bidang
pekerjaan tertentu para pria memiliki self efficacy yang lebih
tinggi dibanding dengan wanita, begitu juga sebaliknya wanita
lebih cakap dalam beberapa pekerjaan dibandingkan dengan pria.
b. Usia
Individu yang usianya lebih tua tentunya memiliki rentang waktu

dan pengalaman yang lebih banyak dalam menghadapi suatu hal
yang terjadi di hidupnya bila dibandingkan dengan individu yang
usianya lebih muda, yang mungkin masih memiliki sedikit
pengalaman dalam kehidupan. Individu yang lebih tua cenderung
akan lebih mampu dalam mengatasi rintangan dalam hidupnya
dibandingkan dengan individu yang usianya lebih muda.
c. Pendidikan
Individu yang menjalani jenjang pendidikan yang lebih tinggi
biasanya memiliki self efficacy yang lebih tinggi dibandingkan
dengan individu yang tingkat pendidikannya rendah, karena pada
dasarnya mereka lebih banyak belajar dan lebih banyak menerima
pendidikan formal serta akan lebih banyak mendapatkan
kesempatan untuk belajar dalam mengatasi persoalan-persoalan
yang terjadi dalam hidupnya.
d. Pengalaman
Self efficacy terbentuk sebagai suatu proses adaptasi dan
pembelajaran individu dalam kehidupannya. Semakin banyak

Universitas Sumatera Utara


14

pengalaman, maka semakin tinggi self efficacy yang dimiliki
individu tersebut, akan tetapi tidak menutup kemungkinann
bahwa self efficacy yang dimiliki oleh individu tersebut justru
cenderung menurun atau tetap. Hal ini juga sangat tergantung
kepada bagaimana individu menghadapai keberhasilan dan
kegagalan yang dialaminya.
4.

Sumber-Sumber Self efficacy
Menurut Bandura (1997) ada empat sumber penting yang digunakan
individu dalam membentuk self efficacy, yaitu :
a. Mastery experience
Mastery experience adalah prestasi yang pernah dicapai pada
masa lalu. Pengalaman menyelesaikan masalah adalah sumber
yang paling penting mempengaruhi self efficacy seseorang, karena
mastery experience memberikan bukti yang paling akurat dari
tindakan apa saja yang diambil untuk meraih suatu keberhasilan
atau kesuksesan, dan keberhasilan tersebut dibangun dari

kepercayaan yang kuat didalam keyakinan individu. Kegagalan
akan menentukan self efficacy individu terutama bila perasaan
keyakinannya belum terbentuk dengan baik. Jika individu hanya
mengalami keberhasilan/ kesuksesan dengan mudah, individu
akan cenderung mengharapkan hasil yang cepat dan mudah
menjadi lemah karena kegagalan. Padahal beberapa kegagalan
dan rintangan dalam usaha manusia mengajarkan bahwa

Universitas Sumatera Utara

15

kesuksesan

membutuhkan

kerja

keras.


Setelah

individu

diyakinkan bahwa individu tersebut memiliki hal-hal yang
diperlukan untuk mencapai kesuksesan, individu akan berusaha
untuk bangkit dan keluar dari kegagalan, karena self efficacy yang
kuat membutuhkan pengalaman menghadapi rintangan melalui
usaha yang tekun.
b. Vicarious experience
Pengalaman orang lain adalah pengalaman pengganti yang
disediakan untuk model sosial. Mengamati perilaku dan
pengalaman orang lain sebagai proses belajar individu. Melalui
model ini self efficacy individu dapat meningkat, terutama apabila
individu merasa memiliki kemampuan yang setara atau bahkan
merasa lebih baik dari pada orang yang menjadi subjek
belajarnya. Individu akan mempunyai kecenderungan merasa
mampu melakukan hal yang sama. Meningkatkan self efficacy
individu ini dapat meningkatkan motivasi untuk mencapai tujuan
yang diharapkan. Melihat orang lain yang mirip dengan dirinya

berhasil/sukses
kepercayaan

melalui
pengamat

usaha
bahwa

keras

dapat

dirinya

juga

meningkatkan
mempunyai


kemampuan untuk berhasil, dan sebaliknya dengan mengamati
kegagalan orang lain akan menurunkan keyakinan dan usaha dari
individu tersebut.

Universitas Sumatera Utara

16

c. Persuasi verbal
Persuasi

verbal

adalah cara

ketiga

untuk

meningkatkan

kepercayaan seseorang mengenai hal-hal yang dimilikinya untuk
berusaha

lebih

gigih

untuk

mencapai

tujuan

dan

keberhasilan/kesuksesan. Persuasi verbal mempunyai pengaruh
yang kuat pada peningkatan self efficacy individu dan
menunjukkan perilaku yang digunakan secara efektif. Seseorang
mendapat bujukan atau sugesti untuk percaya bahwa dirinya dapat
mengatasi masalah-masalah yang akan dihadapinya. Persuasi
verbal berhubungan dengan kondisi yang tepat bagaimana dan
kapan persuasi itu diberikan agar dapat meningkatkan self efficacy
seseorang. Kondisi individu adalah rasa percaya kepada pemberi
persuasi dan sifatnya realistik dari apa yang dipersuasikan.
Seseorang yang dikenai persuasi verbal bahwa dirinya memiliki
kemampuan untuk menyelesaikan tugas yang telah diberikan,
maka orang tersebut akan menggerakkan usaha yang lebih besar
dan akan meneruskan penyelesaian tugas tersebut.
d. Keadaan fisiologis dan emosional
Situasi yang menekan kondisi emosional dapat mempengaruhi
self efficacy. Gejolak emosi, goncangan, kegelisahan yang
mendalam dan keadaan fisiologis yang lemah yang dialami
individu akan dirasakan sebagai isyarat akan terjadi peristiwa
yang tidak diinginkan, maka situasi yang menekan dan

Universitas Sumatera Utara

17

mengancam akan cenderung dihindari. Ketika melakukan
penilaian terhadap kemampuan pribadi, seseorang tidak jarang
berpegang pada informasi somatic yang ditunjukkan melalui
fisiologis dan keadaan emosional. Individu mengartikan reaksi
cemas, takut, stres

dan ketegangan

sebagai

sifat

yang

menunjukkan bahwa performansi dirinya menurun. Penilaian
seseorang terhadap self efficacy dipengaruhi oleh suasana hati.
Suasana hati yang positif akan meningkatkan self efficacy
sedangkan suasana hati yang buruk akan melemahkan self
efficacy. Mengurangi reaksi cemas, takut dan stress individu akan
mengubah kecenderungan emosi negatif dengan salah interpretasi
terhadap

keadaan

fisik

dirinya

sehingga

akhirnya

akan

mempengaruhi self efficacy yang positif terhadap diri seseorang.
5.

Proses Pembentukan Self Efficacy
Menurut Bandura (1997), proses psikologis dalam self-efficacy yang
turut berperan dalam diri manusia ada 4 yakni proses kognitif,
motivasional, afeksi dan proses pemilihan/seleksi.
a. Proses kognitif
Proses

kognitif

merupakan

proses

berfikir,

termasuk

pemerolehan, pengorganisasian, dan penggunaan informasi.
Kebanyakan tindakan manusia bermula dari sesuatu yang
difikirkan terlebih dahulu. Individu yang memiliki self efficacy
yang tinggi lebih senang membayangkan tentang kesuksesan.

Universitas Sumatera Utara

18

Sebaliknya individu yang self efficacynya rendah lebih banyak
membayangkan kegagalan dan hal-hal yang dapat menghambat
tercapainya kesuksesan (Bandura, 1997). Bentuk tujuan personal
juga dipengaruhi oleh penilaian akan kemampuan diri. Semakin
seseorang mempersepsikan dirinya mampu, maka individu akan
semakin membentuk usaha-usaha dalam mencapai tujuannya dan
semakin kuat komitmen individu terhadap tujuannya (Bandura,
1997).
b. Proses motivasi
Kebanyakan motivasi manusia dibangkitkan melalui kognitif.
Individu memberi motivasi/dorongan bagi diri mereka sendiri dan
mengarahkan

tindakan

melalui

sebelumnya.

Kepercayaan

akan

tahap

pemikiran-pemikiran

kemampuan

diri

dapat

mempengaruhi motivasi dalam beberapa hal, yakni menentukan
tujuan yang telah ditentukan individu, seberapa besar usaha yang
dilakukan, seberapa tahan mereka dalam menghadapi kesulitankesulitan dan ketahanan mereka dalam menghadapi kegagalan
(Bandura, 1997).
Menurut Bandura (1997), ada tiga teori motivator, teori
pertama yaitu causal attributions (atribusi penyebab), teori ini
mempengaruhi motivasi, usaha dan reaksi-reaksi individu.
Individu yang memiliki self efficacy tinggi bila menghadapi
kegagalan cenderung menganggap kegagalan tersebut diakibatkan

Universitas Sumatera Utara

19

usaha-usaha yang tidak cukup memadai. Sebaliknya individu
yang

self

efficacy-nya

rendah,

cenderung

menganggap

kegagalanya diakibatkan kemampuan mereka yang terbatas. Teori
kedua outcomes experience (harapan akan hasil), motivasi
dibentuk melalui harapan-harapan. Biasanya individu akan
berperilaku sesuai dengan keyakinan mereka tentang apa yang
dapat mereka lakukan. Teori ketiga goal theory (teori tujuan), di
mana

dengan

membentuk

tujuan

terlebih

dahulu

dapat

meningkatkan motivasi.
c. Proses afektif
Proses afeksi merupakan proses pengaturan kondisi emosi dan
reaksi emosional. Menurut Bandura (1997) keyakinan individu
akan coping mereka turut mempengaruhi level stres dan depresi
seseorang saat mereka menghadapi situasi yang sulit. Persepsi self
efficacy tentang kemampuannya mengontrol sumber stres
memiliki peranan penting dalam timbulnya kecemasaan. Individu
yang percaya akan kemampuannya untuk mengontrol situasi
cenderung tidak memikirkan hal-hal yang negatif. Individu yang
merasa tidak mampu mengontrol situasi cenderung mengalami
level kecemasan yang tinggi, selalu memikirkan kekurangan
mereka, memandang lingkungan sekitar penuh dengan ancaman,
membesar-besarkan masalah kecil, dan terlalu cemas pada hal-hal
kecil yang sebenarnya jarang terjadi (Bandura, 1997).

Universitas Sumatera Utara

20

d. Proses seleksi
Kemampuan individu untuk memilih aktivitas dan situasi tertentu
turut mempengaruhi efek dari suatu kejadian. Individu cenderung
menghindari aktivitas dan situasi yang di luar batas kemampuan
mereka. Bila individu merasa yakin bahwa mereka mampu
menangani

suatu

situasi, maka

mereka

cenderung tidak

menghindari situasi tersebut. Dengan adanya pilihan yang dibuat,
individu kemudian dapat meningkatkan kemampuan, minat, dan
hubungan sosial mereka (Bandura, 1997).

B. Prokrastinasi Akademik
1.

Pengertian Prokrastinasi Akademik
Istilah prokrastinasi pertama kali dicetuskan oleh Brown & Holtzman
(dalam Rumiani, 2006) pada tahun 1967 yang berakar dari bahasa
latin “procrastinare’ yang berarti menunda sampai hari selanjutnya.
Menurut Solomon dan Rothblum (1984) prokrastinasi
adalah penundaan mulai mengerjakan atau penyelesaian tugas yang
disengaja.

Selanjutnya

Solomon

dan

Rothblum

(1984)

mengemukakan bahwa prokrastinasi akademik diartikan sebagai
suatu penundaan yang dilakukan berulang-ulang secara sengaja
pada tugas-tugas akademik dan menimbulkan perasaan tidak
nyaman secara subyetif yang dirasakan oleh individu yang
melakukannya. Burka dan Yuen (2008) menambahkan bahwa

Universitas Sumatera Utara

21

seorang prokrastinator memiliki pandangan bahwa suatu tugas
harus diselesaikan dengan sempurna sehingga ia merasa lebih aman
untuk tidak melakukannya dengan segera. Hal ini terjadi karena
kalau mengerjakan tugas dengan segera akan menghasilkan sesuatu
yang tidak maksimal.
2.

Aspek – Aspek Prokrastinasi Akademik
Ferrari, Johnson, McGown (1995) mengatakan bahwa terdapat
beberapa aspek pada prokrastinasi, diantaranya:
a. Perceived time, seseorang yang cenderung prokrastinasi
adalah orang- orang yang gagal menepati deadline. Mereka
berorientasi

pada

masa

sekarang

dan

tidak

mempertimbangkan masa mendatang. Prokrastinator tahu
bahwa tugas yang dihadapinya harus segera diselesaikan,
tetapi ia menunda-nunda untuk mengerjakannya atau
menunda

menyelesaikannya

jika

ia

sudah

memulai

pekerjaannya tersebut. Hal ini mengakibatkan individu
tersebut gagal memprediksikan waktu yang dibutuhkan untuk
mengerjakan tugas.
b. Intention-action, celah antara keinginan dan tindakan.
Perbedaan antara keinginan dengan tindakan senyatanya ini
terwujud pada kegagalan dalam mengerjakan tugas walaupun
terdapat keinginan untuk mengerjakannya. Ini terkait pula
dengan kesenjangan waktu antara rencana dan kinerja aktual.

Universitas Sumatera Utara

22

Prokrastinator

mempunyai

kesulitan

untuk

melakukan

sesuatu sesuai dengan batas waktu. Seorang individu
mungkin telah merencanakan untuk mulai mengerjakan
tugasnya pada waktu yang telah ia tentukan sendiri, akan
tetapi saat waktunya sudah tiba dia tidak juga melakukan
sesuatu sesuai dengan apa yang telah ia rencanakan sehingga
menyebabkan keterlambatan atau bahkan kegagalan dalam
menyelesaikan tugas secara memadai.
c. Emotional distress, adanya perasaan cemas saat melakukan
prokrastinasi. Perilaku menunda-nunda akan membawa
perasaan tidak nyaman pada pelakunya, konsekuensi negatif
yang ditimbulkan memicu kecemasan dalam diri pelaku
prokrastinasi. Pada mulanya individu tenang karena merasa
waktu yang tersedia masih banyak. Tanpa terasa waktu sudah
hampir habis, ini menjadikan mereka merasa cemas karena
belum menyelesaikan tugas.
d. Perceived ability, atau keyakinan terhadap kemampuan diri.
Walaupun
kemampuan

prokrastinasi
kognitif

tidak

seseorang,

berhubungan
namun

dengan

keragu-raguan

terhadap kemampuan dirinya dapat menyebabkan seseorang
melakukan prokrastinasi. Hal ini ditambah dengan rasa takut
akan gagal menyebabkan seseorang menyalahkan dirinya
sebagai yang tidak mampu, untuk menghindari munculnya

Universitas Sumatera Utara

23

dua perasaan tersebut maka seseorang dapat menghindari
tugas-tugas akademik

karena takut akan pengalaman

kegagalan.
3.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Prokrastinasi Akademik
Berdasarkan

beberapa

kajian

literatur

tentang

faktor-faktor

prokrastinasi, Rumiani (2006) menyimpulkan bahwa terdapat dua
faktor utama yang mempengaruhi prokrastinasi yaitu faktor internal
dan eksternal.
a. Faktor internal adalah faktor-faktor yang berasal dari individu
yang turut membentuk perilaku prokrastinasi yang meliputi
faktor fisik dan psikologis. Faktor fisik meliputi keadaan
fatigue atau seseorang yang kondisi kesehatannya mengalami
lelah memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk melakukan
prokrastinasi. Sedang faktor psikologis yang memengaruhi
prokrastinasi akademik meliputi tingkat kecemasan dalam
berhubungan sosial, rendahnya motivasi dan rendahnya kontrol
diri.
b. Faktor eksternal yaitu faktor yang berasal dari luar individu
dapat berupa tugas yang banyak (overloaded tasks) yang
menuntut penyelesaian yang hampir bersamaan. Hal ini akan
diperparah apabila lingkungan kondusif dalam membentuk
prokrastinasi semisal pada kondisi lingkungan yang rendah
dalam pengawasan.

Universitas Sumatera Utara

24

Menurut Ferrari (1995) prokrastinasi dipengaruhi oleh dua
hal yaitu faktor internal yaitu faktor yang berasal dari dalam diri
seseorang yang salah satunya adalah self efficacy dan faktor
eksternal yaitu faktor yang berasal dari luar diri seseorang.
Setiap orang yang melakukan prokrastinasi akademik
memiliki alasan yang berbeda-beda dari takut untuk mengalami
kegagalan hingga memang karena malas saja. Faktor internal
memang memiliki potensi yang lebih besar untuk memunculkan
prokrastinasi, namun jika terjadi interaksi antara faktor internal dan
eksternal maka prokrastinasi yang terjadi akan semakin buruk.
4.

Bentuk-Bentuk Prokrastinasi Akademik
Solomon dan Ruthblum (1984) mengemukakan bahwa prokrastinasi
akademik terdiri dari beberapa bentuk, yakni sebagai berikut:

a. Berupa

penundaan

mengerjakan

tugas

mengarang,

meliputi

penundaan melaksanakan kewajiban atau tugas-tugas menulis,
misalnya menulis makalah, membuat laporan, menyusun skripsi, atau
tugas mengarang lainnya.
b. Penundaan belajar menghadapi ujian, mencakup penundaan belajar
untuk menghadapi ujian, misalnya ujian tengah semester dan akhir
semester. Dalam hal ini juga termasuk dalam belajar ketika hanya
mau menghadapi ujian.

Universitas Sumatera Utara

25

c. Penundaan tugas membaca, meliputi adanya penundaan untuk
membaca buku atau referensi yang berkaitan dengan tugas akademik
yang diwajibkan.
d. Penundaan kinerja tugas administratif, misalnya menyalin catatan
pelajaran, membayar SPP, mendaftarkan diri dalam presensi
kehadiran.
e. Penundaan menghadiri pertemuan, penundaan maupun keterlambatan
dalam menghadiri perkuliahan dan pertemuan-pertemuan lainnya.
Dalam hal ini, terlambat masuk kelas juga masuk pada kriteria
prokrastinasi.
f. Penundaan

kinerja

akademis

secara

keseluruhan,

menunda

mengerjakan atau menyelesaikan tugas-tugas akademik secara
keseluruhan.
C. Mahasiswa USU yang Sedang Mengerjakan Skripsi
Mahasiswa berasal dari kata maha yang berarti besar atau tinggi dan siswa
yang berarti pelajar atau dengan kata lain mahasiswa adalah pelajar yang
berada pada strata tertinggi. Berdasarkan peraturan pemerintah RI No. 30
tahun 1990 mahasiswa adalah peserta didik yang terdaftar dan belajar di
perguruan tinggi tertentu. Dalam Kamus Bahasa Indonesia (KBI), mahasiswa
didefinisikan sebagai orang yang belajar di Perguruan Tinggi (Sugiono,
2008). Menurut Siswoyo (2007) mahasiswa dapat didefinisikan sebagai
individu yang sedang menuntut ilmu di tingkat perguruan tinggi, baik negeri
maupun swasta atau lembaga lain yang setingkat dengan perguruan tinggi.

Universitas Sumatera Utara

26

Mahasiswa adalah seseorang yang sedang dalam proses menimba ilmu
ataupun belajar dan terdaftar sedang menjalani pendidikan pada salah satu
bentuk perguruan tinggi yang terdiri dari akademik, politeknik, sekolah
tinggi, institut dan universitas (Hartaji, 2012).
Menurut Pikatan (1997) ada dua unsur penting dalam kegiatan skripsi
(tugas akhir) yaitu meneliti dan membuat tulisan. Slamet (dalam Gunawati,
Hartati, & Listiara, 2006) menyebutkan bahwa banyak mahasiswa yang tidak
mempunyai kemampuan dalam menuangkan ide-ide dalam bentuk tulisan,
prestasi akademis yang kurang memadai, serta kurangnya ketertarikan
mahasiswa pada. Hal ini ditambahkan oleh Riewanto (dalam Gunawati,
Hartati, & Listiara, 2006), bahwa kegagalan dalam penyusunan skripsi juga
disebabkan kesulitan mahasiswa dalam mencari judul, kesulitan mencari
literatur dan bahan bacaan, dana yang terbatas serta kecemasan saat
menghadapi dosen pembimbing.
D. Hubungan Self Efficacy dengan Prokrastinasi Akdemik pada Mahasiswa
Universitas Sumatera Utara yang Sedang Mengerjakan Skripsi
Untuk menyelesaikan pendidikan dan mendapatkan gelar sarjana, seorang
mahasiswa harus membuat skripsi. Skripsi merupakan karya ilmiah yang ditulis
oleh mahasiswa program sarjana pada akhir masa studinya berdasarkan hasil
penelitian, atau kajian kepustakaan, atau pengembangan terhadap suatu masalah
yang dilakukan secara seksama (Darmono dan Hasan, 2002). Skripsi dapat
dijadikan sebagai sebuah bukti kemampuan akademik mahasiswa yang

Universitas Sumatera Utara

27

bersangkutan dalam penelitian yang berhubungan dengan masalah pendidikan
sesuai dengan bidang studinya.
Skripsi bertujuan agar mahasiswa mampu menyusun dan menulis suatu
karya ilmiah, sesuai dengan bidang ilmunya. Mahasiswa yang mampu menulis
skripsi dianggap mampu memadukan pengetahuan dan keterampilannya dalam
memahami, menganalisis, menggambarkan, dan menjelaskan masalah yang
berhubungan dengan bidang keilmuan yang diambilnya. Skripsi merupakan
persyaratan untuk mendapatkan status sarjana (S1) di setiap Perguruan Tinggi
Negeri (PTN) maupun Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang ada di Indonesia.
Menyusun skripsi merupakan salah satu area akademik yang penting
karena menjadi salah satu syarat mahasiswa untuk mendapatkan gelar S1. Namun,
hal ini tetap saja ditunda (Catrunada, 2008). Kecenderungan seseorang dalam
mengerjakan sesuatu disebut dengan istilah prokrastinasi. Secara umum,
prokrastinasi dapat didefinisikan sebagai sebuah kecenderungan perilaku untuk
memulai sesuatu dengan lambat yang dapat membawa akibat atau konsekuensi
yang buruk bagi orang melakukan prokrastinasi (dalam Deyling, 2008).
Penelitian yang dilakukan McCown (dalam Fibriana, 2009) menemukan
bahwa prokrastinasi terkait dengan kecenderungan untuk menunda tugas dan
waktu untuk mengerjakan tugas. Penundaan dilakukan karena perilaku untuk
mengerjakan tugas tidak sesuai dengan niat yang telah ditetapkan, juga karena ada
penundaan niat untuk memulai mengerjakan tugas. Noran (dalam Akinsola, dkk,
2007) menyebutkan bahwa prokrastinasi dilakukan sebagai bentuk penghindaran
dalam mengerjakan suatu tugas yang seharusnya dikerjakan individu tersebut.

Universitas Sumatera Utara

28

Prokrastinasi dalam bidang akademik disebut dengan prokrastinasi
akademik. Ferrari (dalam Gufron,2003) berpendapat bahwa prokrastinasi
akademik adalah jenis penundaan yang dilakukan pada jenis tugas formal yang
berhubungan dengan tugas akademis. Rothblum, Beswick, dan Mann (dalam
Rizki, 2009) menambahkan bahwa prokrastinasi akademik sebagai kecenderungan
melakukan

penundaan

dalam

mengerjakan

tugas-tugas

akademis

dan

kecenderungan individu mengalami kecemasan yang berhubungan dengan
penundaan yang dilakukan.
Penelitian yang dilakukan oleh Muhid (2009) menunjukkan hasil bahwa
aspek-aspek pada diri individu yang mempengaruhi seseorang untuk mempunyai
suatu kecenderungan perilaku prokrastinasi, antara lain rendahnya kontrol diri
(self control), self consciuous, rendahnya self esteem, self efficacy, dan kecemasan
sosial.
Self efficacy merupakan istilah yang dikemukakan oleh Bandura (1997)
untuk mendefinisikan keyakinan akan kemampuan yang dimiliki dalam diri
seseorang dalam mengerjakan suatu tugas. Kreitner dan Kinicki (2005)
berpendapat bahwa self efficacy adalah keyakinan yang dimiliki oleh seseorang
akan peluang keberhasilan dalam mengerjakan sesuatu. Self efficacy merupakan
salah satu aspek pengetahuan tentang diri atau self knowledge yang paling
berpengaruh dalam kehidupan manusia sehari-hari karena self efficacy yang
dimiliki ikut mempengaruhi indifidu dalam menentukan tindakan yang akan
dilakukan untuk mencapai suatu tujuan, termasuk didalamnya perkiraan terhadap
tantangan yang akan dihadapi (Gufron & Wita, 2012).

Universitas Sumatera Utara

29

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dikatakan self efficacy memiliki
hubungan

dalam munculnya prokrastinasi akademik pada mahasiswa yang

sedang mengerjakan skripsi. Self efficacy dapat membuat mahasiswa yakin akan
kemampuan yang mereka miliki dalam menyelesaikan tugas akademiknya.
E. Hipotesa Penelitian
Berdasarkan uraian teoritis dan paradigma penelitian yang telah dijabarkan,
maka peneliti mengajukan suatu hipotesa : “terdapat hubungan yang negatif
antara self efficacy dengan prokrastinasi akademik pada mahasiswa
Universitas Sumatera Utara yang sedang mengerjakan skripsi. Semakin tinggi
self efficacy maka semakin rendah prokrastinasi akademik pada mahasiswa
Universitas Sumatera Utara yang sedang mengerjakan skripsi. Sebaliknya,
semakin rendah self efficacy maka semakin tinggi prokrastinasi akademik
pada mahasiswa Universitas Sumatera Utara yang sedang mengerjakan
skripsi.

Universitas Sumatera Utara