Kewenangan Arbitrase Internasional Dalam Penyelesaian Sengketa Utang Terkait Perjanjian yang Memiliki Klausul Hukum Indonesia (Studi Kasus: Putusan No. 288 B Pdt.Sus-Arbt 2014)

BAB I
PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang
Banyak permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia pada era globalisasi

ini, khususnya dalam hal pertumbuhan ekonomi. Perdagangan merupakan salah
satu bidang yang dapat menunjang kegiatan ekonomi masyarakat selain itu juga
dapat menunjang pertumbuhan serta pembangunan perekonomian nasional. 1 Di
era modern ini, kegiatan perdagangan cakupannya tidak hanya dalam lingkup
nasional yaitu antar subjek dan pihak-pihak orang Indonesia saja tetapi juga dalam
lingkup internasional (antar negara)

yang dapat melibatkan

baik individu

kewarganegaraan lainnya, badan hukum swasta kewarganegaraan lainnya,
maupun pihak pemerintahan negara lainnya. Kegiatan perdagangan yang

tergolong lingkup internasional apabila menyangkut antara:2
1. Suatu negara dengan negara lainnya.
2. Antara negara disuatu pihak dengan individu di lain pihak.
3. Antara negara di suatu pihak dengan organisasi atau badan hukum di lain
pihak.
4. Antara lembaga swasta atau individu disuatu pihak dengan lembaga swasta
atau individu di pihak lainnya.

1

Hetty Hassanah, Penyelesaian Sengketa Perdagangan Melalui Arbitrase Secara
Elektronik ( Arbitrase On Line ) Berdasarkan Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, http://ejournal.sthb.ac.id (diakses pada tanggal 24
November 2015) .
2
J.G.Starke, Introduction to International Law (Ninth Edition) (London: Butterworth &
Co Publishers Ltd, 1984), hlm.463.

Universitas Sumatera Utara


Perkembangan masyarakat serta laju dunia bisnis saat ini berlangsung
demikian pesat dimana dapat ditandai dengan lahirnya berbagai macam perjanjian
multilateral dan bilateral maupun pembentukan blok-blok ekonomi yang menjurus
kepada kondisi borderless dalam dunia perdagangan. 3 Perkembangan pesat
perdagangan dunia ini tidak menutup kemungkinan akan terjadinya sengketa yang
disebabkan oleh wanprestasinya salah satu pihak atas perjanjian yang telah
disepakati bersama. Dinamika dan kepesatan yang terjadi dalam kegiatan ekonomi
dan bisnis itu ternyata telah membawa implikasi yang cukup mendasar terhadap
pranata maupun lembaga hukum.4 Dengan demikian, sebagai salah satu negara
eksis di dunia, Indonesia harus menyesuaikan hukumnya dengan sistem hukum
yang berlaku didunia.5 Berbagai upaya dilakukan untuk membaharui substansisubstansi hukum, salah satunya dengan diratifikasinya Konvensi New York 1958,
dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 tentang
Mengesahkan Convention on The Recognition and Enforcement of Foreign
Arbitral Awards 1958 (selanjutnya disebut dengan Keppres Nomor 34 Tahun
1981). Akibat dari menandatangani konvensi ini berarti Indonesia setuju untuk
diikat dalam ketentuan-ketentuan Konvensi New York.
Sementara itu implikasi dari kegiatan bisnis terhadap lembaga hukum
dalam kaitannya dengan penyelesaian sengketa internasional, badan pengadilan
nasional dianggap oleh para pengusaha tertutama pengusaha asing sebagai
lembaga hukum yang kurang efektif dan efisien. Ini dikarenakan:


3

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase (Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 2001) , hlm 1.
4
Erman Suparman, Arbitrase dan Dilema Penegakan Keadilan (Jakarta : PT. Fikahati
Aneska, 2012), hlm 1.
5
Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi (Bandung: Books Terrace & Library,
2007)

Universitas Sumatera Utara

1. Penyelesaian sengketa yang dilakukan melalui pengadilan di Indonesia
memakan waktu yang lama dengan prosedur yang panjang dengan tata cara
peradilan yang terstruktur.
2. Biaya yang besar.
3. Pengadilan bersifat terbuka yang berarti pemeriksaan perkara dilakukan dalam
sidang yang terbuka untuk umum, jadi kerahasian para pihak yang bersengketa

tidak terjamin.
4. Hakim yang memeriksa perkara cenderung lebih menguasai hukum negaranya
sendiri dibanding hukum negara lainnya (subjektifitas).
5. Mengenal adanya tingkatan pemeriksaan perkara, dimana sering disalah
gunakan oleh pihak yang kalah untuk mengulur-ulur pelaksanaan putusan
hakim yang dijatuhkan kepadanya.6
Rendahnya kesadaran hukum juga ikut mempengaruhi, dimana para pihak
yang berperkara di pengadilan bukan untuk mencari keadilan melainkan untuk
memenangkan perkara. Karenanya, tidak jarang terdengar ada pihak yang tidak
mau melaksanakan putusan pengadilan, biasanya mereka merupakan pihak yang
dikalahkan.7
Dunia perdagangan mengenal bentuk penyelesaian sengketa non litigasi
yang merupakan penyelesaian sengketa diluar pengadilan, yang dapat memberi
rasa keadilan bagi para pihak. Penyelesaian sengeketa non litigasi tersebut
diantaranya meliputi: negosiasi, konsoliasi, mediasi, dan arbitrase. Dari keempat
penyelesaian sengketa alternatif non litigasi diatas, hanya penyelesaian sengketa

6

BPHN, Analisis dan Evaluasi Hukum Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase

(Undang – Undang Nomor 30 tahun 1999), (Jakarta: BPHN)
7
Sri Soemantri, dkk, Prospek dan Pelaksanaan Arbitrase di Indonesia (Bandung : PT.
Citra Aditya Bakti, 2001), hlm 5

Universitas Sumatera Utara

melalui arbitrase yang keputusannya bersifat mengikat dan final, yang berarti
tidak dapat diajukan banding maupun kasasi terhadap putusan yang telah
dikeluarkan oleh badan arbitrase tersebut.
Negosiasi dapat dilakukan secara langsung tanpa menyertakan pihak
ketiga (simpliciter negotiation) maupun dengan bantuan pihak ketiga yang
selanjutnya berkembang dalam bentuk mediasi dan konsoliasi. Sedangkan
arbitrase adalah mekanisme yang dilakukan dengan bantuan pihak ketiga
(arbitrator) yang ditunjuk dan diberi wewenang oleh para pihak.8
Arbitrase adalah salah satu alternatif penyelesaian sengketa bisnis yang
populer digunakan karena penyelesaian melalui arbitrase ini lebih diminati karena
sifat kerahasian para pihak hasil putusannya tidak dipublikasikan9, serta putusan
yang dihasilkan bersifat final dan mengikat. Arbitrase menjadi pilihan forum
penyelesaian sengketa yang paling diminati dikarenakan oleh berbagai

kelebihannya tersebut.
Indonesia sejak lama telah mengenal arbitrase, terbukti dari adanya
berbagai peraturan yang mengatur tentang arbitrase yang sudah ada sejak zaman
masa Hindia Belanda. Peraturan arbitrase di Indonesaia yang digunakan pada
masa Hindia belanda terdiri dari: Pasal 377 HIR (Herziene Inlandsch Reglement)
yang berlaku di pulau Jawa dan Madura, Pasal 705 RBG (Rechsreglement voor de
Buitengewesten) yang berlaku bagi daerah di luar pulau Jawa dan Madura dan
Pasal 615 – 651 RV (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering). Setelah
dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa (selanjutnya disebut dengan UU Arbitrase dan
8

Ibid, hlm 4
Suyud Margono, ADR & Arbitrase ( Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum),
selanjutnya disebut dengan Suyud Margono I (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2000), hlm 21
9

Universitas Sumatera Utara

APS), berbagai peraturan terdahulu yang mengatur tentang arbitrase sudah tidak

berlaku lagi. Perkembangan dunia bisnis yang pesat mengharuskan Indonesia
dalam menghadapi pengaruh yang timbul dalam perekonomian dan perdagangan
dan semua aspeknya harus melakukan pembaharuan dalam hukum ekonominya
termasuk juga dalam hal penyelesaian sengketa yang terjadi akibat hubungan
komersial tersebut yang mengakibatkan peraturan arbitrase pada masa Hindia
Belanda tersebut yang sebelumnya dipakai sebagai acuan terhadap arbitrase tidak
sesuai dengan perkembangan zaman lagi. Dengan demikian, yang menjadi dasar
hukum diberlakukannya Arbitrase di Indonesia sekarang adalah UU Arbitrase dan
APS.
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang diasumsikan sebagai
penyelesaian sengketa yang lebih diminati oleh kalangan pengusaha dikarenakan
banyak keungulan dan berisiko kecil dibandingkan dengan pengadilan, ternyata
pada fakta yang ditemukan tidak seperti yang diperkirakan. Sebagaimana
diketahui bahwa arbitrase tidak memiliki “kewenangan publik” untuk dapat
mengeksekusi sendiri terhadap putusan yang sudah dijatuhkan. Dengan demikian,
suatu putusan arbitrase, dimanapun putusan tersebut dijatuhkan akan selalu tidak
memiliki “titel eksekutorial“

10


sebelum putusan tersebut diserahkan dan

didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya pada pengadilan negeri. 11 Bahkan untuk
putusan abitrase internasional ditentukan setelah putusan tersebut diserahkan dan
didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat, dan baru dapat dilaksanakan di Indonesia setelah mempunyai eksekuatur

10

Erman Supraman, Op Cit, hlm.11
Pasal 59 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang UU Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa
11

Universitas Sumatera Utara

dari Pengadilan Jakarta Pusat. 12 Jadi faktanya membuktikan bahwa putusan
arbitrase belum mandiri, belum final, dan belum mengikat. Belum mandiri dapat
dilihat dari ketentuan mengenai “...putusan arbitrase terlebih dahulu harus
diserahkan dan didaftarkan kepada panitera pengadilan negeri,” dengan ancaman

sanksi “...tidak dipenuhinya ketentuan ini berakibat putusan arbitrase tidak dapat
dilaksanakan.”13 Kemudian putusan arbitrase “belum final”, dibuktikan dengan “
Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan secara sukarela, maka putusan
dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan
salah satu pihak yang bersengketa.”14 Jadi, dalam keadaan salah satu pihak tidak
secara sukarela melaksanakan putusan arbitrase, maka forum arbitrase sebagai
pemutus sama sekali tidak mempunyai kewenangan apa pun untuk dapat
melaksanakan putusan yang dijatuhkan agar dapat dilaksanakan oleh pihak yang
menolak untuk melaksanakannya. 15
Disamping itu, agar putusan arbitrase dapat dieksekusi di Indonesia,
pilihan hukum yang disepakati oleh pihak yang bersengketa tidak boleh
melanggar ketertiban umum. Ketertiban umum itu bersifat subjektifitas hakim.
Hakim dapat mempergunakan alasan melanggar ketertiban umum sehingga tidak
dapat dieksekusi apabila bertentangan dengan sendi-sendi azasi hukum, kepatutan
dan kesusilaan serta adat istiadat pada negara tempat dieksekusinya putusan
tersebut. Putusan arbitrase yang ingin dieksekusi di Indonesia juga tidak boleh
mengandung unsur “penyeludupan hukum” yaitu upaya yang dilakukan oleh para
Pasal 67 ayat (1) juncto Pasal 66 huruf „d‟ UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
13

Pasal 59 ayat (1) juncto ayat (4) UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa
14
Pasal 61 UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa
15
Erman Suparman, Op.Cit., hlm.16
12

Universitas Sumatera Utara

pihak dalam suatu kontrak untuk menghindarkan suatu ketentuan hukum yang
bersifat memaksa dengan tujuan guna menghindarkan akibat-akibat hukum yang
tidak dikehendaki maupun untuk mewujudkan suatu tujuan tertentu yang
dikehendaki para pihak dalam perjanjian.
Pilihan hukum (choice of law) dan pilihan kompetensi kewenangan
mengadili (choice of juridiction) turut mendapat peran yang besar dalam hal
terjadinya sengketa disamping pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing
(recognition and enforcement of foreign arbitration award) di Indonesia.
Pada umumnya dalam kontrak bisnis, pada saat terjadinya kesepakatan

dalam suatu perjanjian biasanya tidak dipersoalkan bagaimana penyelesaian
sengketa bagi para pihak kedepannya karena sejak awal tujuan mereka memang
untuk berbisnis dan sama sekali bukan untuk bersengketa. Perhatian utama para
pelaku bisnis adalah pada pemenuhan prestasi atau pelaksanaan hak dan
kewajiban

dari

masing-masing

pihak,

bukan

pada

sengketa

maupun

penyelesaiannya. 16 Akan tetapi dalam kehidupan bisnis banyak peristiwa yang
tidak diduga terjadi. Banyak pelaku bisnis yang kerap membuat perjanjian
penyelesaian sengketa pada saat keadaan antar para pihak dalam perjanjian itu
sudah memburuk, misalnya karena terhambatnya pemenuhan prestasi, yang
setelah hal itu terjadi barulah para pihak berpikir untuk menentukan pilihan
hukum apa dan kompetensi kewenangan pengadilan mana yang akan digunakan
apabila prestasi tersebut tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak.
Demikian pula, dalam hal pembatalan putusan arbitrase Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat diberi kewenangan dalam hal pembatalan putusan arbitrase.

16

Erman Suparman, Op.Cit., hlm.8

Universitas Sumatera Utara

Ketentuan ini diatur dalam Pasal 70 UU Arbitrase dan APS mengatur bahwa
putusan arbitrase dapat diajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut
diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut:17
1. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan
dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;
2. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang
disembunyikan oleh pihak lawan;
3. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak
dalam kontrak.
Putusan dari badan arbitrase dapat diajukan pembatalan, akan tetapi
menurut sifatnya dan kesepakatan umum oleh para pihak dalam kontrak, tidak
dimungkinkan untuk diajukan banding. Tidak adanya “kesepakatan” bersama oleh
para pihak untuk membawa penyelesaian sengketa utang pada badan arbitrase
internasional dan telah sepakatnya kedua belah pihak untuk

menyelesaikan

sengketa utangnya dengan menggunakan hukum Indonesia. Menurut Article V
Konvensi New York terhadap putusan yang dihasilkan oleh arbitrase Internasional
itu dapat ditolak pelaksanaannya serta pengakuannya juga tidak diterima. 18
Sementara, menurut UNCITRAL terhadap tidak adanya “kesepakatan” untuk
membawa penyelesaian sengketa pada arbitrase, maka terhadap itu dapat diajukan
pembatalan.19
Masalah penyelesaian sengketa perdagangan melalui forum arbitrase
selalu menarik perhatian kalangan pengusaha sampai saat ini. Berdasarkan uraian

17

Pasal 70 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa
18
19

Article V New York Convention 1958
Pasal 34 ayat (2) UNCITRAL MODEL LAW

Universitas Sumatera Utara

diatas, penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan yang berkaitan dengan
Kewenangan Arbitrase Internasional dalam Penyelesaian Sengketa Utang yang
Memiliki Klausul Hukum Indonesia (Studi Kasus : Putusan No. 288 B/Pdt.SusArbt/2014). Kasus ini berkaitan dengan badan hukum Singapura (Trasnpac
Capital Pte.Ltd) sebagai Tergugat yang memberikan fasilitas obligasi kepada
badan hukum Indonesia (PT.Sumber Subur Mas) sebagai Penggugat pada tanggal
30 Juni 1994 sebesar US$ 12.296.000 (dua belas juta dua ratus sembilan puluh
enam ribu dolar Amerika Serikat). Karena terjadinya krisis ekonomi yang
menimpa Negara Indonesia pada tahun 1998, mengakibatkan Penggugat I
(PT.Sumber Subur Mas) sulit mengembalikan kewajibannya pada para Tergugat.
Akibat dari kesulitan dalam melunaskan obligasi tersebut, pada tanggal 16
Oktober 2000, para Tergugat dan Penggugat I (PT.Sumber Subur Mas),
Penggugat II selaku Direktur dan Pemegang Saham PT.Sumber Subur Mas serta
Penggugat III selaku Komisaris dan Pemegang Saham PT.Sumber Subur Mas
telah mengadakan kesepakatan dalam menyelesaikan hutang penggugat I kepada
para Tergugat sebagaimana tertuang dalam Akta Perjanjian Penyelesaian Hutang
Nomor 73, yang dibuat di hadapan Darbi,S.H., Notaris di Jakarta, dan seandainya
–quad non- para Penggugat lalai memenuhi kewajibannya sebagaimana tercantum
dalam akta tersebut, maka berdasarkan ketentuan Pasal 12 ayat (6) dan Pasal 13
Akta tersebut, penyelesaiannya harus diselesaikan menurut hukum Indonesia di
Pengadilan Negeri. Sesuai dengan kesepakatan tersebut, para penggugat telah
membayar

tanda

kesungguhan

kepada

para

Tergugat

sebesar

Rp.

2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan menyerahkan 2 (dua) bidang tanah
berikut bangunan sebagaimana yang tercantum dalam Sertifikat Hak Milik Nomor

Universitas Sumatera Utara

656/Dukuh seluas 342 m2 atas nama Penggugat ke III (Imelda Irawan) dan
Sertifikat Hak Milik Nomor 756/Dukuh, seluas 167 m 2 atas nama Penggugat II
(Yusman Tamara) dan juga telah membayar tanda kesungguhan kepada para
Tergugat melalui kuasanya di Indonesia sebesar Rp.8.750.000.000,00 (delapan
miliar tujuh ratus lima puluh juta rupiah). Akan tetapi, karena adanya kelalaian
kewajiban pembayaran lanjutan yang dilakukan oleh para Penggugat, maka para
Tergugat telah membawa penyelesaian masalah tersebut melalui The Singapore
International Arbitration Centre (SIAC) yang dimana seharusnya penyelesaian
atas sengketa utang yang lalai tersebut diperjanjikan penyelesaiannya harus
menggunakan hukum Indonesia dan dilaksanakan pada pengadilan Indonesia.
Oleh karena itu, para pihak Penggugat mengajukan pembatalan keputusan
arbitrase internasional yang dihasilkan oleh

SIAC tersebut pada Pengadilan

Negeri.

B.

Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat ditarik suatu rumusan

masalah sebagai berikut:
1.

Bagaimanakah pengakuan hukum nasional terhadap putusan arbitrase
internasional?

2.

Apakah pengadilan di Indonesia memiliki yuridiksi untuk mengadili perkara
pembatalan terhadap putusan arbitrase internasional?

3.

Bagaimanakah penerapan hukum dalam Putusan No 288 B/ Pdt.SusArbt/2014?

Universitas Sumatera Utara

C.

Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, tujuan dari pembahasan dalam
skripsi ini dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui ketentuan- ketentuan yang harus dipenuhi yang menjadi
syarat agar putusan arbitrase internasional diakui dan dapat dilaksanakan
di Indonesia.
b. Untuk mengetahui negara mana yang berwenang dalam hal pembatalan
putusan arbitrase internasional
c. Untuk mengetahui apakah arbitrase internasional memiliki kewenangan
dalam penyelesaian sengketa utang terkait perjanjian utang yang memiliki
klausul hukum indonesia (Studi Kasus: Putusan No. 288 B/Pdt.SusArbt/2014)
2. Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan yang diharapkan diperoleh dari skripsi ini adalah
sebagai berikut:
a. Secara teoritis
Secara teoritis, pembahasan terhadap masalah yang diangkat dan dibahas
diharapkan akan memberikan pandangan dan pemahaman dalam hal penyelesaian
sengketa komersial terutama bagi kalangan pengusaha yang melakukan kegiatan
bisnis antar negara. Dalam era globalisasi ini, tidak jarang terjadi perdagangan
yang dilakukan antar negara dimana tidak terelakkan juga apabila kedepannya
terjadi sengketa antara para pihak apabila salah satu pihak tidak dapat memenuhi
prestasinya.

Universitas Sumatera Utara

b. Secara praktis
Secara praktis skripsi ini diharapkan dapat memberi masukan bagi
pembaca terutama bagi para pelaku usaha yang melakukan perdagangan antar
negara agar lebih memahami penyelesaian sengketa bisnis melalui arbitrase,
khusunya mengenai pelaksanaan putusan arbitrase, pembatalan putusan arbitrase
serta wewenang arbitrase terhadap suatu sengketa utang yang telah memiliki
perjanjian terhadap hukum negara mana dan lembaga yang akan dipakai dalam
menyelesaikan sengketa utang tersebut.

D.

Keaslian Penulisan
Penulisan ini dilakukan atas ide dan pemikiran dari penulis sendiri atas

masukan yang berasal dari berbagai pihak guna membantu penulisan dimaksud.
Sepanjang yang telah ditelusuri dan diketahui di lingkungan Fakultas Hukum
Universitas

Sumatera

Utara,

penulisan

tentang

Kewenangan

Arbitrase

Internasional dalam Penyelesaian Sengketa Utang Terkait Perjanjian yang
Memiliki Klausul Hukum Indonesia (Studi Kasus: Putusan No. 288 B/ Pdt.SusArbt/2014) , belum pernah ditulis oleh penulis lainnya.
Adapun judul yang ada di perpustakaan Universitas Sumatera Utara antara
lain :
1. Setiawan Karnolis La‟ia, mahasiswa fakultas Hukum USU, dengan judul
skripsi Tinjauan yuridis terhadap penyelesaian sengketa dalam kontrak dagang
internasional, ditulis pada tahun 2010.

Universitas Sumatera Utara

2. Ayu Lestari, mahasiswa fakultas Hukum USU, dengan judul skripsi
Mekanisme penyelesaian sengketa melalui GATT dan WTO ditinjau dari segi
hukum penyelesaian sengketa secara damai, ditulis pada tahun 2007.
3. Anita Serbia Nababan, mahasiswa fakultas Hukum USU, dengan judul skripsi
Klausula arbitrase dalam kontrak bisnis, ditulis pada tahun 2005.
4. Hans K. Gozali, mahasiswa fakultas Hukum USU dengan judul skripsi
UNIDROIT sebagai prinsip bagi investo dalam melakukan kontrak bisnis
internasional, ditulis pada tahun 2012.
Dengan demikian, jika dilihat kepada permasalahan yang ada dalam
penulisan ini, maka dapat dikatakan bahwa penelitian ini merupakan karya ilmiah
yang asli, bila dikemudian hari ditemukan judul yang sama, maka dapat
dipertanggungjawabkan sepenuhnya.

E.

Tinjauan Pustaka

1. Arbitrase
Pasal 1 angka 1 UU Arbitrase dan APS menyatakan bahwa yang dimaksud
dengan Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar
peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara
tertulis oleh para pihak yang bersengketa.20
Pemaparan dari definisi arbitrase pada pasal 1 ayat 1 diatas, dapat
diketahui bahwa arbitrase adalah suatu penyelesaian sengketa berdasarkan
kesepakatan dari para pihak yang dituangkan dalam suatu perjanjian tertulis
melalui suatu badan peradilan swasta diluar pengadilan umum.
20

Pasal 1 angka 1 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa

Universitas Sumatera Utara

“Kesepakatan”, perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak
berdasarkan asas kesepakatan berarti bahwa mereka (pihak yang bersengketa)
telah memilih lembaga arbitrase untuk bersengketa. Kesepakatan pada perjanjian
arbitrase ini juga berarti bahwa pada dasarnya telah disetujui oleh para pihak
secara bersama-sama/tanpa paksaan mengenai cara penyelesaian sengketa antar
para pihak melalui arbitrase apabila terjadi sengketa di kemudian hari maupun
pada sengketa yang telah terjadi. Apabila para pihak telah bersepakat untuk
menyelesaikan sengketa yang akan terjadi dikemudian hari atau yang telah terjadi
dengan cara abitrase maka kesepakatan yang telah disetujui kedua pihak ini, tidak
bisa dibatalkan oleh salah satu pihak walaupun kontrak tersebut telah berakhir,
perjanjian penyelesaian sengketa dengan arbitrase masih tetap berlaku.
“Perjanjian tertulis”, yang berarti perjanjian arbitrase harus dibuat secara
tertulis. Hal ini berkaitan dengan bentuk perjanjian yang dibuat para pihak harus
berbentuk tertulis, mengingat dalam klausul kontrak harus dicantumkan bahwa
para pihak akan memilih arbitrase untuk menyelesaikan sengketa apabila terjadi
diantara mereka. 21 Perjanjian arbitrase harus dalam bentuk tertulis karena
keabsahan suatu bentuk perjanjian arbitrase sangatlah penting. Dari perjanjian
tertulis juga dapat dilihat bentuk arbitrase yang digunakan serta isi dari perjanjian
arbitrase tersebut.
“Badan peradilan swasta diluar peradilan umum” yang disebut juga
dengan lembaga arbitrase. Lembaga arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para
pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu.
Lembaga arbitrase juga dapat memberikan putusan yang mengikat mengenai suatu
21

Susilawetty, Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Ditinjau dalam Perspektif
Peraturan Perundang-Undangan (Jakarta:Gramata Publishing, 2013) , hlm.2

Universitas Sumatera Utara

hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa. 22 Bukan hanya
lembaga arbitrase yang dapat menangani suatu sengketa komersial dan
memberikan putusan terhadapnya dimana putusan tersebut bersifat mengikat,
tetapi arbiter juga dapat menangani suatu sengketa komersial dan memberikan
putusan terhadapnya dimana putusan tersebut bersifat mengikat. Arbiter adalah
seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau yang
ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh lembaga arbitrase, untuk memberikan
putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui
arbitrase.23
2. Arbitrase internasional
Belum ada pengertian yang konkrit dari para sasrjana mengenai apa yang
yang dimaksud dengan arbitrase internasional. Suatu arbitrase dianggap
“internasional” apabila para pihak pada saat dibuatnya perjanjian yang
bersangkutan mempunyai tempat usaha mereka (place of business) di negaranegara yang berbeda. Jika terjadi perselisihan di antara mereka dan mereka
memilih cara penyelesaian melalui arbitrase, maka arbitrase ini tergolong arbitrase
internasional.
Dalam Pasal 1 UNCITRAL Rule dinyatakan bahwa undang-undang ini
diberlakukan untuk apa yang dinamakan International Commercial Arbitration.
Artinya, bahwa UNCITRAL Rule hanya digunakan untuk menyelesaikan
perselisihan-perselisihan commercial yang bersifat internasional, dan suatu
perselisihan akan tergolong perselisihan commercial internasional apabila
beberapa hal terpenuhi.
22

Dari ketentuan Pasal 1 UNICITRAL Rule tersebut

Pasal 1 angka 8 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa

23

Pasal 1 angka 7 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Alternatif dan Penyelesaian Sengketa

Universitas Sumatera Utara

disimpulkan bahwa suatu arbitrase adalah internasional, jika meliputi syarat-syarat
berikut ini:24
a. Apabila pihak yang membuat klausul arbitrase atau perjanjian arbitrase
pada saat membuat perjanjian itu mempunyai tempat usaha di negaranegara yang berbeda;
b. Jika tempat dimana akan dilakukannya arbitrase (yang ditentukan dalam
perjanjian arbitrase) terletak di luar negara tempat usaha para pihak. Jadi,
meskipun mereka memiliki tempat usaha yang sama dalam suatu negara,
tetapi karena memilih tempat penyelesaian perselisihan di negara yang
berbeda dengan tempat usaha mereka, maka arbitrase tersebut akan
tergolong arbitrase internasional;
c. Bila tempat dimana bagian yang terpenting kewajiban atau hubungan
dagang dari para pihak harus dilaksanaan atau tempat dimana objek
sengketa paling erat hubungannya memang teletak diluar negara tempat
usaha para pihak;
d. Apabila para pihak secara tegas menyetujui bahwa objek perjanjian
arbitrase mereka ini berhubungan dengan lebih dari satu negara.
Dari yang diuraikan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa cara yang
menunjukkan suatu arbitrase dapat disebut internasional adalah sebagai berikut: 25
1) Internasional menurut badan arbitrasenya
Dikatakan internasional menurut badan arbitrasenya jika didalam klausul
arbitrase para pihak memilih badan arbitrase internasional untuk
menyelesaikan perselisihan mereka.
24

H.Sudiarto & Zaeni Asyhadie, Mengenali Arbitrase ( Salah Satu Alternatif
Penyelesaian Sengketa Bisnis) (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2004), hlm.131
25
Ibid, hlm. 133

Universitas Sumatera Utara

2) Internasional menurut struktur prosedur
Umumnya arbitrase internasional dilaksanakan di dalam suatu negara.
Akan tetapi, adakalanya terlepas dari sistem, struktur atau prosedur hukum
negara dimana arbitrase itu akan dilakukan. Tata cara atau prosedur
persidangannya dan lain-lainnya dilaksanakan menurut atau sesuai dengan
ketentuan yang disepakati oleh mereka yang terlibat. Jika mereka sepakat
untuk menggunakan struktur atau prosedur suatu badan arbitrase yang
berada di luar negara dimana persidangan arbitrase itu dilaksanakan,
arbitrase ini tergolong arbitrase internasinal.
3) International menurut subjeknya
Suatu arbitrase dapat pula dikatakan arbitrase internasional jika subjeksubjek yang terkait berbeda kewarganegaraan/domisili.
4) Internasional menurut faktanya
Suatu

arbitrase

dapat

juga

dikatakan

internasional

berdasarkan

hubungannya dengan lebih dari satu yuridiksi badan arbitrase. Hal ini
dapat terjadi meskipun arbitrase ini diorganisasi dan dilaksanakan menurut
hukum nasional dari suatu negara tertentu, tetapi asalkan berhubungan
dengan yuridiksi badan arbitrase dari negara lain (unsur asing), maka dapat
tergolong dalam arbitrase internasional.
Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak
memberikan pengertian tentang arbitrase internasional. Kendati demikian pada
Pasal 1 angka 9 UU Arbitrase dan APS disebutkan tentang Putusan Arbitrase
Internasional yang didefinisikan sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

“Putusan arbitrase internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu
lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik
Indonesia, atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan
yang menurut ketentuan hukum Indonesia dianggap sebagai putusan
arbitase Internasional.”
Putusan yang dikeluarkan melalui badan arbitrase sifatnya adalah final
dan mengikat.26 “Final dan Mengikat” berarti terhadap putusan yang dikeluarkan
oleh lembaga arbitrase atau arbiter tidak ada upaya hukum yang berarti tidak
dapat diajukan banding, kasasi, peninjauan kembali. Tetapi terhadap putusan
arbitrase ini, para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila
putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut:27
a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan
dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;
b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan,
yang disembunyikan oleh pihak lawan;
c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu
pihak dalam kontrak.
Ahli-ahli hukum arbitrase Indonesia berpendapat bahwa hukum Indonesia
tidak mengakui kewenangan pengadilan Indonesia untuk membatalkan putusan
arbitrase yang dijatuhkan di negara lain. 28 Jadi pembatalan putusan arbitrase yang

26

Huala Adolf, Arbitrase Komersial Internasional (Jakarta: PT. RajaGravindo Persada,
2002), hlm.15
27
Pasal 70 UU No. 30 Tahun 1999 tantang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa
28
Tin Zuraida, Prinsip Eksekusi Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia (Surabaya :
PT. Wastu Lanas Grafika, 2009), hlm.277

Universitas Sumatera Utara

diatur dalam Pasal 70-72 UU Arbitrase dan APS hanya berlaku untuk arbitrase
internasional
3. Sengketa utang
Utang adalah sesuatu yang dipinjam. Seseorang atau badan usaha yang
meminjam disebut debitur. Entitas yang memberikan utang disebut kreditur. 29
Pengertian utang dalam Undang – Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Pasal 1 angka 6, yaitu :
“kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik
dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung
maupun yang akan timbul dikemudian hari atau kontinjen, yang timbul
karena perjanjian atau Undang-Undang dan wajib dipenuhi oleh debitor dan
bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat
pemenuhannya dari harta kekayaan debitor.”
Perjanjian utang piutang dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(“KUH Perdata”) tidak diatur secara tegas dan terperinci, namun bersirat dalam
Pasal 1754 KUH Perdata, yang menyatakan dalam perjanjian pinjaman, pihak
yang meminjam harus mengembalikan dengan bentuk dan kualitas yang sama
(selanjutnya untuk kemudahan, maka istilah yang dipergunakan adalah “perjanjian
utang piutang”). Pasal 1754 KUH Perdata yang dkutip sebagai berikut:
“Pinjam meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu
memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang
yang habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan
ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang
sama pula.”

29

https://id.wikipedia.org/wiki/Utang (diakses pada tanggal 15 Desember 2015)

Universitas Sumatera Utara

Kesepakatan yang melahirkan hubungan keperdataan dalam hal ini utang
piutang, tentu menjadi undang-undang kepada para pihak sebagaimana dinyatakan
dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut:
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya.”
Sehingga, kesepakatan mengenai hak dan kewajiban para pihak yang
tertuang dalam perjanjian utang piutang tersebut harus dengan iktikad baik
dilaksanakan. Dalam hal tidak ada atau bahkan kesepakatan rinci tidak dituangkan
dalam suatu bentuk tertulis, maka berdasarkan ketentuan Pasal 1319 KUH Perdata
ditegaskan bahwa aturan umum dalam KUH Perdata akan berlaku dan menjadi
aturan yang harus dipatuhi oleh para pihak. Berikut dikutip Pasal 1319 KUH
Perdata sebagai berikut:
“Semua perjanjian, baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang
tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum,
yang termuat didalam bab ini dan bab yang lalu.”
Dengan berpatokan pada KUH Perdata, maka setiap penafsiran, tindakan,
maupun penyelesaian sengketa yang muncul harus dirujuk pada perjanjian utang
piutang dan KUH Perdata. Termasuk untuk menentukan suatu pihak berada dalam
keadaan wanprestasi, yang banyak ahli hukum perdata mengkategorikan
wanprestasi ke dalam 4 (empat) keadaan, yaitu:
a. Sama sekali tidak memenuhi.
b. Tidak tunai memenuhi prestasi.
c. Terlambat memenuhi prestasi.
d. Keliru memenuhi prestasi.

Universitas Sumatera Utara

Sehingga, pihak si berutang dapat dikatakan berada dalam keadaan wanprestasi
apabila telah menerima teguran (sommatie/ingebrekestelling) supaya memenuhi
kewajibannya untuk melunasi utangnya. Hal tersebut diatur dalam Pasal 1238
KUH Perdata yang dikutip sebagai berikut:
“Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan
sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya
sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap lalai
dengan lewatnya waktu yang ditentukan.30”
Teguran untuk segera memenuhi kewajiban untuk melunasi utang tersebut
apabila tidak diindahkan dapat menimbulkan problematika yang disebut juga
dengan sengketa.
Sengketa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dapat diartikan sebagai:
a.

sesuatu

yang

menyebabkan

perbedaan

pendapat;

pertengkaran;

pembantahan;
b.

pertikaian; perselisihan;

c.

perkara ( pengadilan).31
Sengketa utang adalah perselisihan yang terjadi diantara para pihak karena
lalai dipenuhinya kewajiban untuk memenuhi prestasinya oleh satu pihak
dimana telah diberi teguran oleh pihak lainnya.

4. Klausul Hukum Indonesia
Klausula (clause) adalah catatan tambahan pada suatu kontrak atau akta
yang biasanya mengandung suatu pernyataan khusus.

32

Sementara, yang

30

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl5475/bolehkah-memakai-jasa-polisiuntuk-penagihan-utang (diakses pada 15 Desember 2015)
31
http://kbbi.web.id/sengketa (diakses pada tanggal 15 Desember 2015)
32
Subekti, Kamus Hukum (Jakarta: Penerbit Pradyana Paramita,1971), hlm.31

Universitas Sumatera Utara

dimaksud dengan isi klausul arbitrase adalah mengenai hal-hal yang boleh
dicantumkan dalam perjanjian arbitrase. Penggunaan istilah klausul arbitrase
mengandung konotasi bahwa perjanjian pokok yang bersangkutan diikuti atau
dilengkapi dengan persetujuan mengenai pelaksanaan arbitrase. 33
Klausul arbitrase dalam sebuah perjanjian pada umumnya secara spesifik
memberi para pihak kekuasaan yang besar berkaitan dengan berbagai aspek.
Klausul arbitrase mungkin menunjuk sebuah badan arbitrase tertentu, lokasi
arbitrase berlangsung, hukum dan aturan-aturan yang akan digunakan, kualifikasi
para arbiter, dan bahasa yang akan dipakai dalam proses arbitrase. 34 Klausul
hukum Indonesia berarti perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak jika
terjadi sengketa ke depannya, hukum yang akan digunakan untuk menyelesaikan
sengketa tersebut adalah hukum Indonesia.
5. Kewenangan arbitrase
Wewenang dapat diartikan sebagai:
a.

Hak dan kekuasaan untuk bertindak.

b.

Kekuasaan untuk membuat keputusan, memerintah dan melimpahkan
tanggung jawab kepada orang lain.35
Kewenangan

berarti

hak/kekuasaan

yang

dimiliki

oleh

seseorang/badan/negara untuk mengeluarkan perintah, mengatur, membuat
keputusan, kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum tertentu yang dapat
menimbulkan akibat hukum tertentu, menjalankan tugas dan melimpahkan
tanggung jawab yang dimiliki kepada pihak lainnya.

33

Suyud MargonoI , Op.Cit., hlm.117
Ibid
35
http://kbbi.web.id/wenang (diakses tanggal 15 Desember 2015)
34

Universitas Sumatera Utara

Kewenangan arbitrase berarti hak/kekuasaan yang dimiliki oleh lembaga
arbitrase baik bersifat nasional maupun internasional untuk memeriksa dan
membuat keputusan yang bersifat final dan binding terhadap suatu perkara yang
telah disepakati oleh para pihaknya untuk diselesaikan pada lembaga arbitrase
yang telah dipilih sebelum/setelah sengketa terjadi.
Putusan yang dikeluarkan melalui badan arbitrase sifatnya adalah final
dan mengikat.36 “Akhir dan Mengikat” berarti terhadap putusan yang dikeluarkan
oleh lembaga arbitrase atau arbiter tidak ada upaya hukum yang berarti tidak
dapat diajukan banding, kasasi, peninjauan kembali.

F.

Metode Penelitian
Menurut Soerjono Soekanto, penelitian dimulai ketika seseorang berusaha

untuk memecahkan masalah yang dihadapi secara sistematis dengan metode lab
teknik tertentu yang bersifat ilmiah, artinya bahwa metode atau teknik yang
digunakan tersebut bertujuan untuk satu atau beberapa gejala dengan jalan
menganalisanya dan dengan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta tersebut
untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas masalah-masalah yang
ditimbulkan faktor tersebut.37
1. Jenis dan sifat penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
penelitian hukum normatif yang merupakan prosedur penelitian ilmiah untuk
menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.
Logika keilmuan yang juga dalam penelitian hukum normatif dibangun
36

Huala Adolf, Op.Cit, Hlm.15
Khudzaifah Dimyati & Kelik Wariono, Metode Penelitian Hukum (Surakarta:
Universitas Muhammadiyah Surakata,2004), hlm.1
37

Universitas Sumatera Utara

berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu
hukum yang objeknya hukum itu sendiri. Digunakannya penelitian hukum
normatif ini

karena penelitian ini hanya ditujukan pada peraturan-peraturan

tertulis sehingga penelitian ini sangat erat hubungannya pada perpustakaan karena
akan membutuhkan data-data yang bersifat sekunder pada perpustakaan.
Penelitian hukum normatif ini meneliti asas-asas hukum, sistematika hukum,
sumber-sumber hukum, penjelasan umum dan penjelasan setiap pasal peraturan
perundang-undangan, formalitas dan kekuatan mengikat suatu undang-undang,
bahasa yang digunakan adalah bahasa hukum , serta keputusan pengadilan.
Sifat penelitian bersifat deskriptif dan penelitian studi kasus. Menurut
Sugiyono menyatakan bahwa metode deskriptif adalah suatu metode yang
digunakan untuk menggambarkan atau menganalisis suatu hasil penelitian tetapi
tidak digunakan untuk membuat kesimpulan yang lebih luas. 38
2. Data penelitian
Untuk melengkapi penulisan skripsi ini agar tujuannya dapat terarah dan
dapat dipertanggungjawabkan, digunakan metode penelitian hukum normatif
dengan pengumpulan data secara studi kepustakaan (Library Research). Sumber
data yang diperoleh dari penelitian ini diperoleh dari:
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer adalah dokumen peraturan yang mengikat dan
ditetapkan oleh pihak yang berwenang. 39 Bahan-bahan hukum yang
mengikat, yakni:

38

http://www.informasi-pendidikan.com/2013/08/penelitian-hukum-normatif.html
(diakses pada tanggal 15 Desember 2015)
39
Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Yogyakarta: Liberty,1988), hlm. 19

Universitas Sumatera Utara

1) Kitab Undang – Undang Hukum Perdata
2) Undang-Undang Arbitrase dan APS
3) Konvensi New York 1958 diratifikikasi dengan Keppres No. 34 tahun
1981;
4) Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1990 Tentang Tata cara
Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing (selanjutnya disebut dengan
PERMA No 1 Tahun 1990);
5) UNCITRAL Model Law.
b. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder adalah semua dokumen yang merupakan informasi
atau kajian yang berkaitan dengan penelitian ini yang berfungsi untuk
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti: seminarseminar, jurnal-jurnal hukum, majalah-majalah, karya ilmiah dan sumbersumber media elektronik.
c. Bahan hukum tersier
Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap badan hukum primer dan badan hukum sekunder,
seperti : Kamus, Ensiklopedia, dan lain lain.
3. Teknik pengumpulan data
Untuk melengkapi penulisan skripsi ini agar tujuannya dapat terarah dan
dapat dipertanggungjawabkan, digunakan metode penelitian hukum normatif
dengan teknik pengumpulan data secara studi kepustakaan (Library Research).
Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai berikut: 40
40

Ronitijo Hanitijo Sumitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri (Jakarta:
Ghalia Indonesia,1990), hlm.63

Universitas Sumatera Utara

a. Melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya
yang relevan dengan objek penelitian.
b. Melakukan penelusuran kepustakaan melalui artikel-artikel media cetak
maupun

elektronik,

dokumen-dokumen

pemerintah dan

peraturan

perundang-undangan.
c. Mengelompokan data-data yang relevan.
d. Menganalisa data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah
yang menjadi objek penelitian.
4. Analisis data
Penulisan skripsi ini merupakan penelitian deskriptif. Metode penelitian
deskriptif yaitu dengan menuturkan dan menggambarkan apa adanya sesuai
dengan permasalahan yang terjadi. Analisis yang digunakan adalah pendekatan
kualitatif terhadap data sekunder yang didapat. Bahan hukum yang dianalisis
secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian secara sistematis dengan
menjelaskan hubungan antara berbagai jenis bahan hukum, selanjutnya semua
bahan hukum diseleksi dan diolah, kemudian dinyatakan secara deskriptif
sehingga menggambarkan dan mengungkapkan dasar hukumnya, sehingga
memberikan jawaban terhadap permasalahan yang dimaksud. Dari hasil tersebut
kemudian ditarik suatu kesimpulan yang merupakan jawaban atas permasalahan
ini.

G.

Sistematika Penulisan
Untuk menghasilkan karya ilmiah yang baik, maka pembahasannya harus

diuraikan secara sistematis dalam tahapan-tahapan tertentu yang teratur dan

Universitas Sumatera Utara

terbagi dalam bab-bab yang mempunyai masalah tersendiri dan saling
berhubungan antara bab satu dengan yang lainnya.
Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
Bab I tentang pendahuluan dimana didalamnya terurai mengenai latar
belakang penulisan skripsi, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan,
keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan, dan diakhiri dengan
sistematika penulisan skripsi.
Bab II tentang arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa bisnis
internasional, berisikan tentang perihal umum mengenai arbitrase yang didalmnya
berisikan pengertian arbitrase, ciri-ciri arbitrase, jenis-jenis arbitrase, keuntungan
dan kelemahan arbitrase, sifat perjanjian arbitrase, bentuk klausula arbitrase, isi
klausula arbitrase.
Bab III tentang pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia,
berisikan tentang syarat-syarat apa yang harus dipenuhi agar putusan arbitrase
internasional dapat dilaksanakan di Indonesia, pengakuan terhadap putusan
arbitrase internasional di Indonesia, keterkaitan Pengadilan Negeri terhadap
putusan arbitrase Internasional, tahap-tahap pendaftaran dan pencatatan putusan
arbitrase internasional di Indonesia, tahap-tahap pelaksanaan putusan arbitrase
internasional di Indonesia, perbedaan antara penolakan putusan arbitrase
internasional dengan pembatalan putusan arbitrase internasional.
Bab IV tentang pembatalan putusan arbitrase internasional dalam
penyelesaian sengketa utang terkait perjanjian yang memiliki klausul hukum
Indonesia dalam Putusan Perkara No. 288 B/Pdt.Sus-Arbt/2014 ini berisikan
tentang pembatalan putusan arbitrase internasional menurut UNICITRAL Model

Universitas Sumatera Utara

Law, Pembatalan putusan arbitrase internasional berdasarkan UU Arbitrase dan
APS, pihak yang berwenang untuk mengadili perkara sengketa utang yang telah
terkait dengan perjanjian yang memiliki klausul hukum Indonesia, pihak yang
dapat membatalkan putusan arbitrase internasional yang telah dikeluarkan oleh
suatu lembaga arbirase internasional.
Bab V tentang Kesimpulan dan Saran ini berisikan kesimpulan yang
diambil oleh penulis terhadap bab-bab sebelumnya yang telah diambil oleh
penulis terhadap bab-bab sebelumnya yang telah penulis uraikan dan yang ditutup
dengan mencoba memberikan saran-saran yang dianggap perlu dari kesimpulan
yang diuraikan tersebut.

Universitas Sumatera Utara