Peranan Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Perumahan Menurut Undang-Undang No. 30 tahun 1999

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Adolf, Huala, 1993, Arbitrase Internasional, Rajawali Grafindo Persada, Jakarta. Gunawan Widjaya, 2001, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Raja Grafindo Persada,

Jakarta.

Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, 2000, Hukum Arbitrase, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Harahap, Krisna, 2000, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktek serta Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Grafiti Budi Utami, Bandung.

Harahap M. Yahya, 1991, Arbitrase, Pustaka Kartini, Jakarta.

Munir Fuady, 2000, Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis), Citra Aditya Bhakti, Bandung.

Parlindungan, A.P., Komentar Atas Undang-undang Perumahan dan Pemukiman dan Undang-undang Rumah Susun, Mandar Maju, Bandung, 1997.

Purwahid Patrik, Asas Itikad Baik dan Kepatutan Dalam Perjanjian, Badan Penerbit UNDIP, Semarang, 1986.

Rajagukguk Erman, 2001, Arbitrase dalam Putusan Pengadilan, Candra Pratama, Jakarta.

Shirdarta, Hukum Perlindungan Konsumen, Grasindo, Jakarta, 2000. Soekardono, R., 1994, Hukum Dagang Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta. Subekti, R., 1990, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta.

---, 1980, Arbitrase Perdagangan, Bina Cipta, Bandung.

---, Undang-undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 1976. ---, Aneka Perjanjian, Cet. X, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995.


(2)

Suherman, E., Masalah Tanggungjawab pada Charter Pesawat Udara dan Beberapa Masalah Lain di Bidang Penerbangan, Alumni, Bandung, 1976.


(3)

BAB III

ARBITRASE SEBAGAI SALAH SATU PILIHAN HUKUM

A. Pengertian Arbitrase

Arbitrase adalah merupakan salah satu metode penyelesaian sengketa di luar badan peradilan. Pasal 1 angka (1) Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyebutkan bahwa :

Arbitrase ialah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

Dari defenisi yang telah dijabarkan di atas dapat ditarik beberapa karakteristik juridis dari arbitrase tersebut adalah sebagai berikut :

1. Adanya kontroversi diantara para pihak. 2. Kontroversi tersebut diajukan kepada arbiter.

3. Arbiter diajukan oelh para pihak atau ditunjuk oleh badan tertentu. 4. Arbiter adalah pihak di luar Badan Peradilan Umum.

5. Dasar pengajuan sengketa ke arbitrase adalah perjanjian. 6. Arbitrase melakukan pemeriksaan perkra.

7. Setelah memeriksa perkara, arbiter akan memberikan putusan arbitrase tersebut dan mengikat para pihak. 11

11

Munir Fuady, Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis), Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2000, h. 13


(4)

Arbitrase merupkan salah satu metode penyelesaian sengketa, sengketa yang harus diselesaikan tersebut berasal dari sengketa atas sebuah kontrak dalam bentuk sebagai berikut :

1. Perbedaan penafsiran (disputes) mengenai pelaksanaan perjanjian berupa : a. Kontraversi pendapat (controversy).

b. Kesalahan pengertian (misunderstanding). c. Ketidaksepakatan (disagreement).

2. Pelanggaran perjanjian (breach of contract) yang di dalamnya adalah : a. Sah atau tidaknya kontrak.

b. Berlakunya atau tidak kontrak.

3. Pengakhiran kontrak (termination of contract).

4. Klaim mengenai ganti rugi atas wanprestasi atau perbuatan melawan hukum. 12 Arbitrase merupakan suatu pengadilan swasta, yang sering juga disebut dengan pengadilan wasit, sehingga para arbiter dalam arbitrase berfungsi sebagaimana layaknya seorang wasit (referee).

Arbitrase yang diatur dalam Undang-undang No. 30 Tahun 1999 merupakan cara penyelesaian suatu sengketa di luar peradilan umum yang didasarkan atas perjanjian tertulis dari pihak yang bersengketa. Walau demikian tidak semua sengketa dapat diselesaikan melalui arbitrase melainkan hanya sengketa mengenai hak menurut

12


(5)

hukum dikuasai semua atau sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa atas dasar kata sepakat. 13

Bahwa setiap orang atau pihak yang bersengketa berhak untuk menyerahkan penyelesaian sengketa mereka pada seorang atau beberapa orang militan, yang akan menentukan sengketa tersebut menurut asas-asas dan ketentuan-ketentuan yang dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa tersebut. Bahwa mereka berhak untuk melakukan penunjukan itu setelah ataupun sebelum sengketa terbit, penunjukan sengketa lewat arbiter sebelum sengketa terbit dilakukan dengan pencantuman klausula arbitrase dalam perjanjian pokok (pactum compromitendo). Sedangkan penunjukan arbitrase sebagai cara penyelesaian sengketa setelah sengketa terbit dilakukan dengan membuat persetujuan arbitrase (akte kompromis).

Dari pengertian yang diberikan ini tampak bagi kita bahwa arbitrase tidak lain merupakan suatu badan peradilan yang putusannya memiliki sifat final dan mengikat para pihak yang menginginkan penyelesaian perselisihan mereka dilakukan lewat pranata arbitrase. Dalam hal ini para pihak berhak dan berwenang untuk menentukan dan mengangkat sendiri para arbiter yang akan menyelesaikan sengketa, yang berarti pula adanya kewenangan dari para pihak untuk menentukan sendiri cara penyelesaian sengketa yang dikehendaki.

14

13

Gunawan Widjaya, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, h. 5.

14

Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, h. 17.


(6)

dilakukan secara tertulis baik dalam bentuk akta notaris maupun di bawah tangan, serta ditandai tangani oleh para pihak, persetujuan arbitrase tersebut juga harus memuat masalah yang menjadi sengketa, nama-nama dan tempat tinggal para pihak, nama-nama dan tempat tinggal para arbiter, dan jumlah arbiter harus ganjil, jika tidak dipenuhi persetujuan tersebut batal demi hukum.

Sesungguhnya yang namanya arbitrase itu bermacam ragamnya dan pengaturannya berbeda dari satu negara ke negara yang lain, namun demikian dapat disebutkan bahwa suatu arbitrase modern haruslah memiliki syarat-syarat sebagai berikut :

1. Badan Pengadilan Konvensional mengakui yuridiksi badan arbitrase. 2. klausula atau kontrak arbitrase mengikat dan tidak dapat dibatalkan.

3. Putusan arbitrase pada prinsipnya bersifat final dan binding dan hanya dapat ditinjau kembali oleh badan pengadilan konvensional dalam hal-hal yang sangat khusus dan terbatas.

4. badan-badan pengadilan konvensional harus dapat memperlancar tugas arbitrase. 15

Arbitrase merupakan institusi penyelesaian sengketa alternatif yang paling populer dan paling luas digunakan orang dibandingkan dengan institusi berdasarkan sengketa alternatif lainnya. Hal ini disebabkan banyaknya kelebihan dari pada institusi arbitrase ini, kelebihan-kelebihan itu adalah sebagai berikut :

15


(7)

1. prosedur tidak berbelit dan keputusan didapat dalam waktu yang relatif signkat.

2. biaya lebih murah.

3. dapat dihindari ekspose dari keputusan di depan umum 4. hukum terhadap prosedur dan pembuktian lebih relaks.

5. para pihak dapat memilih hukum mana yang akan diberlakukan oleh arbitrase. 6. para pihak dapat memilih sendiri para arbiter.

7. Para pihak dapat memilih sendiri para arbiter dari kalangan ahli dalam bidangnya.

8. keputusan dapat lebih terikat dengan situasi dan kondisi.

9. keputusan arbitrase umumnya dapat diberlakukan dan dieksekusi oleh pengadilan dengan sedikit atau tanpa review sama sekali.

10.keputusan arbitrase umumnya dapat diberlakukan secara final dan binding atau tanpa harus naik banding atau kasasi.

11.prosedur atau prosedur arbitrase lebih mudah dimengerti oleh masyarakat luas.

12.menutup kemungkinan dilakukannya forum shopping. 16

Selain itu institusi yang bersifat nasional bahkan ada yang bersifat internasional. Jumlah dan jenis arbitrase internasional ini banyak diantaranya badan

16


(8)

arbitrase yang dikenal dengan ICSID, yang merupakan badan arbitrase tertua di dunia.

Jika dibandingkan dengan alternatif-alternatif yang lain untuk menyelesaikan sengketa, maka institusi arbitrase merupakan lembaga penyelesaian sengketa yang paling mirip dengan badan pengadilan, terutama jika ditinjau dari prosedur yang berlaku, kekuatan putusannya, keterkaitan hukum yang berlaku atau dengan aturan main yang ada.

Sementara itu yang menjadi pokok-pokok acara dalam prosedur penyelesaian sengketa lewat arbitrase adalah sebagai berikut :

a. Commencament. b. Preliminary meeting.

c. Pleading (points of criams, points of defence and counter claim and points of reply and defense to counter claim).

d. Hearing

e. Award. 17

Menurut Undang-undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999, maka para pihak pemohon (claimant) harus mengajukan surat tuntutan (Statement of Claim), diikuti oleh jawaban (Statement of Defense) dan jika ada tuntutan balasan (Counter Claim Reconventie) dari pihak pemohon (Respondent) selanjutnya diikuti dengan pemanggilan untuk hearing dan pemeriksaan saksi, saksi ahli dan pembuatan lainnya setelah itu arbitrase baru memberikan putusannya. 18

Telah menjadi rahasia bersama bahwa berperkara melalui Pengadilan Negeri acap kali memakan waktu yang relatif lama dimana hakim yang mengadili tidak

17


(9)

hanya berhadapan dengan satu atau dua perkara saja pada waktu yang bersamaan. Dalam prakteknya hakim dihadapkan lebih dari dua, tiga perkara dalam suatu masa tugasnya akibatnya ia harus membagikan prioritasnya dan waktu untuk perkara, perkara mana yang didahulukan dan mana yang tidak terlalu mendesak. Hal ini barang tentu dipengaruhi pula oleh faktor-faktor lain yang mendukung cepat tidaknya proses penyelesaian suatu perkara.

Sehubungan dengan alasan di atas, perlu diperhatikan bahwa banyak Pengadilan Negeri yang tidak mempunyai hakim-hakim yang berkompeten atau yang berspesialisasi hukum hingga karena keadaan ini pula mengapa para pihak lebih suka cara penyelesaian lewat arbitrase, selain itu dengan dikeluarkannya keputusan pengadilan para pihak masih dapat melampiaskan ketidak puasannya ke Pengadilan yang lebih tinggi yakni ke tingkat banding, hanya pengalaman di pengadilan sebelumnya (tingkat pertama), lamanya putusan yang dikeluarkan, sehingga tampak bahwa berproses perkara melalui pengadilan bisa memakan waktu yang berlarut-larut.

Sebagai konsekuensi logis dari lamanya proses berperkara melalui pengadilan ini maka biaya yang harus dikeluarkan untuk itu misalnya biaya ahli hukum dan ongkos-ongkos lainnya akan bertambah terus (mahal). 19

18

Ibid, h. 43. 19


(10)

B. Sejarah Arbitrase

Sejarah dan perkembangan arbitrase bermula dari suatu negara dan pertama kali dikenal dan dipraktekkan di negara tersebut, yang kemudian tumbuh dan berkembang dan dikenal di negara-negara lain. Arbitrase bermula dari Hukum Romawi, dimana dikenal suatu lembaga bernama Conselus Mercatorum.20

Lembaga ini kemudian berkembang di Perancis tahun 1250 yang dikenal dengan sebutan :”Judge et Consul”, kemudian karena negara Belanda dijajah oleh negara Perancis diberlakukan di negara Belanda dan lembaga judge et consul ini menjadi lembaga arbitrase. Kemudian cara penyelesaian sengketa ini menyebar di negara-negara Eropa lainnya di Scotlandia 1695, di Irlandia 1700 dan di Denmark 1975. Penyebaran arbitrase ini sampai pula di Amerika Serikat sebagai akibat berlangsungnya imigrasi besar-besaran orang Eropa ke negeri yang mereka sebut tanah (negeri) pengharapan.

Lembaga ini adalah suatu lembaga yang diakui oleh pemerintah, dimana diberi hak kepada pedagang pada waktu itu untuk membuat peraturan sendiri-sendiri tentang perdagangan, bahkan pedagang tersebut diberi hak apabila timbul sengketa diantara mereka akan menyelesakannya dengan mengangkat hakim sendiri dan hakim inilah yang akan memeriksa dan mengadili perkara tersebut. Praktek ini berlangsung pula pada zaman Yahudi serta terus berkembang di negara-negara dagang di Eropa, seperti Inggris dan Belanda.

21

20

Ibid, h. 2. 21


(11)

Namun perkembangan arbitrase di Eropa pada waktu itu masih dalam bentuknya yang sederhana. Bentuk sederhana arbitrase pada masa itu mempunyai 3 ciri-ciri yaitu :

1. Bahwa pada masa itu orang baru menggunakan arbitrase setelah sengketa lahir. Jadi sebelumnya para pihak tidak dan belum menjanjikan terlebih dahulu bahwa apabila terjadi sengketa maka arbitrase-lah yang menyelesaikannya.

2. Arbitrase tersebut digunakan untuk menyelesaikan sengketa diantara kerabat, tetangga atau mereka yang hidupnya bersama-sama dan yang berkepentingan agar hubungan mereka terjaga baik.

3. Arbitrator yang dipilihnyapun adalah mereka yang telah dikenal baik oleh para pihak dan tidak terikat pada adanya ikatan-ikatan tertentu.22

Arbitrase dalam pengertian modern yang dikenal dewasa ini merupakan perkembangan dari bentuk di atas. Dewasa ini klausul arbitrase telah pula dicantumkan disamping perjanjian pokoknya. Jadi jauh sebelum sengketa timbul sebagai akibat dari pelaksanan perjanjian kerja sama tersebut, para pihak sebelumnya telah menunjuk badan ini sebagai badan yang menyelesaikan sengketa tersebut.

Arbitrase saat inipun tidak lagi digunakan di kalangan kerabat saja. Sekarang ini hubungan bisnis telah Lintas Batas Negara (Internasional) sifatnya, karenanya pula para pihak yang terlibat di dalamnya terdiri dari berbagai latar belakang

22


(12)

ekonomi, budaya dan sosial yang berlainan, artinya bahwa arbitrse dewasa ini melibatkan para pihak yang saling berbeda latar belakangnya.

Para pihak yang bersengketa dewasa ini tidak sebebas dahulu lagi di dalam memilih arbitrator yang akan menangani sengketa yang diserahkan kepadanya. Sedikitnya mereka terikat pula dengan lembaga (institusi) yang sifatnya mengatur arbitrase tersebut. Berbeda dengan arbitrase abad pertengahan, dewasa ini peranan arbitrase tidak hanya memberikan atau menawarkan jasa-jasa penyelesaiannya pada sengketa kepad para pengusaha industri atau perdagangan.

Arbitrase juga menyelesaikan sengketa hukum, masalah-masalah yang berada di luar jurisdiksi pengadilan atau dimana pengadilan tidak siap untuk menyelesaikan sengketa. Dewasa ini arbitrase tidak saja diminta untuk menafsirkan suatu kontrak atau memutuskan apakah suatu kontrak telah dilaksanakan atau apa yang menjadi konsekuensi suatu pelanggaran, tetapi arbitrase dapat juga diminta untuk menyempurnakan suatu perjanjian yang tidak lengkap atau hal-hal lainnya selain yang telah disebut tadi oleh para pihak.

Untuk lebih memahami badan arbitrase sekarang ini maka ciri-ciri arbitrase perlu untuk diketahui karena peran penting badan arbitrase ini. Badan arbitrase yang mempunyai peran yang sangat penting dewasa ini diantaranya adalah :

1. Bahwa badan arbitrase ini adalah suatu cara atau metode penyelesaian sengketa.

2. Sengketa tersebut diselesaikan oleh pihak ketiga dan pihak netral atau arbitrator yang secara khusus ditunjuk.


(13)

3. Bahwa para arbitrator mempunyai wewenang yang diberikan oleh para pihak. 4. Para arbitrator diharapkan memutuskan sengketa menurut hukum.

5. Arbitrase merupakan suatu sistem peradilan perdata artinya bahwa para pihaklah berwenang mengawasinya.

6. Keputusan yang dikeluarkan badan arbitrase ini bersifat final dan mengakhiri persengketaan para pihak.

7. Keputusan para arbitrator mengikat para pihak berdasarkan persetujuan diantara mereka untuk menyerahkan sengketanya kepada arbitrase bahwa mereka akan menerima dan secara sukarela memberikan kekuatan kepada keputusan tersebut.

8. Bahwa pada pokoknya proses berperkara melalui badan arbitrase dan putusannya terlepas dan bebas dari campur tangan negara.

Di Indonesia, arbitrase sebenarnya juga mempunyai sejarah yang panjang. Hal ini disebabkan arbitrase sudah dikenal dalam peraturan perundang-undangan sejak berlakunya Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata belanda di Indonesia yaitu sejak mulai berlakunya RV.

Akan tetapi secara institusional sejarah perkembangan arbitrse di Indonesia mendapatkan momentumnya dengan terbentuknya badan arbitrase nasional pada tanggal 3 Desember 1977.

Sejak saat itu arbitrase di Indonesia berkembang terus dan diperkuat dengan lahirnya Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif


(14)

Penyelesaian Sengketa yang merupakan pondasi bagi penyelesaian sengketa alterntif di luar lembaga peradilan.

C. Kekuatan Putusan Arbitrase

Bahwa pada prinsipnya putusan arbitrase adalah bersifat final dan mengikat. Tidak ada banding atau kasasi, sebagaimana termaksud di dalam Pasal 60 Undang-undang No. 30 Tahun 1999, artinya bahwa setiap putusan yang telah ditetapkan atau dikeluarkan oleh lembaga arbitrase terhadap sengketa dagang/perdata yang terjadi diantara dua belah pihak maka kedua belah pihak harus dapat menerimanya sebagai suatu putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat dan tentunya dapat segera dilakukan ekseskusi oleh Pengadilan Negeri setempat setelah menerima permohonan dari salah satu pihak yang bersengketa. Eksekusi tersebut paling lama dilakukan sejak 30 hari setelah permohonan eksekusi didaftarkan kepada Panitera Pengadilan Negeri setempat.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada prinsipnya suatu putusan arbitrase adalah tingkat pertama dan terakhir (final dan binding). Oleh karena itu para pihak yang bersengketa sebelum memilih penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase harus benar-benar mempertimbangkannya dengan cermat dan matang agar tidak menimbulkan penyesalan dibelakang hari.

Meskipun putusan arbitrase tersebut bersifat final bukan tidak mungkin adanya upaya perlawanan yang dapat dilakukan oleh pihak yang kalah. Bahwa di dalam Pasal 70 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 peluang tersebut terbuka bagi


(15)

pihak yang kalah untuk mengajukan pembatalan putusan ke Pengadilan Negeri apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut :

1. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu dan dinyatakan palsu.

2. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang disembunyikan oleh pihak lawan, atau

3. Putusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.

Dari alasan-alasan tersebut di atas jelas bahwa pembatalan tersebut bukanlah merupakan banding biasa terhadap suatu putusan arbitrase melainkan pembatalan tersebut merupakan upaya hukum luar biasa. Oleh karenanya tanpa alasan-alasan yang sangat spesifik tersebut, pada prinsipnya pembatalan suatu putusan arbitrase tidak mungkin dapat dilakukan.

Jadi sangat jelas sekali bahwa putusan arbitrase memang memiliki kekuatan hukum yang tetap yang tidak bisa dilakukan upaya hukum lainnya dimana putusan arbitrase tersebut dapat segera dilakukan eksekui apakah secara suka rela ataupun melalui Pengadilan Negeri setempat.

D. Arbitrase Sebagai Suatu Cara Penyelesaian Sengketa di Luar Badan Peradilan (Non Litigasi)

Bahwa dengan semakin maju dan berkembangnya suatu bangsa maka semakin banyak dan besar pula aktivitas kegiatan dari masyarakatnya, baik itu


(16)

kegiatan dalam dunia bisnis dan perdagangan, sosial budaya, ekonomi dan lain sebagainya. Bahwa dalam setiap kegiatan dan aktivitas dari warga negara dan masyarakat terutama khususnya dalam dunia perdagangan tentunya tidak terlepas dari yang namanya persoalan atau sengketa yang terjadi baik karena kesengajaan maupun karena kelalaian, wanprestasi dan lain sebagainya. Kalau sengketa ataupun persoalan tersebut telah terjadi tentunya tidak ada jalan lain selain harus diselesaikan secepat mungkin agar tercapai suatu kepastian hukum. Bahwa apabila terjadi sengketa antara dua belah pihak biasanya kedua belah pihak mempunyai suatu kepentingan yang sama yaitu sama-sama ingin menyelesaikannya secepat mungkin.

Bahwa apabila penyelesaian sengketa tersebut tidak bisa diselesaikan secara musyawarah dan mufakat maka lazimnya persoalan dan sengketa tersebut haruslah dibawa ke pengadilan untuk mendapatkan suatu kepastian hukum. Akan tetapi karena banyaknya kelemahan-kelemahan yang melekat pada badan peradilan dalam menyelesaikan sengketa, baik itu kelemahan yang dapat diperbaiki ataupun kelemahan yang sama sekali tidak dapat diperbaiki maka banyak kalangan yang ingin mencari cara lain atau institusi lain dalam menyelesaikan sengketa di luar badan-badan peradilan. Model penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang sangat populer saat ini adalah apa yang disebut dengan arbitrase.

Namun arbitrase bukanlah satu-satunya jalan untuk menyelesaikan sengketa di lar pengadilan. Masih banyak alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan, meskipun tidak sepopuler lembaga arbitrase misalnya melalui cara mediasi maupun konsiliasi dan lain sebagainya. Baik mediasi maupun rekonsiliasi adalah sama-sama


(17)

merupakan suatu upaya menyelesaikan sengketa dengan cara musyawarah dan mufakat yang diperantarai oleh seorang mediator atau konsiliator. Akan tetapi sifat dari pada penyelesaian sengketa dengan cara mediasi dan konsiliasi tidaklah merupakan keputusan yang bersifat final tetapi hanya sarana untuk mencari jalan penyelesaian ke arah yang lebih baik tanpa harus berperkara kepada arah yang lebih jauh lagi.

Selanjutnya dikenal juga alternatif penyelesaian sengketa yang lain lagi seperti Ombudsman, Badan Perumus administrasi, internal tribunal, dimana kesemuanya tentunya memiliki kelebihan maupun kelemahan masing-msing. Penyelesaian sengketa alternatif mempunyai kadar keterikatan kepada aturan main yang bervariasi dari yang paling kaku dalam menjalankan aturan main sampai kepada yang paling relaks.

Faktor-faktor penting yang berkaitan dengan pelaksanaan kerja penyelesaian sengketa alternatif juga mempunyai kadar yang berbeda-beda yaitu :

1. Apakah para pihak dapat diwakili oleh pengacaranya atau para pihak sendiri yang tampil.

2. Apakah partisipasi dalam penyelesaian sengketa alternatif tertentu wajib dilakukan oleh para pihak atau hanya bersifat suka rela.

3. Apakah putusan dibuat oleh para pihak sendiri atau oleh pihak ketiga. 4. Apakah prosedur yang digunakan bersifat formal atau tidak formal.

5. Apakah dasar untuk menjatuhkan putusan adalah aturan hukum atau ada kriteria lain.


(18)

6. Apakah putusan dapat dieksekusi secara hukum atau tidak.

Tidak semua model penyelesaian sengketa alternatif baik untuk para pihak yang bersengketa. Oleh karena itu para pihak yang bersengketa biasanya akan mencari suatu alternatif penyelesaian sengketa yang lebih baik setidak-tidaknya memenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut :

1. Haruslah efisien dari segi waktu. 2. Harus hemat biaya.

3. Haruslah dapat diakses oleh para pihak, misalnya tempatnya tidak terlalu jauh. 4. Haruslah melindungi hak-hak dari para pihak yang bersangkutan.

5. Haruslah dapat menghasilkan putusan yang adil dan jujur.

6. Badan atau orang yang menyelesaikan sengketa haruslah terpercaya dimata masyarakat dan dimata para pihak yang bersengketa.

7. Putusannya haruslah final dan mengikat.

8. Putusannya haruslah dapat dan mudah dieksekusi.

9. Putusannya haruslah sesuai dengan perasaan keadilan dari komuniti dimana penyelesaian sengketa alternatif tersebut terdapat.

Dari prinsip-prinsip tersebut di atas sudah jelas bahwa para pihak yang bersengketa selalu ingin mencari model penyelesaian yang lebih baik dan efisien, maka oleh karena itu model penyelesaian sengketa yang paling banyak diminati oleh para usahawan adalah penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase.

Seiring dengan makin tumbuh dan berkembangnya dunia usaha, kehadiran Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 telah memberikan angin segar bagi kalangan


(19)

dunia usaha, walaupun jika kita inventarisasi hukum positif yang berlaku di Indonesia akan dapat kita temukan bahwa sesungguhnya pengaturan mengenai penyelesaian sengketa di luar pengadilan cukup banyak yang diatur secara terpisah dalam beberapa perundang-undangan tersendiri.

Undang-undang No. 30 Tahun 1999 lebih menekan kepada arbitrase, hal ini dapat kita lihat bahwa pada dasarnya Undang-undang No. 30 Tahun 1999 lebih banyak mengatur mengenai ketentuan arbitrase, mulai dari tata cara, prosedur kelembagaan, jenis-jenis maupun putusan dan pelaksanaan arbitrase itu sendiri.

Pranata penyelesaian sengketa alternatif pada dasarnya merupakan suatu bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang didasarkan pada kesepakatan para pihak yang bersengketa sebagai konsekuensi dari kesepakatan para pihak yang berperkara harus bersifat suka rela dan karenanya tidak dapat dipaksakan oleh salah satu pihak kepada pihak lain yang bersengketa. Walau demikian sebagai suatu bentuk perjanjian alternatif penyelesaian sengketa, kesepakatan yang telah disampaikan oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui forum di luar pengadilan ini sifatnya mengikat dalam sistem hukum positif yang berlaku.

Dalam hukum dikenal adanya istilah kompetensi relatif dan kompetensi absolut. Kedua istilah tersebut berhubungan dengan masalah kewenangan dari lembaga peradilan yang berwenang untuk menyelesaikan perselisihan sengketa yagn timbul diantara para pihak. Pada kompetensi relatif kewenangan tersebut berhubungan dengan lokasi atau letak pengadilan yang berwenang, sedangkan pada


(20)

kompetensi absolut mempersoalkan kewenangan dari lembaga penyelesaian sengketa yang berwenang untuk menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang terjadi.

Bahwa penyelesaian perselisihan atau sengketa pada lembaga arbitrase adalah memiliki kewenangan kompetensi absolut terhadap penyelesaian perselisihan atau sengketa melalui lembaga ini, itu berarti bahwa setiap perjanjian yang telah mencantumkan klausula arbitrase atau apabila suatu perjanjian arbitrase yang dibuat para pihak, menghapuskan kewenangan dari Pengadilan Negeri untuk menyelesaikan setiap perselisihan atau sengketa yang timbul dari perjanjian yang membuat klausula arbitrase tersebut atau yang telah timbul sebelum ditanda tanganinya perjanjian arbitrase oleh para pihak.

Melihat defenisi dari perjanjian arbitrase yang dicantumkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 bahwa pada dasarnya perjanjian arbitrase dapat terwujud dalam bentuk suatu kesepakatan berupa :

1. Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian yang dibuat para pihak sebelum sengketa.

2. Suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul suatu sengketa.

Sebagai salah satu bentuk perjanjian, maka sah tidaknya perjanjian arbitrase itu digantungkan pada syarat-syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya perjanjian diperlukan 4 syarat yaitu :

1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.


(21)

3. Suatu hal tertentu. 4. Suatu sebab yang halal

Dalam ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata akan ditemui 2 syarat pokok sahnya perjanjian yaitu :

a. Syarat subjektif b. Syarat objektif

Untuk memenuhi syarat subjektif, selain harus dibuat oleh mereka yang demi hukum cakap untuk bertindak dalam hukum, perjanjian arbitrase juga harus dibuat oleh mereka yang demi hukum dianggap memiliki kewenangan untuk melakukan hal yang demikian. Undang-undang No. 30 Tahun 1999 menentukan bahwa para pihak dalam perjanjian arbitrase tidak dibatasi hanya untuk subjek hukum menurut hukum perdata saja melainkan juga termasuk didalamnya subjek hukum publik.

Namun satu hal yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa meskipun subjek hukum publik dimasukkan di sini tidak berarti arbitrase dapat mengadili segala sesuatu yang berhubungan dengan hukum publik. Jika kita lihat ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) Undang-undang No. 30 Tahun 1999 yang berbunyi :

1. Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa dibidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.

2. Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat dilakukan perdamaian.


(22)

Jadi jelas bahwa sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase sifatnya terbatas dan yang pasti relevansi dari kewenangan para pihak menjadi bagian yang sangat penting bagi para pihak dlam perjanjian arbitrase.

Syarat objektif dari perjanjian arbitrase diatur dalam Pasal 5 ayat (1) undang No. 30 Tahun 1999. Menurut ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tersebut, objek perjanjian arbitrase atau dalam hal ini sengketa yang akan diselesaikan melalui lembaga arbitrase hanyalah sengketa dibidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan-peraturan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Tidak ada penjelasan resmi mengenai apa yang dimaksud dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tersebut, namun jika kita lihat pada penjelasan Pasal 66 huruf (b) Undang-undang No. 30 Tahun 1999 yang berhubungan dengan pelaksanaan putusan arbitrase internasional, dimana dikatakan bahwa yang dimaksud dengan ”ruang lingkup dalam hukum perdagangan” adalah bagian-bagian antara lain bidang perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak kekayaan intelektual.

Ini berarti bahwa makna ”perdagangan” sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1) seharusnya juga memiliki makna yang luas sebagaimana dijabarkan dalam penjabaran Pasal 66 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tersebut. Hal ini sejalan juga dengan ketentuan dalam Pasal 5 ayat (2) yang memberikan perumusan negatif dimana dikatakan bahwa sengketa-sengketa yang dianggap tidak dapat


(23)

diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.

Undang-undang No. 30 Tahun 1999 mensyaratkan bahwa perjanjian arbitrase harus dibuat secara tertulis. Syarat tertulis dari perjanjian arbitrase dapat berwujud suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbulnya sengketa atau perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa. Adanya perjanjian arbitrase tertulis ini berarti meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang dimuat dalam perjanjian pokok ke Pengadilan Negeri. Demikian juga kiranya Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Ini berarti suatu perjanjian arbitrase melahirkan kompetensi absolut bagi para pihak, cara penyelesaian sengketa itu, para pihak itu sendiri yang menentukan sesuai dengan yang dikehendaki.

Fokus perjanjian arbitrase ditujukan kepada masalah penyelesaian perselisihan yang timbul dari perjanjian. Perjanjian ini bukan perjanjian ”bersyarat”. Pelaksanaan perjanjian arbitrase tidak digantungkan pada suatu kejadian tertentu dimasa mendatang, perjanjian ini tidak mempersoalkan masalah pelaksanaan perjanjian tetapi hanya mempersoalkan masalah cara dan pranata yang berwenang menyelesaikan perselisihan yang terjadi antara para pihak.

Perjanjian arbitrase tidak melekat menjadi satu kesatuan dengan materi pokok perjanjian. Perjanjian arbitrase merupakan tambahan yang diletakkan pada


(24)

perjanjian pokok. Meskipun keberadaannya hanya sebagai tambahan pada perjanjian pokok, klausula arbitrase maupun perjanjian arbitrase tidak bersifat assesoir. Oleh karena pelaksanaannya sama sekali tidak mempengaruhi atau dipengaruhi oleh keabsahan maupun pelaksanaan pemenuhan perjanjian pokok. Yang jelas arbitrase lahir dengan maksud dan tujuan untuk menyelesaikan suatu perselisihan atau sengketa yang ada di luar badan pengadilan.

Arbitrase adalah merupakan institusi penyelesaian sengketa alternatif yang paling populer dan paling luas digunakan orang dibandingkan dengan institusi penyelesaian sengketa alternatif lainnya. Hal ini disebabkan banyaknya kelebihan yang dimiliki oleh institusi arbitrase ini.

Kelebihan-kelebihan dari penyelesaian melalui arbitrase adalah sebagai berikut :

1. Prosedur tidak berbelit dan keputusan dapat dicapai dalam waktu relatif singkat.

2. Biaya lebih murah.

3. Dapat dihindari expose dari keputusan di depan umum. 4. Hukum terhadap prosedur dan pembuktian lebih relaks.

5. Para pihak dapat memilih hukum mana yang akan diberlakukan oleh arbitrase. 6. Para pihak dapat memilih sendiri para arbiter.

7. Dapat dipilih para arbiter dari kalangan yang ahli dalam bidangnya. 8. Keputusan dapat lebih terkait dengan situasi dan kondisi.


(25)

9. Keputusan arbitrase umumnya final dan binding (tanpa harus naik banding dan kasasi).

10.Keputusan arbitrase umumnya dapat diberlakukan dan dieksekusi oleh pengadilan dengan sedikit atau tanpa review sama sekali.

11.Proses/prosedur arbitrase lebih mudah dimengerti oleh masyarakat luas. 12.Menutup kemungkinan untuk dilakukan ”forum shopping”. 23

Jika dibandingkan dengan alternatif-alternatif penyelesaian sengketa yang lain, maka institusi arbitrase adalah merupakan lembaga penyelesaian sengketa yang paling mirip dengan badan pengadilan, terutama jika ditinjau dari prosedur yang berlaku, kekuatan putusannya, keterikatan dengan hukum yang berlaku atau dengan aturan main yang ada. Atas dsar hal itulah maka banyaknya orang terutama kalangan pengusaha banyak memilih model penyelesaian sengketa melalui institusi arbitrase ini.

E. Peranan Arbitrase Menurut Sistem Hukum Indonesia

Peranan badan hukum arbitrase komersial di dalam menyelesaikan sengketa bisnis di bidang perdagangan nasional maupun internasional dewasa ini semakin penting. Banyak kontrak nasional dan internasional menyelipkan klausula arbitrase. Memang bagi kalangan pebisnis cara penyelesaian sengketa melalui badan ini memberikan keuntungan sendiri dari pada melalui badan peradilan nasional.

Dari perkembangan zaman, badan arbitrase ini sungguh telah lama

23


(26)

dipraktekkan namun perkembangan arbitrase di Eropah pada waktu itu masih dalam bentuknya yang sederhana, bentuk sederhana arbitrase pada masa ini mempunyai 3 ciri yaitu :

1. Bahwa pada masa itu orang baru menggunakan arbitrase setelah sengketa lahir, jadi sebelumnya para pihak tidak dan belum menjanjikan terlebih dahulu bahwa apa bila terjadi sengketa maka arbitrase-lah yang akan menyelesaikan. 2. Arbitrase ini digunakan untuk menyelesaikan sengketa dimana kerabat

tetangga atau mereka yang hidupnya bersama-sama yang berkepentingan agar hubungan mereka menjadi baik.

3. Arbitrase yang dipilih adalah mereka yang telah dikenal baik oleh para pihak dan tidak terikat adanya ikatan-ikatan tertentu. 24

Arbitrase dalam pengertian modern yang kita kenal dewasa ini merupakan perkembangan dari bentuk di atas, dewasa ini klausula arbitrase telah pula dicantumkan dalam perjanjian pokoknya. Jadi jauh sebelum sengketa timbul sebagai akibat dari pelaksanaan kontrak tersebut, para pihak sebelumnya telah menunjukkan badan ini sebagai badan yang akan menyelesaikan sengketa tersebut.

Arbitrase inipun tidak lagi digunakan dikalangan kerabat saja, sekarang ini hubungan bisnis telah lintas negara (transnasional) sifatnya. Karena itu para pihak yang terlibat di dalamnya terdiri dari berbagai latar belakang ekonomi, sosial budaya yang berlainan. Karena ini pendek kata arbitrase dewasa ini melibatkan para pihak saling berbeda latar belakangnya.

Berbeda dengan arbitrase pada abad pertengahan, dewasa ini peranan arbitrase tidak hanya memberikan atau menawarkan jasa penyelesaian sengketa kepada para pengusaha industri atau perdagangan, arbitrase juga menyelesaikan


(27)

sengketa hukum, masalah-masalah yang berada diluar yuridiksi pengadilan tidak siap untuk menyelesaikan sesuatu sengketa dewasa ini. Arbitrase tidak saja diminta untuk menafsirkan suatu kontraknya telah dilaksanakan, atau apa yang menjadi konsekuensi suatu pelanggaran, tetapi arbitrase juga diminta untuk menyempurnakan suatu perjanjian yang tidak lengkap atau hal-hal lainnya yang telah disebutkan oleh para pihak.

Menurut Komar Kantaatmadja secara garis besar bahwa suatu penyelesaian sengketa digolongkan dalam 3 yaitu :

1. Penyelesaian sengketa dengan menggunakan negosiasi baik berupa negosiasi yang bersifat langsung (negosiasi simplisister) maupun dengan penyertaan pihak ketiga (mediasi dan konsiliasi).

2. Penyelesaian sengketa dengan cara legitasi baik bersifat nasional maupun internasional.

3. Penyelesaian sengketa dengan menggunakan arbitrase yang sifatnya ad-hoc maupun yang terlembaga. 25

Disamping adanya penggolongan penyelesaian sengketa, ada tiga bentuk alternatif penyelesaian yang mirip dengan arbitrase, khususnya kalangan bisnis yang terus berkembang dan dinilai cukup positif. Bentuk-bentuk alternatif tersebut yaitu :

1. Mini Trial : bentuk ini dalam bahasa Indonesia dapat disebut dengan ”Pengadilan mini” berguna bagi perusahaan yang tersangkut dalam sengketa-sengketa besar.

2. Mediasi : dalam bentuk ini seorang mediator (penengah) dalam menyelesaikan suatu sengketa, menemui para pihak atau wakilnya dengan maksud untuk mengadakan pengaturan suatu penyelesian sengketa yang nantinya dapat diterima oleh para pihak, dalam peranannya seorang mediator tidak mempunyai wewenang untuk membuat keputusan yang mengikat terhadap para pihak. Peranannya adalah membantu menganalisa

masalah-24

Adolf Huala, Loc.Cit.

25


(28)

masalah yang ada dan mencari suatu formula kompromi bagi penyelesaian suatu sengketa.

3. Med-Arb : bentuk ini merupakan kombinasi antara bentuk nomor 2 di atas, yakni mediasi dan arbitrase. Di sini seseorang yang netral diberi wewenang untuk memutuskan setiap isu yang tidak dapat diselesaikan oleh para pihak. 26

Penyelesaian sengketa arbitrase dipilih untuk sengketa kontrak (perdata) baik yang bersifat sederhana maupun yang kompleks yang dapat digolongkan menjadi :

a. Quality Arbitration, yang menyangkut permasalahan faktual (question of fact) yang dengan sendirinya memerlukan para arbitrator dengan kualifikasi teknis yang tinggi.

b. Technical Arbitratior, yang tidak hanya menyangkut permasalahan faktual, sebagaimana halnya dengan masalah yang timbul dalam penyusunan dokumen (construction of document) atau aplikasi ketentuan-ketentuan kontrak.

c. Mixed arbitration, sengketa baik mengenai permasalahan faktual maupun hukum (question of fact and law). 27

Dewasa ini istilah yang digunakan untuk badan arbitrase perdata ini oleh sebagian besar digunakan istilah arbitrase dagang atau arbitrase perdagangan. Akan tetapi istilah yang paling tepat digunakan adalah arbitrase komersial bukan dagang atau perdagangan. Dagang atau perdagangan berarti perbuatan atau bisnis pembelian dan penjualan uang, jadi istilah ini terbatas sifatnya hanya jual beli uang saja. Bidang lain seperti asuransi, pinjam-meminjam, sewa beli dan lainnya termasuk dalam pengertiannya. Istilah komersial diartikan sebagai perbuatan yang berhubungan dengan atau dihubungkan dengan perdagangan dan lalu lintas uang dan perniagaan secara umum.

26

Ibid, h. 3. 27


(29)

Dari batasan ini istilah komersial yang paling luas dan mencakup pula pengertian dagang. Hal ini sesuai dengan misi badan arbitrase sebagai metode penyelesaian sengketa dibidang perdata, telah kita maklumi bersama tidak hanya menyangkut jual beli uang saja namun sangat luas karena bidang ini mencakup pula asuransi, maritim, surat berharga, jaminan, bidang terakhir yakni perniagaan dan jual beli uang yang tercakup kedalam arti komersial. Oleh karena itu istilah yang tepat dan memenuhi serta yang dapat menangani unsur-unsur keperdataan di dalamnya adalah arbitrase komersial.

Peristilahan lain yang harus diluruskan adalah istilah yang digunakan untuk hakim arbitrase, yakni pihak yang tidak memihak (netral) yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk mendengar keterangan (bukti, saksi dan memberikan keputusan).

Dewasa ini istilah yang digunakan untuk hakim arbitrase ini masih ada dualisme, kedua istilah ini dijernihkan dan dibakukan di dalam tatanan bahasa Indonesia. Yang perlu dijernihkan disini adalah kedua kata ini sama-samam enjurus kepada pengertian hakim dalam forum arbitrase, namun cukup diberi batasannya pada masing-masing kata tersebut, persoalan menjadi lain. Kata arbiter dipakai untuk menyelesaikan atau memperbaiki syarat-syarat yang tidak terselesaikan dalam suatu kontrak, sedang kata arbitrator tidak hanya mengandung pengertian di atas (arbiter) tapi kata ini jgua dipakai untuk menyelesaikan sengketa-sengekta hukum. Jadi dari kedua batasan tersebut, nampaklah bahwa kata yang paling tepat dan memenuhi tujuan dan misi hakim arbitrase adalah arbitrator bukan arbiter. Agar kata arbiter


(30)

seyogyanyalah tidak dipergunakan lagi, bukan kata ini salah kalau dipergunakan tapi karena pengertian ini kurang tepat.

Badan arbitrase sekarang ini menjadi cara penyelesaian sengketa bisnis yang paling disukai, alasan-alasan para pengusaha menyukai badan ini dari pada pengadilan nasional bermacam-macam, yakni : umumnya pengadilan nasional kurang mendapat kepercayaan (confidence) dari masyarakat penguasa bisnis internasional. Pengadilan nasional kurang mendapat kepercayaan identik dengan sistem ekonomi, hukum dan politik dari negara-negara tempat pengdilan nasional tersebut berada yang berbeda dengan sistem para pengusaha bisnis dan sesuai kebutuhan/keinginan mereka.

Bahwa, berperkara melalui pengadilan (nasional suatu negara) telah umum dianggap tidak efektif bagi kalangan pengusaha. Masalah penangguhan perkara belum lagi kalau adanya kongesti (tunggakan perkara yang harus diselesaikan), yang berarti tertunda-tundanya keputusan yang hendak dikeluarkan dan masalah biaya adalah salah satu alasan mengapa kebanyakan pengusaha atau masyarakat bisnis agak enggan berproses, berperkara melalui pengadilan.

Telah menjadi rahasia bersama perkara melalui pengadilan acapkali memakan waktu yang relatif lama. Hakim yang mengadili tidak hanya berhadapan dengan satu atau dua perkara dalam suatu masa tugasnya. Akibatnya ia harus membagi-bagikan prioritasnya dan waktu untuk berperkara, mana yang didahulukan dan mana yang tidak terlalu mendesak. Hal ini sudah barang tentu dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang mendukung cepat tidaknya proses penyelesaian suatu perkara.


(31)

Sehubungan dengan alasan di atas, perlu pula diperhatikan bahwa banyak pengadilan negra tidak mempunyai hakim-hakim yang berkompeten atau yang berspesialisasi hukum komersil internasional, sehingga dengan keadaan ini para pihak lebih suka cara arbitrase.

Selain itu pula dengan dikeluarkannya keputusan pengadilan, tidaklah otomatis perkara yang bersangkutan telah selesai, pihak-pihak yang kurang puas dengan keputusan itu masih punya saluran lain untuk melampiaskan ketidakpuasannya ke pengadilan yang lebih tinggi yakni tingkat banding. Bahwa seperti halnya pengalaman di pengadilan sebelumnya (tingkat pertama), disinipun lamanya putusan yang dikeluarkan kemungkinannya besar. Tampak bahwa proses berperkara melalui pengadilan bisa memakan waktu yang berlarut-larut.

Sebagai konsekuensi logis dari lamanya proses berperkara melalui pengadilan ini, maka biaya yang harus dikeluarkan untuk itu semakin besar, misalnya saja biaya ahli hukum dan ongkos-ongkos lainnya, akan bertambah terus (mahal). Akibat sampingan lainnya dari situasi seperti ini, misalnya adalah berkurangnya waktu untuk berusaha (dagang). Ini berarti akan berpengaruh pula pada kelancaran dan produktifitas perusahaannya.

Berlainan dengan proses pengadilan biasa di atas, sebahagian besar penulis berpendapat bahwa berperkara melalui arbitrase lebih murah. Lain halnya dengan badan pengadilan, keputusan yang dikeluarkan melalui badan arbitrase sifatnya adalah final dan mengikat. Tidak ada kamus banding sebagai tandingan terhadap keputusan yang dikeluarkan.


(32)

Kelebihan lainnya yakni bahwa berperkara melalui badan arbitrase tidak begitu formal dan lebih fleksibel. Tidak ada tata cara proses perkara yang mutlak harus dijalani (kaku), hakim dalam hal ini adalah arbitratornya, tidak perlu pula terikat dengan aturan-aturan proses berperkara seperti halnya yang terjadi pada pengadilan nasional. Tidak ada keharusan untuk berperkara di tempat tertentu, karena para pihak sendirilah yang memiliki kebebasan untuk menentukan tempat arbitrase bersidang dan sekaligus hukum yang dipakai atau bahasa yang akan dipergunakan (manakala sengketa tersebut sifatnya internasional).

Karena sifat fleksibilitas dan tidak adanya acara formil-formilan ini nantinya berpengaruh pula pada para pihak yang bersengketa, yakni mereka menjadi tidak terlalu bersitegang di dalam proses penyelesaian perkara. Iklim seperti ini sudah barang tentu akan sangat konstruktif dan akan mendorong semangat kerja sama para pihak di dalam proses penyelesaian perkara. Hal ini berarti pula bahwa akan mempercepat proses penyelesaian perkara yang bersangkutan.

Alasan lain yaitu bahwa melalui badan arbitrase, para pihak yang bersengketa diberi kesempatan untuk memilih hakim (arbitrator) yang mereka anggap dapat memenuhi harapan mereka baik dari segi keahlian mereka atau pengetahuannya pada suatu bidang tertentu. Di sini arbitor yang mereka pilih untuk menangani perkara atau sengketanya tidak harus selalu sarjana atau ahli hukum. Bisa saja ahli ekonomi, ahli perdagangan, insinyur dan lain-lain.

Faktor kerahasiaan proses berperkara dan keputusan yang dikeluarkan merupakan juga alasan utama mengapa badan arbitrase ini menjadi primadona para


(33)

pengusaha, sebab melalui arbitrase tidak ada kewajiban untuk mempublikasikan keputusan arbitrase sebagaimana halnya yang terjadi pada pengadilan (nasional) biasa. Dengan adanya kerahasiaan ini nama baik atau imej para pihak tetap terlindungi, sementara bagi perusahaan mereka dapat menjaga kerahasiaan informasi-informasi dagang mereka. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini tidak harus melulu diselesaikan menurut proses hukum (tertentu) saja, tetapi juga dimungkinkan suatu penyelesaian secara kompromi diantara para pihak. Hal ini dimungkinkan mana kala para arbitrator menemui kesulitan untuk memastikan yang menjadi sebab atau sebab-sebab timbulnya suatu sengketa dan pihak mana yang bertanggungjawab karenanya. Keadaan ini timbul karena persidangan arbitrase biasanya diminta dan diadakan setelah beberapa waktu lama setelah klaim diajukan oleh para pihak karena adanya jenjang waktu yang cukup lama ini para arbitrator kadang kala menemui kesulitan dalam merekonstruksi fakta-fakta yang relevan dalam keadaan yang aslinya. Dan cara penyelesaian arbitrase secara kompromi disebut juga dengan conciliatory arbitration.

F. Prospek Penegakan Hukum Arbitrase di Indonesia

Mengingat tugas arbitrase ini tidak ringan dan terbilang rumit, maka pelaksanaannya tentulah harus dilakukan secara profesional. Karena itu didalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 diatur bahwa seorang arbiter dapat dimintakan pertanggungjawaban hukumnya manakala terjadi hal-hal antara lain sebagai berikut :


(34)

1. Apabila arbiter meninggalkan tugasnya setelah menerima penunjukkannya sebagai arbiter tanpa persetujuan para pihak atau tanpa ketetapan Pengadilan Negeri.

2. Apabila arbiter tidak melaksanakan tugasnya secara profesional, dalam arti melakukan kesalahan dalam menjalankan tugasnya.

3. Apabila arbiter tidak memberitahukan kepada para pihak sebelum menerima penunjukan tentang hal yang mungkin akan mempengaruhi kebebasannya atau menimbulkan kepribadian terhadap putusan yang akan diberikan. Dengan perkataan lain, arbiter tidak mendisclose adanya conflict or interest, misalnya apabila terdapat adanya hubungan kekeluargaan, keuangan atau pekerjan dengan salah satu pihak.

4. Apabila arbiter tanpa alasan yang sah tidak memberikan putuan dalam jangka waktu yang telah ditentukan.

5. Apabila arbiter menjalankan tugasnya tidak dengan itikad baik.

Pada uraian di muka telah dikatakan bahwa tempat di mana putusan arbitrase dijatuhkan memiliki peranan yang sangat penting dalam rangka pelaksanaan putusan arbitrase yang dijatuhkan tersebut. Dimana putusan arbitrase tersebut dimaksudkan untuk dilaksanakan, dikenal dengan istilah arbitrase nasional.

Pada lazimnya dalam kontrak-kontrak dagang hanya dicantumkan klausula arbitrase dan tidak ada ketentuan lebih lanjut mengenai cara penyelenggaran arbitrase ini maka dalam praktek kita saksikan lazimnya dibuat pada permulaan dimulainya pemeriksaan oleh tim arbitrase, apa yang dinamakan ”Term of Reference”, yaitu


(35)

pokok-pokok persoalan yang akan diputuskan oleh para arbitrase dalam sengketa bersangkutan ini. Inilah yang lazimnya disebut bahwa para arbitrase yang akan mengatur sendiri prosedur dari pada arbitrase ini.

Segala sesuatu ini tidak perlu jika para pihak telah menyetujui bahwa arbitrase akan diselenggarakan melalui peraturan-peraturan dari badan suatu organisasi atau badan yang mengurus arbitrase. Suatu arbitration centre atau pusat arbitrase yang menyelenggarkan arbitrase, pemeriksaannya memakai prosedur sesuai dengan model peraturan arbitrase tertentu untuk pusat arbitrase ini.

Apabila para pihak tidak memilih hukum, maka tim arbitrase yang akan memakai hukum atau kaidah-kaidah dari pada hukum yang dianggap cocok oleh tim arbitrase ini. Dalam semua hal, tim arbitrase ini akan memberi putusan dengan memperhatikan istilah-istilah dari pada kebiasaan-kebiasaan perdagangan yang berlaku.

Umumnya beracara dengan memakai arbitrase dipilih atas inisiatif para pihak yang bersangkutan melalui suatu arbitrase kontrak yang dibuat sebelum atau setelah terjadi sengketa, ini yang disebut Voluntary Arbitrator.

Namun yang lebih sering dan sudah menjadi common practice terutama dalam kontrak-kontrak arbitrase ini tercipta bingkai-bingkai dimana sebuah harapan digantungkan yang umum merupakan harapan dari mereka yang selama ini melakukan sumpah serapah terhadap badan-badan pengadilan yang konvensional. Badan-badan pengadilan tersebut di Indonesia lebih banyak memutuskan dengan bernalar ”naif” ketimbang ”reasonable”. Oleh karena itu dibentuklah arbitrase secara


(36)

insidentil dan khusus untuk menangani perkara yang bersangkutan, ada yang ditunjuk oleh para pihak yang bersengketa dan ada yang ditunjuk oleh hakim setelah putusan diberikan maka tugas mereka selesai dan mereka bubar.

Peranan arbiter menjadi semakin penting mengingat sejuta harapan para pelaku bisnis digantungkan kepadanya, bahkan para arbiter ini diharapkan dapat menjadi dewa penyelemat bagi dunia bisnis dan hukum disaat ini, lembaga pengadilan konvensional tidak dapat diharapkan dapat menjadi untuk berbuat optimal dalam penegakan hukum. Pada prinsipnya walaupun sengketa dinyatakan menjadi kewenangan arbitrase tidak berarti pengadilan sama sekali tidak berwenang.

G Proses Pemeriksaan Sengketa Dalam Arbitrase

Secara umum dapat dikatakan bahwa jalannya pemeriksaan atau penyelesaian dalam arbitrase tidak akan jauh berbeda dengan jalannya proses pemeriksaan perkara dalam pranata peradilan pada umumnya, proses jalannya pemeriksaan tersebut meliputi antara lain acara yang dipergunakan, bahasa yang dipakai, sistem pembuktian yang diterapkan, hak-hak para pihak dalam proses pemeriksaan serta alur jalannya pemeriksaan itu sendiri yang dimulai dari sejak permohonan untuk pemeriksaan sengketa diajukan, hingga pada akhirnya dijatuhkan suatu putusan pada tingkat akhir yang mengikat para pihak yang meminta penyelesaian perselisihan atau sengketa mereka melalui lembaga (Pranata Arbitrase tersebut).


(37)

Sebagai suatu bentuk lembaga peradilan swasta dengan hakim swasta dan seperti juga telah ditegaskan dalam Undang-undang No. 30 Tahun 1999 bahwa perselisihan atau sengketa yang dapat diperiksa dan karenanya tunduk pada proses pemeriksaan arbitrase ini adalah perselisihan atau sengketa yang secara hukum dapat diselesaikan melalui proses perdamaian. Hal ini menunjukkan bahwa (pranata) arbitrase merupakan suatu alternatif penyelesaian sengketa hanya terdapat hal-hal dimana dimungkinkan adanya kebebasan dari para pihak untuk melakukan penyimpangan dari ketentuan hukum yang berlaku umum (dalam hal ini secara teoritis dapat dikatakan dengan ketentuan sebagaimana yang diatur dalam buku III KUH Perdata yang bersifat terbuka). Karena berarti proses pemeriksaan melalui pranata arbitrase ini tidak jauh berbeda dengan proses pemeriksaan peradilan perdata yang menunjukkan atau menjurus ke arah perniagaan. 28

Pada dasarnya para pihak diberikan kebebasan untuk menentukan sendiri acara dan proses pemeriksaan sengketa yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan oleh (para) arbiter yang telah ditunjuk atau diangkat tersebut, hanya saja kehendak tersebut harus disebutkan secara tegas dan tertulis, sehingga dapat menjadi acuan Seperti pernah disinggung dalam tulisan sebelumnya, UU No. 30 tahun 999 mengenal dua macam penyelesaian perselisihan melalui lembaga arbitrase yaitu arbitrase yang diselenggarakan secara ad-hoc dan arbitrase yang dilaksanakan oleh suatu lembaga arbitrase tersendiri.

28


(38)

yang jelas bagi para arbiter tersebut. Satu hal lagi yang harus diperhatikan adalah bahwa pemilihan acara dan proses tersebut tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam UU No. 30 Tahun 1999.

Bagi arbitrase ad-hoc UU No. 30 Tahun 1999 menyatakan bahwa para pihak tidak menentukan sendiri ketentuan mengenai acara arbitrase yang akan digunakan dalam pemeriksaan, arbiter atau majelis arbitrase ad-hoc telah terbentuk, maka semua sengketa yang penyelesaiannya diserahkan kepada arbiter atau majelis arbitrase ad-hoc tersebut akan diperiksa dan diputuskan menurut ketentuan dalam UU No. 30 Tahun 1999 ini.

Khusus untuk penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase, ketentuan Pasal 34 UU No. 30 Tahun 1999 menentukan bahwa penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat dilakukan dengan menggunakan lembaga arbitrase nasional dan internasional berdasarkan atas kesepakatan para pihak dalam hal yang demikian, maka proses pemeriksaan dan penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase tersebut yang dipilih oleh para pihak, akan dilakukan menurut peraturan dan acara dari lembaga arbitrase yang dipilih kecuali ditetapkan secara lain oleh para pihak.

Berbeda dengan sidang pemeriksaan peradilan perdata yang terbuka untuk umum, semua pemeriksaan sengketa yang dilakukan oleh arbiter atau majelis arbitrase dilakukan secara tertutup, ini merupakan salah satu kelebihan perbedaan dari lembaga arbitrase terhadap lembaga peradilan pada umumnya, sifat kerahasian ini cenderung menjadi pilihan utama bagi kalangan usahawan yang tidak menginginkan masyarkat umum mengetahui adanya suatu perselisihan, sengketa atau bahkan


(39)

perkara perdata yang dialami oleh usahawan dengan pihak lain yang mungkin juga merupakan ”mitra usahanya”.

Sejalan dengan pengakuan akan pranata alternatif penyelesaian perselisihan oleh Indonesia, menurut ketentuan hukum Indonesia, maka sudah selayaknya jika bahasa Indonesia, kecuali jika para pihak berdasarkan atas mufakat bersama memilih bahasa lain yang dipergunakan selama proses pemeriksaan berlangsung.

Sebagaimana halnya proses pemeriksaan peradilan pada umumnya UU No. 30 Tahun 1999 memungkinkan masuknya pihak ketiga diluar perjanjian arbitrase, untuk turut serta menggabungkan diri dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase, jika terdapat unsur kepentingan yang terkait, walaupun demikian sedikit berbeda dengan proses peradilan pada umumnya. Keikutsertaan pihak ketiga ini perlu disepakati oleh para pihak yang bersengketa serta disetujui oleh arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa sengketa yang bersangkutan. 29

29

Ibid, h. 125.

Dalam rumusan Pasal 48 UU No. 30 Tahun 1999 mewajibkan pemeriksaan atas sengketa untuk diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 180 hari terhitung sejak arbiter atau majelis arbiter terbentuk, walau demikian atas persetujuan para pihak dan jika memang diperlukan sesuai ketentuan Pasal 33 UU No. 30 Tahun 1999 maka jangka waktu tersebut dapat diperpanjang, adapun rumusan ketentuan Pasal 33 ini adalah sebagai berikut :

”Arbiter atau majelis arbitrase berwenang untuk memperpanjang jangka waktu tugasnya apabila :


(40)

a. Diajukan permohonan oleh salah satu pihak mengenai hal khusus tertentu. b. Sebagai akibat ditetapkannya putusan provisionil atau putusan sela lainnya.

c. Dianggap perlu oleh arbiter atau majelis arbitrase untuk kepentingan pemeriksaan. 30

Pada umumnya pilihan hukum ditentukan oleh para pihak dalam perjanjian awal yang menjadi dasar terbitnya perbedaan pendapat, perselisihan ataupun sengketa, walau demikian sebagaimana halnya perjanjian arbitrase itu sendiri dimungkinkan untuk dibuat setelah perbedaan pendapat, perselisihan atau sengketa terbit, UU No. 30 Tahun1999 juga memungkinkan atau secara lugas kita katakan memberikan hak kepada para pihak untuk menentukan sendiri pilihan hukum yang dipilih untuk menyelesaikan perbedaan pendpat, perselisihan atau sengketa yang telah ada tersebut. Dalam hal para pihak tidak menentukan hukum mana yang akan berlaku, penjelasan Pasal 56 ayat (2) UU NO. 30 Tahun 1999 menyatakan bahwa yang harus diberlakukan adalah ketentuan hukum dari tempat dimana arbitrase diselenggarakan.

Kebebasan untuk melakukan pilihan hukum tidak begitu saja memberikan kewenangan yang mutlak bagi para pihak untuk melakukan pilihan atas ketentuan hukum dari setiap negara, jika hukum yang dipilih tersebut tidak memiliki hubungan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan perjanjian yang dibuat. Dalam hal yang demikian hakim bebas untuk menilai apakah suatu pilihan hukum telah dilakukan secara patut atau tidak.


(41)

para pihak ingin menentukan sendiri tempat arbitrase yang telah ditentukan dan akan menjadi pusat dan tempat penyelenggaraan proses pemeriksaan sengketa. Walaupun demikian Undang-undang No. 30 Tahun 1999 membuka kemungkinan bagi arbiter atau majelis arbitrase dapat mendengar keterangan saksi atau mengadakan pertemuan yang dianggap perlu pada tempat tertentu diluar tempat arbitrase diadakan. Pemeriksaan saksi dan saksi ahli dihadapan arbiter atau majelis arbitrase, diselenggarakan menurut ketentuan dalam hukum acara perdata.

Seperti halnya jalannya proses pemeriksaan persidangan dalam pranata peradilan, jalannya proses pemeriksaan sengketa dalam pranata arbitrase juga diawali dengan pemasukan surat permohonan oleh pemohon, yang selanjutnya diikuti dengan

31

Arbiter atau majelis arbitrase diperkenankan untuk mengadakan pemeriksaan tempat atau barang yang dipersengketakan atau hak lain yang berhubungan dengan sengketa yang sedang diperiksa, dan dalam hal dianggap perlu, para pihak akan dipanggil secara sah agar juga hadir dalam pemeriksaan tersebut. Undang-undang No. 30 Tahun 1999 memberikan kelonggaran bagi para pihak, termasuk dalam hal para arbiter untuk menentukan sendiri jalannya proses pemeriksaan arbiter tersebut, selama dan sepanjang hal tersebut relevan dan dianggap perlu untuk menunjuk jalannya proses pemeriksaan serta dalam kerangka waktu yang ditentukan, dengan tidak mengurangi makna esensial dari lembaga arbitrase yang bersifat cepat disamping terjaga kerahasiaannya.

30

Ibid, h. 126. 31


(42)

proses penjawaban surat permohonan tersebut oleh pihak termohon, sebagai bagian dari hak para pihak untuk didengar selama proses pemeriksaan berlangsung.

Surat tuntutan yang diajukan tersebut harus memuat sekurang-kurangnya : 1. Nama lengkap dan tempat tinggal atau tempat kedudukan para pihak.

2. Uraian singkat tentang sengketa disertai dengan lampiran bukti-bukti. 3. Isi tuntutan harus yang jelas.

Setelah menerima surat tuntutan dari pemohon, arbiter atau ketua majelis arbiter akan menyampaikan jawabannya, satu salinan tuntutan tersebut kepada pemohon. Penyampaian surat berisikan tuntutan wajib disertai perintah bahwa termohon harus meanggapi dan memberikan jawabannya secara tertulis dalam waktu paling lama 14 hari terhitung sejak diterimanya salinan tuntutan, oleh termohon. Apabila lewatnya jangka waktu 14 hari tidak menyampaikan jawabannya maka arbiter atau ketua majelis arbitrase wajib memanggil termohon atau kuasanya untuk hadir dalam sidang arbitrase dalam jangka waktu 14 hari terhitung sejak surat perintah menghadap dikeluarkan.


(43)

BAB IV

PROSES PENYELESAIAN SENGKETA PERUMAHAN

MELALUI ARBITRASE MENURUT UU NO. 30 TAHUN 1999

A. Putusan Arbitrase

Bahwa di dalam UU No. 30 Tahun 1999 pada Bab V terdapat dua kata yaitu pendapat dan putusan arbitrase. Oleh karena itu ada baiknya terlebih dahulu perlu dibedakan antara pendapat arbitrase dengan putusan arbitrase. Yang dimaksud dengan pendapat arbitrase adalah pendapat yang mengikat yang diberikan oleh suatu lembaga arbitrase yang diajukan oleh para pihak dalam suatu kontrak terhadap suatu masalah atau hubungan tertentu dari suatu perjanjian. Pendapat yang mengikat

(binding option) ini diberikan oleh suatu lembaga arbitrase tanpa adanya suatu sengketa.

Hal ini tentunya berbeda dengan apa yang lazim disebut dengan putusan arbitrase, karena pada putusan seringkali diberikan oleh arbitrase ad-hoc dan diberikan terhadap suatu sengketa diantara para pihak. Bahwa dengan demikian yang membedakan putusan dengan pendapat adalah bahwa di dalam putusan ada sengketa diantara para pihak sedangkan pada pendapat arbitrse tidak ada sengketa para pihak.

Bahwa di dalam UU No. 30 Tahun 1999 tidak ada disebutkan dengan tegas kapan suatu putusan arbitrase diputuskan. Akan tetapi di dalam Pasal 57 UU No. 30 Tahun 1999 ada ditegaskan bahwa apabila pemeriksaan telah ditutup maka putusan


(44)

diucapkan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah ditutupnya pemeriksaan. Sedangkan koreksi terhadap putusan dapat dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari setelah putuan diterima oleh para pihak. Koreksi ini dapat diajukan oleh para pihak kepada arbitrase yang menyangkut kekeliruan administrasi dan atau menambah atau mengurangi sesuatu tuntutan putusan.

Bahwa di dalam mengambil suatu putusan arbitrator tidak bisa sesuka hatinya saja memutuskan sengketa tersebut dan tidak boleh menyimpang dari apa yang menjadi tuntutan para pihak. Orang-orang baik harus betul-betul pandai dan cermat karena dengan demikian barulah mereka dapat memutus dengan layak.

1. Kepala putusan yang berbunyi ”Demi Keadilan Berdasarkan Ke Tuhanan Yang Maha Esa”.

32 Putusan-putusan wasit atau arbiter sama halnya dengan putusan-putusan hakim di pengadilan. Bahwa di dalam Pasal 54 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyebutkan sebagai berikut :

Putusan arbitrase harus memuat :

2. Nama lengkap dan alamat para pihak. 3. Uraian singkat sengketa.

4. Pendirian para pihak.

5. Nama lengkap dan alamat arbiter.

6. Pertimbangan dan kesimpulan arbiter atau majelis arbitrase mengenai keseluruhan sengketa.

7. Pendapat tiap-tiap arbiter dalam hal terdapat perbedaan pendapat dalam majelis arbitrase.

8. Amar putusan.

9. Tempat dan tanggal putusan.

10.Tanda tangan arbiter atau majelis arbitrase

32


(45)

Apabila minoritas dari pada arbiter menolak untuk menandatangani, maka hal ini harus diterangkan oleh arbiter lainnya dan putusan itu akan mempunyai kekuatan yang sama seperti kalau ditanda tangani oleh semua arbiter.

Dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal diucapkannya putusan maka surat asli atau salinan otentik putusan arbitrase harus disampaikan (dedeponir) kepada Kantor Pengadilan Negeri melalui Panitera Pengadilan Negeri setempat oleh salah seorang arbiter atau kuasanya.

Selain putusan tersebut, para arbiter juga berkewajiban mendeponir

(menyampaikan) tentang pengangkatan mereka sebagai arbiter dalam salinan resmi pada Panitera Pengadilan Negeri setempat.

Bahwa mengenai amar atau diktum suatu putusan arbitrase adalah sama halnya dengan putusan pengadilan yaitu ada 3 (tiga) macam :

1. Putusan kondemnatoir yaitu putusan yang menghukum

2. Putusan deklaratoir yaitu putusan yang menyatakan sesuatu keadaan yang sah atau berdasarkan hukum/undang-undang.

3. Putusan konstitutif yaitu putusan yang menciptakan suatu keadaan yang baru. Sebelum memberikan putusan akhir, arbiter dapat juga memberikan putusan sela apabila ada alasan untuk itu, misalnya untuk efektif dan efesiennya pelaksanaan putusan arbitrase atau untuk mengatur ketertiban jalannya pemeriksaan. Ada beberapa contoh putusan sela sebagaimana diatur di dalam Pasal 32 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999 yaitu :


(46)

2. Perintah penitipan barang kepada pihak ketiga. 3. Perintah penjualan barang yang mudah rusak.

B. Pelaksanaan Putusan Arbitrase

Pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase nasional dengan putusan arbitrase internasional berbeda satu sama lain. UU No. 30 Tahun 1999 juga mengaturnya secara terpisah diantara eksekusi kedua macam arbitrase tersebut.

Pelaksanaan (eksekusi) putusan arbitrase nasional dapat dilakukan baik secara sukarela atau secara paksa. Eksekusi putusan arbitrase secara sukarela dimaksudkan sebagai pelaksanaan putusan yang tidak memerlukan campur tangan dari pihak Ketua Pengadilan Negeri, melainkan para pihak yang berkewajiban melaksanakan putusan tersebut dan melaksanakan sendiri isi putusan arbitrase tersebut, sedangkan eksekusi secara paksa dimaksudkan jika pihak yang berkewajiban tidak melaksanakan kewajibannya, diperlukan campur tangan ketua Pengadilan Negeri dan aparatnya untuk memaksanakan pelaksanaan eksekusi yang bersangkutan, agar dapat dieksekusinya suatu putusan arbitrase, harus dilakukan suatu prosedur hukum yang disebut dengan akta pendaftaran. Yang dimaksud dengan akta pendaftaran adalah pencatatan dan pendaftaran bagian pinggir atau dipinggir putusan arbitrase asli atau salinan otentik yang ditanda tangani bersama-sama, oleh Panitera Pengadilan Negeri dan arbiter atau kuasanya yang menyerahkan putusan arbitrase tersebut. Penanda tangan tersebut dilakukan pada saat pencatatan dan


(47)

pendaftaran putusan arbitrase di Pengadilan Negeri dalam jangka waktu paling lama 30 hari terhitung sejak putusan diucapkan.

Perlu pula ditekankan bahwa tanpa dilakukan penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase di Pengadilan Negeri pada waktunya, maka putusan tersebut tidak dapat dilakukan eksekusi seandainya pihak yang putusan arbitrasenya dieksekusi tidak mau melaksanakan sendiri putusan tersebut secara sukarela dan berbuat kelalaian dalam melakukan penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrasenya di Pengadilan Negeri tersebut mengakibatkan pelaksanaan putusan arbitrase tidak dapat dipaksakan oleh aparat pemerintah. Tindakan penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase di Pengadilan Negeri ini dalam praktek sering disebut dengan istilah

”deponir”. Jadi tindakan deponir putusan arbitrase bukan hanya merupakan tindakan pendaftaran yang bersifat administratif belaka, tetapi telah bersifat konstitutif dalam arti merupakan satu rangkaian dalam proses arbitrase, dengan resiko tidak dapat dieksekusi putusan jika tidak dilakukan pendeponiran tersebut.

Eksekusi secara paksa atas putusan arbitrase tersebut dilakukan sesuai dengan aturan eksekusi, terhadap aturan ini tidak berbeda dengan cara eksekusi terhadap putusan pengadilan umum yang telah mempunyi kekuatan hukum dalam eksekusi. Prinsip hukum dalam eksekusi putusan arbitrase ini yaitu putusan arbitrase bersifat independen, sehingga tidak dapat dicampuri oleh ketua Pengadilan Negeri ketika dilaksanakan eksekusi, Pasal 62 ayat (4) dari UU No. 30 Tahun 1999 dengan tegas melarang Ketua Pengadilan Negeri untuk memeriksa alasan atau pertimbangan


(48)

dari putusan arbitrase, dengan demikian Ketua Pengadilan Negeri tidak mempunyai kewenangan untuk meninjau suatu putusan arbitrase secara formal berdasarkan Pasal 62 ayat (2) UU No. 30 Tahun 1999.

Penolakan eksekusi tidak mempunyai hukum apapun, penolakan eksekusi oleh Ketua Pengadilan tersebut dilaksanakan jika ada alasan-alasan sebagai berikut : 1. Arbitrase memutus melebihi kewenangan yang diberikan kepadanya.

2. Putusn arbitrase bertentangan dengan kesusilaan. 3. Putusan arbitrase bertentangan dengan ketertiban.

4. Arbiter memutus perkara tidak memenuhi keseluruhan syarat sebagai berikut : a. Mengenai perdagangan.

b. Mengenai hak yang menurut hukum dan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.

c. Mengenai sengketa menurut hak dan perundang-undangan tidak dapat dilakukan perdamaian.

Ketua Pengadilan Negeri sebelum memberikan perintah pelaksanaan, diberikan hak untuk memeriksa terlebih dahulu apakah putusan arbitrase tersebut telah diambil dalam suatu proses dimana :

34

1. Arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa dan memutuskan perkara telah diangkat oleh para pihak sesuai dengan kehendak mereka.

2. Perkara yang diserahkan untuk diselesaikan oleh arbiter atau majelis arbitrase

33

Munir Fuady, Op.Cit, h. 162. 34


(49)

tersebut adalah perkara yang menurut hukum memang dapat diselesaikan dengan arbitrase.

3. Putusan yang dijatuhkan tersebut tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.

Satu hal yang perlu diperhatikan disini adalah bahwa selain ketiga hal tersebut di atas, ketua pengadilan negeri tidak diberikan kewenangan untuk memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase.

Tujuan dari arbitrase atau penundaan ini yaitu memberikan kepada arbitrase apabila majelis tersebut masih berwenang untuk bertindak, artinya belum melampaui jangka waktu kesempatan untuk memulai lagi dengan penyelenggaraan arbitrase supaya menunda sidangnya untuk memberi kesempatan bagi arbitrase mengupayakan dasar-dasar dari penolakan.

35

Sudargo Gautama, Op.Cit, h. 66.

35

Bahwa tujuan terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri untuk mengetahui pelaksanaan putusan arbitrase tidak dapat dilakukan banding. Baik Mahkamah Agung maupun pengadilan tidak boleh menangani atau mempertimbangkan permohonan banding atas putusan tersebut.

Sebaliknya jika Ketua Pengadilan Negeri menolak untuk mengakui dan melaksanakan putusan arbitrase dapat dilakukan banding. Mahkamah Agung akan menanganinya dan mempertimbangkan untuk mengambil keputusan atas banding tersebut secara cepat dan tidak melampaui 90 hari sejak permohonan banding disampaikan kepada Mahkamah Agung. Mahkamah Agung menyatakan tata cara


(50)

untuk mempercepat penyelesaian banding ini, jika tidak adanya tata cara demikian akan mempengaruhi kewajiban Mahkamah Agung untuk menangani, mempertimbangkan dan memutuskan banding tersebut sesuai dengan syarat yang ditetapkan dalam ketentuan ini. Di sini terlihat adanya kemungkinan banding langsung ke Mahkamah Agung (tidak lagi melalui Pengadilan Tinggi).

Alasannya tentu untuk mempersingkat kemungkinan dapat diselesaikan dan dilaksanakannya putusan bersangkutan. Perlu mendapat penjelasan tentang batasan waktu untuk melaksanakan eksekusi jika putusan arbitrase dinyatakan oleh pengadilan dapat dilaksanakan.

Akan tetapi hal itu tidak terdapat di dalam UU No. 30 Tahun 1999 namun demikian ada penjelasan yang menyatakan bahwa ditetapkan waktu untuk melaksanakan eksekusi, disini ada hal menarik karena jangka waktu untuk melakukan hal yang baru dan tidak terdapat didalam acara pelaksanaannya putusan dari pengadilan biasa melalui Pengadilan Negeri.

Dalam prakteknya justru tidak adanya ketegasan mengenai jangka waktu berapa lama, harus sudah diselesaikan eksekusi ini dan pelaksanaannya dalam praktek, maka timbullah penguluran-penguluran waktu yang tidak terhingga.

Penetapan ini atau batasan waktu penting untuk kepentingan hukum, memang jika ditetapkan jangka waktu untuk terlaksananya suatu eksekusi melalui Pengadilan Negeri, adalah sesuatu hal yang ideal karena semua kelambatan eksekusi yang dialami pada waktu sekarang ini, dengan dijalankan proses eksekusi dihadapan Pengadilan Negeri yang sering kali tertunda sampai bertahun-tahun karena berbagai


(51)

faktor, menurut kenyataan merupakan salah satu sebab mengapa dalam perkara perdata seringkali putusannya tidak dapat dieksekusi.

Seringkalinya putusan tidak dapat dieksekusi atau sangat lambatnya eksekusi ini hanya karena menetapkan secarik kertas belaka. Jangka waktu yang telah ditentukan dalam eksekusi pelaksanaan putusan arbitrase adalah salah satu kemajuan yang besar dan patut dihargai tetapi melihat struktur keadaan pada waktu sekarang ini hal itu sangat sulit untuk dicapai dalam prakteknya.

C. Upaya Hukum Terhadap Putusan Arbitrase

36

“Dengan berlokasi di dataran tinggi yang asri dan hijau, dimana anda dapat merasakan kesejukan alam perbukitan, semarak kicauan burung dikerimbunan pohon di udara yang bebas polusi, gemercik air terdengar sayup dan tawa ceria yang terdengar di alam yang jauh dari hingar bingar adalah harapan sejahtera bagi keluarga bahagia”.

Demikianlah kira-kira, hampir semua brosur perumahan menawarkan keasrian, kemegahan dan berbagai impian indah lainnya. Tak banyak orang tahu bahwa brosur-brosur perumahan yang dibagikan dalam berbagai pameran atau expo perumahan itu memiliki dimensi hukum atau bagi mereka yang tahu, lebih baik memanfaatkan ketidaktahuan (ignorance) pihak lain. Yang penting target penjualan, minimal break event point tercapai.

Pada umumnya, pemasaran rumah dan rumah susun menggunakan sarana

36


(52)

iklan atau brosur sebagai sarana untuk mengkomunikasikan produk-produk yang dibuat dan/atau dipasarkan pengembang kepada konsumen. Tak jarang informasi yang disampaikan itu ternyata menyesatkan (misleading information) atau tidak benar, padahal konsumen sudah terlanjur menandatangani perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) dengan pengembang, atau bahkan sudah akad kredit dengan bank pemberi kredit pemilikan rumah atau satuan rumah susun.

Dalam perspektif konsumen, berbagai iklan atau brosur perumahan merupakan sarana informasi minimal bagi seorang konsumen untuk menjatuhkan pilihannya. Sebaliknya dari sisi kepentingan sebagian pengembang untaian kata-kata indah dan pemandangan asri dalam brosur yang diterbitkannya tidak punya makna apa-apa, kecuali sebatas memberikan selling effect saja, untuk menembak sisi psikologis konsumen. Belum lagi janji-janji pelayanan fasilitas yang diumbar sedemikian menariknya, sedangkan persoalan informasi yang dikemasnya benar atau tidak itu menjadi resiko konsumen.

Selanjutnya karena PPJB dibuat oleh pengembang, faktor subjektifitas pengembang sangat mempengaruhi didalam memasukkan kepentingan-kepentingannya di dalam PPJB, sebaliknya sulit bagi konsumen untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingannya di dalam PPJB itu.

Dari berbagai informasi yang penulis dapatkan, baik melalui kepustakaan maupun informasi dari praktek sehari-hari, ditemui beberapa sengketa yang sering terjadi antara konsumen dengan pengembang sebagai akibat masing-masing atau salah satu pihak tidak menjalankan kesepakatan yang dicapai melalui perjanjian,


(53)

maupun melalui informasi brosur/iklan yang disampaikan kepada konsumen, antara lain :

1. Sengketa yang timbul akibat promosi melalui brosur, iklan atau pameran expo perumahan yang disampaikan secara berlebihan kepada konsumen. Biasanya lewat brosur tersebut disampaikan beberapa fasilitas dan sarana lainnya yang turut dibangun, seperti tempat rekreasi, pemancingan, sarana olah raga, taman bermain, dan fasilitas lainnya. Sebagaimana diketahui bahwa lewat promosi tersebut memberikan harapan-harapan kepada calon konsumen dan pada akhirnya akan menjatuhkan pilihannya pada salah satu rumah tersebut. Namun kenyataannya pengembang tidak konsisten dengan brosur yang diterbitkannya. Dalam brosurnya pengembang mencantumkan berbagai fasilitas, tetapi ternyata di atas lokasi dimana akan dibangun fasilitas itu telah dibangun rumah-rumah yang akan dipasarkan dan dijual kepada konsumen pembeli rumah tahap berikutnya. Pengembang berargumentasi bahwa lahan untuk fasilitas itu merupakan miliknya dan menurut pengembang brosur tersebut sudah tidak berlaku lagi. Tetapi konsumen yang sudah terlanjur membeli rumah tersebut mempertanyakan janji-janji pengembang yang dicantumkan dalam brosurnya. Oleh karena itulah timbul sengketa, dimana sejumlah konsumen menuntut pengembang untuk memberikan ganti rugi sebagai kompensasi biaya akibat tidak dipenuhinya pembangunan fasilitas-fasilitas yang dijanjikan tersebut.

2. Sengketa yang timbul akibat adanya suatu paksaan dari pihak pengembang kepada konsumen untuk membeli sejumlah ukuran tanah lebih disekitar ukuran


(54)

rumah yang dibeli tersebut. Sedangkan sebagaimana diketahui hal ini tidak ada dijumpai dalam klausula-klausula PPJB dan ini merupakan suatu beban yang memberatkan konsumen untuk membeli ukuran tanah lebih tersebut. Pada kondisi yang demikian ini konsumen berada pada keadaan yang sangat sulit karena upaya untuk menolak paksaan pengembang tidak mungkin dilakukan karena akan merugikan konsumen. Hal ini disebabkan apabila konsumen menolak, dengan sendirinya pembatalan perjanjian akan dilakukan oleh pengembang dan uang muka yang telah dibayar oleh konsumen sebagian atau bahkan keseluruhannya tidak akan dikembalikan. Sedangkan apabila paksaan untuk membeli ukuran tanah lebih itu diterima akan menambah beban konsumen dalam melaksanakan pembayaran cicilan berikutnya.

3. Sengketa yang juga terjadi akibat tenggang waktu yang diberikan pengembang kepada konsumen untuk mengajukan klaim atas kondisi/mutu bangunan dan hal-hal lainnya dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dicantumkan klausula-klausula bahwa konsumen dapat mengajukan klaim kepada pengembang dalam waktu 90 atau 100 hari setelah serah terima bangunan, termasuk dalam hal ini masalah cacat tersembunyi. Lewat dari waktu yang ditetapkan secara sepihak itu, tuntuan apapun tidak akan dilayani. Pembatasan tenggang waktu ini tidak adil bagi konsumen karena waktu yang ditetapkan itu hanya cukup untuk meneliti kondisi/kualitas bangunan yang terlihat kasat mata sedangkan untuk mengetahui cacat tersembunyi, seperti : konstruksi bangunan, penggunaan semen yang tidak sesuai dengan perbandingan, dan sebagainya tidak cukup dalam waktu itu. Klaim


(55)

konsumen terhadap beberapa hal tersebut tidak dilayani pengembang setelah melampaui jangka waktu itu.

4. Sengketa juga biasanya muncul pada saat jual beli dengan pembayaran lunas (kontan) maupun setelah pelunasan angsuran atas rumah kepada pengembang. Walaupun rumah berikut tanah telah dibayar lunas dan telah dilakukan penyerahan bangunan, namun tidak diikuti dengan penyerahan dokumen-dokumen pemilikan rumah dan tanah, seperti sertifikat Hak Guna Bangunan Pecahan dan surat izin mendirikan bangunan dengan alasan masih dalam proses pengurusan danakan diserahkan pada waktu berikutnya. Namun setelah tiba waktu yang dijanjikan, dokumen (sertifikat) belum juga diserahkan, bahkan oleh pengembang kewajiban untuk mengurus dokumen diserahkan kepada konsumen. Padahal sesuai ketentuan yang berlaku, bahwa dokumen diserahkan sesaat setelah bangunan rumah dan tanah diserahkan, akan tetapi tidak demikian halnya dilakukan oleh beberapa pengembang dan hal ini membuat konsumen merasa sangat kecewa atas tidak dipenuhinya kewajiban tersebut.

Dari sejumlah sengketa yang penulis temukan tersebut merupakan sebagian dari beberapa sengketa yang pada umumnya sering terjadi disamping sengketa-sengketa lain yang terjadi akibat salah satu pihak wanprestasi terhadap ketentuan-ketentuan yang diatur dalam peraturan tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban masing-masing pihak.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa meskipun undang-undang menetapkan bahwa putusan arbitrase bersifat final dan mengikat, tidak ada upaya


(56)

hukum banding maupun kasasi. Akan tetapi UU No. 30 Tahun 1999 juga mengatur adanya upaya hukum yang luar biasa terhadap putusan yang dihasilan oleh lembaga arbitrase yaitu berupa upaya perlawanan ke Pengadilan Negeri. Upaya perlawanan tersebut hanya dapat dilakukan kepada Ketua Pengadilan Negeri, itupun sangat terbatas yaitu sebagai berikut :

1. Surat atas dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu.

2. Setelah putuan diambil, ditemukan semacam ”novum” yakni ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang disembunyikan oleh pihak lawan.

3. Putusan arbitrase diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.

Upaya-upaya perlawanan yang diajukan ke Pengadilan Negeri itu bukanlah merupakan upaya hukum banding biasa tetapi upaya hukum di dalam putusan arbitrase adalah merupakan upaya hukum yang luar biasa di mana terhadap putusan arbitrase tersebut dimohonkan untuk dilakukan pembatalan. Tanpa alasan-alasan yang spesifik sebagaimana disebutkan di atas tidak akan bisa dilakukan perlawanan, namun demikian apabila putusan arbitrase tersebut memang benar ada mengandung salah satu dari unsur tersebut maka tentunya dapat dilakukan perlawanan untuk segera dilakukan pembatalan.

Menurut Pasal 71 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa bahwa permohonan pembatalan putusan arbitrase harus


(57)

diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase ke Panitera Pengadilan Negeri.

Menurut UU No. 30 Tahun 1999 pada Pasal 72 ayat (1), bahwa permohonan pembatalan terhadap suatu putusan arbitrase haruslah diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Yang menjadi pertanyaan adalah Pengadilan Negeri mana yang berkompeten untuk itu, karena undang-undang tidak mengatur dan mengindikasikan Pengadilan Negeri yang berkompeten tersebut.

Baha apabila permohonan pembatalan tersebut diterima dan dikabulkan oleh Pengadilan Negeri maka Ketua Pengadilan Negeri akan menentukan lebih lanjut akibat dari pembatalan tersebut, apakah untuk sebahagian atau seluruhnya. Putusan pembatalan itupun baru bisa diputuskan oleh Ketua Pengadilan Negeri paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya permohonan pembatalan tersebut. Terhadap putusan Pengadilan Negeri ini dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung di mana Mahkamah Agung akan memutus untuk tingkat pertama dan terakhir dalam permasalahan ini.

Untuk memutuskan permohonan banding inipun Mahkamah Agung memerlukan waktu untuk mempertimbangkannya paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diterima permohonan banding tersebut. Oleh karena itu sangat jelas sekali bahwa tidak semudah itu mencari temuan dalam rangka melakukan perlawanan terhadap putusan arbitrase tersebut, karena sesungguhnya putusan arbitrase tersebut telah bersifat final sehingga seharusnya sedini mungkin disadari benar-benar akan konsekuensi logis dari pada putusan yang bersifat final tersebut. Perlawanan yang


(1)

PERANAN ARBITRASE

DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERUMAHAN

MENURUT UNDANG-UNDANG

NO. 30 TAHUN 1999

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Tugas Akhir Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH :

MARTHUNUS JULIANSYAH SY.

NIM : 040200157

DEPARTEMEN : HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN : HUKUM DAGANG

KETUA DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

Prof.Dr. Tan Kamello,SH.MS

NIP.196204211988031004


(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur, penulis ucapkan kehadirat Allah, yang memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis juga tak lupa mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah memberikan segenap dorongan baik moril maupun materil, tanpa adanya bantuan tersebut penulis tidak akan mampu menyelesaikan skripsi ini.

Atas perhatian yang diberikan, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Bapak Prof. DR. Tan Kamello, SH,MS, selaku dosen pembimbing I penulis yang

telah banyak memberikan masukan serta bimbingan pada penulis.

3. Bapak Malem Ginting, SH, M.Hum selaku dosen pembimbing II yang juga telah

banyak memberikan masukan serta arahan bagi penulis.

4. Segenap dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan yang telah

banyak memberikan sumbangsih ilmu kepada penulis.

5. Teristimewa buat ayahanda Asrul Koto serta ibunda Djulida, yang telah

memberikan kasih sayang dan dorongan kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.


(3)

6. Khusus buat Astarie Anastasia (Ririe) yang terus mendukung dan memberikan motivasi serta semangat bagi penulis.

7. Kepada teman-teman satu angkatan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara Medan.

Akhirnya penulis mengharapkan skripsi ini bermanfaat bagi khazanah hukum, walau disana-sini masih banyak kekurangannya.

Medan, September 2009 Penulis,


(4)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 3

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 4

D. Keaslian Penulisan ... 4

E. Tinjauan Kepustakaan ... 5

F. Metode Penulisan ... 10

G. Sistematika Penulisan... 11

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERUMAHAN ... ... 13

A. Pengertian Perumahan ... ... 13

B. Tujuan Pembangunan Perumahan ... ... 14

C. Perlindungan Konsumen Terhadap Pembelian Rumah ... 20

1. Prinsip-prinsip Hukum Perlindungan Konsumen ... 20

2. Perlindungan Konsumen Menurut Hukum Positif di Indonesia ... ... 25


(5)

BAB III : ARBITRASE SEBAGAI SALAH SATU PILIHAN HUKUM ... 36

A. Pengertian Arbitrase ... 36

B. Sejarah Arbitrase ... 43

C. Kekuatan Putusan Arbitrase ... 47

D. Arbitrase Sebagai Suatu Cara Penyelesaian Sengketa di Luar Badan Peradilan (Non Litigasi) ... 48

E. Peranan Arbitrase Dalam Sistem Hukum Indonesia ... 58

F. Prospek Penegakan Hukum Arbitrase di Indonesia ... 66

G. Proses Pemeriksaan Sengketa Dalam Arbitrase ... 69

BAB IV : PROSES PENYELESAIAN SENGKETA PERUMAHAN MELALUI ARBITRASE MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 1999 ... 76

A. Putusan Arbitrase ... 76

B. Pelaksanaan Putusan Arbitrase ... 79

C. Upaya Hukum Terhadap Putusan Arbitrase ... 84

D. Berakhirnya Tugas Arbitrase ... 91

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 93

A. Kesimpulan ... 93

B. Saran ... 96


(6)

ABSTRAK

Dewasa ini dalam dunia bisnis sering terjadi sengketa. Akan tetapi untuk menyelesaikannya melalui proses pengadilan sering sekali selalu dihindari atau dielakkan, baik bagi pihak yang merasa dirugikan maupun pihak yang digugat. Hal ini diakibatkan karena penyelesaian sengketa lewat peradilan sering dianggap hanya memakan waktu dan tidak efisien. Karena berbagai kelemahan yang melekat pada badan pengadilan dalam menyelesaikan sengketa, baik kelemahan yang dapat diperbaiki ataupun tidak, maka banyak kalangan yang ingin mencari cara lain atau institusi lain dalam menyelesaikan sengketa di luar badan peradilan.

Berdasarkan hal tersebut, permasalahan yang dikemukakan adalah : bagaimana peranan arbitrase dalam sistem hukum Indonesia ; bagaimana proses pemeriksaan sengketa dalam arbitrase dan bagaimana pelaksanaan putusan arbitrase di Indonesia.

Selanjutnya metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah berupa data sekunder dan primer yang berhubungan erat dengan materi pokok dalam penulisan skripsi ini.

Berdasarkan permasalahan tersebut diperoleh kesimpulan bahwa : Peranan arbitrase dalam sistem hukum Indonesia dewasa ini semakin terasa penting keberadaannya karena umumnya peradilan nasional kurang mendapat kepercayaan dari masyarakat pengusaha bisnis, disamping berbiaya mahal dan memakan waktu yang panjang sedangkan berperkara melalui arbitrase lebih murah dan efisien serta putusannyapun bersifat final dan mengikat ; Proses pemeriksaan sengketa dalam arbitrase meliputi antara lain acara yang dipergunakan, bahasa yang dipakai, sistem pembuktian yang diterapkan, hak-hak para pihak dalam proses pemeriksaan serta alur jalannya pemeriksaan itu sendiri yang dimulai dari sejak permohonan pemeriksaan sengketa diajukan hingga pada akhirnya dijatuhkan putusan pada tingkat akhir yang mengikat para pihak dan pelaksanaan putusan arbitrase di Indonesia dapat dilakukan secara suka rela apabila kedua belah pihak menginginkannya. Putusan arbitrase dapat juga dilaksanakan secara paksa melalui campur tangan Pengadilan Negeri dengan melakukan eksekusi atas perintah Ketua Pengadilan Negeri.

Untuk itu disarankan agar para pihak pebisnis dengan cara musyawarah dan mufakat menempuh jalan penyelesaian melalui lembaga arbitrase ; agar sedini mungkin haruslah dipersiapkan sumber daya manusia untuk menjadi arbiter yang memang benar-benar profesional, terpercaya dan handal sehingga lembaga arbitrase akan semakin mendapat tempat dihati masyarakat khususnya dunia usaha dan agar para

pihak arbitrase memegang kepercayaan secara sungguh-sungguh dengan

melaksanakan tugas sebagai arbiter sesuai dengan Undang-undang No. 30 Tahun 1999.


Dokumen yang terkait

EMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE OLEH PENGADILAN NEGERI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

0 7 17

Pengakuan Dan Pelaksanaan Putusan Sengketa Kepemilikan Nama Domain Dikaitkan Dengan Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Indonesia.

0 0 13

IMPLEMENTASI ASAS KERAHASIAAN DALAM PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI ARBITRASE TERKAIT PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE DIHUBUNGAKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN.

0 1 2

KLASIFIKASI PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DALAM UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL.

0 0 2

PRINSIP KERAHASIAN PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI ARBITRASE MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 1999.

0 0 9

APBI-ICMA Undang-Undang No.30 Tahun 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

0 0 51

A. Pendahuluan - PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN MELALUI ARBITRASE SECARA ELEKTRONIK (ARBITRASE ON LINE) BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

0 0 18

PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BERDASARKAN UNDANG- UNDANG NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

0 0 11

Undang-undang No. 30 Tahun 1999 Tentang : Arbitrase Dan Penyelesaian Masalah

0 0 36

KEDUDUKAN PERJANJIAN ARBITRASE DALAM PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE

0 0 63