Profil Karsinoma Nasofaring Di SMF THT-KL Rsup Haji Adam Malik Medan Periode Januari - Desember 2015

5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Karsinoma Nasofaring
2.1.1. Anatomi Nasofaring
Nasofaring terletak tepat di belakang cavum nasi, di bawah basis cranii dan di
depan vertebrae cervicalis I dan II. Nasofaring membuka di bagian depan ke dalam
cavum nasi dan ke bawah ke dalam orofaring. Tuba auditorius (Eustachius) membuka
ke dalam dinding lateralnya pada setiap sisi.3
Atap nasofaring dibentuk oleh dasar tengkorak yang merupakan tempat keluar
masuk saraf-saraf otak serta pembuluh darah dari atau ke dalam otak sedang dasar
nasofaring dibentuk oleh permukaan superior palatum molle. Dinding depan dibentuk
oleh choanae dan tepi belakang septum nasi sedangkan bagian belakang nasofaring
berbatasan dengan ruang retro-faring, fasia prevertebralis dan otot-otot dinding faring.
Pada dinding lateral nasofaring terdiri dari orifisium muara tuba eustachius di mana
orifisium ini biasanya berbentuk seperti segitigaa dan dibatasi superior dan posterior
oleh tobus tubarius, ke arah superior terdapat fossa Rosenmulleri. Pada atap
nasofaring sering terlihat lipatan-lipatan mukosa yang disebabkan oleh jaringan lunak
submukosa, di mana pada usia muda mukosa dinding posterior superior nasofaring

umumnya tidak rata. Hal ini dapat disebabkan karena adanya jaringan adenoid, atau
bursa faring.

Universitas Sumatra Utara

6

Gambar 2.1.1 Anatomi Nasofaring
Sumber

: Atlas of Human Anatomy, 6 th Edition,Frank Netter.

2.1.2. Definisi
Karsinoma nasofaring adalah tumor yang berasal dari sel-sel epitel yang
menutupi permukaan nasofaring.Penyebab utama adalah virus Epstein-Barr.Biasanya
tumor ganas ini tumbuh dari fossa Rossenmuller dan dapat meluas ke hidung,
tenggorok, serta dasar tengkorok. Gejala utama biasanya terjadi pada leher, hidung,
dan telinga.6
Karsinoma nasofaring pertama dilaporkan oleh Regand dan Schmincke pada
tahun 1921.Karsinoma ini terkenal sebagai tumor yang berpotensi tinggi untuk

metastase regional maupun jauh.2

2.1.3. Etiologi
Penyebab pasti Karsinoma nasofaring sampai saat ini masih belum diketahui,
namun beberapa faktor intrinsik dan ekstrinsik diyakini sebagai penyebab. 13
Epstein-Barr merupakan penyebab utama timbulnya penyakit ini. Virus tersebut
dapat masuk ke dalam tubuh dan tetap tinggal di sana tanpa menyebabkan suatu

Universitas Sumatra Utara

7

kelainan dalam jangka waktu yang lama.17
Faktor ekstrintik adalah :
a. Virus Epstein-Barr
b. Karsinogen Lingkungan
Faktor ekstrintik adalah:
a. Genetik
b. Lingkungan
c. Jenis Kelamin


2.1.4. Epidemiologi
Insiden Karsinoma nasofaring yang palng tinggi adalah pada ras Mongoloid di
Asia dan China Selatan, dengan frekuensi 100 kali dibanding frekuensi Karsinoma
nasofaring pada ras Kaukasia. Prevalensi Karsinoma nasofaring pada populasi Jepang
dan Indian dilaporkan sangat rendah. Sedangkan prevalensi yang sedang, dijumpai di
Malaysia, Singapura, Israel, Alaska, dan pada penduduk emigran China selatan di
Amerika Serikat. Prevalensi Karsinoma nasofaring di Provinsi Guangdon China
Selatan adalah 39,84/100.000 penduduk.
Penderita Karsinoma nasofaring dijumpai 32% dari seluruh penderita kanker
dan merupakan jenis kanker yang paling banyak di kota Guangzhu. Di beberapa
tempat lain, penderita Karsinoma nasofaring dijumpai tidak begitu banyak, seperti di
Jordania dimana Karsinoma nasofaring hanya ditemukan 1% dari seluruh keganasan,
dan di Karachi hanya 0,3% dari seluruh tumor ganas.
Sebagai besar penderita Karsinoma nasofaring berumur diatas 20 tahun, dengan
umur paling banyak antara 50-70 tahun. Penilitian di Taipe, menjumpai umur rata-rata
penderita lebih muda yaitu 25 tahun. Insiden Karsinoma nasofaring meningkat setelah

Universitas Sumatra Utara


8

umur 20 tahun dan tidak ada lagi peningkatan insiden setelah umur 60 tahun.
Sebesar 2% dari kasus Karsinoma nasofaring adalah penderita anak dan di
Guangzhou ditemui 1% Karsinoma nasofaring berumur di bawah 14 tahun. Pada
penelitian yang dilakukan di Medan (2008), kelompok umur penderita karsinoma
nasofaring terbanyak adalah 50-59 tahun (29,1%). Umur penderita yang paling muda
adalah 21 tahun dan yang paling tua 77 tahun. Rata-rata umur pemderita pada
penelitian ini adalah 48,8 tahun.
Ditemukan kecendurangan penderita Karsinoma nasofaring laki-laki lebih banyak
dari perempuan. Dari beberapa penelitian dijumpai perbandingan penderita laki-laki
dan perenpuan adalah 4:1. Namun ada penelitian yang menemukan perbandingan
laki-laki dan perempuan hanya 2:1.
2.1.5. Faktor Risiko
Faktor risiko adalah apa saja yang mempengaruhi kesempatan seseorang
terkena penyakit seperti kanker. Kanker yang berbeda memiliki faktor risiko yang
berbeda . Beberapa faktor risiko, seperti merokok, dapat berubah. Lain, seperti
riwayat usia atau keluarga seseorang, tidak dapat diubah. Memiliki faktor risiko, atau
bahkan beberapa faktor risiko, tidak berarti bahwa Anda akan mendapatkan penyakit
ini. Dan banyak orang yang mendapatkan penyakit ini mungkin memiliki sedikit atau

tidak ada faktor risiko yang diketahui.
Menurut American Cancer Society faktor risiko yang membuat seseorang lebih
mungkin untuk mengembangkan kanker nasofaring ( KNF ). Ini termasuk :
1.

Jenis kelamin

2.

Faktor lingkungan

3.

Karsinogen lingkungan

Universitas Sumatra Utara

9

4.


Infeksi virus Epstein-barr

5.

Faktor genetik

6. Riwayat keluarga
1.

Jenis Kelamin
Menurut Susworo pria merupakan urutan pertama daripada seluruh

keganasan manakala wanita merupakan urutan ke-4 dari seluruh keganasan.
Hormon testosteron yang dominan pada laki-laki dicurigai mengakibatkan
penurunan respon imun dn surviellance tumor sehingga laki-laki lebih rentan
terhadap infeksi Virus Epstein- Barr dan kanker.8 Menurut American Cancer
Society, Karsinoma nasofaring ditemukan dengan ratio 2:1 daripada wanita. 15

2.


Faktor Lingkungan
Karsinoma nasofaring

paling sering di Cina selatan (termasuk Hong

Kong), Singapura, Vietnam, Malaysia, dan Filipina. Hal ini juga cukup umum
di Northwest Kanada dan Greenland. Orang Cina selatan memiliki risiko lebih
rendah dari Karsinoma nasofaring jika mereka pindah ke daerah lain yang
memiliki lebih rendah tingkat karsinoma nasofaring (seperti Amerika Serikat
atau Jepang), tetapi risiko mereka masih lebih tinggi daripada orang-orang yang
asli daerah dengan risiko yang lebih rendah. Mahupun, risiko mereka
tampaknya turun. Risiko juga turun di generasi baru. Meskipun kulit putih yang
lahir di Amerika Serikat memiliki risiko rendah Karsinoma nasofaring, kulit
putih yang lahir di Cina memiliki risiko lebih tinggi. Di Amerika Serikat,
Karsinoma nasofaring adalah yang paling umum di Kepulauan Asia dan Pasifik
(Cina Amerika), diikuti oleh penduduk asli India dan Alaska Amerika, Afrika
Amerika, putih, dan Hispanik/Latin.18

Universitas Sumatra Utara


10

3.

Karsinogen Lingkungan
Orang yang tinggal di bagian Asia , Afrika utara , dan wilayah Kutub Utara

di mana Karsinoma nasofaring adalah umum, biasanya makan diet yang sangat
tinggi pada ikan asin dan daging. Kadar kanker menurun di tenggara Cina
sebagai orang-orang mulai makan makanan yang lebih Westernized. Di
Sebaliknya, beberapa penelitian menunjukkan bahwa diet tinggi buah-buahan
dan sayuran dapat menurunkan risiko Karsinoma Nasofaring. Makanan yang
mengandungi nitrosamine yang dikonsumsi di masa kecil, mempunyai risiko
untuk terjadinya KNF pada usia dewasa. Nitrosamine merupakan mediator yang
dapat mengatifkan VEB. Bahan kimia ini merupakan pro-karsinogen serta
promotor aktivasi VEB, yang ditemukan dalam kadar tinggi pada ikan asin.
Pro-karsinogen merupakan karsinogen yang memerlukan perubahan metabolis
agar menjadi karsinogen aktif, sehingga dapat menimbulkan perubahan DNA,
RNA atau protein sel tubuh.12


4.

Virus Epstein-Barr
Virus Epstein-Barr adalah herpes virus umum yang merupakan penyebab
infeksi mono nukleosis akut dan salah satu faktor etiologi pada karsinoma
nasofring, karsinoma gaster serta limfoma Burkitt.VEB termasuk famili
virus herpes dan subfamili gammaherpesviridae. Genom DNA VEB adalah
double-stranded, mengandung 173 kbp dan memiliki kandungan
guanin-plus-sitonin sebesar 60%. VEB mempunyai komponen inti, kapsul

Universitas Sumatra Utara

11

dan selaput pembungku. Inti dikelilingi oleh kapsul yang disebut kapsomer
yang di dalamnya terdapat DNA. Inti dan kapsul dikelilingi selaput
pembungkus glikoprotein yang disebut envelope.12
Hubungan antara infeksi EBV dan NPC kompleks dan belum
sepenuhnya dipahami infeksi EBV saja tidak cukup untuk menyebabkan

NPC, karena infeksi virus ini sangat umum dan kanker ini jarang terjadi.
Faktor-faktor lain, seperti gen seseorang, dapat mempengaruhi bagaimana
penawaran tubuh dengan EBV, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi
bagaimana EBV kontribusi untuk pengembangan NPC .19
Pada infeksi laten, Veb banyak dijumpai di saliva, sehingga
penularannya terutama secara horizontal melalui saliva atau percikan air
ludah. Penularan dapat terjadi pada kontak oral atau melaui saliva yang
tertinggal pada peralatan makanan. VEB menginfeksi epitel nasofaring dan
limfosit B melalui reseptor CR2 (complement receptor type 2) atau molekul
CD21 (clusters of differentiation antigen 21) yang dapat berkaitan dengan
VEB.

5.

Faktor Genetik
Kerentanan genetik sebagai faktor predisposisi KNF didasarkan atas fakta

banyaknya penderita dari bangsa atau ras China. Selain itu KNF juga banyak
dijumpai pada ras mongoloid, termasuk bangsa-bangsa di Asia terutama Asia
Tenggara yang masih tergolong rumpun Melayu. Insiden KNF di China maupun

negara di Asia Tenggara lebih besar 10-50 kali dibandingkan negara lainnya.
Adanya riwayat tumor ganas dalam keluarga merupakan salah satu faktor risiko
KNF. Secara umum didapatkan sekitar 10% dari penderita KNF mempunyai

Universitas Sumatra Utara

12

keluarga yang menderita keganasan nasofaring atau organ lain, dan 5%
diantaranya sama-sama menderita KNF dalam keluarganya.8
Gen seseorang dapat mempengaruhi risiko mereka untuk NPC. Misalnya,
seperti orang yang berbeda jenis darah, mereka juga memiliki jenis jaringan
yang berbeda. Studi telah menemukan bahwa orang dengan tertentu jenis
jaringan mewarisi memiliki peningkatan risiko mengembangkan NPC . jenis
jaringan mempengaruhi kekebalan tubuh tanggapan, jadi ini mungkin terkait
dengan bagaimana tubuh seseorang bereaksi terhadap infeksi EBV. 14.

6.

Riwayat Keluarga
Anggota keluarga penderita NPC lebih mungkin untuk mendapatkan

kanker ini. Hal ini tidak diketahui apakah ini adalah karena gen yang
diwariskan, faktor lingkungan bersama (seperti diet yang sama atau pola hidup),
atau beberapa kombinasi dari ini.

2.1.6. Histopatologi
Klasifikasi gambaran histopatologi yang direkomendasikan oleh Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO), dibagi atas 3 tipe, yaitu :
1. Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell
Carcinoma). Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi diferensiasi baik, sedang dan
buruk.

Universitas Sumatra Utara

13

2. Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma) Pada tipe ini
dijumpai adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi sel skuamosa tanpa
jembatan intersel. Pada umumnya batas sel cukup jelas.
3. Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma)

Pada tipe

ini sel tumor secara individu memperlihatkan inti yang vesikuler, berbentuk
oval atau bulat dengan nukleoli yang jelas. Pada umumnya batas sel tidak
terlihat dengan jelas. Tipe tanpa diferensiasi dan tanpa keratinisasi
mempunyai sifat yang sama, yaitu bersifat radiosensitif. Sedangkan jenis
dengan keratinisasi tidak begitu radiosensitif.
4.
2.1.7. Patogenesis
KNF terjadi akibat perubahan genetik yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan,
baik virus maupun faktor kimiawi. Keterlibatan faktor kerentanan genetik dan delesi
pada kromosom 3p/9p berperan pada tahap awal perkembangan kanker. Hal ini
menunjukkan bahwa perubahan genetik dapat dirangsang oleh karsinogen kimia di
lingkungan yang menyebabkan transformasi epitel normal ke lesi pra-kanker tingkat
rendah, seperti NPIN I dan II. Penemuan berikutnya menunjukkan bahwa infeksi laten
virus EB berperan dalam progresi lesi pra-kanker tingkat rendah ke tingkat tinggi yaitu
NPIN III. Infeksi laten virus EB juga berperan penting dalam proses seleksi klonal dan
perkembangan lebih lanjut.
Ekspresi bcl-2 yang terdapat di dalam sel displastik dari lesi pra-kanker tingkat
tinggi (NPIN III) berperan dalam menghambat proses apoptosis. Kemudian faktor
lingkungan, perubahan genetik seperti aktivasi telomerase, inaktivasi gen p16/p15,
delesi kromosom 11q dan 14q juga berperan dalam tahap awal perkembangan KNF.
Peran LOH (Loss of Heterozygosity) pada kromosom 14q dan overekspresi dari
gen c-myc, protein ras dan p53 berperan dalam progresi karsinoma yang invasif. Selain

Universitas Sumatra Utara

14

itu, mutasi gen p53 dan perubahan genetik lainnya juga berperan dalam proses
metastasis.5

Gambaran 2.1.7 Patogenesis Karsinoma Nasofaring.

2.1.8. Gejala Klinis
Gejala awal KNF sering minimal dan tidak khas. Disamping itu gejala awal
sangat tergantung pada lokasi tumor di nasofaring, sehingga sering terjadi
mis-interpretasi. Limfadenopati servikal pada leher bagian atas merupakan gejala
klinik yang paling sering pada KNF. Gejal in lebih sering unilateral pada sisi yang
sama dengan tumor dan biasanya tidak nyeri. Gejala ini sering diragukan dengan
pembengkakan parotis.

Universitas Sumatra Utara

15

Menurut Rahman dan Subroto, gejala yang sering muncul dapat dikelompokkan
menjadi empat kategori yaitu :
1.

Gejala Telinga

2.

Gejala Hidung

3.

Gejala Neurologi/Saraf

4.

Benjolan yang tidak nyeri di leher

Gejala Telinga
Gejala yang paling sering adalah berkurangnya pendengaran pada satu telinga.
Hal ini disebabkan penyumbatan tuba Eustachius oleh massa tumor dan sering
berlanjut menjadi otitis media serosa. Tumor dapat menginfiltrasi otot tuba Eustachius
sehingga menimbulkan gangguan mekanisme pembukaan tuba. Otitis media serosa
relatif jarang terjadi pada orang tua, sehingga bila dijumpai gejala tersebutdicurigai
suatu KNF.12

Gejala Hidung
Gejalanya adalah sumbatan hidung yang progresif,epistaksis, post nasal drip
bercampur darah.9 Gejala epistaksis dan ingus berdarah merupakan gejala pada hidung
yang paling sering. Sputum yang berdarah dari mukosa yang ulserasi sering juga
dijumpai terutama pagi hari. Gejala ini merupakan gejala KNF pada tenggorok.
Sumbatan pada hidung biasanya dijumpai pada kasus KNF yang massa tumornya telah
menyumbat koane. Infiltrasi tumor dapat terjadi ke mukosa kavum nasi, dan massa
tumor dapat menonjol ke dalam kavum nasi.12

Universitas Sumatra Utara

16

Gejala Neurologi/ Saraf
Gejala ini berhubungan dengan keterlibatan saraf-saraf kranial. Kejadian
keterlibatan saraf kranial pada KNF sekitar 20%. Apabila tumor meluas ke superior
akan melibatkan saraf III sampai VI, dan apabila perluasan ke lateral dapat melibatkan
saraf kranial IX sampai XII. Saraf kranial yang paling sering terlibat adalah III, V, VI
dan XII.9 Gejala neurologis terdiri daei sakit kepala atau gejala saraf kranial, yang
berartitelah terjadi penjalaran lokal dar tumor. Sakit kepala merupakan gejala yang
paling sering terjadi pada gangguan neurologis. Sakit kepala unilateral yang persisten
merupakan gejala yang khas pada KNF. Gejala ini biasanya disebabkan oleh erosi
tulang dasar tenggorak atau iritasi nervus kranial. Saraf kranial VI paling sering
dikenali sehingga mengakibatkan gangguan sensasi pada muka serta diplopia. Gejala
lanjut gangguan saraf ini adalah proptosis. Kombinasi kelainan neurologis yang sering
terjadi adalah N. II sampai N. VI (Jacod’s syndrome) serta kelainan N.IX samai N.
XII ( Villaret’s syndrome).12
Benjolan Yang Tidak Nyeri
Benjolan yang tidak nyeri di leher. Lebih dari 50% pasien KNF datang dengan
keluhan benjolan di leher. Pembesaran kelenjer getah bening ini biasanya pada bagian
atas leher, sesuai dengan lokasi tumor (ipsilateral), namun tidak jarang bilateral. Gejala
lain. dapat berupa gejala umum adanya keganasan seperti penurunan berat badan dan
anoreksia. Gejala dini KNF sering tidak spesifik dan luput dari perhatian, pasien
sebagian besar datang ketika sudah ada benjolan di leher dan umumnya stadium
lanjut.11
2.1.9 Diagnosis
Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada suatu karsinoma
nasofaring, protokol dibawah ini dapat membantu untuk menegakkan
diagnosis pasti serta stadium tumor :13

Universitas Sumatra Utara

17

1. Anamnesis
Terdiri dari gejala hidung, gejala telinga, gejala mata dan saraf, serta gejala
metastasis/leher. Gejala tersebut mencakup hidung tersumbat, epistaksis
ringan, tinitus, telinga terasa penuh, otalgia, diplopia dan neuralgia
trigeminal (saraf III, IV, V, VI), dan muncul benjolan pada leher.

2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Nasofaringskopi
Tumor pada nasofaring juga dapat dilihat dengan mempergunakan
nasofaringskopi. Alat yang digunakan terdiri dari teleskop dengan sudut
bervariasi yaitu sudut 0, 30 dan 70 derajat dan forsep atau cunam biopsi yang
membuka ke kanan atau ke kiri. Nasofaringskopi dapat dilakukan dengan cara:
Transnasal, teleskop dimasukkan melalui hidung.2 Transoral, teleskop
dimasukkan melalui rongga mulut.
- Rinoskopi Posterior:
Alat sederhana dan murah terdiri dari lampu kepala, kaca laring
(menghindari “kabut nafas” pada kaca laring), anastesi lokal (spray) dan tang.
Prosedur dan tekniknya sederhana, dapat dikerjakan oleh doktor umum.
Dalam posisi duduk, pasien disuruh membuka mulut, lidah ditekan dan
kemudian dengan mempergunakan kaca laring dan lampu kepala keadaan
nasofaring diamati. Apabila pada nasofaring terlihat massa tumor, maka
daerah nasofaring disemprot dengan cairan anastesi dan lakukan biopsi(blind
biopsi). Metode ini disebut cara tidak langsung dengan biopsi buta. Pada
biopsi buta risiko negatif palsu ada karena biopsi tidak kena sasaran atau tidak
adekuat.19

Universitas Sumatra Utara

18

Pemeriksaan Nasoendoskopi
Pemeriksaan

nasoendoskopi

akan

memberikan

informasi

tentang

keterlibatan mukosa dan perluasan tumor serta membantu saat biopsi. Namun
pemeriksaan endoskopi tidak dapat menetukan peluasan tumor ke arah dalam
dan keterlibatan dasar tengkorak. Pemeriksaan endoskopi dapat dilakukan
dengan anestesi lokal baik dengan endoskop kaku atau serat optik (flexible).
Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan Radiologik
1. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI lebih baik dibandingkan CT Scan dalam memperlihatkan baik
bagian superfisial maupun

dalam

jaringan

lunak

nasofaring,

serta

membedakan antara massa tumor dengan jaringan normal. MRI dapat
memperlihatkan infiltrasi tumor ke otot-otot dan sinus cavernosus.
Pemeriksaan ini juga penting dalam menentukan adanya perluasan ke
parafaring dan pembesaran kelenjar getah bening. Namun, MRI mempunyai
keterbatasan dalam menilai perluasan yang melibatkan tulang.
2. Computed Tomography (CT-Scan)
CT scan penting untuk mengevaluasi adanya erosi tulang oleh tumor,
disamping juga dapat menilai perluasan tumor ke parafaring, perluasan
perineural melalui foramen ovale.
2.1.10. Diagnosis Banding
a. Kelainan Hiperplastik Nasofaring
Dalam keadaan normal korpus adenoid di atap nasofaring umumnya pada
usia sebelum 30 tahun sudah mengalami atrofi. Tapi pada sebagian orang

Universitas Sumatra Utara

19

dalam proses atrofi itu terjadi infeksi serius yang menimbulkan
nodul-nodul gelombang asimetris di tempat itu.
b. TB Nasofaring
Umumnya pada orang muda, dapat timbul erosi, ulserasi dangakal atau
benjol granulomatoid, eksudat permukaan banyak dan kotor, bahkan
mengenai seluruh nasofaring.
c. TB kelenjar limfe leher
Lebih banyak pada pemuda dan remaja, konsistensi agak keras, dapat
melekat dengan jaringan sekitarnya membentuk massa, kadang terdapat
nyeri tekan atau undulasi.
2.1.11. Stadium
Untuk penentuan stadium dipakai sistem TIM menurut UICC (2002)
dikutip dari buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan
leher Roezin.
Stadium 0

T1s

N0

M0

Stadium I

T1

N0

M0

Stadium IIA

T2a

N0

M0

Stadium IIB

T1

N2

M0

T2a

N1

M0

T2b

N0, N1

M0

T1

N2

M0

T2a,T2b

N2

M0

T3

N2

M0

Stadium III

Universitas Sumatra Utara

20

Stadium IVa

T4

N0,N1,N2

M0

Stadium IVb

semua T

N3

M0

Stadium IVc

semua T

semua N

M1

T :
T0 :

Tumor
Tidak tampak tumor.

T1 :

Tumor terbatas di nasofaring.

T2:

Tumor meluas kejaringan lunak.

T2a: Perluasan tumor ke orofaring dan/atau rongga hidung tanpa perluasan ke
parafaring (perluasan parafaring menunjukkan infiltrasi tumor kearah
postero-lateral melebihi fasia faring-basiler.
T2b: Disertai perluasan ke parafaring.
T3 :

Tumor menginvasi struktur tulang dan/ atau sinus paranasal.

T4: Tumor dengan perluasan intracranial dan/atau terdapat keterlibatan saraf
cranial, fossa infratemporal, hipofaring, orbita atau ruang masticator.

N : Pembesaran Kelenjar Getah Bening
NX : Pembesaran kelenjar getah bening tidak dapat dinilai.
N0 : Tidak ada pembesaran.
N1 : Metastasis kelenjar getah bening unilateral, dengan ukuran terbesar
kurang atau sama dengan 6 cm, di atasfossa supraclavicular.

Universitas Sumatra Utara

21

N2 : Metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran terbesar
kurang atau sama dengan 6 cm, di atasfossa supraclavicular.
N3 : Metastasis kelenjar getah bening bilateral dengan ukuran lebih besar,
atau terletak dalam fossa supraclavikular.
N3a : Ukuran lebih dari 6 cm.
N3b : Di dalam fossa supraclavicular.
Catatan : kelenjar yang terletak di daerah midline dianggap sebagai kelenjar
ipsilateral.
M : Metastasis.
MX : Metastasis jauh tidak dapat dinilai.
M0 : Tidak ada metastasis jauh.
M1 : Terdapat metastasis jauh.

2.1.12. Penatalaksanaan
Menurut American Cancer Society terapi dapat mencakup radiasi, kemoterapi,
kombinasi keduanya, dan didukung dengan terapi simptomatik sesuai dengan
gejala.
1. Stadium I

: Radioterapi.

2. Stadium II&III

: Kemoradiasi

3. Stadium IV dengan N6cm: kemoterapi dosis penuh dilanjutkan
kemoradiasi
a. Radioterapi

Universitas Sumatra Utara

22

Radioterapi adalah pengobatan kanker yang menggunakan X-ray energi
atau radiasi tipe lain untuk memusnahkan sel kanker atau menghambat
pertumbuhan sel kanker. Ada dua tipe terapi radiasi. Terapi radiasi external
menggunakan mesin yang berada di luar tubuh untuk memberikan radiasi
kepada kanker. Terapi radiasi internal menggunakan zat radioaktif yang
dimasukkan melalui jarum, radioaktive seeds, wires atau kateter yang
ditempatkan secara langsung kedalam atau di dekat kanker. Cara
pemberian terapi radiasi tergantung pada tipe dan satdium kanker yang
diobati.
Sumber radiasi menggunakan radiasi

Co-60, radiasi

energi tinggi atau

radiasi X energi tinggi dari akselerator linier, terutama dengan radiasi luar
isosentrum, dibantu brakiterapi intrakavital, bila perlu ditambah radioterapi
stereotaktik.
b. Kemoterapi
Pemberian kemoterapi diberikan dalam banyak siklus, dengan setiap
periode diikuti dengan adanya waktu istirahat untuk memberikan
kesempatan tubuh melakukan recover. Siklus-siklus kemoterapi umumnya
berakhir hingga 3 sampai 4 minggu. Kemoterapi sering tidak dianjurkan
bagi pasien yang kesehatannya memburuk. Tetapi umur yang lanjut
bukanlah penghalang mendapatkan kemoterapi.
Cisplatin merupakan obat yang paling sering digunakan untuk mengobati
karsinoma nasofaring. Cisplatin telah digunakan secara tunggal sebagai
bagian dari kemoradiasi, tetapi boleh dikombinasikan dengan obat lain,
5-fluorourasil (5-FU) jika diberikan setelah terapi radiasi. Beberapa obat
lain boleh juga berguna untuk mengobati kanker yang telah menyebar.
Obat-obat ini termasuk: Carboplatin, Oxaliplatin, Bleomycin, Methotrexate,
Doxorubicin,

Epirubicin, Docetaxel,

dan

Gemcitabine.

Sering,

Universitas Sumatra Utara

23

pengkombinasian 2 atau lebih obat-obat ini yang digunakan. Tetapi
berbagai macam kombinasi dikembangkan, yang terbaik sampai saat ini
adalah

kombinasi

dengan

Cis-platinum

sebagai

inti.

Kombinasi

kemo-radioterapi dengan mitocyn C dan 5-fluorouracil oral setiap hari
sebelum diberikan radiasi yang bersifat “radiosensitizer” memperlihatkan
hasil yang memberi harapan akan kesembuhan total pasien karsinoma
nasofaring.
c. Terapi bedah
Pembedahan diseksi leher radikal dilakukan terhadap benjolan di leher
yang tidak menghilang pada penyinaran (residu) atau timbul kembali
setelah penyinaran selesai, tetapi dengan syarat tumor induknya sudah
hilang yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik dan serologi, serta
tidak adanya ditemukan metastsis jauh. Juga dilakukan pada karsinoma
nasofaring dengan diferensiasi agak tinggi seperti karsinoma skuamosa
grade I, II, adenokarsinoma, komplikasi radiasi (parasinusitis radiasi, dll).

d. Terapi paliatif
Terapi paliatif adalah terapi atau tindakan aktif untuk meringankan beban
penderita kanker dan memperbaiki kualitas hidupnya, terutama yang
tidak dapat disembuhakn lagi.
Tujuan terapi paliatif adalah :
- Meningkatkan kualitas hidup penderita
- Menghilangkan nyeri dan keluhan berat lainnya
- Menjaga keseimbangan fisik, psikologik, dan sosial penderita
- Membantu penderita agar dapat aktif sampai akhir hayatnya

Universitas Sumatra Utara

24

- Membantu keluarga mengatasi kesulitan penderita dan ikut berduka cita
atas kematian penderita.
Perhatian pertama harus diberikan pada pasien dengan pengobatan
radiasi.Mulut rasa kering disebabkan oleh kelenjar liur mayor maupun
minor sewaktu penyinaran. Tidak dapat banyak dilakukan selain
menasihatkan penderita untuk makan dengan banyak kuah, membawa
minuman kemana pun pergi dan mencoba memakan dan mengunyah bahan
yang rasa asam sehingga merangsang keluarnya liur .
2.1.13. Pencegahan
1.

Mengurangi konsumsi ikan asin ternyata dapat menurunkan insidens secara
nyata.

2.

Mengurangi konsumsi alkohol atau berhenti merokok.

3.

Makan makanan yang bernutrisi dan mengurangi serta mengontrol stres.

4.

Berolahraga secara teratur.

Universitas Sumatra Utara