Keanekaragaman Mangrove dan Kelimpahan Makrozoobenthos di Desa Bagan Asahan Kecamatan Tanjung Balai Kabupaten Asahan Provinsi Sumatera Utara

16

TINJAUAN PUSTAKA

Ekosistem Mangrove
Istilah ‘mangrove’ tidak diketahui secara pasti asal usulnya. Ada yang
mengatakan bahwa istilah tersebut kemungkinan merupakan kombinasi dari
bahasa Portugis dan Inggris. Bangsa Portugis menyebut salah satu jenis pohon
mangrove sebagai ‘mangue’ dan istilah Inggris ‘grove’, bila disatukan akan
menjadi ‘mangrove’ atau ‘mangrave’. Ada kemungkinan pula berasal dari bahasa
Malay, yang menyebut jenis tanaman ini dengan ‘mangi-mangi’ atau ‘mangin’.
Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di
antara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut (Talib, 2008).
Hutan mangrove memberikan kontribusi besar terhadap detritus organik
yang sangat penting sebagai sumber makanan bagi biota yang hidup di perairan
sekitarnya. Gastropoda pada hutan mangrove berperan penting dalam proses
dekomposisi serasah dan mineralisasi materi organik terutama yang bersifat
herbivor dan detrivor. Dengan kata lain Gastropoda berkedudukan sebagai
dekomposer awal yang bekerja dengan cara mencacah-cacah daun-daun menjadi
bagian-bagian kecil kemudian akan dilanjutkan oleh organisme yang lebih kecil
yaitu mikroorganisme (Sirante, 2011).

Ekosistem mangrove merupakan ekosistem interface antara ekosistem daratan
dengan ekosistem lautan. Oleh karena itu, ekosistem ini mempunyai fungsi spesifik
yang keberkelangsungannya bergantung pada dinamika yang terjadi di ekosistem
daratan dan lautan. Dalam hal ini, mangrove sendiri merupakan sumberdaya yang
dapat dipulihkan (renewable resources) yang menyediakan berbagai jenis produk

Universitas Sumatera Utara

17

(produk langsung dan produk tidak langsung) dan pelayanan lindungan lingkungan
seperti proteksi terhadap abrasi, pengendali intrusi air laut, mengurangi tiupan angin
kencang, mengurangi tinggi dan kecepatan arus gelombang, rekreasi, dan pembersih
air dari polutan. Kesemua sumberdaya dan jasa lingkungan tersebut disediakan secara
gratis oleh ekosistem mangrove. Dengan perkataan lain, mangrove menyediakan
berbagai jenis produk dan jasa yang berguna untuk menunjang keperluan hidup
penduduk pesisir dan berbagai kegiatan ekonomi, baik skala lokal, regional, maupun
nasional serta sebagai penyangga sistem kehidupan masyarakat sekitar hutan.
Kesemua fungsi mangrove tersebut akan tetap berlanjut kalau keberadaan ekosistem
mangrove dapat dipertahankan dan pemanfaatan sumberdayanya berdasarkan pada

prinsip-prinsip kelestarian. Hal ini berarti mangrove berperan sebagai sumberdaya
renewable dan penyangga sistem kehidupan jika semua proses ekologi yang terjadi di
dalam ekosistem mangrove dapat berlangsung tanpa gangguan (Kusmana, 2009).

Fungsi dan peran mangrove
Mangrove merupakan contoh ekosistem yang banyak ditemui di sepanjang
pantai tropis dan estuari. Ekosistem ini memiliki fungsi sebagai penyaring bahan
nutrisi dan penghasil bahan organik, serta berfungsi sebagai daerah penyangga
antara daratan dan lautan. Hutan mangrove memiliki fungsi dan manfaat, antara
lain; sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung dari abrasi, penahan
lumpur dan perangkap sedimen; penghasil sejumlah besar detritus dari daun dan
pohon mangrove; daerah asuhan (nursery grounds), daerah mencari makan
(feeding grounds) dan daerah pemijahan (spawning grounds) berbagai jenis ikan,
udang, dan biota laut lainnya; penghasil kayu untuk bahan konstruksi, kayu bakar,

Universitas Sumatera Utara

18

bahan baku arang, dan bahan baku kertas (pulp); pemasok larva ikan, udang, dan

biota laut lainnya; dan sebagai tempat pariwisata (Talib, 2008).
Selain tempat hidupnya berbagai jenis satwa tersebut, hutan mangrove
juga berperan dalam keberlanjutan ekosistem pantai dan terumbu karang, karena
merupakan tempat berkembang biaknya dan migrannya ikan-ikan tertentu.
Dengan demikian dari segi kepentingan pengawetan keanekaragaman tumbuhan
dan satwa serta ekosistemnya menjadi penting karena merupakan habitat dari
suatu jenis satwa langka dan atau dikhawatirkan akan punah; dan merupakan
tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu (Eriza, 2010).

Zonasi mangrove
Hutan mangrove dapat dibagi menjadi lima bagian berdasarkan frekuensi
air pasang, yaitu; zonasi yang terdekat dengan laut, akan didominasi oleh
Avicennia spp dan Sonneratia spp, tumbuh pada lumpur lunak dengan kandungan
organik yang tinggi. Avicennia spp tumbuh pada substrat yang agak keras,
sedangkan Avicennia alba tumbuh pada substrat yang agak lunak; zonasi yang
tumbuh pada tanah kuat dan cukup keras serta dicapai oleh beberapa air pasang.
Zonasi ini sedikit lebih tinggi dan biasanya didominasi oleh Bruguiera cylindrica;
ke arah daratan lagi, zonasi yang didominasi oleh Rhizophora mucronata dan
Rhizophora apiculata. Jenis Rhizophora mucronata lebih banyak dijumpai pada
kondisi yang agak basah dan lumpur yang agak dalam. Pohon-pohon yang dapat

tumbuh setinggi 35-40 m. Pohon lain yang juga terdapat pada hutan ini mencakup
B. parviflora dan X. granatum; hutan yang didominasi oleh B. parviflora

Universitas Sumatera Utara

19

kadangkadang dijumpai tanpa jenis pohon lainnya; hutan mangrove di belakang
didominasi oleh B. gymnorrhiza (Talib, 2008).

Gambar 2. Zonasi Mangrove
Peningkatan muka air laut akan menyebabkan zona mangrove pinggir laut
(seaward mangrove) semakin lama dan dalam tergenang air pasang yang dapat
menyebabkan kematian mangrove tersebut, namun jangkauan pasang air laut akan
menyebabkan mangrove menyebar jauh ke daratan yang mana akan sekaligus
terjadinya pergeseran zonasi dan perubahan komposisi jenis mangrove di
sepanjang gradien lingkungan tersebut. Fenomena ini akan terjadi apabila tidak
ada barier (buatan dan alamiah/topografi) yang menghalangi persebaran mangrove
tersebut dan/atau lahan daratannya tidak digunakan penduduk untuk berbagai
usaha penopang kehidupan, misal lahan pertanian, tambak, sarana-prasarana

perumahan dan perkotaan, dan lain-lain. Berdasarkan fakta saat ini di berbagai
belahan dunia, perluasan mangrove ke daratan akibat adanya kenaikan muka laut
sulit terjadi karena umumnya lahan daratan pesisir di belakang mangrove sudah
banyak yang dikonversi ke bentuk landuse lain, akibatnya mangrove akan
bertambah sempit atau cenderung hilang sama sekali (Kusmana, 2010).

Universitas Sumatera Utara

20

Menurut Harahap (2010) ada beberapa faktor lingkungan yang penting
dalam mengontrol zonasi yaitu pasang surut yang secara tidak langsung
mengontrol dalamnya muka air (water table) dan salinitas air dan tanah. Secara
langsung arus pasang surut dapat menyebabkan kerusakan terhadap anakan. Tipe
tanah yang secara tidak langsung menentukan tingkat aerasi tanah, tingginya
muka air dan drainase. Kadar garam tanah dan air yang berkaitan dengan toleransi
spesies terhadap kadar garam serta pasokan dan aliran air tawar. Cahaya yang
berpengaruh terhadap pertumbuhan anakan dari species intoleran seperti
Rhizophora, Avicennia dan Sonneratia. Pasokan dan aliran air tawar


Makrozoobenthos
Benthos adalah organisme yang hidup di dasar perairan (epifauna) atau di
dalam substrat dasar perairan (infauna) (Odum, 1993). Menurut Nybakken (1988),
organisme infauna dibagi menjadi tiga golongan, yaitu makrozoobenthos
(berukuran lebih besar dari 1 mm), meiozoobenthos (berukuran antara 0,1-1 mm),
dan mikrozoobenthos (berukuran lebih kecil dari 0,1 mm). Selanjutnya Odum
(1993) membedakan hewan benthos berdasarkan cara makannya, yaitu pemakan
penyaring (filter feeder), contohnya kerang dan pemakan deposit (deposit feeder),
contohnya siput. Di samping itu, benthos dapat juga dibedakan berdasarkan
pergerakannya, yaitu hewan bentik yang hidupnya menetap (sesil) dan hewan
bentik yang hidupnya relatif berpindah (motil).
Zoobentos membantu mempercepat proses dekomposisi materi organik.
Hewan

bentos

terutama

yang


bersifat

herbivor

dan

detritivor

dapat

menghancurkan makrofita akuatik yang hidup maupun yang mati dan serasah

Universitas Sumatera Utara

21

yang masuk ke dalam perairan menjadi potongan-potongan yang lebih kecil,
sehingga mempermudah mikroba untuk menguraikannya menjadi nutrien bagi
produsen perairan (Rahman, 2009).
Menurut Amrul (2007) berdasarkan tipe makan, hewan bentos

dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: Shredders, adalah jenis hewan-hewan yang
bergerak bebas di permukaan sedimen dan memakan detritus organik bersama
dengan alga yang ada. Contohnya Amphipoda, Isopoda dan beberapa jenis
Gastropoda, suspension feeders, contohnya Bivalvia dan Polychaeta, deposit
feeders, adalah hewan yang memakan bahan-bahan organik dan inorganik di
sedimen dan diubah menjadi bahan yang dibutuhkan. Yang termasuk kelompok
ini adalah Polychaeta dan beberapa jenis Gastropoda
Pengelompokan benthos berdasarkan kepekaan terhadap pencemaran yang
disebabkan oleh bahan organik, antara lain kelompok intoleran, fakultatif, dan
toleran. Organisme intoleran adalah organisme yang jarang dijumpai pada
perairan yang kaya akan bahan organik. Selain itu organisme ini tidak dapat
beradaptasi bila kualitas perairan menurun, contohnya adalah kelompok
Ephemeroptera, Trichoptera, dan Plecoptera. Organisme fakultatif adalah
organisme yang dapat bertahan hidup pada lingkungan yang relatif mengandung
bahan organik, contohnya kelompok Odonata, Gastropoda dan Crustacea.
Organisme toleran adalah organisme yang sering dijumpai pada kondisi
lingkungan yang berkualitas buruk, contohnya jenis Tubificidae (Ayu, 2009).
Beberapa makrozoobenthos yang umum ditemui di kawasan mangrove
Indonesia adalah makrozoobenthos dari kelas Gastropoda, Bivalvia, Crustacea,
dan Polychaeta (Arief 2003). Dalam siklus hidupnya beberapa makrozoobenthos


Universitas Sumatera Utara

22

hanya hidup sebagai benthos dalam separuh fase hidupnya, misalnya pada stadia
muda saja atau sebaliknya. Kondisi habitat vegetasi mangrove yang meliputi
komposisi dan kerapatan jenisnya akan menentukan karakteristik fisika, kimia dan
biologi perairan yang selanjutnya digunakan untuk menentukan struktur
komunitas

organisme

yang

berasosiasi

dengan

mangrove


seperti

makrozoobenthos (Arifin 2002).

Struktur Komunitas Makrozoobenthos
Struktur dan komposisi komunitas akan berubah-ubah sesuai dengan
perubahan musim maupun dengan berjalannya waktu. Adapun lima karakteristik
struktur komunitas menurut Odum (1993), yaitu keanekaragaman, dominansi,
bentuk dan sruktur pertumbuhan, kelimpahan relatif serta struktur trofik.
menyatakan bahwa baik buruknya kondisi suatu ekosistem tidak dapat ditentukan
hanya dari hubungan kenekaragaman dan kestabilan komunitasnya. Suatu
ekosistem yang dikatakan stabil dapat saja memiliki keanekaragaman yang rendah
atau tinggi, tergantung pada perubahan lingkungan daerah tersebut. Namun pada
kenyataannya, ekosistem yang wajar dicirikan oleh keanekaragaman komunitas
yang tinggi, tidak ada dominansi spesies serta jumlah individu tiap spesies terbagi
secara merata.
Keanekaragaman yang tinggi dari suatu ekosistem yang seimbang akan
memberikan timbal balik atau peranan yang besar untuk menjaga keseimbangan
terhadap kejadian yang merusak ekosistem. Oleh karena itu, setiap masukan yang

berlebihan (buangan sampah dan limbah) yang tidak selalu hanya terdiri dari
unsur hara tetapi terdapat pula senyawa beracun di dalamnya tetap akan

Universitas Sumatera Utara

23

berpengaruh buruk terhadap kehidupan organisme makrozoobenthos. Pengaruh
buruk tersebut berupa mengecilnya keanekaragaman organisme makrozoobenthos
(Ayu, 2009).

Makrozoobenthos Sebagai Bioindikator Perairan
Beberapa organisme makrozoobentos sering dipakai sebagai spesies
indikator kandungan bahan organik, dan dapat memberikan gambaran yang lebih
tepat dibandingkan pengujian secara fisika-kimia. Kelebihan penggunaan
makrozoobentos sebagai indikator pencemaran organik adalah karena jumlahnya
relatif banyak (Hawkes, 1979). Makrozoobenthos merupakan organisme yang
hidup menetap (sesile) dan memiliki daya adaptasi yang bervariasi terhadap
kondisi lingkungan. Selain itu tingkat keanekaragaman yang terdapat di
lingkungan perairan dapat digunakan sebagai indikator pencemaran (Fadli, 2012).

Parameter Fisika Kimia
Suhu
Suhu berperan penting dalam proses fisiologis (fotosintesis dan respirasi)
Produksi daun baru Avice nnia marina terjadi pada suhu 18-200C dan jika suhu
lebih tinggi maka produksi menjadi berkurang. Rhizophora stylosa, Ceriops,
Excocaria, Lumnitzera tumbuh optimal pada suhu 26-280C. Bruguiera tumbuh
optimal pada suhu 27C, dan Xylocarpus tumbuh optimal pada suhu 21-260C
(Kusmana, 1995).
Organisme akuatik memiliki kisaran suhu tertentu yang disukai bagi
pertumbuhannya. Aktivitas mikroorganisme memerlukan suhu optimum yang

Universitas Sumatera Utara

24

berbeda-beda. Setiap peningkatan suhu sebesar 10oC akan meningkatkan proses
dekomposisi dan konsumsi oksigen menjadi 2-3 kali lipat. Namun, peningkatan
suhu ini disertai dengan penurunan kadar oksigan terlarut sehingga keberadaan
oksigen sering kali tidak mampu memenuhi kebutuhan oksigen bagi organisme
akuatik untuk melakukan metabolisme dan respirasi (Effendi, 2003).
Salinitas
Variasi salinitas pada daerah estuari menentukan kehidupan organisme di
daerah tersebut. Hewan-hewan yang hidup pada daerah ini mempunyai toleransi
yang tinggi terhadap perubahan salinitas. Pada daerah estuari, salinitas merupakan
faktor penentu yang membatasi penyebaran makrozoobentos yang hidup di dasar
perairan. Disamping itu, salinitas juga mempengaruhi reproduksi dari organisme
itu sendiri (Amrul, 2007).
Salinitas optimum yang dibutuhkan mangrove untuk tumbuh berkisar
antara 10-30 ppt. Salinitas secara langsung dapat mempengaruhi laju pertumbuhan
dan zonasi mangrove ,hal ini terkait dengan frekuensi penggenangan. Salinitas air
akan meningkat jika pada siang hari cuaca panas dan dalam keadaan pasang.
Salinitas air tanah lebih rendah dari salinitas air (Kusmana, 1995).
Oksigen Terlarut
Kehidupan di air dapat bertahan jika kandungan oksigen terlarut minimal 5
ppm dan hal ini juga tergantung pada daya tahan organisme, derajat keaktifan,
kehadiran pencemar, suhu air dan sebagainya. Kehidupan hewan bentos sangat
tergantung pada ketersediaan oksigen dan makanan. Oksigen sangat penting untuk
beberapa jenis bentos seperti Polychaeta dan Bivalvia. Selain itu tanpa adanya
pemasukan makanan, hewan bentos tidak akan dapat bertahan hidup. Pemasukan

Universitas Sumatera Utara

25

oksigen pada perairan sangat dikontrol oleh kondisi lingkungan seperti kedalaman
air, penetrasi cahaya, substrat, sediment rate dan ukuran butir sedimen
(Amrul, 2007).
Oksigen terlarut berperan penting dalam dekomposisi serasah karena
bakteri dan fungsi yang bertindak sebagai dekomposer membutuhkan oksigen
untuk kehidupannya. Oksigen terlarut juga penting dalam proses respirasi dan
fotosintesis. Oksigen terlarut berada dalam kondisi tertinggi pada siang hari dan
kondisi terendah pada malam hari (Kusmana, 1995).
Substrat
Sedimen merupakan padatan yang dapat langsung mengendap jika air
didiamkan dan tidak terganggu selama beberapa waktu. Padatan yang mengendap
tersebut terdiri dari partikel-partikel padatan yang mempunyai ukuran relatif besar
dan berat sehingga dapat mengendap dengan sendirinya. Sedimen yang terdapat di
dalam air biasanya terbentuk sebagai akibat dari erosi dan termasuk padatan yang
umum terdapat di dalam air permukaan. Sedimen biasanya terdiri dari pasir dan
lumpur, berbeda dengan tanah liat yang tidak dapat mengendap dengan
sendirinya. Debu dan liat merupakan padatan yang dapat mengendap dengan
sendirinya terutama jika airnya tidak terguncang (Ayu, 2009).
Sebagian besar daerah estuari didominasi oleh substrat berlumpur.
Substrat berlumpur ini merupakan endapan yang dibawa oleh air tawar dan air
laut. Diantara partikel yang mengendap di estuari kebanyakan bersifat organik,
akibatnya substrat ini kaya akan bahan organik. Bahan inilah yang menjadi
cadangan makanan yang besar bagi organisme estuari (Amrul, 2007).

Universitas Sumatera Utara

26

pH
Organisme perairan mempunyai kemampuan yang berbeda dalam
mentoleransi pH perairan. Batas toleransi organisme terhadap pH bervariasi dan
dipengaruhi banyak faktor antara lain suhu, oksigen terlarut, alkalinitas, adanya
berbagai anion dan kation, jenis dan stadia organisme. Air normal yang memenuhi
syarat untuk suatu kehidupan mempunyai pH berkisar antara 6,5-7,5. Air limbah
dan bahan buangan dari berbagai kegiatan manusia yang dibuang ke suatu badan
perairan akan mengubah pH air yang pada akhirnya dapat mengganggu kehidupan
organisme di dalamnya (Ayu, 2009).
Toksisitas suatu senyawa kimia juga dipengaruhi pH. Senyawa ammonium
yang dapat terionisasi banyak ditemukan pada perairan yang memiliki pH rendah.
Amonium bersifat tidak toksik (innocuous). Namun, pada suasana alkalis (pH
tinggi) lebih banyak ditemukan amonia yang tak terionisasi (unionized) dan
bersifat toksik. Amonia tak terionisasi ini lebih mudah terserap ke dalam tubuh
organisme akuatik dibandingkan dengan amonium (Effendi, 2003).
Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan
menyukai nilai pH sekitar 7 – 8,5. Lingkungan perairan laut memiliki pH yang
bersifat relatif lebih stabil dan berada dalam kisaran yang sempit, biasanya
berkisar antara 7,5 – 8,4. Makrozoobentos mempunyai kenyamanan kisaran pH
yang berbeda-beda (Rahman, 2009).

Universitas Sumatera Utara