Model Topologi Jaringan Antena Base Transceiver Station Berbasis Ramah Lingkungan di Kota Medan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Jaringan Telepon Seluler
Sebuah jaringan komunikasi telepon selular GSM pada dasarnya (Smith dan
Collins, 2007) terdiri dari Mobile Station (MS), Base Transceiver Station (BTS),
Base Station Controller (BSC), dan Mobile Switching Center (MSC). Pada saat
berlangsung komunikasi, MS mengirim dan menerima sinyal ke dan dari BTS. BSC
mengontrol BTS dalam memproses bentuk panggilan, operation and maintenance
(O&M) dan menyediakan interface antara BSS dan MSC (A-interface). Sedangkan
fungsi utamanya adalah mengatur kanal radio dan mentransfer sinyal informasi dari
dan ke MS. BSC juga dapat berfungsi sebagai hub yang menghubungkan BTS
dengan BTS lainnya, atau BTS dengan switch. BTS menyediakan kanal radio (RFcarriers) untuk suatu area cakupan. Kanal RF digunakan untuk hubungan antara MS
dan BSS (Air-interface). BTS mengandung transceiver radio yang menangani
sebuah sel dan hubungan dengan MS dengan menggunakan FCA seperti pada
Gambar 2.1.

sumber : Sanguthevar and Naik (2015)

Gambar 2.1. FCA pada sebuah jaringan telepon seluler
16


Universitas Sumatera Utara

17
Komunikasi antara BTS dengan MS maupun sebaliknya dilakukan melalui
media transmisi udara dengan menggunakan gelombang radio sebagai media untuk
menyampaikan informasi berupa sinyal yang mengandung medan elektromagnetik
atau yang disebut dengan EMF (Electromagnetic Field) dengan besar daya yang
dipancarkan antena BTS antara 20-40 watt pada GSM 900 (Mamilus et al., 2012).
MSC merupakan inti dari jaringan GSM, fungsinya untuk menghubungkan MS
dengan pelanggan PSTN (Public Switched Telephone Network) atau ke MS lainnya.
MSC berfungsi sebagai switch yang menghubungkan BTS dengan BTS lainnya
dalam area MSC yang berbeda, atau menghubungkan BTS dengan fixed telepon pada
PSTN.
2.2. Frequency Channel Assignment (FCA)
Keberhasilan suatu hubungan komunikasi melalui telepon merupakan hal
yang sangat penting dan menjadi prioritas pertama, bila keberhasilan semakin tinggi
maka kegagalan panggilan akan semakin kecil, artinya komunikasi akan semakin
baik bila kegagalan panggilan semakin kecil (Gupta et al., 2012). Dalam dunia
telekomunikasi tingkat kegagalan ini disebut dengan Grade of Service (GOS),
sebagai contoh bila sebuah jaringan telepon memiliki GOS sebesar 2% artinya dalam

100 panggilan terjadi kegagalan panggilan sebanyak 2 panggilan. Kegagalan ini
disebabkan karena tidak adanya saluran yang dapat menerimanya.
Perlu diperhatikan bahwa penempatan BTS harus dapat melayani lalu lintas
permintaan dalam daerah cakupan BTS tersebut, berarti BTS harus menerima
sejumlah tertentu spektrum frekuensi. Dalam sistem selular yang berbasis teknologi
akses medium seperti Time Division Multiple Access (TDMA) dan Frequency
Division Multiple Access (FDMA) (Rappaport, 1966; Tanenbaum, 2011), spektrum

Universitas Sumatera Utara

18
frekuensi yang tersedia dibagi diantara BTS oleh frequency chnannel (FC). Pada saat
spektrum frekuensi berkurang, frequency channel assigment (FCA) mencoba untuk
melayani permintaan jalur dari setiap BTS dan mempertahankan kualitas koneksi
dengan memperhatikan tingkat interferensi.
Smith et al. (1998) mengajukan model pewarnaan graph untuk
menyelesaikan persoalan FCA ini, namun cara demikian ini tidak dapat dipakai
untuk persoalan berskala besar (Garey dan Johson, 1979). Beberapa peneliti seperti
Floriani dan Mateus (1997), dan fischetti et al. (2003) mengajukan model program
linier cacah. Perbedaan utama dalam model yang mereka ajukan adalah pada kendala

interferensi.
Keberhasilan komunikasi melalui telepon ini sangat dipengaruhi oleh
Frequency Channel Assignment (FCA) yang diberikan kepada setiap sel dalam BTS
untuk melayani permintaan panggilan. Sementara jumlah FCA sangat tergantung
dari rentang frekuensi yang terbatas sehingga menurut Xu Ye et al. (2015),
pengendalian sel dan penjadwalan kestabilan maksimum dari jaringan sel harus
dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh jumlah frekuensi (FCA) maksimum
tanpa ada interferensi (Moradi, 2010), dengan demikian diperoleh penggunaan
frekuensi yang optimal (minimum). Sedangkan Moradi et al. (2010) melakukan
pengaturan FCA dengan algoritma dalam dua tahap yaitu tahap FCA yang tetap dan
tahap FCA dengan neural network, solusi yang diperoleh mendekati optimal.
Berbeda dengan yang dilakukan oleh Ngo et al. (1998), model yang dihasilkannya
untuk menghindari terjadinya konflik diantara FCA yang digunakan, maka dibuat
FCA seminimum mungkin dengan NP-hard memenuhi persyaratan permintaan
trafik telekomunikasi. Pendekatan ini terdiri dari genetic-fix algorithm dan
manipulasi secara individual dengan ukuran tetap.

Universitas Sumatera Utara

19

Montemanni dan Smith (2010) mengelola FCA pada jaringan telepon seluler
dengan melakukan pemisahan frekuensi antar saluran untuk menghindari terjadinya
interferensi, tetapi pemisahan yang tidak perlu akan dapat mengakibatkan
kebutuhan/kelebihan spektrum, jadi menurut Montemanni dan Smith akan lebih baik
meminimalkan interferensi dan spektrum yang diperlukan dan ini dilakukan dengan
menggunakan algoritma tabu search. Sedangkan menurut Smith et al. (1997), untuk
meminimalkan terjadinya interferensi antar saluran dengan tingkat keberhasilan
hubungan komunikasi yang tinggi, makan dilakukan memodelkan FCA dengan
menggunakan nonlinear integer programming sebagai representasi baru dari static
channel assignment (SCA). Hal ini dilakukan dilakukan dengan menggunakan dua
model neural network yang berbeda, pertama menggunakan jaringan Hopfield dan
yang kedua menggunakan new neural network yang mampu mengorganisir diri
sendiri untuk memecahkan masalah FCA. Rajasekaran et al. (2015) menggunakan
algoritma pewarnaan untuk penetapan frekuensi FCA agar satu saluran dengan
saluran lainnya tidak terjadi interferensi, sedangkan Wang et al. (2002)
menggunakan algoritma genetic dari Ngo dan Li untuk FCA guna memenuhi
permintaan panggilan pada saluran yang terjadi dari tingkat gangguan interferensi
yang minimal. Menurut Pasapoor dan Bilstrup (2013) masalah FCA dapat
diselesaikan dengan metode ant colony optimization (ACO) sebagai sebuah metode
untuk memperoleh efesiensi FCA dengan interferensi minimal. Alokasi kanal

berbasis ACO ini memungkinkan untuk tidak tergantung terhadap jumlah cluster.
2.3. Lokasi BTS
Menetukan lokasi pembangunan sebuah menara antena BTS ditentukan oleh
beberapa faktor diantaranya adalah radio planning operator, ketersedian lahan, ijin

Universitas Sumatera Utara

20
warga (Community Permit), dan regulasi pemerintah. Antena BTS harus ditempatkan
sedemikian rupa sehingga dapat mencakup daerah geografis yang memenuhi kualitas
layanan pemakai telepon selular. Namun pada umumnya dalam pemodelan BTSL
diformulasikan dengan meminimumkan biaya koneksi yang mencakup biaya
instalasi dan peralatan . Dalam beberapa literatur seperti, George dan Laurence
(1988), Mirchandani dan Francis (1990), dan Rappaport (1996) dapat diperoleh
secara rinci tentang optimasi jaringan. Model PLCC (Program Linier Cacah
Campuran) yang berkenaan dengan BTS diajukan oleh Mathar dan Niessem (2000).
Model tersebut menentukan optimalisasi lokasi base station untuk jaringan radio
seluler yang dapat dibuat sebagai masalah optimasi matematika, tergantung pada
kebijakan penetapan saluran, minimalisasi gangguan atau saluran yang diblokir.
Masing-masing memiliki keuntungan. Optimalisasi diformalkan sebagai program

linier integer dan pada optimasi ini digunakan teknik simulasi annealing sebagai
optimasi perkiraan .
Fischetti et al. (2001) menghasilkan sebuah model optimasi interkoneksi
jaringan pada sistem telepon seluler UMTS (Universal Mobile Telecommunications
Service) dengan menggunakan mixed integer linear programming yang dalam
prosedur mencari solusinya menggunakan branch and cut untuk memperoleh batas
bawah. Setiap BTS dikoneksikan melalui node inti yaitu CSS (Cell Site Switch) dan
setiap CSS dikoneksikan ke dalam jaringan melalui LE (Local Exchange) seperti
pada Gambar 2.2.
Ilustrasi dari sebuah arsitektur UMTS adalah seperti pada Gambar 2.2. dimana
terdapat 2 LE dan 4 CSS yang aktif dengan arsitektur tipe star untuk melayani 16
buah BTS.

Universitas Sumatera Utara

21

CSS aktif

BTS


LE aktif
BTS aktif

CSS

LE tdk aktif

LE
CSS tdkaktif

Gambar 2.2. Arsitektur UMTS tipe bintang 3 level

Biaya yang diperkirakan untuk merealisasikan koneksi jaringan tersebut adalah :
1. Biaya untuk BTS :
a. Biaya peralatan,
b. Biaya koneksi aktual yang tergantung melalui CSS atau LE, biaya ini
diasumsikan linier dengan jumlah modul yang digunakan.
2. Biaya untuk CSS :
a. Biaya perencanaan, tergantung dari jenis peralatan dan lokasi

b. Biaya koneksi, tergantung hubungan dengan LE, biaya ini linier dengan jumlah
modul yang digunakan.
3. Biaya untuk LE
a. Biaya perencanaan yang tergantung pada lokasi
Model yang diperoleh Fischetti et al. (2001) untuk meminimalkan koneksi jaringan
tersebut adalah :

Universitas Sumatera Utara

22

−ℎ

∑ ∑
= ℎ= ,



+∑∑
=


=

−ℎ

− �



+ ∑
=

+



− �






+ ∑∑
=

=

− �

+ ∑∑



=

=

+
− �






− �

dengan memenuhi ketentuan-ketentuan berupa 12 kendala seperti pada Lampiran
D.1.
Semua variabel dengan situasi yang tidak layak seperti koneksi yang terlalu
lama ditetapkan sebagai nol dan dikeluarkan dari model, dan ukuran minimal pada
model Fischetti ini adalah berdasarkan dengan lamanya waktu yang dibutuhkan
untuk terkoneksi.
Mixed integer programming juga digunakan oleh Yoshihiro dan Xu (2010)
untuk optimasi topologi dengan menggunakan optimasi topologi Robust truss yang
didesain untuk beban eksternal yang tidak dapat diprediksi sebelumnya atau beban
dalam ketidakpastian, tetapi model ini sulit dilakukan untuk skala besar.
Menurut Zdunek dan Ignor (2010) masalah menentukan lokasi BTS yang
optimal, pembawa daya (pilot power), dan channel assignment pada jaringan
telepon seluler UMTS merupakan masalah NP-hard. Oleh karenanya algoritma
optimasi mateheuristik banyak digunakan untuk menyelesaikan masalah optimasi
topologi antena BTS, akan tetapi mereka menggunakan sebuah algoritma yang relatif
baru yaitu algoritma Invasive Weed Optimazation (IWO) yang sukses pada beberapa
aplikasi. Algoritma ini lebih baik dibandingkan dengan algoritma Evolutionary
Strategies (ES) dan Genetic Algorithm (GA) untuk optimasi jaringan telepon seluler
UMTS, akan tetapi model yang dihasilkan tidak mencakup optimasi
assignment.

channel

Sedangkan Kalvenes et al. (2005) membuat sebuah model untuk

menentukan sebuah lokasi

menara antena BTS dan service assignment pada

Universitas Sumatera Utara

23
jaringan telepon seluler teknologi W-CDMA (Wideband Code Division Multiple
Access). Selain pemilihan lokasi menara BTS juga dilakukan analisis permintaan
pelanggan, dan jaminan kualitas pelayanan yang diukur berdasarkan sinyal-to-noise
ratio (S/N).

Pemilihan lokasi menara antena BTS untuk melayani sejumlah

pelanggan pada coverage area dilakukan dengan biaya minimal dan keuntungan
yang besar. Model yang dihasilkan oleh Kalvenes et al. (2005) untuk memperoleh
keuntungan yang maksimal adalah sebagai berikut :
∑ ∑






pendapatan

− ∑�


biaya

dengan sembilan kendala seperti pada Lampiran D.2.
Model yang dihasilkan Kalvenes et al. (2005) ini adalah sebuah model topologi
menara BTS yang menghasilkan keuntungan yang besar dengan biaya minimal dan
jaminan kualitas layanan yang diukur berdasarkan SIR (Signal to Interference Ratio).
Beberapa penelitian terdahulu, telah banyak aspek dari keseluruhan persoalan
rancangan jaringan yang mengacu pada sejumlah metode operasi riset yang terkenal
(operations reserach). Metode ini antara lain partisi graph (Merchant dan Sengupta,
1994; Merchant dan Sengupta, 1995), atau persoalan lokasi p-fixed hubs (Kapov dan
Kapov, 1994; Alumur dan Kara, 2008). Singh dan Kaur (2013) mengajukan
pendekatan heuristic koloni lebah untuk lokasi BTS. Munene dan Kiema (2014)
mempergunakan Geographic Information System (GIS). Namun penelitianpenelitian tersebut mengajukan rancangan topologi jaringan antena BTS hanya
berfokus pada meminimkan biaya. Rancangan topologi antena BTS yang

Universitas Sumatera Utara

24
memfokuskan pada penghematan pemakaian energi, biaya operasi dan emisi CO 2
diajukan oleh Diamantoulakis dan Karagiannidis (2013).
2.4. Radiasi Gelombang EMF
Gelombang EMF merupakan gelombang transversal, terbentuk dari medan
magnet dan medan listrik yang bergetar dalam arah yang saling tegak lurus (hukum
Faraday). Gelombang ini merambat dengan kecepatan yang nilainya ditentukan oleh
dua besaran yaitu permitivitas listrik dan permeabilitas magnetik. Kecepatan
rambatnya dalam ruang hampa udara mendekati 3 x 108 m/s.

Frekuensi

dari

setiap spektrum sumber gelombang elektromagnetik memiliki rentang frekuensi
yang berbeda-beda, seperti yang diperlihatkan pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Rentang frekuensi spektrum gelombang EMF
Spektrum
Sinar Gamma
Sinar X
Sinar Ultraviolet
Sinar Tampak
Sinar Infra Merah
Gelombang Radio

Frekuensi (Hz.)
1019 - 1025
1016 - 1020
1015 - 1018
4 x 1014 – 7,5 x 1014
1011 - 1014
104 - 1012

Besar energi yang diradiasikan oleh suatu spektrum gelombang EMF,
menurut Planck akan memenuhi persamaan,
E = hv

(joule)

(2.1)

dimana,
h = konstanta Planck = 6,62 x 10-34 Js,
v = frekuensi dari gelombang EMF (Hz).
Energi yang diradiasikan oleh gelombang EMF akan diterima oleh bendabenda disekitarnya. Intensitas radiasi yang diterima oleh benda-benda tersebut
bervariasi tergantung posisi benda tersebut dari sumber radiasi, intensitas radiasi
EMF ini disebut dengan power density yang diukur dalam satuan watt/m2.

Universitas Sumatera Utara

25

2.4.1. Power density
Power density adalah besarnya daya dari EMF yang melewati luas area 1
meter persegi dalam satuan watt/m2 seperti yang terlihat pada Gambar 2.3.
1

1m

Power
Power density W/m2
1

1

1m
1W

Gambar 2.3. Power density

Secara matematis, intensitas dari power density (PD) dirumuskan sebagai berikut :

=
dimana,

Pr
A

(watt/m2)

(2.2)

 = power desity, besar intensitas radiasi (W/m2),
Pr = besar daya yang diterima (W) dan,
A = luas permukaan yang terkena radiasi (m2).
Jika radiasi tersebut bersifat omnidirectional, maka intensitas radiasi yang
diterima akan berbanding terbalik dengan kuadrat jarak antara benda yang menerima
radiasi dengan sumber radiasi,  ~



. Semakin jauh jarak dengan sumber, maka

intensitas radiasi akan semakin berkurang, semakin dekat dengan sumber radiasi
maka intensitas yang diterima akan semakin besar. Intensitas radiasi atau yang
disebut dengan power density () dapat juga dikatakan sebagai besarnya daya yang
diterima pada satu titik per meter kuadrat yang dinyatakan dengan rumus berikut :

=
dimana, E

E

=



(2.3)

= kuat medan listrik (V/m)

Universitas Sumatera Utara

26
H = kuat medan magnet (A/m)
377 = impedansi pada ruang bebas (Ω)
Untuk pola radiasi horisontal omnidirectional pada antena vertikal (Gambar
2.4), power density dirumuskan (Marshall and Skitek, 1990) sebagai berikut :

=
dimana



� /

� �

(2.4)
R

R = Jari-jari coverage area (m)
L = Tinggi antena (m)

R

L

L

Antena

Gambar 2.4 Pola Radiasi Omnidirectional untuk
antena Vertikal

Untuk pola radiasi dari sebuah titik sumber radiasi dengan pola radiasi
spherical (Gambar 2.5.) dinyatakan dengan rumus berikut (ITU-R2005):

=

�� �

� /



dengan Pt = besarnya daya pada pemancar (W)
G = gain atau penguatan antena (dB)
R = radius coverage area (m)

(2.5)

R

Gambar 2.5. Pola radiasi spherical bersumber
dari satu titik pancar
Besarnya paparan radiasi yang diserap oleh tubuh manusia dinyatakan dengan
SAR (Spesific Absortion Rate) yang dinyatakan dengan rumus berikut :

dimana,
σ = Conductivity (s/m)
k = Kerapatan massa (Kg/m3)
E = Kuat medan listrik (V/m)

=

� |� |

(2.6)

Universitas Sumatera Utara

27
Secara garis besar, radiasi total yang diserap oleh tubuh manusia tergantung
dari beberapa hal, diantaranya :
1. Frekuensi dan panjang gelombang elektromagnetik
2. Polarisasi EMF
3. Jarak antara badan dan sumber radiasi EMF
4. Sifat-sifat elektrik tubuh, sangat tergantung pada kadar air di dalam tubuh,
radiasi akan lebih banyak diserap pada media dengan konstanta dielektrik
tinggi seperti otak, otot dan jaringan lainnya dengan kadar air tinggi.
Setiap sinyal yang dipancarkan melalui antena pemancar BTS dari operator
telepon selular akan menghasilkan EMF. Penerima yang menggunakan telepon
selular yang berada pada suatu titik tertentu akan terpapar radiasi EMF yang berasal
dari BTS dan juga yang berasal dari telepon selular itu sendiri. Besarnya dapat diukur
dengan besaran PD dan radiasi yang diserap oleh tubuh dinyatakan dengan SAR.
Besarnya PD dan SAR diharapkan tidak melampaui nilai ambang batas yang
ditetapkan oleh ICNIRP (4,5 watt/m2 untuk frekuensi 900 Mhz. dan 9 watt/m2 untuk
frekuensi 1800 Mhz.) karena akan dapat menimbulkan efek negatif

terhadap

lingkungan hidup khususnya kesehatan manusia (efek psikologi dan fisiologis).
Secara garis besar hubungan tersebut dapat digambarkan seperti pada Gambar 2.6.

=

E
Pt Gt
→=
πR



H → SAR =

σ |E |
k

Pt = Daya yang pemancar (watt)
Gt = Gain antena
E = Kuat medan listrik (V/m)
H = Kuat medan magnet (A/m)
σ = Conductivity (s/m)
k = Kerapatan massa (Kg/m3)

Gambar 2.6. Paparan radiasi EMF dari antena BTS terhadap manusia

Universitas Sumatera Utara

28

2.4.2. Pengaruh gelombang EMF terhadap lingkungan hidup
Gelombang EMF yang dipancarkan oleh BTS mempunyai dampak negatif
terhadap lingkungan hidup terutama yang berada pada daerah cakupan antena BTS.
2.4.2.1. Pengaruh gelombang EMF terhadap kesehatan manusia
Secara garis besar radiasi gelombang elektromagnetik dibagi 2 (dua)
kelompok (The International EMF Project, May 1998) yaitu. :
1. Radiasi peng-ion (ionisasi)
2. Radiasi tidak peng-ion (non-ionisasi).
Perbedaan antara kedua kelompok radiasi gelombang elektromagnetik
tersebut terletak pada kemampuan radiasi

gelombang elektromagnetik untuk

mengionisasi molekul, secara garis besar perbedaan tersebut adalah :
1. Kelompok gelombang elektromagnetik ionisasi dapat mengionisasi molekul
sehingga apabila terkena tubuh manusia, maka dapat menyebabkan efek akut
dan kronis. Efek akut yang terjadi dapat menyebabkan sindrom saraf pusat,
mual dan ingin muntah, tidak enak badan dan lesu, meningkatnya suhu tubuh
manusia. Sedangkan efek kronisnya dapat menyebabkan perubahan
genetika,kanker, katarak. Termasuk gelombang elektromagnetik ionisasi
adalah sinar x, sinar gamma, dan sebagian sinar ultra violet.
2. Kelompok gelombang elektromagnetik yang non-ionisasi adalah radiasi yang
tidak mampu meng-ionisasi molekul. Bila melampaui nilai batas tertentu
kelompok ini juga mempunyai dampak terhadap tubuh manusia seperti sakit
kepala, kelelahan mental, keguguran, sulit tidur, ganguan reproduksi, indikasi
tumor dan leukimia. Termasuk dalam kelompok ini adalah sinar tampak,sinar
infra merah, dan gelombang radio.

Universitas Sumatera Utara

29
Efek gelombang medan elektromagnetik terhadap manusia memiliki 2 efek, yaitu :
1. Efek Bio

: Mempengaruhi stimulus dan perubahan di atmosfer

2. Efek Kesehatan : Mempengaruhi kesehatan baik dalam jangka pendek maupun
dalam jangka panjang
Gelombang EMF yang dipacarkan oleh Jaringan Telepon Selular berdampak
negatif terhadap kesehatan manusia, dampak tersebut memiliki efek dalam jangka
waktu pendek dan dalam jangka waktu panjang (The International EMF Project, May
1998). Efek Jangka pendek dan jangkan panjangnya adalah sebagai berikut :
1. Efek Jangka Pendek
Pemanasan jaringan terjadi sebagai interaksi antara energi frekuensi radio dan
tubuh manusia, sebagian besar energi diserap oleh kulit dan jaringan permukaan
lainnya, sehingga terjadi kenaikan suhu pada otak atau organ-organ tubuh lainnya.
2. Efek Jangka Panjang
Potensi gangguan kesehatan dalam jangka panjang dapat terjadi pada berbagai
sistem tubuh, antara lain sistem darah, sistem reproduksi, sistem saraf, sistem
kardiovaskular, sistem endokrin, psikologis, dan fisiologis (I Putu Mahardika et
al., 2008). Menurut Anies (2007) gelombang EMF dapat mengakibatkan efek
negatif terhadap sistem reproduksi laki-laki, perubahan ritme jantung, sistem
saraf, sistem endokrin, dan hipersensitivitas. Efek ini secara signifikan akan
berdampak negatif kepada orang-orang yang tinggal dalam radius 300 meter dari
BTS. Efek ini antara lain tendensi depressi, kelelahan otot, pola tidur terganggu,
dan kesulitan konsentrasi (Santini et al., 2002), juga dapat menyebabkan sakit
kepala (Netherlands Organization for Applied Scientific Research, TNO 2003),
dan masalah pada cardiovascular (Oberfeld Gerd et. al. 2004). Meningkat

Universitas Sumatera Utara

30
terjadinya kanker terutama pada kaum wanita (Ronni Wolf dan Danny Wolf,
2004).
Sedangkan menurut NPRB ( The National Radiological Protection Board)
UK, Inggris, efek yang ditimbulkan oleh radiasi gelombang elektromagnetik dari
jaringan telepon selular dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Efek fisiologis, merupakan efek yang ditimbulkan oleh radiasi gelombang
elektromagnetik yang mengakibatkan gangguan pada organ-organ tubuh
manusia berupa kanker otak dan pendengaran, tumor, perubahan pada
janringan mata termasuk retina dan lensa mata, gangguan pada reproduksi,
hilang ingatan, dan pusing kepala.
2. Efek psikologi, merupakan efek kejiwaan yang ditimbulkan oleh radiasi
tersebut misalnya stress dan ketidakyamanan karena terkena radiasi
berulang-ulang.
2.4.2.2. Pengaruh gelombang EMF terhadap hewan
Paparan gelombang EMF juga akan memiliki efek kepada kehidupan
lingkungan lainnya, oleh sebab itu radiasi gelombang medan elektromagnetik saat
ini dimasukkan sebagai polutan dalam pengelolaan lingkungan hidup yang disebut
dengan “Electro Pollution” .
Pada jarak sampai 200 meter dari antena BTS dapat mengakibatkan ancaman
bagi kelangsungan kehidupan populasi satwa burung dan juga menghilangnya kupukupu, lebah dan serangga lainnya dari habitatnya di sekitar antenna BTS (Goverment
of India Ministry of Communication & Information Technology Department of
Telecommunications).

Disebutkan

juga

bahwa

burung-burung

kehilangan

Universitas Sumatera Utara

31
kemampuan navigasinya akibat mengalami disorientasi dalam menentukan arah
sehingga burung-burung tersebut salah arah untuk kembali ke sarangnya.
2.4.3. Nilai ambang batas paparan radiasi EMF
Nilai ambang batas yang ditetapkan oleh ICNIRP (International Commission
on Non-Ionizing Radiation Protection) yang diakui oleh WHO (World Health
Organisation) dan yang ditetapkan oleh IEEE (Institute of Electrical and Electronics
Engineers) berdasarkan besarnya

power density dalam satuan watt/m2 dan

berdasarkan besarnya paparan radiasi yang diserap oleh tubuh manusia yang
dinyatakan dengan SAR (Spesific Absortion Rate) dalam satuan w/kg. ICNIRP dan
IEEE menetapkan batas ambang untuk PD pada frekuensi 900 MHz. adalah sebesar
4,5 watt/m2 dan pada frekuensi 1.800 MHz. adalah 9 watt/m2 (IEEE Std C95.1, 1999)
sedangkan nilai ambang batas SAR adalah 1,6 watt/kg. Pada beberapa negara, nilai
batas ambang ini ditetapkan lebih kecil dari pada yang ditetapkan oleh WHO, seperti
negara Switzerland/Schweizer Bunndesrat menetapkan nilai ambang batas PD untuk
900 MHz. maupun untuk 1.800 MHz. adalah sebesar 0,001 watt/m2. Tabel 2.2.
memperlihatkan nilai ambang batas power density untuk beberapa negara.
Tabel 2.2. Nilai ambang batas power density untuk beberapa negara
900 MHz
Power Density
(W/m2)

1800 MHz
Power Density
(W/m2)

ICNIRP, 1998

4,5

9,0

International Institute of Electrical
and Electronic Engineer

IEEE, 1999
USA

6,0

12

European/European Committe for
Electro technical Standardization

CENELEC,
1995

4,5

9,0

Australia/Standard Association of
Australia

AS/NSZ, 1998

2,0

2,0

Hungary/Hungarian Standard
Institution

Hungary, 1986

0,1

0,1

Nama Negara/ Organisasi

Dokumen

International commision of non
ionizing radiation protection

Universitas Sumatera Utara

32

Lanjutan Tabel 2.2.
900 MHz
Power Density
(W/m2)

1800 MHz
Power Density
(W/m2)

Belgium

1,1

2,4

Italy/Ministry of Enviroment

Italy 1, 1998

1,0

1,0

Italy/Ministry of Enviroment

Italy 2, 1998

0,1

0,1

Switzerland/Schweizer Bunndesrat

NISV, 1999
S vorGW
1998

0,001
0,001

0,001
0,001

Nama Negara/ Organisasi

Dokumen

Belgium

Austria Local

Sumber : Report of the inter-ministerial Committee on EMF Radiation, Government of India Ministry of
Communications & Information Technology Department of Telecommunications, 25 th Nov,2010.

Pada beberapa negara dapat terjadi bahwa power density radiasi EMF dari
antena BTS 10 kali lebih besar dari yang direkomendasikan (Saeid, 2015). Ini terjadi
karena operator cenderung melakukan penambahan daya pemancar BTS dengan
tujuan memperluas daerah cakupan, dengan demikian akan menghemat dana untuk
pembangunan menara BTS sehingga akan meningkatkan profit perusahaan operator
telepon selular (Mamilus et al., 2012)
2.4.4. Besarnya power density EMF yang dipancarkan antena BTS
Besarnya daya yang dipancarkan oleh sebuah antena BTS tergantung dari
besarnya daya pada pemancar, rugi-rugi daya disepanjang saluran antena, dan
penguatan antena. sebagai contoh pemodelan power density dapat dilakukan dengan
menggunakan perangkat lunak powersim dan juga dapat dilakukan dengan
menggunakan perangkat lunak estimataor yang dikeluarkan oleh ITU.
Menara antena BTS yang dibangun oleh tower provider biasanya
disewakan untuk digunakan oleh beberapa operator telepon seluler, sehingga paparan
radiasi yang terjadi merupakan akumulasi power density dari beberapa antena BTS
tersebut. Menurut ITU-BS.1698 (2005) total power density yang dipancarkan dari

Universitas Sumatera Utara

33
sebuah menara antena BTS yang memiliki beberapa buah antena BTS adalah jumlah
dari seluruh power density antena-antena BTS tersebut, total power density (t)
tersebut adalah :

 � = ∑ i

.

=

dimana i adalah power density pada frekuensi fi (i = 1,2, .....n) dengan kondisi :

=

i

Li

.

dimana Li adalah level referensi power density pada frekuensi fi (i = 1,2, .....n).
2.4.4.1.Pemodelan power density mengguakan powersim.
Pemodelan sederhana power density dengan menggunakan perangkat lunak
simulasi powersim dapat digambarkan sebagai berikut : sebuah pemancar dari
operator telepon selular memiliki daya sebesar 20 Watt, dipancarkan melalui antena
BTS dengan penguatan (gain) antena sebesar 18 dB dan losses (rugi-rugi daya) yang
terjadi disepanjang saluran sebesar 6 dB, sedangkan jumlah sinyal carrier yang
digunakan sebanyak tiga kanal (2 TCH, 1 BCCH). Nilai konduktivitas cairan otak
adalah 2,2380 (s/m) dan kerapatan massa cairan otak adalah 1010 (Kg/m 3) (Ali and
Sudhabindu 2011). Paparan radiasi medan elektromagnetik yang diterima otak
manusia yang berada disepanjang radius 100 meter dari antena BTS tersebut adalah
: Total losses yang terjadi pada perangkat antena BTS adalah gain antena dikurangi
losses saluran antena = 18 dB - 6 dB = 12 dB. Besarnya daya keluaran (EIRPEffective Isotropically Radiated Power) antena BTS :





=

 X = 20

x 101,2 = 316 watt untuk 1 kanal, sehingga untuk ketiga kanal, BTS memancarkan 3

Universitas Sumatera Utara

34
x 316 watt = 948 Watt. Dengan menggunakan persamaan 2.3, 2.5, dan 2.6. yang
dimasukkan pada simulasi powersim maka diperoleh diagram alir dan simpal kausal
seperti pada Gambar 2.7. dan 2.8. dan besarnya power density sebagai fungsi dari
jarak diperlihatkan pada Tabel 2.3. dan Gambar 2.9.

R
N
Daya_Dens ity

K uat_Medan_Lis trik
Daya_BT S _2
Daya_Panc ar_BT S
S AR

Daya_Pem anc ar
T otal_P enguatan

em pat_pi
konstanta
K _C airan_otak

K M_Cairan_otak

Redam an_Salur an P enguatan_Antena

Gambar 2.7. Diagram alir power density dari BTS
dalam bentuk persamaan,
init
flow
aux
aux
aux
aux
aux
aux
aux
const
const
const
const
const
const
const

R=1
R = +dt*N
N = PULSE(1,1,1)
Daya_BTS_2 = Daya_Pancar_BTS/empat_pi
Daya_Density = Daya_BTS_2*(1/R^2)
Daya_Pancar_BTS = Daya_Pemancar*10^(Total_Penguatan/10)*3
Kuat_Medan_Listrik = SQRT(Daya_Density*konstanta)
SAR = (K_Cairan_otak*Kuat_Medan_Listrik^2)/KM_Cairan_otak
Total_Penguatan = Penguatan_Antena-Redaman_Saluran
Daya_Pemancar = 20
empat_pi = 4*3.17
K_Cairan_otak = 2.2380
KM_Cairan_otak = 1010
konstanta = 377
Penguatan_Antena = 18
Redaman_Saluran = 6
Jarak Lokasi

-

+

Daya Density
+

+

Daya Pancar BTS

+

Medan Listrik
+
+

Daya Pemancar
-

Total Penguatan B TS

+

+

Redaman S aluran

+
SA R

Penguatan A ntena
-

+

Gambar 2.8. Diagram simpal kausal power density dari BTS

Universitas Sumatera Utara

35

Tabel 2.3. Besarnya power density sebagai fungsi
dari jarak menggunakan powersim
R

Power density

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

74,99
72,55
68,88
56,80
45,50
35,20
25,30
16,20
12,30
8,21

Dari Tabel 2.3. power density memiliki nilai yang berubah sebagai fungsi
dari jarak atau radius dari antena BTS, artinya semakin dekat dengan antena maka
semakin besar paparan radiasi . Semakin besar daya pancar maka semakin jauh
paparan radiasinya.

P
D

80
70
60
50
40
30
20
10
0

75.6
68.6

54.7
35.5
20.4
12.4 9.03

6.8

5.9

5.2

1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 9.00 10.00
J a r a k (m)

Gambar 2.9. Grafik power density sebagai fungsi dari jarak

2.4.4.2. Pemodelan power density menggunakan estimator ITU
Misalkan daya pada pemancar adalah 20 watt dan losses pada saluran
disepanjang antena sebesar 6 dB, sedangkan penguatan antena 18 dB (Gambar 2.10).
Besarnya daya yang dipancarkan antena adalah : penguatan antena dikurangi losses
pada saluran antena yaitu 20 dB – 3 dB = 17 dB sehingga daya keluaran antena adalah

Universitas Sumatera Utara

36
10 Log Pout/30 = 17 dB Pout = 30 x 101,7 = 1.504 Watt untuk 1 kanal trafik. Bila
menggunakan 3 carrier maka besarnya EIRP (Effective Isotropically Radiated
Power) untuk 1 sektor BTS tersebut adalah 3 x 1.504 Watt = 4.512 Watt.

20 dBi Gain
TCH

1.504 W

TCH

1.504 W

BCCH

Total EIRP
= 4.512 W

1.504 W

3 dB Loss
BTS

GSM 900
3 Carriers
daya Tx = 30 W

Gambar 2.10. Daya yang dipancarkan oleh sebuah antena BTS
Dengan menggunakan perangkat lunak EMF estimator yang dikeluarkan
oleh ITU (International Telecommunication Union) maka diperoleh power density
sebesar 10,265 w/m2 (melebihi nilai ambang batas) untuk HRP = 10 dB dan VRP =
10 V/V. pada jarak 100 meter. Tabel 2.4. memperlihatkan besarnya power density
sebagai fungsi dari jarak dan Gambar 2.10. memperlihatkan perhitungan power
density menggunakan software estimator dari ITU.
Tabel 2.4. Besarnya power density sebagai fungsi dari jarak menggunakan estimator
Jarak (m)
PD (w/m2)

10
64.79

30
45.33

50
28.32

70
18.12

90
12.24

110
8.71

130
6.47

150
4.98

160
4.41

Dari Tabel 2.4. dan Gambar 2.11. terlihat besarnya power density sebagai
fungsi dari jarak untuk sebuah sinyal dari antena BTS dengan daya pemancar 30 watt,
penguatan antena 20 dB., rugi-rugi pada saluran sebesar 3 dB., tinggi antena 42
meter, dan kemiringin antena sebesar 60 derajat. Pemanvar tersebut

akan

Universitas Sumatera Utara

37
menghasilkan power density pada jarak 10 meter dari antenna BTS sebesar 64,79
watt/m2 dan pada jarak 150 meter sebesar 4,98 watt/m2. Hal ini masih melebihi nilai
ambang batas yang ditetapkan oleh ICNIRP sebesar 4,5 watt/m 2. Ambang batas
power density akan terpenuhi mulai dari jarak 160 meter dari antena BTS.

Gambar 2.11. Power Density dengan menggunakan software estimator ITU

Gambar 2.12. Kumulatif Paparan dari 2 buah antena BTS

Universitas Sumatera Utara

38
Akumulasi power density terjadi bila ada lebih dari satu carrier pada sebuah antena
BTS atau terdapat lebih dari satu antena BTS pada sebuah menara BTS, sehingga
paparan EMF akan semakin besar pada daerah cakupan dari BTS tersebut seperti
yang diperlihatkan pada Gambar 2.12.
Antena BTS dengan pola sektoral memiliki penguatan 10-20 dBi, ini artinya
daya yang dipancarkan dapat 10 sampai dengan 100 kali lebih kuat dibandingkan
bila menggunakan antena omnidirectional (Mamilus A. et al., 2012). Biasanya
sebuah antena memiliki 1-5 buah carrier dimana setiap carrier mentransmisikan
daya sebesar 10-20 watt, sehingga satu operator dapat mentransmisikan daya 50-100
watt dan bila ada 3-4 operator dalam sebuah menara BTS, maka total daya yang
ditransmisikan dapat berkisar 200-400 watt. Bila menggunakan antena sektoral
(directivity) dengan penguatan antena sebesar 17 dB (dalam numerik sama dengan
50) maka daya yang dipancarkan dapat dalam KW.
2.5. Mitigasi Radiasi dari Antena BTS
Beberapa metode teknik mitigasi untuk mengurangi tingkat radiasi EMF
terhadap lingkungan hidup yang berada pada daerah cakupan menara BTS telah
direkomendasikan oleh ITU dengan mengeluarkan rekomendasi K.70.
2.5.1. Menurunkan kekuatan pemancar
Metode paling sederhana untuk mengurangi tingkat radiasi EMF dari antena
BTS adalah dengan mengurangi kekuatan pemancar. Metode ini menurunkan
kekuatan pemancar yang akan secara linear akan menurunkan power density pada
daerah cakupan antena BTS. Hal ini juga akan menurunkan kuadrat dari besarnya
medan listrik E. Kelemahan dari metode ini adalah berkurangnya daerah cakupan

Universitas Sumatera Utara

39
dari BTS tersebut. Metode ini hanya digunakan bila hanya jika metode lain tidak
dapat diterapkan dengan berbagai alasan.
2.5.2. Menambah ketinggian antena
Sebuah antena BTS dibangun dengan ketinggian h meter dengan sudut
elevasi Ө diamati dan dilakukan pengukuran power density pada jarak x dari antena
dengan ketinggian pengukuran h’ seperti pada Gambar 2.13.

Gambar 2.13. Korelasi Power Density dengan tinggi antena BTS
dimana,
h = tinggi antena (meter)
x = jarak titik pengukuran (meter)
R = Jarak antena ke titik pengukuran (meter)
h’’ = h – h’
Besarnya power density pada titik pengukuran x adalah :
=

dimana,
� = tan−
� � =[

,



� �

�� �

(2.9)

� +ℎ"

ℎ"




� 
Ө

]

EIRP (Equivalent Isotropically Radiated Power) = Pt Gt (watt)
Pt = daya pemancar (watt)
Gt = penguatan antenna

Universitas Sumatera Utara

40
Melalui persamaan (2.9) dapat dilihat bahwa bila tinggi antena dinaikkan, maka
power density akan berkurang sehingga paparan radiasi juga akan berkurang. Dapat
juga dinyatakan bila antena dinaikkan maka sudut elevasi antena akan bergerak
berpindah sehingga paparan radiasi pada titik pengukuran semula akan berkurang
tetapi radius paparan radiasi EMF akan bertambah. Penurunan radiasi EMF ini terjadi
karena sudut elevasi berpindah ke bagian lain dari VRP (Vertical Radiation Pattern)
antena pemancar. Metode ini hanya dapat diterapkan jika kemungkinan untuk
menambah tinggi antena dapat dilakukan. Gambar 2.14. adalah grafik power density
sebagai fungsi dari jarak yang berkurang bila dilakukan penambahan tinggi antena
BTS.
Equivalent plane-wave
power density [mW/m2]
2.00
1.80
1.60
1.40
1.20
1.00
0.80
0.60
0.40
0.20
0

50
0
EMF-estimator
BSant_height_20m

100

150

200

250

300

350

BSant_height_35m

400

450
500
Distance [m]
K.70(07)_F.D.1

Sumber : telecommunication standardization sector of ITU K.70 (6/2007)

Gambar 2.14. Distribusi power density untuk tinggi antena 20 m dan 35 m.

Distribusi power density seperti yang diperlihatkan pada Gambar 2.14.
menunjukkan penambahan ketinggian antena dapat menurunkan tingkat radiasi.
Pada gambar terlihat pada jarak 0 meter dengan tinggi antena 35 meter akan
mengalami pengurangan power density sebesar 3 kali dibanding dengan ketinggian
antena 20 meter (dari 1,75 mW/m2 menjadi 0,52 mW/m2).

Universitas Sumatera Utara

41

2.5.3. Menurunkan kemiringan (downtilt) VRP
Menurunkan kemiringan (downtilt) antena BTS akan menurunkan power
density pada daerah daerah cakupan yang jauh dari menara BTS, tetapi akan
meningkatkan power density pada jarak yang sangat dekat dengan menara BTS,
sebagai contoh pada Gambar 2.15. antena BTS diturunkan kemiringannya dari 0
derajat menjadi 10 derajat yang mengakibatkan naiknya power density pada jarak
sampai dengan 400 meter dari antena BTS pada ground level, dan akan turun pada
jarak di atas 400 meter. Kelemahan dari metoda ini adalah dengan menurunkan
kemiringan antena BTS akan mengakibatkan luas daerah cakupan antena BTS akan
menjadi berkurang dan kelemahan lainnya adalah sulitnya melihat secara visual
penurunan kemiringan antena tersebut sehingga harus dilakukan secara elektrik.
Equivalent plane-wave
power density [mW/m2]
2.00
1.80
1.60
1.40
1.20
1.00
0.80
0.60
0.40
0.20
0

0
50
EMF-estimator
BSant_downtilt_10°

100

150

200

250

300

350

400

450
500
Distance [m]
K.70(07)_F.D.2

BSant_downtilt_0°

Sumber : telecommunication standardization sector of ITU K.70 (6/2007)

Gambar 2.15. Distribusi power density dengan metode downlitlt VRP antena BTS.
2.5.4. Mengatur directivity antena BTS
Menambah gain antena berhubungan dengan directivity antena, yaitu
kemampuan untuk memancarkan lebih dalam arah yang diinginkan (terutama
terhadap horizontal) dan untuk membatasi radiasi dalam arah lain. Antena directivity
digunakan untuk mengurangi radiasi ke arah yang diakses orang. Antena directivity

Universitas Sumatera Utara

42
terkait erat dengan horizontal (HRP) dan vertikal (VRP). Perubahan antena pemancar
HRP, dibuat untuk melindungi orang terhadap radiasi khususnya pada area yang
berada dekat dengan antena BTS, akan tetapi akan mengurangi area cakupan.
Sebagai contoh tinggi antena: 35 meter, frekuensi: 947,5 MHz, daya pemancar 50
W, total atenuasi 2.34 dB, EIRP = 1038 W, maka grafik distribusi power densisty
sebagai fungsi dari jarak diperlihatkan pada Gambar 2.16.
Equivalent plane-wave
power density [mW/m2]
2.00
1.80
1.60
1.40
1.20
1.00
0.80
0.60
0.40
0.20
0
0
30
EMF-estimator

60

BSant_gain_18_dBi

90

120

150

180

210

240

BSant_gain_15.5_dBi

270
300
Distance [m]
K.70(07)_F.D.4

Sumber : telecommunication standardization sector of ITU K.70 (6/2007)

Gambar 2.16. Distribusi power density dengan gain antena yang berbeda.
Distribusi power density dengan gain antena yang berbeda seperti yang
diperlihatkan pada Gambar 2.16. menunjukkan perbandingan distribusi power
density sebagai fungsi dari jarak ke antena untuk dua kasus, yaitu stasiun GSM 900
dengan gain antena sebesar 18,0 dBi dengan 7,5° VRP (garis sambung) dan stasiun
yang sama menggunakan gain antena sebesar 15,5 dBi dengan 13° VRP (garis putusputus).

Universitas Sumatera Utara