Model Topologi Jaringan Antena Base Transceiver Station Berbasis Ramah Lingkungan di Kota Medan Chapter III V

III. METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di kota Medan dengan mengambil data populasi
menara BTS untuk menggambarkan pemetaan antena BTS di kota Medan.
3.2. Populasi dan Sampel
Ada dua operator telepon seluler di kota Medan yang memiliki menara antena
BTS yang banyak, sehingga populasi menara antena BTS yang digunakan pada
penelitian ini berdasarkan data dari dua operator tersebut. Populasi yang diambil
pada penelitian ini tidak termasuk antena micro indoor , hanya antena macro. Satu
sampel antena diambil dari setiap menara antena BTS.
3.3. Parameter yang di ukur
Besaran yang diukur adalah koordinat BTS dan power density pada coverage
area dari BTS tersebut.

3.4. Alat Ukur yang Digunakan
Alat ukur yang digunakan adalah GPS merek Garmin tipe GPS MAP 64s dan
alat ukur power density merek Lutron tipe EMF-819
3.5. Tahapan Penelitian
Bagan alir dari penelitian ini digambarkan dengan diagram fishbone seperti pada
Gambar 3.1. Proses penelitian ini secara garis besarnya dilakukan dalam tiga tahap

utama, yaitu :

43

Universitas Sumatera Utara

44

1. Melakukan pemetaan koordinat menara antena BTS, pengukuran power
density pada jarak sekitar 100 meter dari menara antena BTS tersebut.

2. Membuat

parameter-parameter

yang

berhubungan

dengan


jaminan

koneksitas komunikasi mobile station, biaya pembangunan yang minimum,
dan pengalihan hubungan komunikasi terkait dengan ambang batas PD di
suatu BTS
3. Membuat model matematis topologi menara antena BTS dengan
mepertimbangkan ambang batas power density sebagai batasan syarat aman
terhadap lingkungan hidup khususnya terhadap kesehatan masyarakat.

FCA

Menara BTS

Biaya minimal
Koordinat BTS

CTND-PD

Model

Topologi
Jaringan
Antena BTS
Ramah
Lingkungan

BTSL

Power Density
Power density Meter,
dan GPS

Ambang batas PD

Jaminan
Koneksitas

Gambar 3.1. Bagan Alir Fishbone Metode Penelitian
3.6. Metode Pengukuran
Pengukuran dilakukan pada lokasi BTS sesuai dengan koordinat masingmasing menara BTS yang digunakan oleh kedua operator telepon seluler. Besaran

yang diukur adalah kuat medan listrik (E) pada area menara antena BTS tersebut.
Hasil pengukuran tersebut dikonversikan kebesaran power density

dengan

menggunakan rumus (2.3). Pengukuran dilakukan untuk satu buah antena directional
atau satu buah antena sektoral untuk masing-masing menara antena BTS setiap
operator, sehingga jumlah antena yang dilakukan pengukurannya untuk kedua

Universitas Sumatera Utara

45

operator seperti pada Tabel 3.1. Jumlah seluruh antena pada menara antena ke dua
operator sebanyak 2.498 antena dan jumlah seluruh sampel yang diambil dari kedua
operator adalah sebanyak 690 antena, dan antena pengukuran kuat medan dilakukan
pada seluruh antena sampel pada jarak sekitar 100 meter dari antena BTS.

Tabel 3.1. Jumlah sampel antena BTS
GSM 900


Operator
A
B
Jumlah

GSM 1800

Real

Sampel

Real

Sampel

614
816

186

229

546
522

183
92

1430

415

1068

275

3.7. Rancangan Model
Antena BTS harus ditempatkan sedemikian rupa sehingga dapat mencakup
daerah geografis yang memenuhi kualitas layanan pemakai telepon selular. Namun
pada umumnya dalam pemodelan BTSL diformulasikan dengan meminimumkan

biaya, yang mencakup biaya instalasi dan peralatan. Dalam literatur, persoalan
penentuan lokasi BTS memiliki kesamaan dengan persoalan penempatan fasilitas,
oleh karena itu persoalan BTSL dapat dimodelkan sebagai persoalan Program Linier
Cacah Campuran (PLCC) BTSL atau yang dikenal dengan Mixed Integer Linear
Programming (MILP). Nilai cacah atau integer disini dikaitkan dengan variabel

bernilai 0-1. dengan pemahaman bahwa variabel bernilai 1 berarti di lokasi tersebut
dapat ditempatkan BTS, nilai 0 jika tidak. Dalam beberapa literatur seperti, George
dan Laurence (1988), Mirchandani dan Francis (1990), dan Rappaport (1996) dapat
diperoleh secara rinci tentang optimasi jaringan. Model PLCC yang berkenaan
dengan BTS diajukan oleh Mathar dan Niersen (2000).
Kata topologi jaringan mengandung konotasi bahwa BTS yang telah
ditempatkan harus dihubungkan dengan jaringan tetap, dalam model ia dinyatakan

Universitas Sumatera Utara

46

dalam bentuk minimum biaya. Koneksi antara BTS dan jaringan tetap pada model
yang dibuat dapat terjadi melalui switch jaringan setelah melalui hub atau langsung

melalui switch seperti pada Gambar 3.2.
BTS
BTS
3
1

2

Switch
2

Hub

Gambar 3.2. Hubungan antar BTS pada model
Koneksi antara BTS i dan BTS j dilakukan melalui hub atau melalui switch.
Jadi persoalan demikian ini juga dikenal sebagai persoalan Rancangan Jaringan (RJ)
yaitu memilih opsi dengan biaya minimum terhadap kumpulan BTS terlokasi (Dutta
dan Kubat, 1999; Kubat dan Smith, 2000).
Seperti yang telah disampaikan terdahulu bahwa tujuan dari rancangan
topologi jaringan (RTJ) adalah mampu mencakup daerah geografis sehingga dapat

memberi layanan berkualitas terhadap permintaan pemakai atau Frequency Channel
dengan mempertimbangkan perlindungan lingkungan hidup. Cakupan dipenuhi oleh
penempatan antena BTS untuk suatu daerah, yang dalam hal ini dinyatakan sebagai
persoalan BTSL. Jadi BTSL dapat didefenisikan sebagai persoalan pemilihan, dari
kelompok calon lokasi BTS, yaitu sub-kelompok berbiaya minimum yang mampu
mencakup semua daerah geografis dan aman terhadap lingkungan. Karena persoalan
RTJ mengemukakan persoalan BTSL dan RJPD, penyelesaiannya yang terkait
dengan variabel BTSL dinyatakan oleh keseimbangan antara biaya minimum subkelompok BTS dan sub-kelompok BTS yang dapat terhubung dengan jaringan tetap
pada biaya minimum. Karena itu, biaya minimum sub-kelompok BTS yang
dihasilkan oleh penyelesaian RJPD tidak perlu sama seperti yang diberikan oleh

Universitas Sumatera Utara

47

penyelesaian BTSL, sehingga penyelesaian RJPD lebih baik atau setidak-tidaknya
sama dengan jumlah penyelesaian persoalan BTSL dan RJPD.
Dalam pemodelan ini, ada kaitan antara BTSL dengan FC, hal demikian perlu
dilakukan agar dapat tercapai pemenuhan kualitas layanan seperti yang diharapkan
pemakai. Jadi untuk tipe BTS terpilih harus dapat menerima FC yang cukup untuk

melayani permintaan. Persoalan demikian ini dinyatakan sebagai persoalan FCA,
yaitu membagi FC yang tersedia untuk seluruh sistem. Pada umumnya secara teoritis,
jumlah channel tidak cukup untuk melayani permintaan seluruh pemakai, berarti FC
harus dipakai ulang (reuse) dalam BTS berbeda. Namun pemakaian ulang frekuensi
mengakibatkan persoalan gangguan (interferensi) co-channel yang dapat terjadi
apabila BTS tetangga memakai FC yang sama, sehingga model yang dihasilkan harus
mampu mencegah gangguan co-channel dengan menghindari BTS tetangga
membagi channel frekuensi sama.
Terdapat hal lain selain gangguan co-channel, yaitu persoalan gangguan dari
channel terdekat dan untuk mengatasi ini, dalam model diajukan jarak frekuensi

tertentu antara pasangan FC yang diperuntukkan pada suatu BTS terpilih. Jadi secara
teoritis, untuk melayani permintaan FC yang diperlukan BTS maka diperlukan FCA
yang bertujuan untuk memaksimumkan pemakaian spektrum frekuensi dengan
mempertimbangkan tingkat gangguan yang masih dapat diterima. Pada dasarnya,
persoalan FCA dapat diselesaikan dalam suatu model tersendiri. Seperti yang
biasanya dilakukan oleh perusahaan telepon selular yaitu dengan cara membuat
model terpisah antara persoalan BTSL dan FCA, namun cara demikian dapat
menghasilkan penyelesaian RJ yang buruk.
Model jaringan telepon seluler yang dirancang, mempertimbangkan efesiensi

pemilihan lokasi BTS dengan tingkat keberhasilan koneksi yang optimal melalui

Universitas Sumatera Utara

48

pengaturan FCA. Serta juga mepertimbangkan power density untuk perlindungan
lingkungan hidup pada daerah daerah cakupan menara antena BTS.

Inisialisasi

Pilih BTS i

tdk

tdk

Switch k

Hub
j

i = i’

ya

ya

i’= i + 1

FCA
Drop Call
BTSL j – BTS i = R
Power density

R > Rpeak

tdk

ya
Koneksi ke BTS j

Selesai

Gambar 3.3. Flowchart rancangan model
Flow chart blok rancangan model ini seperti pada Gambar 3.3.

Pada

flowchart dapat dilihat bahwa awal terjadinya sebuah koneksi pada jaringan telepon

seluler antara BTS j dengan BTS i dilakukan dengan pemilihan BTS i. Kemudian
melakukan koneksi dengan hub j dengan pemilihan biaya yang efisien, bila BTS
yang dituju tidak berada pada lokasi hub j maka hub j melakukan koneksi dengan

Universitas Sumatera Utara

49

switch k dengan pemilihan biaya yang efisien. Memeriksa ketersediaan FCA

dilakukan setelah koneksi BTS i dengan hub j dan atau koneksi hub j dengan switch
k berhasil dilakukan. Kemudian menghitung jarak (R) BTS j dengan BTS i, bila

jarak tersebut lebih kecil dari Rpeak (jarak yang dilarang karena power density () nya
lebih besar dari nilai ambang batas, efek negatif terhadap lingkungan hidup) maka
dilakukan kembali pemilihan BTS pengganti BTS i yaitu BTS i’. Bila jarak BTS j
dengan BTS i lebih besar dari Rpeak (jarak yang diperbolehkan karena power density
() nya tidak melebihi nilai ambang batas, aman bagi lingkungan hidup) maka BTS
j terkoneksi dengan BTS i.

3.8. Program Linear
Program Linear merupakan metode matematika untuk mengalokasikan
sumber daya yang biasanya terbatas supaya mencapai hasil yang optimal, misalnya
memaksimumkan keuntungan atau meminimumkan biaya. Oleh karena itu program
linear banyak dipergunakan dalam menyelesaikan masalah-masalah antara lain
ekonomi dan industri.
Para pengambil keputusan sering menghadapi masalah dalam menentukan
alokasi sumber daya yang terbatas karena mereka menginginkan hasil yang
seoptimal mungkin. Dengan menggunakan model program linear, para pengambil
keputusan dapat memprediksi hasil yang akan diperolehnya.
Bentuk umum model program linear adalah :
Max (min)

Ž = ∑cj xj

Kendala

∑aj xj (≤,=,≥) bi, ( i=1,2….m)
xj ≥ 0, ( j=1,2….m)

dimana
xj : banyaknya kegiatan j (j= 1,2…..n)

Universitas Sumatera Utara

50
Ž : nilai fungsi tujuan
cj : sumber per unit kegiatan, untuk masalah memaksimalkan, cj menunjukkan
keuntungan per unit kegiatan, sedangkan untuk kasus meminimalkan, cj
menunjukkan biaya per unit perkegiatan
bi : besarnya sumber daya i (i = 1,2, …… ,m) aij
aij : banyaknya sumber daya i yang dipakai sumber daya j.

3.8.1. Program integer
Pada masalah program linear penyelesaian optimalnya dapat berupa bilangan
real yang berarti penyelesaian bisa berupa bilangan pecahan. Untuk penyelesaian

yang berbentuk pecahan jika mengalami pembulatan ke integer terdekat maka hasil
yang diperoleh bisa menyimpang jauh dari yang di harapkan. Akan tetapi banyak
permasalahan dikehidupan nyata yang memerlukan penyelesaian variabel,
keputusannya berupa integer sehingga harus dicari model penyelesaian masalah
untuk memperoleh penyelesaian integer yang optimum.

Program integer

merupakan program pengembangan dari program linear dimana beberapa atau semua
variabel keputusannya harus berupa integer. Jika hanya sebagian variabel
keputusannya merupakan integer maka disebut program integer campuran (mixed
integer programming ) . Jika semua variabel keputusannya bernilai integer disebut

program integer murni (pure integer programming). Sedangkan Program integer 01 merupakan bentuk program integer dimana sebuah variabel keputusannya harus
bernilai integer 0 atau 1 (binary)

Bentuk umum model program integer adalah :
Max(min)

Ž = ∑ cj xj

Kendala

∑aij xj(≤,=,≥) bi, (i=1,2….m)
xj ≥ 0, (j=1,2….m)
xj bernilai integer untuk beberapa atau semua j

Universitas Sumatera Utara

51

Bentuk umum model program integer 0-1 adalah :
Max(min)

Ž = ∑ cj xj

Kendala

∑aij xj(≤,=,≥) bi, (i=1,2….m)
Xj = 0 atau xj = 1 , (j= 1,2,,n)

Sedangkan bentuk umum dari model mixed integer linear programming (Hoffman
dan Ralphs, 2012) adalah :

Max ∑ � + ∑
�

dengan batasan,


� + ∑

�

�

Kendala,




� { , }



� ℤ

� ℝ

�

� + ∑ �
�

� { =} ∀ 

� + ∑
�

∀ 

∀  ,
∀  �,

∀  .

=

∪ � ∪


3.8.2. Metode solusi dalam integer programming pendekatan pembulatan
Suatu metode yang sederhana dan kadang-kadang praktis untuk
menyelesaikan integer programming adalah dengan membulatkan hasil variabel
keputusan yang diperoleh melalui LP. Pendekatan ini mudah dan praktis dalam hal
usaha, waktu dan biaya yang diperlukan untuk memperoleh suatu solusi. Bahkan
pendekatan pembulatan dapat merupakan cara yang sangat efektif untuk masalah
integer programming yang besar dimana biaya-biaya hitungan sangat tinggi atau
untuk

masalah

nilai-nilai

solusi

variabel

keputusan

sangat

besar.

Universitas Sumatera Utara

52

Contoh : pembulatan nilai solusi jumlah pensil yang harus diproduksi dari 14.250,2
menjadi 14.250,0 semestinya dapat diterima. Namun demikian sebab utama
kegagalan pendekatan ini adalah bahwa solusi yang diperoleh mungkin bukan solusi
integer optimum yang sesungguhnya. Dengan kata lain, solusi pembulatan dapat
lebih jelek dibanding solusi integer optimum yang sesungguhnya atau mungkin
merupakan solusi tak layak. Ini membawa konsekuensi besar jika jumlah produkproduk seperti pesawat angkut komersial atau kapal perang yang harus diproduksi
dibulatkan kebilangan bulat terdekat. Tiga masalah berikut disajikan untuk
mengilustrasikan prosedur pembulatan :
Masalah 1
Maksimumkan

Ž=100X1 + 90 X2

Dengan syarat

10 X1 + 7 X2 ≤ 70
5 X1 + 10 X2 ≤ 50
X1 + X2 ≥ 0

Masalah 2
Minimumkan

Ž = 200X1 + 400 X2

Dengan syarat

10 X1 + 25 X2 ≥ 100
3X1 + 2X2 ≥ 12
X1 ; X2 ≤ 0

Masalah 3
Maksimumkan

Ž = 80 X1 + 100 X2

Dengan Syarat

4X1 + 2X2 ≤ 12
X1 + 5X2 ≤ 15
X1 + X2 ≤ 0

Universitas Sumatera Utara

53

Perbandingan antara solusi dengan metode simplek tanpa pembatasan
bilangan bulat, pembulatan kebilangan bulat terdekat dan solusi integer optimum
yang sesungguhnya untuk ketiga masalah tersebut seperti pada Tabel 3.2.
Tabel 3.2. Tabulasi penyelesaian masalah program integer
No. Masalah

Solusi dengan
metode simpleks

Dengan Pembulatan
terdekat

Bulat Optimum
yang sesungguhnya

1

Ž=
X1 + 90 X2
Syarat :
10 X1 + 7 X2
5 X1 + 10 X2 5
X 1; X 2

X1 = 5,38
X2 = 2,31
Z = 746,15

X1 = 5
X2 = 2
Z = 680

X1 = 7
X2 = 0
Z = 700

2

Ž=
X1 + 400 X2
Syarat :
10 X1 + 25 X2
3X1 + 2X2
X1 ; X2 0

X1 = 1,82
X2 = 3,27
Z = 1.672,73

X1 = 2
X2 = 3
Z = tak layak

X1 = 3 , X2 = 3
X1 = 5, X2 = 2
Z = 1.800

3

Ž = X1 + 100 X2
Syarat :
4X1 + 2X2
3X1 + 5X2 5
X 1; X 2

X1 = 2,14
X2 = 1,71
Z = 343

X1 = 2
X2 = 2
Z = tak layak

X1 = 0
X2 = 3
Z= 300

Masalah pertama adalah masalah maksimasi, dimana solusi pembulatan
menghasilkan keuntungan 680, hanya lebih kecil 20 dibanding yang dihasilkan solusi
bulat optimum 700. Masalah kedua adalah masalah minimasi dimana solusi
pembulatan adalah tak layak. Ini menunjukkan bahwa meskipun pendekatan adalah
sederhana, namun kadang-kadang menyebabkan solusi tak layak. Untuk mencegah
ketidaklayakan, nilai solusi simplek dalam masalah minimasi harus dibulatkan ke
atas, misalnya pada masalah kedua jika solusi dibulatkan ke atas diperoleh X1 = 2
dan X2 = 4 dan merupakan solusi layak. Sebaliknya, pada masalah maksimasi nilai
solusi simplek semestinya dibulatkan ke bawah.
Pada masalah ketiga, solusi pembulatan juga tak layak. Namun, seperti dalam
masalah minimasi, jika solusi simpleknya X1 = 2,14 dan X2 = 1,71 dibulatkan ke

Universitas Sumatera Utara

54

bawah menjadi X1 = 2 dan X2 =1, maka solusinya menjadi layak, ini dapat dibuktikan
dengan meneliti masing-masing kendala model dengan nilai variabel keputusan yang
dibulatkan ke bawah.
Suatu metode yang serupa dengan pendekatan pembulatan adalah prosedur
coba-coba (trial and error ). Dengan menggunakan cara ini, pengambil keputusan
mengamati solusi Integer dan memilih solusi yang mengoptimumkan nilai fungsi
tujuan. Metode ini sangat tidak efektif jika masalahnya melibatkan sejumlah besar
kendala dan variabel, terlebih lagi memeriksa kelayakan setiap solusi yang
dibulatkan memakan banyak waktu.
3.8.3. Pendekatan Grafik
Masalah Integer Programming yang melibatkan hanya 2 (dua) variabel dapat
diselesaikan secara grafik. Pendekatan ini identik dengan metode grafik LP dalam
semua aspek, kecuali bahwa solusi optimum harus memenuhi persyaratan bilangan
bulat. Mungkin pendekatan termudah untuk menyelesaiakan masalah integer
programming dua dimensi adalah dengan menggunakan kertas grafik dan

menggambarkan sekumpulan titik-titik integer dalam ruang solusi layak. Masalah
berikut akan diselesaikan dengan pendekatan grafik.
Maksimumkan

Z = 100X1 + 90X2

Dengan syarat

10X1 + 7X2 < 70
5X1 + 10X2 < 50
X1 ; X2 non negative integer

Model ini serupa dengan mode LP biasa. Perbedaannya hanya pada kendala terakhir
yang mengharapkan bahwa variabel terjadi pada nilai non negative integer . Solusi
grafik masalah ini ditunjukkan pada Gambar 3.4.

Universitas Sumatera Utara

55

X2
10
10 X1 + 7 X2 = 70

5

Z = 746,15

C

B

Z = 700

5 X1 + 10 X2 = 50

A
0

7

10

X1

Gambar 3.4. Solusi Grafik Masalah

Ruang solusi layak adalah OABC. Solusi optimum masalah LP ditunjukkan pada
titik B, dengan X1 = 5,38 dan X2 = 2,31 serta Z =746,15. Untuk mencari solusi integer
optimum masalah ini, garis Z (slope = -9/10) digeser secara sejajar dari titik B
menuju titik asal. Solusi integer optimum adalah titik integer pertama yang
bersinggungan dengan garis Z. Titik itu adalah A, dengan X1 =7 dan X2 = 0 serta Z =
700.
3.8.4. Pendekatan Gomory
Suatu prosedur sistematik untuk memperoleh solusi integer optimum tehadap
pure integer programming pertama kali dikemukakan oleh R.E. Gomory . Ia

kemudian memperluas prosedur ini untuk menangani kasus yang lebih sulit yaitu
mixed integer programming. Langkah-langkah prosedur Gomory diringkas sebagai

berikut :
1. Selesaikan masalah integer programming dengan menggunakan metode simplek.
Jika masalah sederhana, dapat diselesaikan dengan pendekatan grafik, sehingga
pendekatan Gomory kurang efisien.

Universitas Sumatera Utara

56

2. Periksa solusi optimum. Jika semua variabel basis memiliki integer, solusi
optimum integer optimum integer telah diperoleh dan proses telah berakhir. Jika
satu atau lebih variabel basis masih memiliki nilai pecah, teruskan ke tahap 3.
3. Buatlah suatu skala Gomory ( Suatu bidang pemotong atau cutting plane ) dan
cari solusi optimum melalui prosedur dual simplek, kembali ke tahap 2.

3.8.5. Kendala Gomory ( Pure Integer Programming )
Tabel 3.3. Optimum masalah LP dengan metoda Gomory
Basis

1)
2)

Xi 1)

Xm

Wj 2)

Wn

solusi

Z

0…

0

C1….

Cn

b0

Xi

1…

0

a11

a1n

b1

Xm

0

1

am1

amn

b1

Variabel Xi ( i = 1, ….., m) menunjukan variabel basis.
Variabel Wj ( j = 1, ….., n) adalah variabel non bebas

Pada persamaan ke i, variabel Xi diasumsikan bernilai non integer
Xi = bi - ∑aij wj, dimana b non integer.
Pisahkan bi dan aij menjadi bagian yang bulat dan bagian yang pecah non negative
seperti berikut :
bi = bi + fi jadi fi = bi – bi , dimana 0 < f i < 1
aij = aij + fij jadi fij = aij – aij , dimana 0 < f ij < 1
3.8.6. Metode Branch dan Bound
Metode Branch dan Bound merupakan kode komputer standar untuk integer
programming dan penerapan-penerapan dalam praktek tampaknya menyarankan

bahwa metode ini lebih efisien dibanding dengan pendekatan Gomory. Teknik ini
dapat diterapkan baik untuk masalah pure maupun mixed integer programming.

Universitas Sumatera Utara

57

Langkah-langkah metode Branch dan Bound untuk masalah maksimasi dapat
dilakukan sebagai berikut :
1.

Selesaikan masalah LP dengan metode simplek biasa tanpa pembatasan
bilangan bulat.

2.

Teliti solusi optimumnya, jika variabel basis yang diharapakan bulat adalah
bulat, solusi optimum telah tercapai. Jika satu atau lebih variabel basis data yang
diharapkan bulat ternyata tidak bulat, lanjutkan ke langkah 3.

3.

Nilai solusi pecah yang layak dicabangkan ke dalam sub-sub masalah.
Tujuannya adalah untuk menghilangkan solusi kontinyu yang tidak memenuhi
persyaratan bulat dalam masalah itu. Pencabangan itu dilakukan melalui
kendala-kendala mutually exclusive yang perlu untuk memenuhi persayaratan
bulat dengan jaminan tidak ada solusi bulat layak yang diikutsertakan.

4.

Untuk setiap sub-masalah, nilai solusi optimum kontinyu fungsi tujuan
ditetapkan sebagai batas atas. Solusi bulat terbaik menjadi batas bawah (pada
awalnya, ini adalah solusi kontinyu yang dibulatkan ke bawah). Sub-sub
masalah yang memiliki batas kurang dari batas bawah yang ada tidak
diikutsertakan pada analisa selanjutnya. Suatu solusi bulat layak adalah sama
baik atau lebih dari batas atas untuk setiap sub masalah yang dicari. Jika solusi
yang demikian terjadi, suatu sub masalah dengan batas atas terbaik dipilih untuk
dicabangkan, kembali ke langkah 3.

Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang metode Branch dan Bound,
disajikan sebuah contoh masalah berikut,
Maksimumkan

Z = 3X1 + 5X2

Dengan syarat

2X1 + 4X2< 25
X1< 8

Universitas Sumatera Utara

58

2X2 3, yang akan
diuraikan berikut ini sebagai bagian dari A dan B. Kendala-kendala ini secara efektif
menghilangkan semua nilai pecah yang mungkin bagi X2, antara 2 dan 3.
Pengaruhnya mereka mengurangi ruang solusi layak sedemikian rupa sehingga
angka solusi bulat yang dievakuasi pada masalah ini semakin sedikit.
Bagian A
Maksimumkan

Z = 3X1 + 5X2

Dengan syarat

2X1 + 4X2 < 25
X1 < 8
2X2 < 10 (berlebih)
X2 < 2
X1; X2 ≥ 0

Bagian B
Maksimumkan

Z = 3X1 + 5X2

Dengan syarat

2X1 + 4X2 < 25
X1 < 8
2X2 < 10

Universitas Sumatera Utara

59
X2 ≥ 3
X1; X2 ≥ 0
Bagian A : X1 = 8 ;X2 = 2 ; dan Z = 34,
Bagian B : X1 = 6, 5 ; X2 = 3 ; dan Z = 34, 5.
Bagian A menghasilkan suatu solusi yang semuanya bulat. Untuk bagian A batas
atas dan bawah adalah Z = 34. Solusi pecah bagian B membenarkan pencarian lebih
lanjut karena menghasilkan nilai fungsi tujuan yang lebih besar dari batas atas bagian
A. Sangat mungkin bahwa pencarian lebih lanjut dapat menghasilkan suatu solusi
yang semuanya bulat dengan nilai fungsi tujuan melebihi batas atas bagian A = 34.
Bagian B dicabangkan ke dalam dua sub bagian b1 dan b2 pertama dengan kendala
X1 ≤ 6 dan yang lainnya dengan X2 ≥ 7. Kedua sub masalahnya dinyatakan sebagai
berikut :
Sub bagian B1
Maksimumkan

Z= 3X + 5X2

Dengan syarat

2X1 + 4X2 ≤ 25
X1 ≤ 8 (berlebih)
2X2 ≤ 10
X2 ≥ 3
X1 ≤ 6
X1 ; X2 ≥ 0

Sub Bagian B2
Maksimumkan

Z = 3X1 + 5X2

Dengan syarat

2X1 + 4X2 ≤ 25
X1 ≤ 8
2X2 ≤ 10
X2 ≥ 3
X1 ≥ 7
X1 ;X2 ≥ 0

Solusi simpleksnya adalah :

Universitas Sumatera Utara

60

Sub-bagian B1 : X1= 6 , X2 =3,25 dan Z = 34,25
Sub bagian B2 : tidak layak
Karena sub-bagian B1 menghasilkan nilai fungsi tujuan yang lebih besar dari
34 batas atas bagian A, maka harus dicabangkan lagi ke dalam dua sub
masalah, dengan kendala X2 ≤ 3 dan X2 ≥ 4. Kedua kendala sub masalah
diberi nama bagian B1a dan B1b
Bagian B1a
Maksimumkan

Z = 3X1 + 5X2

Dengan Syarat

2X1 + 4X2 ≤ 25
X1 ≤ 8
2X2 ≤ 10
X2 ≥ 3
X1 ≤ 6
X1 ; X2 ≥ 0

Bagian B1b
Maksimumkan

Ž=3X1 + 5X2

Dengan syarat

2X1 + 4X2 ≤ 25
2 X2 ≤ 10
X2 ≥ 3 (berlebih)
X2 ≥ 4
X1 ≤ 6
X1 ; X2 ≥ 0

Solusi optimum dengan metode simpleks adalah :
Sub Bagiab B1a ; X1 = 6, X2 = 3 dan Z = 33
Sub bagian B1b : X1 = 4,25, X2 = 4 dan Z = 33,5
Kedua solusi itu memiliki batas atas (Z = 33 dan Z = 33,5) yang lebih buruk
dibanding dengan solusi yang dihasilkan oleh bagian A. karena itu, solusi bulat
optimum adalah X1 = 8, X2 = 2 dan Z = 34 yang dihasilkan oleh bagian A.

Universitas Sumatera Utara

61

Jika pencarian telah diselesaikan, solusi bulat dengan fungsi tujuan tertinggi
(dalam masalah maksimasi) dipilih solusi optimum. Hasil perhitungan di atas dapat
digambarkan pada Gambar 3.5.

Gambar 3.5. Hasil Perhitungan dengan Metoda Branch dan Bound

Universitas Sumatera Utara

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Pemodelan Matematis
Kerangka dasar model yang dirumuskan untuk Cellular Topological
Network

Design

(desain

topologi

jaringan

seluler)

adalah

dengan

mempertimbangkan power density (CTND - PD). Model yang dirumuskan dalam
penelitian ini didasarkan pada Mazzini et al. (2001) . Namun demikian, pada Model
yang mereka buat, hanya melakukan integrasi lokasi BTS , Frequency Channel
Assigment (FCA ) dan desain jaringan. Mereka tidak memasukkan pertimbangan

tentang efek radiasi EMF terhadap lingkungan hidup yang bersumber dari antena
BTS tersebut ke dalam model yang mereka lakukan.
4.1.1. Model power density
Pada Penelitian ini juga dilakukan penyelidikan banyaknya antena BTS di
kota Medan yang memiliki power density melebihi nilai ambang batas (4,5 watt/m 2
untuk frekuensi 900 MHz. dan 9 watt/m2 untuk frekuensi 1.800 MHz.). Efek negatif
terhadap lingkungan hidup akan lebih berbahaya bila besarnya power density
melebihi nilai ambang batas. Bahaya yang dapat diakibatkan oleh power density yang
melebihi nilai ambang batas terhadap lingkungan hidup di kota Medan diantaranya
seperti yang tertera pada Tabel 4.2. dan besar, luas, serta banyaknya antena BTS
yang telah melampaui nilai ambang batas power density di kota Medan seperti yang
dapat dilihat pada Gambar 4.2., 4.3., 4.4., dan Tabel 4.1.
Ada tiga model numerik yang berhubungan dengan power density yang
dapat digunakan untuk menentukan zona eksklusi di sekitar BTS pada Global System
62

Universitas Sumatera Utara

63

of Mobiles (GSM), yaitu

model Far Field, model Silinder, dan model Non -

vanishing (Bikram, 2014). Menurut Komisi Internasional tentang Perlindungan

terhadap Non Radiasi Pengion (ICNIRP-International Commission on Non-Ionizing
Radiation Protection, 1998) radiasi yang dipancarkan dari BTS harus berada di

bawah nilai ambang batas power density ( < 4,5 watt/m2 untuk frekuensi 900 MHz.
dan < 9 watt/m2 untuk frekuensi 1.800 MHz.) radiasi tidak berbahaya bagi
lingkungan hidup. Dengan menggunakan model Far Field (Gambar 4.1), power
density (ρ) dapat dinyatakan sebagai berikut (ITU-K70, 2007) :



PG
4 R2

watt/m2

(4.1.)

dimana,
ρ = power density (w/m2)
P = daya yang dipancarkan antena (watt)
G = penguatan antena
R = jarak dari antena (m)
Feed

D

A

B

Near field zone

Transition zone

C
Far field zone

B1
A = 0,25 D2/

B1 = 0,6 D2/

B = B1 - A

C > B1

sumber ITU-R BS.1698 (2005)

Gambar 4.1. Tiga zona power density pada antena parabolik
Pada model ini, dapat dikatakan bahwa radiasi medan elektromagnetik
yang dipancarkan antena BTS akan mencakup seluruh daerah R yang merupakan
radius atau jari-jari dari sinyal EMR yang dipancarkan antena BTS dengan pusat
pancaran adalah antena BTS itu sendiri. Model ini akan hanya berlaku untuk daerah

Universitas Sumatera Utara

64
medan yang jauh (far field region ) dengan jarak melebihi 2D2/λ, dimana D adalah
dimensi maksimum dari antena dan λ adalah panjang gelombang yang dipancarkan
antena BTS. Nilai ambang batas minimum dari power density dilakukan dengan
membatasi jarak dari antena BTS, dan ini merupakan zona eksklusi dimana bila
power density yang dimilikinya lebih tinggi dari nilai ambang batas (4,5 watt/m2

untuk frekuensi 900 MHz. dan 9 watt/m2 untuk frekuensi 1.800 MHz.) akan
menimbulkan resiko bahaya terhadap lingkungan hidup khususnya kesehatan
masyarakat.
Pada jarak kurang dari 2D2/λ dari titik antena BTS adalah daerah yang
sangat dekat dengan menara antena BTS. BTS tidak dapat diasumsikan menjadi
sumber titik dan daerah yang dicakup tidak dapat dianggap bulat. Untuk antena
vertical collinear dipole yang biasa digunakan dalam komunikasi selular dimana

pada model ini dianggap daerah silinder dekat dengan antena BTS untuk
memperkirakan besarnya PD. Dengan model ini, spasial rata-rata PD paralel dengan
antena dapat diperkirakan dengan membagi daya net input antena dengan luas
permukaan imajiner silinder disekitar panjang pancaran antena. Kemudian, nilai ratarata PD yang dekat dengan sekitar antena BTS dapat dihitung sebagai :



P
2 LR

watt/m2

(4.2.)

dimana L adalah tinggi antena. Untuk antena GSM tipe sektor, maka besarnya PD
dihitung berdasarkan rumus berikut :


dimana

BW

180 P
 BW LR

watt/m2

(4.3.)

adalah azimuth 3 dB beam witdh dalam satuan derajat dan memiliki

sudut azimuth φ dalam arah OX. Dengan Bertambahnya jarak dari antena BTS,
maka dengan model ini akan terjadi over prediction terhadap level paparan radiasi

Universitas Sumatera Utara

65

EMR karena kenyataannya total daya radiasi yang dipancarkan melalui permukaan
lateral dari silinder akan berkurang.
Jelas terlihat pada persamaan (4.2) dan (4.3) bahwa besarnya power density
sangat tergantung dari besarnya daya yang dipancarkan (P) dan jarak dari antena
BTS (R). Bila daya pemancar dibesarkan maka pada jarak yang sama, power density
akan semakin besar artinya radiasi EMF akan semakin besar, akibatnya efek negatif
terhadap lingkungan hidup juga akan semakin bertambah besar. Demikian juga
apabila daya yang dipancarkan tetap dan jarak semakin dekat dengan antena BTS,
maka power density akan semakin besar dan juga akan menambah besarnya efek
negatif terhadap lingkungan hidup disekitarnya.
Untuk model Far Field, R akan menjadi lebih kecil pada daerah spherical
sehingga iluminasi akan menjadi lebih kecil dan cenderung menjadi nol karena R
mendekati nol, tetapi dalam kenyataannya perilaku ini tidak benar karena dimensi
fisik antena adalah terbatas dan non vanishing . Kesalahan tersebut dapat dihilangkan
dengan formulasi berikut .



PG
G
4 ( R2 
wh)
4

watt/m2

(4.4.)

dimana h dan w adalah tinggi dan lebar dari antena, dan model ini disebut model
Vanishing (Bikram, 2014).

Besarnya puncak PD dapat dihitung (Kamo et al., 2011.; Miclaus dan Bechet,
2006.; Cicchetti dan Faraone, 2004.) dengan menggunakan model berikut :



Peak

( R,  ) 

Wrad 2 ( /3dB )

2

3dB RL 1  2( )
0
R

watt/m2

(4.5.)

2

Universitas Sumatera Utara

66
dimana Wrad = Pin; dengan

adalah efesiensi antena dan Pin adalah daya input pada

konektor antena.

0 

3dB
6

(4.6.)

DAL

dimana DA adalah diameter antena
Jarak dari antena BTS adalah sebagai fungsi dari PD yang dapat ditentukan dengan
rumus berikut (Kamo et al., 2011.; Miclaus dan Bechet, 2006.; Cicchetti dan
Faraone, 2004).
RPeak  R(  Peak )   0

2q

4

1  (4q )2

meter

(4.7.)

Besarnya q dapat dihitung dengan rumus berikut :

3WRad 2 ( 3 dB )
q 2 2
3dB L DA Peak

2

(4.8.)

Dari persamaan (4.7), Rpeak adalah jarak terjauh dari antena BTS dimana
besarnya power density berada tepat pada nilai ambang batas (4,5 watt/m2 untuk
frekuensi 900 MHz. dan 9 watt/m2 untuk frekuensi 1.800 MHz.), atau dengan kata
lain nilai ambang batas power density berada pada jarak Rpeak.. Sepanjang jarak Rpeak
dari antena BTS akan memiliki power density diatas nilai ambang batas sehingga
akan berbahaya bagi lingkungan hidup yang berada disekitarnya.
Dalam rangka menjaga lingkungan hidup dan kondisi sehat orang-orang
yang tinggal di dekat antena BTS sebagai dampak EMR dari BTS, maka perlu untuk
merubah lokasi BTS yang dipilih sedemikian rupa sehingga jarak antara BTS i dan
BTSj lebih besar dari Rpeak. Dari Persamaan Rpeak di atas, maka dapat dengan mudah
dilihat bahwa Rpeak adalah merupakan fungsi dari power density ρPeak. Oleh karena
itu perlu dilakukan penetapan bahwa pada masalah lokasi antena BTS, lokasi antena
BTS yang dilarang adalah pada lokasi BTSj dalam jarak RPeak dari BTSi ( i  j ).

Universitas Sumatera Utara

67

4.1.2. Hasil pengukuran EMF dan efek negatifnya terhadap lingkungan hidup
Dari hasil pengukuran power density di lapangan pada menara-menara BTS
operator A (lampiran A) dan menara-menara BTS operator B (lampiran B) baik
untuk GSM dengan frekuensi kerja 900 MHz. maupun untuk GSM dengan frekuensi
kerja 1.800 MHz. dapat digambarkan dalam bentuk grafik.
18
16
14
12

10

X

8
6
4
2
0

0

50

100

150

200

Jumlah BTS

Gambar 4.2. Grafik power density antena operator A untuk GSM 1.800 MHz.
Sebaran titik-titik sampel antena BTS operator A dengan jumlah 183 antena
BTS yang bekerja pada frekuensi 1.800 MHz seperti yang digambarkan pada
Gambar 4.2. Dari 183 antena BTS tersebut hanya ada 14 antena atau sebesar 8 persen
yang berada di bawah nilai ambang batas (garis X) power density (di bawah 9
watt/m2). Hal ini menyatakan bahwa pada jarak sampai dengan 100 meter dari
antena-antena BTS (untuk frekuensi 1.800 MHz.) yang dimiliki operator A, ada
sebanyak 92 persen antena BTS yang memiliki radiasi EMF yang berdampak negatif
terhadap lingkungan hidup di kota Medan.

Universitas Sumatera Utara

68

10
9
8
7
6
5
4
3
2
1
0

X

0

50

100

150

200

Jumlah BTS

Gambar 4.3. Grafik power density antena operator A untuk GSM 900 MHz.
Sebaran titik-titik sampel antena BTS operator A dengan jumlah 186 antena
BTS yang bekerja pada frekuensi 900 MHz seperti yang digambarkan pada Gambar
4.3. Dari 186 antena BTS tersebut hanya ada 13 antena atau sebesar 7 persen yang
berada di bawah nilai ambang batas (garis X) power density (di bawah 4,5 watt/m2).
Hal ini menyatakan bahwa pada jarak sampai dengan 100 meter dari antena-antena
BTS (untuk frekuensi 900 MHz.) yang dimiliki operator A, ada sebanyak 93 persen
antena BTS yang memiliki radiasi EMF yang berdampak negatif terhadap
lingkungan hidup di kota Medan.
16
14
12
10

X

8
6
4
2
0
0

20

40

60

80

100

Jumlah BTS

Gambar 4.4.

Grafik power density antena operator B untuk GSM 1.800 Mhz.

Universitas Sumatera Utara

69

Sebaran titik-titik sampel antena BTS operator B dengan jumlah 92 antena
BTS yang bekerja pada frekuensi 1.800 MHz seperti yang digambarkan pada
Gambar 4.4. Dari 92 antena BTS tersebut hanya ada 20 antena atau sebesar 21 persen
yang berada di bawah nilai ambang batas (garis X) power density (di bawah 9
watt/m2). Hal ini menyatakan bahwa pada jarak sampai dengan 100 meter dari
antena-antena BTS (untuk frekuensi 1.800 MHz.) yang dimiliki operator B, ada
sebanyak 79 persen antena BTS yang memiliki radiasi EMF yang berdampak negatif
terhadap lingkungan hidup di kota Medan.
12
10
8
6

X

4
2
0
0

50

100

150

200

250

Jumlah BTS

Gambar 4.5.

Grafik power density antena operator B untuk GSM 900 Mhz.

Sebaran titik-titik sampel antena BTS operator A dengan jumlah 229 antena
BTS yang bekerja pada frekuensi 900 MHz seperti yang digambarkan pada Gambar
4.5. Dari 229 antena BTS tersebut hanya ada 24 antena atau sebesar 10,5 persen
yang berada di bawah nilai ambang batas (garis X) power density (di bawah 4,5
watt/m2). Hal ini menyatakan bahwa pada jarak sampai dengan 100 meter dari
antena-antena BTS (untuk frekuensi 900 MHz.) yang dimiliki operator B, ada
sebanyak 89,5 persen antena BTS yang memiliki radiasi EMF yang berdampak
negatif terhadap lingkungan hidup di kota Medan.

Universitas Sumatera Utara

70

Tabel 4.1. Persentase jumlah PD di bawah nilai ambang batas
Operator
A
B
Jumlah

GSM 900
% < nilai ambang
batas PD
Sampel
186
7 (13)
229
10,5 (24)
415
17,5 (37)

Sampel
183
92
275

GSM 1.800
% < nilai ambang
batas PD
8 (14)
21 (20)
29 (34)

Catatan : nilai ambang batas PD 4,5 watt/m2 untuk frekuensi 900 MHz. dan 9 watt/m2
untuk frekuensi 1.800 MHz.

Dari total sampel antena BTS sebanyak 690 (Tabel 4.1) hanya 71 buah atau
sebanyak 10,2 persen antena BTS yang berada di bawah nilai ambang batas power
density (4,5 watt/m2 untuk frekuensi 900 MHz. dan 9 watt/m2 untuk frekuensi 1.800

MHz.). Kondisi demikian sangat berisiko terhadap lingkungan hidup khususnya
terhadap kesehatan masyarakat yang berdomisili disekitar menara antena BTS.
Mengingat lebih dari 80 persen antena BTS dari dua operator pada jarak 100 meter
yang ada dikota Medan memiliki power density EMF di atas nilai ambang batas. Efek
negatif yang terjadi terhadap kesehatan masyarakat dikelurahan Padang Bulan,
kecamatan Medan Baru, kota Medan juga dinyatakan oleh Nasution F.K.T. (2012),
adanya keluhan gangguan kesehatan berupa sakit kepala, gangguan tidur, gangguan
konsentrasi, keletihan, sakit pada otot, dan rasa mual dengan persentase di atas 60
persen (data pada lampiran C). Tabulasi dampak yang terjadi terhadap lingkungan
hidup akibat level EMF di atas nilai ambang batas diperlihatkan pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2. Dampak EMF diatas nilai ambang batas terhadap lingkungan hidup
Level Power Density EMF
f = 900 MHz. f = 1.800 MHz.

> 4,5 watt/m2

> 9 watt/m2

Dampak Lingkungan Hidup
Kesehatan Manusia
Hewan
Kelelahan *)
Hilang kemampuan navigasi
Lekas marah
Ancaman kelangsungan
Sakit kepala (headaches) *) populasi unggas
Mual *)
Tersesat kembali ke habitatnya
Kehilangan nafsu makan
Aborsi spontan

Universitas Sumatera Utara

71

Lanjutan Tabel 4.2.
Level Power Density EMF
f = 900 MHz. f = 1.800 MHz.

Dampak Lingkungan Hidup
Kesehatan Manusia
Hewan
)
Gangguan tidur *
Cacat lahir
Kecenderungan depresi
Masalah prilaku
Merasa tidak nyaman
Kesulitan berkonsentrasi *)
Sering lupa
Masalah kulit
Ganguan penglihatan
Gangguan pendengaran
Pusing (dizziness)
Sakit pada otot *)
Masalah kardiovaskular
Indikasi Kanker
Katarak
Depressi
Sistem Reproduksi
Menurunkan libido

Catatan : *) data penelitian di kota medan yang dilakukan Nasution F.K.T. (2012)

Dengan demikian model yang dibuat pada penelitian ini menjadi solusi untuk
melindungi lingkungan hidup khususnya kesehatan masyarakat di kota Medan dari
bahaya radiasi EMF antena BTS.
900
800
700
600
500
400
300
200
100
0
0

50

100

150

200

Jumlah BTS

Gambar 4.6. Jarak batas aman power density operator A pada
frekuensi 1.800 MHz.
Besarnya power density yang dicatat pada pengukuran dilokasi BTS adalah
pengukuran power density yang tertinggi (ρpeak) dilokasi BTS. Gambar 4.6.
menggambarkan jarak aman dari setiap antena BTS yang diukur dimana pada jarak

Universitas Sumatera Utara

72
tersebut (Rpeak) besarnya power density berada pada nilai ambang batas yaitu 9 w/m2
untuk frekuensi 1.800 Mhz. Besarnya Rpeak dihitung berdasarkan rumus (4.7). Untuk
operator A diperoleh jarak terdekat lingkungan hidup yang aman terhadap radiasi
EMF adalah sebesar 425 meter. Jarak terjauh lingkungan hidup yang aman terhadap
radiasi EMF adalah 780 meter dari antena BTS.
500
450
400
350

300
250
200
150
100
50
0
0

50

100

150

200

Jumlah BTS

Gambar 4.7. Jarak batas aman power density operator A pada
frekuensi 900 MHz.
Jarak aman minimal dari antena BTS (Rpeak) operator A untuk frekuensi
900 Mhz adalah seperti yang terlihat pada Gambar 4.7. dengan nilai ambang batas
power density 4,5 w/m2. Dari hasil pengukuran, jarak terdekat lingkungan hidup yang

aman terhadap radiasi EMF adalah sebesar 175 meter. Jarak terjauh lingkungan
hidup yang aman terhadap radiasi EMF adalah sebesar 475 meter dari antena BTS.
Jarak aman minimal dari radiasi EMF antena BTS (nilai ambang batas
power density 9 w/m2) terhadap lingkungan hidup (Rpeak) operator B untuk frekuensi

1.800 Mhz adalah seperti yang dapat dilihat pada Gambar 4.8.

Universitas Sumatera Utara

73
800
700
600
500
400

300
200
100
0
0

20

40

60

80

100

Jumlah BTS

Gambar 4.8. Jarak batas aman power density operator B pada frekuensi 1.800 MHz.
Dari hasil pengukuran, jarak aman lingkungan hidup dengan antena
BTS yang terdekat adalah sebesar 290 meter. Jarak aman lingkungan hidup dengan
antena BTS yang terjauh adalah sebesar 685 meter.
600
500
400
300
200
100

0
0

50

100

150

200

250

Jumlah BTS

Gambar 4.9. Jarak batas aman power density operator B pada frekuensi 900 MHz.
Jarak aman minimal dari radiasi EMF antena BTS (nilai ambang batas power
density 4,5 w/m2) terhadap lingkungan hidup (Rpeak) operator B untuk frekuensi 900

Mhz adalah seperti yang dapat dilihat pada Gambar 4.9. Dari hasil pengukuran, jarak
aman lingkungan hidup dengan antena BTS yang terdekat adalah sebesar 150 meter.
Jarak aman lingkungan hidup dengan antena BTS yang terjauh adalah sebesar 495
meter.

Universitas Sumatera Utara

74

Dari data yang diperoleh pada Gambar 4.6, 4.7, 4.8, dan 4.9. dapat diambil
sebuah gambaran bahwa jarak aman terdekat lingkungan hidup dari radiasi EMF
antena BTS di kota Medan adalah 150 sampai dengan 175 meter dari antena BTS.
Jarak aman terjauh lingkungan hidup dari radiasi EMF antena BTS di kota Medan
adalah 685 meter sampai dengan 780 meter dari antena BTS seperti yang tertera pada
Tabel 4.3.
Tabel 4.3. Rpeak terdekat dan terjauh
J a r a k (m)

Operator A

Operator B

900 Mhz.

1.800 Mhz.

900 Mhz.

1.800 Mhz.

Terdekat

175

425

150

290

Terjauh

475

780

495

685

4.2. Konsep Dasar Model yang Digunakan
Masalah dalam menentukan BTSL (BTS Location) adalah menemukan F
sedemikian rupa sehingga BTS ini akan mampu mencakup seluruh area dalam sistem
dengan biaya yang minimum. Memilih lokasi site yang baik akan dapat mengurangi
jumlah BTS dan masih memiliki kualitas layanan yang baik terhadap pengguna.
Masalah untuk memilih lokasi tertentu dapat dilakukan dengan cara kombinasi
optimasi. Dalam literatur Mathar dan Niessem (2000), Amadi dan Capone (2003),
Amadi et al. (2006, 2008), Mazzini dan Mateus (2001a) menggunakan model mixed
integer programming untuk memecahkan masalah BTSL. Erradi et al. (2013)

mengusulkan sebuah model pemrograman matematika untuk masalah BTSL, dan
kemudian hasilnya didapatkan dengan menggunakan model algoritma genetika.
Zdunek dan Ignor (2010) menggunakan

Optimization Weed Invasif untuk

menemukan lokasi terbaik BTS. Sementara Gonzales et al. (2010) menggunakan

Universitas Sumatera Utara

75

pemrograman stokastik, di mana diharapkan pengguna menggunakan distribusi
untuk optimasi BTSL.
Seperti disebutkan sebelumnya bahwa permintaan untuk komunikasi
selular sangat banyak, khususnya di kota Medan. Tingkat kenaikan dalam
penggunaan telepon selular memiliki konsekuensi serius, ketersediaan frekuensi
yang dapat digunakan yang diperlukan untuk komunikasi antara pengguna ponsel
dan BTS pada jaringan radio selular telah melebihi lebar pita frekuensi yang
disediakan. Perencanaan yang memerlukan kehati-hatian dalam merancang jaringan
diperlukan untuk memastikan penggunaan yang efisien dari sumber daya frekuensi
yang terbatas. Salah satu isu yang paling penting pada desain jaringan radio selular
untuk menentukan alokasi spektrum adalah efisien dan bebas dari konflik saluran
antar sel, sementara juga dapat melayani baik permintaan trafik dan kendala
kompatibilitas elektromagnetik (EMC). Hal ini biasanya disebut sebagai Channel
Assigment atau Frequency Assignment Problem (FAP). Masalah FAP pertama sekali

muncul pada tahun 1960 (Metzger et al.,1970). Pengembangan layanan nirkabel baru
seperti jaringan telepon selular menyebabkan kelangkaan frekuensi yang dapat
digunakan dalam spektrum radio. Frekuensi yang diberikan atau yang dilisensi oleh
pemerintah kepada operator dikenakan biaya untuk penggunaan setiap frekuensi
tunggal secara terpisah. Ini menandakan agar operator dapat mengembangkan
rencana kebutuhan frekuensi yang tidak hanya untuk menghindari tingkat gangguan
yang tinggi, tetapi juga meminimalkan biaya lisensi.
Kebutuhan alokasi frekuensi merupakan masalah assignment, dimana hal
ini dapat diatasi dengan menggunakan model optimasi kombinatorial. Oleh karena
itu masalah ini dapat dirumuskan sebagai masalah Assigning Frequency Channels
yang dibutuhkan oleh BTS yang dipilih dan juga untuk mengatasi kendala gangguan

Universitas Sumatera Utara

76

frekuensi. Fungsi dari pemecahan masalah ini dapat bervariasi sesuai dengan konteks
masalah. Ketika Assignment didasarkan pada variabel ukuran spektrum frekuensi,
maka biasanya bertujuan untuk meminimalkan jumlah kanal frekuensi yang
digunakan (Smith dan Palaniswani, 1998., Jaimes et al., 1996). Karena permintaan
komunikasi seluler meningkat, maka untuk mendapatkan kanal yang bebas
interferensi akan sulit atau tidak ada frekuensi yang tersedia. Tujuan dari
meminimalkan jumlah frekuensi adalah juga untuk meminimalkan interferensi, dan
terpenuhinya permintaan dalam spektrum frekuensi tetap (Aardal, 2007.; Ngo et al.,
1998.). Beberapa pendekatan heuristik telah diusulkan untuk memecahkan berbagai
versi dari FAP, seperti Neural Networks (Ngo et al., 1998.; Smith dan Palaniswani,
1998.; Moradi, 2010.), genetik dan evolusi algoritma (Wang, 2002.; Fu et al., 2006.;
Acan et al., 2003.; Aizaz et al., 2012.; Chia et al., 2012), teknik Local Search (Amadi
dan Capone, 2003), Particle Swarm Optimization (Hasselbach et al., 2008.;
Mundada, 2011.), Ant Colony Optimization (Parsapoor dan Bilstrup, 2013.).
Telah disebutkan tentang bagaimana untuk menentukan lokasi menara
antena BTS yang dirancang dengan jaringan yang efisien dan dari sumber daya
frekuensi yang terbatas. Agar fungsi ponsel seperti yang diharapkan, maka perlu
merancang konfigurasi topologi untuk menghubungkan kandidat BTS untuk jaringan
telepon tetap. Masalah rancangan ini telah dibahas dalam literatur sebagai Topology
Network Design (TND) (Dutta dan Kubat, 1999.; Kubat dan Smith, 2000.). Karena

ini adalah masalah untuk merancang topologi konfigurasi, maka umumnya itu
termasuk optimasi kombinatorial juga. Masalah ini dapat dirumuskan sebagai
rancangan topologi jaringan yang mampu menghubungkan kandidat BTS untuk
jaringan telepon yang tetap sehingga meminimalkan biaya. Beberapa fitur yang dapat
dipertimbangkan dalam perumusan masalah ini adalah penggunaan hub, berbagai

Universitas Sumatera Utara

77

jenis media, dan kapasitas link yang tersedia. Desain topologi jaringan adalah salah
satu masalah klasik yang telah dieksplorasi dalam konteks jaringan lainnya, dan pada
umumnya adalah masalah NP-hard.
Sinyal medan elektromagnetik (EMF) yang dipancarkan oleh antena BTS
menimbulkan Radiasi elektromagnetik (EMR). Sinyal ini dapat mencakup hingga
radius 9 km jaraknya dari BTS, tergantung pada kekuatan daya yang dipancarkan
oleh BTS. Jumlah BTS sangat tergantung pada jumlah pengguna seluler (Bikram,
2014). Di kota Medan, misalnya, ada tujuh operator telepon selular, akibatnya
banyak orang yang terkena paparan gelombang medan

elektromagnetik yang

dipancarkan antena BTS. Santini et al. (2003), Abde-Rassoul et al. (2007), ShahbaziGahrouei et al. (2014) membuat laporan tentang efek kesehatan bagi masyarakat
yang tinggal di dekat antena BTS. Sementara Government of India Ministry of
Communications & Information Technology Department of Telecommunications

(2010) membuat sebuah laporan bahwa radiasi EMF dari antena BTS berdampak
negatif terhadap lingkungan hidup (manusia, hewan, dan tumbuhan). Oleh karena itu
pada penelitian ini bukan saja hanya berfokus pada masalah merancang topologi
konfigurasi jaringan sistem selular, tetapi juga bertujuan mengurangi dampak negatif
EMR dari antena BTS terhadap lingkungan hidup disekitar antena BTS. Penelitian
ini bertujuan untuk mendapatkan sebuah model matematis yang disebut Cellular
Topological Network Design (CTND) yang ramah lingkungan, dalam hal ini

digunakan faktor power density untuk mengukur besaran EMR.
Cellular topological network design (CTND) adalah merupakan masalah

optimasi kombinasi dengan skala yang sangat besar yang didalamnya juga termasuk
masalah BTSL, FCA dan masalah TND. Oleh karena itu, CTND adalah masalah NPhard selama BTSL, FCA dan masalah TND merupakan NP-hard. Sangat mudah

Universitas Sumatera Utara

78

untuk mengetahui bahwa masalah CTND dapat diselesaikan secara terpisah
(separately) atau terpadu (integratedly). Banyak formulasi pemrograman
matematika telah diusulkan untuk menyelesaikan secara terpisah masing-masing
masalah ini, dan keduanya menghasilkan yang sama baik dengan menggunakan
teknik yang sesuai. Namun, tampaknya intuitif yang baik untuk kedua masalah FCA
dan TND tergantung pada solusi masalah BTSL, sesuai dengan solusi terbaik mereka
masing-masing. Analisis komputasi sebelumnya dilaporkan dalam Mazzini et al.
(2003) yang menunjukkan bahwa ada trade off antara BSL dan FCA dan antara
BTSL dan masalah TND. Untuk menunjukkan hubungan ini, para penulis
memecahkan masalah CTND untuk sebuah contoh kecil. Masalah ini diselesaikan
baik secara terpisah maupun secara terpadu.
Penelitian ini menyajikan model mixed integer linear programming
(MILP) untuk memecahkan masalah desain jaringan seluler untuk jaringan generasi
kedua. Pada penelitian ini diperluas model yang dilakukan oleh Gonzales et al.
(2010) dengan memberlakukan pembatasan jarak antara BTS di lokasi yang dipilih
karena efek radiasi EMF terhadap orang-orang di sekitarnya.
4.3. M o d e l
Pada pemodelan ini mencakup kandidat BTS yang akan dipilih / dibangun.
BSC yang berfungsi sebagai hub yang menghubungkan antara BTS asal MS dengan
BTS dimana MS yang dituju berada. MSC berfungsi sebagai switch yang
menghubungkan antara MS pada sebuah BTS dengan MS yang berada pada BSC
yang berbeda. Pada model ini juga harus diperhitungkan interferensi antar BTS, dan
lokasi BTS yang dilarang. Pada arsitektur jaringan telepon seluler, BSC berfungsi
sebagai hub yang menghubungkan BTS dengan BTS yang dituju, dan juga dapat

Universitas Sumatera Utara

79

menghubungkan

BTS

dengan

MSC

(switch).

Sedangkan

switch

dapat

menghubungkan antara BSC (hub) dengan BSC (hub) yang dituju, dan juga dapat
menghubungkan antara BSC (hub) dengan PSTN . Set dari notasi-notasi yang
digunakan adalah sebagai berikut :
Set
I

: set dari kandidat base transceiver station (BTS)

J

: set dari hub

K : set of switch
L

: set dari titik yang diinginkan

M : set dari frequency channels (FCs)
Ni : set dari interferensi antara BTS-BTS ke BTS i

F

: Set dari BTS dalam lokasi yang dilarang

N  {1,..., n} ada