Studi Fenomenologi Komunikasi Empatik Orangtua dan Anak Penderita Kanker di Yayasan Onkologi Anak Medan

BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1

Paradigma Penelitian
Paradigma yang digunakan untuk mengkaji penelitian yang berjudul

komunikasi empatik orangtua dan anak penderita kanker ini adalah paradigma
interpretif.

Paradigma interpretif berdasarkan pada keyakinan bahwa individu

(manusia) merupakan makhluk yang secara sosial dan simbolik membentuk dan
mempertahankan realita mereka sendiri. Tujuan dari pengembangan teori dalam
paradigma ini untuk menghasilkan deskripsi, pandangan-pandangan dan penjelasan
tentang peristiwa sosial tertentu sehingga peneliti mampu mengungkap sistem
interpretasi dan pemahaman (makna) yang ada dalam lingkungan sosial (Gunawan,
2013: 56).
Interpretif termasuk dalam kategori perspektif subjektif yakni suatu
pendekatan yang mengasumsikan bahwa pengetahuan tidak mempunyai sifat yang

objektif dan tetap. Realitas sosial lebih khusus lagi dianggap sebagai interaksiinteraksi sosial yang bersifat komunikatif. Semua teori yang termasuk kategori teoriteori interpretif secara umum mempunyai asumsi dasar, yaitu manusia bertindak, dan
tindakannya memiliki arti. Interpretasi diperlukan untuk memahami perilaku
manusia. Para penganut paradigma interpretif lebih menekankan aspek partisipan
daripada aspek pengamat. Penganut paradigma ini akan tetapi tetap menekankan pada
aspek regularitas karena adanya asumsi bahwa masyarakat merupakan suatu entitas

14

Universitas Sumatera Utara

yang bersatu dan teratur. Teori interpretif ditujukan untuk memahami pengalaman
hidup manusia atau menginterpretasikan makna-makna.
Perspektif interpretif tumbuh berdasarkan ketidakpuasan dengan teori postpositivis. Perspektif positivis dipandang terlalu umum, terlalu mekanis dan tidak
mampu menangkap keruwetan, nuansa dan kompleksitas dari interaksi manusia.
Perspektif interpretif mencari sebuah pemahaman bagaimana kita membentuk dunia
pemaknaan melalui interaksi dan bagaimana kita berperilaku terhadap dunia yang kita
bentuk itu. Teori interpretif mendekati dunia dan pengetahuan dengan cara yang
sangat berbeda dengan cara teori post-positivis.
Wilbur Schramm (dalam Ardianto dan Q-Anees, 2009: 124) pernah
menyatakan bahwa manusia itu tidak mungkin tidak berkomunikasi. Kehidupan

sosial dipenuhi oleh pelbagai komunikasi dan dalam semua situasi keseharian ini, kita
mencari sebuah pemahaman tentang bagaimana dan mengapa komunikasi bekerja.
Perspektif interpretif telah membawa kita melangkah lebih jauh lagi ihwal ilmu
komunikasi. Ilmu komunikasi bukan lagi terbatas pada penelitian mengenai pengirim
pesan, saluran, penerima pesan dan efeknya. Komunikasi telah melangkah jauh pada
pencarian makna yang mendasari tindak komunikasi yang terdapat pada dunia sosial.
Perspektif interpretif bahkan telah memberi kita pemahaman baru mengenai objek
penelitian komunikasi, bukan lagi pada tindakan kausalitas melainkan pada makna
yang mendasari komunikasi. Bila post- positivisme masih mengandalkan tindakan
kausal komunikasi, maka pada perspektif ini kita telah beranjak jauh yaitu pada
makna dari tindakan komunikasi.

15

Universitas Sumatera Utara

Pendekatan interpretif diadopsi dari orientasi praktis. Pendekatan interpretif
merupakan sebuah sistem sosial yang memaknai perilaku secara detail langsung
mengobservasi. Interpretif melihat fakta sebagai sesuatu yang unik dan memiliki
konteks dan makna yang khusus sebagai esensi dalam memahami makna sosial.

Interpretif melihat fakta sebagai hal yang cair (tidak kaku) yang melekat pada sistem
makna dalam pendekatan interpretif.
Fakta- fakta tidaklah imparsial, objektif dan netral. Fakta merupakan
tindakan yang spesifik dan kontekstual yang bergantung dari pemaknaan sebagian
orang dalam situasi sosial.

Interpretif menyatakan situasi sosial mengandung

ambiguisitas yang besar. Perilaku dan pernyataan dapat memiliki makna yang
banyak dan dapat dinterpretasikan dengan berbagai cara.
Intersubjetif adalah pemahaman kita mengenai dunia dibentuk oleh hubungan
kita dengan orang lain. Kajian fenomenologi pada komunikasi empatik yang
dilakukan oleh orangtua terhadap anak yang menderita kanker mencoba mencari
pemahaman bagaimana orangtua mengkonstruksi makna dan konsep-konsep penting
tentang proses komunikasi empatik yang dapat memotivasi diri anak dalam proses
kesembuhan dari penyakit kanker.
Albert Shutz, seorang sosiolog salah satu pencetus teori fenomenologi
menegaskan bahwa tugas utama penelitian fenomenologis adalah merekonstruksi
dunia kehidupan manusia “sesungguhnya” yang bersumber dari pengalaman mereka


sendiri. Realitas dunia yang mereka alami itu bersifat intersubjektif, artinya bahwa
anggota masyarakat berbagi persepsi dasar mengenai dunia yang mereka

16

Universitas Sumatera Utara

internalisasikan melalui sosialisasi dan yang mungkin mereka melakukan interaksi
dan komunikasi (Mulyana, 2001:63).
Interpretif mengorganisasi subjektifitas atau keunggulan pengalaman individu
dan menganggap pemahaman individu amat penting terhadap suatu peristiwa. Teori
ini juga menggambarkan pikiran aktif dalam membuka arti pengalaman dalam bentuk
teks atau artefak dari berbagai jenis, dan fenomena yang diamati,diobservasi dan
diinterpretif secara tentatif dan relatif.cakupan dari teori interpretif adalah
phenomenology dan hermeneutics.
Peneliti disini melakukan pemahaman terhadap fenomena komunikasi
empatik orangtua dengan anak yang menderita kanker sebagai perilaku komunikasi
Orangtua melalui fenomenologi dan memfokuskan diri untuk mengetahui dua aspek
penting yang biasa disebut dengan “logos”nya fenomenologi, yakni “intentionality”
dan “bracketing”.


Pertama intentionality adalah maksud memahami sesuatu, di mana setiap
pengalaman individu memiliki sisi objektif dan subjektif. Untuk memahami sesuatu,
maka kedua sisi itu harus diungkapkan. Sisi objektif fenomena (noema) artinya
sesuatu yang bisa dilihat, didengar, dirasakan, dipikirkan atau sekalipun sesuatu yang
masih akan dipikirkan (ide). Sedangkan sisi subhektif (noesis) adalah tindakan yang
dimaksud (intendeact) seperti merasa, mendengar, memikirkan dan menilai ide.
Kedua, ‘bracketing’ atau juga disebut reduksi fenomenologi, di mana seorang”
pengamat” berupaya menyisihkan semua asumsi umum yang dibuat mengenai

sesuatu fenomena. Seorang pengamat akan berusaha untuk menyisihkan dirinya dari

17

Universitas Sumatera Utara

prasangka, teori, filsafat, agama, bahkan “common sense” sehingga dirinya mampu

menerima gejala yang dihadapi sebagaimana adanya (Cresswell, 2013:55).


2.2

Penelitian Sejenis Terdahulu
Penelitian ini membutuhkan kajian-kajian terdahulu untuk membantu peneliti

dalam mengembangkan ide penulisan, oleh karenanya peneliti mengutip beberapa
tulisan dari peneliti lain terkait kajian komunikasi empatik orangtua dengan anak
penderita kanker, penelitian pertama yaitu penelitian dalam bentuk jurnal kesehatan
yang dilakukan oleh Eiser,et al pada tahun 2005 dengan judul ” Quality of Life in
Children Newly Diagnosed with Cancer and Their Mothers” penelitian yang
dilakukan pada ibu dan pasien dengan metode penelitian cross sectional, yang
dilakukan dengan observasi analitik, penelitian ini menyimpulkan bahwa kualitas
hidup ibu yang mempunyai anak dengan kanker lebih rendah dari anaknya.
Penelitian ini tentu saja nantinya berbeda karena peneliti tidak membandingkan
kualitas hidup ibu dengan anaknya.
Penelitian kedua yaitu penelitian yang dilakukan oleh Yuli setyowati pada
tahun 2005 yang berjudul “Pola Komunikasi Keluarga dan perkembangan Emosi
Anak (Studi Kasus Penerapan Pola Komunikasi Keluarga dan pengaruhnya terhadap
Perkembangan Emosi Anak pada Keluarga Jawa)” jurnal penelitian kualitatif yang
menghasilkan temuan bahwa ada pengaruh yang besar pola komunikasi keluarga

terhadap perkembangan emosi anak pada keluarga jawa. Perbedaan penelitian cukup
jelas karena disini peneliti melihat komunikasi empatik orangtua dengan anak yang
menderita kanker sedangkan jurnal meneliti komunikasi keluarga.
18

Universitas Sumatera Utara

Penelitian yang ketiga adalah penelitian yang dilakukan A, Cho, Kim & Kim
dengan judul “The Report of Coping Strategies and Psychosociall Adjustment in
Korean Mothers of Children with Cancer“ jurnal kesehatan yang dipublikasikan
pada tahun 2009. Penelitian ini menggunakan metode quasi experimental dan
menemukan bahwa berpandangan positif terbukti efektif untuk penerimaan diri yang
lebih baik pada Ibu-ibu di Korea yang mempunyai anak dengan kanker. Peneliti
disini bedanya tidak memberikan perlakuan pada responden.
Penelitian yang keempat berasal dari skripsi yang berjudul “Komunikasi
Antarpribadi Antara Perawat Dan Pasien (Studi Deskriptif Kualitatif Aktivitas
Komunikasi Terapeutik Antara Perawat Terhadap Pasien Di Rumah Sakit Umum
Daerah Dr.Moewardi Surakarta)”, oleh Abraham Wahyu Nugroho dari Fakultas
Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret tahun 2009. Penelitian
dengan metode deskriptif kualitatif ini membahas mengenai bagaimana aktivitas

komunikasi terapeutik para perawat dalam proses penyembuhan pasien di RSUD Dr.
Moewardi Surakarta. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa komunikasi
terapeutik yang diterapkan RSUD Dr. Moewardi terdiri dari empat fase/tahap, yaitu
fase pra interaksi, fase tindakan, fase evaluasi, dan fase dokumentasi. Perbedaan
dengan penelitian di atas, yaitu
penerapan komunikasi

terapeutik

penelitian
dalam

sebelumnya
proses

meneliti

penyembuhan

mengenai

sedangkan

dalam penelitian ini membahas mengenai komunikasi empatik antara orangtua dan
anak penderita kanker.

19

Universitas Sumatera Utara

Penelitian berikutnya yaitu jurnal penelitian yang dilakukan oleh Elcigil,et al
pada tahun 2010 yaitu “Determining the Burden of Mothers with Children Who Have
Cancer” dalam penelitian deskriptif kualitatif ini melihat bagaimana seorang ibu

mengalami stress dan tidak mampu mengatasi stres secara efektif dalam merawat
anak dengan kanker. Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan peneliti
karena peneliti tidak meneliti ibu yang mengalami stres akan tetapi lebih
menekankan pada komunikasi empatik orangtua dengan anak penderita kanker.
Penelitian selanjutnya yang berjudul “Efektifitas Komunikasi Antarpribadi
Penderita Kanker Dengan Suaminya Dalam Upaya Proses Penyembuhan (Studi
Deskriptif Efektifitas Komunikasi Antarpribadi Penderita Kanker Dengan Suaminya

Dalam Upaya Proses Penyembuhan)”, oleh Dwiana Puji Astuti dari Fakultas Ilmu
Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta tahun 2011.
Penelitian ini ingin mengetahui Efektifitas Komunikasi antarpribadi penderita
kanker dengan suaminya dalam proses
kualitatif. Hasil
antarpribadi

dari

penelitian

penyembuhan dengan metode deskriptif

ini

menunjukkan

keefektifan komunikasi

yang dilakukan pasangan suami istri dalam membantu proses


penyembuhan meliputi keterbukaan, empati, sikap mendukung, sikap positif yang
bertujuan untuk membantu proses penyembuhan pasangannya yang memiliki
penyakit kanker. Perbedaan pada penelitian ini yaitu komunikasi antarpribadi yang
dilakukan suami dengan pasangan penderita kanker sedangkan peneliti lebih
berfokus pada komunikasi empatik dari orangtua dengan anak penderita kanker di
Yayasan Onkologi Anak Medan

20

Universitas Sumatera Utara

Penelitian selanjutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Caudhry &
Siddiqui di Pakistan tahun 2012 dengan judul “Health Related Quality of Life
Assessment in Pakistan Paedriatic Cancer Patiens Using PedsQL TM 4,0 Generic
Core and PedsQL Cancer Module” jurnal penelitian kesehatan dengan metode cross
section dan observasi analitik yang menyimpulkan bahwa ada perbedaan antara
kualitas hidup anak dengan kanker dan orangtuanya dibandingkan dengan kualitas
hidup anak yang sehat beserta orangtuanya. Kualitas hidup pada anak dengan kanker
mempunyai nilai yang rendah. Perbedaan dengan penelitian yang peneliti lakukan
adalah karena peneliti tidak membandingkan akan tetapi hanya melihat proses
komunikasinya antara orangtua dengan anak yang menderita kanker.
Penelitian yang terakhir yaitu penelitian yang dilakukan oleh Zhang Tie-ling
et al, pada tahun 2013 yang berjudul “Patients After Colostomy Relationship

Between Quality of Life and Acceptance of Disability and Social Support” jurnal
kesehatan yang menggunakan metode penelitian desain cross section ini
menghasilkan ada hubungan antara kualitas hidup dengan penerimaan diri dan
dukungan sosial pada pasien yang dilakukan kolostomi. Perbedaan penelitian cukup
jelas karena peneliti meneliti orangtua dengan anak yang menderita kanker
sedangkan jurnal meneliti pasien kanker yang dilakukan kolostomi.
Pemaparan dari kajian-kajian terdahulu menghasilkan sebuah sintesis berupa
pemaknaan yang berbeda-beda akan makna komunikasi empatik tersebut, terlebih
komunikasi empatik yang berlangsung terjadi pada para penderita kanker dengan
orang-orang yang ada di sekeliling mereka. Dari uraian diatas yang membedakan

21

Universitas Sumatera Utara

penelitian ini dari penelitian sebelumnya adalah terkait komunikasi empatik yang
dilakukan dalam penelitian ini yaitu proses jalinan empati yang terjalin pada orangtua
dan anak penderita kanker. Luapan emosi dan juga kesedihan menjadi hal utama yang
mengikat mereka sebagai sebuah bentuk dari kajian komunikasi empatik. Penderita
kanker yang diteliti disini merupakan kelompok anak yang masih sangat belia dan
berjuang untuk melawan penyakit mematikan ini. Anak-anak penderita kanker
merupakan pasien yang berobat di RSUP H. Adam Malik Medan dan tinggal di
Yayasan Onkologi Anak Medan (YOAM) pada saat proses pengobatan.

2.3

Uraian Teori
Berdasarkan pemikiran induktif yang bermaksud untuk membangun

pengetahuan-pengetahuan

baru

yang

orisinal,

penelitian

kualitatif

selalu

dikonotasikan sebagai penelitian yang menolak penggunaan teori sebagai acuan
penelitian. Penggunaan teori sebagai acuan dianggap dapat mengurangi orisinalitas
temuan dari penelitian kualitatif. Hal ini dipertegas oleh Van Wynsberghe dan Khan
(2007) yang dikutip dari buku Metode Penelitian Kualitatif (Gunawan, 2013: 130)
yang berpendapat pada penelitian studi kualitatif, teori digunakan untuk menentukan
arah, konteks, maupun posisi hasil penelitian. Kajian teori dapat dilakukan di bagian
depan, tengah dan belakang proses penelitian.
Para peneliti kualitatif mengunakan teori dalam penelitian untuk tujuan yang
berbeda-beda. Ada tiga alasan utama penggunaan teori dalam penelitian kualitatif,
yakni digunakan sebagai penjelasan atas perilaku serta sikap-sikap tertentu, kemudian
sebagai panduan umum untuk meneliti gender, kelas dan ras (atau isu-isu lain
22

Universitas Sumatera Utara

mengenai kelompok-kelompok marginal) dan terakhir sebagai poin akhir penelitian
(Cresswell, 2013:93-95). Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

2.3.1

Komunikasi Antar Pribadi
Pada dasarnya, komunikasi antar pribadi merupakan suatu proses sosial

dimana orang-orang yang terlibat didalamnya saling mempengaruhi. Sebagaimana
diungkapkan oleh Devito (1989) yang dikutip dari buku Komunikasi Antar pribadi
(Harapan, 2014: 4) bahwa komunikasi antar pribadi merupakan pengiriman pesanpesan dari seseorang dan diterima oleh orang lain, atau sekelompok orang dengan
efek dan umpan balik yang langsung.
Richard L. Weaver II (dalam Budyatna dan Ganiem, 2011: 15-21)
menyebutkan dalam kegiatan komunikasi antar pribadi terdapat delapan karakteristik
yang membedakannya dengan bentuk-bentuk komunikasi lainnya, yakni:
a. Melibatkan paling sedikit dua orang; Komunikasi antar pribadi melibatkan
tidak lebih dari dua individu yang dinamakan a dyad. Apabila kita
mendefinisikan komunikasi antar pribadi dalam arti jumlah orang yang
terlibat, haruslah diingat bahwa komunikasi antar pribadi sebetulnya
terjadi antara dua orang yang merupakan bagian dari kelompok yang lebih
besar.
b. Adanya umpan balik atau feedback. Umpan balik merupakan pesan yang
dikirim kembali oleh penerima kepada pembicara. Hubungan yang
langsung antara sumber dan penerima merupakan bentuk yang unik bagi
komunikasi antar pribadi.
23

Universitas Sumatera Utara

c. Tidak harus tatap muka. Bagi komunikasi antarprbadi yang sudah
terbentuk, adanya saling pengertian antara dua individu, kehadiran fisik
dalam berkomunikasi tidaklah terlalu penting. Bentuk idealnya memang
adanya kehadiran fisik dalam berinteraksi secara antar pribadi, walaupun
tanpa kehadiran fisik masih dimungkinkan.
d. Tidak harus bertujuan. Komunikasi antar pribadi tidak harus selalu
disengaja atau dengan kesadaran. Gerak tubuh seseorang dalam sebuah
proses komunikasi mungkin menjadi sebuah penanda bahwa dalam pesan
yang disampaikan terdapat suatu hal tersembunyi yang terlontar begitu
saja tanpa adanya niat dan diluar kesadaran diri.
e. Menghasilkan beberapa pengaruh atau effect. Efek atau pengaruh itu tidak
harus segera dan nyata, tetapi harus terjadi. Berbagai reaksi dapat dilihat
secara langsung ketika seseorang berbicara dengan orang lainnya baik itu
reaksi tertarik, marah, kesal, tawa maupun bahagia.
f. Tidak harus melibatkan atau menggunakan kata-kata. Komunikasi antar
pribadi kerap menggunakan pesan nonverbal dalam interaksi yang terjalin
diantara dua orang individu. Pesan-pesan nonverbal seperti tatapan dan
sentuhan serta senyuman memiliki makna yang jauh lebih besar daripada
kata-kata.
g. Dipengaruhi konteks. Konteks memengaruhi harapan-harapan partisipan,
makna yang diperoleh para partisipan dan perilaku mereka selanjutnya.
Ada beberapa jenis konteks yakni, konteks jasmaniah, sosial, historis,
psikologis dan keadaan kultural.
24

Universitas Sumatera Utara

h. Dipengaruhi oleh kegaduhan atau noise. Kegaduhan atau noise ialah setiap
rangsangan atau stimulus yang mengganggu dalam proses pembuatan
pesan. Kegaduhan/kebisingan atau noise dapat bersifat eksternal, internal
atau semantik.
Konteks antar pribadi sangat kaya akan hasil penelitian dan teori, dan
mungkin merupakan konteks yang paling luas dibandingkan dengan konteks lainnya.
Konteks antar pribadi banyak membahas tentang bagaimana suatu hubungan dimulai,
bagaimana mempertahankan suatu hubungan dan keretakan suatu hubungan (West
and Turner, 2011: 36). Pada hakikatnya komunikasi antar pribadi adalah komunikasi
antara komunikator dengan seorang komunikan. Komunikasi jenis ini dianggap
paling efektif dalam hal mengubah sikap, pendapat, atau perilaku sesorang, karena
sifatnya yang dialogis berupa percakapan dan arus balik bersifat langsung.
Komunikator mengetahui tanggapan komunikan ketika itu juga, pada saat komunikasi
dilancarkan. Komunikator mengetahui pasti apakah komunikasi itu positif atau
negatif, berhasil atau tidak. Jika tidak, ia dapat memberikan kesempatan kepada
komunikan untuk bertanya seluas-luasnya.
2.3.1.1 Sifat-Sifat Komunikasi Antar Pribadi
Komunikasi antar pribadi dari mereka yang saling mengenal lebih bermutu
dari mereka yang belum mengenal karena setiap pihak mengetahui secara baik
tentang liku-liku hidup pihak lain, pikiran dan pengetahuannya, perasaanya, maupun
menanggapi tingkah lakunya. Sehingga jika hendak menciptakan komunikasi
anatarpribadi yang lebih bermutu maka didahului dengan keakraban, dengan kata lain

25

Universitas Sumatera Utara

tidak semua bentuk interaksi yang dilakukan antara dua orang dapat digolongkan ke
dalam komunikasi antar pribadi.
Ada tujuh sifat yang menunjukan bahwa sesuatu komunikasi antara dua orang
merupakan sikap komunikasi antar pribadi dan bukannya komunikasi lainnya yang
terangkum dari pendapat Effendy (2007:.46). Sifat-sifat komunikasi antar pribadi itu
sendiri adalah: (1) melibatkan di dalamnya perilaku verbal dan non-verbal; (2)
melibatkan pernyataan ataupun ungkapan yang spontan, scripted, dan contrived; (3)
tidak statis, namun dinamis; (4) melibatkan umpan balik pribadi, hubungan interaksi
dan koherensi (pernyataan satu dan harus berkaitan dengan sebelumnya); (5) dipandu
oleh tata aturan yang bersifat intrinsik dan ekstrinsik; (6) komunikasi antar pribadi
merupakan satu kegiatan dan tindakan; dan (7) melibatkan didalamnya bidang
persuasif.
2.3.1.2 Efektivitas Komunikasi Antar Pribadi
Dikatakan efektifitas dalam waktu tertentu tujuan dapat tercapai dengan baik.
Ini berarti komunikasi antarpribadi efektif jika dalam waktu tertentu komunikasi
memahami

pesan

yang

disampaikan

komunikatornya

dengan

baik

dan

melaksanakannya. Berkomunikasi efektif berarti bahwa komunikator dan komunikan
sama-sama memiliki pengertian yang sama tentang suatu pesan. Rakhmat (2004:159)
menyatakan bahwa komunikasi yang efektif bila pertemuan komunikasi merupakan
hal yang menyenangkan bagi komunikan.

26

Universitas Sumatera Utara

Menurut Effendy (2003:219) Komunikasi yang efektif adalah komunikasi
yang menimbulkan sikap, opini ataupun perilaku. Efek komunikasi yang timbul pada
komunikan diklasfikasikan sebagai berikut:
a. Efek kognitif yaitu efek yang berkaitan dengan pikiran, nalar atau rasio. Dengan
efek ini diharapkan komunikan yang semula tidak mengerti menjadi mengerti,
yang semula tidak tau membedakan mana yang salah dan yang benar.
b. Efek afektif adalah efek yang berhubungan dengan perasaan. Misalnya yang
semula tidak senang menjadi senang, yang semula rendah diri menjadi memiliki
rasa percaya diri.
c. Efek behavioral yakni efek yang menimbulkan etika untuk berprilaku tertentu
dalam arti kata melakukan suatu tindakan atau kegiatan yang bersifat fisik atau
jasmani.
Ketiga jenis efek ini adalah hasil proses psikologi yang berkaitan satu sama lain,
secara terpadu. Efek behavioral tidak mungkin timbul pada komunikan apabila
sebelumnya dia tidak tahu atau tidak mengerti disertai rasa senang dan berani.
Menurut Tubbs dan Moss (Rakhmat, 2004:13) komunikasi yang efektif
menimbulkan 5 hal yaitu:
a. Pengertian, artinya penerimaan yang cermat dari isi stimulus/pesan seperti
yang dimaksud oleh komunikator.
b. Kesenangan, artinya tidak semua komunikasi ditujukan untuk menyampaikan
informasi dan membentuk pengertian, akan tetapi ada juga dilakuakan untuk
menimbulkan kesenangan, misalnya menanyakan seseorang. Komunikasi

27

Universitas Sumatera Utara

inilah yang menyebabkan hubungan kita menjadi hangat, akrab dan
menyengkan.
c. Pengaruh pada sikap. Komunikasi seringkali dilakukan dengan tujuan untuk
mempengaruhi orang lain. Komunikasi yang efektif ditandai dengan
perubahan sikap, perilaku atau pendapat komunikan sesuai dengan kehendak
komunikator.
d. Hubungan

sosial

yang

baik.

Komunikasi

juga

ditunjukan

untuk

menumbuhkan hubungan sosial yang baik. Manusia juga adalah makhluk
sosial yang tidak tahan hidup sendiri.
e. Tindakan Efektifitas komunikasi biasanya diukur dari tindakan nyata yang
dilakukan komunikan.
Komunikasi yang efektif ditandai dengan hubungan interpersonal yang baik.
Menurut Rakhmat (2004:129) ada tiga faktor menumbuhkan hubungan interpersonal,
yaitu:
1. Percaya.
Definisi ini menyebutkan tiga unsur percaya, yaitu:
a. Ada situasi yang menimbulkan resiko. Bila orang menaruh
kepercayaan kepada orang lain, ia akan menghadapi resiko.
b. Orang yang menaruah kepercayaan pada orang lain berarti menyadari
bahwa akibat-akibatnya bergantung pada perilaku orang lain.
c. Orang yakin bahwa perilaku pihak lain akan berakibat baik baginya.

28

Universitas Sumatera Utara

Selain itu, faktor kepercayaan juga berhubungan dengan karakterisitik
dan maksud orang lain, hubungan kekuasaan, serta sifat dan kualitas
komunikasi.
2.

Sikap Suportif
Sikap suportif adalah sikap yang mengurangi sikap defensif dalam

berkomunikasi. Orang dikatakan defensif bila tidak menerima, tidak jujur, dan
tidak empatis; dan tentunya akan menggagalkan komunikasi interpersonal.
Jack R. GIBB menyebutkan enam prilaku sportif, yaitu sebagi berikut:
Tabel 2. 1
Perilaku Defensif dan Suportif dari Jack Gibb
Iklim Defernsif

Iklim Suportif

1. Evaluasi

1. Deskripsi

2. Kontrol

2. Orientasi masalah

3. Strategi

3. Spontanitas

4. Netralisasi

4. Empati

5. Superioritas

5. Persamaan

6. Kepastian

6. Profesionalisme

Sumber: Rahkmat (2004:134)
3. Sikap terbuka
Sikap terbuka (open mindness) amat besar pengaruhnya dalam
menumbuhkan komunikasi interpersonal yang efektif. Brooks dan Emmert
(Rakhmat, 2004:136), mengkarakteristikkan orang bersikap terbuka sebagai
orang yang menilai pesan objektif dengan data dan logika, serta membedakan
dengan mudah dengan melihat suasana.

29

Universitas Sumatera Utara

2.3.1.3 Self Disclosure
Proses mengungkapkan informasi pribadi kita kepada orang lain atau
sebaliknya disebut dengan self disclosure. Salah satu tipe komunikasi dimana
informasi mengenai diri (self) yang biasanya disembunyikan diri orang lain, kini
dikomunikasikan kepada orang lain. Josep Luft mengemukakan teori Self Disclosure
berdasarkan pada modal interaksi model interaksi manusia yang di sebut Johari
Window.
Gambar 2.1
Johari Window
Diketahui oleh diri
oleh diri sendiri
1

2

Terbuka

Buta

3

4

Tersembunyi

Tidak diketahui

Diketahui oleh orang lain

Tidak diketahui orang lain

Tidak diketahui
oleh diri sendiri

Sumber: Rakhmat (2004:135)
Menurut Luft, orang memiliki atribut yang hanya diketahui oleh dirinya
sendiri (1), hanya diketahui orang lain (2), diketahui oleh dirinya sendiri dan orang
lain (3), dan tidak diketahui oleh siapapun (4). Kuadaran 1 (satu) mencerminkan
keterbukaan akan semakin membesar. Jika komunikasi antara dua orang berlangsung
dengan baik, maka akan terjadi disclosure yang mendorong informasi mengenai diri
masing-masing ke dalam kuadaran terbuka. Kuadran 4 (empat) sulit untuk diketahui.
Merupakan alam bawah sadar yang hanya akan dapat diketahui melalui berbagai
teknik penyingkapan alam bawah sadar (Rakhmat, 2004:135).

30

Universitas Sumatera Utara

Menurut De Vito (2008:128) ada beberapa keuntungan dari self disclosure
yakni:
1. Memahami diri sendiri secara lebih mendalam
2. Meningkatkan kemampuan untuk menghadapi rasa bersalah ketika terlibat dalam
sebuah permasalahan
3. Energy release akan hal-hal sulit yang dialami
4. Meningkatkan efisiensi dan berkomunikasi dengan orang sekitarnya
5. Membina hubungan yang bermakna melalui komunikasi antar pribadi
6. Kesehatan fisiologis karena lebih terbuka dan mengurangi beban pikiran
2.3.1.4 Dimensi Self Disclosure
Self disclosure memiliki berbagai dimensi menurut Joseph A. Devito (2008:
40) menyebutkan ada 5 dimensi self disclosure, yaitu (1) ukuran self-disclosure, (2)
valensi self-disclosure, (3) kecermatan dan kejujuran, (4) maksud dan tujuan, dan (5)
keakraban. Ini berbeda dengan dimensi yang dikemukakan oleh Fisher (1986) yang
menyebutkan dua sifat pengungkapan yang umum dalam self-disclosure adalah
memperhatikan jumlah (seberapa banyak informasi tentang diri yang diungkapkan)
dan valensi (informasi yang diungkapkan bersifat positif atau negatif). Apabila
diperbandingkan, fokus yang dikemukakan Fisher hanya pada jumlah atau dalam
istilah Devito “ukuran” dan valensi saja.

Kini kita mencoba untuk mendalami kelima dimensi tersebut dengan
memadukan apa yang diungkapkan Devito dan Fisher, dengan melihat contohnya
dalam hidup keseharian kita.

31

Universitas Sumatera Utara

1. Ukuran/jumlah self-disclosure
Hal ini berkaitan dengan seberapa banyak jumlah informasi diri kita yang
diungkapkan. Jumlah tersebut bisa dilihat berdasarkan frekuensi kita menyampaikan
pesan-pesan self-disclosure atau bisa juga dengan menggunakan ukuran waktu, yakni
berapa lama kita menyampaikan pesan-pesan yang mengandung self-disclosure pada
keseluruhan kegiatan komunikasi kita dengan lawan komunikasi kita. Misalnya,
dalam percakapan antara anak dan orang tuanya, tentu tidak sepanjang percakapan di
antara keduanya. Taruhlah berlangsung selama 30 menit itu bersifat self-disclosure.
Mungkin hanya 10 menit saja dari waktu itu yang percakapannya menunjukkan selfdisclosure, seperti saat anak menyatakan kekhawatirannya nilai rapornya jelek untuk
semester ini atau tatkala si anak menyatakan tengah jatuh hati pada seseorang.
2. Valensi Self-disclosure
Hal ini berkaitan dengan kualitas self-disclosure kita: positif atau negatif. Saat
kita menyampaikan siapa diri kita secara menyenangkan, penuh humor, dan menarik
seperti yang dilakukan seorang tua yang berkepala botak yang menyatakan, “Inilah
model rambut yang paling cocok untuk orang seusia saya.” Ini merupakan self-

disclosure yang positif. Sebaliknya, apabila orang tersebut mengungkapkan dirinya
dengan menyatakan, “Sudah berobat ke sana ke mari dan mencoba berbagai meto de

mencegah kebotakan yang ternyata bohong semua, inilah hasilnya. Ini berarti selfdisclosure negatif. Dampak dari self-disclosure yang berbeda itu tentu saja akan
berbeda pula, baik pada orang yang mengungkapkan dirinya maupun pada lawan
komunikasinya.

32

Universitas Sumatera Utara

3. Kecermatan dan Kejujuran
Kecermatan dalam self-disclosure yang kita lakukan akan sangat ditentukan
oleh kemampuan kita mengetahui atau mengenal diri kita sendiri. Apabila kita
mengenal dengan baik diri kita maka kita akan mampu melakukan self-disclosure
dengan cermat. Bagaimana kita akan bisa menyatakan bahwa kita ini termasuk orang
yang bodoh apabila kita sendiri tidak mengetahui sejauh mana kebodohan kita itu dan
tidak bisa juga merumuskan apa yang disebut pandai itu. Kejujuran, disamping itu
merupakan hal yang penting yang akan mempengaruhi self-disclosure kita. Kita oleh
karenanya mengemukakan apa yang kita ketahui maka kita memiliki pilihan, seperti
menyatakan secara jujur, dengan dibungkus kebohongan, melebih-lebihkan atau
cukup rinci bagian-bagian yang kita anggap perlu. Banyak orang memilih untuk
berbohong atau melebih-lebihkan untuk hal-hal yang bersifat pribadi, namun selfdisclosure yang kita lakukan akan bergantung pada kejujuran kita. Misalnya, kita bisa
melihat perilaku orang yang hendak meminjam uang. Orang yang hendak berhutang
biasanya mengungkapkan permasalahan pribadinya seperti tak memiliki uang untuk
belanja besok hari, anaknya sakit atau biaya sekolah anaknya. Self-disclosure sering
pula kemudian berwujud penderitaan itu dilebih-lebihkan untuk memancing iba orang
yang akan dipinjami.
4. Maksud dan Tujuan
Salah satu hal yang kita pertimbangkan dalam melakukan self-disclosure,
adalah maksud atau tujuannya. Orang tidak mungkin tiba-tiba menyatakan dirinya
apabila tidak memiliki maksud dan tujuan tertentu. Contohnya pada saat untuk
mengurangi rasa bersalah atau untuk mengungkapkan perasaan. Inilah yang populer
33

Universitas Sumatera Utara

disebut sebagai curhat itu. Kita mengungkapkan diri kita dengan tujuan tertentu, oleh
karena menyadari adanya maksud dan tujuan self-disclosure itu maka kita pun
melakukan kontrol atas self-disclosure yang kita lakukan. Orang yang melebihlebihkan atau berbohong dalam melakukan self-disclosure pada satu sisi bisa
dipandang sebagai salah satu bentuk kontrol supaya self-disclosure-nya mencapai
maksud atau tujuan yang diinginkannya.
5. Keakraban
Fisher mengungkapkan bahwa keakraban merupakan salah satu hal yang serta
kaitannya dengan komunikasi self-disclosure. Apa yang diungkapkan itu bisa saja
hal-hal yang sifatnya pribadi atau intim misalnya mengenai perasaan kita, tetapi bisa
juga mengenai hal-hal yang sifatnya umum, seperti pandangan kita terhadap situasi
politik mutakhir di tanah air atau bisa saja antara hal yang intim/pribadi dan hal yang
impersonal publik.
Berkenaan dengan dimensi self-disclosure yang disebut terakhir, kita bisa
mengacu pada apa yang dinamakan Struktur Kepribadian Pete yang dikembangkan
Irwin Altman dan Dalmas Taylor dengan Teori Penetrasi Sosial-nya (Budyatna dan
Ganiem, 2011: 225). Struktur Kepribadian Pete ini digambarkan kepribadian manusia
itu seperti bawang, yang memiliki lapisan-lapisan. Setiap lapisan itu menunjukkan
derajat keakraban orang yang menjalin relasi atau berkomunikasi. Kerangka Teori
Penetrasi Sosial yakni kita menjalin hubungan dengan orang lain, misalnya pada
tahap awal kita berbincang-bincang soal yang sifatnya umum saja. Kita bicara soal
perkuliahan yang kita ikuti, bisa juga berbincang-bincang soal selera makanan kita.
Kita disini hanya berbicara pada lapisan pinggiran dari bawang tadi yang disebut
34

Universitas Sumatera Utara

peripheral, yang mana semakin lama akan makin masuk ke lapisan berikutnya. Kita
mulai berbicara mengenai keyakinan agama kita, aspirasi dan tujuan hidup kita,
akhirnya konsep diri kita sebagai lapis terdalam “bawang” kepribadian itu. Hal

tersebut menunjukkan bahwa self-disclosure tidak berlangsung secara tiba-tiba.
Informasi yang kita sampaikan tidak seluruh berisikan informasi yang sifatnya
pribadi, bisa saja bercampur-baur dengan informasi yang bersifat umum atau berada
pada tataran periferal.
Konteks ini berarti kita sudah mulai membicarakan soal kedalaman (depth)
dan keluasan (breadth) self-disclosure. Kedalaman self-disclosure sejauhmana akan
ditentukan oleh derajat keakraban kita dengan lawan komunikasi. Semakin akrab kita
dengannya maka akan makin dalam self-disclosure-nya, selain itu akan makin luas
juga cakupan bahasan yang kita komunikasikan melalui self-disclosure itu. Ini
merupakan hal yang logis. Bagaimana kita mau berbincang-bincang mengenai lapisan
terdalam dari diri kita apabila kita tidak merasa memiliki hubungan yang akrab
dengan lawan komunikasi kita. Apabila kita tidak akrab dengan seseorang, sebutlah
dengan orang yang baru kita kenal di dalam bis atau pesawat terbang maka kita akan
berbincang mengenai lapisan terluar “bawang” tadi. B egitu juga halnya dengan upaya

kita membangun keakraban maka akan menuntut kita untuk berbicara mengenai diri
kita. Pada awalnya tidak menyentuh lapisan terdalam melainkan lapisan yang berada
agak di luar. Kita misalnya berbicara tentang makanan yang kita sukai atau model
dan warna pakaian yang digemari. Kita semakin lama akan semakin membuka diri
apabila lawan komunikasi kita pun memberikan respons yang baik dengan turut
membuka dirinya.
35

Universitas Sumatera Utara

2.3.1.5 Hubungan Orangtua dan Anak
Kelangsungan hidup anak-anak tergantung pada hubungan dengan orang
dewasa. Bayi manusia, pada kenyataannya, ketergantungannya pada orang lain lebih
lama daripada ketergantungan bayi spesies makhluk lain atas induknya. Pada hewan
tingkat rendah, kelangsungan hidup spesies dan kemampuan komunikasi yang
diperlukan sebagian besar telah terjamin melalui warisan (Steward, 2014:69).
Pada manusia hubungan orangtua-anak terlihat sangat jelas dalam sebuah
keluarga inti. Anak-anak merupakan hasil perkawinan, buah cinta yang mendalam
dari sepasang suami dan istri. Anak-anak adalah wujud dari kesatuan mereka. Maka
hubungan diantara mereka tentu membedakannya dengan anak-anak yang bukan
kelahirannya, atau antara anak-anak dengan orangtua yang bukan melahirkan mereka.
Hubungan jenis ini memang ditandai dengan prinsip hubungan darah yang ketat
sekali dengan rasa emosional yang mendalam maupun rasa kita daripada mereka
sangat tinggi. Banyak dari kita yang kurang mengerti bagaimana cara yang baik
dalam berkomunikasi dengan anggota keluarganya sendiri khususnya antara suami
dan istri serta orangtua dan anak. Kesalahpahaman sering terjadi antara kedua belah
pihak dikarenakan belum mengetahui sebenarnya tentang tipe keluarganya dan cara
berkomunikasi dari tipe-tipe keluarga yang ada, sehingga kesalahpahaman akan
sering terjadi di dalam berkomunikasi antar anggota keluarga.
Keluarga merupakan kelompok primer yang paling penting didalam
masyarakat. Keluarga merupakan sebuah grup yang terbentuk dari perhubungan pria
dan wanita, hubungan yang berlangsung lama untuk menciptakan dan membesarkan
36

Universitas Sumatera Utara

anak-anak. Berdasarkan pendapat Fitzpatrick (Kurniawati, 2014:47-52) cara orangtua
berinteraksi dengan anaknya akan tercermin dengan sikap dan perilaku pada seorang
anak, meskipun dampaknya tidak terlihat secara langsung. Teman sepermainan
pertama seorang anak adalah saudara laki-laki dan saudara perempuannya. Dari
interaksi tersebut seorang anak akan memperoleh pelajaran berharga tentang
bagaimana ia menjalin hubungan dengan teman dan oranglain nantinya. Seseorang
yang tumbuh tanpa interaksi dengan saudara merupakan hal yang tidak
menguntungkan

karena

dia

terlewat

suatu

peluang

untuk

berlatih

dan

mengembangkan keahlian dalam menjalin suatu hubungan,
Masing-masing keluarga memiliki tipe-tipe orangtua tertentu yang ditentukan
oleh cara-cara mereka menggunakan ruang, waktu, dan energi mereka serta tingkatan
mengungkapkan perasaan mereka, menggunakan kekuasaan dan membagi filosofi
yang umum tentang pernikahan mereka. Sebuah tipe skema keluarga tertentu yang
digabungkan dengan orientasi komunikasi atau kesesuaian akan menghasilkan tipe
pernikahan tertentu.Tipe-tipe pernikahan adalah tradisional, mandiri dan terpisah.
Setiap tipe pernikahan bekerja dengan cara-cara yang sangat berbeda.
Menurut Fitzpatrick dan koleganya, komunikasi keluarga tidak terjadi secara
acak, tetapi sangat berpola berdasarkan pada skema-skema tertentu yang menentukan
bagaimana anggota keluarga saling berkomunikasi. Skema-skema ini terdiri atas
pengetahuan tentang: (1). Seberapa dekat keluarga tersebut; (2) Tingkat individualitas
dalam keluarga; dan (3) Faktor-faktor eksternal terhadap keluarga, misalnya teman,
jarak, geografis, pekerjaan dan masalah-masalah lainnya diluar keluarga.

37

Universitas Sumatera Utara

Disamping pengetahuan ini, sebuah skema keluarga akan mencakup bentuk
orientasi atau komunikasi tertentu. Ada dua tipe yang menonjol: pertama adalah
orientasi percakapan (conversation orientation) dan yang kedua orientasi kesesuaian
(conformity Orientation). Beragam skema akan menciptakan tipe-tipe keluarga yang
berbeda. Fitzpatrick dan koleganya telah mengenali empat tipe keluarga yakni:
1. Konsensual
Tipe keluarga yang memiliki tingkat percakapan dan kesesuaian yang tinggi,
keluarga konsensual sering berbicara tetapi pemimpin keluarga biasanya salah satu
orangtua yang membuat keputusan. Keluarga ini mengalami tekanan dalam
menghargai komunikasi yang terbuka sementara mereka juga menginginkan
kekuasaan orangtua yang jelas. Para orangtua biasanya menjadi pendengar yang baik
bagi anak-anak mereka, tetapi mengambil keputusan dan selanjutnya menjelaskannya
kepada anak-anak sebagai usaha untuk membantu mereka memahami pemikiran
dibalik keputusan tersebut.
Orangtua dalam keluarga konsensual cenderung memiliki orientasi pernikahan
yang tradisional, ini berarti bahwa mereka akan lebih konvensional dalam cara
mereka memandang pernikahan serta lebih menempatkan nilai pada stabilitas dan
kepastian dalam hubungan peran daripada keragaman dan spontanitas.
2. Pluralis
Keluarga yang tinggi dalam percakapan, tetapi rendah dalam kesesuaian,
dalam keluarga ini memiliki banyak kebebasan percakapan, tetapi pada akhirnya
setiap orang akan membuat keputusan sendiri tentang tindakan apa yang harus
diambil berdasarkan pada pembicaraan tersebut, orangtua tidak merasa perlu untuk
38

Universitas Sumatera Utara

mengendalikan anak-anaknya, bahkan opini dinilai berdasarkan segi kelayakannya
dan setiap orang ikut serta dalam pengambilan keputusan keluarga.
Orangtua dari keluarga pluralistis cenderung digolongkan orangtua yang
mandiri, karena mereka biasanya tidak kaku dalam memandang pernikahan.
Kemandirian membuat suami dan istri tidak terlalu saling bergantung dan cenderung
menghasilkan anak-anak yang berpikiran mandiri. Walaupun tipe orangtua ini dapat
menghabiskan waktu bersama dan banyak berbagi, mereka menghargai otonomi
mereka masing masing dan sering kali memiliki ruangan yang berbeda di rumah
untuk kegiatan mereka sendiri. Pernikahan yang mandiri biasanya selalu dibicarakan
ulang karena mereka tidak mengandalkan peran-peran konvensional. Layaknya
pernikahan tradisonal, pernikahan mandiri juga ekspresif, mereka saling memberi
respon terhadap isyarat masing-masing dan mereka biasanya saling memahami
dengan baik, yang menjelaskan mengapa mereka menghargai komunikasi yang
terbuka.
3. Protektif
Keluarga yang rendah dalam percakapan, tetapi tinggi dalam kesesuaian, akan
banyak kepatuhan akan tetapi sedikit komunikasi. Orangtua dalam keluarga ini tidak
melihat perlunya menghabiskan banyak waktu untuk berbicara, dan tidak
menjelaskan apa yang meneyebabkan munculnya keputusan, untuk alasan ini
orangtua tersebut cenderung digolongkan sebagai orangtua yang terpisah, mereka
saling bertentangan dalam peran dan hubungan mereka.
Orangtua disini memiliki pernikahan yang konvensional, tetapi mereka tidak
terlalu bergantung dan tidak banyak berbagi. Fitzpatrick menyebut orangtua yang
39

Universitas Sumatera Utara

terpisah sebagai”bercerai secara emosional” , mereka memiliki opini sendiri dan dapat

menjadi sering bertengkar, tetapi pertengkarannya tidak akan lama, karena mereka
cepat pulih dari konflik. Tipe pasangan ini memiki sikap waspada, mereka banyak
bertanya, tetapi hanya memberikan sedikit nasihat, oleh sebab itu dapat ditebak
bahwa mereka tidak ekspresif dan tidak memahami emosi dengan baik.
4. Laissez-faire atau toleran
Rendah dalam percakapan dan kesesuaian, tidak suka ikut campur dan tidak
peduli dengan apa yang dilakukan anggota keluarga yang lain, dan mereka benarbenar tidak mau membuang waktu untuk membicarakannya. Orangtua dalam
keluarga ini cenderung memiliki orientasi yang bercampur, kombinasi dari orangtua
yang mandiri dan terpisah. Fitzpatrick menunjukkan beberapa gabungan tipe terpisahtradisional, tradisional-mandiri, atau mandiri-terpisah. Karakterisasi dari tipe-tipe
campuran sebenarnya lebih kompleks. Sebuah implikasi yang kuat dari teori ini
adalah bahwa pola dan tipe hubungan yang berbeda penting bagi fungsi keluarga
yang efektif.
Tipe Keluarga didasarkan empat kategori yang tersebut diatas terdiri dari
consensual, pluralistic protective, dan fair dapat digambarkan seperti berikut ini:

40

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.2
Tipe Keluarga
Component__
Type
Percakapan
adaptasi
tekanan

concensual

Pluralistic

protective

fair



-

-

-

-



-

-

-



-



-



-



-

pernikahan tradisonal





kekuasaan
pengendalian


-



kebersamaan





-

Sumber: Suciati (2015)

2.3.2. Komunikasi Verbal dan Non Verbal
Bahasa Verbal maupun Non verbal sebagai bentuk pesan yang digunakan oleh
manusia

untuk mengadakan kontak dengan realitas lingkungannya mempunyai

persamaan yaitu:
1. Menggunakan sistem lambang atau simbol
2. Merupakan sesuatu yang dihasilkan oleh individu manusia
3. Orang lain juga memberikan arti pada simbol yang dihasilkan tadi.
2.3.2.1 Komunikasi Verbal
Pesan Verbal adalah komunikasi yang menggunakan kata-kata, entah lisan
maupun tulisan, komunikasi ini paling banyak dipakai dalam hubungan antar
manusia. Melalui kata-kata, mereka mengungkapkan perasaan, emosi,
pemikiran, gagasan atau maksud mereka, menyampaikan fakta, data, dan

41

Universitas Sumatera Utara

informasi serta menjelaskannya, saling bertukar perasaan dan pemikiran,
saling berdebat, dan bertengkar (Hardjana,2003: 22).
Komunikasi Verbal terkait dengan pemakaian simbol-simbol bahasa yang
berupa kata atau rangkaian kata yang mengandung makna tertentu. Makna
kata tidak semua terletak pada kata itu sendiri, melainkan ada pada diri
manusia.
Bahasa memungkinkan kita untuk berfikir secara abstrak, kualitas bahasa
juga memungkinkan kita untuk berpikir tentang konsep-konsep abstrak seperti
keadilan, integritas, dan kehidupan keluarga yang sehat. Kita menggunakan
konsep luas untuk mengatasi memasuki dunia pemikiran konseptual, karena
kita berpikir abstrak, kita tidak harus mempertimbangkan setiap objek yang
spesifik dan pengalaman individual. Bahasa adalah stereotipe kemampuan kita
untuk mendistorsi pemikiran dan merupakan sebuah institusi sosial yang
dirancang, dimodifikasi dan dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan kultur
atau subkultur yang terus menerus berubah.
2.3.2.2 Komunikasi Non Verbal
Komunikasi non verbal adalah semua aspek komunikasi selain kata-kata.
Ini meliputi tidak hanya gerakan dan bahasa tubuh, tetapi juga bagaimana kita
mengucapkan kata-kata. infleksi, jeda, nada, volume dan aksen. Komunikasi
non verbal adalah proses komunikasi dimana pesan disampaikan tidak
menggunakan kata-kata

Contoh

dari

komunikasi

nonverbal

ialah

menggunakan gerak isyarat, bahasa tubuh, ekspresi wajah dan kontak mata,
penggunaan objek seperti pakaian, potongan rambut, dan sebagainya, simbol42

Universitas Sumatera Utara

simbol, serta cara berbicara seperti intonasi, penekanan, kualitas suara,
gaya emosi, dan gaya berbicara.
Para ahli di bidang komunikasi nonverbal biasanya menggunakan definisi
"tidak menggunakan kata" dengan ketat, dan tidak menyamakan komunikasi
non verbal dengan komunikasi nonlisan. Contohnya, bahasa isyarat dan
tulisan tidak dianggap sebagai komunikasi non verbal karena menggunakan
kata, sedangkan intonasi dan gaya berbicara tergolong sebagai komunikasi
non verbal. Komunikasi non verbal juga berbeda dengan komunikasi bawah
sadar, yang dapat berupa komunikasi verbal ataupun non verbal. Tubuh
merupakan sumber utama pesan non verbal, Pesan–pesan ini dikomunikasikan
dengan penampilan umum , warna kulit, pakaian, gerakan tubuh, postur,
ekspresi wajah, kontak mata, sentuhan dan parabahasa (Samovar,2010:339).
Adapun jenis jenis perilaku Non Verbal adalah:
1.penampilan (Objection)
Komunikasi objek yang paling umum adalah penggunaan pakaian. Orang
sering dinilai dari jenis pakaian yang digunakannya, walaupun ini dianggap termasuk
salah satu bentuk stereotipe. Misalnya orang sering lebih menyukai orang lain yang
cara berpakaiannya menarik. Selain itu, dalam wawancara pekerjaan seseorang yang
berpakaian rapi cenderung lebih mudah mendapat pekerjaan daripada yang tidak.
Contoh lain dari penggunaan komunikasi objek adalah seragam.
2.Gerakan Badan (Kinesics)
Dalam komunikasi non verbal, kinesik atau gerakan tubuh meliputi kontak
mata, ekspresi wajah, isyarat, dan sikap tubuh. Gerakan tubuh biasanya digunakan
43

Universitas Sumatera Utara

untuk menggantikan suatu kata atau frasa, misalnya mengangguk untuk mengatakan
ya; untuk mengilustrasikan atau menjelaskan sesuatu; menunjukkan perasaan,
misalnya memukul meja untuk menunjukkan kemarahan; untuk mengatur atau
menngendalikan jalannya percakapan; atau untuk melepaskan ketegangan.
3.Persepsi indera (Sensorics)
Sensorik adalah adalah bidang yang mempelajari sentuhan sebagai
komunikasi non verbal. Sentuhan dapat termasuk: bersalaman, menggenggam tangan,
berciuman, sentuhan di punggung, mengelus-elus, pukulan, dan lain-lain. Masingmasing bentuk komunikasi ini menyampaikan pesan tentang tujuan atau perasaan dari
sang penyentuh. Sentuhan juga dapat menyebabkan suatu perasaan pada sang
penerima sentuhan, baik positif ataupun negatif.
4.penggunaan ruang dan jarak (Proxemics)
Proxemics adalah tata bahasa ruang, yaitu jarak yang anda gunakan ketika
berkomunikasi dengan orang lain, termasuk juga tempat atau lokasi posisi Anda
berada. Pengaturan jarak menentukan seberapa jauh atau seberapa dekat tingkat
keakraban Anda dengan orang lain, menunjukkan seberapa besar penghargaan, suka
atau tidak suka dan perhatian Anda terhadap orang lain, selain itu juga menunjukkan
simbol sosial. Dalam ruang personal, dapat dibedakan menjadi 4 ruang interpersonal :

1 Jarak intim
Jarak dari mulai bersentuhan sampai jarak satu setengah kaki. Biasanya jarak
ini untuk bercinta, melindungi, dan menyenangkan.

44

Universitas Sumatera Utara

2 Jarak personal
Jarak yang menunjukkan perasaan masing - masing pihak yang
berkomunikasi dan juga menunjukkan keakraban dalam suatu hubungan,
jarak ini berkisar antara satu setengah kaki sampai empat kaki.
3 Jarak sosial
Dalam jarak ini pembicara menyadari betul kehadiran orang lain, karena itu
dalam jarak ini pembicara berusaha tidak mengganggu dan menekan orang
lain, keberadaannya terlihat dari pengaturan jarak antara empat kaki hingga
dua belas kaki.
4 Jarak publik
Jarak publik yakni berkisar antara dua belas kaki sampai tak terhingga
5.Sikap terhadap waktu (Chronomics)
Chronomics adalah adalah bidang yang mempelajari penggunaan waktu
dalam komunikasi non verbal. Penggunaan waktu dalam komunikasi non verbal
meliputi durasi yang dianggap cocok bagi suatu aktivitas, banyaknya aktivitas
yang dianggap patut dilakukan dalam jangka waktu tertentu, serta ketepatan
waktu.
6.Parabahasa
Parabahasa adalah atau paralanguage adalah unsur non verbal dalam suatu
ucapan,

yaitu

cara

berbicara.

Ilmu

yang

mempelajari

hal

ini

disebut paralinguistik. Contohnya adalah nada bicara, nada suara, keras atau
lemahnya suara, kecepatan berbicara, kualitas suara, intonasi, dan lain-lain. Selain

45

Universitas Sumatera Utara

itu, penggunaan suara-suara pengisi seperti "mm", "e", "o", "um", saat berbicara
juga tergolong unsur vokalik, dan dalam komunikasi yang baik hal-hal seperti ini
harus dihindari
2.3.3

Komunikasi Empatik
Kemampuan manusia dalam berkomunikasi secara empatik, kelihatannya

mulai sirna dari diri individu dalam masyarakat kontemporer. Belakangan,
kemampuan komunikasi empatik makin dibutuhkan untuk memperbaiki berbagai
kegagalan komunikasi antarpribadi, komunikasi kelompok, komunikasi organisasi,
komunikasi sosial ataupun komunikasi antarbudaya, yang tak jarang dalam kehidupan
sehari-hari telah menyulut kesalahpahaman, sikap saling menghakimi, saling
menyalahkan, bahkan memicu terjadinya konflik.
Kata empati (empathy) sendiri berasal dari kata einfuhlung yang semula
digunakan oleh seorang psikolog Jerman. Kata ini secara harfiah berarti merasa
terlibat (feeling into). Empati (empathy) menurut Onong Uchjana Effendy adalah
kemampuan memproyeksikan diri kepada orang lain. Dengan lain perkataan, empati
adalah kemampuan menghayati perasaan orang lain atau merasakan sesuatu yang
dirasakan orang lain (Effendy, 2002:7).
Salah satu prasyarat utama dalam memiliki sikap empati adalah kemampuan
kita untuk mendengarkan atau mengerti terlebih dulu sebelum didengarkan atau
dimengerti oleh orang lain. Secara khusus kemampuan untuk mendengarkan sebagai
salah satu dari 7 kebiasaan manusia yang sangat efektif, yaitu kebiasaan untuk
mengerti terlebih dahulu, baru dimengerti (Seek First to Understand then be

46

Universitas Sumatera Utara