Studi Mengenai Pelaksanaan Perkawinan Angkap Di Kabupaten Aceh Tengah Dengan Berlakunya Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

28

BAB II
PELAKSANAAN PERKAWINAN ANGKAP PADA MASYARAKAT GAYO
DI KABUPATEN ACEH TENGAH
A. Sistem Kekerabatan Masyarakat Gayo
Sistem Kekerabatan Suku Gayo bukan Patrilineal Murni, ini dapat kita lihat
pada perkawinan angkap. Perkawinan angkap dalam istilah lain perkawianan ambil
anak (inlijfhuwelijk) yang juga terdapat dibeberapa suku di Indonesia. Perkawianan
ini salah satu jenis perkawinan dalam suku Gayo yang dikenal sejak suku Gayo ada,
perkawinan ini terjadi karena beberapa alasan alasan diantaranya yang paling sering
terjadi karena dua hal. Pertama; ada suatu keluarga mempunyai anak perempuan
tunggal, dengan alasan agar anaknya tersebut tidak berpindah tempat ke belah lain
maka perkawinan angkap adalah solusi satu-satunya. Kedua; Adanya pemuda
pendatang yang tidak mempunyai keluarga, maka dengan kawin angkap pemuda
tersebut tidak perlu membayar mahar. Pemuda tersebut datang dari pesisir atau etnis
lain yang merantau ke daerah Gayo yang akhlaknya baik dan dapat berusaha.45
Masyarakat Gayo pada umumnya merupakan kesatuan keluarga batih, sama
seperti yang dianut oleh masyarakat Aceh pada umumnya. Rumah tangga terdiri dari
ayah, ibu, dan anak-anak yang belum menikah. Jika seorang anak sudah menikah, ia
akan mendirikan rumah tangganya sendiri sebagai keluarga batih yang baru menikah,

untuk sementara akan menetap pada keluarga batih ayahnya. Ada yang beberapa

45

Syahdansyah Putera Jaya,”Sistem Kekerabatan Suku Gayo Bukan Patrilineal Murni”,
//http:lintasgayo.co/2014/04/10/system-kekerabatan-suku-gayo-bukan-patrilineal-murni,
diakses
tanggal 20 Oktober 2014

28

Universitas Sumatera Utara

29

bulan saja atau sampai lahir anaknya yang pertama. Akan tetapi, ada pula
terkecualiannya yang ditentukan oleh sistem perkawinan, apakah ia menetap terus
dalam keluarga batih pihak laki-laki atau orang tua perempuan.
Semua kegiatan dalam keluarga batih merupakan tanggung jawab bersama
dalam keluarga. Kegiatan-kegiatan tersebut diantaranya adalah turun keume (turun ke

sawah), turun keume artinya, bekerja di kebun dan menanam sayur-sayuran diladang.
Seluruh anggota keluarga batih ikut membantu bekerja sebagai tenaga pelaksana.
Dalam pembagian kerja disesuaikan dengan tingkat kemampuan anggota
keluarga batih. Bagi orang yang sudah tua dan anak-anak mendapatkan

tugas

pekerjaan yang lebih ringan, dibandingkan dengan yang muda-muda atau kepala
keluarga dalam keluarga batih tersebut. Meskipun di daerah Gayo terdapat keluarga
batih, namun tidak menutup kemungkinan adanya keluarga Luas. Keluarga Luas ini
menempati sebuah rumah besar yang disebut dengan umah timeruang.
Rumah ini terdiri dari beberapa bilik (kamar), dan tiap-tiap kamar didiami
oleh satu keluarga batih. Tiap-tiap kamar juga dilengkapi dengan dapur masingmasing. Antara satu keluarga batih dengan keluarga batih lainnya dalam satu umah
timeruang ini, biasanya akan mempunyai pertalian keturunan (genealogis). Pada
awalnya umah timeruang ini adalah milik keluarga batih. Tetapi setelah keluarga ini
menikah, maka ia akan pindah ke dalam kamar tersendiri. Begitulah seterusnya,
setiap ada pernikahan berarti menambah keluarga batih dalam umah timeruang
tersebut, maka di dalam umah timeruang terjadilah keluarga besar yang disebut
dengan sedere.


Universitas Sumatera Utara

30

Dalam bidang mencari mata pencarian hidup tidak menggambarkan kegiatan
sedere, tetapi dilakukan oleh masing-masing keluarga batih, kadang-kadang pada saat
tertentu, suatu kegiatan dilakukan bersama-sama sedere, misalnya melakukan
pekerjaan disawah. Berhubung pekerjaan tersebut membutuhkan banyak tenaga dan
membutuhkan bantuan dari sederenya.
Demikian juga dalam menghadapi masalah-masalah keluarga seperti
mengadakan musyawarah untuk menyelenggarakan upacara perkawinan dan lainlainnya haruslah melibatkan seluruh sederenya. Mereka selalu menghadapi dengan
pakat sedere. Kegiatan semacam ini sering diucapkan dalam pepatah-pepatah seperti
bulet lagu umut, yang artinya bulat seperti batang pisang, lurus seperti gelas.
Maksudnya, untuk mencapai suatu tujuan, setiap kebijaksanaan harus dilakukan
berdasarkan musyawarah tiap anggota keluarga dan sedere-sederenya.
Namun demikian perkembangan sedere tidak mungkin dapat ditampung
dalam umah timeruang karena semangkin banyak terjadi keluarga batih, maka akan
semangkin banyak pula membutuhkan

bilik


(kamar). Bagi mereka yang tidak

tertampung dalam umah timeruang kemudian memisahkan diri ke tempat lain dengan
mendirikan rumah baru yang kemudian berkembang pula menjadi umah timeruang
seperti tersebut di atas. Walaupun terjadi pemisahan tempat tinggal, tetapi tali
keluarga lainnya masih diikat oleh pertalian sedere dan timbullah klan kecil yang
disebut dengan kuru. Kuru ini kemudian dapat juga bertempat tinggal di beberapa
kampung. Hal ini dapat terjadi karena adanya perpindahan tempat tinggal di beberapa
kampung. Hal ini dapat terjadi karena adanya perpindahan tempat tinggal dan adanya

Universitas Sumatera Utara

31

sistem perkawinan exogam. Menurut adat masyarakat Gayo perkawinan endogami
menjadi larangan atau pantangan. Dengan demikian, akan memudahkan hubungan
genealogis antara satu kampung dengan kampung lainnya.
Adanya pengaruh perkawinan baru disebabkan oleh perpindahan anggota kuru
dan perkawinan menyebabkan tidak kentara lagi perhubungan darah yang murni pada

suatu kuru, karena proses perkembangan ini masih terjadi terus menerus. Namun
demikian mereka merasa dirinya mempunyai nenek moyang yang sama dan satu
sistem sosial serta ikatan tertorial yang sama. Hasil perkembangan kuru yang
demikian masih terlihat dalam klen besar yang disebut dengan belah. Dengan
demikian, pada masyarakat Gayo timbul bermacam-macam belah, seperti belah jalil,
belah Cik, belah gunung, belah Hakim, belah Bale dan lain-lain.46
B. Sistem Perkawinan dalam Masyarakat Gayo
Perkawinan dalam adat Gayo mempunyai arti yang sangat penting terhadap
sistem kekerabatan karena masyarakat Gayo menganut sistem Perkawinan exogami
(perkawinan antar belah atau antar klan). Menurut adat masyarakat Gayo perkawinan
dengan sistem endogami (kawin satu belah atau satu klan) menjadi larangan atau
pantangan karena sesama klan masih dianggap masih memiliki ikatan persaudaraan
atau ikatan darah. Dengan demikian akan memudahkan hubungan genealogis antara
satu kampung dengan kampung lainnya.

46

Sistem Kekerabatan Orang Melayu Gayo, Naggroe Aceh Darussalam, //http,
melayuonline.com/ind/culture/dig/2748/Sistem Kekerabatan –orang-melayu-Gayo-nanggroe-acehdarussalm, diakses tanggal 21 Oktober 2014


Universitas Sumatera Utara

32

Ada tiga macam jenis perkawinan yang terdapat dalam masyarakat Gayo yaitu
Kawin ango atau jeulen, kawin angkap dan kawin kuso kini.
1.

Kawin Ango atau Juelen
Kawin ango atau juelen adalah bentuk perkawinan yang mengharuskan pihak

calon suami seakan-akan membeli wanita yang akan dijadikan istri. Setelah dibeli,
maka istri menjadi belah suami. Jika pada suatu ketika terjadi cere banci (cerai
perselisihan), si istri menjadi ulak kemulak (kembali ke belah asalnya). Mantan istri
dapat membawa kembali harta tempah (harta pemberian orang tuanya) dan demikian
pula harta sekarat (harta dari hasil usaha bersama). Namun jika terjadi cere kasih
(cerai mati), tidak menyebabkan perubahan status (belah) bagi keduanya. Sebagai
contoh misalnya, jika suami meninggal, maka belah suami berkewajiban untuk
mencarikan jodoh mantan istrinya tadi dengan salah seorang kerabat yang terdekat
dengan almarhum suaminya. Apabila yang meninggal itu tidak mempunayi anak,

maka pihak yang ditinggalkan berhak mengembalikan harta tempah kepada belah asal
harta itu. Jika yang meninggal itu ada keturunan, maka harta tempah itu menjadi
milik anak keturunannya.
2.

Kawin Angkap
Kawin angkap adalah bentuk perkawinan yang memiliki ketentuan-ketentuan

yang harus ditaati. Pihak laki-laki (suami) ditarik ke dalam belah istri.
Perkawinan angkap ini dapat dibedakan menjadi dua macam angkap, yaitu
angkap nasap dan angkap sementara. Pada perkawinan angkap nasap menyebabkan
suami kehilangan belahnya, karena telah ditarik ke dalambelah istrinya. Jika terjadi

Universitas Sumatera Utara

33

perceraian karena cere banci (cerai perselisihan) dalam kawin angkap nasap ini,
menyebabkan terjadinya perubahan status suaminya karena suami harus kembali ke
belah asalnya, dan tidak diperbolehkan membawa harta tempah, kecuali harta sekarat.

Namun jika terjadi cere kasih, misalnya istri meninggal, maka mantan
suaminya tetap tinggal dalam belah istrinya. Pada suatu ketika, saat mantan suami
tersebut akandikawinkan kembali oleh belah istrinya dengan salah seorang anggota
kerabat istrinya. Jika yang meninggal itu adalah suaminya, maka istrinya pada belah
asalnya. Namun jika yang meninggal tersebut mempunyai keturunan, maka harta
tempah peninggalannya jatuh ketangan anak keturunannya.
Kawin

angkap sementara pada masyarakat Gayo juga disebut dengan

angkap edet. Seorang suami dalam waktu tertentu menetap dalam belah istrinya
sesuai dengan perjanjian saat dilakukan peminangan. Status sementara itu tetap
berlangsung terus selama suami belum mampu memenuhi semua persyaratan yang
telah ditetapkan waktu peminangannya. Jika terjadi perceraian dalam bentuk cere
banci, suami akan kembali kedalam pihak belahnya, dan harta sekarat akan dibagibagi, jika syarat-syarat angkap sementara telah dipenuhi oleh suami, sedangkan harta
tempah, misalnya istri meninggal, maka suami tidak akan berubah statusnya sampai
masa perjanjian angkap selesai. Oleh karena itu, menjadi kewajiban belah istrinya
untuk mengawinkan kembali dengan salah seorang kerabatnya.
3.


Kawin Kuso Kini
Kawin kuso kini adalah suatu bentuk perkawinan yang memberi kebebasan

kepada suami istri untuk memilih tempat tinggal dalam belah suami atau belah istri.

Universitas Sumatera Utara

34

Pada kawin kuso kini, suami istri dapat menetap pada keluarga atau mandiri pada
rumah dan pekerjaan mereka sendiri tetapi tetap memandang dan membantu keluarga
kedua belah pihak dengan baik. Bentuk perkawinan kuso kini ini berbeda dengan
perkawinan anggo dan angkap yang selalu mempertahankan belah. Bentuk
perkawinan ini masih banyak pula terjadi dalam masyarakat Gayo hingga sekarang.
Upacara daur hidup (life cycle) merupakan kegiatan sedere dalam bentuk
pakat sedere dengan tujuan agar dapat dicapai suatu kesepakatan dalam
melaksanakan setiap kegiatan bersama. Mengenai bentuk-bentuk upacara daur hidup
tersebut dapat berwujud pada upacara turun mandi bayi (cukur rambut), bereles
(sunat rasul). Bagi anak laki-laki yang berumur 10 tahun ke atas, upacara perkawinan
dan kemudian setelah adanya kematian. Semua kegiatan upacara tersebut merupakan

kegiatan sedere.
C. Perkawinan Angkap Pada Masyarakat Gayo
Perkawinan Angkap terjadi jika suatu keluarga tidak mempunyai keturunan
anak lelaki yang berminat mendapat seorang menantu lelaki, maka keluarga tersebut
meminang sang pemuda (umumnya lelaki berbudi baik dan alim) inilah yang
dinamakan “Angkap Berperah, Juelen Berango” (Angkap dicari/diseleksi, Juelen
diminta). Menantu lelaki ini disyaratkan supaya selamanya tinggal dalam lingkungan
keluarga pengantin wanita dan dipandang sebagai pagar pelindung keluarga. Sang
menantu mendapat harta waris dari keluarga Istri. Dalam konteks ini dikatakan “Anak
angkap penyapuni kubur kubah, si muruang iosah umah, siberukah iosah ume”

Universitas Sumatera Utara

35

(menantu lelaki penyapu kubah kuburan, yang ada tempat tinggal beri rumah, yang
ada lahan beri sawah).47
Perkawinan angkap ini dapat dibedakan menjadi dua macam angkap, yaitu
angkap nasap dan angkap sementara. Pada perkawinan angkap nasap menyebabkan
suami kehilangan belahnya, karena telah ditarik ke dalam belah istrinya. Jika terjadi

perceraian karena cere banci (cerai perselisihan) dalam kawin angkap nasap ini,
menyebabkan terjadinya perubahan status suaminya karena suami harus kembali
kebelah asalnya, dan tidak diperbolehkan membawa harta tempah, kecuali harta
sekarat.
Namun jika terjadi cere kasih, misalnya istri meninggal, maka mantan
suaminya tetap tinggal dalam belah istrinya. Pada suatu ketika, saat mantan suami
tersebut akan dikawinkan kembali oleh belah istrinya dengan salah seorang anggota
kerabat istrinya. Jika yang meninggal itu adalah suaminya, maka istrinya pada belah
asalnya. Namun jika yang meninggal tersebut mempunyai keturunan, maka harta
tempah peninggalannya jatuh ketangan anak keturunannya.
Kawin

angkap sementara pada masyarakat Gayo juga disebut dengan

angkap edet. Seorang suami dalam waktu tertentu menetap dalam belah istrinya
sesuai dengan perjanjian saat dilakukan peminangan. Status sementara itu tetap
berlangsung terus selama suami belum mampu memenuhi semua persyaratan yang
telah ditetapkan waktu peminangannya.
47

Batavusqu
“Pernikahan
adat
masyarakat
gayo
aceh”,http://Zipuer
7,
Wordpress.com/2009/10/04/pernikahan –adat-masyarakat-gayo-aceh,diakses pada tanggal 10 juni
2014

Universitas Sumatera Utara

36

Jika terjadi perceraian dalam bentuk cere banci, suami akan kembali kedalam
pihak belahnya, dan

harta sekarat akan dibagi-bagi, jika syarat-syarat

angkap

sementara telah dipenuhi oleh suami, sedangkan harta tempah tidak, misalnya istri
meninggal, maka suami tidak akan berubah statusnya sampai masa perjanjian angkap
selesai. Oleh karena itu, menjadi kewajiban belah istrinya untuk mengawinkan
kembali dengan salah seorang kerabatnya.
Tabel 1
Identitas responden
No
.
1.
2.
3.
4
5

1.
2.
3.

Nama
Kamaluddin
R/Jaunah
Azhar / Sakdiah
Subhan/Radiani
Suparman/Murni
Nuransyah/Yulia

Jenis
Kelamin
L/P
L/P
L/P
L/P
L/P

Pendidikan

Pekerjaan

SD/SD

Petani/Ibu RT

SD/SMP
SMP/SMA
SMP/SMA
SMP/SMP

Petani/Ibu RT
Petani/Ibu RT
Wiraswasta/Ibu RT
Petani/Ibu RT

Menikah
(Tahun)
1960
1969
1968
1992
1984

Keterangan Tabel
Responden nomor 1 dan nomor 2 yang melakukan perkawinan angkap di
Kecamatan Pegasing, Kabupaten Aceh Tengah.
Responden nomor 3 dan nomor 4 yang melakukan perkawinan angkap di
Kecamatan Bebesen, Kabupaten Aceh Tengah.
Responden nomor 5 yang melakukan perkawinan angkap di Kecamatan Lut
Tawar, Kabupaten Aceh Tengah.
Dari hasil wawancara dengan responden pasangan suami istri, yaitu Bapak

Kamaluddin R dan Jaunah, mereka telah menikah pada tanggal 8 Mei 1960, dalam
perkawinan angkapnya dahulu mahar yang diberikannya kepada istrinya merupakan
pemberian dari orang tua Nyonya Jaunah, dan mendapatkan hibah dan warisan dari
orang tua Nyonya Jaunah tersebut, ia tidak mendapatkan warisan dari orang tuanya

Universitas Sumatera Utara

37

sendiri, hubungan kekerabatan dengan klannya sendiri terputus, dan sampai sekarang
ia masih menetap dalam klan istrinya tersebut.
Dari hasil wawancara denganresponden pasangan suami istri yaitu Bapak
Azhar dan Sakdiah, mereka telah menikah pada tanggal 17 Juni 1969, dalam
perkawinan angkapnya dahulu, mahar yang diberikannya kepada istrinya merupakan
pemberian dari orang tua Sakdiah , dan mendapatkan hibah dan warisan dari orang
tua Sakdiah tersebut, ia tidak mendapatkan warisan dari orang tuanya sendiri,
hubungan dengan klannya sendiri juga terputus, dan sampai sekarang ia masih
menetap dalam klan istrinya tersebut.
Dari hasil wawancara dengan responden pasangan suami istri yaitu Bapak
Subhan dan Radiani, mereka telah menikah pada tanggal 5 Agustus 1968dalam
perkawinan angkapnya dahulu, mahar yang diberikannya kepada istrinya merupakan
pemberian dari orang tua Radiani, dan mendapatkan rumah dan kebun kopi dari orang
tua istri.
Dari hasil wawancara dengan responden pasangan suami istri yaitu Bapak
Suparman dan Murni, mereka telah menikah pada tanggal 16 Februari 1992 dalam
perkawinan angkapnya dahulu ia memberikan maharnya dari uangnya sendiri, dan ia
juga mendapatkan hibah dari orang tua Murni tersebut, dan hubungan kekerabatannya
dengan klannya sampai sekarang berjalan dengan baik, namun sampai sekarang ia
masih menetap dalam klan istrinya tersebut.
Dari hasil wawancara dengan responden pasangan suami istri yaitu Bapak
Nuransyah dan Yulia, mereka telah menikah pada tanggal 12 Januari 1984, dalam

Universitas Sumatera Utara

38

perkawinan angkapnya dahulu, mahar yang diberikan kepada istrinya adalah dari
uangnya sendiri, dan ia juga mendapatkan hibah dari orang tua Yulia tersebut, dan
hubungan kekerabatannya dengan klannya sampai sekarang berjalan dengan baik, dan
ia tidak menetap dalam klan istrinya tersebut.
Berikut adalah beberapa tahapan singkat prosesi upacara perkawinan
masyarakat suku gayo :
a. Risik Kono ( Perkenalan Keluarga )
Acara ini merupakan ajang perkenalan keluarga calon pengantin. Orang
tua pengantin pria, biasanya di wakilkan oleh ibunya, akanmenyampaikan
maksud dan tujuan kedatangan mereka untuk berbesan dengan orang tua
pengantin wanita. Biasanya acara akan di mulai dengan ramah tamah serta
senda gurau sebagai awal perkenalan dan barulah selanjutnya mengarah pada
pembicaraan serius mengenai kemungkinan kedua keluarga ini bisa saling
berbesan.
b. Munginte ( Meminang / Melamar )
Tahapan peminangan ini tidak dilakukan oleh orang tua pengantin pria
secara langsung tetapi diwakilkan oleh utusan yang disebut telangkai atau
telangke. Biasanya mereka terdiri dari tiga atau limapasang suami – istri yang
masih berkerabat dekat dengan orang tua pengantin pria.
Dalam acara ini yang banyak berperan adalah kaum ibu. Mereka datang
sambil membawa bawaan yang antara lain berisi beras, tempat sirih lengkap
dengan isinya, sejumlah uang, jarum dan benang. Barang bawaan ini disebut
Penampong ni kuyu yang bermakna sebagai tanda pengikat agar keluarga
pengantin wanita tidak menerima lamaran dari pihak lain.
Selanjutnya barang bawaan ini diserahkan dan ditinggal di rumah
pengantin wanita sampai ada kepastian bahwa lamaran tersebut diterima atau
tidak.Keluarga pengantin wanita diberi waktu sekitar 2-3 hari untuk
memutuskan hal tersebut. Dalam waktu tersebut biasanya keluarga pengantin
wanita akan mencari sebanyak mungkin tentang informasi calon pengantin
pria mulai dari bagaimana pribadinya, pendidikannya, agama, tingkah laku
samapi ke soal bibit, bobot dan bebetnya. Jika lamaran diterima maka barang
bawaan tersebut tidak dikembalikan lagi tetapi sebaliknya jika tidak, maka
Penampong kayu akan dikembalikan pada pengantin pria lagi.
Setelah mendapat kepastian lamaran diterima selanjutnya akan dilakukan
pembicaraan antara dua pihak keluarga mengenai kewajiban apa saja yang
harus dipenuhi oleh keluarga masing – masing, termasuk membicarakan

Universitas Sumatera Utara

39

c.

d.

e.

f.

g.

mengenai barang dan jumlah uang yang diminta oleh keluarga penganti
wanita yang disebut sebagai acara Muno sah nemah ( Menetapkan bawaan ),
Dalam pembicaraan ini keluarga pengantin pria akan diwakili oleh talangke
yang harus pandai melakukan tawar menawar atau negosiasi dengan keluarga
pengantin wanita. Sementara untuk mahar yang menentukan adalah calon
mempelai wanita sendiri dan mahar yang diminta tidak boleh ditawar lagi.
Turun Caram ( Mengantar Uang )
Acara mengantar uang ini biasa dilakukan pada saat matahari mulai naik
antara pukul 09.00 – 12.00 dengan harapan agar nantinya kehidupan rumah
tangga pasangan pengantin ini, termasuk rezekinya akan selamanya bersinar.
Segenap dan Begenap ( Musyawarah dan Keluarga )
Dalam acara ini akan dilakukan pembagian tugas saat acara pernikahan
berlangsung. Yang mendapat tugas melakukan berbagai persiapan pesta
perkawinan adalah para kerabat serta tetangga dekat. Acara akan berlangsung
pada malam hari.
Pada malam begenap acara akan dibagi menjadi dua kelompok yaitu
kelompok orang tua yang akan membicarakan mengenai tata cara serah terima
calon pengantin kepada Imam ( Pemuka Agama ) sementara kelompok kedua
yaitu para muda – mudi yang berkelompok membuat kue onde – onde untuk
disantap bersama – sama. Setelah itu datanglah utusan dari kelompok orang
tua ke kelompok anak muda tersebut sambil membawa batil ( cerana ) lalu
mereka makan sirih bersama sebagai tanda permintaan orang tua pengantin
wanita agar muda mudi itu rela melepas salah satu teman mereka untuk
menikah.
Beguru (Pemberian Nasihat)
Acara ini didiadakan sesudah acara malam begenap yaitu pada pagi hari
sesudah salat subuh. Beguru artinya belajar, dimana calon pengantin akan
diberi berbagai nasehat dan petunjuk tentang bagaimana nantinya mereka
bersikap dan berprilaku dalam membina rumah tangga. Acara beguru di
rumah calon mempelai wanita ini biasanya akan diiringi juga dengan acara
bersebuku (meretap) yaitu pengantin wanita melakukan sungkeman kapada
kedua orang tuanya untuk memohaon restu dan doa.
Jege Uce (Berjaga – jaga)
Acara ini dilaksanakan menjelang hari pernikahan. Disini para kerabat
dan tetangga dekat akan berjaga – jaga sepanjang malam dengan melakukan
berbagai kegiatan adat seperti acara guru didong ( berbalas pantun ) serta tari
tarian. Pada malam itu calon pengantin wanita akan diberi inai oleh pihak
ralik ( keluarga pengantin wanita ).
Belulut dan Bekune ( Mandi dan Kerikan )
Dahi, pipi dan tengkuk calon pengantin wanita akan dikerik oleh juru rias
atau wakil keluarga ibunya yang paling dekat setelah sebelumnya dilakukan
acara mandi bersama di kediaman masing – masing yang disebuat acara
belulut. Bekas bulu – bulu halus kerikan tadi selanjutnya akan ditaruh dalam

Universitas Sumatera Utara

40

sebuah wadah berisi air bersih dan dicampurkan dengan irisan jeruk purut
untuk ditanam. Dipercayai nantinya rambut pengantin akan tumbuh subur dan
lebat.
h. Munalo (Menjemput Pengantin Pria)
Pada hari dan tempat yang telah disepakati rombongan pengantin wanita
yang dipimpin oleh telangkai, selanjutnya disebut sebagai pihak beru, sambil
menabuh canang yang dilakukan oleh para gadis bersiap menunggu
kedatangan rombongan penantin pria yang disebut pihak bei. Sementara itu
pengantin wanita di rumahnya telah didandani dan menanti dalam kamar
pengantin. Canang akan semakin keras ditabuh dan terdengar bersahutan
ketika pihak bei sudah mulai kelihatan dari kejauhan.
Saat pihak bei telah tiba, tabuhan canang dihentikan dan pihak beru akan
membuka percakapan sebagai ucapan selamat datang dan permohonan maaf
jika terdapat kekurangan dalam acara penyambutan tersebut. Setelah itu
dilakukan tarian guel dan sining serta saling berpantun. Disini pengantin pria
akan diajak ikut menari bersama. Setelah itu calon pengantin pria diarak
beramai ramai menuju kediaman pengantin wanita.
i. Mah Bei (Mengarak Pengantin Pria)
Sebelum rombongan pengantin pria sampai ke rumah pengantin wanita,
mereka akan terlebih dahulu berhenti di rumah persinggahan yang disebut
Umah selangan selama 30 – 60 menit. Ditempat ini rombongan akan menanti
datangnya kiriman makanan yang dibawa oleh utusan pihak beru. Bila
kiriman itu dianggap berkenan maka rombongan akan melanjutkan perjalanan
menuju rumah pengantin wanita, setelah mendengar kabar bahwa kelurga
pengantin wanita telah siap menerima kedatangan. Sebaliknya bila tidak
berkenan maka acara bisa tertunda bahkan batal. Dalam perjalanan ini,
pengantin pria diapit telangkai yang bisanya terdirri dari dua orang laki – laki
yang sudah menikah. Pada acara ini orang tua mempelai pria boleh tidak
mendampingi karena tugas tersebut telah diwakilkan.
Setibanya rombongan bei di rumah pengantin wanita, tiga orang ibu akan
langsung datang menyambut dan saling bertukar batil tempat sirih lalu
diadakan acara basuh kidding ( cuci kaki ) di depan pintu masuk. Uniknya
yang melakukan acara basuh kidding ini adalah adik perempuan pengantin
wanita. Jika pengantin wanita tidak memiliki adik perempuan maka tugas ini
bisa digantikan oleh anak pakciknya. Setelah itu sebagai tanda terima kasih,
pengantin pria akan memberikan sejumlah uang kepada adik pengantin wanita
tersebut.
Selanjutnya pengantin pria akan melakukan acara tepung tawar yang
dilakukan oleh keluarga pengantin wanita. Sambil dibimbing masuk rumah,
pengantin pria akan diserahkan oleh keluarganya dan didudukkan berhadapan
dengan ayah pengantin wanita untuk acara akad nikah yang disebut acara
Rempele (Penyerahan).

Universitas Sumatera Utara

41

Sebelum akad nikah dimulai telah disiapkan satu gelas air putih, satu
wadah kosong dan sepiring ketan kuning untuk melakukan tata acara adat.
Selama akad berlangsung pengantin wanita yang telah didandani tetap tinggal
di dalam kamar sambil menunggu dipertemukan dengan suaminya. Acara
inilah yang disebut kamar dalem.
j. Munenes (Ngunduh Mantu)
Acara ini sebagai simbol perpisahan antara pengantin wanita dengan
orang tuanya karena telah bersuami dan akan berpisah tempat tnggal,
termasuk juga sebagai acara perpisahan di masa lajang ke kehidupan
berkeluarga. Pengantin wanita akan diantar ke rumah pengantin pria sambil
membawa barang-barangnya dari peralatan rumah tangga sampai bekal
memulai hidup baru. Setelah itu diadakan acara makan bersama.
Biasanya setelah tujuh hari pengantin wanita berada di rumah pengantin
pria, orang tua pengantin pria akan dating ke rumah besannya
sambil membawa nasi beserta lauk pauk. Acara yang disebut mah kero
opat ingin, ini bertujuan untuk lebih saling mengenal antar dua keluarga yang
sudah bebesan.48
D. Pelaksanaan Perkawinan Angkap pada masyarakat Gayo di Kabupaten
Aceh Tengah Pada Masa Kini.
Perubahan-perubahan di dalam masyarakat dapat mengenai sistem nilai-nilai,
norma-norma, pola-pola prilaku, organisasi, susunan lembaga-lembaga sosial,
statifikasi, kekuasaan, interaksi sosial, dan lain sebagainya.49
Adanya

perubahan-perubahan

tersebut

akan

menyebabkan

timbulnya

masalah-masalah yaitu :
a. Pada taraf pribadi atau individu maka timbul masalah bagaimana
mengamankan identitasnya sebagai manusia, sebagai warga masyarakat dan
sebagai penganut tradisi kebudayaan tertentu.

48
Upacara
perkawinan
masyarakat
gayo,
//http:acehtourismagency.blogspot.com/2012/09/upacara-perkawinan-masyarakat-gayo.html, diakses
tanggal 18 oktober 2014
49
Soerjono Soekanta, Fungsi Hukum dan Perubahan Sosial, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
1991), hlm 1

Universitas Sumatera Utara

42

b. Pada taraf strukturil, timbul masalah bagaimana mengorganisasikan pola
peranan dan kelompok-kelompok yang baru.
c. Pada taraf kebudayaan timbul masalah bagaimana membentuk tradisi baru
yang akan dapat menjadi pedoman bagi warga masyarakat dalam masa
transisi.
Pada umumnya dapatlah dikatakan, bahwa sebab-sebab terjadinya perubahan
sosial dapat bersumber pada masyarakat itu sendiri dan yang letaknya diluar
masyarakat lain atau dari alam sekelilingnya. Sebab-sebab yang bersumber pada
masyarakat itu sendiri adalah antara lain, bertambah dan berkurangnya penduduk,
penemuan-penemuan baru, pertentangan-pertentangan dan terjadinya revolusi. Suatu
perubahan sosial dapat pula bersumber pada sebab-sebab yang berasal dari
lingkungan alam, peperangan, pengaruh kebudayaan masyarakat lain dan seterusnya.
Disamping hal-hal tersebut di atas maka perlu juga disinggung faktor-faktor
yang mungkin mempengaruhi jalannya atau berlangsungnya perubahan sosial yaitu
faktor yang mendorong atau menunjang dan yang menghambat.
Diantara faktor-faktor yang mendorong dapatlah disebutkan kontak dengan
kebudayaan lain, sistem pendidikan yang maju, toleransi terhadap prilaku yang
menyimpang, stratifikasi yang terbuka, penduduk yang heterogen dan ketidakpuasan
terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu. Daya pendorong faktor-faktor tersebut
dapat berkurang karena adanya faktor-faktor yang menghambat seperti kurangnya
atau tidak ada hubungan dengan masyarakat lain,perkembangan ilmu pengetahuan
yang terlambat, sikap masyarakat yang terlalu tradisionalistis, adanya kepentingan-

Universitas Sumatera Utara

43

kepentingan yang telah tertanam dengan kuat sekali, rasa takut akan terjadinya
kegoyahan pada integrasi kebudayaan, prasangka terhadap hal-hal yang baru,
hambatan-hambatan yang bersifat ideologis dan mungkin juga adat istiadat yang
melembaga dengan kuat.
Pelembagaan hukum yang memperkukuh terjadinya perubahan sosial bisa saja
berawal dari peranan ajaran agama yang dianut dalam masyarakat yang bersangkutan.
Filsuf Marxis seperti Karl Mark memang menepis pendapat bahwa agama dapat
mempengaruhi perubahan- perubahan sosial.50
Namun kini diakui bahwa perubahan-perubahan sosial adalah hasil dari proses
yang amat kompleks, dimana antara semua faktor terdapat hubungan saling
mempengaruhi dan saling menentukan. Pendapat diatas didukung oleh banyak
pemikir lain seperti Ernest Bloch dan Milan Machovec yang juga meyakini bahwa
agama dapat jua menjadi suatu kekuatan yang revolusioner.51
Weber52, sekalipun ia mengakui bahwa teori rasionalitasnya dapat dipengaruhi
faktor-faktor eksternal seperti agama, namun ia menolak pandangan bahwa
perkembangan hukum dapat diakibatkan oleh tuntutan ekonomi. Pendapat Weber
mengenai yang disebut belakangan ini bersifat negatif artinya ia menolak pandangan
bahwa perkembangan dari hukum bisa dijelaskan sebagai suatu respon terhadap
tuntutan ekonomi.

50

Franz Magnis Suseno, Kuasa dan Moral, (Jakarta: Gramedia, 1995), hlm 77
Ibid hlm 78
52
Satcipto Rahardjo..Hukum dan Perubahan Sosial, (Bandung : Alumni, 1983), hal. 295.
51

Universitas Sumatera Utara

44

Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa untuk meninjau hubungan antara hukum
dan perubahan sosial lebih dulu perlu dilihat tempat hukum itu di dalam kerangka
masyarakat yang bersangkutan. Sehubungan dengan ini suatu teori yang
dikembangkan Talcott Parsons menjelaskan kerangka masyarakat yang serba meliputi
itu bertitik tolak dari tindakan individu bahkan juga dapat dikatakan bahwa teori
Parsons merupakan pengembangan yang lengkap mengenai tindakan dalam serba
perkaitannya yang luas.
Pada teori Parsons, tindakan individu pada tempatnya yang pertama tidaklah
dilihat sebagai suatu kelakuan biologis melainkan sebagai suatu kelakuan bermakna.
Tindakan seseorang itu senantiasa ditempatkan dalam suatu kaitan (sosial) tertentu
atau dengan perkataan lain merupakan tindakan yang berstruktur. Dengan demikian,
perhatian Parsons tertuju pada penyusunan konsep yang lengkap mengenai sistem
tindakan dan melihat sistem sosial sebagai suatu sistem yang terbuka yaitu yang
selalu mengalami proses saling pertukaran dalam bentuk masukan, dan keluaran
dengan lingkungannya.53
Perubahan sosial tersebut merupakan hal yang wajar, karena didalam
kebanyakan analisa sosiologi dinyatakan bahwa perubahan memang diperlukan, oleh
karena sifat hakekat dari prilaku-prilaku sosial. Artinya karena manusia selalu
mengadakan interaksi dengan sesamanya dan dengan adanya gerak serta tujuan dari
ikatan sosial, maka perubahan memang diperlukan.

53

Ibid hlm 25-30

Universitas Sumatera Utara

45

Perkawinan bukan hanya terjadi antara seorang laki-laki dengan perempuan
akan tetapi perkawinan tersebut juga merupakan perpaduan antara suatu keluarga dan
suatu belah dengan keluarga dan belah yang lain, perkawinan terjadi karena adanya
konsensus antara dua belah pihak dan para pihak mengetahui konsekwensi dari
konsensus tersebut, dengan demikian maka ungkapan murip betenes, mate berbedes
dan Ken penurip ni Murip; ken penanom mate; pemake ni jarum patah; penyapu ni
kubah kubur: pada masa lalu merupakan suatukonsekwensi yang dapat diterima oleh
para pihak dan dinikmati oleh pihak tersebut sebagai suatu kewajiban. Mungkin suatu
yang tidak tepat bila kebersahajaan tersebut kita amati dan analisis dengan kehidupan
kita pada saat ini, berubahnya pola hidup suku Gayo saat ini khususnya sejak tahun
sembilan belas enam puluhan maka telah terjadi pergeseran nilai dalam perkawinan
ini yang di kenal dengan kerje kuso kini ( bilateral), pergeseran nilai ini tidak terlepas
dari pola hidup masyarakat Gayo yang semakin berkembang dan juga andil dari
penerapan Undang-undang nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan yang
mengarahkan kehidupan rumah tangga menjadi lebih kearah bilateral.
Oleh karena adat istiadat tersebut tidak bersifat statis akan tetapi bersifat
dinamis dan terus berubah menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, kajian
ini berguna bagi kita bahwa didalam kehidupan masyarakat Gayo tempo dulu
penghormatan terhadap kedudukan perempuan dan laki-laki telah disejajarkan dan
tidak ada berat sebelah itulah mungkin kesetaraan gender ala suku Gayo pada

Universitas Sumatera Utara

46

kehidupan masa lalu, dan terasa aneh bila hal tersebut kita analisis dari kehidupan
sekarang. 54
Faktor-faktor yang mempengaruhinya tersebut antara lain:
a. Faktor Agama
Agama Islam telah lama masuk kedalam lingkungan adat Gayo. Dalam
perkembangannya secara bertahap ajaran Islam telah banyak merubah dan
menyempurnakan tata susunan adat lama. Selain itu agama Islam membawa
ajaran tentang hidup berkeluarga dan bertanggung jawab terhadap keluarga.
Ajaran itu berbeda dengan ajaran adat sebelumnya, dimana dalam perkawinan
angkap ini seorang anak hanya berhubungan dengan ibunya saja, sedangkan
menurut Islam hubungan itu juga termasuk dengan keluarga ayahnya.
b. Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi dapat dianggap sebagai faktor yang melandasi seseorang mau
diangkap, karena dengan ia diangkap maka ia mendapatkan hibah dari orang
tua si istri. Dengan berkembangnya perekonomian maka laki-laki yang
menjadi suami yang sudah merasa mampu untuk menghidupi keluarga sendiri
tanpa tergantung lagi kepada orang tua istri.
c. Faktor Pendidikan
Faktor pendidikan juga dapat mempengaruhi perkembangan bentuk
pekawinan terutama bagi yang melakukan pendidikan di rantau dan semakin

54

Hasil Wawancara dengan Ramli, Ketua Adat Kecamatan Pegasing, tanggal 18 Oktober

2014

Universitas Sumatera Utara

47

tingginya pendidikan mereka melakukan proses belajar maka cara berfikir
mereka biasanya menjadi semakin lebih maju dan terbuka.
Jadi Perkawinan Angkap masa kini telah banyak perubahan, namun masih kita
jumpai juga perkawinan angkap yang tidak sesuai sesuai dengan Hukum
Islam dan Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

Universitas Sumatera Utara