Studi Mengenai Pelaksanaan Perkawinan Angkap Di Kabupaten Aceh Tengah Dengan Berlakunya Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting dalam kehidupan manusia.
Perkawinan yang terjadi antara seorang pria dengan seorang wanita menimbulkan
akibat lahir maupun batin baik terhadap keluarga masing-masing masyarakat dan juga
dengan harta kekayaan yang diperoleh diantara mereka baik sebelum maupun selama
perkawinan berlangsung.
Setiap makhluk hidup memiliki hak azasi untuk melanjutkan keturunannya
melalui perkawinan, yakni melalui budaya dalam melaksanakan suatu perkawinan
yang dilakukan di Indonesia. Ada perbedaan-perbedaannya dalam pelaksanaan yang
disebabkan karena keberagaman kebudayaan dan kultur terhadap agama yang
dipeluknya.
Setiap orang atau pasangan (pria dengan wanita) jika sudah melakukan
perkawinan maka terhadapnya ada ikatan kewajiban dan hak diantara mereka berdua
dan anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Perkawinan menurut UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU
Perkawinan) 1, bukan hanya merupakan suatu perbuatan perdata saja, akan tetapi juga
merupakan suatu perbuatan keagamaan, karena sah atau tidaknya suatu perkawinan
tolak ukurnya sepenuhnya ada pada hukum masing-masing agama dan kepercayaan
yang dianutnya.


1

Universitas Sumatera Utara

2

Tata cara perkawinan di Indonesia tergolong beraneka ragam antara satu
dengan yang lainnya oleh karena di Indonesia mengakui adanya bermacam-macam
agama dan kepercayaan, yang tata caranya berbeda. Hal yang demikian
dimungkinkan dalam Negara Republik Indonesiayang berdasarkan Pancasila yang
dengan tegas mengakui adanya prinsip kebebasan beragama.
Perkawinan mempunyai akibat-akibat yang sangat penting dalam suatu
masyarakat yang mempunyai peradaban. Sehubungan dengan adanya akibat-akibat
perkawinan yang sangat penting tersebut, maka masyarakat membutuhkan suatu
norma atau kaidah yang mengatur tentang syarat-syarat untuk peresmiannya,
pelaksanaannya, kelanjutan serta berakhirnya perkawinan tersebut.
Dengan berlakunya Undang-undang Perkawinan, maka ikatan antara pria dan
wanita dapat dipandang sebagai suami istri yang sah, apabila ikatan mereka
dilaksanakan berdasarkan aturan dan ketentuan yang telah ditetapkan. Undangundang ini menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan

yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan warga
Negara Indonesia.21
Perkawinan dianggap sah apabila telah memenuhi syarat yang ditentukan
dalam undang-undang baik secara internal dan eksternal.Artinya, apabila pria dan
wanita yang berniat melaksanakan perkawinan telah siap lahir dan batin, dan juga
siap dari segi materi untuk menopang kebutuhan hidup setelah perkawinan

2

Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, (Indonesia Legal Center
Publishing, Jakarta, 2011), hlm 2

Universitas Sumatera Utara

3

dilaksanakan, serta dilaksanakan sesuai dengan syarat sah dari agama yang dianut dan
Undang-undang yang berlaku. Tujuan perkawinan menurut Undang-Undang nomor 1
tahun 1974 telah dirumuskan secara ideal karena bukan hanya melihat dari segi lahir
saja melainkan sekaligus terdapat pertautan batin antara suami isteri yang ditujukan

untuk membina suatu keluarga atau rumah tangga yang kekal dan bahagia bagi
keduanya dan yang sesuai dengan kehendak Tuhan yang Maha Esa.23
Menurut paham ilmu bangsa-bangsa (ethnologi) dilihat dari keharusan dan
larangan mencari calon istri bagi seorang pria, perkawinan itu dapat berlaku dengan
sistem endogami dan sistem eksogami yang kebanyakan dianut oleh masyarakat
hukum adat bertali darah dan atau dengan sistem eleutherogami sebagaimana berlaku
di kebanyakan masyarakat adat terutama yang banyak dipengaruhi hukum Islam.4
Oleh karena itu, sistem perkawinan pada masyarakat hukum adat di Indonesia
dibedakan menjadi tiga, yaitu :
1.

2.

3.

Sistem Endogami
Pada sistem ini, seseorang hanya diperbolehkan kawin dalam keluarganya
sendiri. Sistem perkawinan ini hanya ada di daerah Toraja namun sebenarnya
sistem ini tidak sesuai dengan sistem kekerabatan di daerah itu yaitu parental
atau bilateral.

Sistem Eksogami
Pada sistem ini seseorang harus kawin dengan orang dari luar suku keluarganya.
Sistem ini terdapat di daerah Gayo, Alas, Tapanuli, Minangkabau, Sumatera
Selatan, Buru dan Seram.
Sistem Eleutherogami
Pada sistem ini tidak dikenal adanya larangan-larangan atau keharusan-keharusan
kawin dengan kelompok tertentu. Larangan-larangan yang ada hanyalah yang
bertalian dengan ikatan darah atau kekeluargaan yang dekat. Sistem ini terdapat
2

Prakoso, Djoko dan Murtika, Asas-Asas Hukum Perkawinan di Indonesia, (PT. Bina Aksara,
Jakarta, 1987) hlm 4.
4
Ibid hlm 67

Universitas Sumatera Utara

4

di daerah Aceh, Sumatera Timur, Sulawesi Selatan, Minahasa, Ternate, Irian

Barat, Bali, Lombok, Bangka-Belitung, Kalimantan dan seluruh Jawa Madura.5
Dikarenakan sistem kekerabatan yang dianut oleh masyarakat adat Indonesia
berbeda maka terdapat pula berbagai bentuk perkawinan yang berbeda pula, yaitu
perkawinan jujur pada masyarakat patrilineal, perkawinan semanda dalam
masyarakat matrilineal dan perkawinan mentas pada masyarakat parental/bilateral.
Sedangkan pengertian masing-masing sistem kekerabatan yang dikenal pada
masyarakat hukum adat Indonesia yaitu :
1. Sistem patrilineal menyatakan bahwa suatu masyarakat hukum dimana para
anggotanya menarik garis keturunan ke atas melalui garis bapak, bapak dari
bapak, terus ke atas sehingga akhirnya dijumpai seorang laki-laki sebagai
moyangnya. Contoh : Batak, Bali, Lampung, Ambon dll.
2. Sistem matrilineal menyatakan bahwa suatu masyarakat hukum dimana para
anggotanya menarik garis keturunan ke atas melalui garis ibu, ibu dari ibu,
terus ke atas sehingga akhirnya dijumpai seorang perempuan sebagai
moyangnya. Contoh : Minangkabau, Enggano, dll. 3
3. Sistem parental atau bilateral menyatakan bahwa suatu masyarakat hukum
para anggotanya menarik garis keturunan ke atas melalui garis bapak dan4 ibu,
terus ke atas sehingga akhirnya dijumpai seorang laki-laki dan 5 seorang 6
perempuan sebagai moyangnya. Contoh: Jawa, Sumatera Timur, Sulawesi,
6


Kalimantan dll
Bentuk perkawinan pada masyarakat patrilineal yang menarik garis
kekeluargaan dari pihak ayah mengenal bentuk perkawinan eksogami. Misalnya,
bentuk perkawinan jujur pada masyarakat Batak yang mengharuskan adanya
perbedaan klan antara calon mempelai laki-laki dengan perempuan sehingga pihak
laki-laki menarik pihak perempuan untuk masuk dalam klannya.7

5

Surojo Wignojodipuro,Pengantar Dan Azas Azas Hukum Adat.PT .TokoAgung , Jakarta
1994, hlm 159-160
6
I.G.N.Sugangga, Hukum Waris Adat (Semarang: Universitas Diponegoro, 1995), hlm 14-15
7
R.Otje Salman Soemandiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, (Bandung:
Alumni, 2002), hlm 177

Universitas Sumatera Utara


5

Masyarakat patrilineal memiliki ciri mempertahankan kelangsungan generasi
keluarganya. Oleh karena itu, dikenal beberapa larangan perkawinan, yaitu larangan
kawin dengan keluarga dari marga yang sama atau larangan kawin timbal balik antara
dua keluarga yang walaupun berbedaklan tetapi telah atau pernah terjadi hubungan
perkawinan (asymmetrisch connubium) di antara dua keluarga yang bersangkutan.
Perkawinan harus dilaksanakan manunduti atau melakukan perkawinan
berulang searah dari satu sumber bibit, pihak penerima dara (boru, anak beru)
dianjurkan dan dikehendaki untuk tetap mengambil dara dari pemberi dara (hulahula, kalimbubu). Idealnya adalah seorang laki-laki kawin dengan perempuan anak
dari paman saudara ibunya. Tetapi tidak dibenarkan adanya perkawinan antara anak
bersaudara ibu.8
Sedangkan pada masyarakat matrilineal seperti di Minangkabau yaitu laki-laki
dan wanita yang masih satu suku dilarang melakukan perkawinan karena akan
menyebabkan pecah suku.
Lain lagi dalam masyarakat parental/bilateral, misalnya masyarakat Jawa
Barat, karena bentuk perkawinan yang dilaksanakan adalah kawin bebas
mengakibatkan setiap orang boleh kawin dengan siapa saja sepanjang tidak dilarang
oleh hukum adat setempat atau karena alasan agama. Artinya, syarat sahnya suatu
perkawinan tidak ditentukan oleh faktor-faktor yang berhubungan dengan klan

seseorang, baik di luar maupun di dalam satu klan tertentu.Pada dasarnya pelaksanaan
perkawinan warga masyarakat Indonesia telah dominan dipengaruhi oleh hukum adat.
8

Hilman Hadikusuma, Op.cit, hlm 100

Universitas Sumatera Utara

6

Dikarenakan i masyarakat beraneka ragam suku bangsanya, sudah pasti beraneka
ragam pula hukum adat yang hidup ditanah air Indonesia.iiPada dasarnya pelaksanaan
perkawinan yang dilakukan oleh masyarakat Suku Gayo sama halnya dengan
perkawinan adat masyarakat Indonesia terutama yang menganut agama Islam.
Suku Gayo merupakan bagian dari wilayah kekuasaan Sultan Iskandar Muda
dari kesultanan Aceh, suku Gayo adalah suku minoritas yang berbeda kebudayaanya
dengan budaya suku Aceh.
Dalam adat perkawinan Suku Gayo ada

model perkawinan “Angkap”,.


Perkawinan Angkap terjadi jika suatu keluarga tidak mempunyai anak lelaki,dan
berminat mendapat seorang menantu lelaki, maka keluarga tersebut meminang sang
pemuda (umumnya lelaki berbudi baik dan alim) inilah yang dinamakan “Angkap
Berperah, Juelen Berango” (Angkap dicari/diseleksi, Juelen diminta). Menantu lelaki
ini disyaratkan supaya selamanya tinggal dalam lingkungan keluarga pengantin
wanita dan dipandang sebagai pagar pelindung keluarga. Sang menantu mendapat
harta waris dari keluarga Istri. Dalam konteks ini dikatakan “Anak angkap penyapuni
kubur kubah, si muruang iosah umah, siberukah iosah ume” (menantu lelaki penyapu
kubah kuburan, yang ada tempat tinggal beri rumah, yang ada lahan beri sawah).9
Perkawinan angkap ini dapat dibedakan menjadi dua macam angkap, yaitu
angkap nasap dan angkap sementara. Pada perkawinan angkap nasap menyebabkan
suami kehilangan belahnya, karena telah ditarik ke dalam belah istrinya. Jika terjadi
perceraian karena cere banci (cerai perselisihan) dalam kawin angkap nasap ini,

9

Batavusqu
“Pernikahan
adat

masyarakat
gayo
aceh”,http://Zipuer
7,
Wordpress.com/2009/10/04/pernikahan –adat-masyarakat-gayo-aceh,diakses pada tanggal 10 juni
2014

Universitas Sumatera Utara

7

menyebabkan terjadinya perubahan status suaminya karena suami harus kembali
kebelah asalnya, dan tidak diperbolehkan membawa harta tempah, kecuali harta
sekarat.
Namun jika terjadi cere kasih, misalnya istri meninggal, maka mantan
suaminya tetap tinggal dalam belah istrinya. Pada suatu ketika, saat mantan suami
tersebut akan dikawinkan kembali oleh belah istrinya dengan salah seorang anggota
kerabat istrinya. Jika yang meninggal itu adalah suaminya, maka istrinya pada belah
asalnya. Namun jika yang meninggal tersebut mempunyai keturunan, maka harta
tempah peninggalannya jatuh ketangan anak keturunannya.

Kawin

angkap sementara pada masyarakat Gayo juga disebut dengan

angkap edet. Seorang suami dalam waktu tertentu menetap dalam belah istrinya
sesuai dengan perjanjian saat dilakukan peminangan. Status sementara itu tetap
berlangsung terus selama suami belum mampu memenuhi semua persyaratan yang
telah ditetapkan waktu peminangannya.
Jika terjadi perceraian dalam bentuk cere banci, suami akan kembali kedalam
pihak belahnya, dan

harta sekarat akan dibagi-bagi, jika syarat-syarat

angkap

sementara telah dipenuhi oleh suami, sedangkan harta tempah tidak, misalnya istri
meninggal, maka suami tidak akan berubah statusnya sampai masa perjanjian angkap
selesai. Oleh karena itu, menjadi kewajiban belah istrinya untuk mengawinkan
kembali dengan salah seorang kerabatnya.710
Tidak ada penegasan tentang berlakunya hukum adat sebagai dasar keabsahan
perkawinan.Bahkan M. Yahya Harahap berpendapat :
“bahwa undang-undang ini telah menggeser hukum adat. Landasan primer
dalam suatu perkawinan telah diambil alih oleh undang-undang ini sedangkan
10

Wwancara dengan Yahya Arias, Ketua Adat kampung pasar pagi lama, hari selasa 7
oktober 2014 pukul 14:00 WIB

Universitas Sumatera Utara

8

hukum adat semata-mata sebagai unsur komplementer atau sekunder yang tidak
menentukan lagi sahnya suatu perkawinan, perceraian maupun hal-hal lain yang
berhubungan dengan pemeliharaan anak”.11
Asas-asas perkawinan dalam Hukum Adat adalah merupakan urusan kerabat,
keluarga, persekutuan, martabat, bisa merupakan urusan pribadi, bergantung kepada
tata susunan masyarakat yang bersangkutan. Bagi kelompok-kelompok yang
menyatakan diri sebagai kesatuan-kesatuan, sebagai persekutuan-persekutuan hukum
(kaum kerabat), perkawinan para pria dan wanita adalah sarana untuk melangsungkan
hidup kelompoknya secara tertib dan teratur. Namun di dalam lingkungan
persekutuan-persekutuan

kerabat,

perkawinan

juga

selalu

merupakan

cara

meneruskan 8 garis keluarga tertentu yang termasuk persekutuan tersebut, jadi
merupakan urusan keluarga, urusan bapak/ibu selaku inti keluarga yang
bersangkutan.129
Perkawinan dalam arti “Perikatan Adat”, ialah perkawinan yang mempunyai
akibat hukum terhadap hukum adat, yang berlaku dalam masyarakat yang
bersangkutan.Akibat hukum ini telah ada sejak perkawinan terjadi, yaitu misalnya
dengan adanya hubungan pelamaran yang merupakan “rasah sanak” (hubungan anakanak, bujang gadis) dan “Rasah Tuha” (hubungan antara keluarga dari para calon
suami-istri).13

11

M.Yahya Harahap, Kedudukan Janda, Duda dan Anak Angkat dalam Hukum Adat,
Bandung: 1993 Citra Aditya Bakti
12
Iman Sudiyat, Hukum Adat, Sketsa Adat, Liberty, (Yogyakarta: 1987), hlm 107
13
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat (Alumni Bandung: 1977) hlm 28

Universitas Sumatera Utara

9

Menurut hukum adat lokal perkawinan bukan hanya merupakan perbuatan
sosial, kultur, magis-religius tetapi juga perbuatan hukum. Disebut juga sebagai
perbuatan sosial karena perkawinan itu merupakan produk sosial. Perbuatan sosial
artinya secara sosiologis perkawinan mengikat semua unsur dalam kehidupan sosial,
baik individu-individu maupun masyarakat, bahkan masyarakat itu sendiri. Disebut
perbuatan magis-religius karena dalam perkawinan melibatkan roh-roh leluhur dan
agama. Ada upacara dan ritual yang wajib dilakukan agar selamat baik dalam prosesi
perkawinan maupun dalam perjalanan rumah tangga dari pasangan yang
melangsungkan perkawinan tersebut.14
Dalam perkembangan kehidupan yang berlanjut sejauh hingga abad 21
ini,terlihat suatu realitas dari yang lama ke yang baru yaitu nasional dan modern
bahkan postmodern dan global bahwa hukum selalu berubah,20 Bagi manusia yang
selalu hidup bermasyarakat, perkawinan memiliki nilai yang sangat tinggi.15
Perkawinan merupakan sumbu keberlangsungan hidup manusia.Perkawinan
memiliki multi makna. Ada makna religius, makna ekonomis, makna sosial dan
makna yuridis. Oleh karena itu, setiap orang, keluarga, kerabat, atau masyarakat
berusaha untuk mewujudkannya dengan berbagai bentuk upacara dan ritual. Dalam
kaitannya dengan itu, perkawinan memiliki potensi kemanfaatan, kesejahteraan, dan

14
Dominikus Rato, Hukum Perkawinan Adat (Sistem Kekerabatan, Bentuk Perkawinan dan
Pola Pewarisan Adat di Indonesia), Laksbang Yustitia, Surabaya 2011, hlm 29
15
Soetandyo Wignjosubroto, Membangun Kesatuan Hukum Nasional Untuk dan dalam Suatu
Masyarakat Muhammadyah Yang Majemuk: Sebuah Masalah Transformasi Budaya Muhammadyah
University Press, Surakarta hlm 117

Universitas Sumatera Utara

10

kemakmuran sekaligus menyimpan potensi pertentangan, konflik, saling gugat di
pengadilan, perkelahian, pembunuhan bahkan peperangan.16
Namun perlu dicatat bahwa perkawinan angkap, kalau boleh di katakan, telah
mengalami perubahan. Hal ini akibat serbuan nilai-nilai baru, baik yang berasal dari
agama Islam maupun dari nilai-nilai barat. Walau demikian adat ini bukan berarti
hilang, ia masih bisa ditemukan di daerah-daerah yang masih kuat menjalankan adat
istiadatnya.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, perlu suatu penelitian lebih lanjut
mengenai Perkawinan Angkap di Kabupaten Aceh Tengah, yang10dituangkan dalam
judul tesis “Studi Mengenai Pelaksanaan Perkawinan Angkap Pada Masyarakat
Gayodi Kabupaten Aceh Tengah Dengan Berlakunya Undang-Undang Nomor: 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan.”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah maka dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut:
1.

Bagaimana Pelaksanaan Perkawinan Angkap pada masyarakat Gayo di
Kabupaten Aceh Tengah?

2.

Bagaimana Pertentangan Perkawinan Angkap dengan hukum Islam maupun
Undang-Undang Nomor: 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ?

3.

Bagaimana Akibat Hukum dari Perkawinan Angkap pada masyarakat Gayo di
Kabupaten Aceh Tengah?
16

Dominikus Rato, Op.cit, hlm 43

Universitas Sumatera Utara

11

C. Tujuan Penelitian
Penelitian merupakan bagian pokok ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk
lebih mendalami segala aspek kehidupan, disamping itu juga merupakan sarana untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan, baik dari segi teoritis maupun praktis.17 Adapun
tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
1.

Untuk mengetahui bagaimana Pelaksanaan Perkawinan Angkap pada masyarakat
Gayo di Kabupaten Aceh Tengah.

2.

Untuk mengetahui bagaimana Pertentangan Perkawinan Angkap dengan Hukum
Islam maupun Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan.

3.

Untuk mengetahui bagaimana akibat hukum dari perkawinan angkap pada
masyarakat Gayo di Kabupaten Aceh Tengah?

D. Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian dan manfaat penelitian merupakan satu rangkaian yang
hendak dicapai bersama, Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik
secara teoritis dan praktis, yaitu:
1.

Manfaat Teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah

pengetahuan dan wawasan serta sebagai referensi tambahan pada program studi
Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Medan, khususnya Studi
Mengenai Pelaksanaan Perkawinan Angkap pada Masyarakat Gayo di Kabupaten

17

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta UI Press, 1988), hlm 3

Universitas Sumatera Utara

12

Aceh Tengah Dengan Berlakunya Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974, tentang
Perkawinan.
2.

Manfaat Praktis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan masukan

bagi kalangan akademisi, praktisi, maupun masyarakat umumnya serta dapat
bermanfaat bagi pihak-pihak yang ingin melakukan penelitian dibidang yang sama.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan, baik
berdasarkan

peneltian

sebelumnya,

khususnya

pada

Magister

Kenotariatan

Universitas Sumatera Utara, dan sejauh yang telah diketahui bahwa belum ditemui
adanya penelitian yang berkaitan dengan judul tesis ini
Yaitu Studi Mengenai Pelaksanaan Perkawinan Angkap pada masyarakat
Gayo di Kabupaten Aceh Tengah Dengan Berlakunya Undang-Undang Nomor: 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, belum pernah diteliti oleh para Mahasiswa
Kenotariatan yang lain.
Namun pada tahun 2010, Almasyita Dalimunthe, mahasiswa Magister
Kenoktariatan Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara pernah melakukan
penelitian mengenai “Eksistensi Perkawinan Adat pada Masyarakat Mandailing di
Kota Medan”, yang membahas:
1.

Bagaimana akibat hukum dari Perkawinan yang dilangsungkan secara adat.

2.

Mengapa masih ada masyarakat adat yang melakukan secara adat.

Universitas Sumatera Utara

13

F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1.

Kerangka Teori
Menurut M.Solly Lubis yang menyatakan konsepsi merupakan kerangka

pemikiran atau butir-butir pendapat mengenai suatu kasus ataupun permasalahan
(problem) yang bagi pembaca menjadi bahan perbandingan, pegangan teoriyang
mungkin ia setuju ataupun tidak disetujuinya merupakan masukan eksternal bagi
peneliti.18
Kerangka teori dalam penelitian hukum sangat di perlukan untuk membuat
jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofinya
yang tertinggi.19
Menurut Mukti Fajar, teori adalah suatu penjelasan yang berupaya untuk
menyederhanakan pemahaman mengenai suatu fenomena atau teori juga merupakan
simpulan dari rangkaian berbagai fenomena menjadi sebuah penjelasan yang sifatnya
umum.20 Sedangkan suatu kerangka teori bertujuan menyajikan cara cara untuk
bagaimana mengorganisasi dan menginterpretasi hasil- hasil penelitian dan
menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian yang terdahulu.21
Ciri matrilineal yang dianut oleh masyarakat Gayo yang melaksanakan
perkawinan angkap bertentangan dengan apa yang dikatakan oleh Mr Van der Berg.
Dimana menurut Mr Van der Berg hukum adat atau hukum kebiasaan adalah hukum
18

M.Solly Lubis (I), Filsafat ILmu dan Penelitian, (Bandung: CV. Mandar Maju, 1994 ),

hlm80
19

Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 1991), hlm 254
Mufti Fajar et al, Dualisme penelitian Hukum Normatif Dan Empiris, (Yogyakarta: PT
Pustaka Pelajar, 2010), hlm 134
21
Burhan Ashsofa, Metodelogi Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), hlm 19
20

Universitas Sumatera Utara

14

agama22, maka masyarakat Gayo yang hampir seluruhnya memeluk agama Islam,
maka hukum adatnya adalah hukum Islam. Namun ciri matrilineal pada perkawinan
angkap ini bertentangan dengan hukum Islam.
Teori Van den Berg ini mendapat kritikan dari sarjana-sarjana lain, seperti
Snouck Hurgronje dalam bukunya De Atjhehers, Van Ossenbruggen dalam bukunya
Oorsprong en eerte ontwikkeling van het testeer en voog dijrect, I.A. Nederburgh
dalam bukunya Wet en Adat. Van Vollenhoven dalam bukunya Het adatrecht van
Ned.Indie. Piepers dalam bukunya Tijdschift Von Ned.Indie. Serta seorang sarjana
Ameriaka Clve day yang mengkritik teori Van den Berg dalam bukunya The dutch in
Java.23
Maka muncullah teori resepsi akibat penolakan dari teori yang dikemukakan
oleh Van der Bergh. Teori ini dimunculkan pertama kali oleh Christian Snouck
Hurgronje (1857-1936), yang disampaikannya secara panjang lebar dalam bukunya
De Atjehers. Teori ini kemudian dilanjutkan oleh Cornelis van Vollenhoven ( 18741933), seorang sarjana dan ahli di bidang hukum adat, yang memperkenalkan hukum
adat Indonesia (Indisch Adatrecht). Teori resepsi ini dikemukakan oleh Van
Vollenhoven dalam bukunya Het Adatrecht van Nederlandsch Indie.24

22
23

Saidus Syahar,Asas-Asas Hukum Islam, Alumni Bandung, 1994 hlm 136
Soerojo Wignjodipoero, Meninjau Hukum Adat Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 1985,

hlm 54.
24

Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Ichtiar baru van Hoeve, Jakarta, 1977,

hal.1493.

Universitas Sumatera Utara

15

Secara etimologis, kata resepsi berasal dari bahasa latin reception yang berarti
“penerimaan”. Secara terminologis, teori resepsi berarti “penerimaan hukum asing
sebagai salah satu unsur hukum asli”.25
Hukum asing di sini adalah hukum agama, sedangkan hukum asli adalah
hukum adat. Oleh karena itu, teori resepsi adalah penerimaan hukum Islam oleh
hukum adat, atau dengan kata lain pengaruh hukum Islam baru mempunyai kekuatan
hukum kalau telah diterima oleh hukum adat dan diperlakukan sebagai hukum adat,
bukan sebagai hukum Islam.
Snouck Hurgronje dengan teori resepsi membantah teori receptio in complexu
dengan mengatakan bahwa tidak semua hukum agama diterima dalam hukum adat.
Hanya beberapa bagian dari hukum agama yang dapat mempengaruhi hukum adat,
yakni berkaitan dengan kepercayaan dan hidup batin, seperti hukum keluarga, hukum
perkawinan dan hukum waris.26
Sementara menurut Van Vollenhoven, teori receptio in complexu itu bergaya
seperti hukum Belanda yang dimasukkan ke dalam cetakan hukum Romawi (codex
Justinianus). Dengan cara seperti hukum adat dimasukkan ke dalam hukum Islam,
misalnya. Jadi susunan hukum adat menurut Van den Berg berbeda dengan hokum
adat yang ada. Hukum adat yang ada bukan berasal dari hukum Islam, melainkan
berasal dari hukum “Melayu-Polynesia” ditambah dengan unsur-unsur agama.

25
26

Ibidhlm 125
Imam Sudiyat, Asas-Asas Hukum Adat, Pengatar Liberty, Yogyakarta, 1991, hlm.3.

Universitas Sumatera Utara

16

Hukum agama itu baru dapat berlaku dalam masyarakat apabila telah diresapi
(diterima) oleh hukum adat dan jadilah ia sebagai hukum adat Indonesia.27
Hazairin, seorang ahli hukum adat dan hukum Islam di Indonesia, sangat
menentang teori resepi yang di sampaikan oleh Snouck Hurgronje. Menurutnya,
kalimat sila pertama dalam Piagam Jakarta telah ditegaskan lagi oleh TAP No.II
MPRS/1960 yang mengatur syariat Islam itu dengan undang-undang. Oleh karena itu,
teori resepsi tidak berlaku lagi bagi Hazairin mengemukakan teori dengan nama
“teori resepsi exit”, yang berarti bahwa teori resepsi itu harus keluar dari bumi
Indonesia dan ini merupakan “teori iblis” yang merusak iman orang Islam dan
menetang Al-Qur’an.28
Sajuti Thalib, seorang murid Hazairin, mengemukakan teori yang senada
dengan teori resepsi exit, yaitu teori receptio a contrario (penerimaan yang
sebaliknya). Menurut teori ini hukum Islamlah yang berlaku bagi umat Islam dan
hukum adat baru bisa berlaku jika tidak bertentangan dengan hukum Islam.29
Teori ini muncul karena Sajuti Thalib tidak setuju dengan teori Van Den Berg
yang menyatakan bahwa hukum adat bangsa Indonesia adalah hukum agama sendiri,
seakan-akan hukum adat itu asli itu tidak ada sama sekali. Menurut Sajuti Thalib,
hukum adat tetap ada karena berasal dari budaya serta tradisi suatu bangsa dan
berlaku jika tidak bertentangan dengan hukum Islam. Bahkan ia lebih tidak setuju lagi

27

Abdul Azis Dahlan, Op.cit, hlm 1494-1495
Ibid, hlm.1496.
29
Sayuti Thalib, Receptio a Contrario, Hubungan Hukum adat dengan Hukum Islam, Bina
Aksara, Jakarta, 1985, hlm.62
28

Universitas Sumatera Utara

17

dengan teori yang dikemukakan oleh Snouck Hurgronje yang merendahkan
kedudukan hukum Islam, yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah, serta
mengangkat derajat hukum adat.30
Teori resepsi yang tercantum dalam Pasal 134 (2) IS dianggap tidak berlaku
lagi setelah Indonesia merdeka dengan disahkannya Undang-Undang Dasar sebagai
konstitusi RI pada tanggal 18 Agustus 1945, maka dengan sendirinya Menghapus I.S
yang secara keseluruhan adalah sebagai konstitusi yang dibuat oleh pemerintah
Hindia Belanda untuk Hindia Belanda.
Dalam hukum Islam anak adalah keturunan dari ayahnya, maka ayah
mempunyai kuasa terhadap anaknya. Hal ini berbeda dengan hukum adat Gayo dalam
perkawinan angkap dimana ayah atau suami dalam suatu keluarga tidak mempunyai
kuasa terhadap anaknya. Dikarenakan anak adalah keturunan dari ibunya atau klan
ibunya.
Dalam hal syarat perkawinan dalam hukum Islam ada ketentuan yang
mengatur rukun dan syarat perkawinan, apakah hal ini juga terdapat pada masyarakat
Gayo dalam perkawinan angkap dan bagaimana akibat dari suatu perkawinan
terhadap kedudukan suami dan isteri, hubungan orang tua dengan anak dan harta
benda dalam perkawinan.
Kesadaran hidup dalam masyarakat adalah nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat tentang hukum yang meliputi pemahaman, penghayatan, dan kepatuhan
atau ketaatan pada hukum, agar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara terdapat
30

Abdul Azis Dahlan, Op.cit, hlm. 1496

Universitas Sumatera Utara

18

keseimbangan antara keinginan untuk mengadakan pembaharuan hukum perundangundang dengan kesadaran untuk memperhatikan kenyataan yang hidup dalam
masyarakat dengan memperhatikan hukum yang hidup (living law) dalam masyarakat
tersebut.31 Peraturan-peraturan hukum tersebut sumbernya sama maka masing-masing
peraturan hukum tadi satu sama lain ada hubungannya yang erat, juga suatu peraturan
hukum menjadi dasarnya daripada peraturan hukum yang lebih rendah tingkatnya,
dan tarakhir menjadi dasar pola daripada peraturan hukum yang lebih rendah lagi
tingkatannya. Demikian seterusnya sehingga ada urutan dalam tingkatannya, hirarki,
dari yang paling rendah tingkatannya sampaipada yang paling tinggi, dan yang
tertinggi tingkatannya itu adalahyang disebut norma dasar tadi.
Menurut hukum adat, perkawinanbisa merupakan urusan kerabat, keluarga,
persekutuan, martabat, bisa merupakan urusan pribadi, bergantung kepada tata
susunan masyarakat yang bersangkutan. Hukum adat merupakan rangkaian penerapan
azas azas hukum pada kasus kasus yang konkrit, adalah hukum bagi masyarakatmasyarakat tradisionil yang sederhana dan terbatas ruang lingkupnya, dengan warga
yang belum tinggi pengetahuannya belum banyak jenis kebutuhannya.
Untuk memenuh kebutuhan masyarat modern hukum adat memerlukan
penyempurnaan, baik dalam bentuk maupun penerapan azas-azas hukumnya sesuai
dengan keadaan masyarakatnya yang berbeda.323234342835

31

Ibid, hlm 191
Badan Pembina Hukum Nasional, Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional,
(Yogyakarta: Bina Cipta 19975) hlm 55
32

Universitas Sumatera Utara

19

Bagi kelompok yang menyatakan diri sebagai kesatuan kesatuan sebagai
persekutuan persekutuan hukum, perkawinan para warga adalah sarana untuk
melangsungkan hidup kelompoknya secara tertib dan teratur. Namun di dalam
lingkungan persekutuan-persekutuan kerabat itu perkawinan juga selalu merupakan
carameneruskan garis keluarga tertentu yang termasuk persekutuan tersebut, jadi
merupakan urusan keluarga, urusan bapak ibunya selaku inti keluarga yang
bersangkutan pada tata susunan kerabat yang berkonsekuensi unilateral perkawinan
itu juga merupakan sarana yang mengatur hubungan semenda antara kelompok
kelompok yang bersangkutan, perkawinan merupakan bagian dari lalulintas sehingga
bagian bagian yang dapat mempertahankan atau memperbaiki posisi keseimbangan
dalam suku, didalam keseluruhan warga suku.33
2.

Kerangka Konsepsi
Sejalan dengan landasan teori tersebut, maka dalam penulisan hukum

diperlukan kerangka konsepsional. Kerangka konsepsional merupakan kerangka yang
menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang ingin atau akan diteliti.
Konsep bukan merupakan gejala yang akan diteliti, akan tetapi merupakan suatu
abstraksi dari gejala tersebut. Gejala itu sendiri dinamakan fakta, sedangkan konsep
merupakan suatu uraian mengenai hubungan-hubungan dalam fakta tersebut.34
Oleh karena itu, untuk menghindarkan terjadinya perbedaan penafsiran
terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini, maka dipandang perlu
untuk mendefinisikan beberapa konsep penelitian agar secara operasional diperoleh

33
34

Usman Adji, Kawin Lari dan Kawin Antar Agama (yogyakarta: Liberty 1997), hlm 105-106
Soerjono Soekanto, Op.cit hlm 132

Universitas Sumatera Utara

20

hasil penelitian yang sesuai dengan makna variabel yang ditetapkan dalam topik,
yaitu :
a. Eksistensi
Eksistensi adalah keberadaan dari sesuatu hal yang masih dapat/tidak
dipertahankan.
b. Perkawinan Angkap.
Perkawinan Angkap adalah bentuk perkawinan yang memiliki ketentuanketentuan yang harus ditaati. Pihak laki-laki atau suami ditarik kedalam belah
keluarga istri,dapat dikatakan kawin Angkap adalah sibanan kin rawan
(perempuan menjadi pengganti laki-laki) dan sirawan kin banan (laki-laki
menjadi atau pengganti perempuan), penurip murip penanom mate, pemaku
jarum patah(menghidupkan yang hidup, mengebumikan yang mati dan
memaki jarum patah),artinya adalah anak laki-laki yang nikah atau kawin
angkap pindah menjadi anggota keluarga atau warga kampong/klen pihak
perempuan dan berkewajiban membantu orang tua istrinya ketika masih hidup
dan mengurus jenazahnya ketika mereka meninggal. Oleh karena itu ia berhak
memakai harta peninggalan mertuanya dan itu sebagai hibah. Jika istrinya
ingkar tentang ketentuan nikah angkap disebut mah mas se (habis emasnya
atau habis hartanya) artinya harta yang ia miliki menjadi milik suaminya dan
kalau suaminya yang ingkar dari ketentuan nikah angkap ini disebut meh

Universitas Sumatera Utara

21

nyawa ye (berakhir nyawanya) artinya dia tidak mendapat dan memiliki apaapa dari status nikah angkap itu.35
c.

Perkawinan dalam pandangan hukum adat.
Perkawinan adalah urusan kerabat urusan keluarga, urusan masyarakat, urusan
martabat dan urusan pribadi dan begitu pula ia menyangkut urusan
keagamaan.36
Artinya perkawinan itu bukan saja berarti sebagai perikatan perdata, tetapi
juga sekaligus merupakan perikatan kekerabatan dan ketetanggaan. Jadi
terjadinya suatu ikatan perkawinan bukan semata-mata membawa akibat
terhadap hubungan-hubungan keperdataan, seperti hak dan kewajiban suamiistri, harta bersama, kedudukan anak dan kewajiban orang tua, tetapi juga
menyangkut

tentang

hubungan-hubungan

adat-istiadat,

kewarisan,

kekerabatan serta menyangkut upacara-upacara adat dan keagamaan.
Begitu pula menyangkut kewajiban mentaati perintah dan larangan agama,
baik dalam hubungan manusia dengan Tuhannya (ibadah) maupun hubungan
manusia dengan sesama manusia (mu’amalah) dalam pergaulan hidup agar
selamat di dunia dan selamat di akhirat.37

35

Batavusqu
“Pernikahan
adat
masyarakat
gayo
aceh”,http://Zipuer
7,
Wordpress.com/2009/10/04/pernikahan –adat-masyarakat-gayo-aceh,diakses pada tanggal 10 juni
2014
36
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung: Mega Jaya Abadi, 1990),
hlm 23
37
Ter Haar, Beginselen en Stelsel Van het Adatrecht, diterjemahkan oleh Soebekti dalam
Asas-asas dan Susunan Adat,(Jakarta: PT. Pradnya Pramita 1997), hlm 158

Universitas Sumatera Utara

22

G. Metode Penelitian
Metode penelitian berasal dari kata “Metode dan Logos”. Metode yang artinya
adalah cara yang tepat untuk melakukan sesuatu dan logos yang artinya ilmu atau
pengetahuan. Jadi metodologi artinya cara melakukan sesuatu dengan menggunakan
pikiran secara seksama untuk mencapai suatu tujuan. Penelitian adalah suatu kegiatan
untuk mencari, mencatat, merumuskan dan menganalisis sampai menyusun
laporannya.38
Penelitian

sebagai

suatu

sarana pokok

dalam pengembangan

ilmu

pengetahuan dan teknologi bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran-kebenaran
secara sistematis, metodologis dan konsisten karena melalui proses penelitian tersebut
dilakukan analisis dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah.
1.

Sifat Penelitian dan Jenis Penelitian
Ditinjau dari segi sifatnya, penelitian ini bersifat deskriptif analitis39 berarti

menggambarkan serta menjelaskan Studi Mengenai Pelaksanaan Perkawinan Angkap
Pada Masyarakat Gayo di Kabupaten Aceh Tengah Dengan Berlakunya UndangUndang Nomor: 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Jenis Penelitian dalam penelitian ini adalah yuridis empiris40 untuk
mengetahui sejauh mana hukum itu dapat mengakibatkan perubahan social dilakukan
maka diperlukan suatu pengkajian bagaimana hukum bekerja dapat mengubah
38

Bambang Sunggono, Metode Penelitian hukum Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Grpindo
Persada 2001), hlm 3
39
Ronny Hanitidjo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, (Jakarta Ghalia
Indonesia 1990), hlm 14
40
Cholid Narbuho Dan Haji Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, (Jakarta: PT. Bumi Aksara
2002) hlm 1

Universitas Sumatera Utara

23

kehidupan sehari-hari yaitu dengan menselaraskan dengan peraturan yang ada baik
hukum Islam maupun Undang-undang nomor 1 tahun 1974.
2.

Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis empiris yaitu

pendekatan dengan melihat sesuatu kenyataan hukum di dalam masyarakat,
digunakan untuk melihat aspek-aspek hukum dalam interaksi sosial di dalam
masyarakat, dan berfungsi sebagai penunjang untuk mengidentifikasi dan
mengklarifikasi temuan bahan non hukum bagi keperluan penelitian atau penulisan
hukum.41
3.

Lokasi dan Populasi Penelitian
Untuk melengkapi data sekunder, maka penelitian tentang Perkawinan

Angkap pada Masyarakat Gayo di Kabupaten Aceh Tengah ini juga didukung oleh
data primer dengan penelitian lapangan yang dilakukan terhadap masyarakat Gayo
yang bertempat tinggal di Kampung Pasar Pagi, Kecamatan Lut Tawar, Kampung
Gelelungi, Kecamatan Pegasing, Kampung Mongal, Kecamatan Bebesen, Kabupaten
Aceh Tengah, alasan pemilihan lokasi untuk penelitian ini karena di lokasi tersebut
merupakan daerah di Kabupaten Aceh Tengah yang masih ada melaksanakan
Perkawinan Angkap.
Dalam hal ini data diperoleh dari populasi penelitian yang terdiri dari
masyarakat Gayo yang tinggal di kota Takengon dengan karakteristik yang pernah

41

Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Sinar Grafika 2011), hlm 105

Universitas Sumatera Utara

24

menyelenggarakan perkawinan angkap serta Tokoh Adat yang berkaitan dengan
Perkawinan Angkap pada masyarakat Gayo di Kampung tersebut.
4.

Teknik Sampling
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah nonrandom sampling,

dalam hal ini dipakai purposive sampling, yaitu teknik yang biasa dipilih karena
alasan biaya, waktu dan tenaga, sehingga tidak dapat mengambil dalam jumlah yang
besar. Penarikan sample ini dilakukan dengan cara mengambil subyek yang
didasarkan pada tujuan tertentu.
Jadi yang diambil dalam penelitian ini adalah tokoh adat, lima pasangan yang
melakukan perkawinan angkap,dan aparat desa.
5.

Sumber Data

a.

Data Primer
Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari penelitian

lapangan (field research). Penelitian lapangan ini dilakukan dengan cara mengajukan
pertanyaan langsung kepada responden. Sifat interview adalah bebas terpimpin.
Dalam melakukan penelitian dimungkinkan tidak hanya menggunakan pertanyaan
yang disediakan secara tertulis dalam bentuk daftar pertanyaan, tetapi dapat dilakukan
pengembangan pertanyaan sepanjang tidak menyimpang dari permasalahan.
b. Data sekunder
Data sekunder yaitu data yang diperoleh berdasarkan studi kepustakaan
dimaksudkan untuk membandingkan antara teori dan kenyataan yang terjadi
dilapangan. Melalui studi kepustakaan ini diusahakan pengumpulan data melalui

Universitas Sumatera Utara

25

mempelajari buku-buku, majalah, surat kabar, artikel dan internet, serta referensi lain
yang berkaitan dan berhubungan dengan penelitian ini.
6.

Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini dilakukan dengan metode pengumpulan data, yaitu:

a.

Studi Dokumentasi dan Bahan Pustaka
Studi dokumen yaitu pengumpulan data yang dilakukan dengan mencari
informasi berdasarkan dokumen-dokumen maupun arsip yang berkaitan dengan
penelitian, meliputi penelaahan terhadap bahan kepustakaan atau data sekunder
yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum
tertier meliputi peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen, teori-teori
dan laporan-laporan yang bertalian dengan penelitian ini. Dalam metode
pengumpulan data melalui kepustakaan ini, menggunakan dari berbagai bacaan
yang berhubungan dengan judul pembahasan, baik itu dari literatur-literatur
ilmiah, majalah, media massa serta perundang-undangan.42

b. Wawancara (interview)
Adalah kegiatan wawancara yang dilakukan kepada responden dengan terlebih
dahulu membuat pedoman wawancara secara sistematis agar mendapatkan data
yang lengkap dan memiliki kebenaran baik menurut hukum maupun kenyataan
yang dapat dilihat dilapangan. Adapun beberapa narasumber yang diwawancara
adalah beberapa informan, diantaranya tokoh Adat Gayo di Kampung Pasar Pagi,
Kecamatan Lut Tawar, di Kampung Gelelungi, Kecamatan Pegasing, di
42

Burhan Ashofa, Op. cit hlm 104

Universitas Sumatera Utara

26

Kampung Mongal, Kecamatan Bebesen, Kabupaten Aceh Tengah, serta para
Masyarakat Adat, selaku orang tua yang mengadakan acara perkawinan angkap
di Kampung tersebut.
7.

Analisis Data
Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan mengurutkan

data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema
dan dapat dirumuskan suatu hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.
Analisis data pada hakekatnya dalam penelitian hukum artinya untuk mengadakan
sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Oleh karena itu sesuai
metodepenulisan data yang sesuai dengan penelitian deskriptif analisis dengan
menggunakan pendekatan secara kualitatif, yaitu analisis data mengungkapkan dan
mengambil kebenaran yang diperoleh dari kepustakaan dan penelitian lapangan yaitu
dengan menggabungkan antara peraturan-peraturan, buku-buku ilmiah yang ada
hubungannya dengan perkawinan angkap pada masyarakat Gayo di Kabupaten Aceh
Tengah,

kemudian

dianalisis

secara

kualitatif

sehingga

mendapat

suatu

pemecahannya, sehingga ditarik kesimpulan.
Dengan demikian rangkaian kegiatan analisis data yang diperlukan dalam
penelitian penulis adalah sebagai berikut: semua data yang telah diperoleh terlebih
dahulu diolah agar dapat memberikan gambaran yang sesuai kebutuhan, kemudian
dianalisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif, dimana data-data yang
diperlukan guna menjawab permasalahan, baik data primer maupun data sekunder,
dikumpulkan untuk kemudian diseleksi, dipilah-pilah berdasarkan kualitas dan

Universitas Sumatera Utara

27

relevansinya untuk kemudian ditentukan antara data yang penting dan data yang tidak
penting untuk menjawab permasalahan.45
Dipilih dan disistematisasi berdasar kualitas kebenaran sesuai dengan materi
penelitian, untuk kemudian dikaji melalui pemikiran yang logis induktif, sehingga
akan menghasilkan uraian yang bersifat deskriptif, yaitu uraian yang menggambarkan
permasalahan serta pemecahannya secara jelas dan lengkap berdasarkan data-data
yang diperoleh dari penelitian sehingga hasil analisis tersebut diharapkan dapat
menjawab permasalahan yang diajukan43 setelah analisi data selesai maka hasilnya
kemudian akan disajikan secara deskriptif, yaitu dengan menuturkan dan
menggambarkan apa adanya sesuai dengan permasalahan yang diteliti.44

43
44

Soerjono Soekanto, Op.cit, hlm 32
HB. Sutopo, Op.cit, hlm 32

Universitas Sumatera Utara