Perbandingan Akurasi Diagnostik Antara General Practitioner Assessment Of Cognition Dengan Memory Impairment Screen Terhadap Mini-Cog Untuk Screening Poststroke Dementia

20

BAB I
PENDAHULUAN

I.1. LATAR BELAKANG
Peningkatan angka kejadian penyakit kronik degeneratif yang
berhubungan dengan usia terjadi akibat pertambahan usia yang progresif
pada penduduk dunia. Diantara berbagai penyakit tersebut, demensia
merupakan salah satu penyakit yang paling sering dijumpai. Berbagai
studi epidemiologi menunjukkan bahwa prevalensi demensia pada negara
berkembang meningkat 2 kali lipat setiap 5 tahun pada populasi dengan
usia diatas 65 tahun. Faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi kognitif
antara lain adalah usia, genetik, penyakit-penyakit yang mendasari,
tingkat sosiokultural, intelligence quotients (IQ), pekerjaan dan latar
belakang pendidikan (Paquay dkk. 2007).
Stroke merupakan suatu kondisi yang dijumpai semakin meningkat
insidensinya pada populasi tua. Douiri dkk. mengumpulkan 1618 data
pasien stroke dari tahun 1995 hingga 2010 dan menilai fungsi kognitif
dengan Abbreviated Mental Test atau Mini-Mental State Examination saat
onset, 3 bulan setelahnya dan diulang setelah setahun. Dijumpai

prevalensi terjadinya gangguan kognitif 3 bulan setelah serangan stroke
sebanyak 24% dimana 518 orang dijumpai mengalami poststroke
dementia (95% CI, 3.6-63.8). Angka ini relatif stabil saat dilakukan
penilaian ulang setelah 5 tahun follow up (22%, 95% CI; 17.4-26.8).

21

Gangguan kognitif yang progresif dijumpai pada pasien-pasien dengan
oklusi pembuluh darah kecil dan infark lakunar (10% [7.9-12.8] dan 2%
[0.3-2.7]) (Douiri dkk. 2013).
Frekuensi terjadinya poststroke dementia masih tinggi dan stroke
itu sendiri meningkatkan resiko terjadinya demensia. Pada suatu
penelitian di Finlandia yang melibatkan 337 subjek berusia 55-85 tahun
yang menjalani pemeriksaan fungsi kognitif 3 bulan setelah serangan
stroke, dijumpai frekuensi poststroke dementia sebesar 31.8%. Pasien
dengan poststroke dementia dijumpai berusia lebih tua dan memiliki
tingkat pendidikan yang relatif lebih rendah, dan memiliki riwayat penyakit
serebrovaskular sebelumnya (Pohjasvaara dkk. 1998).
Informasi yang tidak selalu sama mengenai insidensi dan
kecenderungan terjadinya poststroke dementia sering kali berhubungan

dengan tidak adanya uji neurofisiologi formal yang dapat diaplikasikan
pada pasien sehari-hari. Iniziatri dkk. meneliti 339 pasien stroke dan
mendapati bahwa 57 pasien (16.8%) mengalami poststroke dementia.
Pasien-pasien tersebut berusia diatas 60 tahun, lebih sering terjadi pada
wanita dan lebih sering terjadi pada pasien stroke dengan atrial fibrilasi
(OR 2.35; 95% CI, 1.21-4.48). Munculnya afasia (OR 3.22; 95% CI, 1.765.90) pada fase akut dapat memprediksi terjadinya poststroke dementia
(Inzitari dkk. 1998).
Poststroke dementia merupakan topik yang banyak diteliti dalam 10
tahun terakhir. Kejadian stroke meningkatkan resiko terjadinya demensia

22

sebanyak 4 hingga 12 kali lipat. Di Spanyol, dari 250 pasien stroke,
dijumpai 30% (75 orang) diantaranya mengalami demensia saat dilakukan
penilaian fungsi kognitif 3 bulan setelah serangan stroke. Kejadian
demensia berkaitan dengan usia (OR 1.1. 95% CI 1.03-1.2). Kejadian
poststroke dementia ini tidak memiliki hubungan dengan bentuk stroke
baik iskemik ataupun perdarahan ataupun lokasi lesi (Barba dkk. 2000).
Pemeriksaan fungsi kognitif dalam upaya screening demensia
masih bukan merupakan suatu pemeriksaan rutin. Hal ini dapat dilihat dari

bukti bahwa 40-75% pasien dengan diagnosis demensia datang setelah
keluhan yang berat dan pasien-pasien tersebut sebelumnya merupakan
pasien rutin dari praktik dokter umum tertentu. Hal ini dikarenakan dokter
umum tidak terbiasa melakukan pemeriksaan fungsi kognitif, ataupun
karena pemeriksaan fungsi kognitif yang umum digunakan membutuhkan
waktu yang relatif lama untuk dilakukan (Borson dkk. 2003).
Suatu penelitian oleh Ismail dkk. menunjukkan bahwa instrumen
yang paling sering digunakan untuk menilai fungsi kognitif adalah Clock
Drawing Test (CDT), Mini-Mental State Examination (MMSE), Montreal
Cognitive Assessment (MoCA) dan Delayed Word Recall. Efektifitas,
kemudahan aplikasi dan kecepatan aplikasinya dikatakan tergantung pada
seberapa sering pemeriksaan dilakukan (Ismail dkk. 2013).
Penilaian fungsi kognitif yang ideal untuk screening demensia harus
memenuhi beberapa kriteria, diantaranya pemeriksaan harus dapat
dilakukan dalam waktu yang relatif singkat, pemeriksaan harus mudah

23

untuk diaplikasikan, pemeriksaan harus dapat dilakukan oleh pasienpasien usia lanjut dan hasil pemeriksaan tidak boleh terlalu banyak
dipengaruhi oleh faktor pendidikan, jenis kelamin, usia dan faktor-faktor

lain yang berkaitan dengan demensia itu sendiri. Selain itu pemeriksaan
yang digunakan harus memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi
untuk meningkatkan akurasinya (Lorentz dkk. 2002).
Berdasarkan kriteria diatas, dijumpai bahwa Mini-Cog, General
Practitioner Assessment of Cognition (GPCOG) dan Memory Impairment
Screen (MIS) merupakan 3 instrumen yang lebih ideal untuk digunakan
dalam screening demensia bila dibandingkan dengan MMSE yang lebih
sering

digunakan.

Pemeriksaan

fungsi

kognitif

dengan

MMSE


membutuhkan waktu selama 7 hingga 10 menit untuk dilakukan dan
dijumpai bahwa Mini-Cog, GPCOG ataupun MIS yang aplikasinya masingmasing hanya membutuhkan waktu kurang dari 5 menit untuk dilakukan
merupakan pemeriksaan yang lebih superior untuk digunakan dalam
screening demensia dibandingkan dengan beberapa pemeriksaan lainnya
(Lorentz dkk. 2002).
Brodaty dkk. pada tahun 2006 mengumpulkan data dari beberapa
basis jurnal mengenai screening demensia sejak tahun 1974 hingga tahun
2004 dan menjumpai 16 instrumen pemeriksaan yang paling sering
digunakan. Pada penelitian ini, dijumpai bahwa Mini-Cog, MIS dan
GPCOG lebih superior dibandingkan instrumen lainnya dengan nilai
sensitifitas dan spesifisitas yang paling tinggi >80% dengan 95% CI.

24

Ketiga instrumen tersebut dianggap paling baik untuk digunakan oleh
dokter umum dikarenakan angka sensitifitas dan spesifisitas yang lebih
tinggi dan dapat dilakukan dalam waktu yang lebih singkat dibandingkan
dengan pemeriksaan dengan MMSE yang sering digunakan (Brodaty dkk.
2006).

Penelitian lain juga menunjukkan hasil yang serupa. Di Inggris,
meskipun MMSE lebih sering digunakan, namun dijumpai bahwa MiniCog, MIS dan GPCOG lebih singkat, lebih mudah dan lebih efektif serta
tidak menimbulkan terlalu banyak bias karena ketiga pemeriksaan
tersebut tidak banyak dipengaruhi oleh faktor pendidikan, jenis kelamin
ataupun bahasa bila dibandingkan dengan MMSE (Milne dkk. 2008).
Suatu penelitian potong lintang melakukan screening demensia
terhadap 300 subjek usia lanjut dan membandingkan sensitifitas dan
spesifisitas MIS dengan dua pemeriksaan lain yaitu Category Fluency Test
(CFT) dan Telephone Instrument for Cognitive Status (TICS). Penelitian
dilakukan via telepon dan dijumpai bahwa MIS memiliki sensitifitas 78%
dengan spesifisitas 93% (p