Perbandingan Akurasi Diagnostik Antara Cognitive Performance Scale Dan Mini Mental State Examination Terhadap General Practioner Assessment Of Cognition Untuk Menilai Fungsi Kognitif Pada Usia Lanjut

(1)

TESIS

PERBANDINGAN AKURASI DIAGNOSTIK ANTARA

COGNITIVE PERFORMANCE SCALE DAN MINI MENTAL

STATE EXAMINATION TERHADAP GENERAL

PRACTIONER ASSESSMENT OF COGNITION UNTUK

MENILAI FUNGSI KOGNITIF PADA USIA LANJUT

OLEH

RITA MAGDA HELENA SIBARANI

NIM 117112006

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN USU /

RSUP H. ADAM MALIK, MEDAN


(2)

PERBANDINGAN AKURASI DIAGNOSTIK ANTARA

COGNITIVE PERFORMANCE SCALE DAN MINI MENTAL

STATE EXAMINATION TERHADAP GENERAL

PRACTIONER ASSESSMENT OF COGNITION UNTUK

MENILAI FUNGSI KOGNITIF PADA USIA LANJUT

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kedokteran Klinis Spesialis Saraf Pada Program Studi Magister Kedokteran Klinik Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara

Oleh

RITA MAGDA HELENA SIBARANI

NIM 117112006

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN USU /

RSUP H. ADAM MALIK, MEDAN


(3)

PERNYATAAN

PERBANDINGAN AKURASI DIAGNOSTIK ANTARA

COGNITIVE PERFORMANCE SCALE DAN MINI MENTAL

STATE EXAMINATION TERHADAP GENERAL

PRACTIONER ASSESSMENT OF COGNITION UNTUK

MENILAI FUNGSI KOGNITIF PADA USIA LANJUT

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak

terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh

gelar keserjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang

sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau

pendapat yang pernah dituliskan atau diterbitkan oleh

orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah

ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, 2014


(4)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Tesis : PERBANDINGAN AKURASI DIAGNOSTIK

ANTARA COGNITIVE PERFORMANCE SCALE

DAN MINI MENTAL STATE EXAMINATION

TERHADAP GENERAL PRACTIONER

ASSESSMENT OF COGNITION UNTUK MENILAI FUNGSI KOGNITIF PADA USIA LANJUT

Nama : Rita Magda Helena Sibarani

NIM : 117112006

Program Studi : Ilmu Penyakit Saraf

Menyetujui, Pembimbing

dr. Aldy S. Rambe, Sp.S(K) dr. Aida Fithrie, Sp.S NIP 19660524 199203 1 002 NIP 19780912 200912 2 002

Mengetahui / Mengesahkan,

Ketua Departemen Studi / SMF Ketua Program Studi / SMF Ilmu Penyakit Saraf Ilmu Penyakit Saraf FK USU / RSUP HAM Medan FK USU / RSUP HAM Medan

dr. Rusli Dhanu, Sp.S(K) dr. Yuneldi Anwar, Sp.S(K) NIP 19530916 198203 1 003 NIP 19530601 198103 1 004


(5)

Telah diuji pada

Tanggal : 10 Juni 2014

PANITIA TESIS MAGISTER

1. Prof. DR. dr. Hasan Sjahrir, Sp.S(K) 2. Prof. dr. Darulkutni Nasution, Sp.S(K) 3. dr. Darlan Djali Chan, Sp.S

4. dr. Yuneldi Anwar Sp.S(K) (PENGUJI)

5. dr. Rusli Dhanu Sp.S(K) (PENGUJI)

6. dr. Kiking Ritarwan, MKT, Sp.S(K) (PENGUJI) 7. dr. Aldy S. Rambe, Sp.S(K)

8. dr. Iskandar Nasution, Sp.S, FINS 9. dr. Puji Pinta O. Sinurat, Sp.S 10. dr. Khairul P. Surbakti, Sp.S 11. dr. Cut Aria Arina, Sp.S 12. dr. Kiki M. Iqbal, Sp.S 13. dr. Alfansuri Kadri Sp.S 14. dr. Aida Fithrie Sp.S

15. dr. Irina Kemala Nasution Sp.S 16. dr. Haflin Soraya Sp.S

17. dr. Fasihah Fitri Irfani, M.Ked(Neu) Sp.S 18. dr. R.A.D. Pujiastuti, M.Ked(Neu) Sp.S


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa, atas berkat, rahmat dan kasihNya yang telah memberikan kesempatan untuk menyelesaikan penulisan tesis magister kedokteran klinik ini.

Tulisan ini dibuat untuk memenuhi persyaratan penyelesaian program magister kedokteran klinik pada Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Saraf di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan.

Pada kesempatan ini perkenankan penulis menyatakan penghargaan dan ucapan terimakasih yang sebesar – besarnya kepada : 1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan Ketua TKP PPDS-I Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kepada penulis kesempatan untuk mengikuti Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik Spesialis Ilmu Penyakit Saraf di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. DR. Dr. Hasan Sjahrir, Sp.S(K) selaku Guru Besar Tetap Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP H. Adam Malik Medan yang telah membimbing, mengoreksi dan mengarahkan penulis mulai penulisan proposal sampai penyelesaian tesis ini.

3. dr. Rusli Dhanu, Sp.S(K), Ketua Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, yang banyak memberikan masukan berharga kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

4. dr. Yuneldi Anwar, Sp.S(K), Ketua Program Studi Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, yang banyak memberikan masukan berharga kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

5. dr. Aldy S. Rambe, Sp.S(K) dan dr. Aida Fithrie, Sp.S selaku pembimbing, yang telah membimbing, mendorong, mengoreksi dan


(7)

mengarahkan dengan sepenuh hati mulai dari pembuatan proposal, pembuatan dan penyelesaian tesis ini.

6. Guru-guru penulis : Prof. dr. Darulkutni Nasution, Sp.S(K); dr. Darlan Djali Chan, Sp.S; dr. Kiking Ritarwan, MKT, Sp.S(K); dr. Iskandar Nasution, Sp.S, FINS ; dr. Irwansyah, Sp.S (Alm) ; dr. Puji Pinta O. Sinurat, Sp.S; dr. Khairul P. Surbakti, Sp.S; dr. Cut Aria Arina, Sp.S; dr. Kiki M. Iqbal, Sp.S; dr. Alfansuri Kadri Sp.S; dr. Irina Kemala Nasution Sp.S; dr. Haflin Soraya Sp.S; dr. Fasihah Irfani, M.Ked(Neu) Sp.S; dr. R.A.D. Pujiastuti, M.Ked(Neu) Sp.S, dr. Antun, Sp.S dan guru lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah banyak memberikan masukan selama mengikuti Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik.

7. Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan, Rumah Sakit TK II Putri Hijau Medan dan Rumah Sakit Haji Mina Medan yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas sehingga penulis dapat mengikuti Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik.

8. DR. Ir. Erna Mutiara, M. Kes, selaku pembimbing statistik yang telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing dan berdiskusi dengan penulis dalam pembuatan tesis ini.

9. Rekan – rekan sejawat PPDS-I Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan masukan dan dorongan yang membangkitkan semangat penulis dalam penyelesaian tesis ini.

10. Para perawat dan pegawai di berbagai tempat dimana penulis pernah bertugas selama menjalani Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik serta berbagai pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah banyak membantu penulis dalam menjalani Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik.

11. Semua Kelompok Usia lanjut yang tinggal di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Binjai-Medan dan Panti Jompo Karya Kasih Medan yang bersedia berpartisipasi secara sukarela dalam penelitian ini.


(8)

12. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setulus – tulusnya penulis ucapkan kepada orangtua saya, P.O. Sibarani (alm) dan R. br Simanjuntak (alm) yang telah membesarkan saya dengan sepenuh hati dan kasih sayang.

13. Teristimewa kepada suamiku tercinta Edwin M. Manurung, SP yang selalu dengan penuh sabar dan pengertian, mendampingi dengan cinta dan kasih sayang dalam suka maupun duka, memberikan dukungan moril, materil, nasehat serta doa agar penulis tetap sabar dan tegar dalam menjalani pendidikan ini sampai selesai, saya ucapkan terima kasih yang setulus – tulusnya.

14. Ucapan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada anak – anakku tersayang, Jocelyn Aurel Manurung dan Jovanna Haraito Manurung, yang telah memotivasi, mendoakan dan mendampingi penulis untuk dapat menjalani pendidikan ini dengan sabar dan tegar.

14. Ucapan terima kasih kepada Bapak/Ibu mertua saya, A. Manurung (alm) dan B. Br Sinaga, yang selalu memberikan dorongan, semangat dan nasehat serta doa yang tulus agar penulis dapat mengikuti pendidikan ini sampai selesai.

15. Kepada seluruh keluarga, rekan dan sahabat yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang senantiasa membantu, memberi dorongan, pengertian dan doa dalam penyelesaian pendidikan ini, penulis ucapkan terimakasih.

Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa membalas semua jasa dan budi baik mereka yang telah membantu penulis tanpa pamrih dalam mewujudkan cita – cita penulis. Akhirnya penulis mengharapkan semoga penelitian dan tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, 2014


(9)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama lengkap : dr. Rita Magda Helena Sibarani Tempat/tgl lahir : Pematangsiantar, 24 Mei 1979 Agama : Kristen Protestan

Nama Ayah : P.O. Sibarani (alm) Nama Ibu : R.br Simanjuntak (alm)

Nama Suami : Edwin Manahara Manurung, SP Nama Anak : 1. Jocelyn Aurel Manurung

2. Jovanna Haraito Manurung

RIWAYAT PENDIDIKAN

1. Sekolah Dasar di SD Kalam Kudus Pematangsiantar tamat tahun 1991. 2. Sekolah Menengah Pertama di SMP Kalam Kudus Pematang siantar tamat tahun 1994.

3. Sekolah Menengah Umum di SMU Negeri 2 Pematangsiantar tamat tahun 1997.

4. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara tamat tahun 2004.

RIWAYAT PEKERJAAN

1. Tahun 2005 - 2007 : Staf Kesehatan Daerah Militer II / Sriwijaya, Palembang.

2. Tahun 2007 - 2011 : Staf kesehatan Daerah Militer I / Bukit Barisan, Medan.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN iii

DAFTAR ISI ix

DAFTAR SINGKATAN xi

DAFTAR LAMBANG xii

DAFTAR TABEL xiii

DAFTAR LAMPIRAN xiv

Abstrak xv

Abstract xvi

BAB I PENDAHULUAN 1

I.1. Latar Belakang 1

I.2. Rumusan Masalah 5

I.3. Tujuan Penelitian 5

I.3.1. Tujuan Umum 5

I.3.2. Tujuan Khusus 6

I.4. Hipotesis 7

I.5. Manfaat Penelitian 8

I.5.1. Manfaat Penelitian untuk Penelitian 8 I.5.2. Manfaat Penelitian untuk Ilmu Pengetahuan 8 I.5.3. Manfaat Penelitian untuk Masyarakat 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 9

II.1. FUNGSI KOGNITIF 9

II.1.1. Definisi 9

II.1.2. Domain Fungsi Kognitif 9 II.1.3. Anatomi Fungsi Kognitif 13 II.2. TES UNTUK MENILAI FUNGSI KOGNITIF 16 II.2.1. Cognitive Performance Scale 17 II.2.2. Mini Mental State Examination 20 II.2.3. General Practitioner Assessment of Cognition 23

II.3. KERANGKA TEORI 25

II.4. KERANGKA KONSEP 26

BAB III METODE PENELITIAN 27

III.1. TEMPAT DAN WAKTU 27

III.2. SUBYEK PENELITIAN 27

III.2.1. Populasi Sasaran 27

III.2.2. Populasi Terjangkau 27


(11)

III.2.4. Kriteria Inklusi 28

III.2.5. Kriteria Eksklusi 28

III.3. BATASAN OPERASIONAL 31

III.4. RANCANGAN PENELITIAN 30

III.5. PELAKSANAAN PENELITIAN 30

III.5.1. Instrumen 30

III.5.2. Pengambilan Sampel 31

III.5.3. Kerangka Operasional 32

III.5.4. Variabel yang Diamati 33

III.5.5. Analisa Statistik 33

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 35

IV.1. HASIL PENELITIAN 35

IV.1.1. Karakteristik Subjek Penelitian 35 IV.1.2. Diagnostik CPS terhadap GPCOG 37 IV.1.3. Diagnostik MMSE terhadap GPCOG 38

IV.2. PEMBAHASAN 40

IV.2.1. Keterbatasan Penelitian 48

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 49

V.1. KESIMPULAN 49

V.2. SARAN 50

DAFTAR PUSTAKA 51


(12)

DAFTAR SINGKATAN

CAMCOG : Cambridge Cognitive CAMCOG-R : CAMCOG Revised CI : Confidence Interval

CPS : Cognitive Performance Scale DM : Diabetes Melitus

GPCOG : General Practioner Assessment of Cognition IQ : Intelligence Quetients

LR : Likehood Ratio

MMSE : Mini Mental State Examination NDN : Nilai Duga Negatif

NDP : Nilai Duga Positif

NLR : Negative Likehood ratio NPV : Negative Predictive Value PLR : Positive Likehood Ratio PPV : Positive Predictive Value R-CAMCOG : Rotterdam CAMCOG

RK : Rasio Kemungkinan

RKP : Rasio Kemungkinan Positif RKN : Rasio Kemungkinan Negatif UPT : Unit Pelayanan Terpadu WHO : World Health Organization


(13)

DAFTAR LAMBANG

d : presisi penelitian N : besar sampel p : tingkat kemaknaan P : prevalensi penyakit

sen : sensitivitas yang diinginkan dari indeks Zα : deviat baku alpha


(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Nilai MMSE berdasarkan usia

Tabel 2. Nilai MMSE berdasarkan tingkat pendidikan Tabel 3. Karakteristik Subjek Penelitian

Tabel 4. Hasil penelitian diagnsotik CPS terhadap GPCOG Tabel 5. Hasil penelitian diagnsotik MMSE terhadap GPCOG Tabel 6. Perbandingan nilai MMSE berdasarkan usia

Tabel 7. Perbandingan nilai MMSE berdasarkan tingkat pendidikan


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1 LEMBAR PENJELASAN KEPADA SUBJEK

PENELITIAN

LAMPIRAN 2 PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN (PSP) LAMPIRAN 3 LEMBAR PENGUMPULAN DATA

LAMPIRAN 4 MINI MENTAL STATE EXAMINATION LAMPIRAN 5 COGNITIVE PERFORMANCE SCALE LAMPIRAN 6 KUISONER CPS

LAMPIRAN 7 QUICK QUIDE TO THE SCORING RULES CPS

LAMPIRAN 8 GENERAL PRACTIONER ASSESSMENT OF

COGNITION

LAMPIRAN 9 SURAT KOMITE ETIK BIDANG KESEHATAN LAMPIRAN 10 DATA DASAR PENELITIAN


(16)

ABSTRAK

Latar Belakang : Mini Mental State Examination (MMSE) merupakan penilaian fungsi kognitif yang paling luas dipakai. Pada MMSE berbagai domain yang dinilai meliputi orientasi waktu dan tempat, atensi, memori, bahasa dan konstruksi visual. Dahulu skala Cognitive Performance Scale (CPS) dihubungkan secara erat dengan skor MMSE, meskipun tidak ada studi tentang akurasi standar diagnostik yang membandingkan CPS dan MMSE dengan gold standard yang telah digunakan.

Tujuan : Untuk mengetahui perbandingan akurasi diagnostik CPS dan MMSE terhadap General Practioner Assessment of Cognition (GPCOG) dalam menilai gangguan fungsi kognitif pada usia lanjut.

Metode : Studi cross sectional dengan 80 subjek yang berusia 60 tahun atau lebih yang tinggal di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai-Medan dan Panti Jompo Karya Kasih Medan. Semua subjek dilakukan pemeriksaan CPS, MMSE dan GPCOG.

Hasil : Nilai diagnostik untuk nilai CPS ≥ 2 dalam menilai fungsi kognitif usia lanjut didapatkan sensitifitas = 0,84; spesifisitas = 0,88; NDP= 0,90; NDN= 0,82, RKP = 7, RKN = 0,18 dan akurasi = 0,86. Nilai diagnostik untuk nilai MMSE ≤ 23 dalam menilai fungsi kognitif usia lanjut didapatkan sensitifitas = 0,91; spesifisitas = 0,72; NDP = 0,80; NDN= 0,86, RKP = 3,21, RKN = 0,13 and akurasi = 0,82.

Kesimpulan : Terdapat perbedaan akurasi yang tidak bermakna antara CPS dan MMSE dalam menilai fungsi kognitif usia lanjut. (p = 0,32)

Kata Kunci : Akurasi - Cognitive Performance Scale - Mini Mental State Examination - General Practitioner Assessment of Cognition – Kognitif


(17)

ABSTRACT

Background : The Mini-Mental State Exam (MMSE) (Folstein et al., 1975) is probably the most widely used screening measure of cognitive functioning. In the past, the Cognitive Performance Scale (CPS) corresponded closely with scores generated by the MMSE. However, no standard diagnostic accuracy study, comparing both CPS and MMSE with a gold standard, is yet available.

Objective : The objective of this study was to compare the diagnostic accuracy of the CPS and the MMSE for the detection of cognitive impairment. The General Practitioner Assessment of Cognition (GPCOG) was used as the reference standard.

Methods : This cross sectional study with > 80 subjects more than 60 years old living in UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai-Medan and Panti Jompo Karya Kasih Medan. All subjects examined for CPS, MMSE and GPCOG.

Results : The diagnostic values of a CPS score of 2 or more for the detection of cognitive impairment were : sensitivity = 0,84; specificity = 0,88; PPV= 0,90; NPV= 0,82, LR + = 7, LR - = 0,18 and accuracy = 0,86. The diagnostic values of a MMSE score of 23 or less for the detection of cognitive impairment were : sensitivity = 0,91; specificity = 0,72; PPV= 0,80; NPV= 0,86, LR + = 3,21, LR - = 0,13 and accuracy = 0,82.

Conclusion : There is insignificant difference between CPS and MMSE accuracy to detect cognitive impairment. (p= 0,32)

Key Words : Accuracy - Cognitive Performance Scale - Mini Mental State Examination - General Practitioner Assessment of Cognition - Cognitive


(18)

ABSTRAK

Latar Belakang : Mini Mental State Examination (MMSE) merupakan penilaian fungsi kognitif yang paling luas dipakai. Pada MMSE berbagai domain yang dinilai meliputi orientasi waktu dan tempat, atensi, memori, bahasa dan konstruksi visual. Dahulu skala Cognitive Performance Scale (CPS) dihubungkan secara erat dengan skor MMSE, meskipun tidak ada studi tentang akurasi standar diagnostik yang membandingkan CPS dan MMSE dengan gold standard yang telah digunakan.

Tujuan : Untuk mengetahui perbandingan akurasi diagnostik CPS dan MMSE terhadap General Practioner Assessment of Cognition (GPCOG) dalam menilai gangguan fungsi kognitif pada usia lanjut.

Metode : Studi cross sectional dengan 80 subjek yang berusia 60 tahun atau lebih yang tinggal di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai-Medan dan Panti Jompo Karya Kasih Medan. Semua subjek dilakukan pemeriksaan CPS, MMSE dan GPCOG.

Hasil : Nilai diagnostik untuk nilai CPS ≥ 2 dalam menilai fungsi kognitif usia lanjut didapatkan sensitifitas = 0,84; spesifisitas = 0,88; NDP= 0,90; NDN= 0,82, RKP = 7, RKN = 0,18 dan akurasi = 0,86. Nilai diagnostik untuk nilai MMSE ≤ 23 dalam menilai fungsi kognitif usia lanjut didapatkan sensitifitas = 0,91; spesifisitas = 0,72; NDP = 0,80; NDN= 0,86, RKP = 3,21, RKN = 0,13 and akurasi = 0,82.

Kesimpulan : Terdapat perbedaan akurasi yang tidak bermakna antara CPS dan MMSE dalam menilai fungsi kognitif usia lanjut. (p = 0,32)

Kata Kunci : Akurasi - Cognitive Performance Scale - Mini Mental State Examination - General Practitioner Assessment of Cognition – Kognitif


(19)

ABSTRACT

Background : The Mini-Mental State Exam (MMSE) (Folstein et al., 1975) is probably the most widely used screening measure of cognitive functioning. In the past, the Cognitive Performance Scale (CPS) corresponded closely with scores generated by the MMSE. However, no standard diagnostic accuracy study, comparing both CPS and MMSE with a gold standard, is yet available.

Objective : The objective of this study was to compare the diagnostic accuracy of the CPS and the MMSE for the detection of cognitive impairment. The General Practitioner Assessment of Cognition (GPCOG) was used as the reference standard.

Methods : This cross sectional study with > 80 subjects more than 60 years old living in UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai-Medan and Panti Jompo Karya Kasih Medan. All subjects examined for CPS, MMSE and GPCOG.

Results : The diagnostic values of a CPS score of 2 or more for the detection of cognitive impairment were : sensitivity = 0,84; specificity = 0,88; PPV= 0,90; NPV= 0,82, LR + = 7, LR - = 0,18 and accuracy = 0,86. The diagnostic values of a MMSE score of 23 or less for the detection of cognitive impairment were : sensitivity = 0,91; specificity = 0,72; PPV= 0,80; NPV= 0,86, LR + = 3,21, LR - = 0,13 and accuracy = 0,82.

Conclusion : There is insignificant difference between CPS and MMSE accuracy to detect cognitive impairment. (p= 0,32)

Key Words : Accuracy - Cognitive Performance Scale - Mini Mental State Examination - General Practitioner Assessment of Cognition - Cognitive


(20)

BAB I PENDAHULUAN

I.1. LATAR BELAKANG

Peningkatan prevalensi penyakit kronik degeneratif yang berhubungan dengan usia merupakan outcome utama akibat pertambahan usia yang progresif pada populasi penduduk dunia. Diantara berbagai penyakit tersebut, demensia merupakan salah satu penyakit yang cukup penting. Dari berbagai studi epidemiologi didapatkan bahwa pada negara yang berkembang dan sedang berkembang ditemukan bahwa prevalensi demensia meningkat 2 kali lipat setiap 5 tahun pada usia di atas 65 tahun. Pemeriksaan neurofisiologi yang sensitif dapat mengidentifikasi gangguan kognitif preklinik dan mengkateristikkan fungsi kognitif dengan memori yang terganggu. Banyak faktor yang mempengaruhi fungsi kognitif, seperti usia, genetik, tingkat sosiokultural, intelligence quotients (IQ) dan pekerjaan. Disamping itu latar belakang pendidikan memainkan peranan penting dalam melakukan penilaian fungsi kognitif ( Paquay dkk. 2007).

Akibat gaya hidup rata – rata yang semakin meningkat terhadap perawatan medis, maka terdapat keinginan yang semakin besar untuk mengetahui faktor – faktor yang berpengaruh terhadap kualitas hidup pada usia lanjut. Usia berhubungan dengan penurunan fungsi kognitif, termasuk di dalamnya gangguan memori dan fungsi eksekutif. Meskipun


(21)

mekanisme yang mendasari hubungan antara usia dan fungsi kognitif belum sepenuhnya diketahui. Namun usia yang dihubungkan dengan inflamasi sepertinya memainkan peranan penting (Simen dkk. 2011).

Penelitian Hartmaeir SL. dkk. tahun 1995 didapatkan bahwa Cognitive Performance Scale (CPS) menunjukkan persamaan yang substansial dengan Mini Mental State Examination (MMSE) dalam mengidentifikasi gangguan kognitif, dengan sensitifitas 94 (95% confidence interval [CI]: .0,90 - 0,98) dan spesifisitas 94 (95% CI: 0,87– 0,96) dan akurasi diagnostik 0,96 (95% CI: 0,88 – 1,0) (Hartmaeir dkk. 1995).

Pemeriksaan CPS pada awalnya dibuat untuk menilai fungsi kognitif pada orang yang dirawat dalam jangka waktu yang panjang di berbagai tempat tinggal. Kemudian CPS ini juga digunakan pada populasi yang mendapatkan perawatan di rumah. Pada penelitian Bula C.J. dan Wietlisbach V. tahun 2009 didapatkan bahwa subjek dengan nilai CPS yang abnormal, mempunyai resiko kematian yang meningkat. Dan menariknya, subjek dengan nilai CPS abnormal mempunyai resiko kematian yang meningkat hanya bila subjek tersebut mempunyai nilai MMSE yang abnormal juga. Kombinasi CPS dan MMSE dapat memberikan informasi prediksi tambahan dalam menilai fungsi kognitif (Bula dkk. 2009).

Penelitian Jones dkk. tahun 2010 didapatkan bahwa nilai CPS berhubungan secara signifikan dengan nilai MMSE. Semakin tinggi nilai


(22)

CPS dihubungkan dengan semakin meningkatnya gangguan fungsional dan semakin meningkatnya prevalensi diagnosis demensia, dibandingkan dengan nilai CPS yang rendah ( Jones dkk. 2010).

Penelitian Wellens dkk. tahun 2012 didapatkan bahwa skor rata – rata MMSE berbeda secara signifikan antara grup dengan skor CPS yang rendah dibandingkan dengan grup dengan skor CPS yang tinggi (p<0,05). Dengan skor MMSE di bawah 24 menjadi gold standard, akurasi diagnostik CPS didapati moderate (area under curve = 0,73) dengan sensitifitas yang rendah, tapi spesifisitasnya memuaskan. Apabila cutoff MMSE diturunkan menjadi kurang dari 18 dan terfokus pada pasien dengan gangguan kognitif yang berat, maka sensitifitas CPS meningkat tapi spesifitasnya menurun (Wellens dkk. 2012).

Penilaian gangguan kognitif dengan menggunakan CPS mengklasifikasikannya menjadi 7 tingkat kemampuan kognitif yaitu mulai dari nilai 0 (intak) sampai nilai 6 (gangguan fungsi kognitif sangat berat) (Carpenter dkk. 2006).

Mini Mental State Examination (MMSE) kemungkinan merupakan penilaian fungsi kognitif yang paling luas dipakai. Pada MMSE berbagai domain yang dinilai meliputi orientasi waktu dan tempat, atensi, memori, bahasa dan konstruksi visual. Dimana nilai maksimumnya adalah 30, yang menunjukkan bahwa fungsi kognitifnya sangat baik. Dahulu skala CPS dihubungkan secara erat dengan skor MMSE, meskipun tidak ada studi


(23)

tentang akurasi standar diagnostik yang membandingkan CPS dan MMSE dengan gold standard yang telah digunakan (Paquay dkk. 2007).

Pada penelitian Tangalos E.G., dkk. tahun 1996 ditemukan bahwa dengan cutoff score MMSE ≤ 23 memiliki sensitifitas 69% dan spesifisitas 99%. Penggunaan cutoff score yang spesifik sesuai usia dan pendidikan, meningkatkan sensitifitas menjadi 82% tanpa penurunan spesifisitas (Tangalos dkk. 1996).

The Cambridge Examination for Mental Disorders of the Elderly (CAMDEX) merupakan suatu struktur interview dan pemeriksaan yang terstandarisasi untuk mendiagnosa gangguan mental secara umum. Pemeriksaan ini telah tervalidasi dalam berbagai bahasa. The Cambridge Cognitive Examination (CAMCOG) merupakan bagian dari CAMDEX, yang mengevaluasi gangguan fungsi kognitif. Pemeriksaan CAMCOG merupakan uji klinis yang banyak digunakan dan dipertimbangkan sebagai pengukuran yang sensitif untuk mendeteksi demensia pada tahap awal (Moreira dkk. 2009).

Terdapat berbagai bentuk alternatif dari CAMCOG yaitu Revised CAMCOG (CAMCOG-R), Rotterdam CAMCOG (R-CAMCOG) dan General Practioner Assessment of Cognition (GPCOG).

Pada penelitian Brodaty dkk. tahun 2002 didapatkan bahwa GPCOG reliable dan superior terhadap MMSE dengan sensitifitas 0,85 dan spesifisitas 0,86 (Brodaty 2002).


(24)

Pada penelitian Thomas dkk. tahun 2006 didapatkan bahwa GPCOG dalam mendiagnosa demensia memiliki sensitifitas 96%, spesifisitas 62% , positive predictive value 83% dan negative predictive value 90%. Pemeriksaan GPCOG akurat dan merupakan instrumen yang mudah diterima dalam melakukan skrining demensia (Thomas dkk. 2006). Pada penelitian Ebell tahun 2009 didapatkan bahwa pemeriksaan GPCOG memiliki sensitifitas 82% dan spesifitas 70% dengan cut-off point ≤ 7 (Ebell dkk. 2009).

I.2. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang penelitian–penelitian terdahulu seperti yang telah diuraikan di atas dirumuskanlah masalah sebagai berikut :

Bagaimana perbandingan akurasi Cognitive Performance Scale (CPS) dan Mini Mental State Examination (MMSE) terhadap General Practioner Assessment of Cognition (GPCOG) untuk menilai gangguan fungsi kognitif pada usia lanjut ?

I.3. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan : I.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui perbandingan akurasi CPS dan MMSE terhadap GPCOG untuk menilai gangguan fungsi kognitif pada usia lanjut.


(25)

I.3.2. Tujuan Khusus

I.3.2.1. Untuk menilai fungsi kognitif usia lanjut di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai - Medan dan Panti Jompo Karya Kasih Medan dengan CPS, MMSE dan GPCOG. I.3.2.2. Untuk mengetahui sensitifitas dan spesifisitas CPS dalam menilai

gangguan fungsi kognitif pada usia lanjut di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai - Medan dan Panti Jompo Karya Kasih Medan.

I.3.2.3. Untuk mengetahui Nilai Duga Positif (NDP) atau Positive Predictive Value (PPV) dan Nilai Duga Negatif (NDN) atau Negative Predictive Value (NPV) CPS dalam menilai gangguan fungsi kognitif pada usia lanjut di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai - Medan dan Panti Jompo Karya Kasih Medan.

I.3.2.4. Untuk mengetahui Rasio Kemungkinan Positif (RKP) atau Positive Likehood Ratio (LR +) dan Rasio Kemungkinan Negatif (RKN) atau Negative Likehood Ratio (LR -) CPS dalam menilai gangguan fungsi kognitif pada usia lanjut di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai - Medan dan Panti Jompo Karya Kasih Medan.

I.3.2.5. Untuk mengetahui sensitifitas dan spesifisitas MMSE dalam menilai gangguan fungsi kognitif pada usia lanjut di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai - Medan dan Panti Jompo Karya Kasih Medan.


(26)

I.3.2.6. Untuk mengetahui Nilai Duga Positif (NDP) atau Positive Predictive Value (PPV) dan Nilai Duga Negatif (NDN) atau Negative Predictive Value (NPV) MMSE dalam menilai gangguan fungsi kognitif pada usia lanjut di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai - Medan dan Panti Jompo Karya Kasih Medan.

I.3.2.7. Untuk mengetahui Rasio Kemungkinan Positif (RKP) atau Positive Likehood Ratio (LR +) dan Rasio Kemungkinan Negatif (RKN) atau Negative Likehood Ratio (LR -) MMSE dalam menilai gangguan fungsi kognitif pada usia lanjut di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai - Medan dan Panti Jompo Karya Kasih Medan.

I.3.2.8. Untuk mengetahui perbandingan akurasi CPS dan MMSE terhadap GPCOG dalam menilai gangguan fungsi kognitif pada usia lanjut di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai - Medan dan Panti Jompo Karya Kasih Medan. I.3.2.9. Untuk mengetahui karakteristik demografi usia lanjut di UPT

Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai - Medan dan Panti Jompo Karya Kasih Medan.

I.4. HIPOTESIS

Terdapat perbedaan akurasi CPS dan MMSE terhadap GPCOG untuk menilai gangguan fungsi kognitif pada usia lanjut.


(27)

I.5. MANFAAT PENELITIAN

I.5.1. Manfaat Penelitian untuk Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar untuk penelitian selanjutnya dalam pengembangan untuk membuat skala yang lebih baik lagi dalam menilai gangguan fungsi kognitif pada usia lanjut. I.5.2. Manfaat Penelitian untuk Ilmu Pengetahuan

Dengan mengetahui perbandingan akurasi CPS dan MMSE dalam menilai gangguan fungsi kognitif pada usia lanjut, maka diharapkan penelitian ini dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk menggunakan skala yang lebih tepat dalam menilai gangguan fungsi kognitif pada usia lanjut dan dapat membuat keputusan klinis pada pasien.

I.5.3. Manfaat Penelitian untuk Masyarakat

Dengan mengetahui perbandingan akurasi CPS dan MMSE dalam menilai gangguan fungsi kognitif pada usia lanjut maka dapat diketahui skala mana yang lebih tepat dalam menilai gangguan fungsi kognitif sehingga dapat dijadikan sebagai dasar untuk meningkatkan kewaspadaan dalam perawatan pasien dengan skala yang mengarah pada diagnosa gangguan fungsi kognitif.


(28)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. FUNGSI KOGNITIF II.1.1. Definisi

Fungsi kognitif adalah merupakan aktivitas mental secara sadar seperti berpikir, mengingat, belajar dan menggunakan bahasa. Fungsi kognitif juga merupakan kemampuan atensi, memori, pertimbangan, pemecahan masalah, serta kemampuan eksekutif seperti merencanakan, menilai, mengawasi dan melakukan evaluasi (Strub dkk. 2000).

II.1.2. Domain Fungsi Kognitif

Fungsi kognitif terdiri dari: (Modul Neurobehavior PERDOSSI, 2008)

a. Atensi

Atensi adalah kemampuan untuk bereaksi atau memperhatikan satu stimulus dengan mampu mengabaikan stimulus lain yang tidak dibutuhkan. Atensi merupakan hasil hubungan antara batang otak, aktivitas limbik dan aktivitas korteks sehingga mampu untuk fokus pada stimulus spesifik dan mengabaikan stimulus lain yang tidak relevan. Konsentrasi merupakan kemampuan untuk mempertahankan atensi dalam periode yang lebih lama. Gangguan atensi dan konsentrasi akan


(29)

mempengaruhi fungsi kognitif lain seperti memori, bahasa dan fungsi eksekutif.

b. Bahasa

Bahasa merupakan perangkat dasar komunikasi dan modalitas dasar yang membangun kemampuan fungsi kognitif. Jika terdapat gangguan bahasa, pemeriksaan kognitif seperti memori verbal dan fungsi eksekutif akan mengalami kesulitan atau tidak dapat dilakukan. Fungsi bahasa meliputi 4 parameter, yaitu :

1. Kelancaran

Kelancaran mengacu pada kemampuan untuk menghasilkan kalimat dengan panjang, ritme dan melodi yang normal. Metode yang dapat membantu menilai kelancaran pasien adalah dengan meminta pasien menulis atau berbicara secara spontan.

2. Pemahaman

Pemahaman mengacu pada kemampuan untuk memahami suatu perkataan atau perintah, dibuktikan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan perintah tersebut.

3. Pengulangan

Kemampuan seseorang untuk mengulangi suatu pernyataan atau kalimat yang diucapkan seseorang.


(30)

4. Penamaan

Merujuk pada kemampuan seseorang untuk menamai suatu objek beserta bagian-bagiannya.

Gangguan bahasa sering terlihat pada lesi otak fokal maupun difus, sehingga merupakan gejala patognomonik disfungsi otak. Penting bagi klinikus untuk mengenal gangguan bahasa karena hubungan yang spesifik antara sindroma afasia dengan lesi neuroanatomi.

c. Memori

Fungsi memori terdiri dari proses penerimaan dan penyandian informasi, proses penyimpanan serta proses mengingat. Semua hal yang berpengaruh dalam ketiga proses tersebut akan mempengaruhi fungsi memori. Fungsi memori dibagi dalam tiga tingkatan bergantung pada lamanya rentang waktu antara stimulus dengan recall, yaitu :

1. Memori segera (immediate memory), rentang waktu antara stimulus dengan recall hanya beberapa detik. Disini hanya dibutuhkan pemusatan perhatian untuk mengingat (attention)

2. Memori baru (recent memory), rentang waktu lebih lama yaitu beberapa menit, jam, bulan bahkan tahun.

3. Memori lama (remote memory), rentang waktunya bertahun-tahun bahkan seusia hidup.


(31)

Gangguan memori merupakan gejala yang paling sering dikeluhkan pasien. Istilah amnesia secara umum merupakan efek fungsi memori. Ketidakmampuan mempelajari materi baru setelah brain insult disebut amnesia anterograd. Sedangkan amnesia retrograd merujuk pada amnesia pada yang terjadi sebelum brain insult. Hampir semua pasien demensia menunjukkan masalah memori pada awal perjalanan penyakitnya. Tidak semua gangguan memori merupakan gangguan organik. Pasien depresi dan ansietas sering mengalami kesulitan memori. Istilah amnesia psikogenik jika amnesia hanya pada satu periode tertentu, dan pada pemeriksaan tidak dijumpai defek pada recent memory.

d. Visuospasial

Kemampuan visuospasial merupakan kemampuan konstruksional seperti menggambar atau meniru berbagai macam gambar (misal : lingkaran, kubus) dan menyusun balok-balok. Semua lobus berperan dalam kemampuan konstruksi dan lobus parietal terutama hemisfer kanan berperan paling dominan.

Menggambar jam sering digunakan untuk skrining kemampuan visuospasial dan fungsi eksekutif dimana berkaitan dengan gangguan di lobus frontal dan parietal.

e. Fungsi eksekutif

Fungsi eksekutif dari otak dapat didefenisikan sebagai suatu proses kompleks seseorang dalam memecahkan masalah /


(32)

persoalan baru. Proses ini meliputi kesadaran akan keberadaan suatu masalah, mengevaluasinya, menganalisa serta memecahkan / mencari jalan keluar suatu persoalan.

II.1.3. Anatomi Fungsi Kognitif

Masing-masing domain kognitif tidak dapat berjalan sendiri-sendiri dalam menjalankan fungsinya, tetapi sebagai satu kesatuan, yang disebut sistem limbik. Sistem limbik terdiri dari amygdala, hipokampus, nukleus talamik anterior, girus subkalosus, girus cinguli, girus parahipokampus, formasio hipokampus dan korpus mamilare. Alveus, fimbria, forniks, traktus mammilotalmikus dan striae terminalis membentuk jaras-jaras penghubung sistem ini (Waxman, 2007).

Peran sentral sistem limbik meliputi memori, pembelajaran, motivasi, emosi, fungsi neuroendokrin dan aktivitas otonom. Struktur otak berikut ini merupakan bagian dari sistem limbik

1. Amygdala, terlibat dalam pengaturan emosi, dimana pada hemisfer kanan predominan untuk belajar emosi dalam keadaan tidak sadar, dan pada hemisfer kiri predominan untuk belajar emosi pada saat sadar.

2. Hipokampus, terlibat dalam pembentukan memori jangka panjang, pemeliharaan fungsi kognitif yaitu proses pembelajaran.


(33)

3. Girus parahipokampus, berperan dalam pembentukan memori spasial.

4. Girus cinguli, mengatur fungsi otonom seperti denyut jantung, tekanan darah dan kognitif yaitu atensi.

5. Forniks, membawa sinyal dari hipokampus ke mammillary bodies dan septal nuclei. Adapun forniks berperan dalam memori dan pembelajaran.

6. Hipothalamus, berfungsi mengatur sistem saraf otonom melalui produksi dan pelepasan hormon, tekanan darah, denyut jantung, lapar, haus, libido dan siklus tidur / bangun, perubahan memori baru menjadi memori jangka panjang.

7. Thalamus ialah kumpulan badan sel saraf di dalam diensefalon membentuk dinding lateral ventrikel tiga. Fungsi thalamus sebagai pusat hantaran rangsang indra dari perifer ke korteks serebri. Dengan kata lain, thalamus merupakan pusat pengaturan fungsi kognitif di otak / sebagai stasiun relay ke korteks serebri.

8. Mammillary bodies, berperan dalam pembentukan memori dan pembelajaran.

9. Girus dentatus, berperan dalam memori baru.

10. Korteks enthorinal, penting dalam memori dan merupakan komponen asosiasi (Markam, 2003, Devinsky dkk. 2004).


(34)

Sedangkan lobus otak yang berperan dalam fungsi kognitif antara lain :

1. Lobus frontalis

Pada lobus frontalis mengatur motorik, prilaku, kepribadian, bahasa, memori, orientasi spasial, belajar asosiatif, daya analisa dan sintesis. Sebagian korteks medial lobus frontalis dikaitkan sebagai bagian sistem limbik, karena banyaknya koneksi anatomik dengan struktur limbik dan adanya perubahan emosi bila terjadi kerusakan.

2. Lobus parietalis

Lobus ini berfungsi dalam membaca, persepsi, memori dan visuospasial. Korteks ini menerima stimuli sensorik (input visual, auditori, taktil) dari area sosiasi sekunder. Karena menerima input dari berbagai modalitas sensori sering disebut korteks heteromodal dan mampu membentuk asosiasi sensorik (cross modal association). Sehingga manusia dapat menghubungkan input visual dan menggambarkan apa yang mereka lihat atau pegang.

3. Lobus temporalis

Lobus temporalis berfungsi mengatur pendengaran, penglihatan, emosi, memori, kategorisasi benda-benda dan seleksi rangsangan auditorik dan visual.


(35)

4. Lobus oksipitalis

Lobus oksipitalis berfungsi mengatur penglihatan primer, visuospasial, memori dan bahasa (Markam, 2003).

II.2. TES UNTUK MENILAI FUNGSI KOGNITIF II.2.1. Cognitive Performance Scale (CPS)

Pemeriksaan Cognitive Performace Scale ini pertama sekali diperkenalkan oleh Morris pada tahun 1994, dengan 5 bentuk pengukuran. Dimana bentuk – bentuk pengukuran tersebut meliputi status koma (comatose status), kemampuan dalam membuat keputusan (decision making), kemampuan memori (short – term memory), tingkat pengertian (making self understood) dan makan (eating). Tiap kategori dibagi dalam 7 grup, dimana pada skala nol (0) dinyatakan intact sampai skala enam (6) dinyatakan sebagai gangguan fungsi kognitif yang sangat berat (very severe impairment). Penelitian yang ada menunjukkan bahwa CPS memberikan penilaian fungsi kognitif yang akurat dan penuh arti pada populasi dalam suatu institusi (Hartmaier dkk. 1995 ).

Skor CPS didasarkan pada : (a) Apakah seseorang itu koma

(b) Kemampuannya dalam membuat keputusan

(c) Kemampuannya untuk membuat dirinya sendiri mengerti

(d) Apakah terdapat gangguan pada short-term memory atau delayed recall


(36)

(e) Apakah terdapat ketergantungan dalam self performance dalam hal makan (eating)

Skor CPS :

(a) Nol : jika tidak terdapat gangguan dalam kemampuan membuat keputusan, membuat dirinya sendiri mengerti dan recent memory.

(b) Satu : jika terdapat satu dari kriteria di bawah ini

(i) Apabila kemampuan dalam membuat keputusan modified independence atau moderately impared

(ii) Apabila kemampuan untuk membuat dirinya sendiri mengerti, biasanya, kadang – kadang, jarang/tidak pernah mengerti atau

(iii) Terdapat gangguan recent memory

(c) Dua : jika terdapat dua dari kriteria di bawah ini

(i) Apabila kemampuan dalam membuat keputusan modified independence atau moderately impared

(ii) Apabila kemampuan untuk membuat dirinya sendiri mengerti, biasanya, kadang – kadang, jarang/tidak pernah mengerti atau


(37)

(d) Tiga : jika terdapat paling tidak dua dari kriteria (b) dan satu dari kriteria di bawah ini

(i) Kemampuan dalam membuat keputusan moderately impaired atau

(ii) Kemampuan untuk membuat dirinya sendiri mengerti, kadang – kadang atau jarang/tidak pernah mengerti

(e) Empat : jika kedua kriteria berikut terpenuhi

(i) Kemampuan dalam membuat keputusan moderately impaired dan

(ii) Kemampuan untuk membuat dirinya sendiri mengerti, kadang – kadang atau jarang/tidak pernah mengerti

(f) Lima : jika kemampuan membuat keputusan severely impaired (g) Enam : jika satu dari kriteria berikut terpenuhi

(i) Kemampuan dalam membuat keputusan severely impaired dan terdapat ketergantungan penuh dalam hal makan atau (ii) Keadaan koma

Kemampuan dalam membuat keputusan maksudnya adalah kemampuan membuat keputusan setiap hari tentang tugas atau aktivitas hidup sehari-hari, dibagi atas 4 yaitu :

a. Independent : keputusan tentang rutinitas sehari-hari konsisten dan terorganisir.


(38)

b. Modified independence : aktivitas sehari-hari terorganisir, mampu membuat keputusan dalam situasi yang sudah biasa namun terdapat kesulitan dalam membuat keputusan apabila dihadapkan dengan tugas atau situasi yang baru.

c. Moderately impaired : dibutuhkan peringatan, isyarat dan pengawasan dalam merencanakan dan memperbaiki rutinas sehari-hari.

d. Severely impaired : pengambilan keputusan sangat terganggu, tidak pernah/sangat jarang membuat keputusan.

Kemampuan membuat dirinya sendiri mengerti dibagi atas 4, yaitu : a. Mengerti : dapat menyatakan ide secara jelas.

b. Biasanya mengerti : terdapat kesulitan dalam menemukan kata yang tepat dalam berkomunikasi sehingga responnya terlambat.

c. Kadang–kadang mengerti : terdapat kemampuan yang terbatas tetapi dapat menyatakan permintaan yang berhubungan dengan kebutuhan dasar (seperti makanan, minuman, tidur, toilet).

d. Jarang/tidak pernah mengerti: terdapat bunyi atau bahasa tubuh yang spesifik yang dimengerti secara terbatas oleh orang yang merawat (contoh menunjukkan adanya nyeri atau butuh ke toilet).


(39)

II.2.2. Mini Mental State Examination ( MMSE)

Pemeriksaan Mini Mental State Examination (MMSE) ini awalnya dikembangkan untuk skrining demensia, namun sekarang digunakan secara luas untuk pengukuran fungsi kogntif secara umum. Pemeriksaan MMSE kini adalah instrumen skrining yang paling luas digunakan untuk menilai status kognitif dan status mental pada usia lanjut (Kochhann dkk. 2009, Burns dkk. 2002).

Sebagai satu penilaian awal, pemeriksaan MMSE adalah tes yang paling banyak dipakai. Pemeriksaan status mental MMSE Folstein adalah tes yang paling sering dipakai saat ini. Penilaian dengan nilai maksimal 30, cukup baik dalam mendeteksi gangguan kognitif, menetapkan data dasar dan memantau penurunan kognitif dalam kurun waktu tertentu. Skor MMSE normal 24 – 30. Bila skor kurang dari 24 mengindikasikan gangguan fungsi kognitif (Folstein dkk. 1975, Asosiasi Alzheimer Indonesia, 2003).

Pada penelitian MMSE di Medan, yang dilakukan pada 473 orang sehat dengan rentang usia 16 – 75 tahun dan dengan berbagai latar belakang pendidikan dan pekerjaan didapatkan nilai yang berbeda untuk masing – masing usia dan pendidikan yang berbeda (Sjahrir dkk. 2001).


(40)

Tabel 1. Nilai MMSE berdasarkan usia

Dikutip dari : Sjahrir H.,Ritarwan K.,Tarigan S.,Rambe AS., Lubis ID., Bhakti I. The Mini Mental State Examination in healthy individuals in Medan, Indonesia by age and education level. Neurol J Southeast Asia.2001;6:19-22.

Tabel 2. Nilai MMSE berdasarkan tingkat pendidikan

Dikutip dari : Sjahrir H.,Ritarwan K.,Tarigan S.,Rambe AS., Lubis ID., Bhakti I. The Mini Mental State Examination in healthy individuals in Medan, Indonesia by age and education level. Neurol J Southeast Asia.2001;6:19-22.


(41)

Pada penelitian Sjahrir, 2001, tabel 1 menunjukkan median, kuartil atas dan kuartil bawah skor MMSE sesuai usia dan pada tabel 2 menunjukkan median, kuartil atas dan kuartil bawah skor MMSE sesuai dengan tingkta pendidikan. Pada penelitian ini tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara usia dan skor MMSE namun terdapat hubungan antara skor MMSE dengan tingkat pendidikan, dimana skor yang semakin tinggi ditemukan pada subjek dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi juga, dengan nilai korelasi +0.36, p < 0,05. Namun pada penelitian ini ditemukan perbedaan yang tidak signifikan antara skor MMSE dengan jenis kelamin. Skor MMSE rata-rata untuk pria 27,0 dan wanita 26,8 (Sjahrir dkk. 2001).

Instrumen ini disebut “mini” karena hanya fokus pada aspek kognitif dari fungsi mental dan tidak mencakup pertanyaan tentang mood, fenomena mental abnormal dan pola pikiran. Mini Mental State Examination (MMSE) menilai sejumlah domain kognitif, orientasi ruang dan waktu, working and immediate memory, atensi dan kalkulasi, penamaan benda, pengulangan kalimat, pelaksanaan perintah, pemahaman dan pelaksanaan perintah menulis, pemahaman dan pelaksanaan perintah verbal, perencanaan dan praksis. Instrumen ini direkomendasikan sebagai screening untuk penilaian kognitif global oleh American Academy of Neurology (AAN) (Kochhann dkk. 2010).

Pemeriksaan Mini Mental State Examination (MMSE) dijadikan metode skrining untuk memantau perkembangan demensia. Secara


(42)

umum MMSE berkorelasi baik dengan berbagai pemeriksaan fungsi kognitif lainnya. Nilai cut-off yang bervariasi menyokong nilai sensitifitas dan spesifisitas yang maksimal pada populasi yang berbeda. Skor nya dapat mengalami bias oleh karena dasar tingkat pendidikan, bahasa dan kultur, yang mana pasien dengan tingkat pendidikan yang rendah dapat diklasifikasikan sebagai demensia dan pasien lainnya dengan tingkat pendidikan yang tinggi dapat terlupakan. Skor ≤ 23 dengan tingkat

pendidikan sampai high school, dan skor ke ≤ 25 dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi sering kali digunakan sebagai indikasi terdapat gangguan fungsi kognitif secara signifikan. Nilai MMSE secara umum menurun seiring dengan pertambahan usia. Meskipun skor rata – rata yang rendah pada orang usia lanjut dapat mengakibatkan prevalensi demensia yang semakin meningkat pada kelompok usia lanjut. Skor 30 tidak selalu berarti fungsi kognitifnya normal dan skor 0 tidak berarti secara mutlak bahwa fungsi kognitifnya tidak ada (Woodford dkk. 2007).

II.2.3. General Practitioner Assessment of Cognition (GPCOG)

Pemeriksaan General Practitioner Assessment of Cognition (GPCOG) merupakan salah satu bentuk dari Cambridge Cognitive (CAMCOG). Pemeriksaan CAMCOG merupakan bagian tersendiri untuk pemeriksaan fungsi kognitif dari Cambridge Examination for Mental Disoreders of the Elderly (CAMDEX). Cambridge Cognitive (CAMCOG) merupakan instrumen yang terstandarisasi yang digunakan untuk menilai


(43)

tingkat demensia dan untuk menilai tingkat gangguan kognitif. Pengukuran ini menilai orientasi, bahasa, memori, atensi, kemampuan berpikir abstrak, persepsi dan kalkulasi. Akibat adanya berbagai bentuk CAMCOG untuk menilai fungsi kognitif dalam berbagai tingkat kesulitan maka salah satu kelebihannya adalah kemampuannya untuk mendeteksi gangguan kognitif yang ringan (Burns dkk. 2002, Huppert dkk. 1995).

Pemeriksaan GPCOG ini dipublikasi tahun 2002, yang terdiri 9 item cognitive dan 6 item informasi, yang diperoleh dari Cambridge Cognitive Examination, Psychogeriatric Assesssment Scale. General Practitioner Assessment of Cognition (GPCOG) memerlukan waktu 4 – 5 menit dalam melakukan penilaian dan memiliki akurasi diagnostik yang sama dengan MMSE dalam mendeteksi demensia (Brodaty dkk. 2002).

Bentuk CAMCOG lainnya yaitu Revised CAMCOG (CAMCOG-R) dan Rotterdam CAMCOG (R-CAMCOG). Pemeriksaan CAMCOG-R dipublikasi pada tahun 1999 oleh Roth, Huppert, Mountjoy dan Tym. Revised CAMCOG (CAMCOG-R) meningkatkan kemampuan menilai dalam menentukan berbagai bentuk demensia dan untuk membuat diagnosa klinis yang berdasarkan ICD-10 dan DSM-IV. Sedangkan R-CAMCOG dipublikasikan tahun 2000, R-R-CAMCOG merupakan versi yang lebih singkat dari CAMCOG yang terdiri dari 25 item. Diperlukan 10 – 25 menit dalam melakukan penilaian ini dan sama akuratnya dengan CAMCOG pada demensia pasca stroke (Inge de Koning dkk. 2000).


(44)

II.4. KERANGKA TEORI

GPCOG

MMSE

CPS

FUNGSI KOGNITIF

Jones K.dkk (2010) Skor CPS yang semakin tinggi berhubungan dengan gangguan fungsional dan demensia yang semakin besar dibandingkan dengan skor CPS yang lebih rendah.

Bula CJ. dkk (2009) Pasien dengan CPS abnormal memiliki resiko kematian yang semakin tinggi hanya apabila disertai dengan nilai MMSE yang abnormal juga.

Wellens dkk (2012) Skor MMSE<24 memiliki nilai akurasi CPS yang moderate dengan sensitivitas yang rendah dan spesifitas yang memuaskan, namun skor MMSE<18 memiliki skor CPS dengan sensitivitas yang tinggi dan spesifitas yang rendah.

Paquay dkk (2007) Skala CPS dihubungkan erat dengan skor MMSE,meskipun tidak ada studi tentang akurasi standar diagnostik yang membandingkan CPS dan MMSE dengan gold standard yang telah digunakan.

Brodaty dkk. tahun 2002 didapatkan bahwa GPCOGreliable dan superior terhadap MMSE dengan sensitifitas 0,85 dan spesifitas 0,86.

Usia lanjut

Thomas dkk. tahun 2006 didapatkan bahwa GPCOG dalam mendiagnosa demensia memiliki sensitifitas 96%, spesifitas 62% , positive predictive value 83% dan negative predictive value 90%. Pemeriksaan GPCOG akurat dan merupakan instrumen yang mudah diterima dalam melakukan skrining demensia.


(45)

II.5. KERANGKA KONSEP

Usia lanjut

MMSE

CPS


(46)

BAB III

METODE PENELITIAN

III.1. TEMPAT DAN WAKTU

Penelitian dilakukan di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai - Medan dan Panti Jompo Karya Kasih Medan dari 11 s/d 18 September 2013.

III.2. SUBJEK PENELITIAN

Subjek penelitian diambil dari populasi UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai - Medan dan Panti Jompo Karya Kasih Medan. Penentuan subjek penelitian dilakukan menurut metode sampling non random secara konsekutif.

III.2.1. Populasi Sasaran

Semua populasi yang berusia ≥ 60 tahun yang memenuhi kriteria inklusi.

III.2.2. Populasi Terjangkau

Semua populasi yang berusia ≥ 60 tahun yang memenuhi kriteria inklusi yang tinggal di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai - Medan dan Panti Jompo Karya Kasih Medan.


(47)

III.2.3. Besar Sampel

Dihitung dengan rumus : (Dahlan, 2009) N = Zα 2

d

sen (1-sen)

2

Dimana :

P

N = besar sampel

sen = sensitifitas yang diinginkan dari indeks, ditetapkan peneliti d = presisi penelitian

Zα = deviat baku alpha

ditetapkan sebesar 5% → Zα = 1,96 P = prevalensi penyakit

Sehingga N = 1,962 0,1

x 0,81 x 0,19

2

N = 78,82

x 0,75

Dibutuhkan sampel minimal 80 sampel

III.2.4. Kriteria Inklusi

1. Usia 60 tahun ke atas 2. Dapat berbahasa Indonesia 3. Dapat membaca dan menulis

4. Memberikan persetujuan untuk ikut dalam penelitian III.2.5. Kriteria Eksklusi


(48)

III.3. BATASAN OPERASIONAL

1. Usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Menurut WHO, usia lanjut dibagi atas :

a. usia lanjut (elderly) yaitu usia 60 - 74 tahun b. lanjut usia tua (old) yaitu usia 75 – 90 tahun

c. usia sangat tua (very old) yaitu usia lebih dari 90 tahun (Nugroho, 2012)

2. Fungsi kognitif adalah merupakan aktivitas mental secara sadar seperti berpikir, mengingat, belajar, dan menggunakan bahasa. Fungsi kognitif juga merupakan kemampuan atensi, memori, pertimbangan, pemecahan masalah, serta kemampuan eksekutif seperti merencanakan, menilai, mengawasi, dan melakukan evaluasi (Strub dkk. 2000).

3. Cognitive Performance Scale (CPS) merupakan suatu pengukuran fungsi kognitif yang pertama sekali diperkenalkan oleh Morris pada tahun 1994, dengan 5 bentuk pengukuran. Dimana bentuk – bentuk pengukuran tersebut meliputi status koma (comatose status), kemampuan dalam membuat keputusan (decision making), kemampuan memori (short – term memory), tingkat pengertian (making self understood) dan makan (eating). Tiap kategori dibagi dalam 7 grup, dimana pada skala nol (0) dinyatakan intact sampai skala enam (6) dinyatakan sebagai gangguan fungsi kognitif yang sangat berat (very severe impairment) (Hartmaier dkk. 1995).


(49)

4. Mini Mental State Examination (MMSE) adalah suatu pengukuran kognitif yang pertama kali diperkenalkan oleh Folstein. Skor mulai dari 0 sampai 30 (Asosiasi Alzheimer Indonesia, 2003).

5. General Practitioner Assessment of Cognition (GPCOG) merupakan salah satu bentuk dari CAMCOG, yang terdiri 9 item cognitive dan 6 item informasi, yang diperoleh dari Cambridge Cognitive Examination, Psychogeriatric Assesssment Scale (Brodaty dkk. 2002).

6. Penderita dengan gangguan kesadaran adalah penderita dengan tingkat kesadaran confusion (apatis), somnolen, sopor, dan koma (Thefee dictionary, 2011).

III.4. RANCANGAN PENELITIAN

Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan metode pengambilan data secara potong lintang dengan sumber data primer yang diperoleh dari semua populasi laki – laki dan perempuan yang berusia ≥ 60 tahun yang tinggal di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai - Medan dan Panti Jompo Karya Kasih Medan.

III.5. PELAKSANAAN PENELITIAN III.5.1. Instrumen

- Cognitive Performance Scale (CPS) - Mini Mental State Examination (MMSE)


(50)

III.5.2. Pengambilan Sampel

Semua populasi yang tinggal di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai - Medan dan Panti Jompo Karya Kasih Medan, yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi, mengisi kuisoner, dilakukan pemeriksaan CPS, MMSE dan GPCOG, kemudian menandatangani surat persetujuan ikut penelitian.

Penilaian gangguan fungsi kognitif berdasarkan cut-off point penelitian Paquay dkk., 2007, dimana untuk CPS ≥ 2 , MMSE ≤ 23 mengalami gangguan kognitif. Sedangkan cut-off point untuk GPCOG bredasarkan penelitian Ebell M,2009, dimana untuk GPCOG ≤ 7 mengalami gangguan kognitif.


(51)

III.5.3. Kerangka Operasional

Pasien usia lanjut di

UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai - Medan dan Panti Jompo

Karya Kasih Medan.

Anamnesa dan pemeriksaan fisik

Kriteria Inklusi

Kriteria eksklusi

CPS, MMSE

dan

GPCOG

Analisa data


(52)

III.5.4. Variabel Yang Diamati Variabel bebas : CPS, MMSE Variabel terikat : GPCOG

III.5.5. Analisa Statistik

Data hasil penelitian akan dianalisa secara statistik dengan bantuan program komputer . Analisa dan penyajian data dilakukan sebagai berikut :

III.5.5.1. Analisa deskriptif digunakan untuk melihat karakteristik subjek penelitian.

III.5.5.2. Untuk mengetahui nilai akurasi CPS terhadap GPCOG dalam menilai fungsi kognitif usia lanjut yang tinggal di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai - Medan dan Panti Jompo Karya Kasih Medan digunakan uji diagnostik.

III.5.5.3. Untuk mengetahui nilai akurasi MMSE terhadap GPCOG dalam menilai fungsi kognitif usia lanjut yang tinggal di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai - Medan dan Panti Jompo Karya Kasih Medan digunakan uji diagnostik.

III.5.5.4. Untuk mengetahui sensitifitas dan spesifitas CPS dalam menilai fungsi kognitif usia lanjut yang tinggal di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai - Medan dan Panti Jompo Karya Kasih Medan digunakan uji diagnostik.


(53)

III.5.5.5. Untuk mengetahui Nilai Duga Positif (NDP) dan Nilai Duga Negatif (NDN) CPS dalam menilai fungsi kognitif usia lanjut yang tinggal di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai - Medan dan Panti Jompo Karya Kasih Medan digunakan uji diagnostik. III.5.5.6. Untuk mengetahui Rasio Kemungkinan Positif (RKP) dan Rasio Kemungkinan Negatif (RKN) CPS dalam menilai fungsi kognitif usia lanjut yang tinggal di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai - Medan dan Panti Jompo Karya Kasih Medan digunakan uji diagnostik.

III.5.5.7. Untuk mengetahui sensitifitas dan spesifitas MMSE dalam menilai fungsi kognitif usia lanjut yang tinggal di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai - Medan dan Panti Jompo Karya Kasih Medan digunakan uji diagnostik.

III.5.5.8. Untuk mengetahui Nilai Duga Positif (NDP) dan Nilai Duga Negatif (NDN) MMSE dalam menilai fungsi kognitif usia lanjut yang tinggal di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai - Medan dan Panti Jompo Karya Kasih Medan digunakan uji diagnostik. III.5.5.9. Untuk mengetahui Rasio Kemungkinan Positif (RKP) dan Rasio Kemungkinan Negatif (RKN) MMSE dalam menilai fungsi kognitif usia lanjut yang tinggal di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai - Medan dan Panti Jompo Karya Kasih Medan digunakan uji diagnostik.


(54)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

IV.1. HASIL PENELITIAN

IV.1.1. Karakteristik Subjek Penelitian

Dari keseluruhan populasi yang tinggal di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai - Medan dan Panti Jompo Karya Kasih Medan terdapat 80 orang subjek usia lanjut yang memenuhi kriteria inklusi sehingga diikutkan dalam penelitian ini. Subjek terdiri dari 35 (43,75%) tinggal di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai – Medan dan 45 (56,25%) tinggal di Panti Jompo Karya Kasih Medan.

Dari 80 orang subjek usia lanjut yang dianalisa, terdiri dari 34 laki - laki (42,5%) dan 46 perempuan (57,5%). Usia terbanyak adalah usia 60 – 74 tahun yaitu sebanyak 50 orang (62,5%). Suku terbanyak adalah suku Jawa yaitu 30 orang (37,5%). Lama pendidikan terbanyak adalah 0-6 tahun sebanyak 29 orang (36,3%). Dari 80 subjek penelitian, mayoritas memiliki faktor resiko hipertensi yaitu sebanyak 23 orang (28,75%).

Hasil pemeriksaan fungsi kognitif terhadap 80 orang subjek penelitian didapati yang mengalami gangguan fungsi kognitif berdasarkan penillaian dengan menggunakan MMSE berjumlah 50 orang (62,5%) dengan cut-off point ≤ 23, dengan menggunakan CPS berjumlah 41 orang (51,25%) dengan cut-off point ≥ 2 dan dengan menggunakan


(55)

GPCOG berjumlah 44 orang (55%) dengan cut-off point ≤7. Data lengkap mengenai karakteristik subjek penelitian ini disajikan pada tabel 3.

Tabel 3. Karakteristik subjek penelitian

n %

Usia

60-74 tahun 50 62,50

75-90 tahun 29 36,25

>90 tahun 1 1,25

Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 34 46 42,50 57,50 Suku Banten Batak Cina Jawa NTT Pendidikan SD SLTP SLTA Akademi Perguruan Tinggi 2 19 28 30 1 29 28 19 1 3 2,50 23,80 35,00 37,50 1,30 36,30 35,00 23,80 1,30 3,80 Faktor Resiko Hipertensi DM Jantung Stroke Dislipidemia Merokok Lain-lain Nilai

CPS < 2 CPS ≥ 2 MMSE >23 MMSE ≤ 23 GPCOG >7 GPCOG ≤ 7

23 18 5 11 3 15 5 39 41 30 50 36 44 28,75 22,50 6,25 13,75 3,75 18,75 6,25 48,75 51,25 37,50 62,50 45,00 55,00


(56)

IV.1.2. Diagnostik CPS terhadap GPCOG

Dari penelitian ini didapatkan bahwa CPS memiliki sensitifitas 0,84, spesifisitas 0,88, Nilai Duga Positif 0,90, Nilai Duga Negatif 0,82, Rasio Kemungkinan Positif 7, Rasio Kemungkinan Negatif 0,18 dan akurasi 0,86. Data lengkap mengenai nilai diagnostik CPS terhadap GPCOG dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4. Hasil Penelitian Diagnostik CPS terhadap GPCOG GPCOG

Total Positif

≤7 Negatif >7 CPS Positif

≥2 37 4 41

Negatif <2

7 32 39

44 36 80

Analisa dengan uji diagnostik

Sensitifitas = a : (a+c) = 37 : 44 = 0,84 Spesifisitas = d : (b+d)

= 32 : 36 = 0,88 Nilai Duga Positif = a : (a+b)

= 37 : 41 = 0,90 Nilai Duga Negatif = d : (c+d)

= 32 : 39 = 0,82

Rasio Kemungkinan Positif = sensitifitas : (1-spesifisitas) = 0,84 : (1-0,88) = 7


(57)

Rasio Kemungkinan Negatif = (1-sensitifitas) :spesifisitas = (1- 0,84) : 0,88 = 0,18 Akurasi = (a+d) / N

= (37+32) / 80 = 69/80 = 0,86

IV.1.3. Diagnostik MMSE terhadap GPCOG

Dari penelitian ini didapatkan bahwa MMSE sensitifitas 0,90, spesifisitas 0,72, Nilai Duga Positif 0,80, Nilai Duga Negatif 0,86, Rasio Kemungkinan Positif 3,21, Rasio Kemungkinan Negatif 0,13 dan akurasi 0,82. Data lengkap mengenai nilai diagnostik CPS terhadap GPCOG dapat dilihat pada tabel 5.

Tabel 5. Hasil Penelitian Diagnostik MMSE terhadap GPCOG GPCOG

Total Positif

≤7 Negatif >7 MMSE Positif

≤23 40 10 50

Negatif >23

4 26 30

44 36 80

Analisa dengan uji diagnostik

Sensitifitas = a : (a+c) = 40 : 44 = 0,90 Spesifisitas = d : (b+d)


(58)

Nilai Duga Positif = a : (a+b) = 40 : 50 = 0,80

Nilai Duga Negatif = d : (c+d) = 26 : 30 = 0,86

Rasio Kemungkinan Positif = sensitifitas : (1-spesifisitas) = 0,90 : (1-0,72) = 3,21 Rasio Kemungkinan Negatif = (1-sensitifitas) :spesifisitas

= (1-0,90) : 0,72 = 0,13 Akurasi = (a+d) / N

= (40+26) / 80 = 66/80 = 0,82

Dari hasil perhitungan di atas didapati akurasi CPS 0,86 dan MMSE 0,82. Untuk menilai perbedaan akurasi antara CPS dan MMSE apakah bermakna atau tidak, maka perlu dicari nilai p. Dalam mencari nilai p, sebelumnya harus dicari terlebih dahulu nilai Z, yang diperoleh dari perhitungan sebagai berikut :

Z = p – P √P.Q/N = 0,86 – 0,82 √ 0,82 . 0,18/80 Z = 0,93124

p = 0,323

sehingga disimpulkan bahwa terdapat perbedaan akurasi yang tidak bermakna antara CPS dan MMSE (p = 0,32).


(59)

IV.2. PEMBAHASAN

Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang dengan tujuan untuk melihat perbandingan akurasi diagnostik antara CPS dan MMSE terhadap GPCOG dalam menilai fungsi kognitif pada usia lanjut.

Pada penelitian ini populasi yang tinggal di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai - Medan dan Panti Jompo Karya Kasih Medan yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dilakukan pemeriksaan fungsi kognitif dengan menggunakan CPS dan MMSE dan GPCOG.

Pada penelitian ini dari 80 orang subjek penelitian ditemukan usia subjek yang terbanyak adalah usia 60 – 74 tahun (62,5%) dan jumlah perempuan lebih banyak yaitu 46 orang (57,5%) dibandingkan pria yang berjumlah 34 0rang (42,5%). Hal ini sesuai dengan data World Health Organization (WHO) tahun 2003 yang mendapatkan bahwa jumlah usia lanjut yang berusia 60 tahun atau lebih ada sekitar 10 % dari seluruh populasi dan dari antara yang berusia lanjut ditemukan jumlah perempuan lebih banyak dibandingkan laki – laki. Hal ini disebabkan angka harapan hidup perempuan lebih tinggi daripada laki – laki. Hal ini sesuai dengan penelitian Carpenter tahun 2006 tentang gangguan kognitif dimana dari seluruh subjek penelitiannya, ditemukan bahwa jumlah perempuan lebih banyak dibandingkan laki – laki. Penelitian Zhang Z, 2006, pada penduduk China yang berusia lanjut ditemukan juga bahwa perempuan memiliki resiko yang lebih tinggi mengalami gangguan kognitif dibandingkan


(60)

dengan pria. Menurut penelitian Sjahrir, 2001, ditemukan bahwa semakin meningkatnya usia, maka fungsi kognitifnya akan semakin menurun. Hal ini sesuai dengan Berg, 2006, yang menyatakan bahwa semakin tinggi usia maka fungsi kognitif juga semakin menurun. Hal ini diakibatkan penurunan volume otak, terjadinya white matter lesion dan brain infarct. Tabel 6. Perbandingan nilai MMSE berdasarkan usia

Usia Median scores

Sjahrir Tedjasuk Crum Bleecker Sibarani (n=473) (n=204) (n=18.056) (n=194) (n=80) (n=80)

>60 21 26 27 29 23

Perbandingan nilai median MMSE berdasarkan usia, antara penelitian ini dibandingkan dengan 4 penelitian lainnya ditemukan bahwa nilai median MMSE tertinggi ditemukan pada penelitian Bleecker dan nilai median terendah ditemukan pada penelitian Sjahrir.

Tingkat pendidikan yang terbanyak pada penelitian ini adalah Sekolah Dasar (SD) yaitu 29 orang (36,3%) diikuti Sekolah Lanjut Tingkat Pertama (SLTP) 28 orang (35,0%) kemudian Sekolah Lanjut Tingkat Atas (SLTA) 19 orang (23,8%) dan Perguruan Tinggi 3 orang (3,8%) serta Akademi 1 orang (1,3%). Dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan rata-rata subjek lanjut usia yang tinggal di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai - Medan dan Panti Jompo Karya Kasih Medan masih rendah. Hal ini sesuai dengan penelitian Dufouil C,


(61)

2003, menemukan bahwa tingkat pendidikan yang rendah berhubungan secara signifikan dengan fungsi kognitif yang rendah juga. Menurut Sjahrir, 2001, menemukan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan maka nilai MMSE juga semakin tinggi. Menurut Kochhann R, 2009, menemukan pendidikan dan usia berhubungan dengan skor MMSE, dimana individu yang pendidikan yang tinggi dan usia yang lebih muda mempunyai skor MMSE yang lebih tinggi. Kierzynka, 2011, menemukan bahwa tingkat pendidikan yang rendah berhubungan dengan hasil tes fungsi kogniitif yang buruk. Yaffe, 2011, pada penelitian fungsi kognitif wanita usia tua mendapatkan bahwa gangguan kognitif lebih sering dijumpai pada wanita dengan pendidikan yang rendah.

Tabel 7. Perbandingan nilai MMSE berdasarkan tingkat pendidikan Pendidikan Median scores

Sjahrir Tedjasuk Crum Sibarani (n=473) (n=204) (n=18.056) (n=80) 0-6 tahun 24 26 22 21 7-9 tahun 26 29 26 23 10-12 tahun 26 29 29 26 >12 tahun 28 30 29 24

Perbandingan nilai median MMSE berdasarkan tingkat pendidikan pada penelitian ini dibandingkan dengan 3 penelitian lainnya ditemukan bahwa umumnya apabila tingkat pendidikan semakin tinggi, maka nilai median MMSE juga akan semakin meningkat juga. Namun nilai median MMSE untuk lama pendidikan >12 tahun pada penelitian inii, ditemukan bahwa nilai median MMSE nya lebih rendah dibandingkan dengan lama


(62)

pendidikan 10-12 tahun. Hal ini kemungkinan diakibatkan pada penelitian ini, jumlah subjek yang menjalani pendidikan >12 tahun hanya 4 subjek dan keempat subjek tersebut mempunyai nilai MMSE yang sangat bervariasi.

Pada penelitian ini dari 80 orang subjek penelitian ditemukan suku subjek penelitian yang terbanyak adalah suku Jawa 30 orang (37,5%) diikuti suku Cina 28 orang (35%), suku Batak 19 orang (23,8%), suku Banten 2 orang (2,5%) dan suku NTT 1 orang (1,3%).

Berbagai faktor resiko diduga berhubungan dengan fungsi kognitif. Pada penelitian ini terdapat faktor resiko hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung, stroke, merokok dan dislipidemia. Dari berbagai faktor resiko tersebut yang terbanyak adalah hipertensi yaitu 23 orang (28,75%) dan yang kedua adalah diabetes melitus yaitu 18 orang (22,5%). Hal ini sesuai dengan penelitian Reitz, 2007, menemukan bahwa riwayat hipertensi berhubungan dengan meningkatnya resiko gangguan kognitif. Penelitian Cheng, 2012, menemukan bahwa subjek diabetes melitus merupakan faktor resiko terjadinya gangguan kognitif dan demensia. Lopez, 2003, mendapatkan bahwa penyakit serebrovaskular merupakan faktor resiko terjadinya gangguan fungsi kognitif. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesda) 2013 prevalensi hipertensi di Indonesia berdasarkan hasil pengukuran pada umur ≥18 tahun sebesar 25,8 persen. Prevalensi hipertensi cenderung lebih tinggi pada kelompok pendidikan


(63)

lebih rendah dan kelompok tidak bekerja, kemungkinan akibat ketidaktahuan tentang pola makan yang baik.

Penilaian fungsi kognitif terhadap 80 orang subjek penelitian digunakan pemeriksaan CPS, MMSE dan GPCOG. Dengan menggunakan CPS didapati 41 orang (51,25%) mengalami gangguan fungsi kognitif dengan cut-off point ≥ 2, dengan menggunakan MMSE didapati 50 orang (62,5%) mengalami gangguan fungsi kognitif dengan cut-off point ≤ 23 dan dengan menggunakan GPCOG didapati 44 orang (55,0%) mengalami gangguan fungsi kognitif dengan cut-off point ≤ 7.

Pada penelitian ini didapatkan nilai sensitifitas CPS lebih rendah dibandingkan MMSE, dimana sensitifitas CPS 0,84 dan sensitifitas MMSE 0,90. Kemampuan MMSE untuk menghasilkan hasil yang positif pada pasien yang positif menderita gangguan kognitif lebih tinggi daripada CPS. Hal ini sesuai dengan penelitian Paquay, 2007, mendapatkan sensitifitas CPS lebih rendah dibandingkan dengan MMSE. Dimana sensitifitas CPS 0,81 sedangkan sensitifitas MMSE 0,97. Penelitian Wellens, 2012, mendapatkan bahwa dengan menggunakan MMSE sebagai gold standard, CPS memilki sensitifitas yang lebih rendah, namun spesifisitasnya memuaskan. Penelitian Travers, 2013, mendapatkan sensitifitas CPS sedikit lebih rendah dibandingkan dengan MMSE yaitu sensitifitas CPS 0,68 dan MMSE 0,75.

Spesifisitas CPS yaitu 0,88 lebih tinggi bila dibandingkan dengan spesifisitas MMSE yaitu 0,72. Kemampuan CPS untuk menghasilkan hasil


(64)

negatif pada pasien yang tidak menderita gangguan kognitif lebih tinggi dibandingkan MMSE. Hal ini sesuai dengan penelitian Paquay, 2007, mendapatkan bahwa CPS memiliki spesifisitas yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan MMSE. Dimana spesifisitas CPS 0,80 dan MMSE 0,59. Penelitian Travers, 2013, mendapatkan spesifisitas CPS lebih tinggi dibandingkan dengan MMSE yaitu spesifisitas CPS 0,92 dan MMSE 0,82.

Nilai Duga Positif (NDP) CPS lebih tinggi dibandingkan MMSE dimana nilai NDP untuk CPS yaitu 0,90 dan untuk MMSE yaitu 0,80. Pada pemeriksaan CPS, hasil pemeriksaan yang positif dan benar – benar positif 90% sedangkan MMSE 80%. Hal ini sesuai dengan penelitian Paquay, 2007, mendapatkan bahwa NDP CPS lebih tinggi dibandingkan dengan NDP MMSE yaitu NDP CPS 0,92 dan NDP MMSE 0,88. Penelitian Travers, 2013, medapatkan bahwa NDP CPS lebih tinggi daripada MMSE yaitu NDP CPS 0,70 dan NDP MMSE 0,48.

Nilai Duga Negatif (NDN) CPS yaitu 0,82 yang sedikit lebih rendah dibandingkan MMSE yang nilainya 0,86. Pada pemeriksaan CPS,hasil pemeriksaan yang negatif dan benar-benar negatif 82% dan MMSE 86%. Hal ini sesuai dengan penelitian Paquay, 2007, mendapatkan bahwa nilai NDN CPS lebih rendah bila dibandingkan dengan MMSE yaitu NDN CPS 0,57 dan NDN MMSE 0,85. Penelitian Travers, 2013, medapatkan bahwa NDN CPS lebih rendah dibandingkan dengan MMSE yaitu NDN CPS 0,92 dan NDN MMSE 0,93.


(65)

Menurut Dahlan, 2009, bahwa bagi seorang klinis Nilai Duga Positif dan Negatif mempunyai arti yang lebih penting dibandingkan dengan sensitifitas dan spesifisitas. Karena pada akhirnya yang dilakukan seorang klinisi adalah melakukan interpretasi terhadap hasil pemeriksaan yang telah dilakukan. Namun nilai NDP dan NDN ini sangat berfluktuasi, dipengaruhi oleh prevalensi suatu penyakit. Kedua nilai ini akan berbeda apabila dilakukan pada populasi dengan prevalensi penyakit yang berbeda. Parameter diagnostik yang tidak dipengaruhi prevalensi penyakit adalah Rasio Kemungkinan Positif dan Rasio Kemungkinan Negatif. (Dahlan, 2009 ; Pusponegoro, 2007)

Rasio Kemungkinan Positif (RKP) CPS lebih tinggi dibandingkan dengan MMSE. Dimana RKP CPS didapatkan 7 dan RKP MMSE 3,21. Pada pemeriksaan CPS, perbandingan antara hasil positif pada kelompok yang menderita gangguan kognitif dibandingkan hasil positif pada kelompok yang tidak menderita gangguan kognitif adalah 7 sedangkan untuk MMSE 3,21. Hal ini sesuai dengan penelitian Paquay, 2007, yang mendapatkan bahwa RKP CPS lebih tinggi yaitu 3,95 dibandingkan dengan RKP MMSE 2,37.

Rasio Kemungkinan Negatif (RKN) CPS lebih tinggi dibandingkan dengan MMSE. Dimana RKN CPS didapatkan 0,18 dan RKP MMSE 0,13. Pada pemeriksaan CPS, perbandingan antara hasil negatif pada kelompok yang menderita gangguan kognitif dibandingkan hasil negatif pada kelompok yang tidak menderita gangguan kognitif adalah 0,18 dan


(66)

MMSE 0,13. Hal ini sesuai dengan penelitian Paquay, 2007, yang mendapatkan bahwa RKN CPS lebih tinggi yaitu 0,24 dibandingkan dengan RKN MMSE 0,06

Nilai Rasio Kemungkinan (RK) bervariasi antara 0 sampai tak terhingga. Hasil uji diagnostik yang positif kuat memberikan nilai RK yang jauh lebih besar dari 1, hasil uji yang negatif kuat akan memberi nilai RK mendekati nilai 0, sedangkan hasil uji yang sedang memberikan nilai RK di sekitar nilai 1. Pada umumnya nilai RKP di atas 10 dan RKN di bawah 0,1 dianggap mempunyai nilai diagnostik yang baik. (Dahlan, 2009 ; Pusponegoro, 2007)

Akurasi CPS lebih tinggi dibandingkan dengan akurasi MMSE, dimana akurasi CPS yaitu 0,86 dan akurasi MMSE yaitu 0,82. Semakin tinggi nilai sensitifitas dan spesifisitas maka semakin tinggi juga nilai akurasinya. Dari hasil di atas dapat disimpulkan terdapat perbedaan akurasi yang tidak bermakna antara CPS dan MMSE (p = 0,32).

Hasil diagnostik MMSE untuk sensitifitas, NDN dan RKN lebih tinggi daripada CPS. Hal ini kemungkinan disebabkan MMSE memiliki kelebihan dibandingkan CPS, dimana MMSE menilai domain yang lebih banyak meliputi memori, atensi, bahasa, visuospasial dan eksekutif sedangkan CPS hanya menilai domain memori dan eksekutif.

Namun untuk spesifisitas, NDP, RKP dan akurasi yang lebih tinggi pada CPS. Hal ini kemungkinan disebabkan CPS memiliki kelebihan dibandingkan dengan MMSE, dimana pemeriksaan CPS dapat menilai


(67)

fungsi kognitif pada status koma, yang mana CPS itu dapat menilai fungsi kognitif mulai dari yang intak sampai dengan yang mengalami gangguan fungsi kognitif yang berat. Kemudian pada pemeriksaan CPS terdapat penilaian kemampuan dalam melakukan aktivitas sehari – hari (Activity Daily Living-ADL).

Menurut Wellens, 2012, bahwa CPS itu memiliki kelebihan dalam menilai fungdi kognitif subjek yang tinggal di panti jompo (home resident) namun gagal untuk menilai fungsi kognitif geriatrik di rumah sakit. Hal ini juga kemungkinan menjadikan nilai spesifisitas, NDP, RKP dan akurasi yang lebih tinggi pada CPS, karena penelitian ini juga dilakukan di panti jompo.

IV.2.1 Keterbatasan penelitian

Penelitian ini mempunyai keterbatasan yaitu hal – hal yang mempengaruhi penilaian fungsi kognitif seperti usia dan tingkat pendidikan, tidak disesuaikan dengan cut-off point CPS dan MMSE. Dimana pada penelitian ini menggunakan cut-off berdasarkan penelitian sebelumnya.


(68)

BAB.V

KESIMPULAN DAN SARAN

V.1. KESIMPULAN

Berdasarkan analisa data yang diperoleh pada peneltian ini maka disimpulkan bahwa :

1. Pada pemeriksaan fungsi kognitif usia lanjut di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai – Medan dan Panti Jompo Karya Kasih Medan dengan menggunakan CPS didapatkan 41 orang (51,25%) mengalami gangguan fungsi kognitif, dengan MMSE 50 orang (62,5%) mengalami gangguan fungsi kognitif dan 44 orang (55,0%) mengalami gangguan fungsi kognitif dengan menggunakan GPCOG.

2. Sensitifitas CPS dalam menilai fungsi kognitif sebesar 0,84 dan spesifisitasnya 0,88 .

3. Nilai Duga Positif (NDP) atau Positive Predictive Value (PPV) CPS sebesar 0,90 dan Nilai Duga Negatif (NDN) atau Negative Predictive Value (NPV) CPS 0,82.

4. Rasio Kemungkinan Positif (RKP) atau Positive Likehood Ratio (LR +) CPS 7 dan Rasio Kemungkinan Negatif (RKN) atau Negative Likehood Ratio (LR -) CPS 0,18.

5. Sensitifitas MMSE dalam menilai fungsi kognitif sebesar 0,90 dan spesifisitasnya 0,72 .


(69)

6. Nilai Duga Positif (NDP) atau Positive Predictive Value (PPV) MMSE sebesar 0,80 dan Nilai Duga Negatif (NDN) atau Negative Predictive Value (NPV) MMSE 0,86.

7. Rasio Kemungkinan Positif (RKP) atau Positive Likehood Ratio (LR +) MMSE 3,21 dan Rasio Kemungkinan Negatif (RKN) atau Negative Likehood Ratio (LR -) CPS 0,13.

8. Nilai Akurasi CPS lebih tinggi dibandingkan dengan akurasi MMSE, dimana akurasi CPS yaitu 0,86 dan akurasi MMSE yaitu 0,82.

9. Dari 80 subjek usia lanjut yang dianalisa, didapati 34 pria (42,5%) dan 46 wanita (57,5%), usia terbanyak adalah usia 60 – 74 tahun sebanyak 50 orang (62,5%), suku terbanyak adalah suku Jawa sebanyak 30 orang (37,5%), lama pendidikan terbanyak 0 – 6 tahun sebanyak 29 orang (36,3%) dan kebanyakan dari subjek tersebut memiliki faktor resiko hipertensi yaitu sebanyak 23 orang (28,75%).

V.2. SARAN

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih besar sehingga hasil penelitian lebih representatif.

2. Pemeriksaan fungsi kognitif selain menggunakan MMSE maka CPS juga dapat digunakan untuk menilai fungsi kognitif dalam praktek sehari – hari karena antara MMSE dan CPS terdapat perbedaan akurasi yang tidak bermakna.


(70)

DAFTAR PUSTAKA

Asosiasi Alzheimer Indonesia. 2003. Konsensus Nasional. Pengenalan dan Penatalaksanaan Demensia Alzheimer dan Demensia lainnya. Edisi 1. Jakarta.

Berg E., Kessels R., Kappelle L., Haan E., Biessels G. 2006. Type 2 diabetes melitus, cognitive function and dementia: Vascular and metabolic determinants.Drug of Today;42:741-754.

Bleecker M., Wilson K., Kawas C., Agnew J. 1988. Age spesific normx for the MINI Mental State Exam. Neurology;38:1565-8.

Bula C.J., Wietlisbach V. 2009. Use of Cognitive Performance Scale (CPS) to detect cognitive impairment in the acute care setting : concurrent and predictive validity. Brain research bulletin;80:4-5. p.173-8.

Burns A., Lawlor B., Craig S. 2002. Rating scales in old age psychiatry. The British Journal of Psychiatry;180:161–167.

Burns A., Zaudig M. 2002. Mild cognitive impairment in older people. Lancet;360:1963–65.

Brodaty H., Pond D., Kemp N., Luscombe G., Harding L., Berman K., et al. 2002. The GPCOG : A New Screening Test for Dementia Designed for General Practice. J. Am Geriatr Soc;50:530-534.

Carpenter G.I., Hastie C., Morris J.N., Fries B., Ankri J. 2006. Measuring change in activities of daily living in nursing home residents with moderate to severe cognitive impairment. BMC Geriatrics;6:7. Cheng G., Huang C., Deng H., Wang H,. 2012. Diabetes as a risk factor

for dementia and mild cognitive impairment : a meta-analysis of longitudinal studies. Intern Med J;42(5):484-91.

Crum R., Anthony J., Bassett S., Fosltein M. 1993. Population Based Norms fot the Mini Mental State Examination by Age and


(1)

Lampiran Lampiran 4

a (NOL) : jika tidak terdapat gangguan dalam kemampuan membuat keputusan, membuat dirinya sendiri mengerti dan recent memory.

b(SATU) : jika terdapat satu dari kriteria di bawah ini

(i) Apabila kemampuan dalam membuat keputusan modified independence atau moderately impared.

(ii) Apabila kemampuan untuk membuat dirinya sendiri mengerti, biasanya, kadang – kadang, jarang/tidak pernah mengerti atau

(iii) Terdapat gangguan recent memory.

c (DUA) : jika terdapat dua dari kriteria di bawah ini

(i) Apabila kemampuan dalam membuat keputusan modified independence atau moderately impared.

(ii) Apabila kemampuan untuk membuat dirinya sendiri mengerti, biasanya, kadang – kadang, jarang/tidak pernah mengerti atau

(iii) Terdapat gangguan short-term memory atau delayed recall.

d (TIGA) : jika terdapat paling tidak dua dari kriteria (b) dan satu dari kriteria di bawah ini

(i) Kemampuan dalam membuat keputusan moderately impaired atau

(ii) Kemampuan untuk membuat dirinya sendiri mengerti, kadang – kadang atau jarang/tidak pernah mengerti

e (EMPAT) : jika kedua kriteria berikut terpenuhi:

(i) Kemampuan dalam membuat keputusan moderately impaired dan

(ii) Kemampuan untuk membuat dirinya sendiri mengerti, kadang – kadang atau jarang/tidak pernah mengerti

f (LIMA) : jika kemampuan membuat keputusan severely impaired


(2)

LAMPIRAN 6

KUISONER CPS

Untuk pemeriksaan CPS, penilaian didasarkan pada : a. Comatous Status

b. Decision Making

c. Making Self Understood d. Memori

e. Eat

Jadi untuk menilai kelima substansi diatas maka saya telah menetapkan pertanyaan sebagai berikut :

a. Comatous Status

-bila seseorang tidak mengalami koma/persisten vegetatif state (0)

-bila seseorang mengalami koma/persisten vegetatif state (1) b. Decision Making

Pada decison making ini penilaian didasarkan pada hal memilih pakaian, menentukan kapan saat harus mandi, kapan saat harus makan, apakah seseorang itu :

-keputusannya konsisten dan terorganisir (0) -aktivitas sehari-hari terorganisir, mampu membuat keputusan dalam situasi yang sudah biasa namun terdapat kesulitan dalam membuat keputusan apabila dihadapkan dengan tugas dan situasi yang (1) -dibutuhkan peringatan, isyarat dan pengawasan dalam merencanakan dan memperbaiki rutinitas sehari-hari (2)

-pengambilan keputusan sangat terganggu, tidak pernah/sangat jarang

membuat keputusan (3) c. Making Self Understood

Pada making self understood, penilaian didasarkan atas jawaban terhadap pertanyaan tentang apa yang menjadi kebutuhannya dalam kehidupan sehari-hari di panti jompo :

-dapat menyatakan dengan jelas (0)

-terdapat kesulitan dalam menemukan kata yang tepat dalam berkomunikasi sehingga responnnya terlambat (1)


(3)

tidur, toilet) (2) -terdapat bunyi atau bahasa tubuh yang spesifik yang dimengerti secara terbatas oleh orang yang merawat (contoh menunjukkan adanya nyeri

atau butuh ke toilet) (3)

c. Memory

Sebutkan 3 kata (sepatu,biru,lemari). Kemudian subjek diperintahkan untuk mengulangi ketiga kata tersebut.

-bila dapat mengulang semua dengan baik, berarti short term memory

nya masih baik (0)

-tidak mampu mengulang semua kata dengan baik (1) d. Eat

Penilaian didasarkan pada kemampuannya untuk mengambil makanan dan memakannya dengan atau tanpa membutuhkan pertolongan orang lain


(4)

(5)

General Practitioner Assessment of Cognition (GPCOG) GPCOG Patient Examination

Nama dan alamat untuk ingatan

“Saya akan menyebutkan sebuah nama dan alamat. Setelah saya sebutkan, ulangi apa yang saya sebutkan. Ingat nama dan alamat ini sebab saya akan meminta anda mengulanginya lagi beberapa saat lagi : John Brown, 42 West Street, kensington”

Orientasi waktu

Tanggal berapa sekarang ? BENAR (1) Menggambar jam (fungsi visuospatial) menggunakan secarik kertas dengan gambar lingkaran

Tandai semua nomor untuk menunjukkan pukul-pukul di jam tersebut

BENAR (1) Tandai jarum jam yang menunjukkan pukul 11 lewat 10 menit BENAR (1) Informasi

Bisakah anda menceritakan kepada saya apa yang terjadi di warta berita baru-baru ini ? BENAR (1) Ingatan

Apa nama dan alamat yang saya minta anda untuk mengingatnya ? Nilai untuk setiap 5 komponen

John, Brown, 42, West Street, Kensington SEMUA BENAR (5) GPCOG Informant Interview

Apakah pasien bertambah sulit mengingat kejadian yang baru terjadi ?

TIDAK (1) Apakah pasien bertambah sulit mengingat percakapan beberapa hari yang

lalu ? TIDAK (1)


(6)

Apakah pasien kurang mampu mengelola uang atau masalah keuangan ? (misalnya membayar tagihan) TIDAK (1)

Apakah pasien kurang mampu mengelola pengobatannya tanpa dibantu ? TIDAK (1)


Dokumen yang terkait

Efektifitas risperidon terhadap perbaikan fungsi kognitif pada skor Mini Mental State Examination dan Clock Drawing Test

3 74 50

HUBUNGAN USIA DENGAN SKOR MINI MENTAL STATE EXAMINATION (FUNGSI KOGNITIF) PADA LANSIA DI KELURAHAN SUMBERSARI, KECAMATAN LOWOKWARU MALANG

5 11 24

Perbandingan Akurasi Diagnostik Antara General Practitioner Assessment Of Cognition Dengan Memory Impairment Screen Terhadap Mini-Cog Untuk Screening Poststroke Dementia

0 0 17

Perbandingan Akurasi Diagnostik Antara General Practitioner Assessment Of Cognition Dengan Memory Impairment Screen Terhadap Mini-Cog Untuk Screening Poststroke Dementia

0 0 2

Perbandingan Akurasi Diagnostik Antara General Practitioner Assessment Of Cognition Dengan Memory Impairment Screen Terhadap Mini-Cog Untuk Screening Poststroke Dementia

0 0 11

Perbandingan Akurasi Diagnostik Antara General Practitioner Assessment Of Cognition Dengan Memory Impairment Screen Terhadap Mini-Cog Untuk Screening Poststroke Dementia

0 0 21

Perbandingan Akurasi Diagnostik Antara General Practitioner Assessment Of Cognition Dengan Memory Impairment Screen Terhadap Mini-Cog Untuk Screening Poststroke Dementia

0 0 8

PEMERIKSAAN DERAJAT KESADARAN (GLASGOW COMA SCALE) DAN FUNGSI KORTIKAL LUHUR (MINI-MENTAL STATE EXAMINATION (MMSE))

0 0 15

The Assosiation between Ferritin Serum Level and Cognitive Function based on Mini-mental State Examination (MMSE) in Thalassemia children

0 1 6

FUNGSI KOGNITIF PASIEN STROKE ISKEMIK DENGAN MENGGUNAKAN MINI MENTAL STATE EXAMINATION (MMSE) DI POLI SARAF RSUD DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO MOJOKERTO

0 0 7