Pengaruh Konsep Diri Terhadap Asertivitas Seksual Remaja Di Sma Pamasta Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang Tahun 2015

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Diri
2.1.1 Pengertian Konsep Diri
Dalam kamus besar bahasa Indonesia istilah “konsep” memiliki arti
gambaran, proses atau hal-hal yang digunakan oleh akal budi untuk memahami
sesuatu. Istilah “diri” berarti bagian-bagian dari individu yang terpisah dari yang
lain. Konsep diri dapat diartikan sebagai gambaran seseorang mengenai dirinya
sendiri atau penilaian terhadap dirinya sendiri (KBBI, 2008).
Menurut Mead konsep diri pada dasarnya terdiri dari jawaban individu atas
pertanyaan "Siapa Aku". Konsep diri terdiri dari kesadaran individu mengenai
keterlibatannya yang khusus dalam seperangkat hubungan sosial yang sedang
berlangsung. Kesadaran diri merupakan hasil dari suatu proses reflektif yang tidak
kelihatan, dan individu itu melihat tindakan-tindakan pribadi atau yang bersifat
potensial dari titik pandang orang lain dengan siapa individu ini berhubungan.
Kedirian (diri) diartikan sebagai suatu konsep individu terhadap dirinya
sendiri dan konsep orang lain terhadap dirinya. Konsep tentang "diri" dinyatakan
bahwa individu adalah subjek yang berperilaku, dengan demikian maka dalam "diri"
itu tidaklah semata-mata pada anggapan orang secara pasif mengenai reaksi-reaksi
dan definisi-definisi orang lain saja. Menurut pendapat Mead, diri sebagai subjek

yang bertindak ditunjukkan dengan konsep "I" dan diri sebagai objek ditunjuk dengan

13

konsep "Me" dan Mead telah menyadari determinisme soal ini. Ia bermaksud
menetralisasi dengan membedakan di dalam "diri" antara dua unsur konstitutifis yang
satu disebut "Me" atau "daku" yang lain "I" atau "aku". Me adalah unsur sosial yang
mencakup generalized other. Teori Mead tentang konsep diri yang terbentuk dari dua
unsur, yaitu "I" (aku) dan "Me" (daku) itu sangat rumit dan sulit untuk di pahami.
Mead menganggap bahwa kemampuan untuk memberi jawaban pada diri
sendiri layaknya memberi jawaban pada orang lain, merupakan situasi penting dalam
perkembangan akal budi. Dalam arti ini, Self bukan suatu obyek melainkan suatu
proses sadar yang mempunyai kemampuan untuk berpikir, seperti :
1. Mampu memberi jawaban kepada diri sendiri seperti orang lain yang juga
memberi jawaban.
2. Mampu memberi jawaban seperti aturan, norma atau hokum yang juga
memberi jawaban padanya.
3. Mampu untuk mengambil bagian dalam percakapan sendiri dengan orang lain.
4. Mampu menyadari apa yang sedang dikatakan dan kemampuan untuk
menggunakan kesadaran untuk menentukan apa yang garus dilakukan pada

fase berikutnya.
Inti dari teori Mead yang penting adalah konsepnya tentang “I” and “Me”,
yaitu dimana diri seorang manusia sebagai subyek adalah “I” dan diri seorang
manusia sebagai obyek adalah “Me”. “I” adalah aspek diri yang bersifat non-reflektif
yang merupakan respon terhadap suatu perilaku spontan tanpa adanya pertimbangan,
Ketika didalam aksi dan reaksi terdapat suatu pertimbangan ataupun pemikiran, maka

pada saat itu “I” berubah menjadi “Me”. Mead mengemukakan bahwa seseorang yang
menjadi “Me”, maka dia bertindak berdasarkan pertimbangan terhadap norma-norma,
serta harapan-harapan orang lain. Sedangkan “I” adalah ketika terdapat ruang
spontanitas, sehingga muncul tingkah laku spontan dan kreativitas diluar harapan dan
norma yang ada.
Menurut lukaningsih (2010) konsep diri adalah perasaan seseorang tentang
dirinya sebagai pribadi yang utuh dengan karakteristik yang unik, sehingga dia akan
mudah dikenali sebagai sosok yang mempunyai ciri khas tersendiri. Seseorang akan
mampu memahami apa yang menjadi kebutuhan, kelebihan dan kekurangannya dan
mampu berpikir secara rasional.
Menurut Hurlock (1990) mengemukakan bahwa konsep diri dapat dibagi
menjadi dua, yaitu konsep diri sebenarnya yang merupakan konsep seseorang tentang
dirinya yang sebagian besar ditentukan oleh peran dan hubungannya dengan orang

lain serta persepsinya tentang penilaian orang lain terhadap dirinya sedangkan konsep
diri ideal merupakan gambaran seseorang mengenai keterampilan dan kepribadian
yang didambakannya (Lukaningsih, 2010).
Penghargaan mengenai diri akan menentukan bagaimana individu akan
bertindak dalam hidup. Apabila seorang individu berpikir bahwa dirinya bisa, maka
individu tersebut cenderung sukses, dan bila individu tersebut berpikir bahwa dirinya
gagal, maka dirinya telah menyiapkan diri untuk gagal. Jadi bisa dikatakan bahwa
konsep diri merupakan bagian diri yang mempengaruhi setiap aspek pengalaman,
baik itu pikiran, perasaan, persepsi dan tingkah laku individu.

Konsep diri merupakan hal yang penting dalam kehidupan sebab pemahaman
seseorang mengenai konsep dirinya akan menentukan dan mengarahkan perilaku
dalam berbagai situasi. Jika konsep diri seorang negatif, maka akan negatiflah
perilaku seseorang. Sebaliknya jika konsep diri seseorang positif, maka positiflah
perilaku seseorang tersebut. Hurlock (1990) menambahkan bahwasannya konsep diri
individu

dapat

menentukan


keberhasilan

dan

kegagalan

seseorang

dalam

hubungannya dengan masyarakat.
Berdasarkan beberapa pendapat ahli diatas, maka dapat diambil kesimpulan
bahwa konsep diri merupakan suatu hal yang sangat penting dalam pengintegrasian
kepribadian, memotivasi tingkah laku sehingga pada akhirnya akan tercapai
kesehatan mental. Konsep diri dapat didefenisikan sebagai gambaran yang ada pada
diri individu yang berisikan tentang bagaimana individu melihat dirinya sendiri
sebagai pribadi yang disebut dengan pengetahuan diri, bagaimana individu merasa
atas dirinya yang merupakan penilaian diri sendiri serta bagaimana individu
menginginkan diri sendiri sebagai manusia yang diharapkan.

2.1.2 Aspek-Aspek Konsep Diri
Konsep diri merupakan gambaran mental yang dimiliki seorang individu.
Gambaran mental yang dimiliki oleh individu memiliki tiga aspek, yaitu pengetahuan
yang dimiliki individu mengenai dirinya sendiri, pengharapan yang dimiliki untuk
dirinya sendiri, serta penilaian mengenai dirinya sendiri (Calhoun & Acoccela, 1990).

3.

Pengetahuan
Dimensi pertama konsep diri adalah pengetahuan. Pengetahuan mengenai
individu adalah apa yang diketahui individu mengenai dirinya sendiri. Hal ini
mengacu pada istilah-istilah kuantitas, seperti usia, jenis kelamin, kebangsaan,
pekerjaan, dan lain-lain dan sesuatu yang merujuk pada istilah kualitas, seperti
individu yang baik hati, egois, tenang, dan bertempramen tinggi. Pengetahuan
bisa diperoleh dengan membandingkan diri individu dengan kelompok
pembandingnya. Pengetahuan yang dimiliki individu tidaklah menetap sepanjang
hidupnya, pengetahuan bisa berubah dengan cara merubah tingkah laku individu
tersebut atau dengan cara merubah kelompok pembanding.

4.


Harapan
Dimensi kedua dari konsep diri adalah harapan. Selain individu
mempunyai satu set pandangan tentang siapa dirinya, individu juga mempunyai
satu set pandangan lain, yaitu tentang kemungkinan menjadi apa dimasa
mendatang (Calhoun & Acoccela, 1990). Singkatnya setiap individu mempunyai
pengharapan bagi dirinya sendirinya dan pengharapan tersebut berbeda-beda
pada setiap individu.

5.

Penilaian
Dimensi terakhir dari konsep diri adalah penilaian terhadap diri sendiri.
Individu berkedudukan sebagai penilai terhadap dirinya sendiri setiap hari.
Penilaian terhadap diri sendiri adalah pengukuran individu tentang keaadaanya
saat ini dengan apa yang menurutnya dapat dan terjadi pada dirinya.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa konsep diri yang dimiliki
setiap individu terdiri dari 3 aspek yaitu pengetahuan tentang diri sendiri, harapan
mengenai diri sendiri dan penilaian mengenai diri sendiri. Pengetahuan adalah apa

yang individu ketahui tentang dirinya baik dari segi kualitas maupun kuantitas,
pengetahuan ini bisa diperoleh dengan membandingkan diri dengan kelompok
pembanding dan pengetahuan yang dimiliki individu bisa berubah-ubah. Harapan
adalah apa yang individu inginkan untuk dirinya dimasa yang akan datang dan
harapan bagi setiap orang berbeda-beda. Sedangkan penilaian adalah pengukuran
yang dilakukan individu tentang keadaan dirinya saat ini dengan apa yang menurut
dirinya dapat dan terjadi.
2.1.3

Komponen Konsep Diri
Terdapat lima komponen konsep diri, yakni gambaran diri/citra tubuh (body

image), ideal diri (self ideal), harga diri (self esteem), peran diri (self role), dan
identitas diri (self identity) (sunaryo, 2004):
1.

Gambaran diri/citra tubuh (body image)
Citra tubuh adalah bagaimana cara individu mempersepsikan tubuhnya,
baik secara sadar maupun tidak sadar, yang meliputi ukuran, fungsi, penampilan,
dan potensi tubuh berikut bagian-bagiannya. Dengan kata lain, citra tubuh adalah

kumpulan sikap individu, baik yang disadari ataupun tidak, yang ditujukan
terhadap dirinya (Sunaryo, 2004).
Hal-hal penting yang terkait dengan gambaran diri adalah sebagai berikut:
Faktor individu terhadap fisik lebih menonjol, bentuk tubuh, TB dan BB serta

tanda-tanda pertumbuhan kelamin sekunder (mamae, menstruasi, perubahan
suara, pertumbuhan bulu), menjadi gambaran diri, cara individu memandang diri
berdampak penting terhadap aspek psikologis. Gambaran yang realistik terhadap
menerima dan menyukai bagian tubuh, akan memberi rasa aman dalam
menghindari kecemasan dan meningkatkan harga diri, individu yang stabil,
realistik, dan konsisten terhadap gambaran dirinya, dapat mendorong sukses
dalam hidupnya.
2.

Ideal diri (self ideal)
Ideal diri adalah persepsi individu tentang bagaimana seharusnya ia
berperilaku sesuai dengan standar, aspirasi, tujuan, atau nilai personal tertentu.
Ideal diri bisa bersifat realistis, bisa juga tidak. Saat ideal diri seseorang
mendekati persepsinya tentang diri sendiri, orang trsebut cenderung tidak ingin
berubah dalam kondisi saat ini. Sebaliknya jika ideal diri tersebut tidak sesuai

dengan persepsinya tentang diri sendiri, orang tersebut akan terpacu untuk
memperbaiki dirinya, tetapi jika ideal diri terlalu tinggi justru dapat
menyebabkan harga diri rendah (Stuart & Sundeen, 2005).
Beberapa hal yang berkaitan dengan ideal diri antara lain : pembentukan
ideal diri pertama kali pada masa anak-anak dan masa remaja terbentuk melalui
proses identifikasi terhadap orang tua, guru dan teman, ideal diri individu
dipengaruhi oleh orang-orang yang dianggap penting dalam memberikan
tuntutan dan harapan, ideal diri mewujudkan cita-cita dan harapan pribadi
berdasarkan norma keluarga dan sosial.

Faktor yang mempengaruhi ideal diri yaitu : kecenderungan individu
untuk menetapkan ideal diri pada batas kemampuan, faktor budaya yang
mempengaruhi individu yang menetapkan ideal diri yaitu standar yang terbentuk
ini kemudian akan dibandingkan dengan standar kelompok teman, ambisi dan
keinginan untuk sukses dan melampaui orang lain, kebutuhan yang realistis,
keinginan untuk menghindari kegagalan, perasaan cemas dan rendah diri
3.

Harga diri (self esteem)
Harga diri adalah penilaian individu tentang nilai personal yang diperoleh

dengan menganalisis seberapa baik prilaku seseorang sesuai ideal dirinya (Stuart
& Sundeen, 2005). Harga diri yang tinggi adalah perasaan yang berakar pada
penerimaan diri sendiri tanpa syarat. Walaupun orang tersebut melakukan
kesalahan, kekalahan, dan kegagalan, ia tetap merasa sebagai seseorang yang
penting dan berharga. Harga diri ini dapat menjadi rendah saat seseorang
kehilangan kasih sayang atau cinta kasih dari orang lain, kehilangan penghargaan
dari orang lain, atau saat ia menjalani hubungan interpersonal yang buruk.

4.

Peran diri (self role)
Peran diri adalah serangkaian harapan tentang bagaimana seseorang
bersikap atau berprilaku sesuai dengan posisinya. Sedangkan penampilan peran
adalah serangkaian pola prilaku yang diharpkan oleh lingkungan sosial, yang
terkait dengan fungsi individu di kelompok sosial. Dalam hal ini, peran yang
ditetapkan adalah peran yang dijalani individu ketika ia tidak mempunyai pilihan.
Sedangkan peran yang diterima adalah peran yang dipilih sendiri oleh individu.

Konflik peran muncul ketika peran yang dijalani berlawanan atau tidak sesuai
dengan harapan. Sedangkan ketegangan peran muncul saat seseorang merasa,

atau dibuat merasa, tidak adekuat atau tidak sesuai untuk menjalani suatu peran.
Ini biasanya terkait dengan stereotype peran berdasarkan jenis kelamin . selain
itu individu juga dapat mengalami ketidakjelasan peran, yakni ketika ia mendapat
peran yang kabur dan tidak sesuai perilaku yang diharapkan. Ketidak sesuaian
peran dapat terjadi ketika individu berada dalam peralihan, dan mengubah nilai
serta sikapnya. Peran berlebih terjadi ketika individu mengalami banyak peran
dalam kehidupannya (Mubarak, 2007).
5.

Identitas diri (self identity)
Identitas diri adalah kesadaran akan diri pribadi yang bersumber dari
pengamatan dan penilaian, sebagai sintetis semua aspek konsep diri sebagai suatu
kesatuan yang utuh (Stuart & Sundeen, 2005). Identitas mencakup konsistensi
seseorang sepanjang waktu dan dalam berbagai keaadaan serta menyiratkan
perbedaan atau keunikan dibandingkan dengan orang lain. Pembentukan identitas
sangat diperlukan demi hubungan yang intim karena identitas seseorang
dinyatakan dalam hubungan dengan orang lain (Hidayat, 2006).

2.1.4

Klasifikasi Konsep Diri
Individu dapat memiliki konsep diri positif maupun konsep diri negatif.

Berikut ini adalah penjelasan mengenai konsep diri positif dan konsep diri negatif
tersebut :

1.

Konsep diri positif
Menurut Hurlock (1978), individu yang memiliki konsep diri positif akan

mengembangkan sifat-sifat kepercayaan diri, harga diri, dan kemampuan untuk
melihat dirinya secara realistis. Kemudian ia dapat menilai hubungan dengan orang
lain secara tepat dan ini menumbuhkan penyesuaian sosial yang baik.
Calhoun dan Acocela (1995) mengemukakan bahwa dasar dari konsep diri
positif bukanlah kebanggaan yang besar tentang diri tetapi lebih berupa penerimaan
diri, yang menjadikan penerimaan diri munkin adalah bahwa orang dengan diri positif
mengenal dirinya dengan baik sekali. Jadi orang dengan konsep diri positif dapat
memahami dan menerima sejumlah fakta atau informasi yang sangat bermacammacam tentang dirinya sendirinya dan tidak ada satu pun informasi tersebut yang
merupakan ancaman bagi nya.
Karena konsep diri positif itu cukup luas untuk menampung seluruh
pengalaman mental seseorang, evaluasi tentang dirinya menjadi positif. Dia dapat
menerima dirinya sendiri secara apa adanya atau bahwa dia gagal mengenali
kesalahannya sebagai suatu kesalahan, namun dia merasa tidak perlu meminta maaf
untuk eksistensinya. Dengan menerima dirinya sendiri, dia juga dapat menerima
orang lain. Mengenai harapan, orang dengan konsep diri positif merancang tujuantujuan yang sesuai dan realistis. Realistis disini artinya terdapat kemungkinan besar
bahwa ia dapat mencapai tujuan-tujuan tersebut.

2.

Konsep diri negatif
Menurut Hurlock (1978) individu yang memilki konsep diri negatif akan

mengembangkan perasaan tidak mampu dan rendah diri. Ia merasa ragu dan kurang
percaya diri. Hal ini menyembuhkan penyesuain pribadi dan sosial yang buruk.
Penyesuain pribadi dan sosial yang buruk dicerminkan dengan harga diri yang
rendah, tidak menentu mengenai, percaya bahwa orang lain memilki penilaian buruk
terhadap dirinya, menarik diri dari hubungan sosial dan menggunakan banyak
mekanisme pertahanan diri.
Calhoun & Acoccela membagi konsep diri negatif menjadi dua tipe yaitu:
a.

Pandangan individu tentang dirinya sendiri benar-benar tidak teratur,
tidak memiliki perasaan kestabilan dan keutuhan diri. Individu tersebut
benar-benar tidak tahu siapa dirinya, kekuatan dan kelemahannya atau
yang dihargai dalam kehidupannya

b.

Pandangan tentang dirinya sendir terlalu stabil dan teratur. Hal ini bisa
terjadi karena individu di didik dengan cara yang sangat keras, sehingga
menciptakan citra diri yang tidak mengizinkan adanaya penyimpangan
dari seperangkat hukum yang dalam pikirannya merupakan cara hidup
yang tepat.

2.1.5

Faktor yang Memengaruhi Konsep Diri
Remaja perlu keterampilan dalam menghadapi transisi kehidupannya.

Menurut Verderber (1984) ada beberapa faktor – faktor yang mempengaruhi konsep
diri. Faktor – faktor tersebut terdiri dari self-appraisal (persepsi diri sendiri),

Significan Other (orang yang terpenting atau yang terdekat), reactions and responses
of others (reaksi serta respon terhadap diri sendiri), dan role you play (peran terhadap
diri sendiri) .
1.

self-appraisal (persepsi diri sendiri)
Yaitu persepsi individu terhadap diri sendiri dan penilaiannya, serta persepsi

individu terhadap pengalamannya akan situasi tertentu. Konsep diri dapat dibentuk
melalui pandangan diri dan pengalaman yang positif. Sehingga konsep merupakan
aspek yang kritikal dan dasar dari prilaku individu. Individu dengan konsep diri yang
positif dapat berfungsi lebih efektif yang dapat dilihat dari kemampuan interpersonal,
kemampuan intelektual dan penguasaan lingkungan. Sedangkan konsep diri yang
negatif dapat dilihat dari hubungan individu dan sosial yang terganggu.
2.

Significan Other (orang yang terpenting atau yang terdekat)
Dimana konsep diri dipelajari melalui kontak dan pengalaman dengan orang

lain, belajar diri sendiri melalui cermin orang lain yaitu dengan cara pandangan diri
merupakan interprestasi diri pandangan orang lain terhadap diri, anak sangat
dipengaruhi orang yang dekat, remaja dipengaruhi oleh orang lain yang dekat dengan
dirinya, pengaruh orang dekat atau orang penting sepanjang siklus hidup, pengaruh
budaya dan sosialisasi.
3.

reactions and responses of others (reaksi sera respon terhadap diri sendiri)
Konsep diri itu tidak saja berkembang melalui pandangan kita terhadap diri

sendiri, namun berkembang dalam interaksi dengan masyarakat. Oleh sebab itu
konsep diri dipengaruhi oleh reaksi serta respon orang lain terhadap diri sendiri.

Dengan demikian, apa yang ada pada diri kita, dievaluasi oleh orang lain melalui
interaksi kita dengan orang tersebut, dan pada gilirannya evaluasi mereka
mempengaruhi perkembangan konsep diri kita.
4.

role you play (peran terhadap diri sendiri)
Peran merupakan seperangkat patokan yang membatasi perilaku yang mesti

dilakukan oleh seseorang sesuai dengan posisinya.
2.1.6 Pengenalan Diri Sendiri
Pengenalan pada diri sendiri adalah salah satu panduan individu untuk
mengembangkan kepribadiannya. Salah satu kerangka analisa untuk mempelajari
jenis kepribadian seseorang berdasarkan atas kemauan diri untuk memberi dan
menerima, baik informasi maupun masukan serta kritik di dalam kerjasama kelompok
maupun antar individu adalah dengan menggunakan Jendela Johari yang
dikembangkan oleh Joseph Luft dan Harry Ingham.
1.

Daerah Pribadi Terbuka (open self)
Dalam diri terdapat daerah terbuka (open). Open self adalah bagian diri
yang menyajikan semua informasi prilaku, sifat, perasaan, keinginan, motivasi,
dan ide yang diketahui oleh diri dan orang lain. Pada keadaan hubungan seperti
ini terdapat keterbukaan, kesesuaian, dan sedikit alasan untuk bersifat defensive.
Daerah ini merupakan daerah ideal yang mencerminkan kepribadian seseorang
yang mau memberi dan menerima saran dan kritik dari orang lain. Daerah ini
menggambarkan kepribadian seseorang yang terbuka.

2.

Daerah Pribadi Buta (blind self)
Dalam diri terdapat daerah yang disebut daerah buta (blind). Dalam
situasi ini, orang mengenal pribadi orang lain, tetapi tidak mengenal dirinya
sendiri. Daerah ini mencerminkan kepribadian seseorang yang hanya mau
mengkritik, tetapi tidak mau menerima saran atau kritik dari orang lain,
kepribadian yang keras kepala dan cenderung defensive (ngotot).

3.

Daerah Pribadi Tersembunyi (hidden self)
Dalam diri terdapat wilayah tersembunyi. Wilayah ini berisi segala
sesuatu mengenai diri pribadi yang diketahui oleh diri yang bersangkutan atau
dari orang lain yang disimpan oleh yang bersangkutan hanya untuk dirinya
sendiri. Hasilnya adalah orang tersebut tetap tersembunyi dari orang lain karena
rasa takut terhadap kemungkinan reaksi orang lain. Pribadi pada posisi ini akan
menjaga sikap, pemikiran dan perasaannya sebagai sesuatu yang rahasia dan
tidak akan membuka kepada orang lain. Daerah ini mencerminkan kepribadian
yang hanya mau meminta saran, informasi dari orang lain, tetapi tidak mau dan
sedikit berbagi saran atau informasi dengan orang lain.

4.

Daerah Pribadi tidak dikenal (undiscovered self)
Merupakan daerah pribadi tidak tahu dan orang lain juga tidak tahu,
misalnya seseorang tidak akan tahu apa yang akan dilakukan jika terjadi
tabrakan, demikian pula dengan orang lain.

2.2

Asertivitas

2.2.1 Pengertian Asertivitas
Asertif berasal dari kata assertive yang berarti tegas dalam pernyataan, pasti
dalam mengekpresikan dirinya dan pendapatnya. Myers dan Myers (2002)
mengatakan asertivitas adalah salah satu gaya komunikasi dimana individu dapat
mempertahankan hak dan mengekspresikan perasaan, pikiran dan kebutuhan secara
langsung, jujur dan bersikap terus terang. Menurut Alberti & Emmons (2002), asertif
adalah suatu kemampuan untuk mengkomunikasikan apa yang diinginkan, dirasakan,
dan dipikirkan kepada orang lain namun dengan tetap menjaga dan menghargai hakhak serta perasaan pihak lain. Menurut Brown (2009), asertif adalah kemampuan
berkomunikasi yang meliputi berbagi perasaan yang positif, mengapresiasikan
kehangatan, mampu mengungkapkan perasaan dari ketidaknyamanan, mengatur
batasan, dan berkata tidak pada orang lain yang berupaya mempengaruhi keinginan
dan keyakinan diri kita.
Muadz dan Syaefuddin (2010) mendefinisikan asertif adalah sebuah sikap
untuk mengekspresikan diri secara tegas kepada pihak lain tanpa harus menyakiti
pihak lain ataupun merendahkan diri di hadapan pihak lain. Bersikap tegas adalah
sebuah cara khusus yang dapat dipelajari dan dipraktekkan. Sikap tegas membuat
seseorang mampu menyatakan pikiran, perasaan dan nilai-nilai mengenai sesuatu
secara terbuka dan langsung, dengan tetap menghormati perasaan dan nilai – nilai
pihak lain. Bersikap tegas adalah salah satu perilaku yang dapat dipilih ketika
seseorang berada dalam situasi yang sulit dan ketika harus mengambil sebuah

keputusan. Keterampilan ini meningkatkan kemungkinan seseorang menghadapi
sebuah situasi sulit tanpa kehilangan harga diri atau martabatnya.
Auslander (2008) mengemukakan tentang skala ketegasan seksual (Sexual
Assertiveness Scale) yang menilai tingkat ketegasan seksual yang dilakukan pada tiga
dimensi yaitu inisiasi, penolakan, dan pencegahan kehamilan dan penyakit infeksi
menular seksual (IMS). Subskala pertama yaitu inisiasi, menilai persepsi wanita
tentang sejauh mana dia memulai hubungan seks. Subskala kedua yaitu penolakan,
mengukur persepsi wanita dari sejauh mana ia menolak hubungan seksual yang tidak
diinginkan, dan yang terakhir subskala ketiga yaitu pencegahan kehamilan dan IMS
menilai sejauh mana persepsi wanita dan menekankan pada penggunaan metode
kontrasepsi dengan pasangannya dan pencegahan IMS.
Menurut East dan Adams (2002), asertif dalam perilaku seksual berarti
mengenali tanda-tanda dari perilaku seksual yang tidak wajar dan berpotensial
mengendalikan dari pelecehan, serta memiliki kekuatan dan kemampuan untuk
mengatakan tidak. Ini berarti memiliki hak untuk menerima pendidikan yang
komprehensif tentang seksualitas, yang mengajarkan kemampuan untuk menentukan
pilihan. Bagi mereka yang memilih untuk aktif secara seksual, itu berarti memiliki
hak untuk melindungi diri terhadap risiko kehamilan, HIV dan penyakit menular
seksual lainnya. Dalam hubungan seksual, keterampilan untuk asertif sangat sulit dan
rumit untuk diperoleh, terutama bagi remaja, namun bagaimanapun saat ini remaja
sangat memerlukannya.

Falah (2009) yang mengutip pendapat Oriza (2000), menyatakan bahwa
asertif dalam perilaku seksual pranikah adalah kemampuan seseorang bersikap tegas
mempertahankan hak seksualnya untuk tidak dilecehkan dan dapat mengambil
keputusan seksualnya dengan tetap memberi penghargaan atas hak orang lain dan
tanpa menyakiti orang lain atau pasangannya, serta mengekspresikan dirinya secara
jujur dengan cara yang tepat tanpa perasaan cemas yang mengganggu sehingga
mendorong terwujudnya kesejajaran dan persamaan dalam hubungan dengan
pasangannya.
Menurut Gutoro ( 2002) bersikap asertif adalah bersikap tegas yang dilakukan
dengan sopan dengan maksud untuk mengungkapkan perasaan dan pendapat tanpa
bersikap agresif dan defensif. Salah satu aspek dari bersikap Asertif adalah
menyatakan “tidak” dan tetap konsisten. Sering kali kita menjawab “tidak” dengan
malu – malu untuk mengatakan “ya” atau sebaliknya mengiyakan sesuatu yang
sebetulnya berlawanan dengan keinginan kita. Semakin sering kita bersikap demikian
makin sering orang salah mengerti terhadap pesan kita.
Orang yang mempunyai sikap dan perilaku asertif adalah orang yang
mempunyai kepercayaan diri dan harga diri yang cukup. Ia menghargai dirinya dan
juga orang lain. Orangnya cenderung terbuka dan bertanggung jawab, jika mendengar
perasaan dan pikiran orang lain dan mengharap feed back dari orang lain.
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa perilaku Asertif adalah
sikap tegas dalam mengekspresikan kebutuhan, perasaan dan pikiran secara langsung,
jujur dan terbuka tanpa harus menyinggung dan menyakiti perasaan orang lain dan

mampu menempatkan diri pada tingkat yang sesuai dan mampu mengolah kontrol
diri yang sehat dan jujur. Orang yang asertif adalah orang yang mampu menghargai
diri sendiri dan orang lain, memandang keinginan serta hak diri sendiri sama penting
dengan keinginan dan hak orang lain.
2.2.2 Aspek – Aspek Asertivitas Seksual
Morokof (dalam Lubis & Oriza 2000) menyatakan bahwa asertivitas terdiri dari
3 aspek, yaitu :
1.

Inisiatif, yaitu asertif dalam memulai pengalaman seksual yang diinginkan.

2.

Penolakan, yaitu berhubungan dengan penolakan pengalaman seksual yang tidak
diinginkan.

3.

Pencegahan kehamilan guna menghindari penyakit berhubungan seksual.
Lazarus (dalam Rakos, 1991) mengatakan bahwa asertivitas terdiri dari:

1.

Kemampuan untuk berkata “tidak”

2.

Kemampuan untuk meminta pertolongan

3.

Kemampuan untuk mengekspresikan perasaan – perasaan yang positif maupun
yang negatif secara wajar

4.

Kemampuan untuk berkomunikasi
Aspek-aspek asertivitas menurut Konfer dan Goldstein (dalam Kurniawati,

2004) adalah :
1.

Dapat menguasai diri sesuai dengan situasi yang ada

2.

Dapat memberikan respon dengan wajar pada hal-hal yang disukai

3.

Dapat menyatakan kasih sayang dan cintanya kepada seseorang terus terang dan
wajar

2.2.3 Komponen Asertivitas
Marini dan Andriani (2005) yang mengutip pendapat Martin dan Poland
(1980), menyatakan, ada beberapa komponen dari asertivitas, antara lain :
1.

Compliance
Berkaitan dengan usaha seseorang untuk menolak atau tidak sependapat

dengan orang lain. Yang perlu ditekankan disini adalah keberanian seseorang untuk
mengatakan “tidak” pada orang lain jika memang itu tidak sesuai dengan
keinginannya.
2.

Duration Of Play
Merupakan lamanya waktu bagi seseorang untuk mengatakan apa yang

dikehendakinya, dengan menerangkan pada orang lain. Orang yang asertivitasnya
tinggi memberikan respons yang lebih lama (dalam arti lamanya waktu yang
digunakan untuk berbicara) daripada orang yang tingkat asertifnya rendah.
3. Loudness
Berbicara dengan lebih keras biasanya lebih asertif, selama seseorang itu tidak
berteriak. Berbicara dengan suara jelas merupakan cara yang terbaik dalam
berkomunikasi secara efektif dengan orang lain.

4. Request for New Behavior
Meminta munculnya perilaku yang baru pada orang lain, mengungkapkan
tentang fakta ataupun perasaan dalam memberikan saran pada orang lain, dengan
tujuan agar situasi berubah sesuai dengan yang kita inginkan.
5. Affect
Afek berarti emosi, ketika seseorang berbicara dalam keadaan emosi maka
intonasi suaranya akan meninggi. Pesan yang disampaikan akan lebih asertif jika
seseorang berbicara dengan fluktuasi yang sedang dan tidak berupa respons yang
monoton ataupun respons yang emosional.
6. Latency of Response
Adalah jarak waktu antara akhir ucapan seseorang sampai giliran kita untuk
mulai berbicara. Kenyataannya bahwa adanya sedikit jeda sesaat sebelum menjawab
secara umum lebih asertif daripada tidak jeda.
7. Non Verbal Behavior
Komponen – komponen non verbal dari asertivitas antara lain seperti kontak
mata, ekspresi muka, jarak fisik, sikap badan dan isyarat tubuh.
2.2.4 Tipe Perilaku Asertivitas
Hapsari (2010) mengutip pendapat Abate dan Milan (1985) menjelaskan ada 3
(tiga) tipe perilaku asertif yaitu,
1.

Asertif untuk menolak (Refusal Assertiveness)
Perilaku asertif dalam konteks ketidaksetujuan atau ketika seseorang berusaha

untuk menghalangi atau mencampuri pencapaian tujuan orang lain. hal ini

membutuhkan keterampilan sosial untuk menolak atau menghindari campur tangan
orang lain.
2.

Asertif untuk memuji (Commendatory Assertiveness)
Ekspresi-ekspresi dari perasaan positif seperti penghargaan, apresiasi dan

menyukai dapat dilihat untuk memfasilitasi hubungan interpersonal yang baik.
Kemampuan untuk memuji orang lain dalam cara yang hangat, tulus dan bersahabat
dapat menjadi kemampuan yang memiliki kekuatan hebat dan berfungsi untuk
membuat seseorang menjadi penguat dan partner interaksi yang menyenangkan.
3

Asertif untuk meminta (Request Assertiveness)
Perilaku asertif jenis ini terjadi ketika seseorang meminta orang lain untuk

membantunya mencapai tujuan atau memenuhi kebutuhannya. Perilaku asertif ini sering
dipadukan dengan penolakan, dalam situasi menolak permintaan orang lain dan meminta
perubahan tingkah laku peminta. Fungsi dari jenis perilaku asertif ini adalah agar
menghindari terjadinya konflik yang sama dikemudian hari.

2.2.5 Keuntungan Asertivitas
Keuntungan yang muncul dari perilaku asertif, antara lain :
1.

Meningkatkan kepercayaan diri

2.

Meningkatkan kemampuan diri

3.

Meningkatkan kemungkinan untuk memperoleh apa yang dibutuhkan atau
diinginkan

Remaja akan selalu dihadapkan pada pilihan, apakah sikap asertif yang
dipraktekannya itu tepat dan akan mencapai hasil yang diharapkan atau tidak. Situasi,
lokasi,

waktu

dan

hubungan

sosial

adalah

beberapa

faktor

yang

perlu

dipertimbangkan ketika memutuskan untuk bersikap asertif atau tidak. Sikap asertif
tidak harus selalu diterapkan dalam semua situasi dan asertif tidak selalu akan
menghasilkan apa yang diharapkan. Tetapi bila diterapkan, hasilnya mungkin lebih
baik dibandingkan tidak diterapkan karena hubungan tidak akan terlalu rusak dan
konflik dapat diselesaikan tanpa satu pihak merasa bersalah, dilecehkan atau
dikhianati.
Marini dan Andriani (2005) mengutip pendapat Hawari (2002), menyatakan
bahwa penyebab para remaja terjerumus ke hal-hal negatif seperti seks bebas yang
akan berakibat pada kehamilan remaja, salah satunya adalah karena kepribadian yang
lemah. Ciri – cirinya antara lain daya tahan terhadap tegangan dan tekanan rendah,
kurang bisa mengekpresikan diri, kurang bisa mengendalikan emosi dan agresivitas
serta tidak dapat mengatasi masalah dan konflik dengan baik yang erat kaitannya
dengan asertivitas.
Fakta lain juga dikutip dari Utami (2004), menunjukkan bahwa kebiasaan
merokok, penggunaan alkohol, napza serta hubungan seksual berkaitan dengan
ketidakmampuan remaja bersikap asertif. Perilaku asertif yaitu perilaku untuk
mengekspresikan diri secara tegas kepada pihak lain tanpa harus menyakiti pihak lain
ataupun merendahkan diri di hadapan pihak lain. Bersikap tegas adalah salah satu

perilaku yang dapat dipilih ketika seseorang berada dalam situasi yang sulit dan
ketika harus mengambil sebuah keputusan.
2.2.6 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Asertivitas
Remaja perlu keterampilan dalam menghadapi transisi kehidupannya. Salah
satu bentuk keterampilan hidup yang perlu diterapkan bagi remaja adalah
keterampilan untuk bersikap tegas atau asertif. Menurut Rosita (2011) faktor yang
memengaruhi asertifitas, terdiri dari usia, jenis kelamin, harga diri (self esteem),
budaya, tingkat pendidikan serta situasi yang ada di sekitar seperti pola asuh orang
tua dan teman sebaya.
Santrock (2007) yang mengutip Bandura (1998) menyatakan bahwa faktor
pribadi/kognitif, faktor perilaku dan faktor lingkungan dapat berinteraksi secara
timbal-balik. Dengan demikian dalam pandangan Bandura, lingkungan dapat
memengaruhi perilaku seseorang, namun seseorang dapat bertindak untuk mengubah
lingkungan. Menurut Suryoputro dkk (2007), faktor yang berpengaruh pada perilaku
seksual antara lain adalah faktor personal termasuk variabel seperti pengetahuan,
sikap seksual dan gender, kerentanan terhadap risiko kesehatan reproduksi, gaya
hidup, harga diri, lokus kontrol, kegiatan sosial, self efficacy dan variabel demografi
(seperti: usia,jenis kelamin, status religiusitas, suku dan perkawinan). Faktor
lingkungan termasuk variabel seperti akses dan kontak dengan sumber, dukungan dan
informasi, sosial budaya, nilai dan norma sebagai dukungan sosial. Faktor perilaku
termasuk variabel gaya hidup seksual (orientasi, pengalaman, angka mitra), peristiwa

kesehatan (Seksual Menular Infeksi, kehamilan, aborsi) dan penggunaan kondom dan
kontrasepsi.
1.

Budaya
Rakos (1991) mengemukakan bahwa konsep asertifitas berkaitan dengan

kebudayaan dimana seseorang tumbuh dan berkembang. Dapat dikatakan bahwa pada
suatu budaya suatu prilaku dipandang asertif dan sesuai dengan budaya setempat.
Akan tetapi hal yang sama tidak dapat ditolerir oleh masyarakat dengan latar
belakang budaya lain.
Sarwono (2012) mengatakan, walaupun pada zaman sekarang ini marak
terjadi perilaku seks bebas tetapi sebenarnya dalam masyarakat Indonesia masih
menjunjung tinggi nilai tradisional. Nilai tradisional dalam perilaku seksual yang
paling utama adalah tidak melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Nilai ini
tercermin dalam bentuk keinginan untuk mempertahankan kegadisan seseorang
sebelum menikah.
Budaya mempunyai peranan penting dalam membentuk pola berpikir dan pola
pergaulan dalam masyarakat, yang berarti juga membentuk kepribadian dan pola pikir
masyarakat tertentu. Budaya mencakup perbuatan atau aktivitas sehari-hari yang
dilakukan oleh suatu individu maupun masyarakat, pola berpikir mereka,
kepercayaan, dan ideologi yang mereka anut. Tentu saja pada kenyataannya budaya
antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya berbeda, terlepas dari perbedaan
karakter masing-masing kelompok masyarakat ataupun kebiasaan mereka.

Peran budaya yang ada dalam masyarakat dapat dijadikan titik acuan dalam
membentuk kepribadian seseorang atau kelompok masyarakat. Karena melalui
kebudayaan manusia dapat bertukar pikiran. Apalagi di jaman sekarang yang dimana
teknologi informasi sangat menjadi acuan atau pengaruh dalam pertukaran
kebudayaan dalam masyarakat berbangsa maupun bernegara. Masyarakat sering
sekali menerima langsung kebudayaan-kebudayaan negatif yang seharusnya dan
memang bertentangan dengan norma-norma, karena kebudayaan negatif inilah yang
tidak dapat mengubah kepribadian seseorang/masyarakat.
2.

Harga Diri (Self Esteem)
Hapsari (2010) mengutip pendapat Brown (1998), mengatakan harga diri

adalah penilaian kemampuan diri, yaitu antara kemampuan yang secara riil dimiliki
seseorang dengan kemampuan ideal yang diharapkan ada pada dirinya yang akan
ditunjukkan melalui sikap terhadap dirinya sendiri, apakah ia menerima atau
menolaknya.

Keyakinan

seseorang

turut mempengaruhi

kemampuan

untuk

melakukan penyesuaian diri dengan lingkungan. Orang yang memiliki keyakinan diri
yang

tinggi

memiliki

kekuatiran

sosial

yang

rendah

sehingga

mampu

mengungkapkan pendapat dan perasaan tanpa merugikan orang lain dan diri sendiri.
3.

Pola Asuh
Menurut Hidayah (2010) yang mengutip pendapat Daud (2004), komunikasi

orang tua dan anak dapat memengaruhi kemampuan anak untuk mengungkapkan
pikiran dan perasaannya. Berbedanya pola asuh yang diberikan orang tua dapat
mengakibatkan berbedanya tingkat asertifitas anak.

Menurut Gunarsa (2008), pola asuh merupakan sikap orang tua dalam
berinteraksi dengan anak-anaknya. Sikap tersebut meliputi cara orang tua
memberikan aturan-aturan, memberikan perhatian. Pola asuh sebagai suatu perlakuan
orangtua dalam rangka memenuhi kebutuhan, memberi perlindungan dan mendidik
anak dalam kesehariannya yang merupakan bentuk interaksi antara anak dan orangtua
selama mengadakan pengasuhan yang berarti orang tua mendidik, membimbing dan
melindungi anak.
Dalam hal ini terdapat tiga jenis pola asuh orang tua kepada anak yang
diuraikan Marini dan Andriani (2005) yaitu :
1.

Pola asuh permisif (Permisive)
Orangtua yang permisif adalah orangtua yang kaku dan berfokus pada

kebutuhan mereka sendiri. Terutama saat anak menjadi lebih dewasa, orangtua gagal
mengawasi kegiatan anak atau untuk mengetahui dimana mereka, apa yang sedang
mereka lakukan atau siapa teman anak mereka.
Pada pola asuh ini, apapun yang mau dilakukan anak diperbolehkan seperti
tidak sekolah, melakukan kegiatan maksiat, pergaulan bebas negatif, dan sebagainya.
Biasanya pola pengasuhan seperti ini diakibatkan oleh orang tua yang terlalu sibuk
dengan pekerjaan, kesibukan atau urusan lainnya, sehingga lupa untuk mengasuh dan
mendidik anak dengan baik. Pola asuh permisif membuat hubungan antara anak dan
orangtua penuh kasih sayang, tetapi menjadikan anak agresif dan suka menurutkan
kata hatinya.

2.

Pola Asuh Otoriter (Authoritarian)
Pola asuh ini bersifat pemaksaan, keras dan kaku, orang tua membuat

berbagai aturan yang harus dipatuhi anak – anaknya tanpa perduli dengan perasaan si
anak. Anak yang besar dengan teknik pengasuhan seperti ini biasanya tidak bahagia,
paranoid/selalu berada dalam ketakutan, mudah sedih dan tertekan, senang berada di
luar rumah, benci orang tua, dan lain – lain, tetapi biasanya anak yang dihasilkan dari
didikan orang tua yang otoriter lebih bisa mandiri, bisa menjadi orang sesuai
keinginan orang tua, lebih disiplin dan lebih bertanggung jawab dalam menjalani
hidup.
Orang

tua

otoriter

menampilkan

sedikit

kehangatan

dan

sangat

mengendalikan. Mereka menerapkan aturan disiplin yang ketat, menggunakan gaya
pengasuhan dengan batasan hukuman, dan bersikeras bahwa remaja mereka patuh
kepada orang tua, dan tidak mengkomunikasikan standar aturan dalam keluarga.
3.

Pola Asuh Otoritatif (Authoritative)
Pola asuh otoritatif atau yang lebih dikenal dengan pola asuh demokratis,

mengandung demanding dan responsive yang dicirikan dengan adanya tuntutan dari
orang tua yang disertai komunikasi terbuka antara orang tua dan anak, mengharapkan
kematangan perilaku pada anak disertai dengan adanya kehangatan dari orang tua.
Pola asuh ini memberikan kebebasan pada anak untuk berkreasi dan mengeksplorasi
berbagai hal sesuai dengan kemampuan anak dengan sensor batasan dan pengawasan
yang baik dari orang tua.

Pola asuh ini bersifat memberi kehangatan sekaligus ketegasan dari orang tua.
Mereka mendorong remaja mereka untuk menjadi mandiri dengan tetap menjaga
batasan dan kontrol terhadap tindakan mereka. Pola asuh ini adalah paling kondusif
diterapkan pada anak.
Naibaho (2011) yang mengutip pendapat Petranto (2006) menguraikan
dampak pola asuh pada anak adalah dapat dikarakteristikkan sebagai berikut:
a.

Pola asuh demokratis akan menghasilkan karakteristik anak yang mandiri,
dapat mengontrol diri, mempunyai hubungan baik dengan teman, mampu
menghadapi stress, mempunyai minat terhadap hal-hal baru, dan kooperatif
terhadap orang-orang lain.

b.

Pola asuh otoriter akan menghasilkan karakteristik anak yang penakut,
pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, gemar menentang, suka melanggar norma,
berkepribadian lemah, cemas dan menarik diri.

c.

Pola asuh permisif akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang impulsif,
agresif, tidak patuh, manja, kurang mandiri, mau menang sendiri, kurang
percaya diri, dan kurang matang secara sosial.

4.

Teman Sebaya
Menurut Notoatmodjo (2007), secara garis besar, ada dua tekanan pokok yang

berhubungan dengan kehidupan remaja, yaitu internal pressure dan external
pressure. Dalam hal ini, internal pressure yaitu tekanan dari dalam diri remaja berupa
tekanan psikologis dan emosional, sedangkan external pressure yaitu tekanan dari
luar diri remaja seperti teman sebaya, orang tua, guru dan masyarakat.

Meskipun remaja masih bergantung pada orang tuanya, namun intensitas
ketergantungan tersebut telah berkurang dan remaja mulai mendekatkan diri pada
teman-teman yang memiliki rentang usia yang sebaya dengan dirinya. Remaja mulai
belajar mengekspresikan perasaan-perasaan dengan cara yang lebih matang dan
berusaha memperoleh kebebasan emosional dengan cara menggabungkan diri dengan
teman sebayanya.
Menurut Notoatmodjo (2007), perubahan sosial yang dialami remaja akan
membawa remaja menjadi lebih dekat dengan teman sebayanya daripada orang
tuanya sendiri. Kurangnya pengetahuan yang didapat dari orang tua dan sekolah
mengenai seksualitas membuat para remaja mencari tahu sendiri dari teman atau
lingkungan bermainnya yang bisa saja pengetahuan tersebut salah, Sehingga
muncullah mitos – mitos di seputar seksualitas, sebuah informasi yang belum pasti
kebenarannya, namun sudah terlanjur dipercaya oleh remaja, salah satunya adalah
mitos hubungan seks sekali tidak membuat hamil, sehingga dari mitos inilah angka
kehamilan yang tidak dikehendaki terjadi.
Tekanan yang dihadapi remaja perempuan berbeda dengan yang dihadapi
remaja laki-laki. Perempuan biasanya akan menghadapi tekanan ganda dari teman
sebayanya, baik dari teman sesama perempuan maupun dari teman laki-laki. Dari
teman sesama perempuan, tekanan yang dihadapi misalnya dalam hal berpakaian,
dandanan dan bertingkah laku serta bergaul. Dari teman laki-laki, baik pacar sendiri
maupun laki-laki pada umumnya, tekanan yang dihadapi perempuan bisa berupa
ajakan berhubungan seksual maupun pelecehan seksual dalam berbagai bentuknya.

Bagi remaja, berbagai perilaku berisiko seperti penyalahgunaan napza dan
perilaku seksual yang tidak bertanggungjawab dapat terjadi sebagai hasil dari
kesulitan

dalam

mengekspresikan

ide-ide,

minat

dan

nilai-nilai,

serta

ketidakmampuan menolak tekanan kelompok yang tidak sehat dan tekanan sosial.
Sikap Asertif untuk kelompok remaja sangat diperlukan dalam menghadapi tekanan
remaja sebaya. Tekanan itu berkaitan dengan ajakan untuk terlibat kedalam risiko
triad KRR, yaitu seksualitas, HIV/AIDS dan napza.
5.

Pengetahuan
Pengetahuan merupakan salah satu bentuk dari perkembangan kognitif.

Santrock (2007) yang mengutip pendapat Piaget menyebutkan perkembangan
kognitif remaja ke dalam tahap formal operasional yaitu saat pemikirannya menjadi
semakin rasional. Pada tahap ini remaja mulai mengembangkan pemikiran yang
bersifat abstrak, hipotesis serta mampu melihat berbagai kemungkinan dalam
pemecahan masalah yang dihadapi serta mulai memikirkan bagaimana pandangan
orang lain terhadap dirinya.
Naibaho (2011), mengutip pendapat Sulaeman (1995) bahwa pada masa
remaja, seorang individu mengalami kematangan secara intelektual dan cara
berpikirnya mengalami perubahan serta mampu membentuk konsep-konsep. Pada
masa ini terjadi pertambahan dalam kemampuan menggeneralisasi, pertambahan
kemampuan-kemampuan berpikir tentang masa depan, mampu berpikir tentang halhal atau ide-ide yang lebih luas dan pertambahan kemampuan untuk berpikir dan
berkomunikasi secara logis

6.

Self-Efficacy
Mandala (2009) yang mengutip pendapat Bandura (1997), menyatakan bahwa

kognisi adalah tingkah laku perantara dimana persepsi diri kita memengaruhi tingkah
laku, dan self-efficacy sangat berpengaruh dalam tingkah laku seseorang. Self efficacy
adalah persepsi seseorang terhadap kompetensi mereka dalam menghadapi
lingkungan. Semakin tinggi self efficacy, maka semakin yakin seseorang untuk
melakukan suatu tingkah laku, dan akan melakukan suatu usaha yang lebih besar dan
waktu yang lebih lama untuk bertahan melakukan perilaku tersebut.
Menurut Muadz dan Syaefuddin (2010), jika remaja mampu melakukan
penilaian tentang benar dan salah, baik dan buruk suatu perilaku, maka mereka akan
memahami mana perilaku yang benar dan mana perilaku yang salah, sehingga remaja
putri dapat mengambil keputusan untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai yang
timbul dari hati nurani dan bukan paksaan dari luar yang disertai pula oleh rasa
tanggungjawab.
7.

Media Informasi
Menurut Brown (2008), banyak yang telah menulis tentang pengaruh media

terhadap perilaku seksual remaja, terutama yang berhubungan dengan keputusan
remaja tentang seks, beberapa topik menghasilkan sebagai banyak diskusi remaja
tentang seksualitas sebagai pengaruh relatif dari media. Mengingat kekuatan dan
cakupan media saat ini, menembus semua konteks dan memberikan pengaruh pada
pengetahuan, sikap dan perilaku seksual baik secara positif maupun negatif.

Remaja

dan

keluarga

mereka

perlu

diajarkan

tentang

bagaimana

menggunakan media secara bijaksana dan aman. Ketika ditanya secara langsung
tentang hubungan antara informasi tentang seks di media dengan perilaku seksual,
hampir dua-pertiga (65 persen) dari remaja dan keluarganya mengatakan tidak ada
hubungan antara informasi tentang seks di media dengan perilaku seksual, tetapi 45
persen percaya bahwa konten seksual di media bisa membantu memulai percakapan
yang baik tentang perilaku seksual dan 19 persen keluarga dari remaja tersebut
percaya bahwa remaja bisa belajar sesuatu yang baik dari paparan ini.
Brown

(2008)

mengutip

teori

belajar

sosial

Bandura

(1997),

yang mengatakan bahwa ketika kita melihat perilaku yang ditampilkan di media, kita
akan

meniru

dan

akhirnya

dapat

mengadopsi

perilaku

kita

sendiri.

Paparan konten seksual di media dapat memberikan kepekaan bagi remaja dalam
membentuk sikap dan perilaku seksual. Brown (2008) juga mengutip laporan The
Surgeon General (1982) tentang pengaruh television menyatakan bahwa mungkin
berperan secara aktif menimbulkan efek rangsangan pada perilaku seksual, seperti
halnya pada perilaku agresif.

2.3

Seksual
Dalam kamus bahasa indonesia seks berarti jenis kelamin. Dan segala sesuatu

yang berhubungan dengan jenis kelamin disebut seksualitas. Perilaku seksual adalah
segala tindakan yang bisa diamati berupa tindakan seksual terhadap orang lain atau

dirinya sendiri, mengungkapkan diri secara seksual atau cara bicara dan bertindak
(Rismalinda, 2010).
Menurut Sarwono dan Sidar (dalam Hanani, 2009) pengertian seksualitas
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pengertian dalam arti sempit dan pengertian
dalam arti yang luas. Pengertian dalam arti sempit adalah bahwa seksualitas bearti
kelamin, yang terdiri dari alat kelamin, anggota-anggota tubuh dan ciri-ciri badaniah
yang membedakan pria dan wanita, kelenjar dan hormone kelamin, hubungan seksual
serta pemakaian alat kontrasepsi. Sedangkan pengertian dalam arti luas bahwa
seksualitas itu merupakan segala hal yang terjadi sebagai akibat dari adanya
perbedaan jenis kelamin, seperti perbedaan tingkah laku atau pekerjaan dan hubungan
pria dan wanita.
Martono (dalam Hanani, 2009) seksualitas merupakan suatu energy psikis
atau tekanan yang mendorong organism untuk berbuat sesuatu yang sifatnya seksual,
baik untuk tujuan reproduksi atau tidak, karena perbuatan seks itu disertai dengan
suatu penghayatan yang menyenangkan. Seks adalah suatu mekanisme agar manusia
mampu mendapatkan keturunan. Oleh karena itu seks merupakan mekanisme fital
untuk mengadakan evolusi sepanjang sejarah kehidupan manusia.
Menurut Kartono (2002) hubungan seksual yang normal itu mengandung
pengertian sebagai berikut :
1.

Hubungan tersebut tidak menimbulkan efek-efek yang merugikan, baik bagi diri
sendiri maupun bagi patnernya, juga tidak mengakibatkan konflik-konflik psikis
pada kedua belah pihak.

2.

Ada bentuk relasi seks yang bertanggung jawab, yaitu kedua belah pihak
menyadari konsekuensinya, serta berani memikul tanggung jawab dari perbuatan
mereka, baik mengenai diri sendiri maupun patnernya.

3.

Juga menyadari bahwa mereka harus melakukan relasi seks dalam batas-batas
norma etis atau sosial, norma masyarakat dan norma agama.

4.

Oleh kedua cirri normal dan bertanggung jawab, maka diwajibkan melakukan
hubungan dalam ikatan perkawinan yang sah.
Hubungan seks itu mempunyai tiga tujuan, yaitu:

1.

Untuk reproduksi atau untuk mengadakan keturunan

2.

Untuk menyatakan cinta kasih

3.

Untuk mendapatkan kesenangan
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa seksual adalah suatu

energi psikis yang sudah ada sejak kecil yang mendorong seseorang untuk memenuhi
kebutuhan manusia yang sifatnya eroris, untuk menyatakan cinta kasih terhadap
pasangannya, untuk mendapatkan kesenangan dan keturunan yang disertai dengan
penghayatan yang menyenangkan sehingga tercipta kepuasan dan semua itu
dilakukan dengan penuh tanggung jawab.
Kelainan perilaku seksual (sexsual disorders) adalah kecenderungan
seseorang untuk memperoleh kepuasan seksual melalui tingkah laku tertentu.
Misalnya, sadisme (memperoleh kepuasan seksual dengan melukai atau menyiksa
pasangannya Adapun konsekwensi hubungan seksualitas adalah KDT (Kehamilan
Tak Diinginkan), aborsi dan Infeksi Menular Seksual (Muadz. 2008).

Tujuan seksualitas secara umum meningkatkan kesejahteraan kehidupan
manusia, secara khusus adalah untuk prokreasi (menciptakan atau meneruskan
keturunan) dan rekreasi (memperoleh kenikmatan biologis/seksual) (Sibagariang.
2010).
2.4 Remaja
2.4.1 Pengertian Remaja
Remaja atau “adolescence” (inggris) berasal dari bahasa latin “adolescere”
yang berarti tumbuh ke arah kematangan. Kematangan yang dimaksud adalah bukan
hanya kematangan fisik saja, tetapi juga kematangan sosial dan psikologis
(widyastuti, 2011).
Menurut WHO batasan usia remaja adalah 12 sampai 24 tahun. Menurut
Depkes RI adalah antara 10 sampai 19 tahun dan belum kawin, menurut BKKBN
adalah 10 sampai 19 tahun , menurut sarwono (2012), mendefinisikan remaja dalam
umur 16-21 tahun. sedangkan definisi remaja menurut Survei Kesehatan Reproduksi
Remaja Indonesia (SKRRI) adalah perempuan dan laki-laki belum kawin yang
berusia 15-24 tahun.
Masa remaja dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu masa remaja awal (10-13
tahun), masa remaja tengah (14-16 tahun) dan masa remaja akhir (17-