Pengaruh Konsep Diri Terhadap Asertivitas Seksual Remaja Di Sma Pamasta Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang Tahun 2015

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Salah satu dampak dari Total Fertility Rate (TFR) dan Infant Mortality Rate

(IMR) adalah perubahan struktur umur penduduk, diantaranya yaitu terjadinya
peningkatan jumlah penduduk usia remaja. Berdasarkan data Kepala Badan
Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), 2012, jumlah remaja
berusia 10–24 sudah mencapai sekitar 64 juta jiwa atau sebesar 27,6% dari penduduk
Indonesia yang berjumlah 240 juta jiwa. Jumlah remaja yang tidak sedikit ini
merupakan potensi yang sangat berarti dalam melanjutkan pembangunan di
Indonesia.
Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional 2004 – 2009, merupakan salah satu dari program pemerintah
dalam sektor pembangunan sumber daya manusia. Sasaran dari program ini adalah
meningkatkan pengetahuan, sikap dan perubahan prilaku remaja melalui pelayanan
dan informasi kesehatan reproduksi (Bappenas, 2007).
Pada masa remaja rasa ingin tahu terhadap masalah seksual sangat penting

dalam pembentukan hubungan baru yang lebih matang dengan lawan jenis.
Pemberian informasi masalah seksual menjadi penting mengingat remaja berada
dalam potensi seksual yang aktif, karena berkaitan dengan dorongan seksual yang

dipengaruhi hormon dan sering tidak memiliki informasi yang cukup mengenai
aktifitas seksual mereka sendiri. Tentu saja hal tersebut akan sangat berbahaya bagi
perkembangan jiwa remaja bila ia tidak memiliki pengetahuan dan informasi yang
tepat. Fakta menunjukan bahwa sebagian besar remaja tidak mengetahui dampak dari
perilaku seksual yang mereka lakukan, sering kali remaja sangat tidak matang untuk
melakukan hubungan seksual terlebih lagi jika harus menanggung resiko dari
hubungan seksual tersebut (Syafrudin, 2011).
Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, seperlima dari penduduk di
dunia adalah remaja, dengan 900 juta penduduk remaja berada di negara yang sedang
berkembang dengan 20% berada di Indonesia. Remaja yang secara populasi
menempati urutan terbesar dari seluruh populasi penduduk, saat ini permasalahan
remaja begitu kompleks, kegiatan seksual juga menempatkan remaja pada tantangan
risiko terhadap berbagai masalah kesehatan reproduksi. Setiap tahun kira-kira 15 juta
remaja berusia 15-19 tahun melahirkan, 4 juta melakukan aborsi, dan hampir 100 juta
terinfeksi Penyakit Menular Seksual (PMS). Secara global 40% dari semua kasus
infeksi HIV terjadi pada kaum muda yang berusia 15-24 tahun. Survey yang

dilakukan BKKBN tahun 2008 menyebutkan 63% remaja di beberapa kota besar
Indonesia telah melakukan seks pra-nikah. Sedangkan menurut data yang diambil
berdasarkan Survei Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2010 (Riskesdas, 2010)
menyebutkan gejala perilaku seksual pra-nikah pada remaja laki-laki dan perempuan
usia 10-24 tahun sudah terjadi.

Data WHO menyebutkan bahwa 15-50% kematian ibu disebabkan karena
pengguguran kandungan yang tidak aman. Bahkan Departemen Kesehatan RI
mencatat bahwa setiap tahunnya terjadi 700.000 kasus aborsi pada remaja atau 30%
dari total 2 juta kasus dimana sebagian besar dilakukan oleh dukun. Dari penelitian
yang dilakukan PKBI tahun 2005 di 9 kota mengenai aborsi dengan 37.685
responden, 27% dilakukan oleh klien yang belum menikah dan biasanya sudah
mengupayakan aborsi terlebih dahulu secara sendiri dengan meminum jamu khusus.
Sementara 21,8% dilakukan oleh klien dengan kehamilan lanjut dan tidak dapat
dilayani permintaan aborsinya (Syafrudin, 2011).
Survei

Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI), tahun 2012 angka

kehamilan remaja pada kelompok usia 15-19 tahun mencapai 48% dari 1000

kehamilan. Dari angka ini membuktikan bahwa pernikahan dini dan seks pranikah di
kalangan remaja semakin tinggi. Jika dilihat rata-rata usia menikah pertama
perempuan Indonesia rata-rata diatas usia 19 tahun. Perempuan yang hamil di usia
muda amat beresiko mengalami perdarahan ketika menjalani proses persalinan dan
juga rentan melahirkan bayi dengan berat badan yang rendah.
Menurut BKKBN (2012), dari 552 remaja yang ada di Sumatera Utara,
diketahui sebanyak 86,3% remaja yang berpegangan tangan ketika berpacaran, 32,2%
remaja yang melakukan cium bibir, dan sebanyak 8,2% remaja yang melakukan
rabaan/rangsangan. Sebanyak 4,9% laki-laki dan 1,5% perempuan telah melakukan
hubungan seksual pada saat berpacaran.

Berdasarkan laporan dari profil kabupaten/kota Angka Kematian Ibu (AKI)
Maternal di Sumatera Utara tahun 2012 sebesar 106 per 100.000 kelahiran hidup, dan
berdasarkan sensus penduduk 2010 Angka Kematian Ibu di Sumatera Utara sebesar
328 per 100.000 kelahiran hidup dan berdasarkan Survey Demografi dan Kesehatan
Indonesia (SDKI) tahun 2007 menyebutkan bahwa Angka Kematian Ibu sebesar 228
per 100.000 kelahiran hidup. Akibat lain yang dapat terjadi dari perilaku seksual
remaja ini menurut Sarwono (2012) adalah terganggunya kesehatan dan resiko
kehamilan serta kematian bayi yang tinggi serta munculnya penyakit infeksi menular
seksual (IMS).

Sedangkan untuk data Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia walaupun
masih jauh dari angka target MDGs yaitu AKB tahun 2015 sebesar 23 per 1000
kelahiran hidup tetapi tercatat mengalami penurunan yaitu dari sebesar 35 per 1000
kelahiran hidup (SDKI 2002) menjadi sebesar 34 per 1000 kelahiran hidup (SDKI
2007) , dan terakhir menjadi 32 per 1000 kelahiran hidup (SDKI 2012) , namun
angka kematian bayi (AKB) di Indonesia masih tetap tergolong tinggi jika
dibandingkan dengan negara-negara ASEAN seperti Singapura (3 per 1000 kh),
Brunei Darusalam (8 per 1000 kh), Malaysia (10 per 1000 kh), Vietnam (18 per 1000
kh), dan Thailand (20 per 1000 kh). Target AKB dalam MDGs adalah 23 per 1000
kh.

Berdasarkan survei dan wawancara yang telah dilakukan di SMA
PAMASTA, diperoleh hasil masih menunjukkan perilaku asertif yang rendah dalam
berpacaran. Hal ini terbukti dari hasil wawancara pada tanggal 10 februari 2015 yang
dilakukan dengan beberapa siswa mengemukakan bahwa mereka merasa sungkan
untuk mengungkapkan penolakan ajakan pacar ketika sedang sibuk mengerjakan
tugas dari sekolah, sehingga lebih memilih untuk menuruti keinginan pacar dan tugas
sekolah terabaikan. Sebagian siswa juga mengungkapkan bahwa ia merasa kesulitan
untuk mengungkapkan hak-haknya untuk dapat bersosialisasi dengan lawan jenisnya
karena larangan pacarnya, ia merasa terkekang dengan sikap pacarnya yang posesif

dan mengungkapkan pikiran-pikiran tersebut tanpa harus kehilangan pacar.
Berdasarkan data pada satu kelas yang berisikan 24 siswa terdapat 16 siswa
yang mengaku sudah pernah pacaran dan mulai berpacaran pada umur 14 tahun.
Tetapi para siswa mengaku gaya berpacarannya masih dalam batas dan rata-rata
seperti berpegangan tangan 90%. Mereka mengatakan bahwa orang tua mereka
mengetahuinya. Ketika ditanya mengenai kehamilan di usia muda, rata-rata dari
mereka tidak setuju jika ada remaja seumur mereka sudah hamil, apalagi bila
kehamilan tersebut adalah disebabkan perilaku seksual pranikah. Berdasarkan laporan
dari guru bimbingan konseling yang ada di SMA tersebut, bahwa belum ada dari
siswa mereka yang diberhentikan dari sekolah karena sudah hamil.
Konsep diri adalah perasaan seseorang tentang dirinya sebagai pribadi yang
utuh dengan karakteristik yang unik, sehingga dia akan mudah dikenali sebagai sosok
yang mempunyai ciri khas tersendiri. Seseorang akan mampu memahami apa yang

menjadi kebutuhan, kelebihan dan kekurangannya dan mampu berpikir secara
rasional. Konsep diri tidaklah langsung dimiliki ketika seseorang lahir di dunia
melainkan suatu rangkaian proses yang terus berkembang dan membedakan individu
satu dengan yang lainnya (Lukaningsih, 2011).
Masa remaja merupakan masa yang menyenangkan, karena di masa ini
muncul pola pikir yang individual tanpa ingin bergantung lagi dengan orang dewasa,

dan penuh kebebasan untuk menemukan jati diri remaja dengan berbagai cara.
Remaja berusaha memperoleh jati diri dengan membentuk citra atau image tentang
diri remaja, dan upaya ini terakumulasi dalam suatu konsep yang berisikan gambaran
tentang bagaimana setiap remaja mampu mempersepsi diri. Remaja sebagai penerus
generasi bangsa yang memiliki banyak kesempatan berasosiasi secara bebas untuk
melakukan banyak hal, namun justru banyak remaja mengalami tekanan dan tuntutan.
Remaja memiliki keinginan yang kuat untuk melepaskan diri dari keterikatan,
tuntutan, dan tekanan dari orang dewasa khususnya orang tua, sehingga remaja
mencari dukungan sosial melalui teman sebaya.
Sejak tahun 1960 aktifitas seksual telah meningkat diantara remaja, hal ini
menunjukkan hampir 50% remaja dibawah usia 15 tahun dan 75% dibawah usia 19
tahun melaporkan telah melakukan hubungan seks. Remaja dalam aktifitas seksual
tidak mengerti dan paham terhadap alat kontrasepsi atau gejala-gejala Penyakit
Menular Seksual (PMS). Akibatnya angka kelahiran tidak sah dan timbulnya
penyakit kelamin yang kian meningkat (Syafrudin, 2011).

Memasuki Milenium baru ini sudah selayaknya bila orangtua dan kaum
pendidik bersikap lebih tanggap dalam menjaga dan mendidik remaja agar berhatihati terhadap gejala sosial, terutama yang berkaitan dengan masalah seksual. Remaja
yang hamil di luar nikah, aborsi, penyakit kelamin dan lain-lain adalah contoh dari
beberapa kenyataan pahit yang sering terjadi pada remaja sebagai akibat pemahaman

yang keliru mengenai seksualitas (Syafrudin, 2011).
Regulasi perundangan dan budaya juga menyebabkan remaja semakin
kesulitan secara terbuka untuk mendapatkan pengetahuan mengenai seksualitas. Hal
ini telah membatasi ruang pendidikan dan sosial untuk memberikan pengetahuan
pada remaja mengenai seksualitas. Selain itu budaya telah menyebabkan remaja tabu
untuk membicarakan masalah seksualitas. pada akhirnya banyak remaja yang
memuaskan rasa keingintahuannya melalui berbagai macam sumber informasi
mengenai seksualitas melalui media massa dan internet. Keingintahuan remaja
mengenai seksualitas serta dorongan seksual telah menyebabkan remaja untuk
melakukan aktifitas seksual remaja, yang akhirnya menimbulkan persoalan pada
remaja yang berkaitan dengan aktivitas seksual. Seperti kekerasan seksual, kehamilan
tidak diinginkan (KTD) pada remaja, aborsi remaja dan pernikahan usia muda
(Syafrudin, 2011).
Asertif berasal dari kata assertive yang berarti tegas dalam pernyataan, pasti
dalam mengekspresikan dirinya dan pendapatnya. Menurut Lazarus, asertivitas
adalah kemampuan bersikap tegas untuk menolak terhadap sesuatu yang tidak sesuai
dalam situasi tertentu. Menurut Fensterheim dan Boor (dalam Kurniawati, 2000)

perilaku asertif adalah perilaku antar pribadi yang menyangkut emosi secara tepat,
relatif terus terang dan tanpa paksaan cemas terhadap orang lain serta mengandung

tingkah laku penuh ketegasan dan percaya diri.
Myers dan Myers (2002) mengatakan asertivitas adalah salah satu gaya
komunikasi dimana individu dapat mempertahankan hak dan mengekspresikan
perasaan, pikiran dan kebutuhan secara langsung, jujur dan bersikap terus terang.
Menurut Alberti & Emmons (2002), asertif adalah suatu kemampuan untuk
mengkomunikasikan apa yang diinginkan, dirasakan, dan dipikirkan kepada orang
lain namun dengan tetap menjaga dan menghargai hak-hak serta perasaan pihak lain.
Marini (2005), mengutip pendapat Hawari (2002), menyatakan bahwa
penyebab para remaja terjerumus ke hal yang negatif seperti seks bebas, salah satunya
adalah karena kepribadian yang lemah. Ciri – cirinya antara lain daya tahan terhadap
tegangan dan tekanan rendah, kurang bisa mengekpresikan diri, kurang bisa
mengendalikan emosi dan agresivitas serta tidak dapat mengatasi masalah dan konflik
dengan baik yang erat kaitannya dengan asertivitas.
Rosita (2010) dan Hidayah (2010) yang mengutip pendapat Rathus dan Nevid
(1983) mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi asertivitas, yaitu jenis
kelamin, usia, budaya, tingkat pendidikan, harga diri (self esteem), dan situasi tertentu
lingkungan sekitarnya seperti pola asuh orang tua dan teman sebaya. Semua faktor
tersebut akan diteliti menjadi faktor yang mempengaruhi asertivitas kecuali faktor
jenis kelamin, usia dan pendidikan.


Sikap Asertif untuk kelompok remaja sangat diperlukan dalam menghadapi
tekanan remaja sebaya. Tekanan itu berkaitan dengan ajakan untuk terlibat kedalam
risiko triad KRR, yaitu seksualitas, HIV/AIDS dan napza. Menurut Suwarni (2009),
bahwa pengaruh perilaku seksual teman sebaya secara langsung paling besar
mempengaruhi perilaku seksual remaja. Pengaruh perilaku seksual teman sebaya
secara langsung sebesar 20,2%, sedangkan pengaruh perilaku seksual teman sebaya
secara tidak langsung melalui niat berperilaku seksual sebesar 14,24%.
Kebebasan seksual pada remaja bila tidak sesuai dengan norma kehidupan
membuat cemas para orang tua dan masyarakat. Dampak yang diakibatkan dari
hubungan seksual dari remaja pun cukup serius. Dampak yang timbul antara lain,
adanya rasa bersalah dan penyesalan pada pelaku seksual sehingga mengakibatkan
defresi, frustasi, jika hubungan seksual tersebut mengakibatkan kehamilan, karena
merasa takut untuk mengatakan pada orang tua, remaja tersebut pada akhirnya
melakukan aborsi. Pasangan remaja inipun jika tetap ingin mempertanggung
jawabkan perbuatan seksual yang telah mereka lakukan dan pasangan inipun harus
siap menjadi seorang ayah dan seorang ibu.
Sebenarnya ada remaja yang tidak suka dan tidak mau melakukan hubungan
seksual tetapi pada akhirnya melakukan hubungan seksual. Hal ini disebabkan karena
remaja tidak tegas menolak keinginan dan paksaan dari pasangannya atau juga karena
remaja merasa takut ditinggalkan oleh pasangannya. Rasa takut yang dialami oleh

remaja menunjukkan bahwa remaja tersebut tidak dapat bersikap mandiri dan tegas.
Remaja dalam menentukan sikap haruslah bersikap mandiri, tegas dan bebas karena

artinya remaja dapat mengambil keputusan sesuai keinginan tanpa harus membatasi
diri, dapat menentukan apa yang terbaik untuk dirinya sendiri. Hal inilah yang
dikatakan sebagai sikap asertif.
Berdasarkan uraian dan penjelasan tersebut maka perlu dikaji pengaruh
konsep diri terhadap asertivitas seksual remaja di SMA PAMASTA Tanjung Morawa
Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang Tahun 2015.
1.2 Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas perumusan masalah dalam penelitian ini
adalah masih rendahnya asertivitas seksual remaja dan tingginya perilaku seksual
remaja di SMA PAMASTA Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang
Tahun 2015.

1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis Pengaruh Konsep
Diri terhadap Asertivitas Seksual di SMA PAMASTA Kecamatan Tanjung Morawa
Kabupaten Deli Serdang Tahun 2015.


1.4 Hipotesis
Konsep diri berpengaruh terhadap asertivitas seksual remaja di SMA
PAMASTA Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang Tahun 2015.

1.5 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat dalam ilmu psikologi, khususnya di
bidang psikologi perkembangan terutama mengenai pengaruh konsep diri terhadap
asertivitas seksual pada remaja perempuan.
2. Manfaat Praktis
a.

Bagi Pendidikan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi dan bahan
masukan untuk memberikan informasi mengenai seksual dan dampaknya pada
remaja dan juga mengajarkan asertivitas pada perempuan. Sehingga mampu
berperan aktif dalam membina dan mengendalikan serta mengarahkan ke halhal positif dan juga mampu meningkatkan asertivitas khususnya pada remaja
perempuan sehingga terhindar dari prilaku seksual.

b.

Bagi Tenaga Kesehatan
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan suatu kebijakan bagi pelaksana
program kesehatan reproduksi remaja (KRR) baik di luar maupun di dalam
lingkungan sekolah untuk lebih meningkatkan asertivitas remaja dalam
mengatasi permasalahan perilaku seksual remaja.

c.

Bagi Remaja
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan sehingga
dapat menjaga tingkah laku, sikap maupun kepribadiannya dan terhindar dari
hal-hal yang menyimpang dari nilai – nilai agama khususnya dalam hal
melakukan hubungan seksual serta mampu meningkatkan asertivitas
khususnya pada remaja perempuan.