Perilaku Pemilih Dalam Pilgubsu 2013 (Studi Kasus: Etnis Jawa Di Desa Muliorejo, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang)

BAB I
PENDAHULUAN

I. 1. Latar Belakang
Pemilihan Umum Kepala Daerah Sumatera Utara adalah salah satu proses demokrasi dimana
masyarakat Sumatera Utara dapat memilih langsung gubernur dan wakil gubernurnya untuk masa
jabatan lima tahun ke depan. Pasca runtuhnya Orde Baru, kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak
lagi ditunjuk langsung oleh pemerintah pusat, melainkan dipilih langsung oleh masyarakat penduduk
daerah tersebut. Sebelum tahun 2005, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Pemilihan Kepala Daerah merupakan rekrutmen politik yaitu penyeleksian rakyat terhadap
tokoh-tokoh yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah baik gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil
bupati atau walikota/wakil walikota. Aktor utama sistem pemilihan kepala daerah adalah rakyat, partai
politik dan calon kepala daerah. Ketiga aktor tersebut terlibat langsung dalam kegiatan pemilihan
kepala daerah. Kegiatan tersebut antara lain: pendaftaran pemilih, pendaftaran calon, penetapan calon,
kampanye, pemungutan dan penghitungan suara, dan penetapan calon terpilih.
Dalam rangka pembagian kekuasaan negara (secara vertikal) dibentuk daerah-daerah yang
bersifat otonom dengan bentuk dan susunan pemerintahannya yang diatur dalam undang-undang.
Sehingga pemerintah pusat menyelenggarakan pemerintahan nasional dan pemerintah daerah
menyelenggarakan pemerintahan daerah. Pembagian kekuasaan daerah itu disebut dengan
desentralisasi yang dipahami sebagai penyerahan wewenang politik dan perundang-undangan untuk

perencanaan, pengambilan keputusan dan manajemen pemerintah (pusat) kepada unit-unit sub
nasional (daerah/wilayah) administrasi negara atau kepada kelompok-kelompok fungsional atau
organisasi non-pemerintahan swasta.1 Sedangkan otonomi daerah merupakan bagian sistem politik

1

Bambang Yudhoyono. Otonomi Daerah. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 2001. Hal 20

1
Universitas Sumatera Utara

yang diharapkan memberikan peluang bagi warga negara untuk lebih mampu menyumbangkan daya
kreativitasnya.2
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah atau disingkat Pilkada. Pemilihan kepala daerah untuk tingkat gubernur dan wakil gubernur
Sumatera Utara secara langsung pertama kali diselenggarakan pada tahun 2008. Pada saat itu
pasangan Syamsul Arifin dan Gatot Pujo Nugroho menjadi pasangan gubernur dan wakil gubernur
terpilih pertama yang dipilih langsung oleh masyarakat Sumatera Utara. Selanjutnya pada tanggal 7
Maret 2013 yang lalu masyarakat Sumatera Utara kembali memilih gubernur dan wakil gubernurnya

secara langsung untuk kedua kalinya. Berikut adalah daftar nama pasangan calon gubernur dan wakil
gubernur Sumatera Utara beserta partai pendukungnya yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum
Daerah Sumatera Utara :

Tabel 1.1
Daftar Nama Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Serta Partai Politik yang
Mendukung
Nama Pasangan Calon Gubernur dan
No.

Partai Pendukung
Wakil Gubernur
Partai Amanat Nasional, Partai Barisan
Nasional, Partai Bulan Bintang, Partai Buruh,
Partai

H. Gus Irawan, SE. Ak, MM dan
1

Demokrasi


Kebangsaan,

Partai

Gerakan Indonesia Raya, Partai Indonesia
Ir. H. Soekirman
Sejahtera, Partai Karya Peduli Bangsa, Partai
Karya

Perjuangan,

Partai

Kebangkitan

Bangsa, Partai Kedaulatan, Partai Kesatuan

2


M.Arif Nasution. Nasionalisme dan Isu-Isu Lokal. Medan:USU Press. 2005. Hal 63

2
Universitas Sumatera Utara

Demokrasi, Partai Matahari Bangsa, Partai
Merdeka,

Partai

Nasional

Benteng

Kerakyatan, Partai Pelopor, Partai Pemuda
Indonesia,

Partai

Penegak


Demokrasi

Indonesia,

Partai

Kedaulatan

Indonesia,

Partai

Persatuan

Bangsa
Nahdlatul

Ummah, Partai Demokrasi Pembaruan, dan
Partai Bintang Reformasi

Partai Demokrasi

Drs. Effendi M. S. Simbolon dan

Indonesia Perjuangan,

Partai Peduli Rakyat Nasional, Partai Damai

2
Drs. Djumiran Abdi

Sejahtera

Drs. H. Chairuman Harahap, SH, MM dan

Partai Golongan Karya, Partai Persatuan
Pembangunan, Partai Pengusaha dan Pekerja

3
H. Fadly Nurzal, S.Ag


Indonesia, Partai Republik Nusantara

Drs. H. Amri Tambunan dan
4
Dr. Rustam Effendy Nainggolan, MM

Partai Demokrat
Partai Keadilan Sejahtera, Partai Hati Nurani

H. Gatot Pujo Nugroho, ST dan

Rakyat, Partai Kebangkitan Nasional Ulama,

5
Ir. H. Tengku Erry Nuradi

Partai Patriot, Partai Persatuan Nasional

Sumber: http://kpud-sumutprov.go.id

Pemilihan gubernur dan wakil gubernur Sumatera Utara 2013 hanya diselenggarakan
sebanyak satu putaran, karena berdasarkan pasal 107 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
menyatakan bahwa pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang memperoleh suara lebih dari
30 % (tiga puluh persen) dari jumlah suara sah, pasangan calon yang perolehan suaranya terbesar
ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih dengan keputusan KPU Provinsi. Maka KPU Provinsi
Sumatera Utara menetapkan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur terpilih adalah nomor urut
3
Universitas Sumatera Utara

5, H. Gatot Pujo Nugroho, ST dan Ir. H. Tengku Erry Nuradi, dengan hasil perolehan suara sah
1.604.337 persentase 33.00 %.

Tabel 1.2
Jumlah dan Persentase Perolehan Suara Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur
Sumatera Utara Dalam Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara
Tahun 2013

No

Hasil Perolehan


Persentase

Suara Sah

(%)

Nama Pasangan Calon

1

H. Gus Irawan Pasaribu, SE Ak, MM - Ir. H. Soekirman

1.027.433

21.13

2

Drs. Effendi MS Simbolon - Drs. H. Jumiran Abdi


1.183.187

24.34

3

Dr. H. Chairuman Harahap, SH, MH - H. Fadly Nurzal, S.Ag

452.096

9.30

4

Drs. Haji Amri Tambunan - Dr. R.E. Nainggolan, MM

594.414

12.23


5

H. Gatot Pujo Nugroho, ST - Ir. H. Tengku Erry Nuradi, M.Si

1.604.337

33.00

4.861.467

100

JUMLAH SUARA SAH

Sumber: http://kpud-sumutprov.go.id
Hasil persentase pemilihan kepala daerah yang demikian ini sedikit banyak tentunya
dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berkembang di masyarakat, mulai dari kondisi politik dan
ekonomi nasional sampai kepada kondisi sosial budaya pada masyarakat setempat. Hal ini akan
membentuk perilaku politik masyarakat.

4
Universitas Sumatera Utara

Perilaku pemilih menurut Ramlan Surbakti ialah3 keikutsertaan warga negara dalam
pemilihan umum yang merupakan serangkaian kegiatan membuat keputusan, yakni apakah memilih
atau tidak memilih dalam pemilihan umum. Kalau memutuskan memilih, apakah memilih partai atau
kandidat X ataukah partai atau kandidat Y.
Perilaku pemilih dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal, dimana faktor internal
antara lain status sosial yang terdiri dari pendidikan, penghasilan, pekerjaan masyarakat tersebut.
Selain itu faktor internal itu juga seperti hubungan keluarga yang terdiri dari kedaerahan atau
lokalitas, historis, agama dan suku (etnis) dari masyarakat yang bersangkutan. Pada sisi yang lain
faktor eksternal antara lain dipengaruhi oleh ketersediaan fasilitas yang terdiri dari media kampanye
yang digunakan saat sosialisasi, partai politik pendukung calon, dan sebagainya.
Sudijono Sastroatmodjo (1995) mengatakan bahwa kelompok etnis mempunyai peran besar
dalam membentuk sikap, persepsi, dan orientasi seseorang. Dengan adanya rasa kesukuan atau
kedaerahan sehingga dapat mempengaruhi dukungan atau loyalitas seseorang terhadap partai politik
atau individu tertentu yang ikut didalam pemilihan umum. Etnis juga dapat mempengaruhi loyalitas
terhadap partai tertentu. Di Indonesia secara relatif terdapat kesetiaan etnis (ethnic loyalty) yang relatif
tinggi dan bahwa partai politik Indonesia dipengaruhi oleh etnisitas. Kesetiaan etnis di Indonesia
masih tampak signifikan dan apabila kita mengabaikan faktor etnis maka dapat menimbulkan
kesalahan dalam memahami perpolitikan di Indonesia. Hal ini menandakan bahwa ada pengaruh yang
signifikan antara etnisitas terhadap perilaku politik seseorang. Perilaku politik tidaklah merupakan
sesuatu yang berdiri sendiri, tetapi mengandung keterkaitan dengan aspek- aspek lain yang
diantaranya ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan agama.
Dari kesepuluh orang calon gubernur dan wakil gubernur Sumatera Utara ada 3 orang calon
yang berlatar belakang etnis Jawa, selebihnya adalah etnis Batak (5 orang), dan Melayu (2 orang). Hal
ini sejalan dengan populasi suku bangsa penduduk Sumatera Utara yang berjumlah 12,9 juta jiwa

3

Ramlan Surbakti. Memahami Ilmu Politik. Jakarta. Gramedia Widya Sarana. 2010. Hal 186- 187

5
Universitas Sumatera Utara

pada tahun 20104 yaitu, Batak (41,95%), Jawa (32,62%), Melayu (4,92%). Dari data diatas terlihat
bahwa etnis Jawa menempati peringkat kedua dibawah etnis Batak baik dari sisi jumlah populasi
maupun dari latar belakang etnis calon gubernur dan wakil gubernur. Tentunya pengaruh budaya Jawa
pada pemilih, baik yang langsung terlibat dalam melaksanakan pilgubsu tersebut maupun yang tidak
langsung akan menjadi signifikan.
Sementara itu, Desa Muliorejo merupakan salah satu desa/kelurahan yang berada di
Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang. Secara geografis luas wilayahnya 1205 ha, dengan
jumlah penduduk kurang lebih 35.285 jiwa. Mayoritas penduduk Desa Muliorejo merupakan etnis
Jawa (35%), selebihnya etnis Batak (25%), Melayu (6%), Aceh (5%), Nias (5%), Minang (3%) dan
lain-lain.
Di Desa Muliorejo, pasangan nomor urut 2, Efendi Simbolon-Jumiran Abdi menang tipis
dengan perolehan suara sebesar 29,7%. Hanya berselisih 0,1 % dari pasangan nomor urut 5, Gatot
Pujo Nugroho-Tengku Erry Nuradi (29,6%).

Tabel 1.3
Jumlah dan Persentase Perolehan Suara Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur 2013
di Desa Muliorejo

No

4

Nama Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur

Jumlah

Jumlah %

1

H. Gus Irawan Pasaribu. SE. Ak..MM dan Ir. H. Soekirman

2.315

22

2

Drs. Effendi MS Simbolon dan Drs. H. Jumiran Abdi

3.128

29,7

3

Dr. H. Chairuman Harahap. SH. MH dan H. Fadly Nurzal. S.Ag

406

3,8

4

Drs. H. Amri Tambunan dan Dr. R.E. Nainggolan. MM

1.542

14,6

Id.wikipedia.org/wiki/Sumatera_Utara

6
Universitas Sumatera Utara

5

H. Gatot Pujo Nugroho. ST dan Ir. H. Tengku Erry Nuradi. M.Si

3.115

29,6

Sumber: Panitia Pemungutan Suara Desa Muliorejo
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti merasa tertarik untuk mencari tahu faktor
yang paling mempengaruhi pemilih etnis Jawa dalam memberikan suaranya dan selanjutnya tertarik
untuk melakukan penelitian dengan judul: “Perilaku Pemilih Dalam Pilgubsu 2013 (Studi Kasus:
Etnis Jawa di Desa Muliorejo, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang).”

I. 2. Perumusan Masalah
Perumusan masalah adalah penjelasan mengenai alasan mengapa masalah yang dikemukakan
dalam penelitian itu dipandang menarik, penting, dan perlu untuk diteliti. Perumusan masalah juga
merupakan suatu usaha yang menyatakan pertanyaan-pertanyaan penelitian apa saja yang perlu
dijawab atau dicari pemecahannya. Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan, maka peneliti
mencoba menarik suatu permasalahan yang lebih mengarah pada fokus penelitian yang akan
dilakukan, yaitu: Faktor apakah yang paling mempengaruhi pemilih etnis Jawa dalam
memberikan suaranya kepada pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur pada Pilgubsu
2013 ?

I. 3. Pembatasan Masalah
Agar penelitan terfokus terhadap permasalahannya, akan lebih baik jika dibuat pembatasan
masalahnya. Adapun masalah yang ingin diteliti pada penelitian ini ialah:
1. Objek penelitian ialah pemilih dengan latar belakang etnis Jawa di Desa Muliorejo yang
namanya tercantum dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT)
2. Penelitian hanya dilakukan kepada pemilih etnis Jawa yang memberikan suaranya pada
Pilgubsu 2013.

7
Universitas Sumatera Utara

3. Masalah yang diteliti ialah perilaku pemilih masyarakat etnis Jawa dalam Pilgubsu 2013.

I. 4. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini ialah untuk mengetahui faktor yang
mempengaruhi pemilih etnis Jawa dalam memberikan suaranya kepada pasangan calon Gubernur dan
Wakil Gubernur pada Pilgubsu 2013.

I. 5. Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Secara teoritis, penelitian ini dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi studi khususnya
mengenai perilaku pemilih dan bagi perkembangan ilmu politik secara umum.
2. Bagi institusi, penelitian ini dapat menambah referensi ilmu pengetahuan dan karya ilmiah di
Departemen Ilmu Politik, khususnya mengenai perilaku pemilih.
3. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini dapat menjadi sarana pendidikan politik dan menjadi
referensi dalam memberikan pilihan pada Pilgubsu maupun pemilukada daerah lainnya.

I. 6. Kerangka Teori
Kerangka teori merupakan bagian yang paling penting di dalam penelitian, karena pada
bagian ini

seorang peneliti mencoba menjelaskan fenomena yang sedang diamati dengan

menggunakan teori-teori yang relevan dengan penelitiannya. Kerangka teori juga digunakan sebagai
landasan berpikir untuk menggambarkan dari sudut mana permasalahan akan diteliti. Menurut Masri
Singarimbun dan Sofian Effendi, teori adalah serangkaian asumsi, konsep, konstrak, definisi dan

8
Universitas Sumatera Utara

preposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan
hubungan antar konsep.5

I. 6.1. Perilaku Politik
Menurut Ramlan Surbakti, perilaku politik dapat dirumuskan sebagai kegiatan yang
berkenaan dengan proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik, yang melakukan kegiatan
adalah pemerintah dan masyarakat. Kegiatan yang dilakukan pada dasarnya dibagi dua yaitu fungsifungsi pemerintahan yang dipegang oleh pemerintah dan fungsi- fungsi politik yang dipegang oleh
masyarakat.6
Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, setiap individu terkait dengan persoalan
politik dalam arti yang luas. Masyarakat sebagai kumpulan individu yang memiliki harapan sekaligus
tujuan yang hendak diwujudkan. Untuk mewujudkan harapan tersebut diperlukan adanya normanorma atau kaidah-kaidah yang mengatur berbagai kegiatan bersama dalam rangka menempatkan
dirinya ditengah-tengah masyarakat yang senantiasa ditegakkan. Interaksi antara pemerintah dan
masyarakat, antar lembaga pemerintah dan antara kelompok dan individu dalam masyarakat dalam
rangka proses pembuatan, pelaksanaan dan penegakan keputusan politik pada dasarnya merupakan
perilaku politik. Perilaku politik merupakan salah satu dari perilaku secara umum karena disamping
perilaku politik masih ada perilaku yang lain seperti perilaku ekonomi, perilaku budaya, perilaku
keagamaan dan sebagainya. Perilaku politik merupakan perilaku yang menyangkut persoalan politik.7
Dalam pelaksanaan pemilu di suatu negara ataupun dalam pelaksanaan pilkada langsung di
suatu daerah, perilaku politik dapat berupa perilaku masyarakat dalam menentukan sikap dan pilihan
dalam pelaksanaan pemilu atau pilkada tersebut. Perilaku politik dapat dibagi dua, yaitu:8
1. Perilaku politik lembaga-lembaga dan para pejabat pemerintah.
2. Perilaku politik warga negara biasa (individu maupun kelompok).
5

Masri Singarimbun dan Sofian Effendi. Metode Penelitian Sosial. Jakarta. LP3ES. 1998. Hal 37
Ramlan Surbakti.Op. Cit. Hal 167
7
Sudijono Sastroatmodjo. Perilaku Politik. Semarang. IKIP Semarang Press. 1995. Hal 1- 3
8
Ramlan Surbakti.Op. Cit. Hal 15-16

6

9
Universitas Sumatera Utara

Pihak pertama bertanggung jawab membuat, melaksanakan, dan menegakkan keputusan
politik, sedangkan yang kedua berhak mempengaruhi pihak yang pertama dalam melaksanakan
fungsinya karena apa yang dilakukan pihak pertama menyangkut kehidupan pihak kedua. Kegiatan
politik yang dilakukan warga negara biasa (individu maupun kelompok) disebut partisipasi politik.
Dalam melakukan kajian terhadap perilaku politik, dapat dipilih tiga kemungkinan unit
analisis, yakni aktor politik, agregasi politik dan tipologi kepribadian politik:
1. Aktor politik (meliputi aktor politik, aktivitas politik, dan individu warga negara biasa).
2. Agregasi politik (yaitu individu aktor politik secara kolektif seperti partai politik, birokrasi,
lembaga-lembaga pemerintahan dan bangsa).
3. Tipologi kepribadian politik (yaitu kepribadian pemimpin seperti Otoriter, Machiavelist
dan Demokrat).
Ada 4 (empat) faktor yang mempengaruhi perilaku politik aktor politik (pemimpin, aktivis,
dan warga biasa), yaitu:9
1. Lingkungan sosial politik tak langsung
Seperti sistem politik, ekonomi, budaya dan media massa.
2. Lingkungan sosial politik langsung
Membentuk kepribadian aktor seperti keluarga, agama, sekolah dan kelompok bergaul.
Dari lingkungan ini, seorang aktor politik mengalami proses sosialisasi dan internalisasi
nilai dan norma masyarakat dan norma kehidupan bernegara.
3. Struktur kepribadian
Hal ini tercermin dalam sikap individu (yang berbasis pada kepentingan, penyesuaian diri
dan eksternalisasi.

9

Ramlan Surbakti.Op. Cit. Hal 132

10
Universitas Sumatera Utara

4. Lingkungan sosial politik langsung berupa situasi
Keadaan yang mempengaruhi aktor secara langsung ketika hendak melakukan suatu
kegiatan seperti cuaca, keadaan keluarga, keadaan ruang, kehadiran orang lain, suasana
kelompok dan ancaman dengan segala bentuknya.

I. 6.2 Perilaku Pemilih
Pemilih diartikan sebagai semua pihak yang menjadi tujuan utama para kontestan untuk
mereka pengaruhi dan yakinkan agar mendukung dan kemudian memberikan suaranya kepada
kontestan yang bersangkutan.10 Mereka yang dinyatakan sebagai pemilih dalam pilkada adalah
mereka yang terdaftar sebagai peserta pemilih oleh petugas pendaftar peserta pemilih.
Pemilih dalam hal ini dapat berupa konstituen maupun masyarakat pada umumnya.
Konstituen adalah kelompok masyarakat yang merasa diwakili oleh suatu ideologi tertentu yang
kemudian termanifestasi dalam institusi politik seperti partai politik. Di samping itu, pemilih
merupakan bagian masyarakat luas yang bisa saja tidak menjadi konstituen partai politik tertentu.
Masyarakat terdiri dari beragam kelompok. Terdapat kelompok masyarakat yang memang nonpartisan, di mana ideologi dan tujuan politik mereka tidak dikatakan kepada suatu partai politik
tertentu. Mereka „menunggu‟ sampai ada suatu partai politik yang bisa menawarkan program politik
yang bisa menawarkan program kerja yang terbaik menurut mereka, sehingga partai tersebutlah yang
akan mereka pilih.11
Perilaku pemilih dapat ditujukan dalam memberikan suara dan menentukan siapa yang akan
dipilih menjadi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam pilkada secara langsung. Pemberian
suara atau voting secara umum dapat diartikan sebagai: “sebuah proses dimana seorang anggota
dalam suatu kelompok menyatakan pendapatnya dan ikut menentukan konsensus diantara anggota

10

Firmanzah. Marketing Politik Antara Pemahaman dan Realitas. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia. 2007. Hal
102
11
Joko J Prihatmoko. Pilkada Secara Langsung. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 2005. Hal 46

11
Universitas Sumatera Utara

kelompok seorang pejabat maupun keputusan yang diambil.12 Pemberian suara dalam pilkada secara
langsung diwujudkan dengan memberikan suara pada pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah yang didukungnya atau ditujukan dengan perilaku masyarakat dalam memilih
pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Perilaku pemilih dan partisipasi politik merupakan dua hal tidak dapat dipisahkan. Partisipasi
politik dapat terwujud dalam berbagai bentuk. Salah satu wujud dari partisipasi politik ialah kegiatan
pemilihan yang mencakup “suara, sumbangan- sumbangan untuk kampanye, bekerja dalam suatu
pemilihan, mencari dukungan bagi seorang calon atau setiap tindakan yang bertujuan untuk
mempengaruhi hasil proses pemilihan”.13
Menurut Surbakti perilaku pemilih adalah: “Aktivitas pemberian suara oleh individu yang
berkaitan erat dengan kegiatan pengambilan keputusan untuk memilih atau tidak memilih (to vote or
not to vote) didalam suatu pemilihan umum (pilkada secara langsung). Bila voters memutuskan untuk
memilih (to vote) maka voters akan memilih atau mendukung kandidat tertentu.14
Jack C Plano mendefinisikan perilaku pemilih sebagai “suatu studi yang memusatkan diri
pada bidang yang menggeluti kebiasaan atau kecenderungan pilihan rakyat dalam pemilihan umum,
serta latar belakang mengapa mereka melakukan pemilihan itu”.15
Pemilih tidak akan memberikan suaranya kalau mereka menganggap bahwa sebuah partai
atau calon pemimpin tidak loyal serta tidak konsisten dengan janji dan harapan yang telah mereka
berikan. Begitu juga sebaliknya, keputusan untuk memberikan dukungan dan suara tidak akan terjadi
apabila tidak terdapat loyalitas pemilih yang cukup tinggi kepada calon pemimpin pilihannya.
Dalam menganalisis perilaku pemilih dan untuk menjelaskan pertimbangan- pertimbangan
yang digunakan sebagai alasan oleh para pemilih dalam menjatuhkan pilihannya, dikenal dua macam
pendekatan yaitu, Mahzab “Columbia yang menggunakan pendekatan sosiologis dan Mahzab
12

Gosnel F Horald. Ensyclopedia of The Social Science. New York. Mc Grew Hill Book Company. 1934. Hal
32
13
Samuel P. Hutington dan Joan Nelson. Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Jakarta.
Rineka Cipta. 1990. Hal 16
14
Ramlan Surbakti. Partai, Pemilih dan Demokrasi. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 1997. Hal 170
15
Jack C. Plano, Robert E. Ringgs dan Helenan S. Robin. Kamus Analisa Politik. Jakarta. C.V.
Rajawali Press. 1985. Hal 280

12
Universitas Sumatera Utara

Michigan yang dikenal dengan pendekatan Psikologis”.16 “Selain itu terdapat juga pendekatan pilihan
rasional yang melihat perilaku seseorang melalui kalkulasi untung rugi yang didapat oleh individu
tersebut”.17

I. 6.2.1 Pendekatan Sosiologis
Pendekatan sosiologis berasal dari Eropa Barat yang dikembangkan oleh ahli ilmu
politik dan sosiologi. Mereka memandang bahwa masyarakat sebagai sesuatu yang bersifat
hirarkis terutama berdasarkan status, karena masyarakat secara keseluruhan merupakan
kelompok orang yang mempunyai kesadaran status yang kuat. Para pendukung mahzab ini
percaya bahwa masyarakat telah tersusun sedemikian rupa sesuai dengan latar belakang dan
karakteristik sosialnya, maka memahami karakteristik sosial tersebut merupakan sesuatu yang
penting dalam memahami perilaku politik individu.
Secara singkat, aliran yang menggunakan pendekatan sosiologis dalam menganalisis
perilaku pemilih menyatakan bahwa preferensi politik termasuk preferensi pemberian suara di
kotak pemilihan merupakan produk dari karakteristik sosial ekonomi di mana dia berada
seperti profesi, kelas sosial, agama dan seterusnya. Dengan kata lain latar belakang seseorang
atau sekelompok orang atas dasar jenis kelamin, kelas sosial, ras, etnik, agama, pekerjaan,
idiologi bahkan daerah asal menjadi variabel yang mempengaruhi terhadap keputusannya
untuk memberikan suara pada saat pemilihan.

I. 6.2.2 Pendekatan Psikologis
Munculnya pendekatan psikologis merupakan reaksi atas ketidakpuasan ilmuan
politik terhadap pendekatan sosiologis. Pendekatan ini menggunakan dan mengembangkan
konsep psikologi terutama sikap dan sosialisasi untuk menjelaskan perilaku pemilih. Menurut
16

Afan Gaffar. Javanese Voters: a Case Study of Election under a Hegemonic Party System.
Yogyakarta. Gajah Mada University Press. 1992. Hal 4- 9
17
Ramlan Surbakti. Op. Cit. Hal 187

13
Universitas Sumatera Utara

pendekatan psikologis, pada pemilih (di Amerika Serikat) menentukan pilihan karena
pengaruh kekuatan psikologi yang berkembang dalam dirinya sebagai produk sosialisasi.
Mereka menjelaskan bahwa sikap seseorang sebagai refleksi dari kepribadian seseorang
merupakan variabel yang menentukan dalam mempengaruhi perilaku politiknya.
Pendekatan psikologis berasumsi bahwa keputusan seorang individu dalam
memberikan suara kepada kandidat tertentu merupakan persoalan respons psikologis.
Pendekatan psikologis mensyaratkan adanya “kecerdasan” dan rasionalitas pemilih dalam
menentukan pilihannya. Pada pendekatan psikologis penekanan lebih pada individu itu
sendiri. Menurut psikologis, ada tiga faktor yang berpengaruh terhadap perilaku pemilih. Tiga
faktor tersebut adalah identifikasi partai, orientasi isu atau teman dan orientasi kandidat.
Indentifikasi partai yang dimaksud disini adalah bukan sekedar partai apa yang dipilih tetapi
juga tingkat identifikasi individu terhadap partai tersebut. Menurut Philip Converse dalam
Affan Gaffar, “identifikasi partai diartikan sebagai keyakinan yang diperoleh dari orang tua
dimasa muda dan dalam banyak kasus, keyakinan tersebut tetap membekas sepanjang hidup,
walaupun semakin kuat atau memudar selama masa dewasa”.18
Kemudian, yang dimaksud dengan orientasi isu atau tema adalah tema atau isu- isu
apa saja yang diangkat oleh parpol tersebut. Sedangkan, yang dimaksud dengan orientasi
kandidat adalah siapa saja yang mewakili parpol tersebut.
Greenstein menyatakan dalam menjelaskan perilaku (dalam kaitannya dengan
pendekatan psikologis) seseorang terdapat dua konsep khusus yaitu, “konsep sikap dan
sosialisasi”. Konsep sikap merupakan variabel sentral dalam menjelaskan perilaku pemilih,
karena menurut Greenstein ada tiga fungsi sikap yakni:19 Pertama, sikap merupakan fungsi
kepentingan, artinya penilaian terhadap suatu objek diberikan berdasarkan motivasi, minat
dan kepentingan orang tersebut. Kedua sikap merupakan fungsi penyesuaian diri, artinya
seseorang bersikap tertentu sesuai dengan keinginan orang itu untuk sama dan tidak sama
18

Ibid. Hal 10
Muhamad Asfar. Beberapa Pendekatan Dalam Memahami Prilaku Pemilih. Jurnal Ilmu Politik
Edisi No. 16. Jakarta. P.T. Gramedia Pustaka Utama. Hal 52

19

14
Universitas Sumatera Utara

dengan tokoh atau kelompok yang dikaguminya. Ketiga, sikap merupakan ekternaliasasi dan
pertahanan diri, artinya sikap seseorang merupakan upaya untuk mengatasi konflik batin atau
tekanan psikis, yang mungkin berwujud mekanisme pertahanan.
Pembentukan sikap tidaklah bersifat begitu saja terjadi, melainkan proses sosialisasi
yang berkembang menjadi ikatan psikologis yang kuat antara seseorang dengan partai politik
atau kandidat tertentu. Kedekatan inilah yang menentukan seseorang memilih atau tidak.
“Makin dekat seseorang dengan partai atau kandidat tertentu makin besar kemungkinan
seseorang terlibat dalam pemilihan”.20

I. 6.2.3 Pendekatan Rasional
Intisari pendekatan pilihan rasional adalah tindakan apa yang dilakukan seseorang
yang diyakininya berkemungkinan dapat memberikan hasil terbaik bagi dirinya. Pilihan
rasional muncul sebagai revolusi pendekatan perilaku dalam ilmu politik pada tahun 1950-an
dan 1960-an yang sebenarnya berusaha meneliti bagaimana individu berperilaku dan
menggunakan metode empris. Pendekatan perilaku telah menjadi pendekatan dominan
terhadap ilmu politik, setidaknya di Amerika Serikat. “Namun pilihan rasional bersumber dari
metodologi ilmu ekonomi, kebalikan dengan para behavioralis yang bersumber dari sosiologi
dan psikologi”.21
Kemudian, seiring perkembangannya, muncul pendekatan pilihan rasional dalam
menganalisa perilaku pemilih. Berdasarkan pendekatan ini, manusia diasumsikan adalah
seorang pemilih yang rasional. “Kegiatan memilih merupakan produk dari kalkulasi untung
rugi”.22 Individu mengantisipasi setiap konsekuensi yang mungin muncul dari pilihan pilihan
yang ada. Kemudian, dari pilihan- pilihan tersebut, individu akan memilih pilihan yang
memberi keuntungan paling besar bagi dirinya.
20

Ibid
David Mars dan Gaerry Stoker. Teori dan Metode Dalam Ilmu Politik. Bandung. Nusa Media.
2002. Hal 76- 77
22
Ramlan Surbakti. Op. Cit. Hal 187

21

15
Universitas Sumatera Utara

Dalam pendekatan rasional terdapat dua orientasi yang menjadi daya tarik pemilih,
yaitu: Orientasi isu dan orientasi kandidat. Orientasi isu berpusat pada pertanyaan: apa yang
seharusnya dilakukan dalam memecahkan persoalan- persoalan yang sedang dihadapi
masyarakat, bangsa dan negara? Sementara orientasi kandidat mengacu kepada sikap
seseorang terhadap pribadi kandidat tanpa memperdulikan label partainya. Meski demikian,
ketertarikan para pemilih terhadap isu- isu yang ditawarkan oleh partai atau pun kandidat
bersifat situasional.23
Pendekatan rasional mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa para pemilih benarbenar rasional. Para pemilih melakukan penilaian yang valid terhadap visi, misi program kerja
partai dan kandidat. Pemilih rasional memiliki motivasi, perinsip, pengetahuan dan informasi
yang cukup. Tindakan mereka bukanlah karena faktor kebetulan ataupun kebiasaan dan tidak
semata- mata untuk kepentingan sendiri, melainkan juga untuk kepentingan umum, menurut
pikiran dan pertimbangan logis.24

I. 6.3 Konfigurasi Pemilih
Perilaku pemilih merupakan sebuah studi yang memusatkan pemilih sebagai objek dari
masalah yang diteliti. Berikut ini merupakan konfigurasi pemilih atau tipe- tipe pemilih:25

I. 6.3.1 Pemilih Rasional
Dalam konfigurasi pertama terdapat pemilih rasional (rational voter), di mana pemilih
memiliki orientasi tinggi pada „policy-problemsolving‟ dan berorientasi rendah untuk faktor
ideologi. Pemilih dalam hal ini lebih mengutamakan kemampuan partai politik atau calon
kontestan dalam program kerjanya.

23

Asep Ridwan. Memahami Perilaku Pemilih Pada Pemilu 2004 di Indonesia. Jurnal Demokrasi
dan Ham. Vol 4. No. 1. Jakarta. 2004. Hal 38- 39
24
Ibid
25
Firmanzah. Op. Cit. Hal 134-138

16
Universitas Sumatera Utara

Ciri khas pemilih jenis ini adalah tidak begitu mementingkan ikatan ideologi kepada
suatu partai politik atau seorang kontestan. Faktor seperti “faham, asal-usul, nilai tradisional,
budaya, agama, dan psikografis memang dipertimbangkan juga, tetapi bukan hal yang
signifikan”. Hal yang terpenting bagi jenis pemilih adalah apa yang bisa (dan yang telah)
dilakukan oleh sebuah partai atau seorang kontestan, daripada faham dan nilai partai dan
kontestan. Oleh karena itu, ketika sebuah partai politik atau calon kontestan ingin menarik
perhatian pemilih dalam matriks ini, mereka harus mengedepankan solusi logis akan
permasalahan ekonomi, pendidikan, kesejahteraan, sosial-budaya, hubungan luar negeri,
pemerataan pendapatan, disintegrasi nasional, dan lain-lain. Pemilih tipe ini tidak akan segansegan beralih dari sebuah partai atau seorang kontestan ke partai politik atau kontestan lain
ketika mereka dianggap tidak mampu menyelesaikan permasalahan nasional.

I. 6.3.2 Pemilih Kritis
Pemilih jenis ini merupakan perpaduan antara tingginya orientasi pada kemampuan
partai politik atau seorang kontestan dalam menuntaskan permasalahan bangsa maupun
tingginya orientasi mereka akan hal-hal yang bersifat ideologis. Pentingnya ikatan ideologis
membuat loyalitas pemilih terhadap sebuah partai atau seorang kontestan cukup tinggi dan
tidak semudah „rational vote‟ untuk berpaling ke partai lain. Proses untuk menjadi pemilih
jenis ini bisa terjadi melalui dua mekanisme. Pertama, jenis pemilih ini menjadikan nilai
ideologis sebagai pijakan untuk menentukan kepada partai politik mana mereka akan berpihak
dan selanjutnya mereka akan mengkritisi kebijakan yang akan atau yang telah dilakukan.
Kedua, bisa juga terjadi sebaliknya, pemilih tertarik dulu dengan program kerja yang
ditawarkan sebuah partai/kontestan baru kemudian mencoba memahami nilai-nilai dan faham
yang melatarbelakangi pembuatan sebuah kebijakan.
Pemilih jenis ini akan selalu menganalisis kaitan antara sistem nilai partai (ideologi)
dengan kebijakan yang dibuat. Tiga kemungkinan akan muncul ketika terdapat perbedaan
antara nilai ideologi dengan „platform‟ partai: (1) memberikan kritik internal, (2) frustasi, dan
17
Universitas Sumatera Utara

(3) membuat partai baru yang memiliki kemiripan karakteristik ideologi dengan partai lama.
Kritik internal merupakan manifestasi ketidaksetujuan akan sebuah kebijakan partai politik
atau seorang kontestan. Ketika pemilih merasa kritikannya tidak difasilitasi oleh mekanisme
internal partai politik, mereka cenderung menyuarakannya melalui mekanisme eksternal
partai, umpamanya melalui media massa seperti televisi, radio, dan sebagainya. Frustasi
merupakan posisi yang sulit bagi pemilih jenis ini. Di satu sisi, mereka merasa bahwa
ideologi suatu partai atau seorang kontestan adalah yang paling sesuai dengan karakter
mereka, tapi di sisi lain mereka merasakan adanya ketidaksesuaian dengan kebijakan yang
akan dilakukan partai. Biasanya pemilih ini akan melihat-lihat dahulu (wait and see) sebelum
munculnya ide kemungkinan yang ketiga, yaitu membentuk partai baru. Pembuatan partai
biasanya harus dipelopori oleh tokoh-tokoh yang tidak puas atas kebijakan suatu partai.
Mereka memiliki kemampuan untuk menggalang massa, ide, konsep, dan reputasi untuk
membuat partai tandingan dengan nilai ideologi yang biasanya tidak berbeda jauh dengan
partai sebelumnya.

I. 6.3.3 Pemilih Tradisional
Pemilih dalam jenis ini memiliki orientasi yang sangat tinggi dan tidak terlalu melihat
kebijakan partai politik atau seorang kontestan sebagai sesuatu yang penting dalam
pengambulan keputusan. Pemilih tradisional sangat mengutamakan kedekatan sosialbudayanya, nilai, asalusul, faham, dan agama sebagai ukuran untuk memilih suatu partai
politik. Kebijakan semisal ekonomi, kesejahteraan, pemerataan pendapatan dan pendidikan,
dan pengurangan angka inflasi dianggap sebagai parameter kedua. Biasanya pemilih jenis ini
lebih mengutamakan figur dan kepribadian pemimpin, mitos dan nilai historis sebuah partai
politik atau seorang kontestan. Salah satu karakteristik mendasar jenis pemilih ini adalah
tingkat pendidikan yang rendah dan sangat konservatif dalam memegang nilai serta faham
yang dianut.

18
Universitas Sumatera Utara

I. 6.3.4 Pemilih Skeptis
Pemilih jenis ini tidak memiliki orientasi ideologi cukup tinggi dengan sebuah partai
politik atau seorang kontestan, juga tidak menjadikan kebijakan sebagai sesuatu yang penting.
Keinginan untuk terlibat dalam sebuah partai politik pada pemilih jenis ini sangat kurang,
karena ikatan ideologis mereka memang rendah sekali. Mereka juga kurang memedulikan
„platform‟ dan kebijakan sebuah partai politik. Kalaupun berpartisipasi dalam pemungutan
suara, biasanya mereka melakukannya secara acak atau random. Mereka berkeyakinan bahwa
siapapun dan partai apapun yang memenangkan pemilu tidak akan bisa membawa bangsa ke
arah perbaikan yang mereka harapkan. Selain itu, mereka tidak memiliki ikatan emosional
dengan sebuah partai politik atau seorang kontestan.

I. 6.4 Pemilihan Umum Kepala Daerah
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah atau disingkat Pilkada. Kemudian menurut Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Pemilu
22 tahun 2007 berubah menjadi Pemilihan Umum Kepala Daerah atau disebut Pemilukada, yang
selanjutnya terbit undang-undang baru, UU No 15 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu tidak
lagi disebut dengan pemilu kepala daerah tetapi disebut dengan pemilihan gubernur, pemilihan bupati,
atau pemilihan walikota.26
Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung diatur dalam UU No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 56 joPasal 119 dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 6
Tahun 2005 tentang Cara Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah. Secara eksplisit ketentuan tentang pilkada secara langsung tercermin dalam
cara pemilihan dan asas-asas yang digunakan dalam penyelenggaraan pilkada. Dalam pasal 56 ayat
(1) disebutkan :

26

www.kpu.go.id

19
Universitas Sumatera Utara

“Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang
dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.”
Pemilihan umum merupakan sarana bagi rakyat untuk menyalurkan aspirasinya dalam
menentukan wakil- wakilnya baik di lembaga legislatif maupun eksekutif, juga merupakan sarana ikut
serta berpartisipasi dalam kegiatan politik. Demokrasi Indonesia mengalami perubahan signifikan
pasca runtuhnya orde baru. Kehidupan berdemokrasi menjadi lebih baik, rakyat dapat dengan bebas
menyalurkan pendapat dan ikut berpartisipasi dalam kegiatan politik yang sangat dibatasi pada orde
baru.
Pemilihan kepala daerah langsung juga merupakan salah satu bentuk penghormatan terhadap
kedaulatan rakyat, karena melalui pemilihan kepala daerah langsung ini menandakan terbukanya
ruang yang cukup agar rakyat bebas memilih pemimpinnya. Kelahiran pemilihan kepala daerah secara
langsung merupakan salah satu kemajuan dari proses demokrasi di Indonesia. Melalui pemilihan
kepala daerah secara langsung berarti mengembalikan hak- hak dasar masyarakat di daerah untuk
menentukan kepala daerah maupun wakil kepala daerah yang mereka kehendaki.
Proses pemilihan kepala daerah di laksanakan melalui beberapa tahapan. Dimulai dari tahap
pendaftaran, penyaringan, penetapan pasangan calon, rapat paripurna khusus, pengiriman berkas
pemilihan, pengesahan dan pelantikan. Dalam rangka penyelenggaraan otonomi yang luas, nyata dan
bertanggung jawab, kepala daerah dan wakil kepala daerah memiliki peranan yang sangat penting
dibidang penyelenggaraan pemerintahan, pengembangan dan pelayanan masyarakat dan bertanggung
jawab sepenuhnya tentang jalannya pemerintahan daerah.27

I. 6.5 Etnis
Etnis adalah suatu kesatuan budaya dan teritorial yang tersusun rapi dan dapat digambarkan
ke dalam suatu peta etnografi. Umumnya kelompok etnis dikenal sebagai suatu populasi (1) Secara
biologis mampu berkembang biak dan bertahan. (2) Mempunyai nilai- nilai budaya sama dan sadar
27

Deddy Supriady Bratakusuma dan Dadang Solihin. Otonomi Penyelenggaraan Pemerintah
Daerah. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama. 2002. Hal 61

20
Universitas Sumatera Utara

akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya. (3) Membentuk jaringan komunikasi dan interaksi
sendiri. (4) Menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat
dibedakan dari kelompok populasi lain.28
Definisi yang ideal memang tidak berbeda jauh dengan yang umum kita kenal, yaitu bahwa
“suku bangsa = budaya = bahasa; sedangkan masyarakat = suatu unit yang hidup terpisah dari unit
lain”.29 Hal ini senada dengan yang dikatakan oleh Koentjaranigrat,
Setiap kelompok memiliki batasan- batasan yang jelas untuk memisahkan antara satu jenis
kelompok etnis dengan etnis lainnya. Konsep yang tercakup dalam istilah etnis adalah
golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan kesatuan kebudayaan,
sedangkan kesadaran dan identitas seringkali dikuatkan oleh kesatuan bahasa juga.30
Sedangkan menurut Payung Bangun suku bangsa yang sering disebut etnik/ etnis atau
golongan etnis, mempunyai tanda- tanda atau ciri karakteristik: (1) Memiliki wilayah sendiri. (2)
Mempunyai struktur politik sendiri berupa tata pemerintahan dan pengaturan kekuasaan yang ada. (3)
Ada bahasa sendiri yang menjadi alat komunikasi dalam interaksi. (4) Mempunyai seni sendiri (seni
tari lengkap dengan alat- alatnya, cerita rakyat, seni ragam hias dengan pola khas tersendiri). (5) Seni
dan teknologi arsitektur serta penataan pemukiman. (6) Sistem filsafat sendiri yang menjadi landasan
pandangan sikap dan tindakan. (7) Mempunyai sistem religi (kepercayaan, agama) sendiri.31

I. 6.5.1 Etnis Jawa
Etnis Jawa merupakan etnis dengan populasi terbesar di Indonesia yang berasal dari
Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogyakarta. Bahasa dan budayanya sudah menyebar ke
pelosok-pelosok nusantara hingga dunia, dan sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari

28

Frederik Bart, dkk. Kelompok Etnik dan Batasannya. Jakarta. UI Press. 1988. Hal 11
Ibid
30
Koenjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta. Penerbit Djambatan. 1982.
Hal 58
31
Payung Bangun. Sistem Sosial Budaya Indonesia. Jakarta. FISIP UKI. 1998. Hal 63
29

21
Universitas Sumatera Utara

masyarakat Indonesia. Suku Jawa juga memiliki sub-suku, seperti:32 suku Osing, orang
Samin, suku Bawean/Boyan, Naga, Nagaring, suku Tengger, dan lain-lain.
Masyarakat Jawa juga terkenal akan pembagian golongan-golongan sosialnya.
Clifford Geertz, pada tahun 1960-an membagi masyarakat Jawa menjadi tiga kelompok; kaum
santri, abangan, dan priyayi. Menurutnya kaum santri adalah penganut agama Islam yang taat,
kaum abangan adalah penganut Islam secara nominal atau penganut Kejawen, sedangkan
kaum Priyayi adalah kaum bangsawan.
Definisi seseorang sebagai etnis Jawa, selain karena faktor keturunan, juga karena
pribadi, bahasa dan etikanya. Pribadi orang Jawa memang unik, umumnya orang Jawa lebih
tertutup dalam segala hal. Manifestasi dari kepribadian tertutup ini, tempo dulu selalu
memakai pakaian yang rapat. Yakni, putri menggunakan nyamping (kain) dan kebayak,
sedangkan laki-laki menggunakan surjan dan kain. Pakaian yang serba panjang itu menjadi
ciri bahwa orang Jawa berkepribadian tertutup. Sikap ini tak berarti bahwa orang Jawa tak
mau membuka diri. Orang Jawa mau terbuka hanya pada waktu-waktu dan tempat tertentu.33
Segala hal selalu disampaikan dengan tertutup, halus dan bermakna. Perilaku bahasa
cukup lemah lembut, apalagi di Jawa mengenal ragam krama alus dan ngoko (kasar). Dalam
keperluan tertentu jelas menggunakan ragam halus. Kehalusan rasa Jawa juga tampak pada
aktivitas publik. Mereka selalu rendah diri dalam hal bergaul dengan sesama. Pada waktu
bertamu, jika kebetulan disodori hidangan, orang Jawa amat hati-hati dan tidak segera
menyantap. Tamu masih menunggu tuan rumah menawarkan hidangan. Penawaran hidangan
pun menggunakan gaya tertentu yang halus. Orang Jawa juga akan mengatakan “sampunsampun, mboten sah repot-repot”, sudah-sudah baru saja makan dan minum di rumah, tak
usah repot-repot menyediakan hidangan. Begitulah pribadi yang halus, meskipun sebenarnya
lapar, tak akan bergegas makan. Pribadi semacam ini memang ada yang menyebut basa-basi

32

Badan Pusat Statistik tahun 2010 yang diperoleh melalui
http://sp2010.bps.go.id/files/ebook/kewarganegaraan%20penduduk%20indonesia/index.html
33
Dr Suwardu Endraswara. Ilmu Jiwa Jawa. Yogyakarta. NARASI. 2012. Hal 167

22
Universitas Sumatera Utara

Jawa. Yang jelas, orang Jawa memang lihai bermain watak dan pandai bersandiwara. Tujuan
main watak adalah untuk membahagiakan pihak lain.34

I. 7. Definisi Konsep
Definisi konsep adalah kata- kata yang merupakan unsur- unsur umum abstrak yang ditarik
dari berbagai fenomena berbeda.35 Dalam kaitannya dengan judul yang diangkat yaitu perilaku
pemilih masyarakat etnis Karo pada pemilukada Karo 2010, maka yang menjadi konsep penelitian
ialah:
1. Perilaku Pemilih
Perilaku pemilih ialah keikutsertaan warga negara dalam pemilihan umum yang merupakan
serangkaian kegiatan membuat keputusan, yakni apakah memilih atau tidak memilih dalam pemilihan
umum. Kalau memutuskan memilih, apakah memilih partai atau kandidat X ataukah partai atau
kandidat Y serta alasannya memilih partai atau kandidat yang akan dipilih.

2. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Pemilih
1. Pendekatan sosiologis, pendekatan sosiologis dalam menganalisis perilaku pemilih
menyatakan bahwa preferensi politik termasuk preferensi pemberian suara di kotak
pemilihan merupakan produk dari karakteristik sosial ekonomi di mana dia berada seperti
profesi, kelas sosial, agama dan seterusnya.
2. Pendekatan psikologis, pendekatan psikologis berasumsi bahwa keputusan seorang
individu dalam memberikan suara kepada kandidat tertentu merupakan persoalan respons
psikologis. Pendekatan psikologis mensyaratkan adanya “kecerdasan” dan rasionalitas
pemilih dalam menentukan pilihannya. Pada pendekatan psikologis penekanan lebih pada
individu itu sendiri terutama terhadap pengalaman- pengalaman yang berlangsung sejak
34

Ibid. Hal 167-168
Mary Grisez Kweit dan Robert W. Kwiet. Konsep dan Metode Analisa Politik. Jakarta. Bina
Aksara. 1986. Hal 243

35

23
Universitas Sumatera Utara

lama, misalnya kedekatan pemilih dengan salah seorang kandidat yang berlangsung sejak
mereka berada dibangku sekolah maupun ditempat kerja, teman sepermainan dan lain
sebagainya.
3. Pendekatan pilihan rasional, pendekatan pilihan rasional dalam menganalisa perilaku
pemilih merupakan produk dari kalkulasi untung rugi. Individu mengantisipasi setiap
konsekuensi yang mungin muncul dari pilihan- pilihan yang ada. Kemudian, dari pilihanpilihan tersebut, individu akan memilih pilihan yang memberi keuntungan paling besar
bagi dirinya.

I. 8. Definisi Oprasional
Definisi oprasional adalah penjelasan bagaimana variabel- variabel akan diukur secara
empiris.36 Adapun yang menjadi definisi oprasional pada penelitian ini ialah:
1. Perilaku Pemilih (Variabel Y)
Perilaku pemilih dapat dilihat dengan pasangan calon yang dipilih oleh responden pada Pilgub
Sumatera Utara 2013. Apakah memilih pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang berlatar
belakang etnis Jawa atau bukan Jawa:
a. Gus Irawan Pasaribu – Soekirman (Etnis Batak dan Etnis Jawa)
b. Effendy Simbolon – Jumiran Abdi (Etnis Batak dan Etnis Jawa)
c. Chairuman Harahap – Fadly Nurzal (Etnis Batak dan Etnis Melayu)
d. Amri Tambunan – RE Nainggolan (Etnis Batak dan Etnis Batak)
e. Gatot Pujo Nugroho – Tengku Erry Nuradi (Etnis Jawa dan Etnis Melayu)
Selain dengan melihat pilihan calon Gubernur dan Wakil Gubernur pada Pilgub Sumatera
Utara 2013 perilaku pemilih Etnis Jawa pada penelitian ini dengan alasan memilih pasangan calon
pada Pilgub Sumatera Utara 2013:
36

Ibid

24
Universitas Sumatera Utara

a. Latar belakang Agama pasangan calon.
b. Latar belakang Etnis pasangan calon.
c. Adanya hubungan kekerabatan dalam sistem sosial masyarakat Jawa.
d. Partai yang mencalonkan pasangan calon (kader, simpatisan, anggota partai).
e. Ideologi Partai yang mencalonkan pasangan calon maupun Ideologi pasangan calon secara
khusus.
f. Kedekatan emosional dengan pasangan calon (mengenal dekat sosok pasangan calon).
g. Visi- Misi yang diusung oleh pasangan calon.
h. Adanya imbalan materi maupun iming- iming jabatan jika pasangan calon terpilih nantinya.
i. Rekam- jejak pasangan calon.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku pemilih (Variabel X)
a. Pendekatan sosiologis dengan indikator; kesamaan agama responden dengan pasangan
calon, kesamaan etnis responden dengan pasangan calon dan hubungan primordial yang
ada antara responden dan pasangan calon.
b. Pendekatan psikologis dengan indikator; kedekatan emosional dengan pasangan calon,
keterlibatan dengan partai pendukung pasangan calon, idiologi pasangan calon
c. Pendekatan pilihan rasional dengan indikator; kepercayaan terhadap visi dan misi yang
ditawarkan pasangan calon, adanya unsur materi/ jabatan yang diperoleh jika memilih
pasangan calon, rekam jejak dari pasangan calon.

25
Universitas Sumatera Utara

I. 9. Metodologi Penelitian
I. 9.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah kualitatif deskriptif.
Pendekatan kualitatif diartikan sebagai pendekatan yang menghasilkan data, tulisan dan tingkah laku
yang dapat diamati. Penelitian deskriptif digunakan untuk menggambarkan atau melukiskan apa yang
sedang diteliti dan berusaha untuk memberikan gambaran yang jelas dan mendalam tentang apa yang
sedang diteliti dan menjadi pokok permasalahan. Nawawi mengungkapkan bahwa metode deskriptif
dapat diartikan sebagai: “prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau
melukiskan keadaan subjek/penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain)”. Adapun ciriciri pokok metode deskriptif adalah:
1. Memusatkan perhatian pada masalah-masalah yang ada pada saat penelitian dilakukan (saat
sekarang) atau masalah-masalah yang bersifat aktual.
2. Menggambarkan fakta-fakta tentang masalah yang diselidiki sebagaimana adanya.
Adapun bentuk dari metode deskriptif yang digunakan dalam penelitian ini adalah survey
(survey studies) yaitu survey kemasyarakatan (community survey). Maksudnya, menurut Nawawi,
untuk mengungkapkan aspek atau beberapa aspek tertentu dalam kehidupan masyarakat. Melalui
penelitian ini dikumpulkan data untuk mengambil kesimpulan tentang pendapat, keinginan,
kebutuhan, kondisi dan lain-lain di dalam masyarakat mengenai aspek yang diselidiki.

I. 9.2 Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Desa Muliorejo, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang.
Alasan pemilihan lokasi penelitian tersebut adalah karena di Desa Muliorejo ini mayoritas
penduduknya adalah etnis Jawa (35.44%). Selain itu juga lokasi penelitian adalah daerah tempat
peneliti bertempat tinggal, sehingga akan memudahkan peneliti untuk mendapatkan data baik dari
masyarakat maupun dari instansi terkait lainnya.

26
Universitas Sumatera Utara

I. 9.3 Populasi dan Sampel
Populasi berasal dari kata bahasa Inggris yaitu “population" yang berarti jumlah penduduk.
Populasi penelitian merupakan keseluruhan dari objek penelitian yang dapat berupa manusia, hewan,
tumbuhan, udara, gejala, nilai, peristiwa, sikap hidup dsb, sehingga objek-objek ini dapat menjadi
sumber data penelitian.37 Maka yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh warga Desa
Muliorejo yang berlatar belakang Etnis Jawa yang menggunakan hak pilihnya dalam Pilgub Sumatera
Utara 2013.
Sementara sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi.
Untuk menentukan jumlah sampel dalam penelitian ini, penulis menggunakan rumus slovin38 yaitu:

n=

N
1+N.e²

keterangan :
n = Ukuran Sampel
N = Ukuran Populasi
e = Nilai kritis(batas ketelitian) yang diinginkan, yaitu sebesar 10% dengan tingkat
kepercayaan 90%

n=

12506
1 + 125,06

=

12506
126,06

=

99,20

37

Burhan Bungin. Metologi penelitian sosaial. Surabaya. Airlangga University
Press. 2001. Hal 101
38
Consuelo, G. Selvilla. Pengantar Metode Penelitian. Jakarta. UI Press. 1993.
Hal 161

27
Universitas Sumatera Utara

Dari hasil perhitungan di atas maka jumlah sampel yang diambil dibulatkan sebanyak 100
orang. Teknik yang digunakan dalam pengambilan sampel adalah teknik probability sampel, dimana
setiap responden dari semua populasi memiliki peluang yang sama untuk terpilih menjadi anggota
sampel.

I. 9.4 Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, dipergunakan dua sumber pengumpulan data, yaitu