Deteksi IgM Terhadap Antigen Lipopolisakarida (lps) O9 Kuman Salmonella Typhi Pada Demam Tifoid
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Defenisi
Demam tifoid disebut juga dengan Typus Abdominalis atau
Typhoid fever. Demam tifoid ialah penyakit infeksi akut yang
biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan
gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada
saluran
pencernaan
dan
dengan
atau
tanpa
gangguan
kesadaran.14
2. 2 .
Etiologi
Salmonella typhi adalah bakteri gram negatif, yang mempunyai
flagella,
tidak
berkapsul,
tidak
membentuk
spora
fakultatif
anaerob.15
Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu :
1. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari
tubuh kuman. Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida
atau disebut juga endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan
alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.
2. Antigen H (Antigen Flagella), yang terletak pada flagella, fimbriae
atau fili dari kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu
protein dan tahan terhadap formaldehid tetapi tidak tahan terhadap
panas di atas 60ºC, asam dan alkohol.
7
3. Antigen Vi adalah polimer polisakarida yang bersifat asam yang
terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat melindungi
kuman terhadap fagositosis.
2.3.
Epidemiologi
Dalam empat dekade terakhir, demam tifoid telah menjadi
masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia. Diperkirakan
angka kejadian penyakit ini mencapai 16 juta kasus di Asia
tenggara
dengan angka kematian mencapai 600.000 jiwa per
tahun. Di . Kejadian demam tifoid di Indonesia sekitar 1100 kasus
per 100.000 penduduk per tahunnya dengan angka kematian 3,110,4%.2 Menurut Departemen Kesehatan RI penyakit ini menduduki
urutan kedua sebagai penyebab kematian pada kelompok umur 5 14 tahun di daerah perkotaan.4
2.4.
Patofisiologi
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk kedalam
tubuh
manusia
melalui
makanan
dan
minuman
yang
terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam
lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan berkembang
biak. Menurut penelitian dibutuhkan kuman jumlah tertentu yaitu
106-109 untuk dapat menimbulkan penyakit. Bila respon imunitas
humoral mukosa IgA usus kurang baik maka kuman akan
menembus sel-sel epitel terutama sel M dan selanjutnya ke lamina
8
propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh
sel-sel fagosit terutama oleh makrofag.15
Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag
dan selanjutnya dibawa ke Plaque Peyeri Ileum distal dan
kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya
melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag
ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia
pertama yang asimtomatik). Bekterimia pertama terjadi 24-72 jam
setelah kuman tertelan dan biasanya tanpa gejala karena jumlah
kuman tidak cukup banyak untuk dapat menimbulkan gejala, dan
kuman segera tertangkap oleh sel-sel sistem retikuloendotelial
tubuh terutama hati, limpa dan sumsum tulang . Di organ-organ ini
kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang
biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke
dalam sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan bakterimia yang
kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit
infeksi sistemik. 15
Didalam hati, kuman masuk kedalam kandung empedu,
berkembang biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan
secara
intermitten
kedalam
lumen
usus.
Sebagain
kuman
dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam
sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang
kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka
9
saat fagositosis kuman salmonella terjadi pelepasan beberapa
mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala
reaksi inflamsi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit
perut, sakit kepala, instabilitas vascular, gangguan mental dan
koagulasi.15
2.4.1. Aspek Imunologik
Seperti halnya mekanisme tubuh terhadap penyakit infeksi
umumnya, mekanisme pertahanan tubuh terhadap masuknya
kuman Salmonella typhi pada manusia dapat timbul segera, yang di
periksa oleh mekanisme imunologik non spesifik dan selanjutnya
diikuti dengan mekanisme pertahanan imunologik spesifik yang
terdiri atas respon imunitas humoral dan seluler.16
Asam lambung sebagian dari sistem pertahanan non spesifik,
merupakan salah satu barier utama yang dapat mematikan
mayoritas kuman penyebab infesksi saluran cerna. Adanya
penurunan keasaman lambung akan menyebabkan lebih banyak
kuman mencapai usus halus. Sebagian kuman Salmonella typhi
masih dapat bertahan dan tetap hidup dalam asam lambung.
Selanjutnya kuman dapat menembus epitel mukosa epitel usus
halus dan berhadapan dengan membrane basalis, yang fungsi
pertahananya sudah berkurang, akibat destruksi epitel dan proses
radang. Sehingga kuman dapat mencapai lapisan subepitel. Di
10
dalam lapisan subepitel, kuman akan mendapatkan perlawanan
dari 3 mekanisme pertahanan yang terdiri dari cairan jaringan,
sistem jaringan limfoid, dan sel fagosit. Pada infeksi Salmonella
typhi biasanya terjadi hiperplasi sistem retikuloendotelial, yang juga
terjadi pada jaringan limfoid seperti plaques, kelenjar, limfe lain
( hati,limpa dengan aktivitas fagositosis yang meningkat ).16
Mekanisme
pertahanan
imunologik
spesisfik
biasanya
menyangkut antibodi, lomfosit B dan T dan komplemen yang
terbagi atas imunitas seluler dan imunitas
humoral. Respon
imunitas seluler sangat penting dalam penyembuhan penyakit
demam tifoid, yang merupakan interaksi antara sel limfosit T dan
fagosit mononuklear, untuk membunuh mikroorganisme yang tidak
dapat diatasi oleh mekanisme mikrobial humoral dan fagosit
polimorfonuklear. Adanya antigen kuman akan merangsang limfosit
T untuk membentuk faktor aktivasi makrofag, sehingga akan
berkumpul pada tempat terjadinya invasi kuman.37
Limfosit B sangat berperan dalam respon imunitas humoral.
Akibat stimulasi antigen kuman , sel akan berubah menjadi sel
plasma dan mensintesa immunoglobulin. Imuniglobulin G dan M
adalah immunoglobulin yang di bentuk paling banyak. Peningkatan
titer terjadi mulai minggu pertama kemudian meningkat pada
minggu-minggu berikutnya , sedangkan imunoglobulin A meningkat
pada minggu kedua. Immunoglobulin M adalah antibodi pertama
11
yang dibentuk dalam respon imun. Karena itu kadar IgM yang tinggi
merupakan petunjuk adanya infeksi dini. Adanya antibodi humoral
ini
bisanya
dipakai
sebagai
dasar
berbagai
pemeriksaan
laboratorium.37
Gambar 1. Sensitifitas Tubex TF vs Profil Respon Antibodi
Salmonella typhi Periode Fase Demam.
2.5
Gejala Klinis
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika
dibanding dengan penderita dewasa. Masa inkubasi demam tifoid 3
sampai 60 hari dengan rata-rata antara 10 sampai 14 hari.15 Gejala
klinis demam tifoid sangat bervariasi, dari gejala klinis ringan dan
tidak memerlukan perawatan khusus sampai dengan berat
sehingga harus dirawat. Setelah masa inkubasi maka ditemukan
gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri
kepala, pusing dan tidak bersemangat.
12
Kemudian menyusul gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu : 16
a. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu.
Bersifat febris remiten dan suhu tidak berapa tinggi. Selama
minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap
hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada
sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, penderita terus berada
dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu tubuh
beraangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu
ketiga.
b. Gangguan Pada Saluran Pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan
pecah-pecah (ragaden) . Lidah ditutupi selaput putih kotor di bagian
tengahnya (coated tongue) dengan ujung dan tepi lidahnya
kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen mungkin
ditemukan keadaan perut kembung (meteorismus). Hati dan limpa
membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya didapatkan
konstipasi, akan tetapi mungkin pula normal bahkan dapat terjadi
diare.
c. Gangguan Kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun, yaitu apatis sampai
somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah.
13
d. Gejala Lain
Rose spot dapat dijumpai pada penderita tifoid, yaitu suatu
ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 2
sampai 4 um seringkali dijumpai pada daerah abdomen, toraks,
ekstremitas dan punggung pada orang kulit putih, jarang terjadi
pada anak Indonesia. Kadang-kadang ditemukan bradikardi pada
anak dan mungkin pula ditemukan epistaksis.
Tabel 1. Skala penilaian klinis demam tifoid menurut Nelwan
RHH.15
No
Gejala Klinis
Skor
1
Demam < 1 minggu
1
2
Sakit kepala
1
3
Lemah
1
4
Mual
1
5
Nyeri perut
1
6
Anoreksia
1
7
Muntah
1
8
Gangguan motilitas
1
9
Imsomnia
1
10
Hepatomegali
1
11
Splenomegali
1
12
Demam > 1 minggu
2
14
13
Bradikardi relative
2
14
Lidah tifoid
2
15
Melena
2
16
Gangguan kesadaran
2
Skor 1-20, semakin tinggi skor semakin mendukung demam
tifoid. Penilaian klinis suspek demam tifoid bila skor ≥8 .
2.6.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan
laboratorium
untuk
membantu
menegakan
diagnosis demam tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu : (1)
pemeriksaaan darah tepi; (2) pemeriksaan bakteriologis dengan
isolasi dan biakan kuman; (3) uji serologi; dan (4) pemeriksaan
kuman secara molekuler.17
2.6.1. Pemeriksaan Darah Tepi
Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah
leukosit normal, bisa menurun atau meningkat, mungkin didapatkan
trombositopenia dan hitung jenis biasanya normal atau sedikit
bergeser ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan limfositosis
relatif, terutama pada fase lanjut.18 Penelitian oleh beberapa
ilmuwan mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta
laju endap darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan
nilai ramal yang cukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan
antara penderita demam tifoid atau bukan, akan tetapi adanya
15
leukopenia dan limfositosis relatif menjadi dugaan kuat diagnosis
demam tifoid. 9
Penelitian oleh Darmowandowo (1998) di RSU Dr.Soetomo
Surabaya mendapatkan hasil pemeriksaan darah penderita demam
tifoid berupa anemia (31%), leukositosis (12.5%) dan leukosit
normal (65.9%).8
2.6.2. Identifikasi Kuman Melalui Isolasi / Biakan
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan
bakteri Salmonella typhi dalam biakan dari darah, urine, feses,
sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose spots. Berkaitan
dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah
ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit,
sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses.6,17
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi
hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya
tergantung
pada
beberapa
faktor.
Faktor-faktor
yang
mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil;
(2) perbandingan volume darah dari media empedu; dan (3) waktu
pengambilan darah.17
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk dewasa, sedangkan pada
anak kecil dibutuhkan 2-3 mL.3 Sedangkan volume sumsum tulang
16
yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 mL.12 Bakteri
dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh
antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan
teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila
dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang
lebih
sedikit
dan
sudah
mendapatkan
terapi
antibiotika
sebelumnya.17,19 Media pembiakan yang direkomendasikan untuk
Salmonella typhi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana
dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil
karena hanya Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi yang
dapat tumbuh pada media tersebut.3
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat
pengambilan
pada
perjalanan
penyakit.
Beberapa
peneliti
melaporkan biakan darah positif 40-80% atau 70-90% dari
penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir
minggu ketiga.3,17 Sensitivitasnya akan menurun pada sampel
penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat
sesuai dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur
yang dipakai.20 Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari
minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun
secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama.
Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas karena
mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat
17
pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan
penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini
terutama
bermanfaat
mendapatkan
terapi
untuk
penderita
atau
dengan
yang
kultur
sudah
pernah
darah
negatif
sebelumnya.3,20 Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak
dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat
dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil dari
duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak
digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada
anak.
3,6,18
Salah satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa
sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum hampir sama
dengan kultur sumsum tulang.21
Kegagalan
keterbatasan
dalam
media
isolasi/biakan
yang
dapat
digunakan,
disebabkan
adanya
oleh
penggunaan
antibiotika, jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah,
volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan
spesimen yang tidak tepat.3,22
Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai
sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya
waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih
canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak
tepat untuk dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam
pelayanan penderita. 3,6,8,17
18
2.6.3. Identifikasi Kuman Melalui Uji Serologis
Uji
serologis
digunakan
untuk
membantu
menegakkan
diagnosis demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik
terhadap komponen antigen Salmonella typhi maupun mendeteksi
antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji
serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung
tanpa antikoagulan.3 Beberapa uji serologis yang dapat digunakan
pada demam tifoid ini meliputi : (1) uji Widal; (2) tes Tubex TF; (3)
metode enzyme immunoassay (EIA); (4) metode enzyme-linked
immunosorbent assay (ELISA); dan (5) pemeriksaan dipstik.
Metode
pemeriksaan
serologis
imunologis
ini
dikatakan
mempunyai nilai penting dalam proses diagnostik demam tifoid.
Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam
sensitivitas
dan
spesifisitas
pada
deteksi
antigen
spesifik
Salmonella typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis
spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak
antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal
atau monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini
atau lanjut dalam perjalanan penyakit). 6
2.6.3.1.Uji Widal
Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin
digunakan sejak tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa
19
reaksi antara antibodi aglutinin dalam serum penderita yang telah
mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatik
(O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama
sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih
menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum.
6,18
Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji
hapusan (slide test) atau uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat
dilakukan secara cepat dan digunakan dalam prosedur penapisan
sedangkan uji tabung membutuhkan teknik yang lebih rumit tetapi
dapat digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji hapusan.21
Penelitian pada anak oleh Choo dkk (1990) mendapatkan
sensitivitas dan spesifisitas masing-masing sebesar 89% pada titer
O atau H >1/40 dengan nilai prediksi positif sebesar 34.2% dan nilai
prediksi negatif sebesar 99.2%.23 Beberapa penelitian pada kasus
demam tifoid anak dengan hasil biakan positif, ternyata hanya
didapatkan sensitivitas uji Widal sebesar 64-74% dan spesifisitas
sebesar 76-83%.17
Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa
faktor antara lain sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor
penderita seperti status imunitas dan status gizi yang dapat
mempengaruhi pembentukan antibodi; gambaran imunologis dari
20
masyarakat setempat (daerah endemis atau non-endemis); faktor
antigen; teknik serta reagen yang digunakan.17, 21
Kelemahan
uji
Widal
yaitu
rendahnya
sensitivitas
dan
spesifisitas serta sulitnya melakukan interpretasi hasil membatasi
penggunaannya dalam penatalaksanaan penderita demam tifoid
akan tetapi hasil uji Widal yang positif akan memperkuat dugaan
pada tersangka penderita demam tifoid (penanda infeksi).9 Saat ini
walaupun
telah
digunakan
secara
luas
di
seluruh
dunia,
manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan
karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off
point). Untuk mencari standar titer uji Widal seharusnya ditentukan
titer dasar (baseline titer) pada anak sehat di populasi dimana pada
daerah endemis seperti Indonesia akan didapatkan peningkatan
titer antibodi O dan H pada anak-anak sehat.2,8 Penelitian oleh
Darmowandowo
di
RSU
Dr.Soetomo
Surabaya
(1998)
mendapatkan hasil uji Widal dengan titer >1/200 pada 89%
penderita.8
2.6.3.2. Tes Tubex TF
Tes Tubex TF merupakan tes aglutinasi kompetitif semi
kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan
menggunakan
partikel
yang
berwarna
untuk
meningkatkan
sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen
21
O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada
Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat
dalam diagnosis
infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan
tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.3
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes
Tubex TF ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan
bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih
baik daripada uji Widal.3 Penelitian oleh Lim dkk (2002)
mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%.12
Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan
spesifisitas sebesar 89%.17 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan
yang ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin
karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara
berkembang.12
Gambar 2. Mekanisme Reaksi Negatif dan Mekanisme Reaksi
Positif Pada Pemeriksaan Tubex TF.
22
2.6.3.3. Metode Enzyme Immunoassay (EAI) Dot
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi
spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD Salmonella
typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi pada
demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG
menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada
daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid
yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan
tetapi tidak dapat membedakan antara kasus akut, konvalesen dan
reinfeksi. Pada metode Typhidot-M® yang merupakan modifikasi
dari metode Typhidot® telah dilakukan inaktivasi dari IgG total
sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan
pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.3
Penelitian oleh Purwaningsih dkk (2001) terhadap 207 kasus
demam tifoid bahwa spesifisitas uji ini sebesar 76.74% dengan
sensitivitas sebesar 93.16%, nilai prediksi positif sebesar 85.06%
dan nilai prediksi negatif sebesar 91.66%.23 Sedangkan penelitian
oleh Gopalakhrisnan dkk (2002) pada 144 kasus demam tifoid
mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar
76.6% dan efisiensi uji sebesar 84%.24 Penelitian lain mendapatkan
sensitivitas sebesar 79% dan spesifisitas sebesar 89%.17
23
Uji
dot
EIA
tidak
mengadakan
reaksi
silang
dengan
salmonellosis non-tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan
demikian bila dibandingkan dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA
lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak selalu
diikuti dengan uji Widal positif.6,8 Dikatakan bahwa Typhidot-M® ini
dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan
kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat
dan akurat.3
Beberapa
keuntungan
metode
ini
adalah
memberikan
sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan
untuk terjadinya reaksi silang dengan penyakit demam lain, murah
(karena menggunakan antigen dan membran nitroselulosa sedikit),
tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat digunakan
secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan
sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan
lain adalah bahwa antigen pada membran lempengan nitroselulosa
yang belum ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan
bila disimpan pada suhu 4°C dan bila hasil didapatkan dalam waktu
3 jam setelah penerimaan serum pasien. 6
2.6.3.4. Metode Enzyme-linked Immunosorbent Assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk
melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9,
24
antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap
antigen Vi Salmonella typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk
mendeteksi adanya antigen Salmonella typhi dalam spesimen klinis
adalah double antibody sandwich ELISA. Chaicumpa dkk (1992)
mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah,
73% pada sampel feses dan 40% pada sampel sumsum tulang.
Pada penderita yang didapatkan Salmonella typhi pada darahnya,
uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65% pada satu
kali pemeriksaan dan 95% pada pemeriksaan serial serta
spesifisitas 100%.26 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap
sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji
ini sebesar 100% pada deteksi antigen Vi serta masing-masing
44% pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd. Pemeriksaan
terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih
lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila
dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga
perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan
Brucellosis. 17,27
3.6.3.5. Pemeriksaan Dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di
Belanda dimana mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen
LPS
Salmonella
typhi
dengan
menggunakan
membran
nitroselulosa yang mengandung antigen Salmonella typhi sebagai
25
pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai
reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang
sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat
digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium
yang lengkap. 3,28
Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji
ini sebesar 69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang
dan 86.5% bila dibandingkan dengan kultur darah dengan
spesifisitas sebesar 88.9% dan nilai prediksi positif sebesar
94.6%.28 Penelitian lain oleh Ismail dkk (2002) terhadap 30
penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar
90% dan spesifisitas sebesar 96%.29 Penelitian oleh Hatta dkk
(2002) mendapatkan rerata sensitivitas sebesar 65.3% yang makin
meningkat pada pemeriksaan serial yang menunjukkan adanya
serokonversi pada penderita demam tifoid.30 Uji ini terbukti mudah
dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih
besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran
klinis tifoid dengan hasil kultur negatif atau di tempat dimana
penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat
pemeriksaan kultur secara luas.29,30
26
3.6.4. Identifikasi Kuman Secara Molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri Salmonella typhi yang
akurat adalah mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri
Salmonella typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam
nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain
reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk
Salmonella typhi. 31
Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas
PCR sebesar 100% dengan sensitivitas yang 10 kali lebih baik
daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi 1-5
bakteri/mL
darah.32 Penelitian
lain
oleh Massi dkk (2003)
mendapatkan sensitivitas sebesar 63% bila dibandingkan dengan
kultur darah (13.7%) dan uji Widal (35.6%).33
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR
ini meliputi risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu
yang terjadi bila prosedur teknis tidak dilakukan secara cermat,
adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat
proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta
bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya yang
cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak
DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang
27
memuaskan sehingga saat ini penggunaannya masih terbatas
dalam laboratorium penelitian. 6,31
2.7. Komplikasi
2.7.1. Komplikasi Intestinal
2.7.1.1. Perdarahan Usus
Pada plak peyeri usus yang terinfeksi (terutama ileum
terminalis) dapat terbentuk tukak/luka berbentuk lonjong dan
memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka menembus limen usus
dan
mengenai
pembuluh
darah
maka
terjadi
perdarahan.
Selanjutnya bias tukak menembus dinding usus maka perforasi
dapat terjadi. Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami
perdarahan minor yang tidak membutuhkan transfusi darah.15,34
2.7.1.2. Perforasi Usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya
timbul pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu
pertama. Penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri
perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah yang
kemudian meyebar ke seluruh perut di sertai dengan tanda-tanda
ileus.15,34,35
28
2.7.2. Komplikasi Ekstraintestinal
2.7.2.1. Hepatitis Tifosa
Hepatitis tifosa asimtomatik dapat dijumpai pada kasus demam
tifoid dengan ditandai peningkatan kadar transaminase yang tidak
mencolok. Ikterus dengan atau tanpa disertai kenaikan kadar
transaminase, maupun kolesistitis akut juga dapat dijumpai, sedang
kolesistitis kronik yang terjadi pada penderita setelah mengalami
demam tifoid dapat dikaitkan dengan adanya batu empedu dan
fenomena pembawa kuman.15,34,35
2.7.2.2. Miokarditis
Miokarditis dapat timbul dengan manifestasi klinis berupa
aritmia, perubahan gelombang ST dan gelombang T pada
pemeriksaan elektrokardiografi (EKG), syok kardiogenik, infiltrasi
lemak maupun nekrosis pada jantung.15,35
2.7.2.3. Neuropsikiatri.
Dilaporkan pada kasus dengan komplikasi neuropsikiatri.
Sebagian besar bermanifestasi gangguan kesadaran, disorientasi,
delirium, obtundasi, stupor bahkan koma. Beberapa penulis
mengaitkan manifestasi klinis neuropsikiatri dengan prognosis
buruk.15,34,35
29
2.8. Sumber Penularan (Reservoir)
Penularan penyakit demam tifoid oleh basil Salmonella typhi ke
manusia melalui makanan dan minuman yang telah tercemar oleh
feses atau urin dari penderita tifoid.
Ada dua sumber penularan Salmonella typhi, yaitu :
1. Penderita Demam Tifoid
Yang menjadi sumber utama infeksi adalah manusia yang
selalu mengeluarkan mikroorganisme penyebab penyakit, baik
ketika ia sedang menderita sakit maupun yang sedang dalam
penyembuhan.
Pada
masa
penyembuhan
penderita
pada
umumnya masih mengandung bibit penyakit di dalam kandung
empedu dan ginjalnya. Sehingga penderita seperti ini masih dapat
menjadi sumber penularan bagi orang lain yang sehat.15,36
2. Karier Demam Tifoid.
Penderita tifoid karier adalah seseorang yang kotorannya (feses
atau urin) mengandung Salmonella typhi setelah satu tahun pasca
demam tifoid, tanpa disertai gejala klinis. Pada penderita demam
tifoid yang telah sembuh setelah 2 sampai 3 bulan masih dapat
ditemukan kuman Salmonella typhi di feces atau urin. Penderita ini
disebut karier pasca penyembuhan.
Pada demam tifoid sumber infeksi dari karier kronis adalah
kandung empedu dan ginjal (infeksi kronis, batu atau kelainan
30
anatomi). Oleh karena itu apabila terapi medika-mentosa dengan
obat anti tifoid gagal, harus dilakukan operasi untuk menghilangkan
batu atau memperbaiki kelainan anatominya.15,36
2.9.
Pencegahan
2.9.1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan
orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang
sehat menjadi sakit. Pencegahan primer dapat dilakukan dengan
cara imunisasi dengan vaksin yang dibuat dari strain Salmonella
typhi yang dilemahkan.35
2.9.2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan
sekunder
dapat
dilakukan
dengan
cara
mendiagnosa penyakit secara dini dan mengadakan pengobatan
yang cepat dan tepat. Untuk mendiagnosis demam tifoid perlu
dilakukan pemeriksaan laboratorium.Pencegahan sekunder dapat
berupa : Penemuan penderita maupun carrier secara dini melalui
penigkatan usaha surveilans
tifoid serta perawatan umum dan
nutrisi diet yang sesuai.35
2.9.3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah upaya yang dilakukan untuk
mengurangi keparahan akibat komplikasi. Apabila telah dinyatakan
sembuh dari penyakit demam tifoid sebaiknya tetap menerapkan
31
pola hidup sehat, sehingga imunitas tubuh tetap terjaga dan dapat
terhindar dari infeksi ulang demam tifoid. Pada penderita demam
tifoid yang carier perlu dilakukan pemerikasaan laboratorium pasca
penyembuhan untuk mengetahui kuman masih ada atau tidak.35
32
2.10
Kerangka Konsep
Salmonella
typhi
Jumlah kuman,
virulensi,
lingkungan
Asam lambung
Usus halus/
plaques peyeri
Darah
Feses
Bakteriemia
skunder demam
Reaksi
imunologik
IgM terhadap antigen
lipopolisakarida (LPS)
kuman Salmonella typhi
Tubex TF
< 4 (Negatif)
≥ 4 (positif)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Defenisi
Demam tifoid disebut juga dengan Typus Abdominalis atau
Typhoid fever. Demam tifoid ialah penyakit infeksi akut yang
biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan
gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada
saluran
pencernaan
dan
dengan
atau
tanpa
gangguan
kesadaran.14
2. 2 .
Etiologi
Salmonella typhi adalah bakteri gram negatif, yang mempunyai
flagella,
tidak
berkapsul,
tidak
membentuk
spora
fakultatif
anaerob.15
Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu :
1. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari
tubuh kuman. Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida
atau disebut juga endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan
alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.
2. Antigen H (Antigen Flagella), yang terletak pada flagella, fimbriae
atau fili dari kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu
protein dan tahan terhadap formaldehid tetapi tidak tahan terhadap
panas di atas 60ºC, asam dan alkohol.
7
3. Antigen Vi adalah polimer polisakarida yang bersifat asam yang
terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat melindungi
kuman terhadap fagositosis.
2.3.
Epidemiologi
Dalam empat dekade terakhir, demam tifoid telah menjadi
masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia. Diperkirakan
angka kejadian penyakit ini mencapai 16 juta kasus di Asia
tenggara
dengan angka kematian mencapai 600.000 jiwa per
tahun. Di . Kejadian demam tifoid di Indonesia sekitar 1100 kasus
per 100.000 penduduk per tahunnya dengan angka kematian 3,110,4%.2 Menurut Departemen Kesehatan RI penyakit ini menduduki
urutan kedua sebagai penyebab kematian pada kelompok umur 5 14 tahun di daerah perkotaan.4
2.4.
Patofisiologi
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk kedalam
tubuh
manusia
melalui
makanan
dan
minuman
yang
terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam
lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan berkembang
biak. Menurut penelitian dibutuhkan kuman jumlah tertentu yaitu
106-109 untuk dapat menimbulkan penyakit. Bila respon imunitas
humoral mukosa IgA usus kurang baik maka kuman akan
menembus sel-sel epitel terutama sel M dan selanjutnya ke lamina
8
propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh
sel-sel fagosit terutama oleh makrofag.15
Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag
dan selanjutnya dibawa ke Plaque Peyeri Ileum distal dan
kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya
melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag
ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia
pertama yang asimtomatik). Bekterimia pertama terjadi 24-72 jam
setelah kuman tertelan dan biasanya tanpa gejala karena jumlah
kuman tidak cukup banyak untuk dapat menimbulkan gejala, dan
kuman segera tertangkap oleh sel-sel sistem retikuloendotelial
tubuh terutama hati, limpa dan sumsum tulang . Di organ-organ ini
kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang
biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke
dalam sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan bakterimia yang
kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit
infeksi sistemik. 15
Didalam hati, kuman masuk kedalam kandung empedu,
berkembang biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan
secara
intermitten
kedalam
lumen
usus.
Sebagain
kuman
dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam
sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang
kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka
9
saat fagositosis kuman salmonella terjadi pelepasan beberapa
mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala
reaksi inflamsi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit
perut, sakit kepala, instabilitas vascular, gangguan mental dan
koagulasi.15
2.4.1. Aspek Imunologik
Seperti halnya mekanisme tubuh terhadap penyakit infeksi
umumnya, mekanisme pertahanan tubuh terhadap masuknya
kuman Salmonella typhi pada manusia dapat timbul segera, yang di
periksa oleh mekanisme imunologik non spesifik dan selanjutnya
diikuti dengan mekanisme pertahanan imunologik spesifik yang
terdiri atas respon imunitas humoral dan seluler.16
Asam lambung sebagian dari sistem pertahanan non spesifik,
merupakan salah satu barier utama yang dapat mematikan
mayoritas kuman penyebab infesksi saluran cerna. Adanya
penurunan keasaman lambung akan menyebabkan lebih banyak
kuman mencapai usus halus. Sebagian kuman Salmonella typhi
masih dapat bertahan dan tetap hidup dalam asam lambung.
Selanjutnya kuman dapat menembus epitel mukosa epitel usus
halus dan berhadapan dengan membrane basalis, yang fungsi
pertahananya sudah berkurang, akibat destruksi epitel dan proses
radang. Sehingga kuman dapat mencapai lapisan subepitel. Di
10
dalam lapisan subepitel, kuman akan mendapatkan perlawanan
dari 3 mekanisme pertahanan yang terdiri dari cairan jaringan,
sistem jaringan limfoid, dan sel fagosit. Pada infeksi Salmonella
typhi biasanya terjadi hiperplasi sistem retikuloendotelial, yang juga
terjadi pada jaringan limfoid seperti plaques, kelenjar, limfe lain
( hati,limpa dengan aktivitas fagositosis yang meningkat ).16
Mekanisme
pertahanan
imunologik
spesisfik
biasanya
menyangkut antibodi, lomfosit B dan T dan komplemen yang
terbagi atas imunitas seluler dan imunitas
humoral. Respon
imunitas seluler sangat penting dalam penyembuhan penyakit
demam tifoid, yang merupakan interaksi antara sel limfosit T dan
fagosit mononuklear, untuk membunuh mikroorganisme yang tidak
dapat diatasi oleh mekanisme mikrobial humoral dan fagosit
polimorfonuklear. Adanya antigen kuman akan merangsang limfosit
T untuk membentuk faktor aktivasi makrofag, sehingga akan
berkumpul pada tempat terjadinya invasi kuman.37
Limfosit B sangat berperan dalam respon imunitas humoral.
Akibat stimulasi antigen kuman , sel akan berubah menjadi sel
plasma dan mensintesa immunoglobulin. Imuniglobulin G dan M
adalah immunoglobulin yang di bentuk paling banyak. Peningkatan
titer terjadi mulai minggu pertama kemudian meningkat pada
minggu-minggu berikutnya , sedangkan imunoglobulin A meningkat
pada minggu kedua. Immunoglobulin M adalah antibodi pertama
11
yang dibentuk dalam respon imun. Karena itu kadar IgM yang tinggi
merupakan petunjuk adanya infeksi dini. Adanya antibodi humoral
ini
bisanya
dipakai
sebagai
dasar
berbagai
pemeriksaan
laboratorium.37
Gambar 1. Sensitifitas Tubex TF vs Profil Respon Antibodi
Salmonella typhi Periode Fase Demam.
2.5
Gejala Klinis
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika
dibanding dengan penderita dewasa. Masa inkubasi demam tifoid 3
sampai 60 hari dengan rata-rata antara 10 sampai 14 hari.15 Gejala
klinis demam tifoid sangat bervariasi, dari gejala klinis ringan dan
tidak memerlukan perawatan khusus sampai dengan berat
sehingga harus dirawat. Setelah masa inkubasi maka ditemukan
gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri
kepala, pusing dan tidak bersemangat.
12
Kemudian menyusul gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu : 16
a. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu.
Bersifat febris remiten dan suhu tidak berapa tinggi. Selama
minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap
hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada
sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, penderita terus berada
dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu tubuh
beraangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu
ketiga.
b. Gangguan Pada Saluran Pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan
pecah-pecah (ragaden) . Lidah ditutupi selaput putih kotor di bagian
tengahnya (coated tongue) dengan ujung dan tepi lidahnya
kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen mungkin
ditemukan keadaan perut kembung (meteorismus). Hati dan limpa
membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya didapatkan
konstipasi, akan tetapi mungkin pula normal bahkan dapat terjadi
diare.
c. Gangguan Kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun, yaitu apatis sampai
somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah.
13
d. Gejala Lain
Rose spot dapat dijumpai pada penderita tifoid, yaitu suatu
ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 2
sampai 4 um seringkali dijumpai pada daerah abdomen, toraks,
ekstremitas dan punggung pada orang kulit putih, jarang terjadi
pada anak Indonesia. Kadang-kadang ditemukan bradikardi pada
anak dan mungkin pula ditemukan epistaksis.
Tabel 1. Skala penilaian klinis demam tifoid menurut Nelwan
RHH.15
No
Gejala Klinis
Skor
1
Demam < 1 minggu
1
2
Sakit kepala
1
3
Lemah
1
4
Mual
1
5
Nyeri perut
1
6
Anoreksia
1
7
Muntah
1
8
Gangguan motilitas
1
9
Imsomnia
1
10
Hepatomegali
1
11
Splenomegali
1
12
Demam > 1 minggu
2
14
13
Bradikardi relative
2
14
Lidah tifoid
2
15
Melena
2
16
Gangguan kesadaran
2
Skor 1-20, semakin tinggi skor semakin mendukung demam
tifoid. Penilaian klinis suspek demam tifoid bila skor ≥8 .
2.6.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan
laboratorium
untuk
membantu
menegakan
diagnosis demam tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu : (1)
pemeriksaaan darah tepi; (2) pemeriksaan bakteriologis dengan
isolasi dan biakan kuman; (3) uji serologi; dan (4) pemeriksaan
kuman secara molekuler.17
2.6.1. Pemeriksaan Darah Tepi
Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah
leukosit normal, bisa menurun atau meningkat, mungkin didapatkan
trombositopenia dan hitung jenis biasanya normal atau sedikit
bergeser ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan limfositosis
relatif, terutama pada fase lanjut.18 Penelitian oleh beberapa
ilmuwan mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta
laju endap darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan
nilai ramal yang cukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan
antara penderita demam tifoid atau bukan, akan tetapi adanya
15
leukopenia dan limfositosis relatif menjadi dugaan kuat diagnosis
demam tifoid. 9
Penelitian oleh Darmowandowo (1998) di RSU Dr.Soetomo
Surabaya mendapatkan hasil pemeriksaan darah penderita demam
tifoid berupa anemia (31%), leukositosis (12.5%) dan leukosit
normal (65.9%).8
2.6.2. Identifikasi Kuman Melalui Isolasi / Biakan
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan
bakteri Salmonella typhi dalam biakan dari darah, urine, feses,
sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose spots. Berkaitan
dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah
ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit,
sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses.6,17
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi
hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya
tergantung
pada
beberapa
faktor.
Faktor-faktor
yang
mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil;
(2) perbandingan volume darah dari media empedu; dan (3) waktu
pengambilan darah.17
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk dewasa, sedangkan pada
anak kecil dibutuhkan 2-3 mL.3 Sedangkan volume sumsum tulang
16
yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 mL.12 Bakteri
dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh
antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan
teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila
dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang
lebih
sedikit
dan
sudah
mendapatkan
terapi
antibiotika
sebelumnya.17,19 Media pembiakan yang direkomendasikan untuk
Salmonella typhi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana
dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil
karena hanya Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi yang
dapat tumbuh pada media tersebut.3
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat
pengambilan
pada
perjalanan
penyakit.
Beberapa
peneliti
melaporkan biakan darah positif 40-80% atau 70-90% dari
penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir
minggu ketiga.3,17 Sensitivitasnya akan menurun pada sampel
penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat
sesuai dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur
yang dipakai.20 Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari
minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun
secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama.
Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas karena
mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat
17
pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan
penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini
terutama
bermanfaat
mendapatkan
terapi
untuk
penderita
atau
dengan
yang
kultur
sudah
pernah
darah
negatif
sebelumnya.3,20 Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak
dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat
dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil dari
duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak
digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada
anak.
3,6,18
Salah satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa
sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum hampir sama
dengan kultur sumsum tulang.21
Kegagalan
keterbatasan
dalam
media
isolasi/biakan
yang
dapat
digunakan,
disebabkan
adanya
oleh
penggunaan
antibiotika, jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah,
volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan
spesimen yang tidak tepat.3,22
Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai
sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya
waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih
canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak
tepat untuk dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam
pelayanan penderita. 3,6,8,17
18
2.6.3. Identifikasi Kuman Melalui Uji Serologis
Uji
serologis
digunakan
untuk
membantu
menegakkan
diagnosis demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik
terhadap komponen antigen Salmonella typhi maupun mendeteksi
antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji
serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung
tanpa antikoagulan.3 Beberapa uji serologis yang dapat digunakan
pada demam tifoid ini meliputi : (1) uji Widal; (2) tes Tubex TF; (3)
metode enzyme immunoassay (EIA); (4) metode enzyme-linked
immunosorbent assay (ELISA); dan (5) pemeriksaan dipstik.
Metode
pemeriksaan
serologis
imunologis
ini
dikatakan
mempunyai nilai penting dalam proses diagnostik demam tifoid.
Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam
sensitivitas
dan
spesifisitas
pada
deteksi
antigen
spesifik
Salmonella typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis
spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak
antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal
atau monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini
atau lanjut dalam perjalanan penyakit). 6
2.6.3.1.Uji Widal
Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin
digunakan sejak tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa
19
reaksi antara antibodi aglutinin dalam serum penderita yang telah
mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatik
(O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama
sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih
menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum.
6,18
Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji
hapusan (slide test) atau uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat
dilakukan secara cepat dan digunakan dalam prosedur penapisan
sedangkan uji tabung membutuhkan teknik yang lebih rumit tetapi
dapat digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji hapusan.21
Penelitian pada anak oleh Choo dkk (1990) mendapatkan
sensitivitas dan spesifisitas masing-masing sebesar 89% pada titer
O atau H >1/40 dengan nilai prediksi positif sebesar 34.2% dan nilai
prediksi negatif sebesar 99.2%.23 Beberapa penelitian pada kasus
demam tifoid anak dengan hasil biakan positif, ternyata hanya
didapatkan sensitivitas uji Widal sebesar 64-74% dan spesifisitas
sebesar 76-83%.17
Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa
faktor antara lain sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor
penderita seperti status imunitas dan status gizi yang dapat
mempengaruhi pembentukan antibodi; gambaran imunologis dari
20
masyarakat setempat (daerah endemis atau non-endemis); faktor
antigen; teknik serta reagen yang digunakan.17, 21
Kelemahan
uji
Widal
yaitu
rendahnya
sensitivitas
dan
spesifisitas serta sulitnya melakukan interpretasi hasil membatasi
penggunaannya dalam penatalaksanaan penderita demam tifoid
akan tetapi hasil uji Widal yang positif akan memperkuat dugaan
pada tersangka penderita demam tifoid (penanda infeksi).9 Saat ini
walaupun
telah
digunakan
secara
luas
di
seluruh
dunia,
manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan
karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off
point). Untuk mencari standar titer uji Widal seharusnya ditentukan
titer dasar (baseline titer) pada anak sehat di populasi dimana pada
daerah endemis seperti Indonesia akan didapatkan peningkatan
titer antibodi O dan H pada anak-anak sehat.2,8 Penelitian oleh
Darmowandowo
di
RSU
Dr.Soetomo
Surabaya
(1998)
mendapatkan hasil uji Widal dengan titer >1/200 pada 89%
penderita.8
2.6.3.2. Tes Tubex TF
Tes Tubex TF merupakan tes aglutinasi kompetitif semi
kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan
menggunakan
partikel
yang
berwarna
untuk
meningkatkan
sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen
21
O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada
Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat
dalam diagnosis
infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan
tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.3
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes
Tubex TF ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan
bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih
baik daripada uji Widal.3 Penelitian oleh Lim dkk (2002)
mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%.12
Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan
spesifisitas sebesar 89%.17 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan
yang ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin
karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara
berkembang.12
Gambar 2. Mekanisme Reaksi Negatif dan Mekanisme Reaksi
Positif Pada Pemeriksaan Tubex TF.
22
2.6.3.3. Metode Enzyme Immunoassay (EAI) Dot
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi
spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD Salmonella
typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi pada
demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG
menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada
daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid
yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan
tetapi tidak dapat membedakan antara kasus akut, konvalesen dan
reinfeksi. Pada metode Typhidot-M® yang merupakan modifikasi
dari metode Typhidot® telah dilakukan inaktivasi dari IgG total
sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan
pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.3
Penelitian oleh Purwaningsih dkk (2001) terhadap 207 kasus
demam tifoid bahwa spesifisitas uji ini sebesar 76.74% dengan
sensitivitas sebesar 93.16%, nilai prediksi positif sebesar 85.06%
dan nilai prediksi negatif sebesar 91.66%.23 Sedangkan penelitian
oleh Gopalakhrisnan dkk (2002) pada 144 kasus demam tifoid
mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar
76.6% dan efisiensi uji sebesar 84%.24 Penelitian lain mendapatkan
sensitivitas sebesar 79% dan spesifisitas sebesar 89%.17
23
Uji
dot
EIA
tidak
mengadakan
reaksi
silang
dengan
salmonellosis non-tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan
demikian bila dibandingkan dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA
lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak selalu
diikuti dengan uji Widal positif.6,8 Dikatakan bahwa Typhidot-M® ini
dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan
kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat
dan akurat.3
Beberapa
keuntungan
metode
ini
adalah
memberikan
sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan
untuk terjadinya reaksi silang dengan penyakit demam lain, murah
(karena menggunakan antigen dan membran nitroselulosa sedikit),
tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat digunakan
secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan
sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan
lain adalah bahwa antigen pada membran lempengan nitroselulosa
yang belum ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan
bila disimpan pada suhu 4°C dan bila hasil didapatkan dalam waktu
3 jam setelah penerimaan serum pasien. 6
2.6.3.4. Metode Enzyme-linked Immunosorbent Assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk
melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9,
24
antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap
antigen Vi Salmonella typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk
mendeteksi adanya antigen Salmonella typhi dalam spesimen klinis
adalah double antibody sandwich ELISA. Chaicumpa dkk (1992)
mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah,
73% pada sampel feses dan 40% pada sampel sumsum tulang.
Pada penderita yang didapatkan Salmonella typhi pada darahnya,
uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65% pada satu
kali pemeriksaan dan 95% pada pemeriksaan serial serta
spesifisitas 100%.26 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap
sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji
ini sebesar 100% pada deteksi antigen Vi serta masing-masing
44% pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd. Pemeriksaan
terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih
lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila
dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga
perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan
Brucellosis. 17,27
3.6.3.5. Pemeriksaan Dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di
Belanda dimana mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen
LPS
Salmonella
typhi
dengan
menggunakan
membran
nitroselulosa yang mengandung antigen Salmonella typhi sebagai
25
pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai
reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang
sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat
digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium
yang lengkap. 3,28
Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji
ini sebesar 69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang
dan 86.5% bila dibandingkan dengan kultur darah dengan
spesifisitas sebesar 88.9% dan nilai prediksi positif sebesar
94.6%.28 Penelitian lain oleh Ismail dkk (2002) terhadap 30
penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar
90% dan spesifisitas sebesar 96%.29 Penelitian oleh Hatta dkk
(2002) mendapatkan rerata sensitivitas sebesar 65.3% yang makin
meningkat pada pemeriksaan serial yang menunjukkan adanya
serokonversi pada penderita demam tifoid.30 Uji ini terbukti mudah
dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih
besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran
klinis tifoid dengan hasil kultur negatif atau di tempat dimana
penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat
pemeriksaan kultur secara luas.29,30
26
3.6.4. Identifikasi Kuman Secara Molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri Salmonella typhi yang
akurat adalah mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri
Salmonella typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam
nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain
reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk
Salmonella typhi. 31
Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas
PCR sebesar 100% dengan sensitivitas yang 10 kali lebih baik
daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi 1-5
bakteri/mL
darah.32 Penelitian
lain
oleh Massi dkk (2003)
mendapatkan sensitivitas sebesar 63% bila dibandingkan dengan
kultur darah (13.7%) dan uji Widal (35.6%).33
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR
ini meliputi risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu
yang terjadi bila prosedur teknis tidak dilakukan secara cermat,
adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat
proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta
bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya yang
cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak
DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang
27
memuaskan sehingga saat ini penggunaannya masih terbatas
dalam laboratorium penelitian. 6,31
2.7. Komplikasi
2.7.1. Komplikasi Intestinal
2.7.1.1. Perdarahan Usus
Pada plak peyeri usus yang terinfeksi (terutama ileum
terminalis) dapat terbentuk tukak/luka berbentuk lonjong dan
memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka menembus limen usus
dan
mengenai
pembuluh
darah
maka
terjadi
perdarahan.
Selanjutnya bias tukak menembus dinding usus maka perforasi
dapat terjadi. Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami
perdarahan minor yang tidak membutuhkan transfusi darah.15,34
2.7.1.2. Perforasi Usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya
timbul pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu
pertama. Penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri
perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah yang
kemudian meyebar ke seluruh perut di sertai dengan tanda-tanda
ileus.15,34,35
28
2.7.2. Komplikasi Ekstraintestinal
2.7.2.1. Hepatitis Tifosa
Hepatitis tifosa asimtomatik dapat dijumpai pada kasus demam
tifoid dengan ditandai peningkatan kadar transaminase yang tidak
mencolok. Ikterus dengan atau tanpa disertai kenaikan kadar
transaminase, maupun kolesistitis akut juga dapat dijumpai, sedang
kolesistitis kronik yang terjadi pada penderita setelah mengalami
demam tifoid dapat dikaitkan dengan adanya batu empedu dan
fenomena pembawa kuman.15,34,35
2.7.2.2. Miokarditis
Miokarditis dapat timbul dengan manifestasi klinis berupa
aritmia, perubahan gelombang ST dan gelombang T pada
pemeriksaan elektrokardiografi (EKG), syok kardiogenik, infiltrasi
lemak maupun nekrosis pada jantung.15,35
2.7.2.3. Neuropsikiatri.
Dilaporkan pada kasus dengan komplikasi neuropsikiatri.
Sebagian besar bermanifestasi gangguan kesadaran, disorientasi,
delirium, obtundasi, stupor bahkan koma. Beberapa penulis
mengaitkan manifestasi klinis neuropsikiatri dengan prognosis
buruk.15,34,35
29
2.8. Sumber Penularan (Reservoir)
Penularan penyakit demam tifoid oleh basil Salmonella typhi ke
manusia melalui makanan dan minuman yang telah tercemar oleh
feses atau urin dari penderita tifoid.
Ada dua sumber penularan Salmonella typhi, yaitu :
1. Penderita Demam Tifoid
Yang menjadi sumber utama infeksi adalah manusia yang
selalu mengeluarkan mikroorganisme penyebab penyakit, baik
ketika ia sedang menderita sakit maupun yang sedang dalam
penyembuhan.
Pada
masa
penyembuhan
penderita
pada
umumnya masih mengandung bibit penyakit di dalam kandung
empedu dan ginjalnya. Sehingga penderita seperti ini masih dapat
menjadi sumber penularan bagi orang lain yang sehat.15,36
2. Karier Demam Tifoid.
Penderita tifoid karier adalah seseorang yang kotorannya (feses
atau urin) mengandung Salmonella typhi setelah satu tahun pasca
demam tifoid, tanpa disertai gejala klinis. Pada penderita demam
tifoid yang telah sembuh setelah 2 sampai 3 bulan masih dapat
ditemukan kuman Salmonella typhi di feces atau urin. Penderita ini
disebut karier pasca penyembuhan.
Pada demam tifoid sumber infeksi dari karier kronis adalah
kandung empedu dan ginjal (infeksi kronis, batu atau kelainan
30
anatomi). Oleh karena itu apabila terapi medika-mentosa dengan
obat anti tifoid gagal, harus dilakukan operasi untuk menghilangkan
batu atau memperbaiki kelainan anatominya.15,36
2.9.
Pencegahan
2.9.1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan
orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang
sehat menjadi sakit. Pencegahan primer dapat dilakukan dengan
cara imunisasi dengan vaksin yang dibuat dari strain Salmonella
typhi yang dilemahkan.35
2.9.2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan
sekunder
dapat
dilakukan
dengan
cara
mendiagnosa penyakit secara dini dan mengadakan pengobatan
yang cepat dan tepat. Untuk mendiagnosis demam tifoid perlu
dilakukan pemeriksaan laboratorium.Pencegahan sekunder dapat
berupa : Penemuan penderita maupun carrier secara dini melalui
penigkatan usaha surveilans
tifoid serta perawatan umum dan
nutrisi diet yang sesuai.35
2.9.3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah upaya yang dilakukan untuk
mengurangi keparahan akibat komplikasi. Apabila telah dinyatakan
sembuh dari penyakit demam tifoid sebaiknya tetap menerapkan
31
pola hidup sehat, sehingga imunitas tubuh tetap terjaga dan dapat
terhindar dari infeksi ulang demam tifoid. Pada penderita demam
tifoid yang carier perlu dilakukan pemerikasaan laboratorium pasca
penyembuhan untuk mengetahui kuman masih ada atau tidak.35
32
2.10
Kerangka Konsep
Salmonella
typhi
Jumlah kuman,
virulensi,
lingkungan
Asam lambung
Usus halus/
plaques peyeri
Darah
Feses
Bakteriemia
skunder demam
Reaksi
imunologik
IgM terhadap antigen
lipopolisakarida (LPS)
kuman Salmonella typhi
Tubex TF
< 4 (Negatif)
≥ 4 (positif)