PROPORSI PEMERIKSAAN IgM ANTI Salmonella typhi O9 POSITIF MENGGUNAKAN TUBEX DENGAN PEMERIKSAAN WIDAL POSITIF PADA PASIEN KLINIS DEMAM TIFOID AKUT DI RSUD Dr. H. ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG

(1)

PROPORSI PEMERIKSAAN IgM ANTI Salmonella typhi O9 POSITIF MENGGUNAKAN TUBEX DENGAN PEMERIKSAAN WIDAL POSITIF PADA PASIEN KLINIS DEMAM TIFOID AKUT DI RSUD Dr. H. ABDUL

MOELOEK BANDAR LAMPUNG

Oleh

NIDA CHOERUNNISA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA KEDOKTERAN

Pada

Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(2)

ABSTRACT

PROPORTION OF POSITIVE IgM ANTI Salmonella typhi O9

EXAMINATION USING TUBEX WITH POSITIVE WIDAL EXAMINATION IN CLINICAL PATIENT OF ACUTE TYPHOID FEVER IN Dr. H. ABDUL

MOELOEK HOSPITAL BANDAR LAMPUNG

By

NIDA CHOERUNNISA

Typhoid fever is an important health problem in developing countries, one of them in Indonesia. Diagnosis is difficult because the clinical symptoms of typhoid fever is not typical, so that the necessary laboratory tests, including the Widal and Tubex. The aim of this study was to determine the proportion of positive Tubex examination with positive Widal in clinical patient of acute typhoid fever. This study is a descriptive analytic with cross sectional study. The population in this study were patients with Widal ≥ 1/320 and clinical patient of acute typhoid fever in the laboratory of Clinical Pathology Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung Hospital. The sampling technique used was consecutive sampling. Total subjects are 96. Test results obtained on examination of positive Tubex by 47 subjects. The conclusion, proportion of positive IgM anti Salmonella typhi O9 examination using Tubex with positive Widal examination in clinical patient of acute typhoid fever in Dr. H. Abdul Moeloek Hospital Bandar Lampung is 48,9%.


(3)

ABSTRAK

PROPORSI PEMERIKSAAN IgM ANTI Salmonella typhi O9 POSITIF MENGGUNAKAN TUBEX DENGAN PEMERIKSAAN WIDAL POSITIF PADA PASIEN KLINIS DEMAM TIFOID AKUT DI RSUD Dr. H. ABDUL

MOELOEK BANDAR LAMPUNG

Oleh

NIDA CHOERUNNISA

Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara berkembang, salah satunya di Indonesia. Penegakan diagnosis cukup sulit karena gejala klinik demam tifoid tidak khas, sehingga diperlukan pemeriksaan laboratorium, diantaranya adalah Widal dan Tubex. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui proporsi pemeriksaan Tubex positif dengan Widal positif pada pasien klinis demam tifoid akut. Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan rancangan cross sectional. Populasi pada penelitian ini adalah pasien dengan Widal ≥ 1/320 dan klinis demam tifoid akut di laboratorium Patologi Klinik RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung. Teknik sampling yang digunakan adalah consecutive sampling. Subjek penelitian berjumlah 96. Hasil pemeriksaan didapatkan pada pemeriksaan Tubex positif sebanyak 47 subjek. Simpulan, proporsi pemeriksaan IgM anti Salmonella typhi O9 positif menggunakan Tubex dengan pemeriksaan Widal positif pada pasien klinis demam tifoid akut di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung adalah 48,9%.


(4)

(5)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 6

E. Kerangka Pemikiran ... 6

1. Kerangka Teori ... 6

2. Kerangka Konsep ... 9

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 10

A. Definisi Demam Tifoid ... 10

B. Epidemiologi Demam Tifoid ... 11

C. Etiologi Demam Tifoid ... 12

D. Patogenesis Demam Tifoid ... 14

E. Gejala Klinis Demam Tifoid ... 17

F. Komplikasi Demam Tifoid ... 19

G. Pemeriksaan Penunjang Diagnosis Demam Tifoid ... 20

1.Pemeriksaan Darah Tepi ... 21

2.Pemeriksaan Bakteriologis dengan Isolasi dan Biakan Kuman ... 22

3.Uji Serologis ... 26

a. Uji Widal ... 26

b.Uji Tubex ... 29

c. Uji Typhidot ... 32

4.Pemeriksaan Kuman secara Molekuler ... 33

III. METODE PENELITIAN ... 34

A. Desain Penelitian ... 34


(6)

D. Identifikasi Variabel ... 36

E. Definisi Operasional Variabel ... 37

F. Bahan dan Alat Penelitian ... 37

G. Prosedur Penelitian ... 38

H. Diagram Alur Penelitian ... 39

I. Pengolahan dan Analisis Data ... 40

1.Pengolahan Data ... 40

2.Analisis Data ... 40

J. Aspek Etika Penelitian ... 41

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 42

A. Hasil Penelitian ... 42

B. Pembahasan ... 46

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 53

A. Kesimpulan ... 53

B. Saran ... 53 DAFTAR PUSTAKA


(7)

(8)

(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1.Gambar kuman Salmonella typhi secara skematik ... 11

2.Patogenesis masuknya kuman Salmonella typhi ... 12

3.Respon antibodi terhadap infeksi Salmonella typhi ... 13

4.Widal Test Kit ... 26

5.Pemeriksaan Tubex ... 29

6.Pemeriksaan Typhidot ... 30

7.Diagram kerangka teori ... 33

8.Diagram kerangka konsep ... 34

9.Diagram alur penelitian ... 40


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1.Interpretasi skor pemeriksaan Tubex ... 27

2.Definisi operasional ... 38

3.Karakteristik subjek penelitian berdasarkan usia ... 43

4.Karakteristik subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin ... 44

5.Karakteristik subjek penelitian berdasarkan gejala klinis ... 44

6.Hasil pemeriksaan Tubex berdasarkan Tubex Color Scale (1) ... 45


(11)

I. PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara berkembang, salah satunya di Indonesia. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica serotipe typhi (S. typhi) dan merupakan penyakit menular (KMK, 2006; Siba V., 2012). Insidensi demam tifoid di Indonesia cukup tinggi akibat tingginya urbanisasi, kontaminasi sumber air, resistensi antibiotik, penegakkan diagnosis terlambat, serta belum ada vaksin tifoid yang efektif (Intan M.F., 2010).

Demam tifoid di Indonesia jarang dijumpai secara epidemis tetapi bersifat endemis dan banyak dijumpai di kota-kota besar. Tidak ada perbedaan antara insidensi demam tifoid pada wanita dan pria (KMK, 2006). Prevalensi demam tifoid di seluruh dunia diperkirakan sebesar 21,6 juta kasus setiap tahunnya, dengan angka mortalitas 200.000 populasi per tahun (Siba V., 2012). Berdasarkan laporan Indonesia Health Profile pada tahun 2010, demam tifoid termasuk ke dalam 10 penyakit utama pada pasien yang di rawat inap di rumah sakit di Indonesia pada tahun 2010, yaitu sebanyak 41.081 populasi dengan angka mortalitas sebanyak 274 orang. Penyakit ini di Jakarta merupakan


(12)

penyakit infeksi kedua setelah gastroenteritis dan merupakan penyebab mortalitas tertinggi (Moehario L.H., 2009).

Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10 – 14 hari (Sudoyo A.W., 2010). Demam tifoid memiliki gejala klinik yang bervariasi dan tidak khas, dari sangat ringan sampai berat dengan komplikasi yang berbahaya (KMK 2006; Intan M.F., 2010). Gejala klinik demam tifoid yang timbul pada minggu pertama sakit yaitu berupa keluhan demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, dan dapat disertai batuk atau ditemukan adanya epistaksis. Gejala klinik demam tifoid pada minggu kedua akan tampak semakin jelas, yaitu berupa demam, bradikardia relatif, lidah yang berselaput, hepatomegali, splenomegali, meteroismus, somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis. Demam tifoid bila tidak ditangani dengan baik, dapat mengakibatkan komplikasi seperti perdarahan intestinal, perforasi usus, trombositopenia, koagulasi vaskular diseminata, hepatitis tifosa, miokarditis, pankreatitis tifosa, hingga kematian (Sudoyo A.W., 2010; Intan M.F., 2010).

Penegakan diagnosis demam tifoid cukup sulit karena gejala klinik penyakit ini tidak khas, sehingga diperlukan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis penyakit ini antara lain pemeriksaan darah rutin, pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman, pemeriksaan serologis, dan pemeriksaan kuman secara molekuler (Rachman, A.F., 2011).


(13)

Pemeriksaan laboratorium yang paling sering digunakan adalah pemeriksaan serologis, tetapi standar bakunya adalah pemeriksaan kultur darah. Hasil biakan darah yang positif memastikan diagnosis demam tifoid, tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan diagnosis demam tifoid. Sensitifitas pemeriksaan kultur darah demam tifoid pada minggu pertama sebesar 60-80% apabila prosedur memenuhi syarat. Akan tetapi, pemeriksaan ini menjadi tidak efektif apabila penderita demam tifoid sebelumnya telah mendapat terapi antibiotik, sehingga pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil mungkin negatif. Selain itu, kultur darah negatif juga dapat disebabkan oleh volume darah yang terlalu sedikit (kurang dari 5 cc). Riwayat vaksinasi di masa lampau dapat menimbulkan antibodi dalam darah pasien, sehingga dapat menekan bakteremia hingga biakan darah dapat negatif. Pengambilan darah setelah minggu pertama juga bisa menghasilkan kultur darah negatif karena aglutinin yang semakin meningkat (Sudoyo A.W., 2010).

Pemeriksaan serologi lain yang juga digunakan dalam penegakan diagnosis demam tifoid adalah pemeriksaan Widal dan pemeriksaan Tubex. Widal merupakan pemeriksaan yang masih sering digunakan hingga saat ini. Uji widal dilakukan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman S. typhi. Prinsip pemeriksaannya adalah reaksi aglutinasi antara antigen kuman S. typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Pemeriksaan widal relatif murah dan mudah untuk dikerjakan, tetapi pemeriksaan ini dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, sehingga spesifitas dan sensitivitasnya hanya berkisar 60 – 80 % (Surya, 2007). Belum ada kesamaan pendapat tentang titer aglutinin yang bermakna untuk diagnosis demam tifoid hingga saat ini. Batas titer aglutinin yang sering


(14)

digunakan hanya kesepakatan saja, berlaku setempat, dan bahkan dapat berbeda di berbagai laboratorium (Sudoyo A.W., 2010). Menurut KMK No. 364 tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid, titer O 1/320 sudah menyokong kuat diagnosis demam tifoid.

Pemeriksaan Tubex merupakan metode diagnostik demam tifoid dengan tingkat sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan Widal. Kedua pemeriksaan tersebut lebih cepat, mudah, sederhana dan akurat untuk digunakan dalam penegakan diagnosis demam tifoid (Rahayu E., 2013).

Pemeriksaan Tubex merupakan sarana penunjang demam tifoid yang mudah untuk dikerjakan, dan hasilnya relatif cepat diperoleh yaitu sekitar ± 1 jam. Pemeriksaan ini mendeteksi antibodi IgM anti-S.typhi O9 pada serum pasien. Dikatakan positif pada pemeriksaan ini apabila ditemukan Salmonella typhi serogroup D. Berdasarkan penelitian Karen H Keddy tahun 2011, pemeriksaan Tubex memiliki sensitivitas hingga 83,4%, spesifisitas 84,7%, PPV 70,5%, dan NPV 92,2% (Sudoyo A.W., 2010).

Berbagai penelitian mengenai pemeriksaan Widal dan pemeriksaan Tubex yang bervariasi mendorong keinginan penulis untuk mengetahui proporsi pemeriksaan Tubex positif dengan pemeriksaan Widal positif pada pasien klinis demam tifoid akut di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.


(15)

B.Rumusan Masalah

Penegakan diagnosis demam tifoid cukup sulit karena gejala klinik penyakit ini tidak khas, sehingga diperlukan pemeriksaan laboratorium (Rachman A.F., 2011). Pemeriksaan serologis merupakan pemeriksaan yang paling sering digunakan dalam penegakan demam tifoid (Sudoyo A.W., 2010). Widal dan Tubex merupakan pemeriksaan serologis yang dapat digunakan dalam penegakan diagnosis demam tifoid akut. Pemeriksaan widal dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, sehingga spesifitas dan sensitivitasnya hanya berkisar 60 – 80 % (Surya, 2007). Berdasarkan penelitian Karen H Keddy tahun 2011, pemeriksaan Tubex memiliki sensitivitas hingga 83,4%, spesifisitas 84,7%, PPV 70,5%, dan NPV 92,2%. Sampai saat ini belum ada penelitian mengenai proporsi pemeriksaan Tubex positif pada pasien dengan diagnosis klinis demam tifoid dengan pemeriksaan Widal positif. Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti menyusun rumusan masalah yaitu berapa proporsi pemeriksaan IgM anti-Salmonella typhi O9 positif menggunakan Tubex dengan pemeriksaan Widal positif pada pasien klinis demam tifoid akut di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui proporsi pemeriksaan IgM anti-Salmonella typhi O9 positif menggunakan Tubex dengan pemeriksaan


(16)

Widal positif pada pasien klinis demam tifoid akut di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Penulis

Mendapatkan data pemeriksaan Widal dan Tubex sehingga dapat digunakan untuk penelitian lebih lanjut.

2. Bagi Masyarakat

Mengetahui beberapa pemeriksaan laboratorium dalam penegakan diagnosis demam tifoid akut sehingga bisa mendapatkan terapi penyakit ini sedini mungkin.

3. Bagi Ilmu Kedokteran

Membantu para klinisi dalam mendiagnosis demam tifoid akut sehingga dapat memberikan tata laksana penyakit ini sedini mungkin dan mencegah komplikasi yang tidak diinginkan.

E. Kerangka Pemikiran

1. Kerangka Teori

Kuman Salmonella typhi masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan yang terkontaminasi dan merangsang respon imun dalam tubuh. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus


(17)

dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) kurang baik, maka kuman akan menembus sel-sel epitel dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh makrofag, kemudian dibawa ke plak peyeri ileum distal, selanjutnya ke kelenjar getah bening mesenterika, dan melalui duktus torasikus masuk ke dalam sirkulasi darah. Dalam sirkulasi darah, terjadi bakteremia yang pertama dan asimptomatik. Selanjutnya kuman S. typhi menyebar ke seluruh organ endotelial tubuh dan meninggalkan sel-sel fagosit, berkembang biak di luar sel, masuk ke dalam sirkulasi darah untuk kedua kalinya dan menimbulkan bakteremia dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik. Gejala reaksi infeksi sistemik diantaranya demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, gangguan mental dan koagulasi (Sudoyo A.W., 2010). Gejala klinis lain yang ditimbulkan diantaranya lidah berselaput, hepatomegali, splenomegali dan roseola spot (Rahayu E., 2013).

Dalam penegakan diagnosis klinis demam tifoid diperlukan pemeriksaan laboratorium. Adapun jenis-jenis pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan dalam membantu menegakkan diagnosis klinis meliputi:

1.Pemeriksaan darah rutin

2.pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman 3.Pemeriksaan serologis

4.Pemeriksaan kuman secara molekuler (Rachman A.F., 2011).


(18)

Pemeriksaan serologis yang dapat digunakan dalam penegakan demam tifoid akut adalah pemeriksaan Widal dan pemeriksaan Tubex. Pada pemeriksaan Widal, dilakukan deteksi antibodi terhadap kuman S.typhi. Pada pemeriksaan ini terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman S. typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Pemeriksaan Tubex mendeteksi antibodi IgM terhadap antigen lipopolisakarida (LPS) O9 kuman Salmonella typhi yang terdapat dalam serum penderita, interpretasi hasil pemeriksaan secara semikuantitatif. Antigen lipopolisakarida (LPS) O9 hanya ditemukan pada Salmonella typhi serogroup D.

Gambar 1. Diagram kerangka teori IgM

Salmonella typhi

Gejala Klinis:

-Demam ( > 37,50C) -Gejala saluran pencernaan (mual, muntah atau nyeri perut)

Respon imun

IgG

Pemeriksaan Widal

Pemeriksaan IgM anti Salmonella

typhi O9

Pemeriksaan Widal


(19)

2. Kerangka Konsep

Gambar 2. Diagram kerangka konsep Pasien dengan diagnosis klinis demam tifoid

IgM Respon imun

Pemeriksaan Widal

Pemeriksaan IgM anti Salmonella

typhi O9

Gejala Klinis:

-Demam ( > 37,50C) -Gejala saluran pencernaan (mual, muntah atau nyeri perut)


(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A.Definisi demam tifoid

Penyakit demam tifoid (typhoid fever) yang biasa disebut tifus merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella, khususnya turunannya yaitu Salmonella typhi yang menyerang bagian saluran pencernaan. Selama terjadi infeksi, kuman tersebut bermultiplikasi dalam sel fagositik mononuklear dan secara berkelanjutan dilepaskan ke aliran darah (Algerina, 2008; Darmowandowo, 2006).

Demam tifoid termasuk penyakit menular yang tercantum dalam Undang-undang nomor 6 Tahun 1962 tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah (Sudoyo A.W., 2010).

Penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui minuman/makanan yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau pembawa kuman dan biasanya keluar bersama-sama dengan tinja. Transmisi juga dapat terjadi secara transplasenta dari seorang ibu hamil yang berada dalam bakteremia kepada bayinya (Soedarno et al, 2008).


(21)

Penyakit ini dapat menimbulkan gejala demam yang berlangsung lama, perasaan lemah, sakit kepala, sakit perut, gangguan buang air besar, serta gangguan kesadaran yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi yang berkembang biak di dalam sel-sel darah putih di berbagai organ tubuh. Demam tifoid dikenal juga dengan sebutan Typhus abdominalis, Typhoid fever, atau enteric fever. Istilah tifoid ini berasal dari bahasa Yunani yaitu typhos yang berarti kabut, karena umumnya penderita sering disertai gangguan kesadaran dari yang ringan sampai yang berat (Rampengan, 1993).

B.Epidemiologi demam tifoid

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai di seluruh dunia, secara luas di daerah tropis dan subtropis terutama di daerah dengan kualitas sumber air yang tidak memadai dengan standar higienis dan sanitasi yang rendah yang mana di Indonesia dijumpai dalam keadaan endemis (Putra A., 2012).

Dari laporan World Health Organization (WHO) pada tahun 2003 terdapat 17 juta kasus demam tifoid per tahun di dunia dengan jumlah kematian mencapai 600.000 kematian dengan Case Fatality Rate (CFR = 3,5%). Insidens rate penyakit demam tifoid di daerah endemis berkisar antara 45 per 100.000 penduduk per tahun sampai 1.000 per 100.000 penduduk per tahun. Tahun 2003 insidens rate demam tifoid di Bangladesh 2.000 per 100.000 penduduk per tahun. Insidens rate demam tifoid di negara Eropa 3 per 100.000 penduduk,


(22)

di Afrika yaitu 50 per 100.000 penduduk, dan di Asia 274 per 100.000 penduduk (Crump, 2004).

Indisens rate di Indonesia masih tinggi yaitu 358 per 100.000 penduduk pedesaan dan 810 per 100.000 penduduk perkotaan per tahun dengan rata-rata kasus per tahun 600.000 – 1.500.000 penderita. Angka kematian demam tifoid di Indonesia masih tinggi dengan CFR sebesar 10%. Tingginya insidens rate penyakit demam tifoid di negara berkembang sangat erat kaitannya dengan status ekonomi serta keadaan sanitasi lingkungan di negara yang bersangkutan (Nainggolan R., 2009).

C.Etiologi demam tifoid

Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatif, tidak membentuk spora, motil, berkapsul dan mempunyai flagela (bergerak dengan rambut getar). Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu 600C) selama 15 – 20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan khlorinisasi (Rahayu E., 2013).

Salmonella typhi adalah bakteri batang gram negatif yang menyebabkan demam tifoid. Salmonella typhi merupakan salah satu penyebab infeksi tersering di daerah tropis, khususnya di tempat-tempat dengan higiene yang buruk (Brook, 2001).


(23)

Manusia terinfeksi Salmonella typhi secara fekal-oral. Tidak selalu Salmonella typhi yang masuk ke saluran cerna akan menyebabkan infeksi karena untuk menimbulkan infeksi, Salmonella typhi harus dapat mencapai usus halus. Salah satu faktor penting yang menghalangi Salmonella typhi mencapai usus halus adalah keasaman lambung. Bila keasaman lambung berkurang atau makanan terlalu cepat melewati lambung, maka hal ini akan memudahkan infeksi Salmonella typhi (Salyers dan Whitt, 2002).

Setelah masuk ke saluran cerna dan mencapai usus halus, Salmonella typhi akan ditangkap oleh makrofag di usus halus dan memasuki peredaran darah, menimbulkan bakteremia primer. Selanjutnya, Salmonella typhi akan mengikuti aliran darah hingga sampai di kandung empedu. Bersama dengan sekresi empedu ke dalam saluran cerna, Salmonella typhi kembali memasuki saluran cerna dan akan menginfeksi Peyer’s patches, yaitu jaringan limfoid yang terdapat di ileum, kemudian kembali memasuki peredaran darah, menimbulkan bakteremia sekunder. Pada saat terjadi bakteremia sekunder, dapat ditemukan gejala-gejala klinis dari demam tifoid (Salyers dan Whitt, 2002).

Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu:

1. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh kuman. Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut juga endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.

2. Antigen H (Antigen flagela), yang terletak pada flagela, fimbriae atau pili dari kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan


(24)

terhadap formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol yang telah memenuhi kriteria penilaian.

3. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat melindungi kuman terhadap fagositosis.

Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut aglutinin (Sudoyo A.W., 2010).

D.Patogenesis demam tifoid

Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk kedalam tubuh manusia melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik maka kuman

Gambar 1. Gambar kuman Salmonella typhi secara skematik. (Sumber: Marleni, 2012; Rustandi, 2010)


(25)

akan menembus sel-sel epitel dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plaque Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimptomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik, seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala dan sakit perut (Sudoyo A.W., 2010).

Gambar 2. Patogenesis masuknya kuman Salmonella typhi. (Sumber: Marleni, 2012; Rustandi, 2010)


(26)

Imunitas humoral pada demam tifoid berperan dalam menegakkan diagnosis berdasarkan kenaikan titer antibodi terhadap antigen kuman S.typhi. Imunitas seluler berperan dalam penyembuhan penyakit, berdasarkan sifat kuman yang hidup intraselluler. Adanya rangsangan antigen kuman akan memicu respon imunitas humoral melalui sel limfosit B, kemudian berdiderensiasi menjadi sel plasma yang akan mensintesis immunoglobulin (Ig). Yang terbentuk pertama kali pada infeksi primer adalah antibodi O (IgM) yang cepat menghilang, kemudian disusul antibodi flagela H (IgG). IgM akan muncul 48 jam setelah terpapar antigen, namun ada pustaka lain yang menyatakan bahwa IgM akan muncul pada hari ke 3-4 demam (Marleni, 2012; Rustandi 2010).

Gambar 3. Respons antibodi terhadap infeksi Salmonella typhi. (Sumber: Marleni, 2012; Rustandi, 2010)


(27)

E.Gejala klinis demam tifoid

Gejala klinis demam tifoid seringkali tidak khas dan sangat bervariasi yang sesuai dengan patogenesis demam tifoid. Spektrum klinis demam tifoid tidak khas dan sangat lebar, dari asimtomatik atau yang ringan berupa panas disertai diare yang mudah disembuhkan sampai dengan bentuk klinis yang berat baik berupa gejala sistemik panas tinggi, gejala septik yang lain, ensefalopati atau timbul komplikasi gastrointestinal berupa perforasi usus atau perdarahan. Hal ini mempersulit penegakan diagnosis berdasarkan gambaran klinisnya saja (Hoffman, 2002).

Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibanding dengan penderita dewasa. Masa inkubasi rata-rata 10 – 20 hari. Setelah masa inkubasi maka ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat. Gejala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimptomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian (Sudoyo A.W., 2010).

Demam merupakan keluhan dan gejala klinis terpenting yang timbul pada semua penderita demam tifoid. Demam dapat muncul secara tiba-tiba, dalam 1-2 hari menjadi parah dengan gejala yang menyerupai septikemia oleh karena Streptococcus atau Pneumococcus daripada S.typhi. Gejala menggigil tidak biasa didapatkan pada demam tifoid tetapi pada penderita yang hidup di daerah


(28)

endemis malaria, menggigil lebih mungkin disebabkan oleh malaria (Sudoyo A.W., 2010).

Demam tifoid dan malaria dapat timbul secara bersamaan pada satu penderita. Sakit kepala hebat yang menyertai demam tinggi dapat menyerupai gejala meningitis, di sisi lain S.typhi juga dapat menembus sawar darah otak dan menyebabkan meningitis. Manifestasi gejala mental kadang mendominasi gambaran klinis, yaitu konfusi, stupor, psikotik atau koma. Nyeri perut kadang tak dapat dibedakan dengan apendisitis. Penderita pada tahap lanjut dapat muncul gambaran peritonitis akibat perforasi usus (Sudoyo A.W., 2010). Gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu :

1. Demam

Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris remiten dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu tubuh berangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.

2. Gangguan pada saluran pencernaan

Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-pecah (ragaden). Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung (meteorismus). Hati dan limpa


(29)

membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi, akan tetapi mungkin pula normal bahkan dapat terjadi diare.

3. Gangguan kesadaran

Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah (Sudoyo, A. W., 2010).

F. Komplikasi demam tifoid

Menurut Sudoyo (2010), komplikasi demam tifoid dapat dibagi atas dua bagian, yaitu:

1. Komplikasi Intestinal a. Perdarahan Usus

Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang tidak membutuhkan tranfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut darurat bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5 ml/kgBB/jam. b. Perforasi Usus

Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah yang kemudian meyebar


(30)

ke seluruh perut. Tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun dan bahkan sampai syok.

2. Komplikasi Ekstraintestinal

a. Komplikasi kardiovaskuler: kegagalan sirkulasi perifer (syok, sepsis), miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.

b. Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia, koaguolasi intravaskuler diseminata, dan sindrom uremia hemolitik.

c. Komplikasi paru: pneumoni, empiema, dan pleuritis.

d. Komplikasi hepar dan kandung kemih: hepatitis dan kolelitiasis. e. Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis. f. Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan artritis. g. Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, meningismus, meningitis,

polineuritis perifer, psikosis, dan sindrom katatonia.

G.Pemeriksaan penunjang diagnosis demam tifoid

Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis yang diperkuat oleh pemeriksaan laboratorium penunjang. Penelitian yang menggunakan berbagai metode diagnostik untuk mendapatkan metode terbaik dalam usaha penatalaksanaan penderita demam tifoid secara menyeluruh masih terus dilakukan hingga saat ini (Sudoyo A.W., 2010).

Diagnosis definitif demam tifoid tergantung pada isolasi S.typhi dari darah, sumsum tulang atau lesi anatomi tertentu. Adanya gejala klinis dari


(31)

karakteristik demam tifoid atau deteksi dari respon antibodi spesifik adalah sugestif demam tifoid tetapi tidak definitif. Kultur darah adalah gold standard dari penyakit ini (WHO, 2003).

Dalam pemeriksaan laboratorium diagnostik, dimana patogen lainnya dicurigai, kultur darah dapat digunakan. Lebih dari 80% pasien dengan demam tifoid terdapat Salmonella typhi di dalam darahnya. Kegagalan untuk mengisolasi organisme dapat disebabkan oleh beberapa faktor: (i) keterbatasan media laboratorium, (ii) penggunaan antibiotik, (iii) volume spesimen, atau (iv) waktu pengumpulan, pasien dengan riwayat demam selama 7 sampai 10 hari menjadi lebih mungkin dibandingkan dengan pasien yang memiliki kultur darah positif (WHO, 2003).

Aspirasi sum-sum tulang adalah standar emas untuk diagnosis demam tifoid dan sangat berguna bagi pasien yang sebelumnya telah diobati, yang memiliki sejarah panjang penyakit dan pemeriksaan kultur darah yang negatif. Aspirasi duodenum juga telah terbukti sangat memuaskan sebagai tes diagnostik namun belum diterima secara luas karena toleransi yang kurang baik pada aspirasi duodenum, terutama pada anak-anak (WHO, 2003).

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu:

1. Pemeriksaan Darah Tepi

Penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit normal, bisa menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan


(32)

hitung jenis biasanya normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan limfositosis relatif, terutama pada fase lanjut.

Penelitian oleh beberapa ilmuwan mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju endap darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal yang cukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara penderita demam tifoid atau bukan, akan tetapi adanya leukopenia dan limfositosis relatif menjadi dugaan kuat diagnosis demam tifoid (Hoffman, 2002).

Penelitian oleh Darmowandowo (1998) di RSU Dr. Soetomo Surabaya mendapatkan hasil pemeriksaan darah penderita demam tifoid berupa anemia (31%), leukositosis (12.5%) dan leukosit normal (65.9%) (Darmowandowo, 2006).

2. Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri Salmonella typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urin dan feses (Hardi et al, 2002).

Kultur organisme penyebab merupakan prosedur yang paling efektif dalam menduga demam enterik, dimana kultur untuk demam tifoid dapat menjelaskan dua pertiga dari kasus septikemia yang diperoleh dari komunitas yang dirawat di rumah sakit (Wain dan Hosoglu, 2008).


(33)

Kultur darah adalah prosedur untuk mendeteksi infeksi sistemik yang disebabkan oleh bakteri atau jamur. Tujuannya adalah mencari etiologi bakteremi dan fungemi dengan cara kultur secara aerob dan anerob, identifikasi bakteri dan tes sensitivitas antibiotik yang diisolasi. Hal ini dimaksudkan untuk membantu klinisi dalam pemberian terapi antibiotik yang terarah dan rasiona1 (Provan, 2005).

Media pembiakan yang direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S.typhi dan S.paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut (Sudoyo A.W., 2010).

Masing-masing koloni terpilih diamati morfologinya, meliputi: warna koloni, bentuk, diameter 1-2 mm, tepi, elevasi, sifat yaitu berdasarkan kemampuannya untuk memfermentasikan laktosa, atau kemampuannya untuk menghemolisa sel darah merah (Bourbeau dan Pohlman, 2001). Hasil yang menunjukkan ditemukannya bakteri dalam darah dengan cara kultur disebut bakteremi, dan merupakan penyakit yang mengancam jiwa, maka pendeteksiannya dengan segera sangat penting. Indikasi kultur darah adalah jika dicurigai terjadi bakteremi atau septikemi dilihat dari gejala klinik, mungkin akan timbul gejala seperti : demam, mual, muntah, menggigil, denyut jantung cepat (tachycardia), pusing, hipotensi, syok, leukositosis, serta perubahan lain dalam sistem organ dan atau laboratoris (Provan, 2005).


(34)

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80% atau 70-90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu ketiga. Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik, akan tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya resiko aspirasi terutama pada anak. Salah satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum hampir sama dengan kultur sumsum tulang (Wain et al, 2008).

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi jumlah darah yang diambil, perbandingan volume darah dari media empedu dan waktu pengambilan darah (Sudoyo A. W., 2010).

Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau


(35)

dengan kultur darah negatif sebelumnya. Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pemeriksaan pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi pada anak. Salah satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum hampir sama dengan kultur sumsum tulang (Handoyo, 2004).

Volume 5-10 ml dianjurkan untuk orang dewasa, sedangkan pada anak-anak dibutuhkan 2-4 ml, sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 ml. Bakteri dalam sumsum tulang juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya.

Spesifisitasnya walaupun tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita.


(36)

3. Uji Serologis a. Uji Widal

Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan sejak tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin dalam serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum. Semakin tinggi titernya, semakin besar kemungkinan infeksi ini.

Uji Widal ini dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman Salmonella typhi. Pada uji ini terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman Salmonella typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah suspensi Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji Widal adalah menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid (Sudoyo A.W., 2010).

Tes aglutinasi Widal dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan (slide test) dan uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan dengan cepat dan digunakan dalam prosedur penapisan. Uji hapusan dilakukan dengan menggunakan antigen S. typhi komersial yang tersedia, setetes suspensi antigen ditambahkan pada sejumlah serum pasien yang diduga terinfeksi Salmonella typhi. Hasil penapisan positif membutuhkan determinasi kekuatan dari antibodi (Olopienia, 2000). Di


(37)

Indonesia pengambilan titer O aglunitin ≥ 1/40 dengan memakai slide test (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 15 menit) menunjukkan nilai ramal positif 96% (Sudarno et al, 2008). Campuran suspensi antigen dan antibodi diinkubasi selama 20 jam pada suhu 370 C di dalam air. Tes ini dapat digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji hapusan (Olopienia, 2000).

Penelitian pada anak oleh Choo et.al (1990) mendapatkan sensitivitas dan spesifisitas masing-masing sebesar 89% pada titer O atau H >1/40 dengan nilai prediksi positif sebesar 34.2% dan nilai prediksi negatif sebesar 99.2%. Beberapa penelitian pada kasus demam tifoid anak dengan hasil biakan positif, ternyata hanya didapatkan sensitivitas uji Widal sebesar 64-74% dan spesifisitas sebesar 76-83% (Choo et al, 1990).

Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara lain sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti status imunitas dan status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan antibodi; gambaran imunologis dari masyarakat setempat (daerah endemis atau non-endemis); faktor antigen; teknik serta reagen yang digunakan (Olopienia, 2000).

Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif akan memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam tifoid


(38)

(penanda infeksi). Uji Widal saat ini walaupun telah digunakan secara luas di seluruh dunia, namun manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off point). Upaya untuk mencari standar titer uji Widal seharusnya ditentukan titer dasar (baseline titer) pada orang sehat di populasi dimana pada daerah endemis seperti Indonesia akan didapatkan peningkatan titer antibodi O dan H pada orang-orang sehat (Hosoglu et al, 2008).

Kelemahan lain adalah banyak terjadi hasil negatif palsu dan positif palsu pada tes ini. Hasil negatif palsu tes Widal terjadi jika darah diambil terlalu dini dari fase tifoid. Pemberian antibiotik merupakan salah satu peyebab penting terjadinya negatif palsu. Penyebab hasil negatif lainnya adalah tidak adanya infeksi S. typhi, status karier, inokulum antigen bakteri pejamu yang tidak cukup untuk melawan antibodi, kesalahan atau kesulitan dalam melakukan tes dan variabilitas antigen (Hosoglu et al, 2008).

Hasil positif palsu dapat terjadi apabila sudah pernah melakukan tes demam tifoid sebelumnya, sudah pernah imunisasi antigen Salmonella sp., ada reaksi silang sebelumnya dengan antigen selain Salmonella sp., variabilitas dan kurangnya standar pemeriksaan antigen, infeksi malaria atau bakteri enterobacteriaceae lainnya, serta penyakit lain seperti dengue (Hosoglu et al, 2008).


(39)

Gambar 4. Widal Test Kit. (Sumber: Maulana, 2011)

b. Uji Tubex

Uji Tubex merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik yang cepat (beberapa menit) dan mudah untuk dikerjakan. Uji ini mendeteksi antibodi anti-S.typhi O9 pada serum pasien, dengan cara menghambat ikatan antara IgM anti-O9 yang terkonjugasi pada partikel latex yang berwarna dengan lipopolisakarida S.typhi yang terkonjugasi pada partikel magnetik latex. Hasil positif uji Tubex ini menunjukkan terdapat infeksi Salmonellae serogroup D walau tidak secara spesifik menunjuk pada S.typhi. Infeksi oleh S.paratyphi akan memberikan hasil negatif (Sudoyo A.W., 2010).

Secara imunologi, antigen O9 bersifat imunodominan sehingga dapat merangsang respon imun secara independen terhadap timus dan merangsang mitosis sel B tanpa bantuan dari sel T. Karena sifat-sifat tersebut, respon terhadap antigen O9 berlangsung cepat sehingga deteksi terhadap anti-O9 dapat dilakukan lebih dini, yaitu pada hari ke 4-5 untuk infeksi primer dan hari ke 2-3 untuk infeksi sekunder. Perlu diketahui


(40)

bahwa uji Tubex hanya dapat mendeteksi IgM dan tidak dapat mendeteksi IgG sehingga tidak dapat dipergunakan sebagai modalitas untuk mendeteksi infeksi lampau (Sudoyo A.W., 2010).

Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan 3 macam komponen, meliputi: 1) tabung berbentuk V, yang juga berfungsi untuk meningkatkan sensitivitas, 2) Reagen A, yang mengandung partikel magnetik yang diselubungi dengan antigen S.typhi O9, 3) Reagen B, yang mengandung partikel lateks berwarna biru yang diselubungi dengan antibodi monoklonal spesifik untuk antigen O9. Untuk melakukan prosedur pemeriksaan ini, satu tetes serum (25 μL) dicampurkan ke dalam tabung dengan satu tetes (25 μL) reagen A. Setelah itu dua tetes reagen B (50 μL) ditambahkan ke dalam tabung. Hal tesebut dilakukan pada kelima tabung lainnya. Tabung-tabung tersebut kemudian diletakkan pada rak tabung yang mengandung magnet dan diputar selama 2 menit dengan kecepatan 250 rpm. Interpretasi hasil dilakukan berdasarkan warna larutan campuran yang dapat bervariasi dari kemerahan hingga kebiruan. Berdasarkan warna inilah ditentukan skor, yang interpretasinya dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 1. Interpretasi skor pemeriksaan Tubex (Sudoyo A.W., 2010). Skor Interpretasi

<2 Negatif Tidak menunjuk infeksi tifoid aktif

3 Borderline Pengukuran tidak dapat disimpulkan. Ulangi

pengujian, apabila masih meragukan lakukan pengulangan beberapa hari kemudian

4-5 Positif Menunjukkan infeksi tifoid aktif


(41)

Jika serum tidak mengandung antibodi terhadap O9, reagen B ini bereaksi dengan reagen A. Ketika diletakkan pada daerah mengandung medan magnet (magnet rak), komponen magnet yang dikandung reagen A akan tertarik pada magnet rak, dengan membawa serta pewarna yang dikandung oleh reagen B. Sebagai akibatnya, terlihat warna merah pada tabung yang sesungguhnya merupakan gambaran serum yang lisis. Sebaliknya, bila serum mengandung antibodi terhadap O9, antibodi pasien akan berikatan dengan reagen A menyebabkan reagen B tidak tertarik pada magnet rak dan memberikan warna biru pada larutan (Sudoyo A.W., 2010).

Berbagai penelitian menunjukkan uji ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang baik (berturut-turut 75-80% dan 75-90%). Pada tahun 2006, penelitian Surya H dkk melakukan penelitian pada 52 sampel darah pasien dengan diagnosis klinis demam tifoid untuk membandingkan spesifisitas, sensitivitas, positive predictive value (PPV) dan negative predictive value uji Tubex dengan uji Widal. Pada penelitian tersebut, didapatkan sensitivitas uji Tubex sebesar 100% (Widal: 53,1%), spesifisitas 90% (Widal: 65%), PPV 94,11% (Widal: 70,8%), NPV 100% (Widal: 46,4%) (Sudoyo A.W., 2010).


(42)

Gambar 5. Pemeriksaan Tubex. (Sumber: IDL Biotech AB, 2008)

c.Uji Typhidot

Uji typhidot dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang terdapat pada protein membran luar Salmonella typhi. Hasil positif pada uji typhidot didapatkan 2-3 hari setelah infeksi dan dapat mengidentifikasi secara spesifik antibodi IgM dan IgG terhadap antigen S.typhi seberat 50 kD, yang terdapat pada strip nitroselulosa (Sudoyo A.W., 2010).

Pada penelitian Gopalakhrisnan dkk 2002, didapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76,6% dan efisiensi uji sebesar 84%. Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Olsen dkk, didapatkan sensitifitas dan spesifisitas uji ini hampir sama dengan uji Tubex yaitu 79% dan 89% dengan 78% dan 89% (Sudoyo A.W., 2010).

Pada kasus reinfeksi, respon imun sekunder (IgG) teraktivasi secara berlebihan sehingga IgM sulit terdeteksi. IgG dapat bertahan sampai 2 tahun sehingga pendeteksian IgG saja tidak dapat digunakan untuk membedakan antara infeksi akut dengan kasus reinfeksi atau konvalesen pada kasus uji primer. Untuk mengatasi masalah tersebut, uji ini


(43)

kemudian dimodifikasi dengan menginaktivasi total IgG pada sampel serum. Uji ini, yang dikenal dengan nama uji Typhidot-M, memungkinkan ikatan antara antigen dengan IgM spesifik yang ada pada serum pasien. Studi evaluasi yang dilakukan oleh Khoo KE dkk pada tahun 1997 lebih sensitif (sensitivitas mencapai 100%) dan lebih cepat (3 jam) dilakukan bila dibandingkan dengan kultur (Sudoyo A.W., 2010).

Gambar 6. Pemeriksaan Typhidot. (Sumber: http://www.reszonics.com)

4. Pemeriksaan kuman secara molekuler

Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi (Wain dan Hosoglu, 2008).

Penelitian oleh Haque et al. (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100% dengan sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian


(44)

sebelumnya dimana mampu mendeteksi 1-5 bakteri/ml darah. Penelitian lain oleh Massi et al. (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar 63% pada tes Tubex bila dibandingkan dengan uji Widal (35.6%).

Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian (Wain dan Hosoglu, 2008).


(45)

III. METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan desain penelitian cross sectional. Sampel diambil secara consecutive sampling dari data penderita yang dicurigai menderita demam tifoid pada bulan Agustus sampai Oktober 2013 di bagian Laboratorium Patologi Klinik RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung. Consecutive sampling adalah pemilihan sampel dengan menetapkan subjek yang telah memenuhi kriteria penilaian.

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Agustus sampai Oktober 2013 di bagian Laboratorium Patologi Klinik RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung dan Laboratorium Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.


(46)

C.Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien yang dicurigai menderita demam tifoid dengan Widal ≥ 1/320 pada bulan Agustus sampai Oktober 2013 di bagian Laboratorium Patologi Klinik RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.

2. Sampel

Besar sampel dihitung dengan rumus perkiraan proporsi dalam suatu populasi (Dahlan, 2008):

n = Zα2PQ d2 Keterangan:

n : jumlah sampel yang dibutuhkan Zα : tingkat kemaknaan (1,96)

P : perkiraan prevalensi (jika tidak diketahui maka nilai P = 0,5)

Q : 1-p

d : ketelitian sekitar ± 10% (d = 0,1).

Hasil perhitungan:

n = (1,96)2 x 0,5 x (1-0,5) (0,1)2

n = 96

Sehingga dibutuhkan sampel minimal sebanyak 96 pasien, dimana semua populasi yang memenuhi kriteria inklusi diambil sebagai responden.


(47)

Kriteria Inklusi:

1. Pasien demam tifoid yang di rawat inap di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung pada bulan Agustus sampai Oktober 2013.

2. Pasien dengan gejala klinis yang mendukung ke arah demam tifoid (demam > 37,50 C disertai gejala saluran pencernaan seperti mual, muntah atau nyeri perut).

3. Pasien dengan pemeriksaan Widal ≥ 1/320.

4. Pasien demam tifoid yang bersedia dijadikan responden dalam penelitian.

Kriteria eksklusi:

1. Pasien yang memiliki gangguan imunologis atau mendapat terapi immunosupresan.

2. Pasien demam tifoid yang tidak bersedia untuk dijadikan responden penelitian.

D.Identifikasi Variabel

Variabel yang digunakan oleh penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Variabel : Pemeriksaan Widal, Pemeriksaan Tubex.

2. Variabel klinis : Demam > 37,50 C disertai gejala saluran pencernaan seperti mual, muntah atau nyeri perut (Marleni, 2012).


(48)

E.Definisi Operasional Variabel

Tabel 1. Definisi operasional

No. Variabel Definisi Jenis Variabel

1. 2. 3. Proporsi Klinis demam tifoid akut Pemeriksaan Widal positif

Presentase jumlah Widal positif dengan Tubex positif.

Demam > 37,50 C disertai gejala saluran pencernaan seperti mual, muntah atau nyeri perut (Marleni, 2012).

Deteksi antibodi terhadap kuman Salmonella typhi, reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan titer aglutinin yang dipakai sebesar ≥ 1/320 (Willke, 2002).

Ordinal -

Ordinal

4. Pemeriksaan Tubex positif

Deteksi antibodi IgM terhadap antigen lipopolisakarida (LPS) O9, dengan hasil:

1. ≤ 2 : negatif, tidak ada indikasi infeksi demam tifoid (kontrol negatif Tubex)

2. 3 : borderline, ulangi pemeriksaan

3. 4 : positif lemah, indikasi adanya infeksi demam tifoid

4. 6 – 10 : positif, indikasi kuat adanya infeksi demam tifoid (kontrol positif Tubex). (IDL Biotech AB, 2008).

Ordinal

F. Bahan dan Alat Penelitian

Bahan penelitian:

Serum (lisis tidak digunakan/diperiksa)

Reagen dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Satu set tabung yang berbentuk V dengan model khusus yang dapat menampung 6 sampel dalam satu set tabung tersebut.


(49)

2. Tubex Color Scale yang berisi skala warna sebagai panduan interpretasi hasil.

3. Mikropipet

4. Brown reagent yang mengandung partikel-partikel magnetik yang dilapisi dengan antigen (Salmonella typhi O9 lipopolysaccharide [LPS]).

5. Blue reagent yang mengandung partikel-partikel indikator yang berwarna biru yang dilapisi dengan monoklonal antibodi (mAb) spesifik terhadap antigen Salmonella typhi O9 LPS.

6. Appendorf 7. Parafilm 8. Kertas label.

G. Prosedur Penelitian

Pengambilan sampel serum penderita demam tifoid dengan Widal sebesar ≥ 1/320 di Laboratorium Patologi Klinik RSUD. Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.

Penyimpanan sampel serum penderita demam tifoid dengan Widal sebesar ≥ 1/320 di dalam kulkas bersuhu -2o– (-80 C).

Pemeriksaan Tubex di Laboratorium Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.

Penambahan 1 tetes brown reagent (45 µl) dengan 1 tetes (45 µl) serum, pencampuran selama 2 menit dengan menggunakan pipet.

Penambahan blue reagent (90 µl), penutupan tabung reaksi dengan menggunakan selotip, pencampuran dengan menggunakan tangan/rotator selama 2 menit.

Meletakkan tabung reaksi pada penyangga magnetik selama 5 menit. ↓


(50)

H.Diagram Alur Penelitian

Gambar 1. Diagram Alur Penelitian Pemeriksaan Widal: Deteksi antibodi terhadap

kuman Salmonella typhi, reaksi aglutinasi antara

antigen kuman S.typhi dengan aglutinin

Widal < 1/320

Pengolahan data Pasien dengan diagnosis klinis demam tifoid

Widal ≥ 1/320

Pemeriksaan Tubex: Deteksi antibodi IgM

terhadap antigen lipopolisakarida (LPS) O9


(51)

I. Pengolahan dan Analisis Data

1. Pengolahan Data

Data yang telah diperoleh dari proses pengumpulan data akan dioleh menggunakan program aplikasi statistik data di komputer. Kemudian, proses pengolahan data menggunakan program komputer ini terdiri dari beberapa langkah:

a. Editing, untuk melakukan pengecekan apakah semua data pemeriksaan sudah lengkap, jelas, relevan, dan kuisioner.

b. Coding, untuk mengkonversikan (menerjemahkan) data yang dikumpulkan selama penelitian ke dalam simbol yang cocok untuk keperluan analisis. c. Entry, merupakan suatu kegiatan memasukkan data ke dalam komputer. d. Verifikasi, melakukan pemeriksaan secara visual terhadap data yang telah

dimasukkan ke komputer.

2. Analisis Data

Untuk analisis data digunakan analisis data univariat. Analisis data univariat yaitu analisis yang digunakan dengan menjelaskan secara deskriptif untuk melihat distribusi variabel-variabel yang diteliti. Analisis ini berfungsi untuk meringkas kumpulan data dari hasil pengukuran sehingga berubah menjadi informasi yang berguna.


(52)

J. Aspek Etika Penelitian

Penelitian ini telah mendapat Keterangan Lolos Kaji Etik dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung pada tanggal 2 Desember 2013 melalui surat nomor 2749/UN26/8/DT/2013.


(53)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Proporsi pemeriksaan IgM anti-Salmonella typhi O9 positif menggunakan Tubex dengan pemeriksaan Widal positif pada pasien klinis demam tifoid akut di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung adalah 48,9%.

B. Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dalam penegakan diagnosis demam tifoid akut dengan menggunakan Tubex dibandingkan Widal menggunakan baku emas yaitu kultur darah.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai uji serologis lain selain Tubex dan Widal dalam penegakan diagnosis demam tifoid akut.


(54)

DAFTAR PUSTAKA

Algerina, A. 2008. Demam Tifoid dan lnfeksi Lain dari Bakteri Salmonella. http://medicastore.com/penyakit/10/Demam_Tifoid.html.

Anonim. 2008. Confidence in typhoid fever diagnosis. IDL Biotech AB.

Anonim. 2010. Indonesia Health Profile. Jakarta: Ministry of Health RI.

Bourbeau, P.P., Pohlman J.K. 2001. Three days of incubation may be sufficient for routine blood cultures with Bact/Alert FAN blood Culture bottles. Journal of Clinical Microbiology. 39 (6): 2078-2082.

Crump, J.A. 2004. The Global Burden of typhoid Fever. Buletin WHO Vol. 82 No. 5.

Darmowandowo, W. 2006. Demam Tifoid. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak: Infeksi dan Penyakit Tropis Edisi I. Jakarta: BP FK UI.

Dong, B. 2007. Optimizing typhoid fever case definitions by combining serological test in a large population study in Hechi City, China. Epidemiol Infect 2007.

Handoyo, I. 2004. Diagnosis laboratorium demam tifoid. Jurnal Kimia Klinik Indonesia.

Hardi, S. Soeharyo, Karnadi E. 2002. The diagnostic value of the Widal test in typhoid fever patients. In: Typhoid fever: Profile, diagnostic and treatment in 2001. 1st ISAC International Symposium. Acta Medica Indonesia.


(55)

Hayat, Dr., Atif, Sitwat. 2011. Evaluation of Typhidot (IgM) in Early and Rapid Diagnosis of Typhoid Fever. Professional Med J Apr-Jun 2011; 18(2): 259-264.

Hoffman, S.L. 2002. Typhoid Fever. In: Strickland GT. Editor. Haunter’s tropical medicine. 7th ed Philadelphia WB Saunders Co.

Hosoglu, S., Bosnak V., Akalin S., Geyik M.F., Ayaz C. 2008. Evaluation of false negativity of the Widal test among culture proven typhoid fever cases. J Infect Dev Ctries.

http://www.reszonics.com/Typhidot Fever Flyers 2. Diakses pada tanggal 2 Oktober 2013.

Intan, M.F. 2010. Uji Diagnostik Pemeriksaan Tubex TF dan Widal terhadap Baku Emas Kultur Salmonella typhi pada Penderita Tersangka Demam Tifoid. Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Maranatha.

KMK. 2006. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. No. 364/MENKES/SK/V/2006.

Lim, Pak-Leong. 1998. One-Step 2-Minute Test to Detect Typhoid-Spesific Antibodies based on Particle Separation in Tubes. Journal of Clinical Microbiology, Aug, 1998, p. 2271-2278 Vol. 36, No. 8.

Marleni M. 2012. Ketepatan Uji Tubex TF dibandingkan Nested-PCR dalam Mendiagnosis Demam Tifoid pada Anak pada Demam Hari ke-4. Palembang: Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.

Maulana, Razi. 2011. http://razimaulana.wordpress.com. Diupload pada tanggal 18 Maret 2011. Diakses pada tanggal 2 Oktober 2013.


(56)

Nainggolan, R.N.F. 2009. Karakteristik Penderita Demam Tifoid Rawat Inap di Rumah Sakit Tentara TK-IV 01.07.01 Pematang Siantar Tahun 2008. Medan: FKM USU.

Olopoenia, L.A. 2000. Widal agglutination test-100 years later : still plagues by controversy. Postgrad Med.

Olsen, Sonja J. 2004. Evaluation of Rapid Diagnostic Test for Typhoid Fever. Journal of Clinical Microbiology, May 2004, p. 1885-1889, Vol. 42, No. 5.

Putra, A. 2012. Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Ibu tentang Demam Tifoid terhadap Kebiasaan Jajan Anak Sekolah Dasar. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

Rachman, A.F. 2011. Uji Diagnostik Tes Serologi Widal Dibandingkan dengan Kultur Darah sebagai Baku Emas untuk Diagnosis Demam Tifoid Pada Anak Di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

Rahayu, E. 2013. Sensitivitas uji widal dan tubex untuk diagnosis demam tifoid berdasarkan kultur darah. Semarang: Universitas Muhammadiyah Semarang.

Rahman, M., Siddique, A.K., Tam, F., Sharmin, S. 2007. Rapid detection of early typhoid fever in endemic community children by the TUBEX® O9-antibody test. Diagnostic Microbiology and Infectious Disease 58 (2007) 275-281.

Rustandi D. Melda S. 2010. Demam Tifoid. Bandung: Universitas Padjajaran.

Salyers A., Whitt D. 2002. Bacterial Pathogenesis: A Molecular Approach 2nd Edition. ASM Press.


(57)

Soedarno SS, Garna H, Hadinegoro SR. 2008. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Sudoyo, A. W. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Surya H, Setiawan B, Shatri H, Sudoyo A, dan Loho T. 2007. Tubex TF test compared to Widal test in diagnostics of typhoid fever. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Wafaa, M.K, Bakr, 2010. Tubex Test Versus Widal Test in the Diagnosis of Typhoid Fever in Kafr El-Shekh, Egypt. J Egypt Public Health Assoc Vol. 85 No. 5&6, 2010.

Wain J, Diept TS, Bay OV, Wals AL, Vinh H, Duong NM. 2008. Specimens and culture media for the laboratory diagnosis of typhoid fever. J Infect Dev Ctries.

Wain J, Hosoglu S. 2008. The laboratory diagnosis of enteric fever. J Infect Dev Ctries.

Willke, A. 2002. Widal Test in Diagnosis of Typhoid Fever in Turkey. Clin Diagn Lab Immunol, July; 9(4): 938-941.


(1)

41

J. Aspek Etika Penelitian

Penelitian ini telah mendapat Keterangan Lolos Kaji Etik dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung pada tanggal 2 Desember 2013 melalui surat nomor 2749/UN26/8/DT/2013.


(2)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Proporsi pemeriksaan IgM anti-Salmonella typhi O9 positif menggunakan Tubex dengan pemeriksaan Widal positif pada pasien klinis demam tifoid akut di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung adalah 48,9%.

B. Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dalam penegakan diagnosis demam tifoid akut dengan menggunakan Tubex dibandingkan Widal menggunakan baku emas yaitu kultur darah.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai uji serologis lain selain Tubex dan Widal dalam penegakan diagnosis demam tifoid akut.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Algerina, A. 2008. Demam Tifoid dan lnfeksi Lain dari Bakteri Salmonella. http://medicastore.com/penyakit/10/Demam_Tifoid.html.

Anonim. 2008. Confidence in typhoid fever diagnosis. IDL Biotech AB.

Anonim. 2010. Indonesia Health Profile. Jakarta: Ministry of Health RI.

Bourbeau, P.P., Pohlman J.K. 2001. Three days of incubation may be sufficient for routine blood cultures with Bact/Alert FAN blood Culture bottles. Journal of Clinical Microbiology. 39 (6): 2078-2082.

Crump, J.A. 2004. The Global Burden of typhoid Fever. Buletin WHO Vol. 82 No. 5.

Darmowandowo, W. 2006. Demam Tifoid. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak: Infeksi dan Penyakit Tropis Edisi I. Jakarta: BP FK UI.

Dong, B. 2007. Optimizing typhoid fever case definitions by combining serological test in a large population study in Hechi City, China. Epidemiol Infect 2007.

Handoyo, I. 2004. Diagnosis laboratorium demam tifoid. Jurnal Kimia Klinik Indonesia.

Hardi, S. Soeharyo, Karnadi E. 2002. The diagnostic value of the Widal test in typhoid fever patients. In: Typhoid fever: Profile, diagnostic and treatment in 2001. 1st ISAC International Symposium. Acta Medica Indonesia.


(4)

Hatta, Mochammad, Ratnawati. 2008. Enteric fever in endemic areas of Indonesia: an increasing problem of resistance. J Infect Developing Countries 2008; 2(4): 279-282.

Hayat, Dr., Atif, Sitwat. 2011. Evaluation of Typhidot (IgM) in Early and Rapid Diagnosis of Typhoid Fever. Professional Med J Apr-Jun 2011; 18(2): 259-264.

Hoffman, S.L. 2002. Typhoid Fever. In: Strickland GT. Editor. Haunter’s tropical medicine. 7th ed Philadelphia WB Saunders Co.

Hosoglu, S., Bosnak V., Akalin S., Geyik M.F., Ayaz C. 2008. Evaluation of false negativity of the Widal test among culture proven typhoid fever cases. J Infect Dev Ctries.

http://www.reszonics.com/Typhidot Fever Flyers 2. Diakses pada tanggal 2 Oktober 2013.

Intan, M.F. 2010. Uji Diagnostik Pemeriksaan Tubex TF dan Widal terhadap Baku Emas Kultur Salmonella typhi pada Penderita Tersangka Demam Tifoid. Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Maranatha.

KMK. 2006. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. No. 364/MENKES/SK/V/2006.

Lim, Pak-Leong. 1998. One-Step 2-Minute Test to Detect Typhoid-Spesific Antibodies based on Particle Separation in Tubes. Journal of Clinical Microbiology, Aug, 1998, p. 2271-2278 Vol. 36, No. 8.

Marleni M. 2012. Ketepatan Uji Tubex TF dibandingkan Nested-PCR dalam Mendiagnosis Demam Tifoid pada Anak pada Demam Hari ke-4. Palembang: Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.

Maulana, Razi. 2011. http://razimaulana.wordpress.com. Diupload pada tanggal 18 Maret 2011. Diakses pada tanggal 2 Oktober 2013.


(5)

Moehario, LH. 2009. The molecular epidemiology of Salmonella typhi across Indonesia reveals bacterial migration. J Infect Dev Ctries 2009; 3(8): 579-584.

Nainggolan, R.N.F. 2009. Karakteristik Penderita Demam Tifoid Rawat Inap di Rumah Sakit Tentara TK-IV 01.07.01 Pematang Siantar Tahun 2008. Medan: FKM USU.

Olopoenia, L.A. 2000. Widal agglutination test-100 years later : still plagues by controversy. Postgrad Med.

Olsen, Sonja J. 2004. Evaluation of Rapid Diagnostic Test for Typhoid Fever. Journal of Clinical Microbiology, May 2004, p. 1885-1889, Vol. 42, No. 5.

Putra, A. 2012. Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Ibu tentang Demam Tifoid terhadap Kebiasaan Jajan Anak Sekolah Dasar. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

Rachman, A.F. 2011. Uji Diagnostik Tes Serologi Widal Dibandingkan dengan Kultur Darah sebagai Baku Emas untuk Diagnosis Demam Tifoid Pada Anak Di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

Rahayu, E. 2013. Sensitivitas uji widal dan tubex untuk diagnosis demam tifoid berdasarkan kultur darah. Semarang: Universitas Muhammadiyah Semarang.

Rahman, M., Siddique, A.K., Tam, F., Sharmin, S. 2007. Rapid detection of early typhoid fever in endemic community children by the TUBEX® O9-antibody test. Diagnostic Microbiology and Infectious Disease 58 (2007) 275-281.

Rustandi D. Melda S. 2010. Demam Tifoid. Bandung: Universitas Padjajaran.

Salyers A., Whitt D. 2002. Bacterial Pathogenesis: A Molecular Approach 2nd Edition. ASM Press.


(6)

Siba, V. 2012. Evaluation of Serological Diagnostic Tests for Typhoid Fever in Papua New Guinea using a Composite Reference Standard. Journal ASM Org.

Soedarno SS, Garna H, Hadinegoro SR. 2008. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Sudoyo, A. W. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Surya H, Setiawan B, Shatri H, Sudoyo A, dan Loho T. 2007. Tubex TF test compared to Widal test in diagnostics of typhoid fever. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Wafaa, M.K, Bakr, 2010. Tubex Test Versus Widal Test in the Diagnosis of Typhoid Fever in Kafr El-Shekh, Egypt. J Egypt Public Health Assoc Vol. 85 No. 5&6, 2010.

Wain J, Diept TS, Bay OV, Wals AL, Vinh H, Duong NM. 2008. Specimens and culture media for the laboratory diagnosis of typhoid fever. J Infect Dev Ctries.

Wain J, Hosoglu S. 2008. The laboratory diagnosis of enteric fever. J Infect Dev Ctries.

Willke, A. 2002. Widal Test in Diagnosis of Typhoid Fever in Turkey. Clin Diagn Lab Immunol, July; 9(4): 938-941.