Perlindungan Hukum Terhadap Wartawan Yang Mengalami Tindak Pidana Kekerasan Dalam Menjalankan Tugas Profesi (Studi Kasus Kota P. Siantar) Chapter III V

BAB III
FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA KEKERASAN
TERHADAP WARTAWAN YANG SEDANG MENJALANKAN
TUGAS PROFESI

A. Faktor Internal Terjadinya Tindak Pidana Terhadap Wartawan Yang
Sedang Menjalankan Tugas Profesi

1. Lemahnya Regulasi
Indonesia merupakan Negara yang media massa dan pers nya berkembang
begitu pesat. Kemajuan teknologi dan kebutuhan masyarakat akan informasi yang
tiada henti menjadi salah satu faktor tumbuh pesat nya media massa dan pers di
Indonesia. Dalam sejarah media massa di Indonesia seperti yang dicantumkan
dalam buku Pers di masa orde baru karangan.42 Media massa mencapai puncak
kejayaannya dan menemukan kembali jati dirinya pada masa era reformasi,
setelah melalui masa era orde baru yang telah membredeli media massa secara
besar besaran, dimana pada saat itu kontrol media satu satunya dipegang oleh
Departemen Penerangan dan PWI, namun masa itu telah lewat setelah masa
reformasi pada tahun 1998 yang ditandai dengan diduduki nya gedung MPR RI
oleh mahasiswa secara besar besaran pada saat itu.
Kebebasan pers pun mulai dikibar dan dikumandangkan oleh insan pers

dan jurnalis di Indonesia pada masa reformasi. Kejayaan dan kemerdekaan pers
ini tidak di lewati dan di sia sia kan begitu saja oleh insan pers di indonesia,
dengan semangat berekspresi dan berkarya jurnalis dan wartawan di seluruh
                                                            
42

Hill, David T. Pers di Masa Orde Baru. (Jakarta: Yayasan obor Indonesia, 2011), hal

42

35 
 

Universitas Sumatera Utara

36 
 

indonesia menumpahkan seluruh semangat dan jiwa raga nya demi memenuhi
kebutuhan masyarakat indonesia akan informasi. Tidak hanya sebagai penyedia

dan pemberi informasi pers juga mulai memainkan peran nya sebagai pengontrol
sosial kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan Undang undang No. 11
Tahun 1996 tentang ketentuan ketentuan pokok pers Bab. II Fungsi, kewajiban
dan hak pers pada Pasal 3 Pers mempunyai hak kontrol, kritik, dan koreksi yang
bersifatkorektif dan konstruktif. Hak ini pun dilakukan dengan selalu mengangkat
isu isu yang berkembang untuk dinilai dan diamati dari berbagai aspek secara
universal oleh seluruh masyarakat dan konsumen media di berbagai pelosok tanah
air melalui media cetak dan elektronik di seluruh Indonesia.
Membicarakan masalah kekerasan bukanlah suatu hal mudah, sebab
kekerasan pada dasarnya adalah merupakan tindakan agresif, yang dapat
dilakukan oleh setiap orang, misalnya tindakan memukul, menusuk, menendang,
menampar, meninju, menggigit, semua itu adalah bentuk-bentuk kekerasan. Selain
itu juga, kadang-kadang kekerasan merupakan tindakan yang normal,namun
tindakan yang sama pada suatu situasi yang berbeda akan disebut penyimpangan.
Misalnya, Mike Tyson yang meninju Lennox Lewis dalam pertandingan tinju,
namun tidak ada satu orang pun yang berani mengatakan itu adalah perbuatan
kekerasan, bahkan seorang penegak hukum pun asyik menontonnya, akan tetapi
jika Mike Tyson melakukannya terhadap istrinya, atau orang lain atau terhadap
Lennox Lewis itu di luar ring, maka tindakan itu akan disebut tindakan
kekerasan.43

                                                            
43

 

Yasmin Anwar Adang. Kriminoligi. (Bandung: Refika Aditama, 2010), hal 410

 
Universitas Sumatera Utara

37 
 

Kekerasan (geweld) itu adalah perbuatan dengan menggunakan kekuatan
fisik yang besar, yang ditunjukkan pada orang yang mengakibatkan orang itu
(fisiknya) tidak berdaya. Dalam hal ini bentuk pembuat penyuruh sendiri yang
ditujukan pada fisik orang lain (manus manistra), sehingga orang menerima
kekerasan fisik ini tidak mampu berbuat lain atau tidak ada pilihan lain selain apa
yang dikehendaki oleh pembuat penyuruh.44
Pengertian luas, kekerasan kolektif dilakukan oleh segerombolan orang

(mob) dan kumpulan orang banyak (crowd) dan dalam pengertian sempitnya
dilakukan oleh kelompok. Bentuk kekerasan yang bersifat kolektif maupun
individual, oleh Thomas Santoso dimisalkan seperti serangan dengan memukul
(assault and battery), pembunuhan (homicide), dan pemerkosaan (rape), dan
akhirnya tindak kekerasan individu, seperti bunuh diri (suiside). Namun kekerasan
individu menimbulkan permasalahan riset yang agak serius, terutama dalam
mengidentifikasi mereka yang melakukannya, karena aktifitas mereka sering kali
tidak diketahui kecuali si korban.45
Selain ketidakpahaman pelaku kekerasan terhadap profesi jurnalis, jurnalis
dan pemilik media pun berperan terhadap kekerasan yang terjadi. Faktor pertama
pelaku kekerasan tidak memahami jurnalis merupakan profesi yang dilindungi
dan bekerja menjalankan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.
“Dalam arti, jurnalis bekerja mewakili publik dalam hal pencarian informasi dan
menyiarkannya kepada masyarakat. Di sini ada kekurangpahaman pelaku. Di sisi
                                                            
44

Thomas, Santosa, Teori-Teori Kekerasan. (Surabaya: Ghalia Indonesia, 2002, hal

45


Ibid.

9

 

 
Universitas Sumatera Utara

38 
 

lain memang, entah itu pejabat atau pelaku sengaja mengabaikan keberadaan
undang-undang,” 46
Kekerasan terhadap wartawan merupakan pelanggaran terhadap hak asasi
manusia. Dikatakan demikian sebab kekerasan terhadap wartawan merupakan
suatu bentuk pelanggaran terhadap kebebasan pers dalam menyampaian informasi
secara universal telah diakui dalam Declaration of Human Rights, tepatnya diatur
dalam Pasal 19 yang menyatakan “setiap orang berhak atas kebebasan dan

mempunyai pendapat-pendapat dengan tidak mendapat gangguan dan untuk
mencari, menerima dan menyampaikan keterangan dan pendapat dengan cara
apapun dengan tidak memandang batas-batas.
Tindakan premanisme yang berupa penganiayaan maupun tindak
kekerasan lainnya terhadap media masa apapun alasannya tidak dapat dibenarkan.
Sebab dalam menjalankan tugasnya seorang wartawan mendapat perlindungan
hukum dalam menjalankan profesinya secara tegas diatur dalam Undang-undang
Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Ketentuan mengenai adanya perlindungan
terhadap wartawan, secara jelas tercantum dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor
40 Tahun 1999, yang selengkapnya berbunyi dalam melaksanakan profesinya
wartawan mendapat perlindungan hukum. Yang dimaksud adalah jaminan
perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dan atau masyarakat kepada
wartawan dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan perannya sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

                                                            
46

http://kalbar‐online.com/news/metropolitan/banyak‐faktor‐penyebab‐kekerasan‐
terhadap‐jurnalis (diakses tanggal 21 September 2015)


 

 
Universitas Sumatera Utara

39 
 

Ada banyak hal yang melatarbelakangi terjadinya tindak kekerasan
terhadap wartawan. Baik itu yang terjadi karena unsur kesengajaan maupun yang
tidak disengaja. Tindak kekerasan yang terjadi karena unsur kesengajaan biasanya
terkait dengan isi berita yang dibuat oleh wartawan. Misalnya saja dalam hal
peliputan yang bersifat kontroversial yang menyangkut masalah isu korupsi, pada
kondisi seperti ini wartawan akan banyak menghadapi tantangan dari pihak-pihak
yang tidak menginginkan aibnya terbongkar. Selain itu tindakan anarkis yang
menimpa wartawan juga disebabkan ketidakpuasan narasumber terhadap isi berita
yang dibuat. Untuk menunjukkan ketidakpuasannya itu banyak dari mereka yang
melampiaskan dengan melakukan kekerasan terhadap wartawan. Salah satunya
dengan melakukan penyerbuan terhadap kantor media massa yang bersangkutan.

Peristiwa penyerbuan dengan mengerahkan masa terhadap kantor media massa
tampaknya menjadi kebiasaan baru bagi pihak-pihak yang merasa tidak puas
dengan pemberitaan pers. Dalam aksinya, mereka tidak hanya sekedar memprotes
pemberitaan dari media tersebut, tak jarang juga disertai dengan aksi pengrusakan
dan penyerangan terhadap para wartawan. Padahal dalam buku Himpunan
Ketentuan-Ketentuan Hukum Pidana yang ada kaitannya Dengan Media Massa,
setiap orang yang merasa dirugikan dalam pemberitaan pers (Cetak, Elektronika)
agar menggunakan hak jawab maupun jalur hukum bukan dengan melakukan
tindakan “Main Hakim Sendiri”
2. Perubahan Undang-Undang Pers
Perubahan UU Pers manakala ketentuan yang diakomodir dalam peraturan
Dewan Pers ini telah cukup baik namun lemah dalam penegakannya, maka

 

 
Universitas Sumatera Utara

40 
 


antitesis atas hal ini adalah membuat ketentuan di dalam peraturan tersebut
menjadi lebih efektif lagi implementatif. Salah satu cara adalah dengan
memasukkan ketentuan tersebut ke dalam perubahan UU Pers, sebuah proses
yang dalam sudut pandang hukum ketatanegaraan tak pelak akan melibatkan dua
lembaga negara yaitu Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden. Jika aspirasi ini
berhasil menjadi muatan perubahan UU Pers, maka perlindungan profesi
wartawan akan lebih kokoh ditegakkan guna meminimalisir kekerasan dan
kecelakaan yang menimpa wartawan. Serangkaian tindakan, pelatihan, dan
pemberian fasilitas terhadap wartawan yang ditujukan untuk melindungi
wartawan misalnya, nantinya tidak lagi digantungkan semata pada kebaikan hati
maupun kesepakatan yang kerapkali bercorak ‘David dan Goliath’, akan tetapi
lebih kepada topangan sanksi (pidana) oleh negara yang tak mengenakkan lagi
menjerakan. Dukungan segenap insan jurnalistik dalam mendorong ke arah proses
perubahan UU Pers yang lebih fasilitatif terhadap jurnalis ini menjadi hal yang
harus ada, terlebih mengingat bahwa dalam perspektif hukum kritis, upaya ini
sangat boleh jadi akan mengundang ‘perlawanan’ terutama dari para pemodal
media.
3. Ketidakprofesionalan Wartawan
Pemicu kekerasan ini kekerasan terhadap wartawan pula bisa jadi

diakibatkan karena kejenuhan masyarakat atas buruknya kinerja jurnalistik selama
ini. Masyarakat terprovokasi dengan kerja jurnalistik yang bombastik, tidak
akurat, jauh dari realita, maupun terlalu mencampuri privasi seseorang.

 

 
Universitas Sumatera Utara

41 
 

Terlepas dari persoalan di atas, tulisan ini pula meyakini bahwa kekerasan
terhadap wartawan pula bisa jadi diakibatkan karena kejenuhan masyarakat atas
buruknya kinerja jurnalistik selama ini. Pernyataan Dewan Pers Nomor 06/PDP/IV/2011 Tentang Penyelesaian Masalah antara Global TV dan Ahmad Dhani
seolah mengonfirmasi keterkaitan antara profesionalisme wartawan dan kekerasan
terhadap jurnalis. Terungkap dalam pernyataan tersebut bahwa kedua pihak
memiliki andil yang sama dalam terjadinya kekerasan terhadap wartawan Global.
Secara spesifik, Dewan Pers menyoroti tidak ditaatinya kode etik jurnalistik oleh
Global TV dalam pemberitaan mengenai Ahmad Dhani sebelumnya selain

tindakan Ahmad Dhani yang dapat dikategorikan menghalang-halangi kinerja
wartawan dalam melakukan kegiatan jurnalistik. Bahwa dalam hal terjadinya
kekeliruan maupun kesalahan dalam pemberitaan, orang tidak boleh melakukan
tindakan main hakim sendiri. 47
Alih-alih demikian, mekanisme sebagaimana dikenal dalam dunia
jurnalistik yang telah diakomodir dalam UU Pers berupa hak jawab dan hak
koreksi haruslah ditempuh. Akan tetapi, dua mekanisme itu juga tak memiliki
pembenarannya manakala digunakan sebagai tameng dilakukannya kinerja
jurnalistik yang serampangan. Hak jawab dan hak koreksi berangkat dari asumsi
dasar bahwa kinerja jurnalistik betapapun hati-hatinya dilakukan tetaplah
memiliki kemungkinan terjadinya kesalahan. Namun, kesalahan dimaksud
bukanlah sesuatu yang disengaja, apalagi dilakukan dengan sadar untuk
mendayagunakan power atas informasi yang dimilikinya guna semata untuk
                                                            
47

http://www.academia.edu/1478679/Kekerasan_Terhadap_Jurnalis_Perlindungan_Prof
esi_Wartawan_dan_Kemerdekaan_Pers_di_Indonesia (diakses tanggal19 Februari 2016)

 

 
Universitas Sumatera Utara

42 
 

mengejar keuntungam bisnis maupun untuk dipertukarkan dengan power lain
berupa jabatan maupun uang. Kerja jurnalistik sesungguhnya ialah resultante dari
berbagai faktor yang teramat kompleks meliputi kecakapan dan skill jurnalistik
seorang wartawan, kondisi perusahaan yang menaunginya, pula regulasi yang
mengaturnya. Seorang wartawan yang tak memiliki tak memiliki bekal
pengetahuan jurnalistik yang memadai akan lebih mudah melakukan pelanggaran
kode etik. Sementara itu, seorang wartawan kendati memiliki pengetahuan
jurnalistik namun bekerja dalam atmosfir perusahaan yang kapitalistik, mengejar
pemberitaan tanpa mengindahkan etika jurnalistik, akan bekerja di luar koridor
etika jurnalis yang pada akhirnya bermuara pada kekerasan wartawan.
4. Standar Kompetensi Wartawan terhadap perubahan UU Pers
Perubahan UU Pers adalah jawaban yang bisa diberikan untuk mereduksi
kekerasan terhadap wartawan sebagai akibat lemahnya regulasi, maka Standar
Kompetensi Wartawan (SKW) menemukan relevansinya untuk diterapkan guna
meminimalisir kekerasan yang diakibatkan karena kurangnya kompetensi seorang
wartawan. SKW yang tertuang dalam Peraturan Dewan Pers Nomor 1/PeraturanDP/II/2010 mengenai Standar Kompetensi Wartawan ini menjadi penting di
tengah semakin menjamurnya media seiring dengan perkembangan teknologi
informasi dan begitu mudahnya setiap orang untuk menyandang profesi
wartawan. Namun demikian, publik juga berhak untuk mengetahui informasi yang
akurat dan benar. Demikian peraturan dewan pers menyatakan, diperlukan untuk
melindungi kepentingan publik dan hak pribadi masyarakat. Namun tulisan ini
pula meyakini bahwa SKW pula diperlukan oleh wartawan itu sendiri guna

 

 
Universitas Sumatera Utara

43 
 

meminimalisir kesalahan maupun kerusakan yang tak perlu yang diakibatkan oleh
kerja jurnalistik. Dengan memenuhi kecakapan minimal sebagaimana telah
dirumuskan dari dalam insan pers sendiri, maka hasil kerja jurnalis yang memiliki
dampak

publik

amat

tinggi

itu

dapat

diandalkan

keahlian

maupun

keterandalannya. SKW memungkinkan seorang jurnalis memiliki pengetahuan,
keterampilan, dan keahlian yang relevan dengan tugasnya sebagai jurnalis.

B. Faktor Eksternal Terjadinya Tindak Pidana Terhadap Wartawan Yang
Sedang Menjalankan Tugas Profesi

1. Pelaku penganiayaan tidak memahami jurnalis adalah profesi yang dilindungi
hukum dan konstitusi.
Pasal

8

undang-undang

nomor

40

tahun

1999

tentang

Pers

mengungkapkan perlindungan hukum berupa jaminan perlindungan dari
pemerintah dan atau masyarakat yang diberikan kepada wartawan dalam
melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
Praktik impunitas bagi pembunuh dan pelaku kekerasan terhadap jurnalis
membuat pelakunya, termasuk aparat hukum, tidak memahami bahwa profesi
jurnalis di lindungi hukum dan konstitusi. Akibatnya kasus kekerasan terhadap
jurnalis terus terjadi.48
Pasal 1 angka 11 dan angka 12 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999
bahwa adanya hak jawab dan hak koreksi yang dapat dijadikan langkah bagi
                                                            
48

http://www.beritasatu.com/politik/46004‐aji‐hukum‐pelaku‐kekerasan‐terhadap‐
jurnalis.html diakses tanggal 12 Februari 2016.

 

 
Universitas Sumatera Utara

44 
 

masyarakat atau warga yang dirugikan oleh pemberitaan dengan menggunakan
hak jawab dan hak koreksi. yakni hak untuk mengoreksi atau membetulkan
kekeliruan atas suatu informasi, data, fakta, opini atau gambar yang tidak benar
yang telah diberitakan oleh wartawan, maka dari itu dalam memberitakan
peristiwa dan opini harus menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan
masyarakat serta praduga tak bersalah, dan melayani hak jawab dan hak tolak
sebagaimana yang terdapat didalam Pasal 5 ayat (1),(2),(3) Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 1999.
2. Wartawan yang Tidak Bekerja sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik dan
Undang-Undang No. 40 Tahun 1999.
Wartawan memiliki etika profesinya sendiri, yaitu kode etik jurnalistik,
secara sederhana kode etik jurnalistik ini mengisyaratkan tanggung jawab yang
besar dikalangan wartawan, artinya wartawan yang bertanggung jawab adalah
wartawan yang menggunakan kebebasan menyajikan berita untuk kepentingan
masyarakat luas, tidak untuk kepentingan diri sendiri. Karena itu, cara yang
dianggap konstruktif menggunakan kebebasan menyajikan berita adalah
penggunaan kebebasan secara etis.49(Ana Nadhya Abrar, 1995:26) Kemerdekaan
pers merupakan sarana terpenuhinya hak asasi manusia untuk berkomunikasi dan
memperoleh informasi, untuk mewujudkan kemerdekaan pers, wartawan
Indonesia menyadari adanya tanggung jawab sosial serta keberagaman
masyarakat. Guna menjamin tegaknya kebebasan pers serta terpenuhinya hak-hak

                                                            
49

Ana Nadhya Abrar, Mengurangi Permasalahan Jurnalisme, Jakarta, Penerbit Pustaka
Sinar Harapan, 1995, hal 26.

 

 
Universitas Sumatera Utara

45 
 

masyarakat diperlukan suatu landasan moral/etika profesi yang bisa menjadi
pedoman operasional dalam menegakkan integritas dan profesionalitas wartawan.
Menyandang gelar wartawan di masa depan diprioritaskan dedikasi dalam
mengabdi mengemban tugas negara. Idealnya kaum jurnalis menjalankan
fungsinya sepatutnya mengindahkan koridor-koridor elegan. “Wartawan itu sudah
memiliki kebebasan pers, makanya harus dilengkapi rasa tanggung jawab, artinya
kalau membuat berita harus berdasarkan fakta obyektivitas, lalu patuh pada
standar dan etika jurnalistik.50 Tantangan dalam menjalankan jurnalistik kerap
tersandung delik pers.
Sekalipun perkembangan di awal reformasi cukup pesat, namun
kebebasan pers juga diwarnai oleh inflasi media cetak yang wartawanya banyak
mengabaikan prinsip dan ketentuan hukum dalam UU Pers maupun Kode Etik
Jurnalistik.

Karena

inilah,

tidak

sedikit pula media-media yang kurang

profesional dalam menjalankan mandat jurnalistiknya justru merugi dan ‘gulung
tikar’ dengan sendirinya. Selain itu, akibat jurnalisme yang kurang memenuhi
kaidah kode etik, menyebabkan pula sejumlah kekerasan yang menimpa
wartawan. Dalam konteks demikian, media-media yang bertahan merupakan
media yang menjunjung tinggi profesionalisme pers dan pula media yang kuat
secara politik dan ekonomi, karena dukungan elit pemodal yang mengembangkan
bisnis melalui media cetak maupun siar.

                                                            
50

http://www.beritaekspres.com/2015/06/15/sanksi‐pidana‐menghalangi‐pers‐dan‐
pentingnya‐jurnalis‐taati‐kode‐etik‐jurnalistik‐pers/(diakses tanggal 1 Maret 2016)

 

 
Universitas Sumatera Utara

46 
 

3. Perusahaan pers yang belum total dalam membela wartawan
Wartawan adalah orang yang bekerja mencari segala informasi dan berita
atau segala bentuk kegiatan jurnalistik yang diberikan kepada perusahaan pers
agar berita yang disiarkan atau diberitakan mempunyai nama penerbit yaitu
perusahaan pers, maka dari itu hak wartawan untuk mendapatkan pembelaan dan
jaminan perlindungan hukum pertama kali diberikan oleh perusahaan pers yang
mempekerjakan wartawan tersebut. Pada kenyataannya perusahaan pers banyak
yang kurang memperdulikan nasib pembelaan hak kebebasan pers dalam
menjalankan tugas profesi wartawan itu sendiri, dari tindak pidana kekerasan
yang sering mereka alami dalam menjalankan tugas profesi. 51

                                                            
51

 

Ibid

 
Universitas Sumatera Utara

BAB IV
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP WARTAWAN
DALAM MENJALANKAN TUGAS PROFESI

A. Kebijakan Hukum Pidana dalam Memberikan Perlindungan Hukum
terhadap Wartawan Dalam Menjalankan Tugas Profesi
Beberapa dekade terakhir berkembang ide-ide perbuatan tanpa pidana,
artinya tidak semua tindak pidana menurut undang-undang pidana dijatuhkan
pidana, serentetan pendapat dan beberapa hasil penelitian menemukan bahwa
pemidanaan tidak memiliki kemanfaatan ataupun tujuan, pemidaan tidak
menjadikan lebih baik. Karena itulah perlunya sarana non penal diintensifkan dan
diefektifkan, disamping beberapa alasan tersebut, juga masih diragukannya atau
dipermasalahkannya efektifitas sarana penal dalam mencapai tujuan politik
kriminal
Mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “non penal” lebih
bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya
adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktorfaktor kondusif itu antara lain, berpusat pada masalah-masalah atau kondisikondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau
menumbuhsuburkan kejahatan. Dengan demikian, dilihat dari sudut politik
kriminal secara makro dan global, maka upaya-upaya non penal menduduki posisi
kunci dan strategis dari keseluruhan upaya politik kriminal. Di berbagai Kongres
PBB

mengenai “The

Prevention

of

47 
 

Crime

and

Treatment

of

Universitas Sumatera Utara

48 
 

Offenders” ditegaskan upaya-upaya strategis mengenai penanggulangan sebabsebab timbulnya kejahatan.
1. Upaya Penal
Pengkajian mengenai perlunya perlindungan terhadap korban kejahatan
dikemukakan oleh Muladi dengan alasan-alasan sebagai berikut : 52
a. Proses pemidanaan dalam hal ini mengandung pengertian umum dan
konkrit. Dalam arti umum, proses pemidanaan diartikan sebagai
wewenang sesuai asas legalitas, yaitu poena dan crimen harus ditetapkan
lebih dulu apabila hendak menjatuhkan pidana atas diri pelaku tindak
pidana. Dalam arti konkrit, proses pemidanaan berkaitan dengan
penetapan pemidanaan melalui infrasruktur penitensier (hakim, petugas
lembaga pemasyarakatan). Disini terkandung tuntutan moral, dalam wujud
keterkaitan filosofis pada satu pihak dan keterkaitan sosiologis di lain
pihak dalam kerangka hubungan antar manusia dalam masyarakat. Secara
sosiologis, masyarakat sebagai “system of institusional trust” / sistem
kepercayaan yang melembaga dan terpadu melalui norma yang
diekspresikan dalam struktur kelembagaan seperti kepolisian, kejaksaan,
pengadilan dan lembaga koreksi. Terjadinya kejahatan atas diri korban
bermakna penghancuran sistem kepercayaan tersebut, sehingga pengaturan
hukum pidana dan hukum lain yang menyangkut masalah korban
berfungsi sebagai sarana pengembalian terhadap sistem kepercayaan
tersebut
                                                            
52

Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: UNDIP,
1997), hal. 176-177

 

 
Universitas Sumatera Utara

49 
 

b. Adanya argumen kontrak sosial yaitu negara memonopoli seluruh reaksi
sosial terhadap kejahatan dan melarang tindakan-tindakan yang bersifat
pribadi, sehingga bila terjadi kejahatan dan membawa korban, dalam hal
ini negara harus bertanggungjawab memperhatikan kebutuhan korban.
Argumen solidaritas sosial, dimana negara harus menjaga warga
negaranya dalam memenuhi kebutuhannya atau apabila warga negara
mengalami kesulitan, melalui kerjasama dalam masyarakat berdasarkan
atau menggunakan sarana-sarana yang disediakan oleh negara. Hal ini
dapat dilakukan melalui peningkatan pelayanan maupun pengaturan hak.
c. Perlindungan korban kejahatan dikaitkan dengan salah satu tujuan
pemidanaan yaitu menyelesaikan konflik. Penyelesaian konflik yang
ditimbulkan karena adanya tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan
mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Hal ini juga diadopsi dalam
Rancangan Konsep KUHP Nasional yang baru.
Ada beberapa hal yang perlu dikembangkan dari hal-hal tersebut di atas,
yaitu bahwa perlindungan terhadap korban diartikan sebagai apabila pelaku telah
dipidana dan diproses. Padahal proses pemidanaan tidak hanya pada saat hakim
mulai bekerja, namun mulai tingkat pemeriksaan di kepolisian proses pemidanaan
tersebut telah imulai dan dalam hal ini korban terlibat di dalamnya. Oleh karena
itu perwujudan perlindungan korban perlu ditekankan perhatian terhadap
bagaimana bekerjanya proses peradilan pidana oleh aparat penegak hukum mulai
dari tingkat kepolisian. Apakah bekerjanya aparat penegak hukum tersebut justru
menimbulkan “second victimization” terhadap korban.

 

 
Universitas Sumatera Utara

50 
 

Korban kejahatan hadir dalam proses peradilan pidana dengan dua
kapasitas yang berbeda. Pertama, korban hadir sebagai saksi. Dalam hal ini
korban memberikan kesaksian mengenai peristiwa yang pernah ia alami dalam
rangka mengungkapkan kejahatan yang sedang dalam proses pemeriksaan, baik
pada tahap penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan di sidang pengadilan.
Kedua, korban hadir sebagai pihak yang dirugikan. Fungsi korban dalam hal ini
adalah mengajukan tuntutan ganti kerugian terhadap pelaku tindak pidana yang
telah menimbulkan kerugian atau penderitaan pada dirinya (korban). Upaya
perlindungan korban melalui peradilan pidana selama ini belum terwujud atau
terlaksana dengan baik. Masalah kejahatan selalu difokuskan pada apa yang dapat
dilakukan terhadap pelaku tindak pidana dan tidak memperhatikan apa yang dapat
dilakukan untuk korban. Setiap orang menganggap bahwa jalan terbaik untuk
menolong korban adalah dengan menangkap pelaku tindak pidana dan seakanakan pelaku tindak pidana adalah satu-satunya sumber penderitaan bagi korban.
Konsep modern social defence Marc Ancel diinterpretasikan sebagai “The
prevention of crime and the treatment of offenders”. Dikemukakan oleh Marc
Ancel bahwa konsekuensi dari konsep modern social defence adalah tujuan dari
politik hukum pidana adalah ‘systematic resocialization of offenders’. Konsep ini
berusaha menjaga hak-hak sebagai manusia dari pelaku tindak pidana, meskipun
ia harus membayar kejahatan dengan hukumannya.53
Terlihat dari pendapat MarcAncel di atas, bahwa konsep perlindungan
masyarakat diasumsikan sebagai pencegahan kejahatan dan pembinaan pelaku
                                                            
53

Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum dan
Pengembangan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998), hal 83.

 

 
Universitas Sumatera Utara

51 
 

tindak pidana, hal ini mengindifikasikan bahwa korban kurang mendapat
perhatian dari konsep ini. Perlindungan korban hanya diartikan secara tidak
langsung dengan pencegahan terjadinya kejahatan, yang seolah sudah tercapai bila
pelakunya telah dipidana. Padahal dengan dijatuhinya pelaku dengan pidana
seberat apapun, korban tetap menderita kerugian atas kejahatan yang dilakukan
pelaku. Perlindungan korban menjadi teranulir dan limitatif dalam konsep ini dan
tidak memberikan wawasan bagi upaya pencarian ‘acces to justice fair treatment
to the victim’, maupun pemikiran terhadap kompensasi, restitusi maupun bantuan
hukum Perspektif perlindungan korban sebagai unsur dalam kebijakan
perlindungan masyarakat dicantumkan pula dalam hasil Konggres di Milan yang
menyatakan bahwa korban tindak pidana berhak menjadi bagian integral dari
sistem peradilan pidana. Oleh karena itu ditegaskan bahwa perhatian tehadap hakhak korban harus dilihat sebagai bagian integral dari keseluruhan kebijakan
kriminal. 54
Praktek penegakan hukum pidana, korban diposisikan sebagai saksi (saksi
korban) yang seringkali mengabaikan posisi korban sebagai pencari keadilan.
Dalam persidangan, kedudukan/posisi korban diwakili penegak hukum, dimana
reaksi terhadap pelaku tindak pidana menjadi hak penuh negara untuk
diselesaikan. Dalam hal ini pelanggaran atas suatu hak (kepentingan hukum)
seorang warga ditindak oleh negara karena pertama, pelanggaran tersebut
dianggap sebagai ‘serangan’ terhadap masyarakat, kedua, tindakan negara tersebut
dianggap sebagai reaksi negara terhadap kejahatan untuk mengambil alih
                                                            
54

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,( Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1996), hal. 19-20

 

 
Universitas Sumatera Utara

52 
 

kepentingan dan kebutuhan korban untuk memuaskan keinginan balas dendam.
Tindakan negara ini seringkali tidak mengikut sertakan korban (dalam arti minta
pendapat korban tentang pelanggaran haknya) untuk menentukan pengambilan
keputusan badan penegak hukum.
Pasal

98

KUHAP

memberi

kesempatan

kepada

korban

untuk

menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian ke dalam proses peradilan
pidana, dimana ganti kerugian ini dipertanggungjawabkan kepada pelaku tindak
pidana. Penggabungan gugatan ganti kerugian alam perkara pidana akan
memudahkan korban atau keluarganya karena tidak perlu mengajukan gugatan
tersendiri. Gugatan ganti rugi ini tetap bersifat keperdataan walaupun diberikan
melalui proses pidana. Di samping itu KUHAP tidak mengatur bagaimana bila
pelaku tidak mau atau tidak mampu membayar ganti rugi tersebut kepada korban.
Proses penggabungan perkara ganti kerugian ini pun bersifat fakultatif, dimana
dalam Pasal 99 ayat (2) KUHAP disebutkan bahwa hakim dapat menolak atau
menerima permohonan penggabungan gugatan ganti kerugian yang diajukan oleh
korban atau keluarganya. Pasal 99 ayat (1) KUHAP mengadakan pembatasan,
dimana ganti kerugian yang diajukan ganti kerugian terhadap biaya-biaya yang
telah dikeluarkan korban atau ganti kerugian yang bersifat materiil, sedang
kerugian yang bersifat immaterial tidak dapat diterima. Kerugian immaterial
tersebut harus diajukan dalam perkara perdata.
Secara sederhana dapatlah dibedakan, bahwa upaya penanggulangan
kejahatan lewat jalur “penal” lebih menitik beratkan pada sifat “repressive”
(penindasan/pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahatan terjadi.

 

 
Universitas Sumatera Utara

53 
 

2. Upaya Non Penal
Pasal

8

Undang-Undang

Nomor

40

tahun

1999

tentang

Pers

mengungkapkan perlindungan hukum berupa jaminan perlindungan dari
pemerintah dan atau masyarakat yang diberikan kepada wartawan dalam
melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku
Eksistensi Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 berlandaskan legal
formal kebebasan pers, belum seutuhnya menjamin perlindungan wartawan
dalam menjalankan fungsi jurnalistiknya. Euforia politik & kebebasan,
malah menggiring institusi-institusi pers dan organisasi-organisasi wartawan
tak berfungsi optimal. Dalam situasi tidak kondusif setiap terjadi
permasalahan,

larilah

ke

hukum.

Tetapi

apakah

hukum

mampu

memberikan perlindungan maksimal bagi insan jurnalis.
Pasal 1 angka (11) dan angka (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999
bahwa adanya hak jawab dan hak koreksi yang dapat dijadikan langkah bagi
masyarakat atau warga yang dirugikan oleh pemberitaan dengan menggunakan
hak jawab dan hak koreksi. yakni hak untuk mengoreksi atau membetulkan
kekeliruan atas suatu informasi, data, fakta, opini atau gambar yang tidak benar
yang telah diberitakan oleh wartawan maka dari itu dalam memberitakan
peristiwa dan opini harus menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan
masyarakat serta praduga tak bersalah, dan melayani hak jawab dan hak tolak
sebagaimana yang terdapat didalam Pasal 5 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 1999

 

 
Universitas Sumatera Utara

54 
 

Sesuai dengan UU Pers, Pasal 18 menyebutkan setiap orang yang secara
melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat
atau menghalangi pelaksanaan Pasal 4 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima
ratus juta rupiah). Kalangan Pers hendaknya bersama-sama pro-aktif dalam
memberikan informasi terkini tentang hal tersebut ke publik, agar aksi kekerasan
yang menimpa insan pers tidak berulang terjadi. Menelisik faktor intern dalam
menghindari delik pers, seyogyanya insan jurnalis pun harus kembali pada
penegakan kode etik jurnalistik. Dalam menjalankan tugas jurnalistiknya berusaha
mentaati ketentuan kode etik, ketentuan hukum dan profesionalisme.
Ketidakjelasan mengenai bentuk perlindungan hukum yang diberikan
kepada wartawan membuat wartawan sering menjadi sasaran tindak kekerasan,
baik yang dilakukan oleh sumber berita maupun yang dilakukan oleh aparat
penegak hukum yang seharusnya menjadi pelindung wartawan pada saat
menjalankan tugas jurnalistiknya di lapangan.
Selama ini yang aktif melakukan pembelaan apabila terjadi tindak
kekerasan terhadap jurnalis ialah rekan-rekan seprofesi wartawan yang merasa
senasib dan sependeritaan dengan rekan wartawan yang teraniaya. Para wartawan
atau jurnalis segera beraksi dengan melakukan demo di depan instansi pelaku
tindak penganiayaan terhadap rekannya. Beberapa Kutipan berita berikut ini
adalah refleksi solidaritas rekan-rekan seprofesi wartawan dalam melakukan
pembelaan atas tindak kekerasan terhadap wartawan.

 

 
Universitas Sumatera Utara

55 
 

Organisasi profesi seperti Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi
Jurnalis Indonesia (AJI) dan Dewan Pers termasuk yang pro-aktif menyikapi
tindakan kekerasan terhadap wartawan, sebagaimana pernyataan-pernyataan yang
segera dirilis oleh lembaga tersebut apabila terjadi tindak kekerasan terhadap
wartawan. Sebaliknya organisasi perusahaan pers tempat wartawan bekerja
ternyata kurang peduli atau terkesan sangat lamban dalam menyikapi terjadinya
peristiwa kekerasan terhadap jurnalis. Biasanya kalau ada kekerasan terhadap
wartawan, maka yang akan segera memberikan pernyataan pers adalah organisasi
profesi wartawan seperti AJI (Aliansi Jurnalis Indonesia) atau PWI (Persatuan
Wartawan Indonesia), begitu juga LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Pers.
Perusahaan persnya kemana? Kadang setelah enam bulan peristiwa berlalu, baru
perusahaan pers ada pernyataan. Padahal, saat terjadinya kekerasan pada
wartawan, perusahaan pers seharusnya berada di posisi paling depan untuk
melindungi wartawannya.
Padahal tanpa wartawan, maka perusahaan pers tidak akan menjadi
lembaga sosial dan wahana komunikasi masa yang terpercaya dalam
melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan media
cetak, media elektronik dan saluran lainnya. Wartawan bukan hanya melakukan
peliputan, mencari atau melakukan wawancara semata, tetapi juga orang yang
melakukan perencanaan (Koordinator Liputan), pengolah atau pengeditan
(redaktur). Pemimpin redaksi juga disebut wartawan. Mereka sangat berharap

 

 
Universitas Sumatera Utara

56 
 

bahwa Undang-Undang Pers dapat menjadi sarana perlindungan bagi mereka
dalam menjalankan profesi jurnalistik.
Dengan demikian perlindungan hukum terhadap wartawan merupakan
kewajiban Negara yang seharusnya dilaksanakan secara tegas oleh aparat penegak
hukum yang berwenang sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku di Indonesia
khususnya sesuai ketentuan hukum yang diatur dalam UU No.40 Tahun 1999
sebagai lex specialist derogate lex generalist. Bila perlu harus dilakukan revisi
terhadap UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers disesuaikan dengan perkembangan
hukum dan peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi di masyarakat Indonesia
sekarang. Perlindungan terhadap wartawan secara eksplisit diatur dalam Pasal 8
Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers (UU Pers). Namun
ketentuan dalam Undang-undangini sepertinya bersifat represif (penindakan) tidak
bersifat preventif (pencegahan), Seharusnya ada aturan pelaksanaan yang secara
tegas memberikan jaminan perlindungan terhadap wartawan dalam arti yang
preventif, yaitu yang dapat mencegah ataupun meminimalisir terjadinya tindak
kekerasan atau pelanggaran hukum terhadap wartawan. Demikian juga Dewan
Pers dalam Peraturan Pedoman Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap
Wartawan yang dikeluarkan bulan Desember 2012 ada 9 butir ketentuan tentang
standard penanganan perlindungan wartawan, namun demikian selama tidak
adanya sanksi yang tegas dan menimbulkan efek jera bagi pelaku pelanggaran
atau tindak kekerasan terhadap wartawan maka efektifitas perlindungan terhadap
wartawan masih menjadi impian bagi insan-insan pers. Jalur “non penal” lebih
menitik beratkan pada sifat “preventif” (pencegahan/penangkalan/pengendalian)

 

 
Universitas Sumatera Utara

57 
 

sebelum kejahatan terjadi. Upaya non penal yang paling strategis adalah segala
upaya untuk menjadikan masyarakat sebagai lingkungan sosial dan lingkungan
hidup yang sehat (secara materiil dan immateriil) dari faktor - faktor kriminogen.

B. Analisis Kasus Terhadap Putusan Nomor 315/PID/B/2011/PN.PMS
1. Kronologis
Rusli Sarmauli Simbolon B.Sc selaku petugas di Kapolresta kota P.
Siantar, memberitahukan kepada Briptu Rudianto selaku ajudan Kapolres (Fatori
SIK) melaporkan kepada Kapolres P. Siantar (Fatori SIK) bahwa Andi Rianto SP
(wartawan Trans Tv) selaku tahanan atas kasus penganiayaan anak dibawah umur
menolak untuk dipindahkan dari kamar tahanan 4 ke kamar 2. Mendengar laporan
ajudannya Fatori SIK langsung mendatangi Andi Rianto SP yang sedang berada
di ruang olahraga tahanan Polresta P. Siantar dan langsung memanggil Andi
Rianto SP serta menanyakan kepada Andi kenapa dia tidak mau dipindahkan ke
kamar tahanan 2. Kemudian Andi berkata “Aku tidak mau”, sehingga dengan
emosi tanpa mendengar alasan Andi lalu Fatori SIK langsung memukul bibir Andi
Rianto SP dengan menggunakan sarung tinju sebelah kiri yang diambil nya dari
narapidana yang sedang melakukan olahraga tinju di ruang olahraga tersebut.
setelah memukul bibir Andi, kemudian Fatori memukul ke arah rusuk Andi
sebanyak dua kali yang mengenai bagian perut nya. Akibat dari pukulan tersebut,
Andi terbentur ke dinding ruangan olahraga tahanan hingga jatuh terduduk dan
muntah-muntah akibatnya Andi mengalami bengkak pada kepala bagian belakang
sebelah kanan sepanjang 1 cm x 0,5 cm x 0,5 cm dan luka lecet pada bibir bawah

 

 
Universitas Sumatera Utara

58 
 

bagian bawah selebar 0,2 cm x 0,3 cm sesuai Visum et Repertum Nomor
4702/VI/UPM/XII/2010 Tanggal 3 Desember 2010 atas nama Andi Rianto SP.

2. Dakwaan
Atas perbuatan tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa, maka
terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 351 Ayat (1)
KUHP.
3. Tuntutan
Tuntutan pidana Jaksa/Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Pematang
Siantar tanggal 4 Januari 2012 sebagai berikut:
a.

Menyatakan terdakwa Fatori SIK terbukti
secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak
pidana “Penganiayaan” sebagaimana dalam Surat Dakwaan melanggar
Pasal 351 Ayat (1) KUHP;

b.

Menjatuhkan

pidana

terhadap

terdakwa

Fatori SIK dengan pidana penjara selama 8 (delapan) bulan dengan
perintah Terdakwa supaya ditahan;
c.

Menyatakan barang bukti berupa:
- 1 (satu) pasang sarung tinju warna merah merek “Rocky”:
Dirampas untuk dimusnahkan;

d.

Menetapkan

supaya

Terdakwa

dibebani

membayar biaya perkara sebesar Rp. 5.000,00 (lima ribu rupiah);

4. Pertimbangan Hakim

 

 
Universitas Sumatera Utara

59 
 

Bahwa

sebelum

menjatuhkan

putusan

terlebih

dahulu

akan

dipertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan ;
Hal-hal yang memberatkan :
Terdakwa sebagai Pimpinan tertinggi di Polresta Pematang Siantar seyogianya
mengayomi dan memberi contoh yang baik dengan cara menghindari perbuatan
yang bertentangan dengan hukum.
Hal-hal yang meringankan :
a. Terdakwa sopan dipersidangan.
b. Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya serta menyesalinya.
c. Terdakwa dan saksi korban dipersidangan telah saling memaafkan.
d. Terdakwa belum pernah dihukum.
Putusan Pengadilan Negeri P. Siantar
Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Pematang Siantar Nomor:
315/PID/B/2011/PN.PMS, terdakwa FATORI SIK dijatuhkan pidana penjara
selama 8 bulan dengan perintah supaya terdakwa ditahan.
Putusan Pengadilan Tinggi Medan
Berdasarkan

putusan

Pengadilan

Tinggi

Medan

Nomor:

226/PID/2012/PT/MDN, terdakwa FATORI SIK dijatuhkan pidana penjara
selama 4 (empat) bulan dengan perintah pidana tersebut tidak perlu dijalani
dijalani oleh terdakwa, kecuali sebelum lewat masa percobaan selama 8 (delapan)
bulan terdakwa atas putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
dipersalahkan melakukan sesuatu tindak pidana.

Putusan Mahkamah

 

 
Universitas Sumatera Utara

60 
 

Memperhatikan Pasal 351 ayat (1) KUHP, serta peraturan lain yang
berhubungan dengan perkara ini;
a.

Menyatakan bahwa Terdakwa FATORI SIK,
telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana “PENGANIAYAAN”;

b.

Menjatuhkan pidana oleh karena itu terhadap
terdakwa FATORI SIK, dengan pidana penjara selama 2 (dua) bulan;

c.

Menyatakan barang bukti berupa:
- 1 (satu) pasang sarung tinju warna merah merek “Rocky”.
Dirampas untuk dimusnahkan.

d.

Menetapkan agar terdakwa membayar biaya
perkara sebesar Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah).

5. Analisis Kasus
a.

Berdasarkan

putusan

Pengadilan

Negeri

Pematang Siantar Nomor: 315/PID/B/2011/PN.PMS, terdakwa FATORI
SIK dijatuhkan pidana penjara selama 8 bulan dengan perintah supaya
terdakwa ditahan.
b.

Berdasarkan
Medan

Nomor:

putusan

226/PID/2012/PT/MDN,

Pengadilan

terdakwa

FATORI

Tinggi
SIK

dijatuhkan pidana penjara selama 4 (empat) bulan dengan perintah pidana
tersebut tidak perlu dijalani dijalani oleh terdakwa, kecuali sebelum lewat
masa percobaan selama 8 (delapan) bulan terdakwa atas putusan hakim

 

 
Universitas Sumatera Utara

61 
 

yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dipersalahkan melakukan
sesuatu tindak pidana.
c.

Berdasarkan putusan Mahkamah Agung
Nomor: 1992 K/Pid/2012, terdakwa FATORI SIK dijatuhkan pidana
kepada Terdakwa FATORI SIK dengan pidana penjara selama 2 (dua)
bulan.
Menurut penulis, hukuman yang dijatuhkan dari awal banding sampai

kasasi sudah pantas diterima oleh Fatori SIK. Karena terdakwa mengakui dan
menyesal atas perbuatan yang telah dilakukan nya, serta terdakwa juga dicopot
jabatan nya sebagai Kapolresta Pematang Siantar dan di mutasikan di Polda
Sumatera Utara dengan tidak ada jabatan lagi. Hal ini lah yang menjadi
pertimbangan penulis untuk mengatakan hukuman pidana penjara 2 (dua) bulan
sudah pantas untuk terdakwa Fatori SIK. Karena pasti atas kejadian tersebut,
Fatori akan bisa berfikir dua kali sebelum melakukan tindak pidana kekerasan
atau tindak pidana lainnya mengingat terdakwa adalah Polisi yang tugasnya
sebagai pelindung dan panutan masyarakat bukan sebagai pelaku tindak pidana.
Unsur Barang Siapa
Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan “barangsiapa” adalah siapa
saja yang berkedudukan sebagai subyek hukum pendukung hak dan kewajiban
dalam keadaan sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk
bertanggung jawab atas segala perbuatan yang telah dilakukannya;
Menimbang bahwa dalam perkara ini yang disangka atau diduga sebagai
pelaku adalah terdakwa FATORI,SIK yang identitas lengkap telah dinyatakan

 

 
Universitas Sumatera Utara

62 
 

oleh Majelis Hakim dan ternyata sama dengan identitas terdakwa yang termuat
dalam surat dakwaan oleh karenanya unsur barang siapa telah terpenuhinya;

Unsur Melakukan Penganiayaan
Menimbang, banhwa Undang-Undang tidak memberi pengertian atau
penjelasan apa yang dimaksud dengan penganiayaan, namun Menurut
Yurisprudensi Penganiayaan diartikan dengan “ sengaja menyebabkan perasaan
tidak enak atau penderitaan, rasa sakit atau luka”.
Menimbang, bahwa menurut Memorie van Teolichting kata “Dengan
Sengaja” (opzettelijk) 9 kata ini terdapat dalam banyak Pasala-Pasal KUHPidana)
adalah sama dengan willens en wetens” artinya dikehendaki dan diketahui;
Menimbang, bahwa apakah dengan sengaja menyebabkan perasaan tidak
enak atau penderitaan, rasa sakit atau luka ada pada diri terdakwa dalam hal ini
terhadap saksi korban Andi rianto siahaan? Majelis akan mempertimbangkan
sebagai berikut:
Menimbang, bahwa dari fakta yang terungkap dipersidangan, berawal dari
perintah terdakwa kepada Briptu Rudianto (ajudannya) pada tanggal 29
Nopember 2010 agar tahanan bernama andi irianto siahaan di pindahkan ke
ruangan 2, lalu perintah tersebut diteruskan kepada Kasat Tahanan dan Barang
Bukti (Tahti) saksi Rusli Sarmauli Simbolon kemudian saksi Rusli Sarmauli
Simbolon menyampaikan kepada korban agar nanti pindah ruangna ke ruang 2,
namun korban tidak mau pindah.

 

 
Universitas Sumatera Utara

63 
 

Menimbang, bahwa besok harinya sekitar pukul 16.00 WIB ketika para
tahanan sedang olah raga sore, Briptu Rudianto menjumpai Rusli Sarmauli
Simbolon lagi dan mengatakan “ kenapa andi Irianto Siahaan belum
dipindahkan?” “perintah Bapak Kapolres harus dilaksanakan”, lalu saksi Rusli
Sarmauli Simbolon menyuruh tahanan untuk mengangkati sebagian alat-alat
pengendalian massa (Dalmas) yang ada di ruangan kamar 2, dan mengatakan
kepada korban (Andi Irianto) bahwa setelah selesai olahraga sore, pindah
keruangan tahanan 2, namun korban tidak tidak mau dengan mengatakan “saya
tidak mau, mengapa saya harus pindah?, kemudian saksi Rusli Sarmauli Simbolon
menjumpai Briptu Rudianto dan mengatakan bahwa Andi Irianto tidak mau
pindah ruangan;
Menimbang, bahwa tidak berapa lama kemudian terdakwa turun dari
ruangan kerjanya dan langsung menuju ruangan olahraga dan mengatakan “mana
orangnya yang tidak mau pindah” lalu saksi Rusli Sarmauli Simbolon menunjuk
ke arah korban, kemudian terdakwa langsung meninju saksi korban dan mengenai
bibir sebelah bawah dan selanjutnya meminta sarung tinju dari saksi Marupa
Sotarduga Siahaan dan memakainya ditangan sebelah kiri kemudian langsung
meninju korban beberapa kali dengan menggunakan kedua tangannya sambil
mendorong tubuh korban ke dinding dan korban pun terduduk di lantai, dalam
keadaan emosi terdakwa mengucapkan kata-kata kepada korban “disini ada atura,
ikuti aturan disini, bukan kau yang mengatur disini, makanya kau jangan bikin
masalah diluar sana yah, saya yang berkuasa disini biar tau kau, jangan macammacam kau ya”, kemudian terdakwa memukul karung apsir dan baerkata : “ ini

 

 
Universitas Sumatera Utara

64 
 

baru uppercut, saya pernah ikut polda tinju” dan terdakwa pun keluar
meninggalkan ruang olah raga tahanan;
Menimbang, bahwa setelah kejadian tersebut kemudian terdakwa
memerintah polisi jaga untuk memanggil dokter agar korban diperiksa, dan dokter
Saiden Saragih didampingi oleh perawat Anita Br Turnip melakukan pemeriksaan
terhadap korban dimana tekanan darah koraban normal, namun korban
mengatakan perut dan kepalanya sakit, dan ketika perut korban mau diperiksa
dengan cara menekan perutnya, korban mengatakan “jangan-jangan sakit”, lalu
dokter mau menyuntik korban untuk menghilangkan rasa sakit akan tetapi korban
tidak mau.
Menimbang, bahwa dari tindakan terdakwa yang memerintah polisi jaga agar
menyuruh dokter untuk memeriksa saksi korban, adalah suatu tindakan yang
dapat dimaknai bahwa terdakwa telah menyadari perbuatannya yaitu akibat
pukulannya tersebut akan menyebabkan rasa sakit yang memerlukan pengobatan
medis.
Menimbang, bahwa ternyata tiga hari setelah terdakwa memukul saksi
korban yaitu pada tanggal 2 Desember 2011, saksi korban akhirnya dibawa ke
Rumah Sakit Umum Daerah untuk di visum, dan hasil Visum et repertum No.
4702/VI/UPM/VER/XII/2010, yang dibuat dan ditandatangani oleh Dr. Juliana
K.R Saragih, dokter pada Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Djasamen Saragih Kota
Pematang Siantar adalah sebagai berikut :
Hasil pemeriksaan :

 

 
Universitas Sumatera Utara

65 
 

-

Bengkak pada kepala bagian belakang sebelah kanan kira 1 cm x 0,5 cm x
0,5 cm

-

Luka lecet pada bibir bawah bagian dalam kira-kira 0,2 cm x 0,3 cm

Kesimpulan :
Perubahan-perubahan pada tubuh korban disebabkan oleh karena adanya luka
paksa tumpul
Menimbang, bahwa dari pertimbangan tersebut diatas, maka unsur dengan
sengaja menyebabkan perasaan tidak enak atau penderitaan, rasa sakit atau luka
telah terpenuhi pula;
Menimbang, bahwa selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan
pembelaan terdakwa dan Penasehat Hukum terdakwa yang pada pokoknya
memohon agar Majelis yang memeriksa dan mengadili perkara ini menyatakan
bahwa terdakwa dibebaskan dari segala dakwaan dengan alasan sebagai berikut :

Pembelaan Terdakwa Intinya:
1.

Bahwa tuntutan Jaksa Penuntut Umum tidak memenuhi unsur Pasal 351
(1) KUHP

2.

Bahwa tuntutan Jaksa hanya berdasarkan keterangan 1 (satu) orang saja
dan visum dilakukan setelah 3 hari kejadian

3.

Bahwa tuntutan Jaksa hanya berdasarkan kepentingan sepihak diluar
hukum, baik dari tekanan dari pejabat atas ataupun media yang seolah-olah
membenarkan keterangan korban

 

 
Universitas Sumatera Utara

66 
 

4.

Bahwa perbuatan terdakwa dilakukan terhadap orang yang telah
melakukan berapa kali pidana, dan tidak punya sopan santun terhadap pejabat
negara, menekan pimpinan.

Pembelaan Penasihat Hukum Terdakwa Intinya:
1.

Bahwa Jaksa Penuntut Umum tidak mencantumkan secara lengkap
keterangan saksi dan fakta. Saksi Dr. Saiden Saragih yang diberikan dibawah
sumpah.

2.

Bahwa saksi Marupa Sotarduga Siahaan telah dnyatakan keterangannya
dipenyidikan di cabut

3.

Bahwa yang perlu dibuktikan bukan hanya akibat yang dirasakan namun
harus dibuktikan juga apa yang menimbulkan rasa sakit atau cedera tersebut.

4.

Bahwa yang melihat terdakwa meninju bibir korban hanyalah saksi Suarto
dan Roy Pratama Nainggolan, dan keterangan tersebut sangatlah subjektif
mengingat kedua saksi tersebut adalah rekan saksi korban sesama tahana sel
Polres

5.

Bahwa visum dilakukan setelah 3 (tiga) hari kejadian dan tidak menutup
kemungkinan seseorang melakukan berbagai hal termasuk melukai diri sendiri
dengan tujuan tertentu.

6.

Bahwa untuk menjatuhkan pidana terhadap terdakwa haruslah didasarkan
pada minimal 2 (dua) alat bukti dan keyakinan, dan dari fakta dipersidangan
terdakwa tidak mela