Analisis Health Belief Model pada Pemanfaatan Pelayanan Klinik Voluntary Counselling and Testing (VCT) RSU Dr. Pirngadi Medan tahun 2013

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
HIV/AIDS merupakan masalah kesehatan masyarakat yang mengkhawatirkan
dan memerlukan perhatian yang sangat serius, karena di samping belum ditemukan
obat dan vaksin untuk pencegahan, penyakit ini juga memiliki window period dan
fase asimtomatik yang relative panjang dalam perjalanan penyakitnya. Hal ini
menyebabkan pola perkembangannya seperti fenomena gunung es (iceberg
phenomena) (Depkes RI, 2006)
Jumlah kasus HIV/AIDS dari tahun ke tahun di seluruh bagian dunia terus
meningkat meskipun berbagai upaya preventif terus dilaksanakan. Sehingga WHO
(World Health Organisation) menargetkan penurunan jumlah infeksi baru HIV dalam
tujuan ke-6 kesepakatan Millenium Development Goals (MDGs). Setiap negara
diharapkan dapat melakukan upaya yang efektif khususnya terhadap kelompok risiko
tinggi.(Kemenkes RI, 2011)
Pada tahun 2011, WHO memperkirakan

prevalensi HIV/AIDS pada

kelompok umur 15-49 tahun di benua Afrika 4,6%, Amerika 0,5%, Eropa 0,4%, dan

Asia 0,3%. Sementara itu penderita HIV/AIDS di kawasan Asia Tenggara sekitar 3,5
juta orang, termasuk 140.000 anak-anak dan perempuan (37% dari populasi ini).
(WHO, 2012)

Universitas Sumatera Utara

Prevalensi HIV/AIDS di Indonesia secara umum rendah yaitu sebesar 0,3%
pada tahun 2011, tetapi Indonesia digolongkan sebagai negara dengan tingkat
epidemic yang terkonsentrasi yaitu adanya prevalensi lebih dari 5% pada sub populasi
tertentu seperti penjaja seks dan penyalahguna NAPZA. Hal ini menunjukkan tingkat
perilaku berisiko yang cukup aktif menularkan penyakit di dalam suatu sub populasi
tertentu. Selanjutnya perjalanan epidemik akan ditentukan oleh jumlah dan sifat
hubungan antara kelompok berisiko tinggi dengan populasi umum. (WHO, 2012,
Depkes, 2006)
Pada awalnya penyebaran HIV/AIDS di Indonesia terjadi pada pekerja seks
komersil (PSK) beserta pelanggannya dan kaum homoseksual. Setelah itu mulai
terjadi penularan ke ibu-ibu rumah tangga yang tertular dari pasangannya dan
berlanjut ke bayi-bayi yang lahir dari ibu yang positif HIV. Kemudian saat ini
problem yang sangat mengancam yaitu penularan yang cepat


pada kelompok

pengguna napza suntik (penasun/IDU = Injecting Drug User). Pada tahun 2011 WHO
memperkirakan di Indonesia terdapat sekitar 180.000 orang terinfeksi HIV,
sedangkan data yang tercatat oleh Departemen Kesehatan RI sampai dengan bulan
Juni 2011 tercatat 26.483 orang hidup dengan HIV/AIDS (Kemenkes RI, 2011).
Proporsi kasus AIDS di Indonesia paling tinggi pada kelompok umur 20-29
tahun (36,4%), disusul kelompok umur 30-39 tahun (31,5%) dan kelompok umur 4049 tahun (13,3%). Berdasarkan jenis kelamin yang paling tinggi adalah laki-laki yaitu
64,9% dan wanita 39,1%. Berdasarkan cara penularannya, heteroseksual berada di

Universitas Sumatera Utara

tingkat tertinggi yaitu 76,3% disusul IDU 16,3% dan perinatal 4,7%. (Kemenkes RI,
2011)
Provinsi Sumatera Utara merupakan urutan ke-11 jumlah kumulatif penderita
AIDS yang dilaporkan di Indonesia yaitu sebanyak 509 kasus (Kemenkes RI, 2011).
Laporan dari Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara sampai bulan Maret 2013
ditemukan sebanyak 6668 kasus HIV/AIDS. (4405 AIDS dan 2263 HIV).
Kabupaten/kota dengan jumlah kasus HIV/AIDS tinggi terdapat di kabupaten/kota
dengan mobilitas yang tinggi dan mempunyai layanan VCT dan Infeksi Menular

Seksual (IMS). Penderita HIV/AIDS terbanyak adalah kota Medan yaitu sebesar
5907 kasus (88,58%) dari total seluruh penderita. (Dinkes Provsu,2013)
Jumlah kasus HIV/AIDS yang terus meningkat dan cenderung terjadi pada
usia produktif menimbulkan dampak buruk terhadap pembangunuan nasional secara
keseluruhan. Tidak hanya berpengaruh terhadap bidang kesehatan tetapi juga sosial
ekonomi. Melihat prevalensi dan dampak dari HIV/AIDS maka masalah ini bukan
hanya masalah kesehatan dari penyakit menular semata, tetapi sudah menjadi masalah
kesehatan masyarakat yang sangat luas. Oleh karena itu penanganan tidak hanya dari
segi medis tetapi juga dari psikososial dengan berdasarkan pendekatan kesehatan
masyarakat melalui upaya pencegahan primer, sekunder, dan tertier. Salah satu upaya
pencegahan tersebut adalah deteksi dini untuk mengetahui status seseorang sudah
terinfeksi HIV atau belum melalui konseling dan testing (Voluntary Counselling and
Testing = VCT) HIV/AIDS sukarela, bukan dipaksa atau diwajibkan. (Nursalam dan
Kurniawati, 2007; Panduan VCT,2006).

Universitas Sumatera Utara

Konseling dalam VCT adalah kegiatan konseling yang menyediakan
dukungan psikologis, informasi dan pengetahuan HIV dan AIDS, mencegah
penularan HIV, mempromosikan perubahan perilaku yang bertanggungjawab,

pengobatan ARV dan memastikan pemecahan berbagai masalah terkait dengan HIV
dan AIDS ( Depkes RI, 2006)
Layanan konseling dan testing HIV/AIDS sukarela dapat dilakukan di sarana
kesehatan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau masyarakat. Tujuan dari
layanan ini adalah sebagai upaya untuk menurunkan angka kematian HIV/AIDS
melalui peningkatan mutu pelayanan konseling dan testing HIV/AIDS sukarela dan
perlindungan bagi petugas layanan VCT dan klien. (Pedoman VCT,2006)
Pertambahan data kumulatif pengidap HIV/AIDS dan adanya penemuan kasus
HIV baru salah satunya disebabkan tingkat

kesadaran akan pentingnya arti

pemeriksaan diri ke pusat-pusat VCT pada berbagai rumah sakit dan puskesmas yang
ada dan adanya sosialisasi VCT ke kelompok-kelompok risiko tinggi baik oleh LSM
dan pemerintah. Jumlah kasus HIV yang ditemukan dari layanan VCT di Indonesia
pada triwulan ke 2 tahun 2011 yaitu sebanyak 6087 orang. (Kemenkes RI,2011)
Pada tahun 2011 rata-rata jumlah kunjungan pasien baru di klinik VCT RS
Wangaya Bali per hari 50-70 dan total kunjungan baru per bulan mencapai 200-300
pasien, dari total kunjungan baru tersebut 20- 30% positif HIV. Pasien datang ke
klinik VCT mengalami diare dan demam dalam waktu yang lama atau yang terkena

Tuberculosis dan ada juga yang datang secara sukarela karena mengetahui dirinya
memiliki faktor risiko tertular HIV.

Universitas Sumatera Utara

Hasil pelaksanaan layanan VCT di Provinsi Sumatera Utara tahun 2006-2012
menunjukkan kenaikan orang yang melakukan post test setelah melakukan kunjungan
untuk pertama kalinya. Dimana pada 75,5% pada tahun 2006 menjadi 95,5% pada
tahun 2012. Akan tetapi orang yang ditemukan HIV (+) tidak semuanya bersedia
datang kembali untuk mendapatkan terapi pengobatan. (Dinkes Provsu, 2013)
Di kota Medan terdapat 9 klinik VCT yang aktif pada tahun 2012 yaitu 4 di
rumah sakit masing-masing di RSUD Dr. Pirngadi, RS Haji, RS Bhayangkara, RS
Kesdam Putri Hijau, 4 klinik khusus yaitu di KKP Belawan, klinik Veteran, klinik
Bestari dan Rutan Tanjung Gusta serta di Puskesmas Teladan. Dari ke sembilan
tempat tersebut, jumlah pengunjung yang positif HIV ke klinik VCT di RSUD Dr.
Pirngadi adalah yang terbanyak (209 kasus), kemudian klinik VCT RS Bayangkara
(63 kasus) dan RS Kesdam Putri Hijau (41 kasus). (Dinkes Provsu, 2013)
Jumlah kunjungan di klinik VCT RSUD Dr. Pirngadi setiap tahun mengalami
peningkatan dimana pada tahun 2010 dari 1170 pasien yang melakukan kunjungan
ditemukan 124 kasus baru HIV (+) (insidens rate=IR = 10,59). Kemudian pada

tahun 2011 meningkat menjadi 1263 kunjungan dan 129 orang diantaranya HIV (+)
(IR = 10,21%). Jumlah ini meningkat tajam pada tahun 2012 yaitu sebanyak 209
kasus HIV(+) dari 1322 kunjungan (IR= 15,81%). Pada tahun 2013 jumlah kasus
baru HIV (+) yang ditemukan setiap bulan rata – rata 15 kasus dan 100 orang
melakukan kunjungan ulang untuk mendapatkan obat antiretroviral.(Catatan VCT
RSUD Pirngadi, 2013).

Universitas Sumatera Utara

Kunjungan ke klinik VCT dan IMS sangat erat kaitannya dengan berbagai
faktor perilaku individu. Ramandey (2007) dalam penelitiannya tentang perilaku
pencarian pengobatan terhadap infeksi menular seksual dan HIV-AIDS pada
perempuan pekerja seks jalanan (PPSJ) di kota Jayapura menemukan bahwa
pengetahuan dan sikap (predisposing factor) merupakan faktor yang berhubungan
terhadap perilaku pencarian pengobatan pada PPSJ ke fasilitas kesehatan (p

Dokumen yang terkait

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemanfaatan Layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT) pada Kelompok Risiko HIV/AIDS di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan

5 90 147

Karakteristik dan Cara Penularan Penderita HIV/AIDS yang Memanfaatkan Klinik Voluntary Counselling And Testing (VCT) Pusat Pelayanan Khusus (Pusyansus) RSUP H.Adam Malik Medan Tahun 2008

5 76 72

Peran Komunikasi Antar Pribadi Dalam Voluntary Counselling And Testing : (Studi Deskriptif Tentang Faktor Konsep Diri ODHA Setelah Melakukan Konseling dan Tes HIV di Klinik Voluntary Counselling and Testing RSU Pirngadi Medan)

1 64 100

HEALTH LITERACY KLIEN VOLUNTARY COUNSELLING AND TESTING (VCT) DI PUSKESMAS BANDARHARJO KOTA SEMARANG TAHUN 2014.

0 5 10

Keinginan Melakukan Voluntary Counselling And Testing (VCT) Pada Wanita Menikah Di Jatinangor.

1 2 9

Analisis Health Belief Model pada Pemanfaatan Pelayanan Klinik Voluntary Counselling and Testing (VCT) RSU Dr. Pirngadi Medan tahun 2013

0 0 16

Analisis Health Belief Model pada Pemanfaatan Pelayanan Klinik Voluntary Counselling and Testing (VCT) RSU Dr. Pirngadi Medan tahun 2013

1 1 2

Analisis Health Belief Model pada Pemanfaatan Pelayanan Klinik Voluntary Counselling and Testing (VCT) RSU Dr. Pirngadi Medan tahun 2013

1 1 21

Analisis Health Belief Model pada Pemanfaatan Pelayanan Klinik Voluntary Counselling and Testing (VCT) RSU Dr. Pirngadi Medan tahun 2013

0 1 3

Analisis Health Belief Model pada Pemanfaatan Pelayanan Klinik Voluntary Counselling and Testing (VCT) RSU Dr. Pirngadi Medan tahun 2013

1 1 22