Peran Komunikasi Antar Pribadi Dalam Voluntary Counselling And Testing : (Studi Deskriptif Tentang Faktor Konsep Diri ODHA Setelah Melakukan Konseling dan Tes HIV di Klinik Voluntary Counselling and Testing RSU Pirngadi Medan)

(1)

PERAN KOMUNIKASI ANTAR PRIBADI DALAM VOLUNTARY COUNSELLING AND TESTING

(Studi Deskriptif Tentang Faktor Konsep Diri ODHA Setelah Melakukan Konseling dan Tes HIV di Klinik Voluntary Counselling and Testing RSU Pirngadi Medan)

Diajukan Oleh:

RIZKA WANDARI NASUTION 0 6 0 9 2 2 0 0 4

PROGRAM EKSTENSI

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

ABSTRAKSI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh konselor dalam pembentukan konsep diri ODHA melalui konseling di Klinik Voluntary Counselling and Testing Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kuantitatif yaitu banyak dituntut menggunakan angka, mulai dari pengumpulan data, penafsiran terhadap data tersebut, serta penampilan dari hasilnya. Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu metode yang bertujuan untuk melukiskan secara sistematis fakta atau karakteristik populasi tertentu atau bidang tertentu secara faktual dan cermat.

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui penyebaran quesioner pada 47 klien klinik VCT dan melakukan wawancara pada tiga orang di antaranya untuk melengkapi penelitian. Kesemua responden adalah klien yang pernah berkunjung ke klinik VCT untuk melakukan konseling.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Komunikasi antarpribadi yang terjadi antara konselor dan klien ternyata sangat berpengaruh dalam pembentukan konsep diri ODHA. Selain mengandung ke lima unsur ; keterbukaan atau opennes; empati atau empathy; dukungan atau support; rasa positif atau positivenes; dan kesamaan atau equality, ternyata komunikasi ini dapat menumbuhkan lagi rasa percaya diri para klien. Shock, takut, sedih, dan cemas adalah perasaan yang dialami para ODHA ketika mereka mengetahui bahwa status mereka (+) HIV. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pemahaman dan informasi mengenai HIV/AIDS. Namun, sejalan dengan dilakukannya konseling mereka semakin banyak memperoleh informasi mengenai virus yang menginfeksi tubuh mereka. Bukan hanya sekedar informasi dari konselor saja yang mereka peroleh, tapi klinik VCT juga bekerja sama dengan beberapa LSM yang juga memberi dukungan dan informasi HIV/AIDS melalui para pendamping (Lay Support) nya. Dengan bertambahnya pemahaman mereka mengenai HIV/AIDS, semakin kuat pula keinginan mereka untuk hidup lebih baik dan menjadikan hidup lebih berarti.


(3)

KATA PENGANTAR

Bismillahhirrahmanirrahim

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Tak lupa pula shalawat berangkaikan salam penulis haturkan kepada junjungan alam Nabi Besar Muhammad Saw yang telah membawa manusia dari alam kebodohan ke alam yang berilmu pengetahuan.

Dalam penulisan ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa isi dari tulisan ini masih jauh dari sempurna. Hal ini disebabkan masih minimnya pengetahuan dan pengalaman penulis dalam mencari, mengumpulkan dan mengolah data-data penelitian. Meskipun demikian, penulis berusaha secara maksimal agar tulisan ini dapat tersusun sebaik mungkin. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis terbuka atas segala kritikan dan saran yang membangun dari pembaca, sebagai masukan untuk menyempurnakan tulisan ini.

Penyusunan skripsi ini sebagai tugas akhir penulis dimungkinkan berkat bantuan berbagai pihak. Maka sudah pada tempatnya bila penulis menyampaikan penghargaan dan rasa terima kasih yang tidak terhingga pada mereka. Pertama-tama, ucapan terima kasih penulis tujukan kepada Bapak Drs. Syafruddin Pohan, MSi yang telah banyak membimbing penulis dalam penyusunan skripsi ini. Selanjutnya, rasa terima kasih juga penulis sampaikan kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. M. Arif Nasution, M.A selaku Dekan FISIP USU


(4)

3. Bapak Drs. Mukti Sitompul, MSi, selaku Dosen Wali penulis

4. Dosen-dosen ilmu komunikasi FISIP USU serta Dosen-Dosen mata kuliah lainnya yang telah banyak membagi ilmunya kepada penulis.

5. Bapak Dr. Irwan Fahri Rangkuti, SpKK selaku Konsultan Klinik VCT dan Ibu Drg. Haleni Delfi selaku Koordinator Konselor Klinik yang dengan kerendahan hati menerima penulis di Klinik VCT dan mensuplai segala informasi yang penulis butuhkan.

6. Ibu Hj. Mariani Angkat, S.Psi, Ibu MR Antis Naibaho, dan Ibu Tiarma Manurung, S.Kep selaku Konselor dan Case Manager yang telah berkenan menyumbangkan opininya serta informasi-informasi yang berkenaan dengan masalah penelitian penulis.

7. Ika Noor Arbi selaku pegawai administrasi klinik VCT, terima kasih atas waktu dan tenaganya.

8. Ayahanda Irwan Dwanda Nasution, SH dan Ibunda Hj. Butet Marike tercinta atas doa restunya yang memberi kekuatan kepada penulis dalam menyusun skripsi ini. 9. Saudara-saudaraku tersayang, Wina Avina Nasution, Dinda Rizvina Nasution,

dan Haikal Afkar Nasution. Sepupu kecilku yang ter-cute Azita Yasirah dan yang paling manis dan centil Najla Yasmine.

10.Teman-teman ekstensi Ilmu Komunikasi stambuk 2006: K’Ulan, K’Na, K’Yuni, B’Boby, Mustafa, K’Rotua, K’Minar, Rina, Wina dan yang lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Atas dukungan dan perhatiannya yang memberi semangat kepada penulis saat menyusun skripsi ini.


(5)

12.Terima kasih yang mendalam juga penulis sampaikan kepada Wanda Kalalo, Novi Yulia Ningsih, dan Dr. Rezeki Sembiring, SpBS atas waktu, tenaga, dan buku-bukunya.

13.Buat teman-teman terbaikku, Tetty, Nanda, Lia, Sinta, Lanie, Vira, Rere, Abah, serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Namun, jasanya begitu berarti bagi penulis.

Kiranya Allah SWT membalas segala kebaikan yang telah kalian berikan. Akhirnya penulis mengharapkan semoga tulisan ini bermanfaat bagi para pembaca nantinya.

Medan, September 2008

NIM. 060922004 RizkaWandari Nasution


(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI ...i

KATA PENGANTAR ...ii

DAFTAR ISI ...v

DAFTAR TABEL ...viii

DAFTAR BAGAN ...x

BAB I : PENDAHULUAN ...1

I.1. Latar Belakang Masalah ...1

I.2. Perumusan Masalah ...7

I.3. Pembatasan Masalah ...7

I.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...8

I.5. Kerangka Teori ...9

I.6. Kerangka Konsep ...12

I.7. Operasionalisasi Variabel ...13

I.8. Definisi Operasional ...14

BAB II : URAIAN TEORITIS ...15

II.1. Pengertian Komunikasi...15

II.2. Teori Komunikasi Antarpribadi ...18

II.3. Teori Pengungkapan Diri (Self Disclosure) ...25

II.4. Konsep Diri ...31

BAB III : METODE PENELITIAN ...33


(7)

III.1.2. Klinik VCT RSU Dr. Pirngadi Kota Medan ...36

III.1.2.1. Konseling dan Testing HIV/AIDS Sukarela ..39

III.1.2.2 Tujuan Pelayanan Konseling dan Testing HIV/AIDS Secara Sukarela ...39

III.1.2.3. Peran Konseling dan Testing HIV/AIDS Secara Sukarela ...39

III.1.2.4. Prinsip Pelayanan Konseling dan Testing HIV/AIDS Secara Sukarela ...40

III.1.2.5. Model Pelayanan Konseling dan Testing HIV/AIDS Secara Sukarela ...41

III.1.2.6. Proses Konseling ...42

III.1.2.7. Konselor untuk Konseling dan Testing HIV/AIDS Secara Sukarela ...43

III.1.2.8. Sasaran Konseling dan Testing HIV/AIDS Secara Sukarela ...44

III.2. Metode Penelitian ...45

III.2.1. Lokasi Penelitian ...45

III.2.2. Metode Penelitian ...45

III.2.3. Populasi dan Sampel ...46

III.2.4. Teknik Pengumpulan Data ...47

III.2.5. Teknik Analisa Data ...49

BAB IV : ANALISA DAN INTERPRETASI DATA ...50


(8)

IV.2. Hasil Wawancara ...71

BAB 5 : KESIMPULAN DAN SARAN ...77

V.1. Kesimpulan ...77

V.2. Saran ...79

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(9)

DAFTAR TABEL

1. Kelompok Usia ...50

2. Jenis Kelamin ...50

3. Pekerjaan ...51

4. Penghasilan Per Bulan ...52

5. Keterbukaan Klien Pada Konselor ...52

6. Keterbukaan Konselor Pada Klien ...53

7. Kepercayaan Klien Pada Konselor ...54

8. Besar Kepercayaan Klien Pada Konselor ...55

9. Konselor Berempati Pada Klien ...55

10. Empati Konselor Berpengaruh Pada Klien Untuk Bercerita Secara Detail ...56

11. Konselor Memberi Dukungan ...57

12. Dukungan konselor Menambah Semangat Klien Beraktivitas ...57

13. Rasa Positif Klien Terhadap Dirinya Ketika Konseling ...58

14. Rasa Positif Klien Terhadap Konselor Ketika Konseling ...59

15. Klien Menyampaikan Permasalahan Dengan Cermat Sehingga Dapat Dipahami Konselor ...60

16. Kesamaan Kedudukan Antara Klien Dan Konselor ...61

17. Klien Merasa Nyaman Ketika Bercerita Pada Konselor ...61

18. Kesamaan Pandangan Antara Klien Dan Konselor ...62


(10)

20. Klien Menilai Dirinya Kurang Baik ...64

21. Orang Lain Juga Menilai Klien Kurang Baik ...64

22. Klien Menghargai Dirinya ...65

23. Orang Lain Juga Menghargai Klien ...66

24. Konseling Berpengaruh Terhadap Pembentukan Konsep Diri Klien...66

25. Selama Konseling Klien Menilai Dirinya Lebih Baik...67

26. Selama Konseling Orang Lain Juga Menilai Klien Lebih Baik ...68

27. Selama Konseling Klien Lebih Menghargai Dirinya ...69

28. Selama Konseling Orang Lain Juga Lebih Menghargai Klien ...69


(11)

DAFTAR BAGAN


(12)

ABSTRAKSI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh konselor dalam pembentukan konsep diri ODHA melalui konseling di Klinik Voluntary Counselling and Testing Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kuantitatif yaitu banyak dituntut menggunakan angka, mulai dari pengumpulan data, penafsiran terhadap data tersebut, serta penampilan dari hasilnya. Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu metode yang bertujuan untuk melukiskan secara sistematis fakta atau karakteristik populasi tertentu atau bidang tertentu secara faktual dan cermat.

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui penyebaran quesioner pada 47 klien klinik VCT dan melakukan wawancara pada tiga orang di antaranya untuk melengkapi penelitian. Kesemua responden adalah klien yang pernah berkunjung ke klinik VCT untuk melakukan konseling.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Komunikasi antarpribadi yang terjadi antara konselor dan klien ternyata sangat berpengaruh dalam pembentukan konsep diri ODHA. Selain mengandung ke lima unsur ; keterbukaan atau opennes; empati atau empathy; dukungan atau support; rasa positif atau positivenes; dan kesamaan atau equality, ternyata komunikasi ini dapat menumbuhkan lagi rasa percaya diri para klien. Shock, takut, sedih, dan cemas adalah perasaan yang dialami para ODHA ketika mereka mengetahui bahwa status mereka (+) HIV. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pemahaman dan informasi mengenai HIV/AIDS. Namun, sejalan dengan dilakukannya konseling mereka semakin banyak memperoleh informasi mengenai virus yang menginfeksi tubuh mereka. Bukan hanya sekedar informasi dari konselor saja yang mereka peroleh, tapi klinik VCT juga bekerja sama dengan beberapa LSM yang juga memberi dukungan dan informasi HIV/AIDS melalui para pendamping (Lay Support) nya. Dengan bertambahnya pemahaman mereka mengenai HIV/AIDS, semakin kuat pula keinginan mereka untuk hidup lebih baik dan menjadikan hidup lebih berarti.


(13)

B A B I PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Masalah

Secara sederhana komunikasi dapat dirumuskan sebagai proses pengoperan isi pesan berupa lambang-lambang dari komunikator kepada komunikan. Pengertian komunikasi menurut Dale Yoder, dkk (Surakhmat, 2006:17) dikutip dari www.wordpress.com/fag/interpersonal-communication/ - diakses 05 Mei 2008 : 22.55 WIB Communication is the interchange of information, ideas, attitudes, thoughts, and/or

opinions. Komunikasi adalah pertukaran informasi, ide, sikap, pikiran dan/atau pendapat.

Komunikasi mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari, sebagai medium bagi pembentukan atau pengembangan pribadi untuk kontak sosial. Melalui komunikasi seseorang tumbuh dan belajar, menemukan pribadi kita dan orang lain, kita bergaul, bersahabat, bermusuhan, mencintai, atau mengasihi orang lain, membenci orang lain dan sebagainya. Menurut Johnson (Supratiknya, 1995:9-10) komunikasi penting dilakukan dalam rangka menciptakan kebahagiaan hidup manusia. Pertama, komunikasi membantu perkembangan intelektual dan sosial kita. Kedua, identitas atau jati diri kita terbentuk dalam dan lewat komunikasi dengan orang lain. Ketiga, dalam rangka memahami reaitas di sekeliling kita serta menguji kebenaran kesan-kesan dan pengertian yang kita miliki tentang dunia di sekitar kita, kita perlu membandingkannya dengan kesan-kesan dan pengertian orang lain tentang realitas yang sama, tentu saja hal ini dapat kita lakukan lewat komunikasi dengan orang lain. Keempat, kesehatan mental kita sebagian besar juga ditentukan oleh kualitas komunikasi atau


(14)

hubungan kita dengan orang lain, terlebih lagi orang-orang yang merupakan tokoh-tokoh signifikan dalam hidup kita.

Kita membutuhkan konfirmasi dari orang lain, yaitu pengakuan berupa tanggapan dari orang lain yang menunjukkan bahwa diri kita normal, sehat dan berharga. Ada juga diskonfirmasi yang merupakan lawan dari konfirmasi, yaitu penolakan dari orang lain berupa tanggapan yang menunjukkan bahwa diri kita abnormal, tidak sehat dan tidak berharga. Semuanya itu hanya kita peroleh lewat komunikasi dengan orang lain.

Begitu juga halnya dengan para pengidap HIV/AIDS atau yang lebih dikenal dengan ODHA (Orang dengan HIV AIDS). Dengan penyakit yang dideritanya mereka terstigmatisasi menjadi seolah-olah berada dalam kenyataan yang memalukan atau namanya tercemar. Pada umumnya, mereka akan merubah persepsi tentang dirinya atau

self-image dan mendefinisikan diri sendiri sebagai orang yang menyimpang.

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menyebabkan penyakit AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). AIDS adalah bentuk lanjut dari infeksi HIV yang menyebabkan menurunnya daya tahan tubuh terhadap berbagai penyakit, dengan cara merusak sistem kekebalan tubuh dan akhirnya mengakibatkan kematian. Berbagai pendapat dan sikap timbul dalam menghadapi pandemi AIDS di dunia. Begitu cepatnya perkembangan penyakit itu sehingga seluruh dunia merasa ketakutan. Tentu saja orang yang merasa takut adalah orang yang merasa melakukan sesuatu yang memungkinkan tertularnya penyakit AIDS.

Kita sudah mengetahui bahwa penularan utama HIV ialah melalui kontak seksual dengan orang yang telah mengidap HIV, dan juga secara bergantian menggunakan jarum suntik pada penyalah guna narkotika, ataupun menerima transfusi darah yang sudah


(15)

tercemar HIV, bahkan ibu hamil pengidap HIV bisa menularkan pada bayi yang dikandungnya. Yang tidak kita ketahui adalah bahwa HIV/AIDS tidak menular melalui: 1. Bersalaman dengan ODHA

2. Tinggal serumah dengan ODHA 3. Berciuman

4. Makanan/makan bersama 5. Gigitan nyamuk

6. Alat makan

7. Renang bersama ODHA 8. Batuk/bersin

9. Air mata, Keringat 10.Sabun Mandi 11.WC/toilet

12.Pemakaian handuk/baju bergantian

Perlu diingat bahwa HIV dapat berada di dalam tubuh manusia jika masuk langsung ke aliran darah. Darah merupakan media penularan virus HIV yang sangat efektik.

Di antara empat kemungkinan penularan di atas, penularan melalui kontak seksual adalah yang paling sering terjadi. Cara penularan tersebut dapat dilakukan hampir setiap saat tanpa diketahui oleh orang lain, dan dengan semakin banyaknya penyimpangan norma-norma seksual, semakin besar pula kemungkinan tertular AIDS. Pola hidup yang demikian menyebabkan rasa takut terhadap kemungkinan tertular AIDS sehingga membuat sebagian orang menjadi panik, gelisah, sulit tidur, dan akhirnya tidak mampu bekerja atau melakukan kegiatan hidup lainnya.


(16)

Sebagian penderita AIDS akan mampu menerima dirinya sebagaimana adanya. Dengan kemampuan menerima diri dia juga akan berusaha sembuh dan berusaha pula untuk mencegah agar jangan menularkan penyakitnya kepada orang lain. Tetapi, pada sebagian penderita lainnya, mereka merasa dihukum oleh masyarakat, atau tidak mampu menerima penyakitnya. Mungkin mereka merasa bahwa sebenarnya mereka hanya melakukan suatu perbuatan dosa yang kecil, tetapi hukumannya begitu besar. Mungkin juga mereka merasa tidak berbuat sesuatu yang sangat terlarang tetapi mereka bisa mengidap penyakit demikian. Berbagai pemikiran dan perasaan seperti disebutkan di atas dapat mendorong penderita untuk tidak perduli akan penularan penyakitnya pada orang lain atau mungkin juga timbul perasaan bermusuhan sehingga bahkan berusaha untuk menularkannya. Juga kepribadian-kepribadian yang egoistis atau egosentrik yang tidak perduli pada orang-orang di sekitarnya dan hanya mementingkan diri sendiri dapat menyebabkan penderita HIV positif tidak dapat menahan diri untuk tidak menularkan penyakitnya.

Menurut Kepala Seksi Pencegahan Penyakit Menular Langsung H. Sukarni, SKM yang dikutip dari Harian Analisa, jumlah penderita HIV positif di Sumatera Utara sejak tahun 1994 hingga Februari 2008 berjumlah 724 kasus. Begitu juga jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS berdasarkan Kabupaten Kota di Sumatera Utara hingga Februari 2008 berjumlah 1218 kasus. Sementara itu telah ditemukan lagi 952 kasus HIV positif baru di Sumatera Utara. Melihat tingginya jumlah kasus HIV positif tersebut di atas maka masalah HIV/AIDS bukan hanya masalah kesehatan dari penyakit menular semata, tetapi sudah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang luas. Dengan semakin banyaknya ODHA maka layanan dan dukungan untuk mereka perlu dikembangkan. Salah satu


(17)

dukungan yang mereka butuhkan adalah dukungan psikososial. Dukungan ini penting bagi mereka yang memerlukan sahabat untuk mencurahkan permasalahannya. Mereka bisa mendapatkan dukungan ini di Klinik atau Rumah Sakit yang menyediakan layanan konseling dan tes HIV/AIDS sukarela.

Secara historis asal mula pengertian konseling adalah untuk memberi nasehat, seperti penasehat hukum ataupun penasehat perkawinan, yang menekankan pada nasehat (advise giving), mendorong, memberi informasi, menginterpretasi hasil tes, dan analisa psikologis. Milton E. Hahn (Willis, 2004:18) mengatakan bahwa konseling adalah suatu proses yang terjadi dalam hubungan seseorang dengan seseorang yaitu individu yang mengalami masalah yang tak dapat diatasinya, dengan seorang petugas profesional yang telah memperoleh latihan dan pengalaman untuk membantu agar klien mampu memecahkan kesulitannya.

Dalam hal ini, konseling yang dimaksud adalah layanan Voluntary Counselling

and Testing (VCT) yang merupakan pintu masuk untuk membantu setiap orang, baik

ODHA maupun OHIDA yang merasa curiga dirinya terinfeksi HIV/AIDS, untuk membantu setiap orang mendapatkan akses ke semua pelayanan, baik informasi, edukasi, terapi atau dukungan psikososial. Dengan terbukanya akses, maka kebutuhan akan informasi yang akurat dan tepat dapat dicapai, sehingga proses pikir, perasaan dan perilaku dapat di arahkan kepada perubahan perilaku yang lebih sehat. Proses konseling ini termasuk mengevaluasi resiko pribadi atas penularan HIV dan memfasilitasi perubahan perilaku untuk mencegah penularan. Perubahan perilaku seseorang dari beresiko menjadi kurang beresiko terhadap kemungkinan tertular HIV memerlukan bantuan perubahan emosional dan pengetahuan dalam suatu proses yang mendorong


(18)

nurani dan logika. Selain itu, diharapkan ODHA juga dapat merubah pandangan dan penilaian tentang dirinya secara pribadi maupun di mata masyarakat. Proses ini sangat unik dan membutuhkan pendekatan individual. Konseling merupakan salah satu pendekatan yang perlu dikembangkan untuk mengelola kejiwaan dan proses menggunakan pikiran secara mandiri.

Konseling yang dilakukan dalam VCT berperan sebagai komunikasi interpersonal yang di dalamnya terjadi sebuah dialog antara ODHA dengan seorang konselor yang bertujuan untuk memberdayakan orang untuk tegar dari stress dan membuat keputusan pribadi terkait HIV/AIDS. Sesuai dengan definisi komunikasi antar pribadi menurut De Vito (Liliweri, 1991:12), komunikasi antar pribadi merupakan pengiriman pesan-pesan dari seseorang dan diterima oleh orang yang lain, atau sekelompok orang dengan efek dan umpan balik yang langsung. Kebanyakan komunikasi interpersonal berbentuk verbal disertai ungkapan-ungkapan nonverbal dan dilakukan secara lisan.

Melalui layanan ini mereka bisa bercerita secara detail mengenai penyakit yang mereka idap sampai masalah-masalah yang disebabkannya kepada seorang konselor. Konselor inilah yang nantinya menanggapi dan memberikan beberapa pertanyaan berkaitan dengan penyakit mereka. Konselor sebagai komunikator dan klien sebagai komunikan bicara langsung bertatap muka tanpa adanya media, dengan adanya jawaban-jawaban dari klien berarti ada feedback atau umpan balik yang seketika. Dapat dilihat bahwa konseling ini merupakan komunikasi interpersonal yang dilakukan oleh konselor terhadap penderita HIV/AIDS. Oleh sebab itu, penulis tertarik memilih topik ini untuk dibahas dalam penelitiannya.


(19)

I.2. Perumusan Masalah

Setelah masalah penelitian ditentukan, langkah selanjutnya adalah membuat rumusan dgn jelas. Rumusan masalah harus dibuat secara jelas batasannya karena hal ini berguna bagi pelaksanaan penelitian. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka masalah dapat dirumuskan sebagai berikut:

“Bagaimana komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh konselor dalam pembentukan konsep diri ODHA melalui konseling yang dilakukan di Klinik Voluntary

Counselling and Testing Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan”.

I.3. Pembatasan Masalah

Untuk memperjelas dan membatasi ruang lingkup penelitian, diperlukan pembatasan masalah. Adapun pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah:

a. Subjek penelitian adalah klien (ODHA) yang berkunjung ke klinik Voluntary

Counselling and Testing RSU Pirngadi Medan untuk melakukan konseling secara

sukarela.

b. Penelitian bersifat deskriptif, yaitu metode yang bertujuan untuk melukiskan secara sistematis fakta atau karakteristik populasi tertentu atau bidang tertentu secara faktual dan cermat.

I.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

a. Tujuan penelitian ini adalah untuk :

1. Mengetahui komunikasi antar pribadi yang terjadi antara konselor dan klien dalam Voluntary Counselling and Testing (konseling dan tes sukarela HIV).


(20)

2. Mengetahui cara pelayanan yang tepat dalam usaha pembentukan konsep diri ODHA di Klinik Voluntary Counselling and Testing di Rumah Sakit Umum Pirngadi Medan.

b. Manfaat penelitian ini adalah:

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah pemahaman penulis mengenai komunikasi antar pribadi, khususnya komunikasi antar pribadi yang dilakukan antara konselor dan kliennya (ODHA) dalam usaha pembentukan konsep diri.

2. Secara akademis, penelitian ini dapat menambah khasanah bacaan di lingkungan FISIP USU khususnya jurusan ilmu komunikasi.

I.5. Kerangka Teori

Kerangka teori berfungsi untuk menguraikan teori, proposisi, konsep, atau pendekatan terbaru yang ada hubungannya dengan masalah penelitian. Dalam penelitian ini akan diuraikan teori-teori yang menyangkut isi penelitian di antaranya:

1. Komunikasi

Ilmu komunikasi mempelajari dan meneliti perubahan tingkah laku dan pendapat yang diakibatkan oleh informasi yang disampaikan oleh seseorang kepada orang lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Carl I. Hovland (Purba, dkk, 2006:29) yang mengatakan : “proses di mana seseorang (komunikator) menyampaikan perangsang-perangsang (biasanya lambang-lambang dalam bentuk kata-kata) untuk merubah tingkah laku orang lain (komunikan)”.


(21)

Dalam proses penyampaian pesan yang terjadi pada konseling ini membutuhkan keterbukaan diri dari kedua pihak, komunikator dan komunikan. Membuka diri adalah sebuah cara untuk memperoleh informasi tentang orang lain. Kita ingin agar kita mampu memprediksikan pemikiran dan tindakan-tindakan orang-orang yang sudah kita kenal. Membuka diri juga merupakan satu cara untuk mempelajari tentang apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh orang lain. Sekali seseorang terikat di dalam keterbukaan diri, secara tidak langsung orang lain juga akan mengungkap informasi pribadinya. Hal ini disebut juga sebagai norma timbal balik, maksudnya kita bisa melihat adanya umpan balik dalam proses ini. Adanya saling keterbukaan dalam sebuah hubungan bisa mempererat kepercayaan dan membantu setiap orang untuk saling memahami. Kita juga bisa merasa bahwa hubungan dan diri kita menjadi lebih baik ketika orang lain mau menerima atau mendengarkan apa yang kita katakan pada mereka.

Seperti yang dijelaskan dalam teori self-disclosure atau bisa diartikan sebagai teori keterbukaan diri. Teori ini diperkenalkan oleh Joseph Luft dan Harry Ingham (1969) yang menekankan bahwa setiap orang bisa mengetahui ataupun tidak mengetahui tentang dirinya maupun orang lain. Teori ini dilihat sebagai suatu strategi yang sangat berguna untuk berbagi informasi dengan orang lain. Berbagi informasi dengan orang lain yang mungkin belum pernah dikenal atau ditemui, bisa beresiko dan menyebabkan kerapuhan hati bagi seseorang ketika sedang berbagi informasi.

2. Komunikasi Antar Pribadi

Sebelum menganalisa lebih jauh mengenai komunikasi antar pribadi yang terjadi dalam konseling dan tes sukarela HIV/AIDS, ada baiknya jika kita mengetahui terlebih dahulu beberapa definisi komunikasi antar pribadi menurut para ahli. Menurut De Vito


(22)

(Liliweri, 1991:12), komunikasi antar pribadi merupakan pengiriman pesan-pesan dari seseorang dan diterima oleh orang yang lain, atau sekelompok orang dengan efek dan umpan balik yang langsung. De Vito juga mengemukakan suatu komunikasi antar pribadi mengandung ciri-ciri; 1) keterbukaan atau openes; 2) empati atau empathy; 3) dukungan atau support; 4) rasa positif atau positivenes; dan 5) kesamaan atau equality.

Sementara itu menurut Dean C. Barnlund (Liliweri, 1991:12), mengemukakan bahwa komunikasi antar pribadi biasanya dihubungkan dengan pertemuan antar dua orang atau tiga orang atau mungkin empat orang yang terjadi secara sangat spontan dan tidak berstruktur. Ada juga definisi lain menurut Rogers dalam Depari (Liliweri, 1991:12), mengemukakan bahwa komunikasi antar pribadi merupakan komunikasi dari mulut ke mulut yang terjadi dalam interaksi tatap muka antara beberapa pribadi. Pendapat lain dari Tan (Liliweri, 1991:12), mengatakan bahwa interpersonal communication (komunikasi antar pribadi) adalah komunikasi tatap muka antar dua orang atau lebih.

3. Konsep Diri

Konsep diri menurut definisi William D. Brooks (Rakhmat, 1997:99) adalah

“those physical, social, and psychological perceptions of ourselves that we have derived from experiences and our interaction with others”. Jadi, konsep diri adalah pandangan

dan perasaan kita tentang diri kita. Persepsi tentang diri ini boleh bersifat psikologi, sosial, dan fisis. Konsep diri bukan hanya sekadar gambaran deskriptif, tetapi juga penilaian kita tentang diri kita. Seperti yang diungkapkan oleh Anita Taylor et al (Rakhmat, 1997:100) bahwa konsep diri adalah “all you think and feel about, the entire


(23)

complex of beliefs and attitudes you hold about yourself”. Jadi, konsep diri meliputi apa

yang kita pikirkan dan apa yang kita rasakan tentang diri kita.

Dengan demikian, ada dua komponen konsep diri, yaitu komponen kognitif dan komponen afektif. Dalam psikologi sosial, komponen kognitif disebut citra diri (self image), dan komponen afektif disebut harga diri (self esteem). Keduanya, menurut Wiliam D. Brooks dan Phillip Emmert (Rakhmat, 1999:100) berpengaruh besar pada pola komunikasi interpersonal.

I.6. Kerangka Konsep

Adapun kerangka konsep yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah: a. Komunikasi Antar Pribadi, indikatornya:

1. Keterbukaan 2. Empati 3. Dukungan 4. Rasa positif 5. Kesamaan

b. Konsep Diri, indikatornya: 1. Citra diri (self image) 2. Harga diri (self esteem)

c. Karakteristik Responden, indikatornya: 1. Usia

2. Jenis Kelamin 3. Pekerjaan


(24)

8. Operasionalisasi Variabel

Berdasarkan kerangka konsep di atas, untuk lebih memudahkan operasionalisasi pemecahan masalah maka perlu dibuat operasionalisasi variabel, sebagai berikut:

Variabel Teoritis Variabel Operasional

1. Komunikasi Antar Pribadi

2. Konsep Diri

3. Karakteristik Responden

a. Keterbukaan b. Empati c. Dukungan d. Rasa positif e. Kesamaan

a. Citra diri (self image) b. Harga diri (self esteem)

a. Usia

b. Jenis kelamin c. Pekerjaan d. Penghasilan


(25)

I.8. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah petunjuk pelaksanaan bagaimana caranya mengukur suatu variabel. Untuk memperjelas uraian dalam tulisan ini, penulis memberikan penjelasan atas istilah operasional:

1. Keterbukaan, adalah menaruh kepercayaan kepada orang lain atau pendengar yang kita ajak bicara.

2. Empati, adalah keadaan mental yang mempengaruhi jiwa seseorang sehingga menganggap pikirannya sama dengan pikiran orang lain.

3. Dukungan, adalah dorongan moril dalam hal mewujudkan komunikasi interpersonal 4. Rasa positif, adalah keyakinan bahwa telah melakukan persepsi dengan cermat dan

mengungkapkan petunjuk-petunjuk yang membuat orang lain menafsirkan kita dengan cermat pula.

5. Kesamaan, maksudnya adalah kesamaan kedudukan antara klien dan konselor agar terwujud komunikasi interpersonal yang lebih terbuka.

6. Citra diri, yaitu gambaran pribadi yang dimiliki setiap orang tentang dirinya sendiri. 7. Harga diri, yaitu nilai, martabat atau kehormatan seseorang.

8. Karakteristik responden adalah nilai-nilai yang dimiliki oleh seseorang yang dapat membedakannya dengan orang lain.


(26)

B A B I I URAIAN TEORITIS

II.1. Pengertian Komunikasi

Komunikasi adalah suatu proses penyampaian pesan (ide, gagasan) dari satu pihak kepada pihak lain agar terjadi saling mempengaruhi diantara keduanya. Pada umumnya, komunikasi dilakukan dengan menggunakan kata-kata (lisan) yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak. Apabila tidak ada bahasa verbal yang dapat dimengerti oleh keduanya, komunikasi masih dapat dilakukan dengan menggunakan gerak-gerik badan, menunjukkan sikap tertentu, misalnya tersenyum, menggelengkan kepala, mengangkat bahu. Cara seperti ini disebut komunikasi dengan bahasa nonverbal.

Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication berasal dari kata Latin communicatio, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama atau sama makna (Effendy, 1990:9). Sama makna yang dimaksudkan adalah selain mengerti bahasa yang digunakan dalam suatu percakapan kita juga harus mengerti makna dari bahan yang dipercakapkan. Jika selama percakapan berlangsung tercapai kesamaan makna tersebut, maka percakapan itu bisa dikatakan komunikatif.

Proses komunikasi pada hakikatnya adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan oleh komunikator kepada komunikan. Pikiran bisa merupakan gagasan, informasi, opini, dan lain-lain yang muncul dari benaknya. Perasaan bisa berupa keyakinan, keragu-raguan, kekhawatiran, kemarahan, kegairahan, dan sebagainya yang timbul dari lubuk hati. Proses komunikasi terbagi menjadi dua tahap (Effendy, 1990:11), yaitu:


(27)

a. Proses komunikasi secara primer

Proses komunikasi secara primer adalah proses penyampaian pikiran dan atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang atau simbol sebagai media. Lambang sebagai media primer dalam proses komunikasi adalah bahasa, gesture, isyarat, gambar, warna, dan lain sebagainya yang secara langsung dapat menterjemahkan pikiran dan atau perasaan komunikator kepada komunikan.

b. Proses komunikasi secara sekunder

Proses komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai lambang sebagai media pertama. Pentingnya peranan media sekunder dalam proses komunikasi disebabkan oleh efisiensinya dalam mencapai komunikan. Akan tetapi, para ahli komunikasi mengakui bahwa keefektifan dan efisiensi komunikasi bermedia hanya dalam menyebarkan pesan-pesan yang bersifat informatif saja.

Selanjutnya, ada lima faktor yang mempengaruhi proses komunikasi menurut William G. Scott (Suprapto, 2006:7), yakni:

1. The Act (Perbuatan)

Perbuatan komunikasi menginginkan pemakaian lambang-lambang yang dapat dimengerti secara baik dan hubungan-hubungan yang dilakukan oleh manusia. Pada umumnya lambang-lambang tersebut dinyatakan dengan bahasa atau dalam keadaan tertentu tanda-tanda lain dapat pula dipergunakan.

2. The Scene (Adegan)

Adegan sebagai salah satu faktor dalam komunikasi ini menekankan hubungannya dengan lingkungan komunikasi. Adegan ini menjelaskan apa yang


(28)

dilakukan, simbol apa yang digunakan, dan arti dari apa yang dikatakan. Dengan kata lain, dengan menggunakan simbol apa sesuatu itu dapat dikomunikasikan.

3. The Agent (Pelaku)

Individu-individu yang mengambil bagian dalam hubungan komunikasi disebut pelaku komunikasi. Pengirim (komunikator) dan penerima (komunikan) yang terlibat di dalamnya adalah contoh pelaku komunikasi tersebut. Dan peranannya seringkali saling menggantikan dalam situasi komunikasi yang berkembang.

4. The Agency (Perantara)

Alat-alat yang dipergunakan dalam komunikasi dapat membangun terwujudnya perantara itu (the agency). Alat-alat itu selain dapat berwujud komunikasi lisan, tatap muka, dapat juga alat komunikasi tertulis, seperti surat perintah, memo, buletin, nota, surat tugas dan jenis lainnya.

5. The Purpose (Tujuan)

Menurut Grace dalam Thoha (Suprapto, 2006:8) ada empat macam tujuan tersebut:

Tujuan Fungsional (The Functional Goals), ialah tujuan yang secara pokok bermanfaat untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi atau lembaga.

Tujuan Manipulasi (The Manipulative Goals), tujuan ini dimaksudkan untuk menggerakkan orang-orang yang mau menerima ide-ide yang disampaikan baik sesuai atau tidak sesuai dengan nilai dan sikapnya sendiri.

Tujuan Keindahan (The Aesthetics Goals), tujuan ini bermaksud untuk menciptakan tujuan-tujuan yang bersifat kreatif. Komunikasi ini dipergunakan


(29)

untuk memungkinkan seseorang mampu mengungkapkan perasaan tadi dalam kenyataan.

Tujuan Keyakinan (The Confidence Goals), tujuan ini bermaksud untuk meyakinkan atau mengembangkan keyakinan orang-orang pada lingkungan.

Wilbur Schramm (Effendy, 1990:13) menyatakan bahwa komunikasi akan berhasil apabila pesan yang disampaikan oleh komunikator cocok dengan kerangka acuan (frame of reference), yakni paduan pengalaman dan pengertian (collection of experiences

and meanings) yang pernah diperoleh komunikan. Menurut Schramm, bidang

pengalaman (field of experience) merupakan faktor yang penting dalam komunikasi. Jika bidang pengalaman komunikator sama dengan bidang pengalaman komunikan, komunikasi akan berlangsung lancar. Sebaliknya, bila pengalaman komunikan tidak sama dengan komunikator akan timbul kesukaran untuk mengerti satu sama lain.

II.2. Teori Komunikasi Antarpribadi

Menurut Dean C. Barnlund (Liliweri, 1991:12), mengemukakan bahwa komunikasi antar pribadi biasanya dihubungkan dengan pertemuan antar dua orang atau tiga orang atau mungkin empat orang yang terjadi secara sangat spontan dan tidak berstruktur. Ada juga definisi lain menurut Rogers dalam Depari (Liliweri, 1991:12), mengemukakan bahwa komunikasi antar pribadi merupakan komunikasi dari mulut ke mulut yang terjadi dalam interaksi tatap muka antara beberapa pribadi. Pendapat lain dari Tan (Liliweri, 1991:12), mengatakan bahwa interpersonal communication (komunikasi antar pribadi) adalah komunikasi tatap muka antar dua orang atau lebih.


(30)

Sementara itu de Vito (Liliweri, 1991:12), komunikasi antar pribadi merupakan pengiriman pesan-pesan dari seseorang dan diterima oleh orang yang lain, atau sekelompok orang dengan efek dan umpan balik yang langsung. De Vito juga mengemukakan suatu komunikasi antar pribadi mengandung ciri-ciri; 1) keterbukaan atau opennes; 2) empati atau empathy; 3) dukungan atau support; 4) rasa positif atau

positivenes; dan 5) kesamaan atau equality.

Setelah kita memahami pengertian komunikasi antarpribadi, dalam perjalanannya antara komunikasi antarpribadi kepada sebuah konsep diri sebaiknya kita memberikan sedikit pemaparan tentang ciri komunikasi antarpribadi yang efektif menurut de Vito: 1. Keterbukaan (Opennes)

Sikap keterbukaan paling tidak menunjuk pada dua aspek dalam komunikasi antarpribadi. Pertama, kita harus terbuka pada orang lain yang berinteraksi dengan kita, yang penting adalah adanya kemauan untuk membuka diri pada masalah-masalah yang umum agar orang lain mampu mengetahui pendapat, gagasan, atau pikiran kita, sehingga komunikasi akan mudah dilakukan. Kedua, dari keterbukaan menunjuk pada kemauan kita untuk memberikan tanggapan terhadap orang lain secara jujur dan terus terang terhadap segala sesuatu yang dikatakannya.

2. Empati (Empathy)

Empati adalah kemampuan seseorang untuk menempatkan dirinya pada posisi atau peranan orang lain. Dalam arti bahwa seseorang secara emosional ataupun intelektual mampu memahami apa yang dirasakan dan dialami oleh orang lain.


(31)

3. Dukungan (Support)

Setiap pendapat, ide, atau gagasan yang disampaikan mendapat dukungan dari pihak-pihak yang berkomunikasi. Dengan demikian keinginan atau hasrat yang ada dimotivasi untuk mencapainya. Dukungan membantu seseorang untuk lebih bersemangat dalam melaksanakan aktivitas serta meraih tujuan yang didambakan.

4. Rasa Positif (positivnes)

Jika setiap pembicaraan yang disampaikan mendapat tanggapan pertama yang positif, maka lebih mudah melanjutkan percakapan yang selanjutnya. Rasa positif menghindarkan pihak-pihak yang berkomunikasi untuk curiga atau berprasangka yang mengganggu jalinan interaksi.

5. Kesamaan (Equality)

Suatu komunikasi lebih akrab dan jalinan antarpribadi pun lebih kuat, apabila memiliki kesamaan tertentu seperti kesamaan pandangan, kesamaan sikap, kesamaan usia, kesamaan idiologi dan sebagainya.

Komunikasi antarpribadi merupakan kegiatan yang dinamis. Dengan tetap memperhatikan kedinamisannya, komunikasi antarpribadi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut (Hardjana, 2003:86):

1. Komunikasi antarpribadi adalah verbal dan nonverbal

Komunikasi antarpribadi adalah komunikasi yang pesannya dikemas dalam bentuk verbal atau nonverbal. Dalam komunikasi itu, seperti pada komunikasi umumnya, selalu mencakup dua unsur pokok: isi pesan dan bagaimana isi itu dikatakan atau dilakukan, baik secara verbal maupun nonverbal. Untuk efektifnya, kedua unsur itu


(32)

sebaiknya diperhatikan dan dilakukan berdasarkan pertimbangan situasi, kondisi, dan keadaan penerima pesannya.

2. Komunikasi antarpribadi mencakup perilaku tertentu

Ada tiga perilaku dalam komunikasi antarpribadi, yakni:

a. Perilaku spontan (spontaneus behavior) adalah perilaku yang dilakukan karena desakan emosi dan tanpa sensor serta revisi secara kognitif. Artinya, perilaku itu terjadi begitu saja.

b. Perilaku menurut kebiasaan (script behavior) adalah perilaku yang kita pelajari dari kebiasaan kita. Perilaku itu khas, dilakukan pada situasi tertentu, dan dimengerti orang. Misalnya: ucapan “selamat datang” pada teman yang datang.

c. Perilaku sadar (contrived behavior) adalah perilaku yang dipilih karena dianggap sesuai dengan situasi yang ada. Perilaku itu dipikirkan dan dirancang sebelumnya, dan disesuaikan dengan orang yang akan dihadapi, dan situasi serta kondisi yang ada. 3. Komunikasi antarpribadi adalah komunikasi yang berproses pengembangan

Komunikasi antarpribadi berbeda-beda tergantung dari tingkat hubungan pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi, pesan yang dikomunikasikan, dan cara pesan disampaikan. Komunikasi itu berkembang berawal dari saling pengenalan yang dangkal, berlanjut makin mendalam, dan berakhir dengan saling kenal yang amat mendalam, tetapi bisa juga putus sampai akhirnya saling melupakan.

4. Komunikasi antarpribadi mengandung umpan balik, interaksi, dan koherensi

Kemungkinan umpan balik (feed back) dalam komunikasi antarpribadi besar sekali. Dalam komunikasi ini, penerima pesan dapat langsung menanggapi dengan menyampaikan umpan balik. Dengan demikian, di antara pengirim dan penerima pesan


(33)

terjadi interaksi (interaction) yang satu mempengaruhi yang lain, dan kedua-duanya saling mempengaruhi dan memberi serta menerima dampak. Dari sini terjadilah koherensi dalam komunikasi baik antara pesan yang disampaikan dan umpan balik yang diberikan, maupun dalam keseluruhan komunikasi.

5. Komunikasi antarpribadi berjalan menurut peraturan tertentu

Agar berjalan baik, maka komunikasi antarpribadi hendaknya mengikuti peraturan (rules) tertentu. Peraturan itu ada yang intrinsik dan ada yang ekstrinsik. Peraturan intrinsik adalah peraturan yang dikembangkan oleh masyarakat untuk mengatur cara orang harus berkomunikasi satu sama lain. Sedangkan peraturan ekstrinsik adalah peraturan yang ditetapkan oleh situasi atau masyarakat.

6. Komunikasi antarpribadi adalah kegiatan aktif

Komunikasi antarpribadi bukan hanya komunikasi dari pengirim kepada penerima pesan dan sebaliknya, melainkan komunikasi timbal balik antara pengirim dan penerima pesan. Komunikasi ini bukan sekedar serangkaian rangsangan-tanggapan, stimulus-respons, tetapi serangkaian proses saling penerimaan, penyerapan, dan penyampaian tanggapan yang sudah diolah oleh masing-masing pihak.

7. Komunikasi antarpribadi saling mengubah

Melalui interaksi dalam komunikasi, pihak-pihak yang terlibat di dalamnya dapat saling memberi inspirasi, semangat dan dorongan untuk mengubah pemikiran, perasaan, dan sikap yang sesuai dengan topik yang dibahas bersama. Oleh sebab itu, komunikasi ini merupakan wahana untuk saling belajar dan mengembangkan wawasan, pengetahuan, dan kepribadian.


(34)

Kemudian Hardjana (2003:91) juga menyatakan agar komunikasi antarpribadi berhasil, kita perlu memiliki kecakapan (skill) komunikasi antarpribadi baik sosial maupun behavioral. Kecakapan sosial adalah kecakapan pada tingkat pemahaman (kognitif), yang meliputi:

a. Empati (empathy), kecakapan untuk memahami pengertian dan perasaan orang lain tanpa meninggalkan sudut pandang sendiri tentang hal yang menjadi bahan komunikasi.

b. Perspektif sosial (social perspective), kecakapan melihat kemungkinan-kemungkinan perilaku yang dapat diambil orang yang berkomunikasi dengan dirinya. Dengan demikian kita dapat meramalkan perilaku apa yang sebaiknya diambil dan dapat menyiapkan tanggapan kita yang tepat dan efektif.

c. Kepekaan (sensitivity) terhadap peraturan atau standar yang berlaku dalam komunikasi antarpribadi. Dengan kepekaan itu kita dapat menetapkan perilaku mana yang diteima dan perilaku mana yang ditolak oleh rekan yang berkomunikasi dengan kita.

d. Pengetahuan akan situasi pada waktu berkomunikasi. Pengetahuan akan situasi dan keadaan orang merupakan pegangan bagaimana kita harus berperilaku dalam situasi itu. Berdasarkan pengetahuan akan situasi, kita dapat menetapkan kapan dan bagaimana masuk dalam percakapan, menilai isi dan cara berkomunikasi pihak yang berkomunikasi dengan kita, dan selanjutnya mengolah pesan yang kita terima.

e. Memonitor diri (self-monitoring), kecakapan memonitor diri membantu kita menjaga ketepatan perilaku dan jeli memperhatikan pengungkapan diri orang yang berkomunikasi dengan kita.


(35)

Sedangkan kecakapan behavioral merupakan kecakapan pada tingkat perilaku, yang meliputi:

1. Keterlibatan interaktif (interactive involvement), yang menentukan keikutsertaan dan partisipasi kita dalam komunikasi dengan orang lain, meliputi:

a. Sikap tanggap (responsiveness), dengan sikap ini kita dengan cepat akan membaca situasi sosial di mana kita berada dan tahu apa yang harus dikatakan, dilakukan, kapan dikatakan dan dilakukan, serta bagaimana dikatakan dan dilakukan.

b. Sikap perseptif (perceptiveness), dengan kecakapan ini kita dibantu untuk memahami bagaimana orang yang berkomunikasi dengan kita mengartikan perilaku kita dan tahu bagaimana kita mengartikan perilakunya.

c. Sikap penuh perhatian (attentiveness), kecakapan ini membantu kita untuk menyadari faktor-faktor yang menciptakan situasi di mana kita berada.

2. Manajemen interaksi (interaction management), kecakapan itu membantu kita mampu mengambil tindakan-tindakan yang berguna bagi kita untuk mencapai tujuan komunikasi kita. Misalnya, kapan mengambil inisiatif untuk mengawali topik baru, dan kapan mengikuti saja topik yang dikemukakan orang lain.

3. Keluwesan perilaku (behavioral flexibility), kecakapan ini membantu kita untuk melaksanakan berbagai kemungkinan perilaku yang dapat diambil untuk mencapai tujuan komunikasi.

4. Mendengarkan (listening), kecakapan ini membantu kita untuk dapat mendengarkan orang yang berkomunikasi dengan kita tidak hanya isi, tetapi juga perasaan, keprihatinan, dan kekhawatiran yang menyertainya. Sehingga kita menjadi rekan


(36)

komunikasi yang baik karena membuat orang tersebut merasa diterima, dan kita dapat menanggapinya dengan baik.

5. Gaya sosial (social style), kecakapan ini membantu kita dapat berperilaku menarik, khas, dan dapat diterima oleh orang yang berkomunikasi dengan kita.

6. Kecemasan komunikasi (communication anxiety), dengan kecakapan ini kita dapat mengatasi rasa takut, bingung, dan kacau pikiran, tubuh gemetar, dan rasa demam panggung yang muncul dalam komunikasi dengan orang lain.

II.3. Teori Pengungkapan Diri (Self Disclosure)

Membuka diri adalah sebuah cara untuk memperoleh informasi tentang orang lain. Kita ingin agar kita mampu memprediksikan pemikiran dan tindakan-tindakan orang-orang yang sudah kita kenal. Membuka diri juga merupakan satu cara untuk mempelajari tentang apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh orang lain. Sekali seseorang terikat di dalam keterbukaan diri, secara tidak langsung orang lain juga akan mengungkap informasi pribadinya. Hal ini disebut juga sebagai norma timbal balik, maksudnya kita bisa melihat adanya umpan balik dalam proses ini. Adanya saling keterbukaan dalam sebuah hubungan bisa mempererat kepercayaan dan membantu setiap orang untuk saling memahami. Kita juga bisa merasa bahwa hubungan dan diri kita menjadi lebih baik ketika orang lain mau menerima atau mendengarkan apa yang kita katakan pada mereka.

Menurut Morton (Dayaksini, et al, 2003:87) pengungkapan diri merupakan kegiatan membagi perasaan dan informasi yang akrab dengan orang lain. Informasi di dalam pengungkapan diri ini bersifat deskriptif atau evaluatif. Deskriptif artinya individu melukiskan berbagai fakta mengenai diri sendiri yang mungkin belum diketahui oleh


(37)

pendengar seperti jenis pekerjaan, alamat dan usia. Sedangkan evaluatif artinya individu mengemukakan pendapat atau perasaan pribadinya seperti tipe orang yang kita sukai atau hal-hal yang kita suka i atau kita benci.

Pengungkapan ini dapat berupa berbagai topik seperti informasi perilaku, sikap, perasaan, keinginan, motivasi dan ide yang sesuai dan terdapat di dalam diri orang yang bersangkutan. Kedalaman dari pengungkapan diri seseorang tergantung pada situasi dan orang yang diajak untuk berinteraksi. Jika orang yang berinteraksi dengan kita menyenangkan dan membuat kita merasa aman serta dapat membangkitkan semangat maka kemungkinan bagi kita untuk lebih membuka diri amatlah besar. Sebaliknya pada beberapa orang tertentu kita dapat saja menutup diri karena merasa kurang percaya, seperti pernyataan de Vito (Dayaksini, et al, 2003:88).

Seperti yang dijelaskan dalam teori self-disclosure atau bisa diartikan sebagai teori keterbukaan diri, yang menekankan bahwa setiap orang bisa mengetahui ataupun tidak mengetahui tentang dirinya maupun orang lain. Teori ini dilihat sebagai suatu strategi yang sangat berguna untuk berbagi informasi dengan orang lain. Berbagi informasi dengan orang lain yang mungkin belum pernah dikenal atau ditemui, bisa beresiko dan menyebabkan kerapuhan hati bagi seseorang ketika sedang berbagi informasi.

Johari window atau lebih lanjut disebut juga jendela Johari, nama ini berasal dari

para penemunya, yakni Joseph Luft dan Harry Ingham. Teori ini adalah salah satu model yang paling berguna untuk menggambarkan proses interaksi antar manusia. Sebuah “jendela” berkaca empat yang membagi kewaspadaan pribadi ke dalam empat jenis yang berbeda, seperti yang diwakili oleh keempat kuadrannya; terbuka, buta, tersembunyi dan


(38)

tidak dikenal. Garis-garis yang membagi keempat kuadran tersebut terlihat seperti bidang jendela, yang dapat bergeser ketika sebuah interaksi mengalami kemajuan.

Hubungan antara konsep diri dan membuka diri dapat dijelaskan dengan Jendela Johari. Dalam gambar Jendela Johari berikut ini diungkapkan tingkat keterbukaan dan tingkat kesadaran diri kita (Rakhmat, 1997:108).

Kita ketahui Tidak kita ketahui Orang lain tahu (publik)

Orang lain tidak tahu (privat)

Johari melukiskan bahwa dalam pengembangan hubungan antar manusia terdapat empat kemungkinan sebagai mana terwakili melalui suasana di keempat bidang (jendela).

• Jendela 1, melukiskan suatu kondisi di mana antara seseorang dengan yang lain mengembangkan suatu hubungan yang terbuka sehingga dua pihak saling mengetahui masalah tentang hubungan mereka.

• Jendela 2, melukiskan bidang buta,masalah hubungan antara kedua pihak yang hanya diketahui orang lain, tapi tidak diketahui diri sendiri.

• Jendela 3, disebut bidang tersembunyi, yakni masalah hubungan antara kedua pihak diketahui diri sendiri tetapi tidak diketahui orang lain.

• Jendela 4, bidang tidak dikenal, di mana kedua pihak sama-sama tidak mengetahui masalah hubungan di antara mereka.

Menurut Powell (Dayaksini, et al, 2003:89) terdapat tingkatan-tingkatan yang berbeda dalam pengungkapan diri, yaitu:

1. Terbuka 2. Buta


(39)

1. Basa-basi, merupakan taraf pengungkapan diri yang paling lemah atau dangkal, walaupun terdapat keterbukaan di antara individu, tetapi tidak terjadi hubungan antarpribadi. Masing-masing individu berkomunikasi basa-basi sekedar kesopanan. 2. Membicarakan orang lain, yang diungkapkan dalam komunikasi hanyalah tentang

orang lain atau hal-hal yang di luar dirinya. Walaupun pada tingkat ini isi komunikasi lebih mendalam tetapi pada tingkat ini individu tidak mengungkapkan diri.

3. Menyatakan gagasan atau pendapat, pada tingkat ini sudah mulai dijalin hubungan yang erat. Individu mulai mengungkapkan dirinya kepada individu lain.

4. Perasaan, setiap individu dapat memiliki gagasan atau pendapat yang sama tetapi perasaan atau emosi yang menyertai gagasan atau pendapat setiap individu berbeda-beda. Setiap hubungan yang menginginkan pertemuan antarpribadi yang sungguh-sungguh, haruslah didasarkan atas hubungan yang jujur, terbuka dan menyatakan perasaan-perasaan yang mendalam.

5. Hubungan puncak, pada tingkat ini pengungkapan diri telah dilakukan secara mendalam, individu yang menjalin hubungan antarpribadi dapat menghayati perasaan yang dialami individu lainnya. Segala persahabatan yang mendalam dan sejati haruslah berdasarkan pada pengungkapan diri dan kejujuran yang mutlak.

Selanjutnya Derlega dan Grzelak (Dayaksini, et al, 2003:90) mengungkapkan ada lima fungsi pengungkapan diri, yang meliputi:

1. Ekspresi (expression)

Dalam kehidupan ini terkadang kita mengalami suatu kekecewaan atau kekesalan, baik itu yang menyangkut pekerjaan ataupun yang lainnya. Untuk membuang semua kekesalan itu biasanya kita akan merasa senang bila bercerita pada seorang teman yang


(40)

sudah kita percaya. Dengan pengungkapan diri semacam ini kita mendapat kesempatan untuk mengekspresikan perasaan kita.

2. Penjernihan diri (self-clarification)

Dengan saling berbagi rasa serta menceritakan perasaan dan masalah yang kita hadapi kepada orang lain, kita berharap agar dapat memperoleh penjelasan dan pemahaman orang lain akan masalah yang kita hadapi, sehingga pikiran kita akan menjadi lebih jernih dan kita dapat melihat duduk persoalannya dengan lebih baik.

3. Keabsahan sosial (social validation)

Setelah kita selesai membicarakan masalah yang sedang kita hadapi, biasanya pendengar kita akan memberikan tanggapan mengenai permasalahan tersebut. Sehingga dengan demikian, kita akan mendapatkan suatu informasi yang bermanfaat tentang kebenaran akan pandangan kita. Kita dapat memperoleh dukungan atau sebaliknya.

4. Kendali sosial (social control)

Seseorang dapat mengemukakan atau menyembunyikan informasi tentang keadaan dirinya yang dimaksudkan untuk mengadakan kontrol sosial, misalnya orang akan mengatakan sesuatu yang dapat menimbulkan kesan baik tentang dirinya.

5. Perkembangan hubungan (relationship development)

Saling berbagi rasa dan informasi tentang diri kita kepada orang lain serta saling mempercayai merupakan saran yang paling penting dalam usaha merintis suatu hubungan sehingga akan semakin meningkatkan derajat keakraban.

Pengungkapan diri kadang-kadang menimbulkan bahaya, seperti resiko adanya penolakan atau dicemooh orang lain, bahkan dapat menimbulkan kerugian material. Untuk itu, kita harus mempelajari secara cermat konsekuensi-konsekuensinya sebelum


(41)

memutuskan untuk melakukan pengungkapan diri. Oleh sebab itu, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pengungkapan diri menurut de Vito (Dayaksini, et al, 2003:91) :

a. Motivasi melakukan pengungkapan diri

Pengungkapan diri haruslah didorong oleh rasa berkepentingan terhadap hubungan dengan orang lain dan diri sendiri. Sebab pengungkapan diri tidak hanya bersangkutan dengan diri kita saja, tetapi juga bersangkutan dengan orang lain. Kadang-kadang keterbukaan yang kita ungkapkan dapat saja melukai perasaan orang lain.

b. Kesesuaian dalam pengungkapan diri

Dalam melakukan pengungkapan diri haruslah disesuaikan dengan keadaan lingkungan. Pengungkapan diri haruslah dilakukan pada waktu dan tempat yang tepat. Misalnya, bila kita ingin mengungkapkan sesuatu pada orang lain maka kita haruslah bisa melihat apakah waktu dan tempatnya sudah tepat.

c. Timbal balik dari orang lain

Selama melakukan pengungkapan diri, berikan lawan bicara kesempatan untuk melakukan pengungkapan dirinya sendiri. Jika lawan bicara kita tidak melakukan pengungkapan diri juga, maka ada kemungkinan orang tersebut tidak menyukai keterbukaan yang kita lakukan.

II.4. Konsep Diri

Konsep diri menurut definisi William D. Brooks (Rakhmat, 1997:99) adalah

“those physical, social, and psychological perceptions of ourselves that we have derived from experiences and our interaction with others”. Jadi, konsep diri adalah pandangan


(42)

dan perasaan kita tentang diri kita. Persepsi tentang diri ini boleh bersifat psikologi, sosial, dan fisis. Konsep diri bukan hanya sekadar gambaran deskriptif, tetapi juga penilaian kita tentang diri kita. Seperti yang diungkapkan oleh Anita Taylor et al (Rakhmat, 1997:100) bahwa konsep diri adalah “all you think and feel about, the entire

complex of beliefs and attitudes you hold about yourself”. Jadi, konsep diri meliputi apa

yang kita pikirkan dan apa yang kita rasakan tentang diri kita.

Dengan demikian, ada dua komponen konsep diri, yaitu komponen kognitif dan komponen afektif. Dalam psikologi sosial, komponen kognitif disebut citra diri (self image), dan komponen afektif disebut harga diri (self esteem). Keduanya, menurut Wiliam D. Brooks dan Phillip Emmert (Rakhmat, 1999:100) berpengaruh besar pada pola komunikasi interpersonal.


(43)

B A B I I I

METODOLOGI PENELITIAN

III.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

III.1.1. Sejarah RSU Dr. Pirngadi Kota Medan

Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan didirikan pada tanggal 11 Agustus 1928 oleh Pemerintah Kolonial Belanda dengan nama “Gemente Zieken Huis”. Peletakan batu pertamanya dilakukan oleh seorang anak berumur 10 tahun bernama Maria Constantia Macky dan sebagai direktur yang pertama adalah Dr. W. Bays. Kemudian pada tahun 1942, rumah sakit ini diambil alih oleh pemerintah Jepang dan berganti nama menjadi “Syuritsu Byusono Ince” dan sebagai direktur dipercayakan kepada putera Indonesia “Dr. Raden Pirngadi Gonggo Putro”.

Setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, maka pada tahun 1947 rumah sakit ini berganti nama menjadi “Rumah Sakit Kota Medan”. Dengan berdirinya NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) tanggal 17 Agustus 1950, maka Rumah Sakit Kota Medan diambil alih oleh Pemerintah Pusat/Kementrian Kesehatan dan namanya berganti menjadi “Rumah Sakit Umum Pusat”.

Pada tahun 1971, Rumah Sakit ini diserahkan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Propinsi Sumatera Utara dan berganti nama menjadi “Rumah Sakit Umum Pusat Propinsi Medan”. Kemudian pada tahun 1979 nama Rumah Sakit Umum Pusat Propinsi Medan ditabalkan menjadi “Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan”.


(44)

Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, pada tanggal 27 Desember 2001 RSU Dr. Pirngadi diserahkan kepemilikannya dari Pemerintah Propinsi Sumatera Utara kepada Pemerintah Kota Medan dan berganti nama menjadi “Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr. Pirngadi Medan” serta mendapat Akreditasi Departemen Kesehatan pada tanggal 14 april 2000. Pada tanggal 6 September 2002, status kelembagaan RSUD Dr. Pirngadi Medan ditetapkan menjadi “Badan Pelayanan Kesehatan RSU Dr. Pirngadi Kota Medan” dan sejak tanggal 5 Maret 2002 sampai sekarang jabatan direktur dipercayakan kepada dr. H. Sjahrial R. Anas, MHA.

Adapun Visi RSU Dr. Pirngadi Medan adalah MANTAP tahun 2010 yaitu: a. MANDIRI : dalam pendanaan dan pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat.

b. TANGGAP : terhadap tuntutan masyarakat, perubahan pola penyakit dan kemajuan IPTEK di bidang kesehatan.

c. PROFESIONAL : dalam pelaksanaan pelayanan sesuai standard dan etika. Kemudian Misi Dr. Pirngadi Medan antara lain sebagai berikut:

a. Meningkatkan upaya kesehatan paripurna kepada semua golongan masyarakat secara merata dan terjangkau, sesuai dengan tugas pokok, fungsi, serta perturan yang berlaku.

b. Meningkatkan pelayanan kesehatan yang bersifat spesialistik dan subspesialistik yang bermutu.

c. Meningkatkan upaya pelayanan kesehatan secara proesional dan etis agar timbul kepercyaan dan harapan serta rasa aman dan kenyamanan bagi penderita.

d. Meningkatkan peran RS sebagai tempat pendidikan, pelatihan, penelitian, dan pengembangan IPTEK di bidang kesehatan.


(45)

FASILITAS PELAYANAN RSU Dr. PIRNGADI KOTA MEDAN

Merupakan Rumah Sakit Pemerintah Type B, yang dilengkapi dengan fasilitas – fasilitas pelayanan lengkap antara lain :

1. INSTALASI GAWAT DARURAT 24 JAM

Tersedia Ruang Observasi, Unit Kebidanan, Unit Interna, Unit Anak, Unit Bedah, P3K, Apotik Khusus, Laboratorium, tenaga medis siap 24 jam dan didukung tenaga Spesialis / Konsultan, Ambulance 24 Jam.

2. UNIT RAWAT JALAN

Terdiri dari Poliklinik Spesialis Penyakit Dalam, Kebidanan dan Kandungan, Bedah, Mata, THT, Anak, Kulit dan Kelamin, Kulit dan Kecantikan, Jantung, Psikiatri, Paru, Gigi dan Mulut, Rehabilitasi Medis, Konsultasi Gizi, Klinik VCT.

3. UNIT RAWAT INAP

Terdiri dari 650 tempat tidur yang memenuhi kebutuhan seluruh lapisan masyarakat dari pelayanan rawat inap kelas III hingga Super VIP yang terletak di gedung lama dan gedung baru.

4. UNIT RAWAT INAP KHUSUS/ INTENSIVE

Terdiri dari ruang ICU, ICCU, NICU, HDU, Unit Stroke dan Ruang Isolasi.

5. TINDAKAN MEDIS

Haemodialysa Umum, VK (Kamar Bersalin), Bedah Kontap Tubektomi dan Laparoscopy, Kamar Bedah Central dan Emergency.

6. PELAYANAN PENUNJANG

Radiologi ( CT Scan, USG, X – Ray dll.), Patologi Klinik dan Anatomi, Endoscopy, General Cek Up dan Farmasi 24 Jam.


(46)

7. FASILITAS PENUNJANG

Pelayanan Informasi, Tempat parkir, Toserba, Cafetaria, Bank SUMUT, ATM Bank Niaga, Security.

III.1.2. Klinik VCT RSU Dr. Pirngadi Kota Medan

Klinik VCT (Voluntary Counselling and Testing) Poliklinik Khusus RSU Dr. Pirngadi Kota Medan dibentuk pada tanggal 18 Juli 2005 berdasarkan Surat Keputusan Direktur RSU Dr. Pirngadi Kota Medan No. 4075/443/VII/2005 dengan susunan anggota sebagai berikut

Susunan Anggota Tim Pelayanan Kesehatan klinik VCT RSU Dr. Pirngadi Medan

No. Tim Pelayanan Kesehatan Jumlah

1. Konsultan 1

2. Dokter 1

3. Konselor Koordinator Klinik 1

4. Konselor 3

5. Case Manager 1

6. Petugas Laboratorium 2

7. Petugas Administrasi 1

8. Petugas Kebersihan 1

Total 11

Sumber : Klinik VCT RSU Dr. Pirngadi Medan


(47)

b. Membuat rujukan untuk pemeriksaan klinis terhadap penderita HIV/AIDS.

c. Memberikan dukungan perawatan dan pengobatan penderita HIV/AIDS secara intensif yang membutuhkan penanganan secara khusus.


(48)

Kunjungan

Klien

Konselor

Petugas Klinik

Konseling

Pre Tes

Konselor

Tes HIV

(+)

Rujuk ke Dr

Protap Pelayanan Klien di Klinik VCT

Penjangkau

Lay conselor

Rujukan

Tidak mau

Mau

(-)

Ragu

Tes ulang 3 bln lagi

Tes ulang

Penilaian

klinis CD4

ARV

Profilaksis

Th.IO


(49)

III.1.2.1. Konseling dan Testing HIV/AIDS Sukarela

Konseling dalam VCT adalah kegiatan konseling yang menyediakan dukungan psikologis, informasi dan pengetahuan HIV/AIDS, mencegah penularan HIV, mempromosikan perubahan perilaku yang bertanggung jawab, pengobatan ARV (Antiretroviral) dan memastikan pemecahan berbagai masalah terkait dengan HIV/AIDS.

III.1.2.2 Tujuan Pelayanan Konseling dan Testing HIV/AIDS Secara Sukarela

1. Tujuan umum adalah menurunkan angka kesakitan HIV/AIDS melalui peningkatan mutu pelayanan konseling dan testing HIV/AIDS sukarela dan perlindungan bagi petugas layanan VCT dan klien.

2. Tujuan khusus:

a. Sebagai pedoman penatalaksanaan pelayanan konseling dan testing HIV/AIDS. b. Menjaga mutu layanan melalui penyediaan sumber daya dan manajemen yang

sesuai.

c. Memberi perlindungan dan konfidensialitas dalam pelayanan konseling dan testing HIV/AIDS.

III.1.2.3. Peran Konseling dan Testing HIV/AIDS Secara Sukarela

Konseling dan Testing Sukarela yang dikenal sebagai Voluntary Counselling and

Testing merupakan salah satu strategi kesehatan masyarakat dan sebagai pintu masuk ke

seluruh layanan kesehatan HIV/AIDS berkelanjutan:

1. Layanan VCT dapat dilakukan berasarkan kebutuhan klien pada saat klien mencari pertolongan medik dan testing yaitu dengan memberikan layanan dini dan memadai


(50)

baik kepada mereka dengan HIV positif maupun negatif. Layanan ini termasuk konseling, dukungan, akses untuk tetap suportif, terapi infeksi oportunistik, dan ART (Anti Retroviral Therapy).

2. VCT harus dikerjakan secara profesional dan konsisten untuk memperoleh intervensi efektif di mana memungkinkan klien, dengan bantuan konselor terlatih, menggali dan memahami diri akan risiko infeksi HIV, mendapatkan informasi HIV/AIDS, mempelajari status dirinya, dan mengerti tanggung jawab untuk menurunkan perilaku berisiko dan mencegah penyebaran infeksi kepada orang lain guna mempertahankan dan meningkatkan perilaku sehat.

3. Testing HIV dilakukan secara sukarela tanpa paksaan, segera setelah klien memahami berbagai keuntungan, konsekuensi, dan risiko.

III.1.2.4. Prinsip Pelayanan Konseling dan Testing HIV/AIDS Secara Sukarela 1. Sukarela dalam melaksanakan testing HIV.

Pemeriksaan HIV hanya dilaksanakan atas dasar kerelaan klien, tanpa paksaan, dan tanpa tekanan. Keputusan untuk dilakukan testing terletak di tangan klien. Kecuali testing HIV pada darah donor di unit transfusi dan transplantasi jaringan, organ tubuh dan sel. Testing dalam VCT bersifat sukarela sehingga tidak direkomendasikan untuk testing wajib pada pasangan yang akan menikah, pekerja seksual, IDU (Injecting


(51)

2. Saling mempercayai dan terjaminnya konfidensialitas.

Layanan harus bersifat profesional, menghargai hak dan martabat semua klien. Semua informasi yang disampaikan klien harus dijaga kerahasiaannya oleh konselor dan petugas kesehatan, tidak diperkenankan didiskusikan di luar konteks kunjungan klien. Semua informasi tertulis harus disimpan dalam tempat yang tidak dapat dijangkau oleh mereka yang tidak berhak. Untuk penanganan kasus klien selanjutnya dengan seijin klien, informasi kasus dari diri klien dapat diketahui.

3. Mempertahankan hubungan relasi konselor-klien yang efektif.

Konselor mendukung klien untuk kembali mengambil hasil testing dan mengikuti pertemuan konseling pasca testing untuk mengurangi perilaku berisiko. Dalam VCT dibicarakan juga respon dan perasaan klien dalam menerima hasil testing dan tahapan penerimaan hasil testing positif.

4. Testing merupakan salah satu komponen dari VCT.

WHO dan Departemen Kesehatan RI telah memberikan pedoman yang dapat digunakan untuk melakukan testing HIV. Penerimaan hasil testing senantiasa diikuti oleh konseling pasca testing oleh konselor yang sama atau konselor lainnya yang disetujui oleh klien.

III.1.2.5. Model Pelayanan Konseling dan Testing HIV/AIDS Secara Sukarela Model layanan VCT terdiri dari:

1. Mobile VCT (Penjangkauan dan Keliling)

Layanan Konseling dan Testing HIV/AIDS Sukarela model penjangkauan dan keliling (mobile VCT) dapat dilaksanakan oleh LSM atau layanan kesehatan yang


(52)

langsung mengunjungi sasaran kelompok masyarakat yang memiliki perilaku berisiko atau berrisiko tertular HIV/AIDS di wilayah tertentu. Layanan ini diawali dengan survey atau penelitian atas kelompok masyarakat di wilayah tersebut dan survey tentang layanan kesehatan dan layanan dukungan lainnya di daerah setempat.

2. Statis VCT (Klinik VCT tetap)

Pusat Konseling dan Testing HIV/AIDS Sukarela terintegrasi dalam sarana kesehatan dan sarana kesehatan lainnya, artinya bertempat dan menjadi bagian dari layanan kesehatan yang telah ada. Sarana kesehatan dan sarana kesehatan lainnya harus memiliki kemampuan memenuhi kebutuhan masyarakat akan Konseling dan Testing HIV/AIDS, layanan pencegahan, perawatan, dukungan, dan pengobatan terkait dengan HIV/AIDS.

III.1.2.6. Proses Konseling

Konseling merupakan proses interaksi antara konselor dan klien yang membuahkan kematangan kepribadian pada konselor dan memberikan dukungan mental-emosional kepada klien. Proses konseling mencakup upaya-upaya yang realistik dan terjangkau serta dapat dilaksanakan. Proses konseling hendaknya mampu:

1. Memastikan klien mendapatkan informasi yang sesuai fakta 2. Menyediakan dukungan saat krisis

3. Mendorong perubahan yang dibutuhkan untuk pencegahan atau membatasi penyebaran infeksi

4. Membantu klien memusatkan perhatian dan mengenali kebutuhan jangka pendek serta jangka panjang dirinya sendiri


(53)

5. Mengajukan tindakan nyata yang sesuai untuk dapat diadaptasikan klien dalam kondisi yang berubah

6. Membantu klien memahami informasi peraturan perundangan tentang kesehatan dan kesejahteraan

7. Membantu klien untuk menerima informasi yang tepat, dan menghargai serta menerima tujuan tes HIV baik secara teknik, sosial, etika dan implikasi hukum

Selama proses berlangsung konselor bertindak sebagai pantulan cermin bagi pikiran, perasaan dan perilaku klien, dan konselor memandu klien menemukan jalan keluar yang diyakininya. Konseling berlangsung tidak cukup hanya satu sesi, beberapa kali pertemuan konseling sering kali diperlukan, tergantung dari masalah dan kebutuhan klien.

III.1.2.7. Konselor untuk Konseling dan Testing HIV/AIDS Secara Sukarela

Konseling dilakukan oleh konselor terlatih yang memiliki keterampilan konseling dan pemahaman akan seluk beluk HIV/AIDS. Konseling dilakukan oleh konselor yang telah dilatih dengan modul VCT. Mereka dapat berprofesi perawat, pekerja sosial, dokter, psikolog, psikiater atau profesi lain.

Konselor mempunyai kemampuan berjenjang dari dasar sampai mahir. Konselor dengan kemampuan dasar dapat dilakukan oleh mereka yang menyediakan ruang dan waktunya bagi ODHA, mempunyai keterampilan konseling, dan mampu membantu ODHA. Sementara yang profesional dilakukan oleh mereka yang secara formal mempunyai pendidikan konseling dan/atau psikoterapi, serta mampu melakukannya seperti psikiater, psikolog klinis, pekerja sosial. Di samping konselor untuk klien,


(54)

diperlukan juga konselor untuk konselor. Mereka akan memberikan terapi saat konselor mengalami atau mendekati kejenuhan (burn out).

Keterampilan yang diperlukan dalam memberikan konseling adalah: 1. Mendengarkan aktif dan mengamati

2. Mengajukan pertanyaan dan menghayati 3. Merangkum dan menyimpulkan

4. Membaca dan merefleksikan perasaan

5. Membangun relasi dan persetujuan pelayanan

6. Menggali dan memahami masalah, penyebab dan kebutuhan 7. Mengenal alternatif penyelesaian masalah, memberi pertimbangan

8. Penyelesaian masalah, dapat memberikan jalan keluar dan menguatkan diri 9. Penyelesaian masalah, konsekuensi logis dan mengakhiri

III.1.2.8. Sasaran Konseling dan Testing HIV/AIDS Secara Sukarela

Masyarakat yang membutuhkan pemahaman diri akan status HIV agar dapat mencegah dirinya dari penularan infeksi penyakit yang lain dan penularan kepada orang lain. Masyarakat yang datang ke pelayanan VCT disebut dengan klien. Sebutan klien dan bukan pasien merupakan salah satu pemberdayaan di mana klien akan berperan aktif di dalam proses konseling. Tanggung jawab klien dalam konseling adalah bersama mendiskusikan hal-hal yang terkait dengan informasi akurat dan lengkap tentang HIV/AIDS, perilaku berisiko, testing HIV dan pertimbangan yang terkait dengan hasil negatif atau positif.


(55)

III.2. Metode Penelitian III.2.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini berlokasi di Klinik Voluntary Counselling and Testing Rumah Sakit Umum Pirngadi Jl. Prof. H.M. Yamin No.47, Medan.

III.2.2. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah deskriptif, yaitu metode yang bertujuan untuk melukiskan secara sistematis fakta atau karakteristik populasi tertentu atau bidang tertentu secara faktual dan cermat, seperi yang diungkapkan oleh Isaac dan Michael (Rakhmat, 1997:22). Sedangkan menurut Wood (Rakhmat, 1997:25) metodologi deskriptif disebut juga sebagai penelitian observasional.

Penelitian deskriptif bertujuan untuk:

1). Mengumpulkan informasi aktual secara rinci yang melukiskan gejala yang ada. 2). Mengidentifikasi masalah atau memeriksa kondisi dan praktek-praktek yang berlaku. 3). Membuat perbandingan atau evaluasi.

4). Menentukan apa yang dilakukan orang lain dalam menghadapi masalah yang sama dan belajar dari pengalaman mereka untuk menetapkan rencana dan keputusan pada waktu yang akan datang (Rakhmat , 1997:25)


(56)

III.2.3. Populasi dan Sampel a. Populasi

Populasi menurut Sugiyono (Ruslan, 2003:133) adalah wilayah generalisasi yang tediri dari; objek atau subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik suatu kesimpulannya.

Populasi dalam penelitian ini adalah klien yang berkunjung untuk melakukan konseling ke Klinik Voluntary Counselling and Testing yang setiap bulan rata-rata berjumlah 47 orang (data dari klinik VCT; Januari 2007 s/d Desember 2007).

b. Sampel

Sampel adalah sebagian dari elemen-elemen tertentu suatu populasi yang akan diteliti (Ruslan, 2003:139). Farenkel dan Wallen (dalam Ruslan, 2003:147) menyatakan mengenai penetapan ukuran sampel, “Sebesar-besar peneliti dapat memperolehnya dengan pengorbanan waktu dan energi yang wajar. Artinya, mengingat adanya keterbatasan waktu, tenaga, biaya, dan lain sebagainya.” Maka ukuran sampel dapat diterima tergantung pada jenis penelitiannya.

Adapun teknik sampling yang di gunakan untuk menentukan sampel dalam penelitian ini adalah Purposive Sampling (sampel purposif), yaitu pemilihan sampel berdasarkan pada karakteristik tertentu yang dianggap mempunyai sangkut paut dengan karakteristik populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Ruslan, 2003:156). Teknik ini biasanya dilakukan karena beberapa pertimbangan, misalnya alasan keterbatasan waktu, tenaga, dan dana, sehingga tidak dapat mengambil sampel yang besar dan jauh. Walaupun cara seperti ini diperbolehkan, yaitu peneliti bisa menentukan sampel


(57)

berdasarkan tujuan tertentu, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi (Arikunto, 2006:140) yaitu:

a. Pengambilan sampel harus didasarkan atas ciri-ciri, sifat-sifat, atau karakteristik tertentu, yang merupakan ciri-ciri pokok populasi.

b. Objek yang diambil sebagai sampel benar-benar meupakan objek yang paling banyak mengandung ciri-ciri yang terdapat pada populasi.

Oleh sebab itu, sesuai dengan pendapat di atas peneliti menentukan bahwa yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah klien ODHA yaitu klien yang positif mengidap HIV/AIDS yang pernah melakukan konseling di Klinik VCT yang berjumlah 47 orang.

III.2.4. Teknik Pengumpulan Data

a. Kuesioner

Kuesioner adalah daftar pertanyaan yang diberikan kepada orang lain yang bersedia memberikan respons (responden) sesuai dengan pemintaan pengguna. Tujuan penyebaran kuesioner ialah mencari informasi yang lengkap mengenai suatu masalah dari responden tanpa merasa khawatir bila responden memberikan jawaban yang tidak sesuai dengan kenyataan dalam pengisian daftar pertanyaan (Riduwan, 2008:27-28).

Kuesioner dibedakan menjadi dua jenis, yaitu kuesioner terbuka dan kuesioner tertutup. Penelitian ini menggunakan kedua jenis kuesioner tersebut:

1. Kuesioner terbuka (tidak berstruktur)

Kuesioner terbuka ialah kuesioner yang disajikan dalam bentuk sederhana sehingga responden dapat memberikan isian sesuai dengan kehendak dan keadaannya.


(58)

2. Kuesioner Tertutup (berstruktur)

Kuesioner tertutup adalah kuesioner yang disajikan dalam bentuk sedemikian rupa sehingga responden diminta untuk memilih satu jawaban yang sesuai dengan karakteristik dirinya dengan cara memberikan tanda silang (x) atau tanda checklist (√).

c. Wawancara (Interviu)

Wawancara adalah dialog yang dilakukan oleh pewawancara (interviewer) untuk memperoleh informasi dari terwawancara (interviewer) (Arikunto, 2006:155). Wawancara dalam penelitian ini dilakukan untuk memperoleh keterangan mengenai konsep diri klien melalui tiga orang klien yang berkunjung ke klinik VCT, juga untuk memperoleh data tentang Klinik VCT melalui salah satu konselor untuk melengkapi penelitian.

c. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan adalah penghimpunan data atau informasi dengan membaca jurnal ilmiah, buku-buku referensi dan bahan-bahan publikasi yang tersedia di perpustakaan.

III.2.5. Teknik Analisa Data

Menurut Bogdan & Biklen (Moleong, 2006:248) analisis data adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.


(59)

a. Analisa Tabel Tunggal

Analisa tabel tunggal merupakan suatu analisa yang dilakukan dengan membagi variabel-variabel penelitian ke dalam kategori-kategori yang ditentukan atas dasar frekuensi. Tabel tunggal merupakan langkah awal dalam menganalisa data yang terdiri dari dua kolom sejumlah frekuensi dan kolom persentasi untuk setiap kategori.


(60)

B A B I V

ANALISA DAN INTERPRETASI DATA

IV.I. ANALISA TABEL TUNGGAL A. KARAKTERISTIK RESPONDEN

1.Usia

Tabel 1 Usia Responden

No. Kelompok Usia Jumlah %

1. 2. 3. 4. 20-28 tahun 29-36 tahun 37-44 tahun 45-53 tahun 24 18 4 1 51 38,37 8,51 2,12

Total 47 100

P.2/FC.3

Berdasarkan data pada tabel 1, dapat diketahui bahwa kelompok usia 20-28 tahun adalah 24 orang (51%) responden, kelompok usia 29-36 tahun adalah 18 orang (38,37%) responden, kelompok usia 37-44 tahun adalah 4 orang (8,51%) responden, dan terakhir kelompok usia 45-53 tahun adalah 1 orang (2,12%) responden.

2. Jenis Kelamin

Tabel 2

Jenis Kelamin Responden

No. Jenis Kelamin Jumlah %

1. 2. Pria Wanita 18 13 38,3 27,7


(61)

3. Waria 16 34

Total 47 100

P.3/FC.4

Dari tabel 2 dapat dilihat bahwa sebanyak 18 orang (38,3%) responden adalah pria dan 13 orang (27,7%) adalah wanita. Selebihnya, 16 orang (34%) responden menyatakan bahwa mereka adalah waria.

3. Pekerjaan

Tabel 3

Pekerjaan Responden

No. Pekerjaan Jumlah %

1. 2. 3. 4. 5. 6. Wiraswasta Salon LSM Mejeng

Ibu rumah tangga Pengangguran 22 8 7 4 3 3 46,8 17 14,9 8,5 6,4 6,4

Total 47 100

P.4/FC.5

Berdasarkan data pada tabel 3 diketahui bahwa responden kebanyakan bekerja di bidang wiraswasta, yaitu sebanyak 22 orang (46,8%). Kemudian 8 orang (17%) responden bekerja sebagai pegawai salon, dan 7 orang (14,9%) adalah pendamping (Lay

Support) dari LSM. Setelah itu, ada 4 orang (8,5%) yang pekerjaannya mejeng dan 3


(62)

4. Penghasilan Per Bulan

Tabel 4

Penghasilan Per Bulan

No. Penghasilan Per Bulan Jumlah %

1. 2. 3. 4. 5. Tidak tetap Tidak berpenghasilan ± Rp 1.000.000 ± Rp 800.000 ± Rp 3.500.000

27 6 6 6 2 57,4 12,8 12,8 12,8 4,2

Total 47 100

P.5/FC.6

Dari data yang diperoleh diketahui bahwa ada 27 orang (57,4%) responden yang masuk dalam kategori penghasilan tidak tetap, karena sesungguhnya mereka bekerja namun penghasilan per bulannya tidak tentu. Selanjutnya ada 6 orang (12,8%) responden yang tidak berpenghasilan (mereka adalah para ibu rumah tangga dan pengangguran), juga ada 6 orang (12,8%) yang berpenghasilan ± Rp 1.000.000 dan ± Rp 800.000 , kemudian ada 2 orang (4,2%) responden yang berpenghasilan ± Rp 3.500.000

B. KOMUNIKASI ANTARPRIBADI

1. Keterbukaan Klien Pada Konselor

Tabel 5

Keterbukaan Klien Pada Konselor

No. Pernyataan Jumlah %

1. 2. 3. 4. Sangat benar Benar Cukup benar Salah 18 24 3 - 38,3 51 6,4 -


(1)

18. Ketika melakukan konseling, anda merasa nyaman saat menceritakan permasalahan anda pada konselor.

a. sangat benar 19 b. benar

c. cukup benar d. salah

e. sangat salah

19. Anda juga merasakan adanya kesamaan pandangan antara anda dan konselor mengenai permasalahan yang anda sampaikan.

a. sangat benar 20 b. benar

c. cukup benar d. salah

e. sangat salah

20. Anda dengan leluasa dapat menyampaikan masalah-masalah anda pada konselor. a. sangat benar

b. benar 21 c. cukup benar

d. salah e. sangat salah

C. KONSEP DIRI

21. Ketika anda mengetahui bahwa anda mengidap HIV/AIDS anda menilai diri sendiri dalam keadaan yang kurang baik.

a. sangat benar 22 b. benar

c. cukup benar d. salah

e. sangat salah

22. Orang lain (yang mengetahui anda mengidap HIV/AIDS) juga menilai anda dalam keadaan yang kurang baik.

a. sangat benar 23 b. benar

c. cukup benar d. salah


(2)

23. Kemudian mengenai harga diri, anda menghargai diri sendiri saat mengetahui bahwa anda mengidap HIV/AIDS.

a. sangat benar 24 b. benar

c. cukup benar d. salah

e. sangat salah

24. Orang lain (yang mengetahui anda mengidap HIV/AIDS) juga menghargai anda. a. sangat benar

b. benar 25 c. cukup benar

d. salah e. sangat salah

25. Konseling di Klinik VCT yang anda lakukan berpengaruh pada pembentukan konsep diri (harga diri dan citra diri) anda.

a. sangat benar 26 b. benar

c. cukup benar d. salah

e. sangat salah

26. Selama menjalani konseling di Klinik VCT anda menilai diri sendiri dalam keadaan yang lebih baik.

a. sangat benar 27 b. benar

c. cukup benar d. salah

e. sangat salah

27. Orang lain (yang mengetahui anda mengidap HIV/AIDS) juga menilai anda dalam keadaan yang lebih baik.

a. sangat benar 28 b. benar

c. cukup benar d. salah

e. sangat salah

28. Selama menjalani konseling di Klinik VCT anda juga lebih menghargai diri anda. a. sangat benar


(3)

29. Orang lain (yang mengetahui anda mengidap HIV/AIDS), juga lebih menghargai anda.

a. sangat benar 30 b. benar

c. cukup benar d. salah

e. sangat salah

30. Pelayanan konseling yang anda terima di Klinik VCT selama menjalani konseling memuaskan.

a. sangat benar 31 b. benar

c. cukup benar d. salah

e. sangat salah

31. Apa yang anda rasakan tentang konsep diri anda (citra diri dan harga diri) selama melakukan konseling di Klinik VCT?

……… ……… ……… ……… ………

32. Apa kesan dan pesan anda terhadap pelayanan di Klinik VCT?

……… ……… ……… ……… ………


(4)

BIODATA

A. PENELITI

Nama : Rizka Wandari Nasution

N I M : 060922004

Tempat/Tanggal Lahir : Medan/03 Januari 1986

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Anak Ke : I

Alamat : Jl. Platina VII-A No.71 T.Papan, Medan

No.HP : 085261180422

PENDIDIKAN

2006-2008 : S1 Ekstensi Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara

2003-2006 : Program Diploma Departemen Bahasa Inggris, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara

2000-2003 : SMU Negeri 3 Medan 1997-2000 : SLTP Negeri 11 Medan 1991-1997 : SD Swasta Melati Medan

B. ORANG TUA

Nama Ayah : Irwan Dwanda Nasution, SH

Pekerjaan Ayah : Pengacara

Nama Ibu : Hj. Butet Marike


(5)

FOLTRAN COBOL No

Karakteristik Responden

Komunikasi Antarpribadi Konsep Diri

Responden

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31

0 1 1 1 1 1 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 5 4 4 4 4 4 4 4

0 2 1 1 1 3 4 4 5 3 2 4 5 5 5 4 3 2 3 1 5 2 2 5 5 4 3 4 5 4 5

0 3 1 1 1 3 4 5 4 5 4 2 5 4 4 5 4 2 4 4 4 4 4 5 2 4 5 4 4 4 4

0 4 2 3 1 1 4 4 4 3 4 1 4 2 4 4 4 4 4 4 4 4 2 4 4 4 4 4 4 4 4

0 5 2 1 1 3 4 2 5 5 2 2 4 5 4 2 4 2 2 4 4 4 3 2 4 2 4 4 2 2 4

0 6 3 1 3 4 5 4 2 2 2 2 4 4 2 2 2 2 2 2 2 4 2 4 4 4 4 4 4 4 4

0 7 1 2 3 4 3 3 2 2 2 2 4 4 4 4 4 3 4 4 4 2 2 5 4 2 4 5 4 4 4

0 8 3 1 1 4 4 4 4 4 4 4 5 5 4 4 4 4 4 4 4 2 4 2 2 4 4 4 4 4 4

0 9 1 2 5 2 4 4 4 3 4 3 3 4 4 3 4 4 4 2 4 2 4 2 2 4 4 4 3 3 4

1 0 2 1 6 2 5 5 5 5 2 5 4 4 4 3 3 2 4 5 4 5 5 4 5 4 2 2 4 2 3

1 1 2 2 3 4 4 5 5 4 3 5 5 4 5 5 5 5 5 3 5 5 5 5 5 2 5 5 5 5 5

1 2 1 2 3 4 4 4 4 2 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 2 4 4 2 4 4 4 4

1 3 2 1 1 3 5 2 2 2 2 2 3 3 3 3 4 3 3 2 4 3 4 4 4 4 4 2 2 3 4

1 4 2 1 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 2 2 4 2 4 2 4 4 4 2 4 4 4 2 4 2 4

1 5 2 3 3 3 5 4 4 5 5 4 4 4 5 5 4 5 4 5 4 1 2 4 4 4 4 4 4 4 4

1 6 2 2 5 2 5 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 2 4 3 4 4 4 4

1 7 1 2 5 2 4 2 2 2 4 2 4 4 4 4 2 2 4 4 2 4 4 4 4 2 4 4 2 4 4

1 8 4 2 1 3 5 3 4 5 4 4 5 5 3 4 3 5 5 4 4 4 4 2 4 4 3 4 4 4 5

1 9 1 3 4 1 5 4 5 4 4 4 4 5 5 4 4 4 5 4 5 5 4 4 4 4 5 5 4 4 4

2 0 1 3 1 1 5 5 4 4 4 4 4 4 5 5 5 5 5 4 4 4 4 4 4 4 4 2 4 2 4

2 1 1 3 2 1 5 5 4 5 5 5 3 4 1 1 3 1 4 2 4 1 1 3 5 2 2 3 5 4 5

2 2 2 1 1 1 5 5 5 5 5 5 3 4 3 2 5 4 1 2 1 1 5 5 2 1 5 4 3 5 1

2 3 1 3 4 1 5 2 5 5 4 5 4 5 5 5 5 2 5 2 5 5 4 5 3 4 2 3 4 3 4

2 4 1 1 3 4 4 4 4 5 4 4 5 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4

2 5 2 1 1 1 5 4 4 4 4 5 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 2 4 4 4 4 2 4

2 6 3 1 1 1 5 5 4 4 1 4 4 4 5 5 1 4 5 5 4 3 2 4 4 3 5 1 5 2 1


(6)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31

2 8 1 1 1 1 4 4 4 5 4 4 4 5 5 5 4 4 4 4 4 1 4 4 2 4 4 4 4 4 4

2 9 1 1 1 1 4 4 4 5 4 5 4 4 5 5 4 4 5 4 4 4 4 4 4 4 5 4 4 4 4

3 0 1 2 1 1 3 4 3 2 4 4 4 2 4 2 4 2 4 2 4 5 3 2 2 4 2 2 2 2 4

3 1 1 3 4 1 1 2 3 5 5 4 5 4 4 1 5 1 5 3 4 5 1 3 4 2 4 5 4 4 1

3 2 1 3 6 2 5 5 5 5 5 5 4 4 5 5 5 2 5 5 5 5 4 2 4 4 2 2 5 3 5

3 3 1 3 4 1 4 4 4 5 4 4 4 4 5 4 4 4 5 4 5 4 5 2 2 4 2 2 4 2 4

3 4 2 1 1 1 5 5 5 5 4 5 5 4 4 4 4 2 5 3 5 4 4 3 3 5 4 4 5 3 4

3 5 3 1 1 1 4 4 4 4 4 4 4 4 2 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4

3 6 1 1 1 1 4 4 4 3 1 1 5 5 3 3 5 5 5 1 5 1 1 5 3 5 5 3 5 3 3

3 7 1 3 2 1 4 5 5 4 4 4 4 5 5 5 4 4 4 4 4 2 2 4 2 4 4 2 4 2 4

3 8 2 2 6 2 4 3 4 3 3 3 4 4 3 4 4 4 3 3 3 3 3 2 2 3 3 3 3 3 3

3 9 2 2 5 2 1 5 5 4 5 1 4 4 5 4 4 2 5 4 4 1 5 4 3 1 2 3 5 4 3

4 0 1 3 2 1 4 5 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 5 4 4 4 4 2 4 4 4 4 4 4

4 1 2 1 2 1 4 4 4 5 5 4 4 4 4 4 5 4 4 4 4 4 2 2 2 4 4 2 4 2 4

4 2 2 1 1 5 5 5 5 5 5 5 5 4 5 5 5 5 5 5 5 1 3 5 3 1 1 1 1 1 1

4 3 2 3 2 1 4 4 4 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 2 2 4 4 4 4 4 4 4 4

4 4 2 3 1 1 4 4 5 4 4 4 4 4 5 5 5 2 4 2 4 4 4 4 2 4 4 4 4 2 4

4 5 1 3 2 1 4 5 4 4 4 4 4 4 5 2 4 2 4 4 4 2 2 4 4 4 4 2 4 2 4

4 6 1 1 6 2 5 4 4 3 3 3 4 4 4 4 4 4 4 3 4 3 3 3 3 3 2 3 3 3 1