Analisis Risiko Asupan Kadmium Melalui Oral Terhadap Terjadinya Proteinuria Pada Masyarakat Di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Namo Bintang

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Karakteristik Kimia
Kadmium adalah unsur yang banyak tersebar secara alami dalam bentuk

mineral dan digunakan secara komersial dalam bentuk bijih kadmium, yang
dinamakan greenockite, yang biasanya ditemukan bersama bijih zink. Produksi
komersial bijih kadmium bergantung pada tambang zink. Secara komersial
kadmium tersedia dalam bentuk oksida, klorida atau sulfida. Logam kadmium
(Cd2+) dimurnikan dari bentuk bijih menjadi logam berat yang berwarna putih
keperakan dengan sedikit kebiruan cemerlang dan berbentuk padat pada suhu
ruangan (ATSDR, 2008).
Kadmium merupakan unsur logam yang terletak dalam grup IIB pada tabel
periodik dengan berat atom 112,40. Kadmium adalah unsur yang diklasifikasikan
sebagai logam transisi, yang memiliki tekanan uap 1 mmHg pada suhu 394ºC dan
tidak berwarna. Umumnya kadmium terdapat dalam jumlah yang sangat kecil
yang terikat dengan logam lain, khususnya zink. Kadmium mencair pada suhu
320,9⁰C dan mendidih pada suhu 767⁰C. Kadmium dapat membentuk sejumlah

garam seperti kadmium sulfat dan kadmium sufida (Hays et al. 2008).
Kadmium tahan terhadap perkaratan sehingga digunakan sebagai lapisan
anti karat. Logam kadmium dan oksidasinya tidak larut dalam air dan biasanya
terdapat pada keadaan oksidasi +2. Meskipun tidak larut dalam air, kadmium

dapat melarut dalam larutan asam nitrit, amonium nitrat dan asam sulfur panas.
Dalam udara lembab, kadmium teroksidasi secara lambat. Bila dipanaskan
kadmium akan berubah menjadi gas buangan dalam bentuk kadmium oksida.
Kadmium dan senyawa kadmium tidak mudah terbakar namun dapat terurai bila
dibakar dan melepaskan gas buangan yang bersifat korosif dan toksik. Logam
kadmium panas bereaksi dengan halogen, pospor, selenium, sulfur, dan tellurium,
dan uap kadmium bereaksi dengan oksigen, karbon dioksida, uap air, sulfur
dioksida, dan hidrogen klorida (ATSDR 1999).
Secara komersial kadmium tersedia dengan kemurnian 99% sampai
99,999% dalam bentuk bubuk, alumunium foil, batang atau lempeng logam, dan
kristal. Beberapa garam kadmium bersifat larut dalam air seperti kadmium
klorida, kadmium sulfat dan kadmium nitrat. Garam-garam lain yang sulit larut
dalam air dapat menjadi mudah larut air bila diinteraksikan dengan asam, cahaya
atau oksigen (IARC 1993, Llewellyn 1994).
Kadmium klorida berbentuk kristal hexagonal yang tidak berwarna sampai

keputihan. Sifat larut dalam air dan aseton, sedikit terlarut dalam metanol dan
etanol, dan tidak larut dalam dietil eter. Kadmium klorida merupakan campuran
hidrat tersedia dengan kemurnian 95% sampai 99,999%. Garam kadmium lain
yaitu kadmium sulfat berbentuk kristal orthorhombic yang tidak berwarna sampai
warna keputihan, larut dalam air namun tidak larut dalam etanol, aseton, dan
amonia dan tersedia dengan kemurnian 98% sampai 99,999%. Sementara itu,
kadmium nitrat bersifat sangat mudah larut dalam larutan asam dan juga larut

dalam atenol, aseton, air, dietil eter dan etil asetat dan juga tidak berwarna.
Kadmium nitrat tersedia dengan kemurnian 99% atau lebih tinggi (IARC, 1993;
HSDB, 2006)
Senyawa kadmium penting lainnya adalah kadmium oksida dan kadmium
sulfida. Kadmium oksida berbentuk kristal coklat gelap atau bubuk amorf yang
tidak berwarna, terlarut dalam larutan asam dan garam amonium. Kadmium
oksida tidak larut dalam air dan larutan basa. Tingkat kemurnian kadmium oksida
mencapai 99% sampai 99,999%. Di lain pihak, kadmium sulfida berbentuk kristal
hexagonal berwarna kuning jingga atau kristal semitransparan dimorfik atau
berbentuk bubuk kuning kecoklatan, namun dapat pula berwarna putih sampai
jingga kemerahan. Kadmium sulfida terlarut dalam larutan asam mineral pekat,
sedikit larut dalam amonium hidroksida dan tidak larut dalam air dan larutan basa.

Kadmium sulfida tersedia dengan tingkat kemurnian 98% sampai 99,999%.
Namun demikian, sebagian besar produk kadmium sulfida adalah campuran
kompleks yang mengandung senyawa logam lainnya (HSDB, 2006).
2.2

Sumber Kadmium
Kadmium tersebar luas di lingkungan namun merupakan unsur yang

jarang ditemukan di kerak bumi, dengan konsentrasi 0,1 sampai 0,5 ppm, dalam
bentuk mineral sulfida yang berikatan dengan bijih zink, zink yang berikatan
dengan bijih timbal, dan kompleks bijih zink-timbal-tembaga. Kadmium
merupakan unsur alami di lautan dengan kandungan antara 5 sampai 110 ng/L

dengan kandungan tertinggi di daerah pantai dan di dalam fosfat dan fosforit
lautan. Sementara di sedimen dan air laut adalah sekitar 0.1 ppm (Morrow, 2001).
Kadmium terbentuk secara alami dari proses yang lambat dari erosi dan
abrasi bebatuan dan tanah (Nikic et al., 2009).

Emisi alami kadmium ke


lingkungan dapat berasal dari letusan gunung berapi, kebakaran hutan,
pembentukan aerosol garam laut dan fenomena alami lainnya (Shevchenko et al.
2003). Konsentrasi kadmium di atmosfer adalah sekitar 1-5 ng/m3 (ATSDR,
2008).
Konsentrasi kadmium yang cukup tinggi dapat terjadi akibat adanya
aktifitas manusia. Sumber dari aktifitas manusia tersebut antara lain adalah adanya
penggunaan pupuk fosfat, pembakaran bahan bakar fosil, produksi besi, baja, dan
logam non besi, produksi semen dan pembakaran sampah. Sumber antropogenik
berkontribusi terhadap pajanan pada manusia dalam jumlah yang cukup besar
akibat produksi, pemakaian, dan pembuangan serta pembakaran produk-produk
yang mengandung kadmium (Bull, 2010).
Kadmium secara luas tersebar di lingkungan melalui udara yang
bersumber dari pertambangan dan peleburan logam. Sumber pencemaran
kadmium lainnya di udara adalah dari pembakaran bahan bakar fosil seperti batu
bara atau minyak dan pembakaran limbah padat seperti plastik dan baterai nikelkadmium (dapat terdeposit menjadi limbah padat). Kadmium juga mencemari
udara dari proses produksi besi dan baja. Kadmium secara umum digunakan untuk
penyepuhan logam, memproduksi pigmen, baterai nikel-kadmium, stabilisator

plastik dan sebagai absorben neutron pada fasilitas reaktor nuklir (Sahmoun et al.
2005).

Kadmium ditemukan pada tahun 1817, namun baru digunakan secara
komersial pada akhir abad ke-19. Penggunaan kadmium yang pertama sekali
adalah dalam bentuk sulfida pada pigmen cat. Pada awal tahun 1990an, digunakan
dalam jumlah yang sedikit untuk amalgam gigi. Selama Perang Dunia I, kadmium
digunakan sebagai bahan pengganti kaleng. Sejak Perang Dunia II, hampir seluruh
kadmium dimanfaatkan untuk pembuatan baterai, pigmen, elektroplating, pelapis
dan stabilisator plastik. Namun demikian, seluruh penggunaan kadmium dalam
industri menunjukkan penurunan yang signifikan pada akhir abad ke-20 kecuali
pada industri baterai (ATSDR, 1999).
Kadmium klorida digunakan untuk elektroplating, fotokopi, printer warna,
pengering, cermin/kaca, kimia analitik, tabung vakum, cairan pelumas, dan
sebagai bahan kimia perantara dalam produksi stabilisator dan pigmen yang
mengandung kadmium (IARC 1993, HSDB 2006). Akan tetapi, penggunaannya
menunjukkan penurunan. Kadmium klorida juga dipakai sebagai fungisida di
lapangan golf dan halaman rumput di perumahan. Namun, pada akhir tahun
1980an pemanfaatannya telah dilarang oleh Dewan Perlindungan Lingkungan di
negara Amerika Serikat (US EPA = Environmental Protection Agency) (ATSDR,
1999).
Kadmium nitrat digunakan dalam emulsi fotografi, bahan pewarna gelas
dan porselin, reaktor nuklir dan untuk produksi kadmium hidroksida untuk


digunakan dalam baterai alkalin. Sedangkan, kadmium sulfida digunakan secara
primer untuk pigmen dalam industri cat, gelas, plastik, tekstil, kertas, dan petasan.
Kadmium juga dipakai untuk sel-sel solar, monitor fluoresen, alat deteksi radiasi,
pendeteksi asap, laser elektron, transistor film tipis dan dioda, fosfor dan foto
(ATSDR, 1999).
2.3

Kontaminasi Kadmium ke Lingkungan
Senyawa kadmium yang seukuran dengan partikel yang dapat terhisap ke

saluran nafas, dapat terbawa ke daerah yang sangat jauh apabila dilepaskan dari
sumbernya ke atmosfer. Kadmium kemudian akan turun ke tanah akibat hujan
atau jatuh dari udara. Saat berada di tanah, kadmium dapat dengan mudah
bergerak melalui lapisan-lapisan tanah dan masuk ke rantai makanan karena
terserap oleh tumbuh-tumbuhan seperti sayuran, kacang-kacangan, dan biji-bijian
(ATSDR, 2008).
Konsentrasi kadmium dalam sumber air minum biasanya kurang dari 1
μg/L atau 1 part per billion (ppb). Air tanah jarang mengandung kadmium dalam
konsentrasi tinggi bila tidak terkontaminasi oleh pertambangan atau limbah cair

industri, atau rembesan dari tempat penampungan limbah berbahaya. Air yang
bersifat asam atau tawar cenderung melarutkan kadmium. Kandungan kadmium
akan meningkat dalam air yang tertahan di pipa-pipa saluran di rumah tangga.
Sumber-sumber ini tidak dilaporkan sebagai penyebab keracunan kadmium klinis,
namun meskipun pada kadar yang rendah kontaminasi tersebut dapat menambah
akumulasi kadmium dalam tubuh (ATSDR, 2008).

2.4

Kadmium dalam Rantai Makanan
Tumbuh-tumbuhan tertentu seperti tembakau, padi, biji-bijian, kentang,

dan sayuran lainnya menyerap kadmium dari tanah lebih banyak dibandingkan
penyerapan logam berat lain seperti timbal dan merkuri (Satarug et al. 2003).
Kadmium juga ditemukan dalam daging, khususnya hati dan ginjal. Di daerahdaerah tertentu, konsentrasi kadmium meningkat dalam kerang dan jamur (Jarup,
2002).
Kadmium masuk ke rantai makanan melalui air. Di Jepang, tambang zink
mengkontaminasi sumber air lokal dengan kadmium. Petani lokal menggunakan
air tersebut untuk irigasi sawah. Tanah menjadi terkontaminasi oleh kadmium
yang mengakibatkan penyerapan kadmium ke tanaman padi (Jarup, 2002).


2.5

Jalur Pajanan Kadmium
Saluran nafas adalah jalur utama masuknya kadmium dalam tubuh di

lingkungan kerja. Kandungan kadmium di udara dapat mencapai ribuan kali lebih
tinggi di lingkungan kerja bila dibandingkan dengan lingkungan biasa. Sebagai
contoh, batas pajanan kadmium yang diijinkan di tempat kerja adalah 0.1 mg/m3,
sedangkan konsentrasi kadmium di udara ambien di daerah non industri adalah 1
x 10-6 mg/m3 dan di perkotaan adalah 4 x 10-5 mg/m3. Oleh sebab itu, pajanan
yang tidak berada di lingkungan kerja tidak dianggap berisiko pada gangguan
kesehatan (ATSDR 2008).

Perokok pada umumnya terpapar kadmium melalui inhalasi. Dalam
sebatang rokok terdapat 2 μg kadmium, dimana hampir sebanyak 2-10% nya
berubah menjadi asap rokok (Mannino et al. 2004). Perokok umumnya memiliki
kandungan kadmium dalam darah dan kandungan dalam tubuh dua kali lebih
tinggi dibandingkan dengan orang yang tidak merokok (Waalkes et al. 2003).
Selain itu, perokok juga akan memiliki kandungan kadmium yang tinggi dalam

urin (Mannino et al. 2004).
Asupan oral adalah jalur utama pajanan kadmium bagi populasi yang
bukan perokok. Tetapi, kandungan kadmium dalam makanan, air, dan udara
ambien bukan merupakan masalah kesehatan yang nyata bagi populasi di Amerika
Utara. Asupan kadmium per harinya adalah sebesar 30-50 μg (Satarug, 2003;
NTP, 2004) namun individu normal hanya menyerap sebagian kecil yaitu sekitar
1-10% dari dosis oral (Horiguchi et al. 2004).
Pada daerah tertentu ditemukan kandungan kadmium yang sangat tinggi
pada permukaan tanahnya. Penyerapan kadmium oleh tumbuhan di wilayah ini
mengakibatkan pajanan yang signifikan melaui diet bagi masyarakat yang tinggal
di daerah itu. Contohnya, di aliran sungai Jinzu dan Kakehashi di Jepang, terdapat
wilayah-wilayah dengan tanah yang terkontaminasi kadmium. Padi menyerap
kadmium dan akibat mengkonsumsi padi yang terkontaminasi kadmium
menyebabkan gangguan ginjal dan tulang yang serius yang dinamakan penyakit
“Itai-Itai”, khsususnya pada perempuan (Kobayashi et al. 2006; Ezaki et al, 2003).

Pajanan kadmium melalui kulit sangat sedikit sehingga dapat diabaikan.
Pajanan ini tidak dianggap sebagai jalur utama pajanan (ATSDR, 2008).

2.6


Nilai Standar untuk Pajanan Kadmium
Nilai standar pajanan untuk melindungi masyarakat umum dari pajanan

kadmium telah ditetapkan oleh beberapa institusi kesehatan. FDA dan ATSDR
(1999) menetapkan bahwa kandungan maksimum kadmium dalam air minum dan
air botol adalah 0,005 mg/l, sedangkan untuk kandungan kadmium yang masih
dapat dikonsumsi secara kronik melalui oral tanpa adanya risiko gangguan
kesehatan adalah 0,0002 mg/kg berat badan/hari.
WHO menentukan bahwa asupan kadmium yang masih dapat ditoleransi
secara mingguan adalah 7μg/kg/berat badan/minggu. OSHA menetapkan pajanan
kadmium yang aman di lingkungan kerja adalah 5 μg/m3 (sebagai gas buangan).
The National Institute of Occupational Safety and Health (NIOSH) juga telah
menentukan kandungan yang dapat membahayakan kehidupan dan kesehatan
adalah 9 mg/m3 (NIOSH, 2006; NTP, 2004).
Di

Indonesia,

pemerintah


melalui

Peraturan

Menteri

Kesehatan

(Permenkes) No 419 Tahun 1990 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas
Air menetapkan bahwa kandungan kadmium maksimum yang diperbolehkan
adalah 0,005 mg/l dalam daftar persyaratan kualitas air bersih. Di Tahun 2010,
pemerintah menerbitkan Permenkes No. 492 tentang Persyaratan Kualitas Air

Minum dan menetapkan kadar maksimum kadmium dalam air minum adalah
0,003 mg/l.
2.7

Kinetika Kadmium dalam Tubuh
Absorbsi kadmium tergantung dari beberapa faktor, di antaranya : usia,

jenis kelamin, kebiasaan merokok, dan status gizi. Kadmium merupakan salah
satu toksin yang dapat terakumulasi, akan mengakibatkan kandungannya dalam
tubuh akan bertambah sesuai dengan usia. Kandungan kadmium dalam darah
perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Perempuan dengan kadar besi
yang rendah, diyakini berisiko terhadap absorbsi kadmium yang cukup besar
setelah terpapar secara oral (Olsson et al. 2002).
Sebanyak 10% sampai 50% dari kadmium yang terhirup akan diabsorbsi,
tergantung pada ukuran partikel, kelarutan senyawa kadmium yang terinhalasi,
dan lama pajanan (Jarup, 2002). Absorbsi sangat sedikit pada partikel kadmium
yang berukuran besar (lebih dari 10 μm) dan tidak larut air, sebaliknya bila ukuran
partikel kurang dari 0.1 μm dan mudah larut air, absorbsi akan lebih besar.
Absorbsi kadmium dari asap rokok sangat tinggi karena partikel kadmium yang
terdapat dalam asap rokok berukuran sangat kecil (ATSDR, 1999).
Asupan kadmium secara oral pada individu yang sehat dapat menyerap
sekitar 6% kadmium yang tertelan melalui saluran cerna, namun bagi orang yang
memiliki defisiensi besi absorpsi kadmium dapat mencapai 9% (ATSDR, 1999).
Kadmium dalam air jauh lebih mudah diabsorpsi dibanding kadmium dalam
makanan (5% dalam air dan 2% dalam makanan) (US EPA, 2006). Keberadaan

kromium dan zink pada konsentrasi yang tinggi dalam makanan dapat
menurunkan uptake kadmium.
Absorpsi kadmium melalui kulit bukan merupakan jalur pajanan yang
signifikan, hanya sekitar 0,5% kadmium yang diabsorpsi melewati kulit (ATSDR
2008).
Kadmium dalam tubuh dibuang melalui urin. Kecepatan ekskresi
kadmium rendah, disebabkan kadmium masih terikat erat dengan metallothionein
yang direabsorpsi hampir seluruhnya dalam tubulus ginjal. Akumulasi kadmium
dalam tubuh dapat bermakna, karena ekskresinya yang rendah. Konsentrasi
kadmium dalam darah merefleksikan pajanan yang baru terjadi, sedangkan
kadmium urin lebih menunjukkan kandungan total kadmium dalam tubuh. Namun
demikian, saat terjadi kerusakan ginjal akibat pajanan kadmium, kecepatan
ekskresi akan meningkat secara tajam, dan konsentrasi kadmium tidak lagi
merefleksikan kandungan kadmium dalam tubuh (ATSDR, 2008).
Kandungan kadmium dalam tubuh saat lahir tidak terdeteksi (CDC, 2005).
Konsentrasi kadmium secara bertahap akan meningkat sejalan dengan
pertambahan usia dari 9,5 mg sampai 50 mg (ATSDR, 1999). Ginjal dan hati
dapat mengandung 50% kadmium yang terakukmulasi dalam tubuh (HSDB,
2006).
Waktu paruh kadmium dalam ginjal diperkirakan sekitar 6 sampai 38
tahun, sedangkan dalam hati sekitar 4 sampai 19 tahun (ATSDR, 1999).
Sementara itu, Nordberg et al. (2007) memperkirakan waktu parah kadmium

adalah 7 (tujuh) sampai 16 tahun. Waktu paruh yang panjang menunjukkan bahwa
manusia tidak mempunyai jalur ekskresi yang efektif untuk membuang kadmium.
Kadmium dikenal tidak memiliki fungsi biologis pada manusia. Akumulasi
kadmium yang berlebihan dalam tubuh dianggap berpotensi toksik.
2.8

Mekanisme Toksisitas Kadmium

Gambar 2.1 Skema Absorbsi dan Distribusi Kadmium dalam Tubuh (Sumber
Prozialeck et al, 2010)
Skema yang tertera pada gambar 2.1 menjelaskan gambaran absorbsi dan
distribusi kadmium dalam tubuh. Pada pajanan dari sistem respirasi, kadmium
sangat efisien diabsorbsi dari paru-paru. Pada kisaran 40 – 60 % kadmium yang
diinhalasi akan sampai ke sirkulasi sistemik. Pada pajanan oral, absorbsi kadmium
dari sistem pencernaan sangat rendah hanya 5 – 10%. Namun demikian, dengan
pajanan dalam waktu yang lama, meskipun dengan konsentrasi absorbsi dari
saluran gastrointestinal yang rendah, dapat mengakibatkan akumulasi kadmium

secara sistemik dan berlanjut dengan terjadinya kerusakan organ (Prozialec et al,
2010).
Kadmium yang diabsorbsi ke dalam pembuluh darah, baik yang berasal
dari paru-paru atau saluran cerna, akan terkonsentrasi di dalam sel darah (terutama
eritrosit, tapi juga leukosit), hanya sekitar 10% yang tertinggal di plasma darah.
Oleh sebab itu, pemantauan sampel darah untuk tingkat pajanan kadmium akan
mengikutsertakan analisis darah lengkap. Selain itu, penting juga untuk diketahui
bahwa pada dasarnya seluruh kadmium yang berada di plasma darah terikat pada
protein dan molekul lain (Barbier et al., 2005; Bridges et al., 2005). Kadmium di
plasma dapat juga terikat pada protein spesifik yang mengikat logam yaitu
metallothionein atau dapat beredar bebas dan bergabung dengan molekul-molekul
seperti albumin, asam amino, senyawa sulfhidril, glutation atau sistein. Daya
afinitas kadmium terhadap metallothionein yang sangat kuat menyebabkan
kadmium tidak dapat diambil oleh kebanyakan jaringan, namun kompleks
kadmium-metallothionein dapat diambil oleh epitel tubulus proksimal (Klaassen
et al., 2009).
Kadmium yang diabsorbsi melalui pajanan oral pada awalnya akan
ditransportasikan ke hati melalui sirkulasi portal dan akan masuk ke hepatosit (sel
hati). Di dalam sel hati, kadmium akan menginduksi sintesa metallothionein,
yang kemudian akan mengikat dan mengisolasi kadmium, dengan cara demikian
akan menahan dampak toksik kadmium di dalam sel. Namun, saat sel hati dimana
terdapat kadmium yang diisolasi mati, apakah melalui turn over yang normal atau

akibat kerusakan kadmium maka komplek kadmium-metallothionein akan terlepas
ke dalam pembulah darah (Klaassen et al., 2009). Meskipun komplek kadmiummetallothionein tidak menyebabkan efek toksik bagi sebagian besar organ,
komplek ini akan difiltrasi di glomerulus dan diambil kembali oleh sel epitel
tubulus proksimal, efekya adalah kadmium-metallothionein memiliki efek
paradox yang mempermudah mengantarkan kadmium dari hati ke ginjal (Bridges
dan Zalups, 2005).
Setelah kadmium diambil oleh sel epitel tubulus proksimal, komplek
kadmium-metallothionein awalnya terakumulasi di dalam lisosom, dimana
komlek ini akan didegradasi, mengakibatkan kadmium akan dibebaskan di dalam
sel. Pelepasan Cd2+ akan dengan cepat bergabung dengan group sulfhidril
intraseluler, baik yang berada pada protein atau dengan senyawa berat molekul
yang rendah seperti glutation. Interaksi kadmium dengan group sulfhidril dapat
menyebabkan perubahan fungsi protein secara langsung dan mengakibatkan
induksi stress oksidatif (Liu et al., 2009). Kadmium intraseluler menyebabkan
perubahan fungsi tubulus proksimal dan merontokkan sel-sel yang rusak yang
kemudian akan dibuang melalui urin. Rontoknya sel-sel yang mati atau yang
mengalami kerusakan memicu proses perbaikan yaitu dengan terjadinya
dediferensiasi sel-sel yang tidak mengalami injury dalam satu proses yang disebut
pembentukan epitel mesenkim transformal. Sel yang ter-dediferensiasi bermigrasi
menuju area yang sudah rontok dari membrane basal dan menggantikan sel-sel
yang sudah mengalami kerusakan (Boventere, 2003).

Organ utama yang dirusak oleh kadmium akibat pajanan kronis adalah
ginjal dan tulang. Paru-paru merupakan organ target pada pajanan akut dosis
tinggi melalui saluran pernafasan. Kadmium dikenal dapat meningkatkan stres
oksidatif melalui keberadaan katalis dalam pembentukan spesis oksigen reaktif,
meningkatkan peroksidasi lemak, dan menurunkan glutathione dan grup
sulfhydryl yang terikat protein. Kadmium juga dapat menstimulasi produksi
sitokin inflamasi dan menurunkan fugsi protektif dari pembentukan nitrit oksida
(Navas-Acien et al. 2004).
Kadmium mengekspresikan aktifitas genotoksik in vitro dalam sel dan in
vivo pada hewan. Bukti epidemiologi untuk genotoksisitas pada manusia secara in
vivo masih sangat terbatas. Penelitian okupasional menunjukkan peningkatan
jumlah penyimpangan kromosom dalam limfosit pada pekerja yang terpajan
kadmium (NTP, 2004). Kadmium telah ditemukan menyebabkan kerusakan
kromosom dalam studi eksperimen pada hewan yang diberikan secara subkutan
(ATSDR, 1999). Kadmium mengakibatkan mutasi, putusnya rantai DNA,
kerusakan kromosom, transformasi sel dan gangguan perbaikan DNA dalam
kultur sel DNA (NTP, 2004). Kadmium diketahui dapat mengubah ekspresi gen
dan sinyal transduksi (Waisberg et al. 2003).
Logam kadmium dan beberapa senyawa kadmium (kadmium klorida,
oksida, sulfat, dan sulfit) terbukti sebagai agen karsinogenik pada hewan. Jenis
kanker yang pernah terjadi pada hewan adalah kanker prostat, paru, dan testikular
(Sahmoun et al. 2005; ATSDR,1999).

2.9

Dampak Kadmium tehadap Ginjal
Ginjal adalah target organ utama akibat pajanan kronik kadmium.

Kerusakan ginjal dapat terjadi akibat inhalasi atau ingesti. Dari hasil penelitian
pada manusia menunjukkan bahwa pajanan kadmium selama lebih kurang sekitar
10 tahun dapat mengakibatkan kerusakan ginjal, tergantung intensitas pajanan.
Pajanan kadmium yang kronik dihubungkan dengan disfungsi tubulus ginjal yang
progresif. Tanda awal abnormalitas ginjal adalah ditemukannya proteinuria
tubulus pada konsentrasi 2 - 4 μg/g kreatinin yaitu B2MG dan ά1-mikroglobulin
yang merupakan biomarker kerusakan ginjal akibat pajanan kadmium. Enzimes
N-acetyl-B-glucosaminidase (NAG) akan meningkat dalam urin dan tanda-tanda
kerusakan glomerulus ginjal seperti peningkatan albumin dalam urin dan
penurunan laju filtrasi glomerulus juga terlihat. Pada tingkat akhir kerusakan
ginjal adalah adanya glycosuria, sisa kalsium dan fosfat dan gangguan
metabolisme kalsium dengan efek sekunder pada tulang yaitu osteoporosis dan
osteomalasia (Roels et al. 1999; Jarup et al. 2000).
Beberapa ahli percaya bahwa mikroproteinuria berkaitan dengan pajanan
kadmium tidak selalu progresif meskipun setelah penghentian pajanan terjadi pada
kandungan kadmium urin > 4 μg/g kreatinin atau pada kondisi konsentrasi B2MG
urin > 1.000 µg/g kreatinin (Ikeda et al. 2005; Kobayashi et al. 2006). Para ahli
lainnya berpendapat bahwa disfungsi tubulus ginjal akibat pajanan kadmium
irreversible (Iwata et al. 1993).

Nefropati kadmium adalah penentu kematian yang penting pada pekerja
kadmium. Efek toksik di ginjal berkaitan dengan dosis kadmium (Mueller et al.
1992). Bagi para pekerja, risiko nefropati klinis meningkat secara signifikan
dengan total pajanan udara lebih besar dari 300 mg/m3, konsentrasi kadmium urin
lebih dari 10 µg/g creatinine, dan konsentrasi kortek ginjal di atas 200 ppm (Roels
et al. 1999).
Tanda-tanda dini kerusakan ginjal yang telah dilaporkan dari populasi
umum adalah konsentrasi kadmium urin antara 2-4 nmol/mmol kreatinin.
Sejumlah penelitian telah melihat efek kadmium pada ginjal akibat pajanan
lingkungan yaitu Cadmibel (Buchet et al. 1990), Jepang (Ikeda et al. 2003, 2005;
Kobayashi et al. 2006), OSCAR (Jarup et al. 2000), Swedia, dan US (Noonan et
al. 2002).
Penelitian-penelitian ini telah membuktikan bahwa meskipun terpajan
kadmium dalam konsentrasi yang sangat rendah kadmium masih mengakibatkan
efek yang merusak ginjal. WHO telah menetapkan bahwa konsentrasi kadmium
200 μg/g berat basah ginjal menyebabkan efek yang merusak ginjal pada 10%
populasi (Satoh et al. 2002).
Di masa lalu, beberapa studi populasi yang terpajan dari lingkungan dan
tempat kerja telah menunjukkan bahwa ambang batas kerusakan ginjal terjadi bila
konsentrasi kadmium 2-4 nmol/mmol kreatinin (Buchet et al. 1990); Namun
demikian, studi OSCAR menunjukkan bahwa populasi dengan konsentrasi
kadmium urin sebesar 1 nmol/mmol kreatinin mempunyai tiga kali risiko

peningkatan ά-1 mikroglobulin (Jarup et al. 2000). Noonan et al. (2002)
melaporkan bahwa belum diketahui jika perubahan subklinis dini pada biomarker
ginjal berhubungan dengan pajanan kadmium pada konsentrasi yang rendah
memiliki hubungan dengan penurunan fungsi ginjal. Pajanan konsentrasi yang
biasa diterima di lingkungan kerja dapat meningkatkan ekskresi protein berat
molekul tinggi seperti albumin dan transferin yang merupakan tanda dini dari
kerusakan glomerulus akibat pajanan kadmium.
Bila telah terjadi kerusakan pada glomerulus maka akan irreversible dan
tingkat kerusakan akan tergantung pada dosis (Jarup, 2002). Laju Filtrasi
Glomerulus (LFG) menurun dengan lambat berlangsung progresif, membuktikan
bahwa kadmium mempercepat penurunan fungsi ginjal. Uremia jarang terjadi,
namun kapasitas cadangan filtrasi menurun dapat ditunjukkan pada pekerjapekerja yang terpajan kadmium dengan LFG dan kreatinin serum yang normal.
Pajanan kadmium juga mempermudah perkembangan glomerulopati pada
populasi diabetik (Buchet et al. 1990). Pajanan kadmium yang mencukupi dapat
juga mengarah pada penurunan LFG dan gagal ginjal kronik yang ditandai oleh :
aminoasiduria, glukosuria, hiperkalsiuria, hiperfosfaturia, dan poliuria (Jarup
2002).
Batu ginjal cukup sering terjadi pada populasi yang terpajan kadmium.
Angka prevalen batu ginjal ditemukan sekitar 18% sampai 44% dibandingkan
angka prevalen populasi kontrol yang kurang dari 5%. Pembentukan batu
kemungkinan disebabkan kerusakan ginjal yang mengakibatkan hiperkalsiuria dan

hiperfosfaturia. Faktor lain yang juga ikut berkontribusi adalah asam urat urin,
penurunan sitrat urin dan asidosis tubulus renal.
2.10

Biomarker Akibat Pajanan Kadmium

2.10.1 Kadmium Urin
Pada pajanan rendah dan sedang, kadmium urin merefleksikan pajanan
yang terpadu dari berbagai jalur pajanan dan kandungan kadmium dalam tubuh
secara total. Kandungan kadmium dalam urin tidak meningkat secara signifikan
setelah pajanan akut dan tidak berguna untuk pemeriksaan akibat pajanan akut. Di
lingkungan kerja, kandungan kadmium urin memberikan sedikit atau bahkan tidak
adanya informasi yang bermanfaat selama pajanan pada tahun pertama. Menurut
data dari NHANES, orang-orang muda yang sehat yang bukan perokok dan tidak
terpapar kadmium di tempat kerja memiliki kandungan kadmium yang sangat
rendah (kandungan rata-rata 0,08 μg/g kreatinin) (Jarup 2002).
Konsentrasi kadmium urin berbanding lurus dengan konsentrasinya di
ginjal. Namun perkiraan ini tidak sepenuhnya tepat. Konsentrasi kadmium urin
sebesar 5 µg/g kreatinin akan sepadan dengan 100 mg/g kreatinin di ginjal,
sementara konsentrasi sebesar 2,5 µg/g kreatinin akan sesuai dengan 50 mg/g
kreatinin di ginjal. Namun demikian, segera setelah pajanan kadmium pada
konsentrasi yang tinggi akibat terkena gas buangan, ekskresi kadmium urin
sementara meningkat tanpa adanya peningkatan yang sama pada kandungan
kadmium dalam tubuh. (Elinder et al. 1988).

Umumnya, pada orang-orang yang bukan perokok konsentrasi kadmium
urin berada pada kisaran 0,02 – 0,7 µg/g kreatinin dan konsentrasinya akan
perlahan meningkat sesuai dengan pertambahan usia dan sebanding dengan
akumulasi konsentrasinya di ginjal. Perokok pada umumnya memiliki kandungan
kadmium urin lebih tinggi dibandingkan bukan perokok (Mannino et al. 2004).
Selama terpajan dalam jangka waktu yang lama di tempat kerja
konsentrasi kadmium urin meningkat perlahan dan sebanding dengan jumlah
akumulasinya di dalam tubuh. Berdasarkan laporan nasional ke-3 mengenai
pajanan bahan-bahan kimia dari lingkungan menunjukkan bahwa konsentrasi
kadmium urin pada usia≥ 20 tahun adalah 0,210 μg/g kreatinin selama tahun
2001-2002 (CDC, 2005).
Bila seluruh tempat pengikatan kadmium di ginjal telah jenuh setelah
terpajan secara kronik pada konsentrasi yang tinggi, disfungsi ginjal dan
konsentrasi kadmium urin meningkat secara dramatis. Pada kondisi ini,
konsentrasi urin lebih merefleksikan pajanan yang baru terjadi bukan kandungan
total kadmium

dalam tubuh. Disfungsi renal dianggap belum terjadi bila

konsentrasi kadmium urin kurang dari 10 µg/g kreatinin (Roels et al. 1999).
2.10.2 Kadmium Darah
Kadmium terlokalisir terutama di dalam sel darah merah. Konsentrasinya
di dalam plasma atau serum rendah dan sulit untuk diukur. Pada orang-orang yang
tidak terpajan kadmium kadar kadmium dalam darah berada pada kisaran 0,1
sampai 0,8 µg/l. Sedangkan, pada perokok dan orang-orang yang terpajan

kadmium di tempat kerja konsentrasi kadmium cukup tinggi yaitu sekitar 1 – 4
µg/l (Jarup et al. 1998).
Kandungan kadmium dalam darah menunjukkan pajanan akut yang baru
terjadi, namun tidak berhubungan dengan beban tubuh jangka panjang atau efek
klinis, dan tidak dapat digunakan untuk menentukan indikasi pengendalian (Jarup,
2002). Selama terpajan kadmium, kadar kadmium dalam darah meningkat sangat
cepat. Analisa darah dapat membantu mengidentifikasi individu yang terpajan
kadmium dalam konsentrasi yang tinggi, dan pencegahan dapat dilakukan untuk
menurunkan pajanan sebelum kerusakan ginjal terjadi. Setelah beberapa bulan
terpajan, kadmium darah mencapai konsentrasi yang menggambarkan intensitas
pajanan. Jika pajanan dihentikan, konsentrasi kadmium darah akan berkurang
cepat. Waktu paruh awalnya berlangsung dalam waktu 2-3 bulan. Namun
demikian, akumulasi kadmium dalam tubuh akan memengaruhi konsentrasi
kadmium dalam darah. Oleh sebab itu, setelah penghentian pajanan, konsentrasi
kadmium darah tidak akan berkurang sampai ke tingkat sebelum terpajan. Fakta
menunjukkan bahwa setelah penghentian pajanan yang tinggi, kadmium darah
atau kadmium di ginjal dapat dijadikan sebagai perkiraan yang baik dari
akumulasi

kadmium dalam tubuh. Dari pemeriksaan pekerja-pekerja yang

terpajan kadmium selama lebih dari 15 tahun setelah pajanan dihentikan ternyata
kadar kadmium darah masih cukup tinggi dan berhubungan dengan kerusakan
tubulus (Jarup, 1998).

Pada populasi umum, kadmium darah juga sangat dipengaruhi oleh
kandungan kadmium dalam tubuh. Dalam satu studi yang bertujuan untuk melihat
pengaruh konsentrasi kadmium darah dari berbagai sumber diet menunjukkan
bahwa tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara konsentrasi kadmium
darah dan diet. Namun, konsentrasi kadmium urin (menggambarkan kandungan
kadmium dalam tubuh) dan ferritin serum (ukuran cadangan besi dalam tubuh)
merupakan faktor yang menetukan konsentrasi kadmium darah (Berglund et al.
1994).
Pengaruh akumulasi kadmium pada konsentrasi kadmium darah
menyebabkan peningkatan kadmium darah sesuai dengan peningkatan usia
(Berglund et al. 1994). Orang yang berusia lanjut memiliki kandungan kadmium
darah lebih tinggi dibandingkan pada dewasa muda. Pada sebuah penelitian
mengenai konsentrasi kadmium darah pada orang dewasa dan orang tua,
peningkatan kadar kadmium darah sesuai dengan usia diamati terjadi pada lelaki
yang bukan perokok, namun tidak terjadi pada wanita yang tidak merokok, hal ini
dimungkinkan terjadi akibat absorbsi intestinal yang lebih tinggi karena
kandungan besi yang tidak adekuat pada saat sebelum dan sesudah menopause
(Baecklund et al. 1996).
Umumnya wanita mempunyai kandungan kadmium darah yang lebih
tinggi dibanding pada laki-laki. Pada penelitian yang dinyatakan sebelumnya pada
orang yang lanjut usia, wanita yang berusia 50-55 tahun memiliki konsentrasi
kadmium darah lebih tinggi (0,5 µg/l) daripada laki-laki dengan usia yang sama

(0,3 µg/l). Perbedaan ini mungkin berhubungan dengan diet kadmium pada wanita
dengan kondisi besi yang rendah sebelum menopause.
Pada wanita hamil juga menunjukkan kecendrungan kadar kadmium darah
yang lebih tinggi dibanding wanita yang tidak hamil. Alasan yang menyebabkan
peningkatan kadmium darah selama hamil adalah terjadinya peningkatan absorbsi
kadmium karena penurunan cadangan besi dalam tubuh yang biasanya terjadi
pada trimester ketiga kehamilan (Chan et al. 1993). Pada wanita yang tidak hamil
penurunan cadangan besi dalam tubuh berkaitan dengan meningkatnya
konsentrasi kadmium darah (Berglund et al. 1994).
Kandungan kadmium darah untuk populasi sehat yang tidak terpajan
kadmium di US dengan batas kepercayaan 95% adalah 0,4 μg/L. Populasi yang
terpajan kadmium di tempat kerja memiliki kandungan kadmium darah yang lebih
tinggi dibandingkan populasi umum (CDC, 2005).

2.10.3 Kadmium di Ginjal
Kadmium terakumulasi terutama di hati dan ginjal dan konsentrasi tertinggi
ditemukan pada korteks ginjal. Konsentrasi kadmium di ginjal akan meningkat
sampai usia 50 – 60 tahun dan setelah itu akan menurun. Namun demikian,
terdapat variasi yang sangat besar di antara masyarakat di tempat dan group yang
sama (Elinder et al. 1988).
Konsentrasi kadmium pada korteks ginjal dapat diukur melalui pengambilan
sampel dari otopsi atau secara in vivo melalui pemeriksaan fluoresensi dengan

sinar-X atau analisis aktivasi neutron. Metode in vivo memberikan sejumlah
keuntungan dibandingkan dengan analisis sampel dari otopsi yaitu pemilihan
popolasi studi dan kemungkinan untuk melakukan follow up orang berdasarkan
waktu. Pilihan untuk melakukan otopsi biasanya pada korban-korban yang
mengalami kematian mendadak atau kematian akibat kecelakaan. Pemeriksaan
otopsi ini tidak mewakili populasi umum (Jarup et al., 1998).

2.10.4 Metallothionein Urin
Metallothionein adalah protein lainnya dengan berat molekul rendah yang
disintesis akibat respon dari pajanan kadmium dan logam lain. Kandungan
metallothionein urin berkorelasi kuat dengan kandungan kadmium urin dan dapat
merefleksikan kandungan kadmium total dalam tubuh. Tapi, konsentrasi dalam
urin akan meningkat secara signifikan bila gangguan ginjal telah terjadi (Bernard,
1997).
Metallothionein bertindak sebagai protein pengangkut atau protein
penyimpanan

untuk

kadmium.

Saat

kadmium

diinjeksikan

bersama

metallothionein maka terjadi peletakan kadmium secara selektif di ginjal dan
kerusakan tubulus ginjal akan terjadi lebih berat bila dibandingkan dengan hanya
pemberian kadmium sendiri (Maitani et al. 1988). Peningkatan kerusakan ginjal
dapat disebabkan oleh lebih banyaknya ambilan kadmium di ginjal ketika
kadmium diberikan bersama metallothionein bukan sebagai kadmium bebas.
Konsentrasi kritis metallothionein kadmium di ginjal adalah 10 µg/g, sangat

berbeda jauh dengan konsentrasi kadmium anorganik bila tanpa metallothionein
yaitu 130-200 µg/g. Pengamatan ini sesuai dengan dugaan bahwa kadmium yang
terikat ke metallothionein lebih diutamakan disaring melalui glomerulus lalu
diabsorbsi dan disimpan di tubulus atau masuk ke tubulus ginjal langsung dari
kapiler peritubular. Zink-metallothionein, senyawa yang berbeda dengan
kadmium-metallothionein, merupakan agen nontoksik ketika diberikan dalam
dosis yang sebanding menunjukkan efek proteksi terhadap terjadinya kerusakan
ginjal (Dorian dan Klaassen, 1995).
Sato dan Kondoh (2002) mempublikasikan hasil review terhadap peran
metallothionein pada toksisitas kadmium. Sintesis metallothionein diinduksi oleh
berbagai macam stimulus seperti kadmium, merkuri, zink, stress oksidatif,
glukokortikoid, dan agen anti kanker. Dari sebuah studi yang menggunakan tikustikus

yang

telah

dihilangkan

metallothionein-nya

menunjukkan

bahwa

metallothionein mempunyai kemampuan untuk memberikan perlindungan
terhadap kerusakan ginjal, hati dan tulang akibat diinduksi oleh kadmium ( Liu et
al. 2000)
Metallothionein juga memiliki kemampuan untuk membersihkan oksigen
radikal bebas. Sebuah eksperimen dilakukan dengan pemberian injeksi kadmium
klorida secara subkutan dengan dosis enam kali perminggu selama sepuluh
minggu kepada kelompok tikus yang telah dihilangkan metallothioneinnya dan
kelompok kontrol. Pada kelompok kontrol, kandungan kadmium ginjal meningkat
sesuai dengan dosis dan waktu pemberian, mencapai 140 µg kadmium per gram

ginjal, sejalan dengan peningkatan 150 kali konsentrasi metallothionein ginjal,
yang mencapai 800 µg metallothionein per gram ginjal. Pada kelompok tikus yang
telah dihilangkan kandungan metallothionein-nya, konsentrasi kadmium ginjal
jauh lebih rendah dan metallothionein ginjal tidak ditemukan. Tikus-tikus yang
tidak

memiliki

metallothionein

lebih

mudah

terkena

kerusakan

ginjal

dibandingkan kelompok kontrol, yang dibuktikan oleh terjadinya peningkatan
ekskresi protein urin, glukosa urin, gamma glutamyl transferase, dan NAG urin
serta peningkatan kadar nitrogen urea darah. Ginjal pada tikus-tikus yang
diberikan kadmium melebar dan secara histopatologi menunjukkan bentuk-bentuk
lesi yang bervariasi termasuk degenerasi tubulus proksimal, apoptosis, atrofi,
inflamasi intersisiel, dan pembengkakan glomerulus. Kelainan ini tampak lebih
berat pada tikus-tikus yang tidak memiliki metallothionein dibanding kelompok
tikus kontrol. (Liu et al. 2000). Oleh sebab itu, kerusakan ginjal yang diinduksi
oleh kadmium tidak sepenuhnya diperantarai melalui kompleks kadmiummetallothionein, meskipun metallothionein tampak sebagai protein intraseluler
yang penting dalam perlindungan terhadap terjadinya kerusakan ginjal (Gonick,
2008).

2.10.5 Kadmium di Rambut
Sejumlah studi menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang
bermakna antara kandungan kadmium dalam rambut dengan beban kadmium
dalam tubuh. Konsentrasi kadmium dalam rambut bukan merupakan prediktor

yang baik untuk indikator pajanan kadmium di tempat kerja, karena besarnya
peluang kontaminasi dari lingkungan. Kadmium yang terakumulasi di rambut
menggambarkan konsentrasi logam ini dalam darah selama fase pertumbuhan
rambut. (Lauwerys et al. 1994).

2.10.6 β2-mikroglobulin (B2MG) Urin
Salah satu tanda kerusakan tubulus ginjal adalah peningkatan ekskresi
protein dengan berat molekul rendah yaitu B2MG urin. B2MG diisolasi pada
tahun 1968 oleh beggard dan Bearn dari urin penderita penyakit Wilson dan
keracunan kadmium kronik, kedua kondisi tersebut ditandai secara primer dengan
kerusakan tubulus proksimal ginjal. B2MG adalah protein berat molekul rendah
dengan berat 11.800 daltonn yang terdiri dari 100 asam amino dengan satu
jembatan disulfida. Sekitar 95% B2MG difiltrasi melalui glomerulus dan
direabsorbsi hampir seluruhnya dan dikatabolisassi oleh sel-sel di tubulus
proksimal ginjal. Ginjal yang sehat mampu mengabsorbsi sekitar 99,9% B2MG
yang difiltrasi, artinya maksmial 370 µg/24 jam akan diekskresikan ke dalam urin.
Adanya kerusakan tubulus proksimal dengan laju filtrasi glomerulus yang normal
akan berkaitan dengan penurunan reabsorbsi tubulus dan meningkatkan ekskresi
B2MG urin (Schardijn dan Eps, 1987).
Cukup banyak kondisi patologik yang melibatkan tubulus proksimal dan
mengakibatkan peningkatan ekskresi B2MG di urin sebagai dampak dari
penurunan reabsorbsi tubulus. Dua dari 36% pasien yang diterapi dengan

antibiotika golongan aminoglikosida menunjukkan tanda-tanda penurunan fungsi
ginjal yang diinduksi obat. Kerusakan terbatas pada tubulus proksimal, tempat
dimana terjadi akumulasi aminoglikosida, dapat mencapai konsentrasi lebih dari
50 kali konsentrasi dalam serum. Akibatnya adalah kerusakan batas tubulus
proksimal karena pembengkakan dan ruptur dari lisosom, yang berlanjut pada
autolisis dan nekrosis sel. Sebagian besar logam-logam berat terakumulasi di
ginjal dan khususnya di tubulus proksimal. Kadmium banyak digunakan di
berbagai industri telah cukup banyak dipelajari dalam kaitannya sebagai penyebab
kerusakan ginjal. Ekskresi kadmium melalui ginjal setelah terpajan 10 – 34 tahun
cukup lambat. Pekerja-pekerja yang terpajan kadmium memiliki 100 – 1000 kali
ekskresi yang lebih tinggi dibanding populasi umum. Ekskresi protein 10 – 20 kali
lebih tinggi pada perokok dibanding bukan perokok. Studi-studi pada populasi di
daerah yang terkontaminasi kadmium seperti di Swedia, Jepang, dan UK (United
Kingdom) menunjukkan peningkatan ekskresi B2MG di urin, yang berhubungan
dengan durasi pajanan. Di jepang, kombinasi kerusakan ginjal dan osteomalsia
dikenal dengan nama Itai-Itai Disease. Kerusakan kadmiium di tubulus proksimal
biasanya irreverible, meskipun pada sebagian penderita menunjukkan perbaikan
setelah dipindahkan dari daerah yang terkontaminasi (Jarup, 2002). Penyakit
tubulus

ginjal

spesifik

seperti

Sindroma

Fanconi,

penyakit

Wilson,

nephrocalcinosis, penurunan kadar kalsium kronik dan penyakit tubulus lainnya
ditandai dengan peningkatan B2MG urin (Schardijn dan Eps, 1987).

Pada orang yang sehat dan tidak terpajan kadmium, konsentrasi B2MG
adalah sekitar 200 µg/g kreatinin. Ekskresi akan meningkat sesuai dengan
pertambahan usia dan pajanan kadmium. Pada pekerja-pekerja yang terpajan
kadmium, konsentrasi urin dapat lebih besar dari 300 µg/g kreatinine yang
mengindikasikan kemungkinan terjadinya penyakit ginjal awal, dan pekerjapekerja yang demikian seharusnya mendapat pemeriksaan lanjutan (ATSDR,
2010).
Tabel berikut menampilkan nilai konsentrasi B2MG yang berkaitan
dengan kondisi ginjal (ATSDR, 1997).
Tabel 2.1 Kadar B2MG Urin Yang Berhubungan dengan Fungsi Ginjal
Konsentrasi Beta 2 Mikroglobulin

Kondisi

< 300 µg/g kreatinin

Nilai normal

300 – 1.000 µg/g kreatinin

Ancaman kerusakan tubulus (kemungkinan
masih reversibel bila dihentikan pajanan dari
kadmium). Tidak ada perubahan pada laju fitrasi
glomerulus (LFG)

1.000 – 10.000 µg/g kreatinin

Proteinuria tubulus yang irreversible yang dapat
berlanjut pada penurunan LFG. LFG dapat
normal atau sedikit mengalami perubahan

> 10.000 µg/g kreatinin

Nefropati kadmium yang biasanya diikuti oleh
penurunan LFG

2.10.7 Retinol Binding Protein (RBP) Urin
RBP adalah protein berat molekul rendah lainnya yang ditemukan dalam
urin setelah terpajan kadmium dalam waktu lama. Namun, RBP bukan temuan
yang spesifik bila reabsorpsi tubulus ginjal menurun akibat kasus tertentu. Oleh

sebab itu, RBP hanya digunakan sebagai pemeriksaan konfirmasi dalam kasus
tersangka pajanan kadmium (ATSDR, 2010).

2.11

Albuminuria
Albuminuria adalah ekskresi albumin urin dengan konsentrasi antara 30

sampai 300 mg/hari jika diukur dengan pengumpulan urin selama 24 jam, atau
antara 30 sampai 300 mg/g jika diukur dengan menggunakan rasio kreatinin
albumin urin dengan pengumpulan urin sewaktu. Makroalbuminuria atau
proteinuria klinik menunjukkan bahwa setiap ekskresi albumin atau protein telah
melebihi konsentrasi ini. Skrining albuminuria direkomendasikan untuk pasienpasien yang mengalami hipertensi, diabetes, dan penyakit ginjal kronik dini,
namun karena skrining mudah dan berbiaya murah maka juga direkomendasikan
untuk populasi umum (Bakris, 2007; Duka, 2008).
Pengukuran albuminuria dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu
dengan mengukur konsentrasi albumin atau rasio kreatinin albumin dalam
spesimen urin sewaktu acak. Selain itu juga dapat dilakukan dengan mengukur
konsentrasi albumin dan secara simultan mengukur bersihan kreatinin dalam
pengumpulan urin selama 24 jam. Cara yang lain adalah dengan melakukan
pengukuran konsentrasi albumin dengan pengumpulan urin dalam waktu tertentu.
Prevalensi proteinuria (makroalbuminuria) pada populasi sehat di negara
AS adalah sekitar 1,3%. Kondisi ini lumrah terjadi pada orang-orang yang lanjut
usia dan sangat umum terjadi pada penderita diabetes dan hipertensi (Atkins et al.

2004). Pada 80% penderita diabetes tipe 1 dan sekitar 20-40% penderita diabetes
tipe

2

dengan

albuminuria

(

Dokumen yang terkait

Kajian Air Lindi Di Tempat Pembuangan Akhir Terjun Menggunakan Metode Thornthwaite

8 88 75

Analisa Kandungan Nitrat Air Sumur Gali Masyarakat Di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Di Desa Namo Bintang Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang Tahun 2009

2 70 72

Dampak Peralihan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Namo Bintang Terhadap Kesejahteraan Sosial Rumah Tangga Pemulung di Desa Baru, Kecamatan Pancur Batu, Kabupatem Deli Serdang

5 82 169

RISIKO GANGGUAN KESEHATAN PADA MASYARAKAT DI SEKITAR TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR (TPA) SAMPAH TANJUNGREJO KABUPATEN KUDUS

4 21 132

Dampak Keberadaan Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) “Namo Bintang” terhadap Masyarakat (Studi Kasus: Desa Namo Bintang, Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang)

0 8 94

Analisis Risiko Asupan Kadmium Melalui Oral Terhadap Terjadinya Proteinuria Pada Masyarakat Di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Namo Bintang

0 0 20

Analisis Risiko Asupan Kadmium Melalui Oral Terhadap Terjadinya Proteinuria Pada Masyarakat Di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Namo Bintang

0 0 2

Analisis Risiko Asupan Kadmium Melalui Oral Terhadap Terjadinya Proteinuria Pada Masyarakat Di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Namo Bintang

0 1 13

Analisis Risiko Asupan Kadmium Melalui Oral Terhadap Terjadinya Proteinuria Pada Masyarakat Di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Namo Bintang

0 2 15

Analisis Risiko Asupan Kadmium Melalui Oral Terhadap Terjadinya Proteinuria Pada Masyarakat Di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Namo Bintang

0 0 72