Kajian Air Lindi Di Tempat Pembuangan Akhir Terjun Menggunakan Metode Thornthwaite

(1)

KAJIAN AIR LINDI DI TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR TERJUN MENGGUNAKAN METODE THORNTHWAITE

T E S I S

OLEH

RAHMADHANI FITRI 107004003/PSL

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2012


(2)

KAJIAN AIR LINDI DI TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR TERJUN MENGGUNAKAN METODE THORNTHWAITE

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan

Lingkungan pada Sekolah Pascasarjana Universitas sumatera Utara

OLEH

RAHMADHANI FITRI 107004003/PSL

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2012


(3)

Judul Tesis : KAJIAN AIR LINDI DI TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR TERJUN MENGGUNAKAN METODE THORNTHWAITE

Nama Mahasiswa : Rahmadhani Fitri Nomor Pokok : 107004003

Program Studi : Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan

Menyetujui : Komisi Pembimbing

Ketua

(Prof. Dr. Ir. Roesyanto, MSCE)

(Prof. Dr. Harry Agusnar, M. Phil, M. Sc) (

Anggota Anggota

Prof. Dr. Ir. Abdul Rauf, MP)

Ketua Program Studi, Direktur,

(Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS) (Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE)


(4)

Telah diuji pada Tanggal : 23 Juli 2012

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Ir. Roesyanto, MSCE

Anggota : 1. Prof. Dr. Harry Agusnar, M. Phil, M. Sc 2. Prof. Dr. Ir. Abdul Rauf, MP

3. Prof. Dr. Harlem Marpaung, MS 4. Drs. Chaeruddin M.Sc


(5)

PERNYATAAN

Judul Tesis

“KAJIAN AIR LINDI DI TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR

TERJUN MENGGUNAKAN METODE THORNTHWAITE”

Dengan ini penulis menyatakan bahwa tesisi ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya penulis sendiri.

Adapun pengutipan – pengutipan yang penulis lakukan pada bagian – bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan tesis ini, telah penulis cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian tesis ini bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian – bagian tertentu, penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang penulis sandang dan sanksi – sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, Juli 2012 Penulis


(6)

KAJIAN AIR LINDI DI TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR TERJUN MENGGUNAKAN METODE THORNTHWAITE

ABSTRAK

Sampah merupakan persoalan rumit dihadapi oleh pengelola kota dalam menyediakan sarana dan prasarana kota. TPA Terjun berlokasi di Kelurahan Terjun Kecamatan Medan Marelan yang dioperasikan dengan system open dumping. Open dumping banyak menimbulkan masalah lingkungan dan sosial akibat lindi yang keluar. Penelitian ini untuk mengevaluasi kesesuaian lahan TPA Terjun sebagai TPA Kota Medan berdasarkan SNI dan USDA, menghitung jumlah air lindi dengan menggunakan neraca Thorntwaite, menganalisis kualitas air lindi di TPA Terjun dan menganalisis alternatif sistem pengolahan lindi. Luas pengelolaan sampah TPA Terjun dengan menggunakan model tracks pada Global Positioning System (GPS) yang kemudian diolah dengan program Argis dan dibuat dalam bentuk peta. Evaluasi lahan TPA Terjun berdasarkan SNI 03-3241-1997 tentang Tata Cara Pemilihan Lokasi TPA masih ada kriteria yang belum sesuai SNI, diantaranya muka air tanah, kelulusan tanah dan daerah banjir ulang pada periode 25 tahun. Evaluasi lahan TPA Terjun berdasarkan United States Department of Agriculture (USDA) tahun 1971 berada pada kategori sedang untuk faktor pembatas ancaman banjir dan muka air tanah. Komposisi sampah organik TPA Terjun sebesar 74,07 %. Data Hujan dan Temperatur bulanan selama 5 Tahun dari Tahun 2007 sampai Tahun 2011 dengan metode Thornthwaite mendapatkan nilai perkolasi 376 mm dan volume lindi yang dikelola 11.882 m3. Perkolasi tertinggi terjadi pada bulan Oktober yaitu 124,9 mm dengan luas lahan 3,16 Ha diperoleh debit 3946,84 m3/bulan atau 1,5 lt/dt/hr. Kualitas lindi Tahun 2011 menunjukkan parameter BOD dan COD berada diatas ambang batas yang telah ditetapkan PPRI No.82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air Kelas IV yaitu sebesar 322 dan 540 mg/l. Pembuataan Instalasi Pengolahan Lindi dimulai dengan pembuatan saluran pengumpul lindi menggunakan sistem perpipaan yang bermuara ke bangunan instalasi pengolahan lindi. Instalasi Pengolah Lindi TPA Terjun untuk menyisihkan BOD adalah kolam stabilisasi secara alamiah, dilanjutkan dengan kolam aerasi secara mekanis dan kolam filtrasi sorpsi.

Kata Kunci :Tempat Pembuangan Akhir (TPA), Lindi, Thornthwaite, Instalasi Pengolahan Lindi


(7)

THE STUDY OF LECHATE IN TERJUN DUMP SITE THROUGH THORNTHWAITE METHOD

ABSTRACT

Municipal solid waste (MSW) is a difficult problem faced by the city management in providing city facilities and infrastructures. Terjun Dump Site operated in open-dumping system is located in Kelaurahan Terjun, Medan Marelan Subdistrict. Open dumping system has created a lot of social and environmental problems because of the seeping-out lechate. The purpose of this study was to evaluate the suitability of terjun dump site area as the dump site for the City of Medan based on SNI and USDA, to calculate the amount of lechate by using Thornwaite scale, to analyze the quality of lechate ar Terjun dump site, and to analyze the alternative lechate treatment. The area of MSW processing site of Terjun dump site is determined by using tracks model in Global Positioning System (GPS) and then is processed by using Argis program and is made in the form of map. The evaluation of Terjun dump site area based on the SNI 03-3241-1997 on the Procedure of selecting the Location for dump site showed that there are criteria which are not in accordance with the SNI such as the ground water table, land grade and recurring flood zones for the period of 25 years. The evaluation of Terjun dump site are based on the United States Department of Agroculture (USDA) in 1971 showed that the factors of flood barier and ground water table belonged the adequate category. The composition of orgnic MSW at Terjun dump site was 74,07%. The data of monthly rain and temperature for 5 (five) years from 2007 to 2011 processed with Thornwaite method showed that the value per location was 376 mm and the volume of the lechate processed was 11,882 m3. The highest value per location occured in october was 124,9 mm with the land area of 3,16 hectares with the debits of 3946,84 m3/moth or 1,5L/second/hour. The quality of lechate in 2011 showed that the parameter of BOD and COD wasa above rhreshold determined by the Government Regulation No. 82/2001 on Water Quality Processing and Water Pollution Control Class IV for 322 an 540 m/L. The construction of lechate processing installation was begun with the making of lechate collecting ducts using piping system which leads to the lechate processing installation building. The lechate processing installation of Terjun dump site to separate the BOD is natural stabilization pond, the followed by mechanical aeral and filtration sorption ponds.


(8)

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan berkah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesisi ini.Selama melakukan penelitian dan penulisan tesis ini, Penulis banyak memperoleh bantuan moril dan materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc(CTM). Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS, selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumber Daya alam dan Lingkungan.

4. Prof. Dr. Ir. Roesyanto, MSCE, selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah banyak berupaya memberikan koreksi sehingga menjadi sempurna. Selain itu juga telah banyak memberikan bimbingan dan dorongan kepada penulis selama penelitian berlangsung.

5. Prof. Dr. Ir. Harry Agusnar, M.Phil, selaku Anggota Komisi Pembimbing I yang telah memberikan petunjuk, arahan, bimbingan hingga selesainya penelitian ini.

6. Prof. Dr. Ir. Abdul Rauf, MP, selaku Anggota Komisi Pembimbing II juga telah memberikan koreksi untuk perbaikan dan mengarahkan penulis sampai kepada selesainya penelitian ini.

7. Prof. Dr. Harlem Marpaung, selaku Komisi Penguji I yang telah memberikan koreksi dan saran untuk perbaikan agar penelitian ini menjadi sempurna.

8. Drs. Chaeruddin, M.Sc, selaku Komisi Penguji II yang telah memberikan saran dan kritik agar penelitian ini menjadi sempurna.

9. Seluruh Staf Pengajar/Dosen Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Seluruh Staf/Pegawai Adminstrasi yang telah melancarkan segala urusan


(9)

yang berkenaan dengan administrasi dan informasi selama studi berlangsung dan juga pada saat dilakukan penelitian ini.

10. Yang terhormat, Ayahanda Dr.s H. Amaluddin, dan Ibunda Dra. Hj. Nuraini SB, setiap waktu dan sepanjang hari tidak lupa dengan ikhtiar dan berdoa agar penulis dapat mencapai cita-cita yang setinggi-tingginya, selalu memberikan semangat dan mendukung untuk menyelesaikan studi ini; 11. Abang - abangku M. Ridha Haykal Amal, M.Si; M. Nasrullah, M.Si;

Bakhrul Khair Amal M.Si; Mhd. Iqbal, M.Si; Mhd Taufiqqurrahman M. Hum; Mhd Furqan Amal, M.SComp; Mhd Lailan Arqam M. Pd dan Kakakku Chairunnisa M.Pd dan Nurhasanah M. Si serta ipar – ipar dan ponakanku tercinta yang tidak dapat disebutkan satu per satu, penulis bangga berada dalam keluarga besar kita.

12. Teman – Teman PSL 2010, Aan, Andar, Kak Rita, Bu Susi, Bu Vilda, Bu Yoa, Bang Faisal, Bang Abrar, Bang wawan, Bg Alex, Pak sigit, Pak Yan, Pak simon, Pak Pinem, Pak Eko, Pak Pirman, Pak Tambunan, untuk semua keakraban dan bantuannya dalam menyelesaikan tesis ini

Mudah-mudahan penelitian ini memberi manfaat bagi semua pihak dalam menambah dan memperkaya wawasan Ilmu Pengetahuan. Khusus kepada penulis, mudah-mudahan dapat memadukan dan mengimplementasikan ilmu serta mampu menjawab tantangan atas perkembangan ilmu Lingkungan.

Penulis mohon maaf atas ketidaksempurnaan dalam penelitian ini, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi perbaikan ke depannya. Semoga penulis lebih giat lagi menambah wawasan ilmu pengetahuan di masa-masa yang akan datang. Amin ya rabbal’alamin.

Medan, Juli 2012 Rahmadhani Fitri DAFTAR ISI

Halaman ABSTRAK ... i ABSTRACT ... ii KATA PENGANTAR ... iii


(10)

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Identifikasi Masalah ... 4

1.3. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 4

1.3.1. Perumusan Masalah ... 4

1.3.2. Pembatasan Masalah ... 5

1.4. Tujuan Penelitian ... 5

1.5. Manfaat Penelitian ... 5

1.6. Kerangka Konseptual ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Aspek Sampah ... 7

2.2. Tempat Pembuangan Akhir (TPA) ... 10

2.3. Sistem pengelolaan sampah dan permasalahannya ... 12

2.4. Air Lindi (leacheate) ... 15

2.5. Neraca Air ... 16

2.6. Neraca Air Thornthwaite ... 17

2.7. Minimasi Lindi (leacheate) ... 21

2.7.1. Pelapis Dasar (Liner) ... 21

2.7.2. Saluran Pengumpul Lindi (leacheate) ... 21

2.7.3. Penutup Akhir ... 22

2.8. Pengolahan Lindi (leacheate) ... 23

2.8.1. Kolam Stabilisasi ... 23

2.8.2. Kolam Aerasi ... 25

2.8.3. Land Treatment (Rapid-Infiltrated Plant) ... 25

2.8.4. Intermitten Sand Filter ... 26

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 28

3.1.1. Lokasi Penelitian ... 28

3.1.2. Waktu Penelitian ... 28

3.2. Metode Pengumpulan Data ... 28

3.3. Metode Analisis Data ... 29

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi TPA Terjun ... 33

4.2. Kapasitas Lindi (leacheate) Dengan Neraca Thornthwaite ... 36

4.3. Kualitas Lindi (leacheate) ... 43

4.4. Instalasi Pengolahan Lindi (leacheate) ... 46

4.4.1. Saluran Pengumpul Lindi (leacheate) ... 46

4.4.2. Instalasi Pengolahan Lindi (leacheate) ... 47


(11)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan ... 53 5.2. Saran ... 54 DAFTAR PUSTAKA.. ... 55 LAMPIRAN


(12)

KAJIAN AIR LINDI DI TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR TERJUN MENGGUNAKAN METODE THORNTHWAITE

ABSTRAK

Sampah merupakan persoalan rumit dihadapi oleh pengelola kota dalam menyediakan sarana dan prasarana kota. TPA Terjun berlokasi di Kelurahan Terjun Kecamatan Medan Marelan yang dioperasikan dengan system open dumping. Open dumping banyak menimbulkan masalah lingkungan dan sosial akibat lindi yang keluar. Penelitian ini untuk mengevaluasi kesesuaian lahan TPA Terjun sebagai TPA Kota Medan berdasarkan SNI dan USDA, menghitung jumlah air lindi dengan menggunakan neraca Thorntwaite, menganalisis kualitas air lindi di TPA Terjun dan menganalisis alternatif sistem pengolahan lindi. Luas pengelolaan sampah TPA Terjun dengan menggunakan model tracks pada Global Positioning System (GPS) yang kemudian diolah dengan program Argis dan dibuat dalam bentuk peta. Evaluasi lahan TPA Terjun berdasarkan SNI 03-3241-1997 tentang Tata Cara Pemilihan Lokasi TPA masih ada kriteria yang belum sesuai SNI, diantaranya muka air tanah, kelulusan tanah dan daerah banjir ulang pada periode 25 tahun. Evaluasi lahan TPA Terjun berdasarkan United States Department of Agriculture (USDA) tahun 1971 berada pada kategori sedang untuk faktor pembatas ancaman banjir dan muka air tanah. Komposisi sampah organik TPA Terjun sebesar 74,07 %. Data Hujan dan Temperatur bulanan selama 5 Tahun dari Tahun 2007 sampai Tahun 2011 dengan metode Thornthwaite mendapatkan nilai perkolasi 376 mm dan volume lindi yang dikelola 11.882 m3. Perkolasi tertinggi terjadi pada bulan Oktober yaitu 124,9 mm dengan luas lahan 3,16 Ha diperoleh debit 3946,84 m3/bulan atau 1,5 lt/dt/hr. Kualitas lindi Tahun 2011 menunjukkan parameter BOD dan COD berada diatas ambang batas yang telah ditetapkan PPRI No.82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air Kelas IV yaitu sebesar 322 dan 540 mg/l. Pembuataan Instalasi Pengolahan Lindi dimulai dengan pembuatan saluran pengumpul lindi menggunakan sistem perpipaan yang bermuara ke bangunan instalasi pengolahan lindi. Instalasi Pengolah Lindi TPA Terjun untuk menyisihkan BOD adalah kolam stabilisasi secara alamiah, dilanjutkan dengan kolam aerasi secara mekanis dan kolam filtrasi sorpsi.

Kata Kunci :Tempat Pembuangan Akhir (TPA), Lindi, Thornthwaite, Instalasi Pengolahan Lindi


(13)

THE STUDY OF LECHATE IN TERJUN DUMP SITE THROUGH THORNTHWAITE METHOD

ABSTRACT

Municipal solid waste (MSW) is a difficult problem faced by the city management in providing city facilities and infrastructures. Terjun Dump Site operated in open-dumping system is located in Kelaurahan Terjun, Medan Marelan Subdistrict. Open dumping system has created a lot of social and environmental problems because of the seeping-out lechate. The purpose of this study was to evaluate the suitability of terjun dump site area as the dump site for the City of Medan based on SNI and USDA, to calculate the amount of lechate by using Thornwaite scale, to analyze the quality of lechate ar Terjun dump site, and to analyze the alternative lechate treatment. The area of MSW processing site of Terjun dump site is determined by using tracks model in Global Positioning System (GPS) and then is processed by using Argis program and is made in the form of map. The evaluation of Terjun dump site area based on the SNI 03-3241-1997 on the Procedure of selecting the Location for dump site showed that there are criteria which are not in accordance with the SNI such as the ground water table, land grade and recurring flood zones for the period of 25 years. The evaluation of Terjun dump site are based on the United States Department of Agroculture (USDA) in 1971 showed that the factors of flood barier and ground water table belonged the adequate category. The composition of orgnic MSW at Terjun dump site was 74,07%. The data of monthly rain and temperature for 5 (five) years from 2007 to 2011 processed with Thornwaite method showed that the value per location was 376 mm and the volume of the lechate processed was 11,882 m3. The highest value per location occured in october was 124,9 mm with the land area of 3,16 hectares with the debits of 3946,84 m3/moth or 1,5L/second/hour. The quality of lechate in 2011 showed that the parameter of BOD and COD wasa above rhreshold determined by the Government Regulation No. 82/2001 on Water Quality Processing and Water Pollution Control Class IV for 322 an 540 m/L. The construction of lechate processing installation was begun with the making of lechate collecting ducts using piping system which leads to the lechate processing installation building. The lechate processing installation of Terjun dump site to separate the BOD is natural stabilization pond, the followed by mechanical aeral and filtration sorption ponds.


(14)

BAB I. PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Sampah merupakan salah satu persoalan yang rumit dihadapi oleh pengelola kota dalam menyediakan sarana dan prasarana kota. Pertambahan penduduk dan proses urbanisasi yang terus berlangsung merupakan akibat dari terpusatnya aktifitas ekonomi di perkotaan menjadi penyebab semakin meningkatnya timbulan sampah. Besarnya jumlah dan timbulan sampah yang tidak dapat ditangani dengan baik akan mengakibatkan berbagai permasalahan yang sangat rumit. Beberapa alternatif carapun dilakukan agar menyingkirkan sampah demi terwujudnya kota bersih dan tidak mengganggu lingkungan. salah satu sub sistem dalam pengelolaan sampah yaitu Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah.

Jumlah penduduk kota medan 2.567.288 Jiwa yang menghasilkan timbulan sampah setiap harinya sebesar ± 887,75 ton (Pemerintah Kota Medan, 2010), sehingga memerlukan pengelolaan sampah yang baik. Kota Medan yang mempunyai 2 (dua) lokasi TPA yaitu TPA Terjun dan TPA Namo Bintang yang setiap harinya melayani sampah kota Medan. Lokasi TPA merupakan tempat pembuangan akhir sampah yang akan menerima segala resiko akibat pola pembuangan sampah terutama yang berkaitan dengan kemungkinan terjadinya pencemaram lindi (lechate) ke badan air maupun air tanah.

Lindi terjadi karena sifat dan proses sampah yang terjadi menyimpan atau menahan air sesuai dengan kemampuan materialnya (Damanhuri, 2008). Lindi adalah substansi cairan yang dihasilkan dalam proses pembusukan sampah.


(15)

Lindi di TPA umumnya berasal dari sampah organik yang terkomposisi dan dengan adanya limpasan air hujan yang akan mencemari lingkungan. Lindi dapat meresap dalam tanah, peresapan lindi dalam tanah menyebabkan pencemaran tanah dan air tanah secara langsung. Lindi dari TPA sebagai bahan pencemar yang mengganggu kesehatan manusia dan mencemari lingkungan dan biota perairan karena dalam lindi terdapat berbagai senyawa kimia organic maupun anorganic serta sejumlah pathogen (Susanto, 2004). Selain itu juga mengandung amoniak, timbal dan mikroba parasit seperti kutu air (sarcoptes sp) yang menyebabkan gatal air (Susanto, 2004). Untuk menanggulangi permasalahan lindi dari TPA, diperlukan. Upaya pengolahan lindi di lokasi TPA.

TPA terjun berlokasi di Kelurahan Terjun Kecamatan Medan Marelan seluas 137.563 m3 yang mulai dioperasikan sejak 1993 dengan sistem open dumping. Pengaruh open dumping yang paling utama adalah pencemaran air permukaan dan air tanah. Pencemaran terjadi jika air hujan jatuh di atas permukaan sampah sehingga menambah volume air lindi, meresap dan turun melalui lapisan kedap air ke badan air (Syahrulhayati, 2005). Undang - Undang Nomor 18 Tahun 2008 mengamanatkan bahwa seluruh Kota / Kabupaten yang memiliki tempat pembuangan akhir sistem open dumping harus segera dilakukan penutupan sebelum 5 tahun sejak peraturan ini. Tempat pembuangan akhir sampah kota dengan sistem ini banyak menimbulkan masalah lingkungan dan sosial akibat adanya lindi yang keluar. TPA Terjun memiliki lokasi cadangan yang belum di pergunakan seluas 4 hektar. Hal ini memungkinkan untuk melaksanakan UU No 18/2008 untuk mengganti TPA dengan sistem sanitary


(16)

landfill. Hal ini dapat diketahui dengan menguji kesesuaian lahan TPA. Luas lahan cadangan seluas 4 Ha perlu perencanaan yang efisien agar meminimalkan masalah kualitas lingkungan baik, salah satunya dengan mengoptimalkan rancangan kapasitas penangan lindi. Beberapa faktor yang mempengaruhi lindi antara lain jenis sampah, komposisi sampah, ukuran partikel tanah, tingkat pemadatan tanah, hidrologi, iklim, usia TPA dan lokasi TPA. Karakteristik lindi juga tergantung pada pengolahan awal sampah seperti pemisahan sampah (plastik, kertas, logam, kaca, dll), merobek-robek dan / atau bailing limbah (Kumar dan Alappat, 2003).

Gerak air lindi sampah dapat diperkirakan melalui satu kejadian hujan atau satu periode hujan dengan tebal relative besar. Kaitan antara banyaknya hujan dan timbulan lindi perlu ditentukan dalam merancang kapasitas pengolahan lindi (leacheate). Lindi yang timbul dapat diperkirakan dengan menggunakan suatu metoda yang disebut Metoda Neraca Air (Water Balance Method). Metoda ini didasari oleh asumsi bahwa lindi hanya dihasilkan dari curah hujan yang berhasil meresap masuk ke dalam timbunan sampah (perkolasi). Metode yang sering digunakan pakar geofisika dan meteorologi, geohidrologi, geografi dan geologi adalah metode Thornthwaite, selain metode Penman dan rumus Truck. Keunggulan menggunakan rumus Thornthwaite adalah kesederhanaan data yang diperlukan dan kesederhanaan cara perhitungannya (Nugroho, 1989). Perkiraan produksi timbulan lindi dengan menggunakan neraca thornthwaite berguna untuk menentukan pengolahan lindi dan jaringan pengumpul lindi sebagai acuan instalasi pengolahan lindi di TPA Terjun.

Dari sana dapat diketahui bahwa kuantitas dan kualitas lindi bervariasi dan berfluktuasi.


(17)

1.2.Identifikasi Masalah

Berdasarkan data dari Pemerintah Kota Medan, 2010 bahwa jumlah timbulan sampah setiap harinya sebesar ± 887,75 ton. Salah satu TPA yang melayani sampah kota Medan yaitu TPA Terjun dengan menggunakan sistem open dumping. Undang - Undang Nomor 18 Tahun 2008 mengamanatkan bahwa seluruh Kota / Kabupaten yang memiliki Tempat pembuangan Akhir sistem open dumping harus segera dilakukan penutupan sebelum 5 tahun sejak peraturan ini. Sistem Open dumping dapat menurunkan kualitas lingkungan, salah satunya pencemaran terhadap sumber air yang berasal dari lindi. Lokasi TPA Terjun yang belum di pergunakan seluas 4 hektar masih diperlukan perencanaan yang efisien untuk meminimalkan masalah kualitas lingkungan baik dengan mengoptimalkan rancangan kapasitas pengolahan lindi.

Kaitan antara banyaknya hujan dan timbulan lindi perlu ditentukan bila hendak merancang kapasitas pengolahan lindi. Perkiraan produksi timbulan lindi dengan menggunakan neraca Thornthwaite berguna untuk mengoptimalkan pengolahan lindi.

1.3. Pembatasan dan Perumusan masalah 1.3.1. Pembatasan Masalah

Produksi timbulan lindi dihitung dengan menggunakan model neraca air Thornthwaite yang didasari asumsi bahwa timbulan air sampah hanya dihasilkan dari curah hujan yang berhasil meresap masuk ke dalam timbunan sampah (perkolasi). Data yang dipakai adalah rata-rata bulanan tahunan dari data presipitasi dan data temperatur udara dari data


(18)

klimatologi pada stasiun meteorologi selama 5 tahun terakhir mulai dari tahun 2007 - 2011.

1.3.2. Perumusan Masalah

1. Bagaimana evaluasi kesesuaian lahan TPA Terjun yang menggunakan sistem open dumping berdasarkan SNI dan USDA ?

2. Bagaimana produksi air lindi (leacheate) menggunakan model Thornthwaite?

3. Bagaimana kualitas air lindi (leacheate) di TPA Terjun ?

4. Bagaimana alternatif pengolahan lindi (leacheate) dari perkiraan produksi timbulan lindi (leacheate) menggunakan neraca thornthwaite ?

1.4.Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengevaluasi lahan TPA Terjun sebagai Tempat Pembuangan Akhir Sampah Kota Medan berdasarkan SNI dan USDA.

2. Menghitung jumlah air lindi (leacheate) dengan menggunakan neraca Thorntwaite sebagai acuan dasar perancangan instalasi pengolahan lindi (leacheate).

3. Menganalisis kualitas air lindi (leacheate) di TPA Terjun.

4. Menganalisis dan mengetahui alternatif sistem pengolahan lindi (leacheate).

1.5.Manfaat Penelitian

1. Sebagai dasar pertimbangan dalam menyesuaikan fungsi lahan tempat pembuangan akhir Kota Medan


(19)

2. Sebagai dasar pertimbangan dalam mengolah lindi dan merancang instalasi pengolahan lindi di TPA Terjun.

3. Sebagai dasar pertimbangan dalam pengambilan kebijakan bagi pihak pemerintah dalam memilih dan merancang sarana dan prasarana di TPA.

1.6. Kerangka Konseptual

Timbulan Sampah Kota Medan

TPA Terjun

Open Dumping

Kesesuaian Lahan Lindi (leacheate)

Alternatif Sistem Pengolahan Gambar 1.1. Kerangka Konseptual


(20)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

3.1.Aspek Sampah

Sampah dapat didefinisikan sebagai semua buangan yang dihasilkan dari berbagai aktivitas manusia dan hewan yang berupa padatan, yang dibuang karena sudah tidak berguna atau tidak diperlukan lagi, (Tchobanoglous et.al.,1993). Pengelolaan sampah merupakan kegiatan dalam pengaturan terhadap timbulan sampah, penyimpanan sementara, pengumpulan, pemindahan atau pengangkutan dan pengolahan serta pembuangan sampah dengan menggunakan suatu cara sesuai dengan prinsip-prinsip yang berhubungan dengan kesehatan masyarakat, ekonomi, teknik, perlindungan alam, keindahan dan pertimbangan lainnya, serta mempertimbangkan masyarakat luas (Tchobanoglous et.al.,1993).

Total produsen sampah Kota Medan 2.567.288 jiwa, ratio timbulan sampah jiwa/hari : 0,60 Kg dengan berat sampah rata - rata/m3

Menurut Tchobanoglous (1993), komposisi sampah dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu:

: 250 kg, Timbulan sampah Kota Medan perhari 887,75 ton/hari. Jumlah volume sampah yang terangkut oleh truk pengangkut sampah ke tempat TPA per hari adalah 700 ton, berarti hanya 80% sampah yang terangkut dari total produksi sampah kota Medan.

1. Komposisi fisik sampah

Secara fisik terdiri dari sampah basah (garbage), sampah halaman, taman, kertas, kardus, kain, karet, plastik, kulit, kayu, kaca, logam, debu, dan lain-lain. Informasi mengenai komposisi fisik sampah diperlukan untuk


(21)

memilih dan menentukan cara pengoperasian setiap peralatan serta fasilitas-fasilitas lainnya, memperkirakan kelayakan pemanfaatan kembali sumber daya dan energi dari sampah, serta sebagai perencanaan fasilitas pembuangan akhir. 2. Komposisi kimia sampah

Umumnya komposisi kimia sampah terdiri dari unsur Karbon, Hidrogen, Oksigen, Nitrogen, Sulfur, Fosfor, serta unsur lainnya yang terdapat dalam protein, karbohidrat, dan lemak. Untuk mengetahui komposisi kimia sampah, perlu dilakukan analisa kandungan kimia sampah di laboratorium. Unsur-unsur kimia yang diselidiki tergantung dari alternatif cara pengolahan sampah yang akan dievaluasi.

Dari komposisi sampah yang telah diperoleh dapat diketahui karakteristik sampah yang mencakup:

1. Persentasi masing-masing komponen sampah

Persentasi komponen sampah perkotaan bervariasi terhadap lokasi, musim, ekonomi, kondisi daerah dan banyak faktor lainnya. Oleh karena itu, distribusi persentasi komponen sampah merupakan faktor yang menentukan dalam proses kebijaksanaan pengelolaannya.

2. Kepadatan sampah

Kepadatan sampah menyatakan berat sampah per satuan volume (Tchobanoglous, 1993). Data kepadatan sampah penting untuk menentukan jenis peralatan pengumpul dan peralatan pemindahan. Selain itu, digunakan juga untuk merencanakan sistem pembuangan akhir sebab rendahnya kepadatan (densitas) sampah mengakibatkan meningkatnya luas areal yang diperlukan untuk pembuangan akhir dan penurunan permukaan tanah setelah


(22)

penimbunan. Kepadatan sampah berbeda-beda nilainya tergantung dari lokasi, musim, dan lamanya di pewadahan/ penyimpanan.

3. Kadar Air Sampah

Kadar air sampah biasanya dinyatakan sebagai berat air per satuan berat basah atau berat kering sampah. Kadar air sampah merupakan faktor yang penting untuk merencanakan dan pengoperasian incinerator yang akan berpengaruh terhadap nilai kalor dan karakteristik pembakaran sampah. Besarnya kadar air sampah pada setiap tempat tergantung dari musim, kelembaban, keadaan iklim, dan komposisi sampah itu sendiri.

4. Distribusi Ukuran Partikel Sampah

Distribusi ukuran partikel sampah mempengaruhi dua hal dalam perencanaan pengolahan sampah, yaitu:

a. Kebutuhan untuk pemadatan dan tanah penutup pada sanitary landfill. Semakin besar ukuran partikel sampah, semakin lama pemadatan dilakukan dan semakin banyak diperlukan tanah penutup.

b. Kebutuhan untuk mengurangi/ mereduksi ukuran dengan shredding pendahuluan untuk pengomposan/ produksi biogas atau insinerasi. Pada pengomposan dan produksi biogas ukuran partikel yang kecil akan mempercepat proses pembusukan. Pada insinerasi, tujuan dari pengecilan ukuran partikel adalah untuk memperluas permukaan sampah sehingga mempercepat penguapan dan menurunkan kadar air dari sampah yang akan dibakar.


(23)

Pembuangan akhir sampah merupakan proses terakhir dalam siklus pengelolaan persampahan formal. Fase ini dapat menggunakan berbagai metode dari yang sederhana hingga tingkat teknologi tinggi. Metode pembuangan akhir yang banyak dikenal adalah :

1. Open dumping, Metode ini merupakan cara pembuangan akhir yang

sederhana karena sampah hanya ditumpuk di lokasi tertentu tanpa perlakuan khusus.

2. Control landfill, Metode ini merupakan peralihan antara teknik open dumping dan sanitary landfill. Pada metode ini sampah ditimbun dan diratakan. Pipa-pipa ditanam pada dasar lahan untuk mengalirkan air lindi (leacheate) dan ditanam secara vertikal untuk mengeluarkan metan ke udara. Setelah timbunan sampah penuh lalu dilakukan penutupan terhadap hamparan sampah tersebut dengan tanah dan dipadatkan.

3. Sanitary landfill ,Teknik sanitary landfill adalah cara penimbunan sampah padat pada suatu hamparan lahan dengan memperhatikan keamanan lingkungan karena telah ada perlakuan terhadap sampah. Pada teknik ini, sampah dihamparkan hingga mencapai ketebalan tertentu lalu dipadatkan, kemudian dilapisi tanah dan dipadatkan kembali, di atas lapisan tanah penutup tadi dapat dihamparkan lagi sampah yang kemudian ditimbun lagi dengan tanah. Demikian seterusnya berselang-seling antara lapisan tanah dan sampah. Metode ini lebih baik dari metode lainnya. Konsekuensi dari pembuangan


(24)

sampah di tempat pembuangan akhir sampah ini adalah dibutuhkannya lahan yang luas serta biaya pengelolaan yang besar.

Pembuangan Akhir (TPA) sampah membutuhkan ruang/ tempat yang luas dan disyaratkan jauh dari permukiman penduduk. Dengan adanya keterbatasan lahan di berbagai kota besar, maka tempat penampungan sampah akhir lambat laun menjadi masalah. Oleh karena itu, adanya upaya mengurangi beban penumpukan sampah di TPA dengan berbagai metode pengelolaan sampah yang lebih baik merupakan langkah yang perlu terus dikembangkan agar tidak menimbulkan banyak masalah. Lahan untuk TPA harus memiliki kesesuaian dengan sifat lahan tersebut, sehingga dapat meminimalisir dampak negatif yang ditimbulkannya. Menurut USDA (1983) dalam Hifdziyah (2011), ada beberapa sifat lahan yang sesuai sebagai Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) secara terbuka. Kesesuaian lahan tersebut dapat dilihat pada Tabel berikut.

Tabel 2.1. Kesesuaian lahan untuk tempat pembuangan sampah secara terbuka

No Sifat Tanah Kesesuaian Lahan

Baik Sedang Buruk

1 Ancaman banjir Tanpa Jarang Sering

2 Kedalaman sampai

hamparan batuan (cm)

> 150 100 – 150 < 100 3 Kedalaman sampai padas

keras (cm)

> 150 100 – 150 < 100 4 Permeabilitas (cm/ jam)

(50-100 cm)

- - > 5

5 Muka air tanah (cm)

 Apparent

 Perched

> 150 > 90

100 – 150 100 – 150

< 100 < 45

6 Lereng % < 8 45 - 90 > 15


(25)

Berdasarkan SNI 03-3241-1997 Tahun 1997 tentang Tata Cara Pemilihan Lokasi tempat Pembuangan Akhir sampah yang diterbitkan Badan Standarisasi Nasional, ketentuan pemilihan lokasi TPA sampah diuraikan sebagai berikut : 1. TPA sampah tidak boleh berlokasi di danau, sungai dan laut

2. Disusun berdasarkan 3 tahapan yaitu :

a. Tahap regional yang merupakan tahapann untuk menghasilkan peta berisi daerah atau tempat dalam wilayah tersebut yang terbagi menjadi beberapa zona kelayakan.

b. Tahap penyisih yang merupakan tahapan untuk menghasilkan satu atau dua lokasi terbaik di antara beberapa lokasi yang dipilih dari zona – zona kelayakan pada tahap regional.

c. Tahap penetapan yang merupakan tahap penentuan lokasi terpilih oleh instansi yang berwenang.

3. Dalam hal suatu wilayah belum bias memnuhi tahapan regional, pemilihan lokasi TPA sampah ditentukan berdasarkan skema pemilihan lokasi TPA sampah ini dapat dilihat pada lampiran criteria yang berlaku pada tahap penyisih.

3.3.Sistem pengelolaan sampah dan permasalahannya

Tujuan pengelolaan sampah adalah untuk mengubah sampah menjadi bentuk yang tidak mengganggu dan menekan volume sampah sekecil mungkin sehingga mempermudah dalam pengelolaannya. Timbulan sampah yang berada di bak-bak penampungan sampah di kota Medan akan diangkut ke tempat


(26)

pembuangan sementara (TPS) atau diangkut langsung ke TPA. Sistem pengangkutan sampah ini dimulai dari rumah tangga diangkut ke TPS menggunakan becak sampah (disebut Bestari) atau gerobak sampah.

Sistem pengelolaan sampah yang diterapkan oleh Dinas Kebersihan Kota Medan di lokasi TPA adalah dengan metode open dumping dengan pengaturan zona sehingga open dumping yang dilakukan terpola dengan baik. Sistem pengelolaan sampah di TPA Terjun secara open dumping (pembuangan terbuka) yaitu cara pembuangan sampah yang sederhana. Sampah dihamparkan di suatu lokasi, dibiarkan terbuka tanpa penutupan dan pengolahan, meskipun sampah – sampah tersebut kemudian dibakar tetapi sering menimbulkan berbagai masalah lingkungan, estetika maupun kesehatan.

Gambar 2.1. Sistem pengelolaan sampah di TPA Terjun

Akumulasi sampah yang cukup besar dibiarkan secara terbuka didukung oleh curah hujan yang cukup tinggi sehingga akan menghasilkan air lindi,


(27)

ditambah dengan penumpukan sampah yang baru yang pada waktu dilakukan pembongkaran dari truk atau kendaraan pengangkut sampah dapat menimbulkan dan menambah volume lindi terutama sampah yang berasal dari industry berkadar air tinggi dengan campuran bahan organik bersifat cair. Apabila air lindi tidak dikelola dengan baik akan berpengaruh terhadap kualitas air baik permukaan ataupun air tanahdi wilayah TPA dan sekitarnya.

Pengaruh lindi yang dirasakan masyarakat adalah perubahan warna atau kekeruhan pada badan air ataupun keberadaan leachate yang mengandung zat organic dan bahan terlarut lainnya. Selanjutnya badan air akan masuk ke badan air tanah yang akhirnya akan menjadi keruh. Adanya bahan pencemar atau mineral di Badan air akan memacu pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroorganisme yang merugikan kesehatan dan estetika. Hal ini akan berpengaruh pada siklus air yang menyebabkanb terjadinya pencemaran air. Pencemaran terjadi jika air hujan jatuh diatas permukaan sampah sehingga menambah volume air lindi, meresap dan turun melalui lapisan kedap air (impermeable) ke dalam badan air yang lebih rendah. Setelah lindi melalui tanah dan batuan pada kedalaman beberapa meter kontaminasi bakteriologis tidak lagi ditemui. Suspense yang terdapat dalam lindi dapat terbawa sampai kedalaman yang lebih jauh sehingga menyebabkan polusi air tanah.

3.4.Air Lindi

Masalah utama yang dijumpai dalam aplikasi penimbunan/pengurugan sampah atau limbah padat lainnya ke dalam tanah adalah kemungkinan


(28)

pencemaran air tanah oleh lindi, terutama di daerah yang curah hujan dan muka air tanahnya tinggi. Timbulan (debit) lindi serta kualitasnya yang keluar dari timbunan sampah sangat berfluktuasi karena bergantung pada curah hujan serta karakter sampah yang ditimbun. Kaitan antara banyaknya hujan dan timbulan lindi perlu ditentukan bila hendak merancang kapasitas penanganan lindi, demikian juga beban cemaran lindi yang akan digunakan dalam perancangan.

Gambar 2.2. Kondisi air lindi di TPA Terjun

Lindi adalah limbah cair yang timbul akibat masuknya air eksternal ke dalam timbunan sampah, melarutkan dan membilas materi-materi terlarut, termasuk juga materi organik hasil proses dekomposisi biologis (Tchobanoglous, 1993). Lindi tersebut merupakan cairan yang terbentuk oleh adanya air hujan yang merembes ke dalam timbunan sampah dan adanya kandungan air tanah yang tinggi. Aliran yang merembes akan menimbulkan aliran yang membawa bermacam – macam zat yang ada dalam sampah seperti Nitrat, Nitrit, Metan Karbondioksida (CO2), Sulfat, Sulfide, NH3, air dan mikroorganisme


(29)

menghasilkan nitrit, CO2 dan air sedangkan pasokan (supply) oksigen yang dilepaskan oleh mikroorganisme anaerobic akan membentuk senyawa lain seperti sulfat, amoniak dan nitrogen.

Kualitas dan kuantitas lindi bervariasi dan fluktuasinya tergantung pada curah hujan, komposisi / karekteristik sampah, umur timbunan dan pola operasional TPA. Lindi sampah kota yang berumur di atas 10 tahunpun ternyata mempunyai BOD dan COD yang tetap relatif tinggi (Damanhuri, 2008). kandungan karbon organik (dinyatakan dalam COD) yang terkandung melebihi baku mutu efluen limbah cair yang berlaku, yang menyiratkan bahwa penanganan lindi merupakan suatu keharusan bila akan dilepas ke lingkungan.

3.5.Neraca Air

Timbulan lindi dapat dihitung dengan menggunakan neraca air. Hal ini karena menganggap aliran air ke bawah sebagai sistem berdimensi-satu, maka model yang digunakan adalah model neraca air. Hardyanti (2009) menyebutkan bahwa Pola umum dari pembentukan lindi adalah sebagai berikut :

1. Presipitasi (P) jatuh di TPA dan beberapa diantaranya akan mengalami Run Off (RO)

2. Beberapa dari presipitasi itu menginfiltrasi (I) permukaan

3. Sebagian yang terinfiltrasi akan menguap/evaporasi (E) dari permukaan dan atau transpires (T) melalui tumbuhan

4. Sebagian proses infiltrasi akan menyebabkan penurunan kandungan kelembaban dalam tanah


(30)

5. Sisa infiltrasi setalah proses E,T dan S sudah mencukupi, bergerak kebawah membentuk suatu percolate ( PERC ) dan pada akhirna akan membentuk lindi yang akan ditemui di dasar TPA.

Adapun system input – output dari penimbunan lindi menurut Damanhuri (2008) dapat dilihat pada gambar berikut :

Gambar 2.3. Input-output lindi dengan neraca air

3.6.Neraca Air Thronthwaite

Lindi yang timbul dapat diperkirakan dengan menggunakan suatu metoda yang disebut Metoda Neraca Air (Water Balance Method). Metoda ini didasari oleh asumsi bahwa lindi hanya dihasilkan dari curah hujan yang berhasil meresap masuk ke dalam timbunan sampah (perkolasi). Beberapa sumber lain seperti air hasil dekomposisi sampah, infiltrasi muka air tanah, dan aliran air permukaan lainnya dapat diabaikan.

Metode yang sering digunakan pakar geofisika dan meteorology, geohidrologi, geografi dan geologi adalah metode thornthwaite, terdapat metode penman dan rumus Truck. Terbatasnya data yang dikumpulkan dari stasiun


(31)

meteorology yang terkadang tidak selalu lengkap dalam penulisannya menjadi kendala dalam menggunakan metode penman dan rumus Truck. Keunggulan rumus Thronthwaite adalah kesederhanaan data yang diperlukan dan kesederhanaan cara perhitungannya (Nugroho, 1989). Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kuantitas perkolasi dalam Metoda Neraca Air ini adalah Presipitasi, Evapotranspirasi, Surface run-off, dan Soil moisture storage. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut :

PERC = P - (RO) - (AET) - (∆ST)……….2.1. I = P - (R/O).………...……….2.2. APWL = ∑ NEG (I - PET))……….2.3. AET = (PET) + [(I - PET) - (∆ST)])………...….2.4. Keterangan :

• Perc : Perkolasi, air yang keluar dari sistem menuju lapisan di bawahnya akhirnya menjadi lindi (leacheate)

• P : Presipitasi rata-rata bulanan dari data Tahunan

• RO : Limpasan permukaan (runoff) rata-rata bulanan dihitung dari presipitasi serta koefisien limpasan

• AET : Aktual evapotranspirasi, menyatakan banyaknya air yang hilang secara nyata dari bulan ke bulan

• ∆ST : Perubahan simpanan air dalam tanah dari bulan ke bulan, yang terkait dengan soil moisture storage

• ST : Soil moisture storage, merupakan banyaknya air yang tersimpan dalam tanah pada saat keseimbangan

• I : Infiltrasi, jumlah air terinfiltrasi ke dalam tanah

• APWL : Accumulated Potential Water Loss , merupakan nilai negatif dari (PET) yang merupakan kehilangan air secara kumulasi

• I – PET : Nilai infiltrasi dikurang potensi evapotranspirasi; nilai negarif menyatakan banyaknya infiltrasi air yang gagal untuk dipasok pada

tanah, sedang nilai positip adalah kelebihan air selama periode tertentu untuk mengisi tanah.

• PET : Potensial evapotranspirasi, dihitung berdasarkan atas nilai rata-rata bulanan dari data tahunan


(32)

Dengan menganggap aliran air ke bawah sebagai sistem berdimensi-satu, maka model neraca air yang dikembangkan oleh Thorntwaite, dapat digunakan untuk menghitung perkolasi air dalam tanah penutup menuju lapisan sampah di bawahnya. Salah satu keuntungan penggunaan tanah penutup akhir dalam mengurangi timbulnya lindi adalah dari kemampuan penyerapan airnya. Air akan tertahan dalam tanah sampai menyamai angka field capacity-nya. Air yang terkandung oleh tanah bergantung pada jenis tanah dan berkurang dengan adanya evapotranspirasi dan bertambah kembali akibat infiltrasi. Tanpa adanya tanaman, setelah periode yang lama, tanah akan mempunyai kandungan air setinggi field capacity. Bila terdapat tanaman, maka akar mengambil air dan menguapkannya sehingga air akan berada di bawah field capacity tersebut. Pada saat air mencapai wilting points, maka akar tidak dapat lagi mengambil air dalam tanah tersebut.

Gambar 2.4. Konsep kandungan air dalam tanah

Gambar 2.4 menggambarkan bahwa air akan tertahan dalam tanah sampai menyamai angka field capacity-nya. Air yang terkandung oleh tanah bergantung pada jenis tanah dan berkurang dengan adanya evapotranspirasi dan bertambah


(33)

kembali akibat infiltrasi. Tanpa adanya tanaman, setelah periode yang lama, tanah akan mempunyai kandungan air setinggi field capacity-nya. Bila terdapat tanaman, maka akar mengambil air dan menguapkan sehingga air. akan berada di bawah field capacity tersebut. Pada saat air mencapai wilting points, maka akar tidak dapat lagi mengambil air dalam tanah tersebut. Di bawah titik ini kandungan air dikenal sebagai air higroskopis (Hygroscopic water) yaitu air yang terikat pada partikel-partikel tanah dan tidak dapat dikurangi oleh transpirasi. Dengan demikian, air tersedia (Available water) berkisar antara wilting points dan field capacity. Air inilah yang akan mengalami pergerakan kapiler dan jumlah ini berubah karena evapotranspirasi dan infiltrasi. Tabel 2.2 berikut adalah jumlah air yang tersedia pada berbagai jenis tanah.

Tabel 2.2. Jumlah air yang tersedia oleh jenis tanah (mm/m)

Jenis Tanah Field Capacity Wilting Point Jumlah air yang tersedia (available water)

Fine Sand 120 20 100

Sandy Loam 200 50 150

Silty Loam 300 100 150

Clay Loam 375 125 250

Clay 450 125 300

Sampah 200 – 350 - -

Sumber : Water Balanced Method, EPA (1975) dalam Damanhuri (2008)

3.7.Minimasi Lindi (lechate) 2.7.1. Pelapis Dasar (Liner)

Pada sebuah lahan urug yang baik biasanya dibutuhkan sistem pelapis dasar, yang bersasaran mengurangi mobilitas lindi ke dalam air tanah. Sebuah liner yang efektif akan mencegah migrasi cemaran ke lingkungan, khususnya ke


(34)

dalam air tanah. Namun pada kenyataannya belum didapat sistem liner yang efektif 100%. Karena timbulan lindi tidak terelakkan, maka di samping sistem liner dibutuhkan sistem pengumpulan lindi.

2.7.2. Saluran Pengumpul Lindi

Sistem pengumpul lindi yang umum digunakan adalah :

a. Menggunakan pipa berlubang yang ditempatkan dalam saluran, kemudian diselubungi batuan. Cara ini paling banyak digunakan pada landfill

b. Membuat saluran kemudian saluran tersebut diberi pelapis dan di dalamnya disusun batu kali kosong.

Fasilitas-fasilitas pengumpulan lindi (lechate) dengan menggunakan pipa secara umum adalah sebagai berikut :

a. Slope teras

Untuk mencegah akumulasi lindi di dasar suatu lahan urug, dasar lahan urug ditata menjadi susunan teras-teras dengan kemiringan tertentu (1-5%) sehingga lindi akan mengalir ke saluran pengumpul (0,5-1%). Untuk mengalirkan lindi ke unit pengolahan atau resirkulasi setiap saluran pengumpul dilengkapi dengan pipa berlubang. Kemiringan dan panjang maksimum saluran pengumpul dirancang berdasarkan kapasitas fasilitas saluran pengumpul. Untuk memperkirakan kapasitas fasilitas saluran pengumpul dipergunakan persamaan Manning.

b. Piped Bottom

Dasar lahan urug dibagi menjadi beberapa persegi panjang yang dipisahkan oleh pemisah tanah liat. Lebar pemisah tersebut tergantung dari


(35)

lebar sel. Pipa-pipa pengumpul lindi ditempatkan sejajar dengan panjang sel dan diletakkan langsung pada geomembrane.

2.7.3. Penutup Akhir

Beberapa fungsi dari sistem penutup akhir tersebut adalah :

a. Meminimasi infiltrasi air hujan ke dalam tumpukan sampah setelah lahan urug selesai dipakai

b. Mengontrol emisi gas dari lahan urug ke lingkungan

c. Mengontrol binatang dan vektor-vektor penyakit yang dapat menyebabkan penyakit pada ekosistem

d. Mengurangi resiko kebakaran

e. Menyediakan permukaan yang cocok untuk berbagai kegunaan setelah lahan urug selesai digunakan, seperti untuk taman rekreasi dan lain-lain f. Elemen utama dalam reklamasi lahan

g. Mencegah kemungkinan erosi

h. Memperbaiki tampilan lahan urug dari segi estetika.

3

3..88..PPeennggoollaahhaannLLiinnddii

Dari segi komponen, kandungan pada lindi tidak berbeda dengan air buangan domestik. Namun zat organik yang terkandung pada lindi dari timbunan sampah domestik sangat tinggi konsentrasinya. Hal ini ditunjukkan dari sangat tingginya kadar BOD5 pada lindi yaitu sekitar 2000-30.000. Sistem pengolahan

lindi dibagi menjadi dua tingkat, yaitu pengolahan sekunder dan pengolahan tersier.


(36)

2.8.1.Kolam Stabilisasi

Kolam stabilisasi atau kolam oksidasi merupakan suatu kolam yang terdiri atas tanggul dengan aliran air buangan (influen) yang laminer sehingga menyebabkan terjadinya aktivitas mikroorganisme. Pengaplikasian kolam ini jika luas area terpenuhi dan tempat di lokasi memungkinkan adanya sinar matahari masuk ke dalam kolam untuk proses fotosintesis akan sangat menguntungkan. Hal ini disebabkan konstruksi yang dibutuhkan kolam ini relatif sederhana dan biaya operasi relatif lebih murah. Berdasarkan penggunaan oksigen, jenis-jenis kolam stabilisasi adalah Aerob, Anaerob dan Fakultatif (aerob-anaerob).

Kolam stabilisasi ini selain dapat menurunkan kadar BOD dan COD juga dapat menurunkan jumlah fecal coli yang ada dalam leachate. Namun untuk pengolahan lindi sebaiknya menggunakan kolam anaerobik/fakultatif karena sangat tingginya kadar BOD. Kolam fakultatif merupakan kolam stabilisasi yang memiliki zona aerobik, fakultatif (transisi antara aerobik dan anaerobik), dan zona anaerobik sebagai zona paling dalam. Zona aerob merupakan zona permukaan yang mana akan terjadi dekomposisi buangan organik yang diangkut bakteri fakultatif. Zona anaerobik merupakan zona yang paling dalam yang menjadi tempat akumulasi endapan yang didekomposisi bakteri anaerob. Untuk mendesain agar terjadinya ketiga zona tersebut, maka setidaknya kolam fakultatif dikonstruksi dengan kedalaman antara 1-2 m.

Kolam anaerobik digunakan untuk mengolah air buangan dengan kadar organik tinggi yang juga mengandung konsentrasi solid yang tinggi. Secara tipikal, kolam anaerobik merupakan kolam oksidasi yang paling dalam. Untuk


(37)

mencegah masuknya energi panas terutama dari sinar matahari dan mempertahankan kondisi anaerobik, kolam anaerobik dikonstruksi dengan kedalaman antara 1,5 – 5 m.

2.8.2.Kolam Aerasi

Kolam aerasi merupakan kolam yang berfungsi mengoksidasi air buangan yang mana kebutuhan oksigennya dipenuhi dengan proses aerasi. Pada prinsipnya, fungsi pengolahan ini adalah mengkonvensi air buangan menjadi komponen-komponen yang lebih sederhana dengan cara oksidasi. Untuk memenuhi kebutuhan oksigen, kolam aerasi dilengkapi dengan aerator yang mempunyai fungsi mensuplai oksigen yang diperlukan untuk menurunkan kadar BOD/COD. Tipe aerator yang biasanya dipilih dalam aplikasi kolam ini adalah surface aerator/diffused air aerator. Selain untuk mensuplai oksigen, aerator berfungsi pula untuk menjaga kondisi cairan selalu dalam keadaan tersuspensi. Pada prinsipnya, proses pengolahan kolam aerasi sama dengan kolam stabilisasi, yang membedakannya adalah kolam aerasi dilengkapi dengan aerator. Dengan dilengkapi aerator, maka biaya operasi dan pemeliharaan aerasi lebih mahal karena membutuhkan energi listrik untuk pengoperasian aerator. Namun dari segi kebutuhan lahan, unit ini membutuhkan lahan yang relatif kecil.


(38)

Metoda Rapid Infiltrated Plant adalah metoda pengolahan lindi dengan cara meresapkan cairan lindi pada suatu lahan yang ditanami tumbuhan tertentu. Tumbuhan yang dipilih adalah tumbuhan yang memiliki kriteria sebagai berikut:

a. Tumbuhan berbuluh, tumbuhan ini lebih efektif meresap air dan kemudian mengevapotranspirasikannya lebih besar.

b. Memiliki nilai ekonomis atau murah dalam pengadaannya karena tumbuhan tersebut akan menjadi media yang “dikorbankan”.

Dalam sistem infiltrasi cepat, air buangan yang telah menerima beberapa perlakuan pengolahan dialirkan secara intermitten oleh saluran infiltrasi atau kolam distribusi. Namun biasanya tanaman tidak ditanam di kolam infiltrasi. Kecepatan loading dalam metoda ini relatif tinggi, sehingga kehilangan akibat evaporasi kecil. Dengan kecepatan loading yang tinggi ini, maka air yang mengalami perkolasi langsung melalui profil tanah, merupakan fraksi terbesar ketika pengolahan terjadi. Media tanah yang digunakan dalam metode ini agar infiltrasi berlangsung cepat adalah tanah yang setidaknya mempunyai permeabilitas 25 mm/hari atau lebih. Metoda ini memberikan biaya investasi , operasi, pemeliharaan, dan pengawasan yang lebih murah.

2.8.4.Intermitten Sand Filter

Metoda ini merupakan metoda pengolahan yang menggunakan kolam bermedia pasir atau media berbutir lainnya, yang mana influen dialirkan secara intermitten, dan effluen dialirkan melalui saluran di bawah kolam. Pada prinsipnya, metoda pengolahan ini sama dengan metode saringan pasir lainnya, yang membedakan adalah cara pengaliran influen menuju permukaan kolam


(39)

dilakukan secara intermitten dengan maksud agar air buangan terdistribusi baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Secara fisik metoda ini menggunakan kolam dangkal dengan media pasir setebal 24-30 inchi (0,6-0,76 m) yang dilengkapi sistem distribusi influen dan sistem saluran bawah kolam. Influen dialirkan secara periodik ke permukaan kolam lalu filtrat dikumpulkan di sistem saluran bawah kolam. Setelah itu efluen dari unit ini dialirkan menuju fasilitas penanganan akhir, seperti desinfeksi, atau langsung dibuang ke badan air.


(40)

BAB III. METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.1.1. Lokasi Penelitian

Lokasi daerah kajian adalah Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Terjun yang telah dilengkapi dengan kolam lindi (leacheate) namun belum berfungsi dengan baik. Operasional TPA Terjun berlokasi di Kelurahan Terjun kecamatan Medan Marelan (Peta Terlampir).

3.1.2. Waktu Penelitian

Penelitian yang dilakukan meliputi pengambilan data dan menganalisa data. Waktu penelitian dimulai pada Bulan Februari 2012 sampai dengan April 2012.

3.2. Metode Pengumpulan Data

Penentuan produksi lindi berdasarkan data dari TPA Terjun dibawah naungan Dinas Kebersihan Kota Medan dan Badan Meteorologi Klimatologi Geofisika (BMKG) Sampali Stasiun Marelan. Adapun data yang dibutuhkan dari dari TPA terjun terdiri dari :

1. Dokumentasi 2. Peta lokasi

Peta lokasi dibuat dengan menggunakan global positioning System (GPS) yang menggunakan model tracks sehingga dapat diketahui luas lahan TPA beserta topografinya.


(41)

3. Kondisi TPA

Kondisi TPA meliputi kondisi tanah (permeabilitas tanah dan fasilitas yang menunjang operasional TPA, kualitas lindi).

Data dari BMKG Sampali Stasiun Marelan berfungsi menentukan nilai run off, infiltrasi, dan Soil Moisture storage, yaitu banyaknya air yang tersimpan dalam tanah. Hasil dari data BMKG menentukan nilai produksi timbulan lindi yang berguna untuk mengevaluasi pengolahan lindi. Adapun data- data yang dibutuhkan dari BMKG adalah:

1. Data Presipitasi (Rata-rata bulanan tahunan) selama 5 Tahun, mulai dari Tahun 2007 sampai Tahun 2011.

2. Data Temperatur udara (Rata-rata bulanan tahunan) selama 5 Tahun, mulai dari Tahun 2007 sampai Tahun 2011.

3.3. Metode Analisis Data

Perhitungan Luas Lahan TPA dengan GPS dianalisa menggunakan program Argis. Perhitungan lindi didasarkan kepada asumsi-asumsi sumber lindi hanya dari resapan air hujan. Curah hujan akan tertampung dalam lahan dan akan disalurkan keluar oleh saluran secara kontinyu atau dapat dianalogkan lahan sebagai suatu reservoir air hujan.

Faktor - faktor yang berpengaruh terhadap kuantitas lindi dalam Metoda Neraca Air ini adalah:

a. Presipitasi b. Evapotransipitasi c. Surface run-off, dan


(42)

d. Soil moisture storage.

Adapun langkah – langkah menganalisa yaitu :

1. Menentukan jenis tanah yang digunakan sebagai final cover sesuai USDA. 2. Selanjutnya dengan melihat pada table Jumlah air yang dapat diserap oleh

beberapa jenis tanah (Tabel 2.2)

3. Merata-ratakan data presipitasi dan temperature secara bulanan

4. Menghitung potensi evapotranspirasi menggunakan metode Thorntwhaite. a. Menghitung indeks panas untuk tiap bulannya dengan persamaan:

I =��12�=1i1,514 =� �5t�1

,514

�12 �=1

………..(3.1) b. Menghitung nilai Potensi Evapotranspirasi (PET)

���= � �10�� � �

(��)………...……….(3.2) Dimana a dan c merupakan konstanta tergantung lokasi. (c =1,6)

a = 0,000000675 x I3 – 0.0000771 x I2 + 0.01792 x I + 0,49239

c. Melakukan kalibrasi menggunakan faktor lama penyinaran matahari berdasarkan posisi geografis stasiun meteorology (6° 10’ BS).

d. Menghitung nilai PET yang sudah dikalibrasi, PET = r * UPET 5. Menentukan nilai koefisien runoff (CRo) menggunakan nilai empiric

Tabel 3.1. Nilai empiris untuk menggunakan koefisien run off Jenis Permukaan Koefisien Run Off

Bituminous Streets 0,70 – 0,95

Concrete Streets 0,80 – 0,95

Driveways Walks 0,75 – 0,85

Roofs 0,75 – 0,95

Lawns; Sandy Soil

Flat, 2% 0,05 – 0,10

Average, 2 – 7 % 0,10 – 0,15


(43)

Lawns, Heavy Soil

Flat, 2% 0,13 – 0,17

Average, 2 – 7 % 0,18 – 0,22

Steeps, 7 % 0,25 – 0,35

Sumber : Damanhuri, 2008

6. Menentukan nilai Runoff bulanan: Ro = P * CRo 7. Menentukan nilai Infiltrasi: I = P – Ro

8. Menentukan air yang tersedia untuk penyimpanan: I – PET

9. Menentukan nilai Accumulated Water Lost (APWL), yaitu nilai negative dari (I-PET) yang merupakan kehilangan air secara akumulasi.

10. Menentukan soil moisture storage (ST), yaitu banyaknya air yang tersimpan dalam tanah pada saat keseimbangan. Nilai ST tergantung jenis tanah dan ketebalan tanah penutup akhir. Dengan menggunakan Tabel perubahan nilai ST untuk 100 mm untuk nilai APWL, maka diperoleh jumlah air yang tersimpan dalam tanah. Pada saat air yang tersedia dalam tanah belum mencapai 100 mm, maka nilai ST langsung dijumlah pada nilai I-PET. Karena nilai maksimal air tersimpan dalam tanah 100 mm.

11. Menghitung perubahan ST dari bulan terakhir (∆ST). 12. Menentukan Actual Evapotranspiration (AET):

a. Nilai AET = PET, untuk bulan basah dimana I ≥฀PE T .

b. Nilai AET = I - ∆ST, untuk bulan kering dimana I < PET. c. Menentukan perkolasi (PERC)

d. Nilai PERC = I – PET - ∆ST, untuk bulan basah dimana I ≥฀ PET. Nilai PERC = 0, untuk bulan kering dimana I < PET


(44)

Mulai

Kapasitas Lindi

Instalasi Pengolahan

Lindi

Mulai

Kondisi TPA

Curah Hujan Temperatur

Kesesuaian lahan TPA menurut SNI

dan USDA

Hitung Evapotranspirasi Hitung Runn off

Hitung infiltrasi Hitung Perkolasi

Instalasi Pengolahan

Lindi Kualitas

Lindi Saluran

Pengumpul Lindi

Gambar 3.1 Diagram analisa data penelitian

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


(45)

TPA Terjun berlokasi sekitar 16 km di Utara Pusat kota Medan yaitu Kelurahan Terjun Kecamatan Medan Marelan yang beroperasi sejak 1993. Topografi tanah asli TPA Terjun relative datar dengan ketinggian elevasi ± 2,5 – 3 m dpl. Arealnya berada diantara aliran Paluh Nibung dengan Paluh Terjun yang berjarak sekitar 5 Km dari garis pantai. Aliran air kedua paluh tersebut dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Kondisi areal sekitarnya berupa rawa yang banyak ditumbuhi pohon Palem, kolam dan areal persawahan irigasi. Penimbunan sampah masih berlangsung secara terbuka (open dumping), dimana truk sampah membuang sampah pada zona yang sudah ditentukan kemudian sampah tersebut diatur penempatannya oleh alat berat. Ketinggian timbunan sampah bervariasi ± 7 – 12 m dari lantai jembatan timbang dengan tinggi timbunan sampah maksimum di utara TPA. Hampir seluruh areal TPA sudah tertimbun sampah kecuali areal TPA di bagian barat yang masih berupa rawa. Prasarana jalan operasional sudah mudah menjangkau seluruh areal TPA. Prasarana ini dibangun diatas timbunan sampah dengan konstruksi timbunan batu dan tanah. Kelandaian jalan operasional maksimum sebesar 12 % berada pada awal jalan operasional yakni pada saat truk sampah naik ke areal timbunan sampah. Saluran drainase yang ada berupa saluran terbuka dekat timbunan sampah terutama di kiri dan kanan jalan operasional, kontruksi berupa galian sampah terbuka dengan lebar 1,5 m. Saluran drainase ini pada saat tidak hujan sebagian tergenang oleh air lindi yang berasal dari timbunan sampah di atasnya. Sebagian air lindi pada saluran drainase ini masih bermuara langsung ke paluh dan kolam di sekitar TPA.


(46)

Gambar 4.1. Genangan air lindi pada saluran drainase

Lokasi TPA Terjun yang ada saat ini dapat di evaluasi dengan standar nasional yang diterbitkan Republik Indonesia dan dengan Standart USDA, United States Department of Agriculture tahun 1971. Lokasi TPA Terjun jika dievaluasi berdasarkan SNI 03-3241-1997 Tahun 1997 tentang Tata Cara Pemilihan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir Sampah yang diterbitkan Badan Standarisasi Nasional dapat diuraikan pada tabel berikut.

Tabel 4.1. Evaluasi lokasi TPA Terjun berdasarkan SNI 03-3241-1997

No SNI 03-3241-1997 TPA Terjun

1 TPA sampah tidak boleh berlokasi di danau, sungai dan laut

Memenuhi 2 Kriteria Regional

a.Tidak boleh mempunyai muka air tanah > 3m

Tidak memenuhi ( 1 - 2 m) b.Tidak boleh kelulusan tanah > 10-6 Tidak memenuhi

cm/det (6 x 10-5 cm/det)*

Tabel 4.1. (lanjutan)

No SNI 03-3241-1997 TPA Terjun


(47)

di hilir aliran

d.Jika tidak ada zona yang memenuhi criteria diatas maka diadakan masukan teknologi

Belum ada teknologi untuk memenuhi point a dan b 3 Kemiringan zona < 20 % Memenuhi (±1%) 4 Jarak dari lapangan terbang:

 >3000 m untuk penerbangan jet

 >1500 m untuk jenis lain

Memenuhi

5 Tidak boleh pada daerah lindung / cagar alam dan daerah banjir dengan periode ulang 25 tahun

Tidak memenuhi

Lahan TPA Terjun berdasarkan SNI 03-3241-1997 Tahun 1997 tentang Tata Cara Pemilihan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir sampah yang diterbitkan Badan Standarisasi Nasional masih ada kriteria yang belum sesuai SNI , diantaranya muka air tanah, kelulusan tanah dan daerah banjir ulang pada periode 25 tahun. Sedangkan Menurut USDA (1983) dalam Hifdziyah (2011), ada beberapa sifat lahan yang sesuai sebagai Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) secara terbuka. Kesesuaian lahan tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.2 berikut.

Tabel 4.2. Evaluasi lokasi TPA Terjun berdasarkan USDA Tahun 1983

No Sifat Tanah Kesesuaian Lahan USDA TPA Terjun Baik Sedang Buruk Nilai Kriteria

1 Ancaman banjir Tanpa Jarang Sering Jarang* Sedang

2 Permeabilitas (cm/ jam)

(50-100 cm) - - > 5 0,216 Baik

3 Muka air tanah (cm)

 Apparent

 Perched

> 150 > 90

100 – 150 100 – 150

< 100 < 45

100 Sedang

4 Lereng % < 8 8 – 15 > 15 ± 1 % Baik

5 Longsor - - Ada - Baik

*Berdasarkan data BMKG, Peta Terlampir

Pada Tabel 4.3 terlihat bahwa bahwa Kesesuaian lahan TPA Terjun berdasarkan Standart United States Department of Agriculture (USDA) tahun


(48)

1983 berada pada kategori sedang untuk faktor pembatas ancaman banjir dan muka air tanah.

4.2. Kapasitas Lindi Dengan Neraca Thornthwaite

Pembentukan air lindi dipengaruhi oleh karakteristik sampah (organik dan anorganik). Timbulan sampah Kota Medan yang ditangani Dinas Kebersihan Kota Medan berasal dari sampah rumah tangga, perkantoran, pertokoan, rumah sakit, pusat perbelanjaan, industri dan kawasan wisata. Sampah yang diangkut oleh Dinas Kebersihan Kota Medan adalah sampah organik ataupun anorganik seperti kertas, plastik, kayu, kain, karet, logam dan lainnya. Adapun komposisi sampah TPA Terjun dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4.3. Komposisi sampah TPA Terjun

No Komposisi Jumlah Jumlah (%)

1 Organik 1583,18 74,07

2 Kertas 84,98 3,98

3 Plastik 190,15 8,90

4 Kayu 38,30 1,79

5 Kain 29,12 1,36

6 Karet 10,87 0,51

7 Logam 2,74 0,13

8 Kaca 18,89 0,88

9 Bongkahan 18,89 0,88

10 B3 6,39 0,30

11 Pampers 33,46 1,57

12 Lainnya 120,30 5,63

Jumlah 2137,27 100,00

Sumber : Dinas Kebersihan Kota Medan, 2012

Pembentukan air lindi dipengaruhi oleh karakteristik sampah. Sampah yang masuk kedalam TPA Terjun sebesar 74,07 % merupakan sampah organik, sedangkan sampah anorganik 25,93 %. Hal ini dapat dilihat melalui grafik berikut.


(49)

Gambar 4.2 Komposisi sampah TPA Terjun

Pada penelitian sebelumnya, Sulinda (2004) menyatakan bahwa pada musim hujan kuantitas air lindi lebih banyak dibandingkan dengan musim kemarau. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi iklim akan mempengaruhi kuantitas air lindi yang dihasilkan.

Lindi yang timbul setelah pengoperasian selesai, dapat diperkirakan dengan menggunakan suatu metoda yang disebut Metoda Neraca Air (Water Balance Method). Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kuantitas perkolasi dalam Metoda Neraca Air ini adalah Presipitasi, Evapotranspirasi, Surface run-off, dan Soil moisture storage. Proses perjalanan air lindi hampir sama dengan proses perjalan air dalam siklus hidrologi sehingga mempengaruhi kualitas air tanah dan air permukaan yang menjadi sumber kehidupan, oleh karena itu air lindi ini harus diolah agar tidak mencemari air yang penggunaannya diperuntukkan dalam kehidupan sehari – hari. Metoda neraca air ini didasari oleh asumsi bahwa lindi hanya dihasilkan dari curah hujan yang berhasil meresap masuk ke dalam timbunan sampah (perkolasi). Beberapa sumber lain seperti air hasil dekomposisi

74,07 3,98

8,90 1,791,36

0,51 0,13 0,88

0,88 0,30 1,57 5,63

Komposisi Sampah (%)

Organik Kertas

Plastik kayu

Kain Karet

Logam Kaca

Bongkahan B3


(50)

sampah, infiltrasi muka air tanah, dan aliran air permukaan lainnya dapat diabaikan. Air hujan yang masuk ke dalam sampah akan meresap ke dalam tanah dalam bentuk infiltrasi. Sebagian air mengalir secara gravitasi yang disebut run off, air hujan disertai sampah ini akan mempengaruhi aliran permukaan. Air infiltrasi sebagian akan diserap oleh tanaman sebagai evapotranspirasi, sebagian lagi terperkolasi masuk lebih dalam ke dalam tanah yang akan mempengaruhi penyimpanan air tanah. Metode Neraca Air yang digunakan pakar geofisika dan meteorology, geohidrologi, geografi dan geologi adalah metode thornthwaite selain metode penman dan rumus Truck. Keunggulan rumus Thronthwaite adalah kesederhanaan data yang diperlukan dan kesederhanaan cara perhitungannya (Nugroho, 1989).

Gambar 4.3. Skema terjadinya air lindi

Pada daerah dengan curah hujan yang tinggi akan membentuk kuantitas air lindi yang lebih banyak, walaupun konsentrasi kontaminannya (bahan organik, anorganik dan lain-lain) akan lebih sedikit daripada di daerah yang curah hujannya rendah. TPA Terjun yang berlokasi di Medan Marelan memiliki curah


(51)

hujan dan Temperatur dari Tahun 2007 hingga 2011 yang disajikan pada Tabel berikut.

Tabel 4.4 Curah hujan stasiun marelan dan sekitarnya (mm)

Tahun Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agus Sept Okt Nov Des

2007 212 15 11 104 339 179 331 172 308 428 450 357

2008 53 15 121 153 125 62 219 257 254 435 233 194

2009 103 4 44 57 58 31 58 49 97 61 50 19

2010 131 66 27 47 68 197 129 181 148 144 248 219

2011 201 98 256 209 226 115 146 269 215 364 236 247

Rerata 140 39.6 91.8 114 163.2 116.8 176.6 185.6 204.4 286.4 243.4 207.2 Sumber : BMKG, 2012

Tabel 4.5 Temperatur stasiun marelan dan sekitarnya (o Tahun

C)

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agus Sept Okt Nov Des 2007 26.4 24.1 27.5 26.8 27.7 27.5 27.1 27.1 26.1 26.6 25.5 26.3 2008 27.8 24.9 26.5 26.4 27.5 26.4 26.8 26.8 25.9 26.7 26.1 26.2 2009 26.0 26.6 26.9 27.7 27.7 28.1 27.5 27.5 27.0 26.8 26.7 26.9 2010 26.8 28.1 28.1 28.6 29.0 27.8 27.3 27.3 27.2 27.5 26.7 26.3 2011 26.2 26.8 26.8 27.2 28.0 27.8 27.7 27.7 27.1 26.9 26.6 26.3 Rerata 26.6 26.1 27.2 27.3 28.0 27.5 27.3 27.3 26.7 27 26.3 26.4 Sumber : BMKG, 2012

Dari Tabel 4.4 dapat diketahui bahwa curah hujan yang tinggi berada pada bulan Oktober yaitu sebesar 286,4 mm/tahun. Curah hujan tinggi maka kuantitas lindi juga semakin banyak. Keadaan ini akan memicu terbentuknya air lindi yang kemudian akan menimbulkan beberapa dampak terhadap perairan umum apabila tidak diolah secara benar, seperti menambah beban pencemaran bagi perairan umum disekitarnya, bau tidak sedap, munculnya bibit penyakit, dan rusaknya lahan pertanian.

TPA Terjun memiliki jenis tanah Sandy Clay dengan jumlah air yang tersedia sebesar 300 mm/m dengan ketebalan tanah penutup di TPA Tejun adalah 0,5 mm (Damanhuri, 2008). Dari Data Hujan dan Temperature pada Tabel 4.4.


(52)

menggunakan metode Thornthwaite. Adapun hasil analisa neraca air dengan metode thornthwaite adalah sebagai berikut.


(53)

(54)

Dari Tabel 4.6 dapat dilihat bahwa nilai perkolasi 376 mm. Nilai perkolasi menentukan banyaknya timbulan lindi yang harus dikelola. Hal ini didasarkan bahwa lindi hanya dihasilkan dari curah hujan yang berhasil meresap masuk ke dalam timbunan sampah (perkolasi). Nugroho (1989) menyebutkan bahwa di dalam tanah terdapat lapisan air tipis (± 100 mm) dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan manusia. Nilai perkolasi 376 mm sangat berpotensi terjadinya pencemaran terhadap air tanah ataupun air permukaan karena itu timbulan lindi harus dikelola. Luas pengelolaan sampah TPA Terjun berdasarkan data yang diambil dengan menggunakan model tracks pada Global Positioning System (GPS) sebanyak 7 (tujuh) titik dengan posisi.

Tabel 4.7. Posisi pengambilan data lapang menggunakan GPS

Titik Posisi Koordinat Ketinggian

1 N 3043’070” E 98038’960” 24

2 N 3043’072” E 98038’960 24

3 N 3043’072” E 98038’960 24

4 N 3043’072” E 98038’960 24

5 N 3043’066” E 98038’960 28

6 N 3043’066” E 98038’960 28

7 N 3043’036” E 98038’980 24

Data – data posisi yang diambil dari lapang diolah dengan program Argis yang kemudian dibuat dalam bentuk peta. Luas yang diketahui adalah 3,16 Ha (Peta Lokasi TPA Terjun). Nilai perkolasi dari neraca Thornthwaite, 376 mm dianggap tinggi air lindi maka volume lindi dari luas lahan TPA Terjun maka volume yang perlu dikelola adalah 11.882 m3.


(55)

(a) (b)

Gambar 4.4. (a) Global Positioning System (GPS) (b) Pengambilan data menggunakan GPS

Pada tabel 4.5 dapat dilihat bahwa perkolasi tertinggi terjadi pada bulan Oktober yaitu 124,9 mm dan luas lahan 3,16 Ha maka debit yang diolah adalah 3946,84 m3/bulan. Adapun debit lindi (Q) yang harus diolah per hari adalah =

3946,84 �3/����� 30 ℎ�/����� =

131,56 �3/ℎ�

24 ���/ℎ�� 3600 ���/���= 0,015

�3

��� = 1,5 �/���

4.3. Kualitas Lindi

Sampah yang dibiarkan terbuka bukan hanya mengakibatkan pencemaran udara akibat bau. Sampah yang menggunung akan menghasilkan lindi (leacheate) yakni limbah cair, baik yang berasal dari proses pembusukan sampah maupun karena pengaruh luar. Kedua hal itu akan memengaruhi kuantitas dan kualitas lindi . Kualitas lindi itu masih dipengaruhi komposisi atau karakteristik sampah yang dibuang, umur timbunan, dan pola operasional TPA. Semakin banyaknya lindi, maka semakin berpotensi untuk masuk ke dalam air tanah dan mencemari


(56)

sumur. TPA Terjun yang belum memiliki pengumpul lindi menyebabkan lindi keluar dari timbunan sampah dan mengalir mengikuti kemiringan lahan, termasuk mengalir menuju drainase. Lindi yang dihasilkan dari sampah mengandung senyawa pathogen dari beberapa senyawa kimia organik dan anorganik (Susanto, J.P, 2004). Selain itu juga mengandung amoniak, timbal dan mikroba parasit seperti kutu air (sarcoptes sp) yang menyebabkan gatal air (Susanto, J.P, 2004). Berikut kualitas lindi yang berada dekat parit pembuangan depan pos jaga, pintu masuk TPA Terjun.

Tabel 4.8. Kualitas air lindi TPA Terjun

No Parameter Satuan Kualitas Lindi (2011) Baku

Mutu* Keterangan September Oktober

1 pH

- 8,04 8,10 5 – 9 Sesuai Baku Mutu

2 Suhu 0

30,7

C 30,5 Dev 5 Sesuai Baku

Mutu 3 BOD

mg/l

5

325 322 12 Tidak sesuai Baku Mutu 4 COD

mg/l 542 540 100 Tidak sesuai Baku Mutu 5 TSS

mg/l 260 268 400 Sesuai Baku Mutu 6 H2

mg/l S

2,51 2,44 - Sesuai Baku Mutu 7 NH3

mg/l N

1,23 1,25 - Sesuai Baku Mutu 8 Cr Total

mg/l 0,011 0,010 1 Sesuai Baku Mutu * PP 82/2001 Kelas IV

(-) diatas menyatakan bahwa untuk parameter tersebut tidak dipersyaratkan Sumber : Dinas Kebersihan Kota Medan, 2012

Lindi pada TPA Terjun pada saat ini dimanfaatkan untuk mengairi sawah yang dekat dengan lokasi TPA sehingga air lindi perlu dianalisa berdasarkan baku mutu Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air Kelas IV (air yang peruntukannya dapat


(57)

digunakan untuk mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut). Pada Tabel 4.8 dapat dilihat bahwa parameter BOD5

Lindi mengandung senyawa Bahan Bahaya Beracun (B3). Limbah Bahan Bahaya Beracun (B3) yang dibuang langsung ke dalam lingkungan dapat menimbulkan bahaya terhadap lingkungan dan kesehatan manusia serta mahluk hidup lainnya (PP No. 74 Tahun 2001). Keberadaan kromium dengan konsentrasi yang tinggi dalam limbah cair industri menyebabkan pencemaran terhadap lingkungan. Dampak kelebihan kromium pada tubuh akan terjadi pada kulit, saluran pernafasan, ginjal dan hati Pengaruh terhadap saluran pernafasan yaitu iritasi paru-paru akibat menghirup debu kromium dalam jangka panjang dan mempunyai efek juga terhadap iritasi kronis, polyp, tracheobronchitis dan pharingitis kronis (Joko, 2003). Limbah B3 akan berbahaya pada tubuh jika tidak diolah. Pada Tabel 4.8 nilai Krom (Cr Total) masih rendah senilai 0,011 sehingga tetap diperlukan pengolahan. Menurut Nordberg., et all (1986) dalam Widowati (2008) logam berat jika sudah terserap ke dalam tubuh maka tidak dapat dihancurkan tetapi akan tetap tinggal di dalamnya hingga nantinya dibuang dan COD masih tidak sesuai baku mutu yang telah ditetapkan dalam PPRI No 82 Tahun 2001. Parameter BOD dan COD yang tinggi menunjukkan bahwa lindi berpotensi mencemari lingkungan dan perlunya pengolahan. Parameter BOD dan COD menunjukkan adanya oksigen terlarut dalam air untuk menunjang kehidupan ikan dan organisme air lainnya. Kemampuan air untuk membersihkan pencemaran secara alamiah banyak tergantung kepada cukup tidaknya kadar oksigen terlarut.


(58)

melalui proses ekskresi. Hal serupa juga terjadi apabila suatu lingkungan terutama di perairan telah terkontaminasi (tercemar) logam berat maka proses pembersihannya akan sulit sekali dilakukan maka perlu dilakukan pencegahan sedini mungkin.

4.4. Instalasi Pengolahan Lindi 4.4.1. Saluran Pengumpul Lindi

TPA Terjun tidak memiliki saluran lindi. Fungsi saluran lindi adalah untuk menyalurkan akumulasi cairan lindi pada dasar timbunan sampah sehingga cairan tersebut tidak terinfiltrasi masuk kedalam air tanah. Dengan tidak adanya saluran lindi pada dasar TPA Terjun, maka upaya menyalurkan cairan lindi pada dasar timbunan menjadi sulit dilakukan karena hal berikut :

a. Tidak dapat membuat lapisan kedap air yang sudah tertimbun sampah b. Menggali dan mengeluarkan timbunan sampah sulit dilakukan karena yang

digali akan berkembang volumenya menjadi sekitar 2 – 3 kali semula yang akan membutuhkan lahan luas dan aman untuk ditimbun sampah galian TPA tersebut.

c. Sistem saluran yang dibuat harus memenuhi kriteria teknis yaitu kemiringan pipa, radius jangkauan yang mengakibatkan system jaringan perpipaan men; jadi bercabang – cabang, dan ini tidak dapat dilakukan dengan system pemboran horizontal.


(59)

Berdasarkan kendala tersebut maka yang harus dilakukan adalah mencegah terakumulasinya air lindi pada timbunan sampah semaksimal mungkin dengan cara :

1. Melakukan pemboran horizontal pada dasar timbunan sampah dengan pipa steel 8 inchi yang diberi lubang-lubang.

2. Menutup timbunan sampah yang ada pada saat ini dengan lapisan penutup akhir yang juga berfungsi sebagai lapisan dasar pada timbunan sampah yang baru. Kemudian tanah timbunan sampah dilapisi pelapis dasar yg biasa disebut geotextile. geotextile berfungsi sebagai filter, mencegah terbawanya partikel-partikel tanah pada aliran air. Selanjutnya geotextile ditutup dengan tanah setebal 30 cm.

Gambar 4.5. Saluran Pengumpul Lindi

Dengan adanya lapisan baru yang relative kedap air maka cairan lindi dari timbunan sampah dapat disalurkan dengan system jaringan pipa yang selanjutnya akan bermuara ke bangunan instalasi pengolahan lindi.

Pipa

Timbunan sampah lama Tanah Liat 25 cm Tanah Liat 25 cm Kerikil 15 cm Geotextile Tanah Biasa 30 cm Timbunan Sampah Baru


(60)

4.4.2. Instalasi Pengolahan Lindi

Instalasi Pengolah Lindi (IPL) Pada TPA Terjun utama yang diusulkan adalah kolam stabilisasi secara alamiah, dilanjutkan dengan kolam aerasi secara mekanis dan lahan sanitasi berupa kolam filtrasi sorpsi. Skema Instalasi Pengolahan Lindi pada Gambar 4.6 berikut.

KOLAM STABILISASI KOLAM AERASI KOLAM MATURASI AREA FILTRASI/ LAHAN SANITASI ke Sungai dari TPA Resirkulasi memenuhi baku mutu

Gambar 4.6. Skema instalasi pengolahan lindi (leacheate)

Kelebihan dan kekurangan pengolahan sesuai pada Tabel 4.8 berikut. Tabel 4.9. Kelebihan dan kekurangan dari tiap pengolahan

No Uraian Kolam

Stabilisasi Kolam Aerasi Kolam Maturasi Kolam Filtrasi 1 Penyisihan

BOD

80 – 90 % 75 – 90 % 75 % 75 % 2 Kebutuhan

Lahan

Cukup luas Relative kecil

Relative kecil

Relative kecil 3 Biaya

Operasional dan Pemeliharaan

Murah Mahal Murah Murah

Sumber : Metcalf Eddy, 2003; Soeparman, 2002


(61)

Kolam stabilisasi adalah kolam yang digunakan untuk memperbaiki kualitas air limbah, yang mengandalkan proses alamiah untuk mengolah air limbah yaitu dengan memanfaatkan keberadaan bakteri, alga dan zooplankton. Dimensi kolam ditetapkan dengan rumus : V = Q . t di mana:

V = volume kolam (m3 Q = debit lindi (m

)

3

t = waktu detensi atau waktu kontak (hari) /hari)

Kriteria desain kolam stabilisasi adalah : a. Waktu detensi 12 - 33 hari b. Kedalaman kolam 2,5 - 4,0 m

Debit timbulan lindi (leacheate) per hari, Q = 1,5 lt/det = 1,5.10-3 m3/det dengan waktu detensi, t = 30 hari = 2.592.000 det maka volume kolam V = 1,5.10

-3

m3/det x 2.592.000 det = 3.888 m3. Jika kedalaman kolam 3 meter maka luas kolam total A = 1.296 m2. Bentuk kolam direncanakan akan menyesuaikan dengan topografi dan ketersediaan lahan.

B. Kolam Aerasi

Kolam aerasi merupakan kolam yang berfungsi mengoksidasi air buangan yang mana kebutuhan oksigennya dipenuhi dengan proses aerasi. Pada prinsipnya, fungsi pengolahan ini adalah mengkonvensi air buangan menjadi komponen-komponen yang lebih sederhana dengan cara oksidasi. Untuk memenuhi kebutuhan oksigen, kolam aerasi dilengkapi dengan aerator yang


(62)

mempunyai fungsi mensuplai oksigen yang diperlukan untuk menurunkan kadar BOD/COD. Tipe aerator yang biasanya dipilih dalam aplikasi kolam ini adalah

surface aerator / diffused air aerator. Selain untuk mensuplai oksigen, aerator

berfungsi pula untuk menjaga kondisi cairan selalu dalam keadaan tersuspensi. Beberapa kriteria desain yang biasa digunakan :

a. Kedalaman 2 - 5 meter b. Waktu detensi 3 - 12 hari

c. Konstanta laju penyisihan k’ = 0,017 – 0,3 (mg/l.hari)-1

Maka dapat dihitung :

; diambil 0,02

a. Konsentrasi solid mikrobial (TSS pada Tabel 4.6), X = 260 mg/l b. BOD pada Tabel 4.6 = 325 mg/l

c. BOD in (So) = 325 mg/liter atau beban BOD = 325 mg/l x 6 l/det = 1950 mg/det = 168,5 kg/hr

d. BOD out (S) = ��

(1+�′.�)=

325��/�

(1+0,02 .3)= 20,3 ��/� ≈ 20 ��/�

Dengan demikian waktu kontak = (��−�)

(�′.�.�)=

(325−20)

(0,02 .260.20)= 2,933 ℎ� ≈3 ℎ�

Dengan debit, Q = 1,5 lt/det = 1,5.10-3 m3/det dan thitung 3hr = 259.200 det

maka Volume, V = 1,5.10-3 m3/det x 259.200 det = 388,8 m3 ≈ 390 m3. Untuk kedalaman kolam 3 meter maka luas lahan yang dibutuhkan = 130 m2. Jika kolam aerasi dibuat 2 bak maka luas yang dibutuhkan adalah 2 x 130 m2 = 260 m2 dengankapasitas volume 2 x 390 m3 = 780 m3. Perbandingan panjang dan lebar (dimensi) disesuaikan dengan kondisi topografi lahan yang tersedia.


(63)

C. Kolam Maturasi

Kolam maturasi yang diusulkan adalah dari jenis aerobik. Dimensi kolam ditetapkan dengan rumus volume diatas (V = Q. t). Debit timbulan lindi, Q = 1,5 lt/det = 1,5.10-3 m3/det dan waktu detensi,td = 2 hari = 172.800 det maka volume kolam V = 1,5.10-3 m3/det x 172.800 det = 259,2 m3. Jika kedalaman kolam 3 meter maka luas kolam total A = 86,4 m2, untuk memudahkan perhitungan dimensi maka luas lahan dibulatkan menjadi 87 m2 dan kapasitas volume dibulatkan menjadi 261 m3. Kolam maturasi dibuat 2 bak maka luas yang dibutuhkan adalah 2 x 87 m2 = 174 m2 dengankapasitas volume 2 x 261 m2 = 522m3.

D. Area filtrasi

Guna menyisihkan logam berat yang kurang dapat tersisihkan di pengolahan sebelumnya, maka diusulkan pengolahan tambahan dengan lahan sanitasi. Lahan sanitasi ini dapat memanfaatkan sifat-sifat tanah dalam mengadsorbsi substansi (termasuk sifat-sifat penukar ion), dikombinasikan dengan penyerapan logam berat oleh tanaman tertentu seperti rumput gajah dan sebagainya. sebagai pengolah pelengkap, dan dirancang tidak hanya sebagai lahan sanitasi, tetapi juga sebagai bio-filter. Dalam hal ini lahan seluas minimal 1.500 m2 yang dibuat dalam 5 bak yang memiliki luas masing – masing bak 300 m2 dengan kedalaman 3 m maka volume yang dapat diolah tiap bak adalah, V = 300 m2 x 3 m = 900 m3. Keseluruhan bak dapat mengolah volume sebanyak 5 x 900


(64)

m3 = 4500 m3. Kecepatan filtrasi disesuaikan dengan kelulusan tanah yang diaplikasikan.

E. Resirkulasi Lindi

Resirkulasi lindi bertujuan untuk mengurangi beban pengolah serta menambah efisiensi, maka diusulkan sistem sirkulasi melalui kolam stabilisasi dan filter (land treatment) guna menambah efisiensi penurunan beban organik. Sistem resirkulasi menggunakan pompa submersible.

4.4.3. Analisa Perancangan

Dari perhitungan Instalasi Pengolahan Lindi (IPL), dan beda tinggi dari tiap pengolahan adalah 3 meter maka perkiraan luas lahan IPL dan volume Lindi yang dapat dikelola adalah sebagai berikut.

Tabel 4.10. Perkiraan luas lahan IPL dan volume lindi yang dikelola No Unit Pengolah Luas Total (m

2

Volume lindi (m

) 3)

1. Kolam Stabilisasi 1.296 3.888

2. Kolam Aerasi 260 780

3. Kolam Maturasi 174 522

4. Lahan Sanitasi 1.500 4500

Luas Total (m2) 3.838 9.690

Berdasarkan Tabel 4.10 kebutuhan luas lahan minimal untuk Instalasi Pengolah Lindi (IPL) yang direncanakan untuk mengolah lindi (leacheate) yang dihasilkan dari pengurungan sampah (landfill) di TPA Terjun adalah 3.828 m2.


(65)

Lahan TPA Terjun yang masih tersisa sebesar 4 ha (40.000 m2

Berdasarkan analisa perhitungan neraca Thornthwaite, bahwa volume lindi yang perlu dikelola adalah 11.882 m

), masih mencukupi untuk membuat lahan IPL agar mengurangi pencemaran TPA.

3

. Jika menggunakan instalasi pengolahan maka volume yang dapat dikelola adalah 9.690 m3. Hal ini berarti dapat mengurangi kapasitas lindi yang tidak terkelola sebesar 9.690 m3.


(66)

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. KESIMPULAN

1. Evaluasi lahan TPA Terjun berdasarkan SNI 03-3241-1997 Tahun 1997 tentang Tata Cara Pemilihan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir sampah yang diterbitkan Badan Standarisasi Nasional belum sesuai SNI, terutama untuk parameter muka air tanah, kelulusan tanah dan daerah banjir ulang pada periode 25 tahun.

2. Evaluasi lahan TPA Terjun berdasarkan United States Department of Agriculture (USDA) tahun 1971 berada pada kategori sedang untuk faktor pembatas ancaman banjir dan muka air tanah.

3. Lindi yang dihasilkan dari curah hujan yang berhasil meresap masuk ke dalam timbunan sampah (perkolasi) dihitung berdasarkan metode Thortnthwaite sebesar 367 mm. Dengan luas pengelolaan sampah TPA Terjun sebesar 3,16 Ha maka volume lindi yang perlu dikelola adalah 11.882 m3

4. Kualitas Lindi TPA Terjun pada parameter BOD

dengan debit harian sebesar 1,5 lt/det.

5 senilai 322 mg/l dan COD

sebesar 540 mg/l tidak sesuai baku mutu yang telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air Kelas IV (air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut), untuk BOD dan COD memiliki ambang batas 12 mg/l dan 100 mg/l.


(1)

Purwanta W. 2007., Tinjauan Teknologi Pengolahan Leachate di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Perkotaan. JAI Vol 3 No 1, 2007.

Samin, Damanhuri E, Notodarmodjo S, Sidarta A. K., 2010. Pengaruh Operasional Tempat Pembuangan akhir Terhadap Timbulan Lindi (Landfill Skala Laboratorium). Seminar Nasional Pascasarjana X – ITS, Surabaya 4 Agustus 2010. ISBN No. 979 – 545 – 0270 – 1.

Soeparman, Suparmin., 2002. Pembuangan Tinja dan Limbah Cair. Penerbit EGC Jakarta

Sulinda, D. 2004. Penentuan Nilai Parameter Kinetika Lumpur Aktif pada Pengolahan Air Lindi Sampah Secara Aerobik. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor.

Susanto P. J, Ganefati P. S, Muryani S, Istiqomah H. S., 2004. Pengolahan Lindi (Leachate) dari TPA dengan Menggunakan Sistem Koagulasi – Biofilter Anaerobic. Jurnal Tek.Ling - P3TL – BPPT (5) : (3) :167 – 173.

Syahrulyati T., 2005. Analisis Sebaran Dampak Pencemaran Lindi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah terhadap Kualitas Air Bawah permukaan. Tesis Institut Pertanian Bogor.

Tchobanoglous., 1993. Integrated Solid Waste Management Engineering Principles and Management Issues. New York: Mc Graw Hill Inc.

Widowati, W., Astiana S, dan Raymond J. R. 2008. Efek Toksik Logam: Pencegahan dan Penanggulangan Pencemaran. Andi Offset, Yogyakarta.


(2)

(3)

Lampiran 2. Peta Prakiraan Daerah Potensi Banjir


(4)

Lampiran 3 Dokumentasi daerah penelitian

Saluran drainase TPA Terjun Saluran drainase yang digenangi air lindi


(5)

Air lindi yang keluar melalui saluran drainase

Air lindi pada saluran drainase yang tertutup oleh tumpukan sampah

Tumpukan sampah pada TPA Terjun

Pengambilan Data GPS


(6)